Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 30


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 30


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Teringat pula dengan kumpulan kitab yang dibawa Murong Yun Hua dari rumahnya yang lama.   Rumah warisan turun temurun, milik keluarga Murong.   Sesaat kemudian terlintas lagi dalam benaknya, pertemuan untuk memilih Wulin Mengzhu, entah sejak kapan, setiap orang mulai menaruh harapan pada dirinya untuk merebut kedudukan itu.   Jika dia gagal, berapa banyak orang yang akan merasa kecewa? Murong Yun Hua mengatakan wataknya yang terlalu kaku mengikuti adat istiadat akan merugikan dirinya dan juga orang lain yang bergantung padanya.   Sebelumnya Ding Tao berkeras bahwa adat istiadat terbentuk karena alasan tertentu dan dia tidak ingin menganggap dirinya lebih bijak daripada orang lain, hingga dia bisa menentukan mana yang harus diikuti dan mana yang bisa dilanggar.   Berbeda memang dengan pandangan Murong Yun Hua, apalagi dengan pandangan Ma Songquan dan Chu Linhe.   Jika Ding Tao lebih suka berjalan mengikuti adat yang ada dan hidup dalam keselarasan dengan masyarakat di sekitarnya.   Murong Yun Hua berpendapat, jika dia yakin akan kebenaran tindakannya, maka dia akan melakukan hal itu, meskipun hal itu bertentangan dengan pendapat orang banyak.   Ding Tao tidak menyukai konflik, sebisa mungkin dia menghindarinya.   Namun akhir-akhir ini, kedudukannya menempatkan dia di posisi di mana dia tidak bisa menghindari konflik.   Tidak jarang pilihan yang ada hanyalah konflik kecil atau konflik besar.   Apa yang dia pandang adil dan sepantasnya, tidak jarang dipandang berat sebelah bagi pihak yang dirugikan oleh keputusannya.   Sungguh menjadi seorang ketua bukan urusan yang mudah.   Beruntung ada orang-orang yang bersedia memberikan nasihat padanya.   Meskipun tidak jarang akhirnya Ding Tao memilih mengambil keputusan yang merugikan partai, tapi tidak melanggar hati nuraninya daripada keputusan yang menguntungkan mereka namun tidak sesuai dengan hati nuraninya.   Jika demikian yang terjadi, maka biasanya Chou Liang-lah yang bekerja keras untuk meminimalkan kehilangan mereka, sambil menggunakan hal itu untuk membangun reputasi Ding Tao sebagai orang yang adil.   Perselisihan baik kecil maupun besar, dalam dunia persilatan, tidak urung membawa korban.   Itu sebabnya keteguhan Ding Tao untuk menolak belajar dari kitab-kitab pemberian Murong Yun Hua pun mulai goyah.   Jika dibandingkan korban jiwa yang sering terjadi akibat keputusannya.   Sekedar melanggar sopan santun dunia persilatan dengan mempelajari ilmu-ilmu aliran lain terlihat begitu remeh.   Ding Tao masih duduk merenungkan cara untuk mengalahkan Tetua Xun Siaoma, ketika dia mendengar suara pintu diketuk.   "Siapa itu?", tanya Ding Tao sambil bangkit berdiri dan membenahi pakaiannya.   "Aku ketua Chou Liang", sahut orang yang berada di luar.   Mengenali suara Chou Liang, Ding Tao pun bertanya-tanya dalam hati, tidak biasanya Chou Liang mengganggu jam latihannya.   Dengan segera dia berjalan untuk membukakan pintu.   "Kakak Chou Liang, mari masuk.   Ada apakah gerangan hingga kakak mencariku? Apakah ada masalah yang gawat?", tanya Ding Tao setelah membukakan pintu buat Chou Liang.   Sembari berjalan bersama Ding Tao masuk ke dalam, menuju ke salah satu bangku-bangku panjang yang berada di ke empat sisi ruangan, Chou Liang menjawab.   "Tidak ada masalah gawat yang muncul.Hanya saja aku agak heran, mengapa Ketua Ding Tao tidak ikut mengantar kepergian Saudara Ma Songquan dan Nyonya Chu Linhe berangkat. Apakah Ketua Ding Tao merasa kurang sehat?" "Oh, begitu rupanya Tidak ada apa-apa, hanya saja percakapan kami mengingatkanku akan kemampuanku yang masih kurang. Sehingga aku ingin berlatih dan mencoba menguraikan beberapa masalah.", jawab Ding Tao sambil duduk ke salah satu bangku yang ada. "Oh jadi bagaimana dengan hasil latihan Ketua Ding Tao selama ini? Apakah akhirnya Ketua Ding Tao berhasil menemukan cara untuk menang melawan Tetua Xun Siaoma?", ujar Chou Liang sambil menganggukkan kepala tanda mengerti. Sudah sering mereka bercakap-cakap. Chou Liang pun sudah tahu benar, bagaimana Ding Tao akhir-akhir ini berlatih melawan bayangan Xun Siaoma yang ada dalam benaknya. Hampir tidak ada hal yang disembunyikan Ding Tao dari Chou Liang. Chou Liang sendiri orang yang pandai mengajak bicara dan mengorek keterangan dari lawan bicaranya. Ditanya demikian oleh Chou Liang, Ding Tao hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum getir.   "Sayangnya tidak meskipun sudah ada kemajuan, namun pada akhirnya aku selalu berhasil dikalahkan olehnya."   Chou Liang tersenyum menenangkan.   "Ketua jangan berkecil hati, aku juga sering bermain catur melawan diriku sendiri untuk membuang-buang waktu dan tahu betapa sulitnya untuk menang, sementara diriku tahu apa maksud dari setiap langkah yang kujalankan."   Ding Tao tertawa kecil.   "Ya bisa juga demikian Entahlah, aku hanya tidak memiliki keyakinan yang cukup tentang pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan. Kakak Chou Liang, seandainya aku tidak berhasil menduduki kursi itu, apakah menimbulkan banyak masalah?" "Hmm seandainya tidak ada kejadian pembantaian keluarga Huang di kota Wuling mungkin keadaannya tidak terlalu mengkhawatirkan. Meskipun menurut pendapatku tidak ada banyak bedanya. Yang jadi masalah adalah adanya gerakan Ren Zuocan yang diam-diam menjalin hubungan dengan tokoh persilatan dari dalam perbatasan. Siapa orangnya masih gelap, yang terlihat hanya cecunguk macam Tiong Fa. Tapi dari keterlibatan seorang tokoh semacam Pan Jun, bisa kita bayangkan, kekuatan mereka tidak bisa diremehkan. Jika mereka juga ikut dalam pemilihan tersebut", jawab Chou Liang dengan akhir yang menggantung. "Bisa jadi, orang yang menjadi Wulin Mengzhu tidak lain adalah kaki tangan Ren Zuocan.", ujar Ding Tao menyelesaikan jawaban Chou Liang. "Ya benar, bisa jadi kedudukan tersebut justru dipegang oleh orang yang sudah menjalin hubungan dengan Ren Zuocan. Satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa hal itu tidak terjadi, Ketua Ding Tao harus bisa memenangkan kedudukan tersebut.", jawab Chou Liang serius. "Jika kita berpikir demikian, bukankah juga banyak di luar sana yang berpikiran sama? Kemudian apa yang akan terjadi dalam pemilihan nanti? Sesama patriot yang cinta negara akan saling berlawanan demi sebuah kedudukan, didorong oleh ketakutan yang sama. Pada akhirnya Ren Zuocan tetap saja akan mengambil keuntungan.", keluh Ding Tao dengan sedih. "Ketua Ding Tao benar, dengan adanya lawan yang tersembunyi dalam gelap seperti saat ini. Kita berada di posisi yang serba salah. Tapi kukira masih ada kemungkinan untuk menghindari bentrokan yang merugikan pihak sendiri.", ucap Chou Liang dengan sungguh-sungguh. "Benarkah itu Kakak Chou Liang? Cara apa itu?", tanya Ding Tao penuh perhatian. "Hanya saja, cara ini Ketua Ding Tao tidak perlu pikirkan terlalu mendalam. Cara ini memang bisa dikatakan cara yang terbail. Hanya sayang, dalam pelaksanaannya terlampau bergantung pada satu orang.", jawab Chou Liang sambil menggelengkan kepalanya, menolak sendiri usulan yang dia ajukan. "Tunggu dulu, jangan terburu memutuskan sesuatu. Coba kakak ceritakan dulu cara yang kakak maksudkan. Jika memang cara ini bisa menghindarkan jatuhnya banyak korban. Meskipun harus mengorbankan diriku sendiri, aku tidak keberatan mencobanya.", desak Ding Tao dengan penuh harap. Chou Liang terdiam dan berpikir beberapa lama, sementara Ding Tao menunggu jawaban darinya dengan tidak sabar. Beberapa kali Chou Liang seperti ingin mengatakan sesuatu namun dibatalkan. Akhirnya Chou Liang berbicara juga, meskipun dengan wajah serba susah.   "Cara ini kalau kupikir lagi sebenarnya bisa dikatakan bukan cara yang baik. Tapi kakau Ketua Ding Tao mau tahu, baiklah akan kukatakan." "Jika dalam perebutan kursi Wulin Mengzhu itu, Ketua Ding Tao bisa menunjukkan kemampuan yang jauh melampaui kemampuan dari semua peserta yang ada. Dengan sendirinya mereka yang melihat hal itu akan mundur sebelum mencoba. Dengan kemampuan yang jauh lebih tinggi dari lawan, Ketua Ding Tao juga tentunya akan mampu mengalahkan lawan tanpa melukainya.", ujar Chou Liang sambil tersenyum kecut. Mendengar jawaban Chou Liang, Ding Tao pun menggelengkan kepala dengan sedih.   "Bisa jadi benar, tapi hal itu mana mungkin terjadi. Melawan Tetua Xun Siaoma saja aku masih belum memiliki keyakinan. Apalagi hendak menundukkan semua lawan dalam perebutan kedudukan Wulin Mengzhu dengan gemilang."   Chou Liang menganggukkan kepala tanda setuju sambil tersenyum kecut.   "Ya bukankah sudah kukatakan. Untuk sejenak lamanya cara itu seperti cara yang baik. Hanya sayang terlalu tidak masuk akal. Sama saja seperti mengharapkan langit menurunkan dewa bermata tiga untuk berdiri di pihak kita."   Ding Tao ikut tersenyum kecut mendengar perkataan Chou Liang itu. Menghela nafas panjang, Chou Liang pun berkata.   "Yah begitulah, mengharapakan keajaiban terjadi memang tidak salah, hanya saja kita harus berusaha sekuat tenaga kita tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Andai saja ada cara agar Ketua Ding Tao bisa mempelajari ilmu-ilmu dari setiap aliran. Bukankah dikatakakan dalam seni berperang, tahu diri sendiri dan lawan, 100 kali berperang, 100 kali menang."   Tergerak hati Ding Tao mendengar perkataan Chou Liang, tahu diri sendiri dan tahu lawan, 100 kali berperang, 100 kali menang.   Jika dia mempelajari kitab-kitab yang dibawa Murong Yun Hua, bukankah hal itu akan jadi kenyataan? Jika dia tahu setiap gerak tipu, serangan dan pertahanan lawan, maka dengan mudah dia bisa bertahan dan menyerang.   Dalam bertarung pun dia tidak perlu menirukan gerakan lawan, yang penting dia sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh lawan, tentu dia dapat memikirkan cara untuk mematahkannya.   Melihat Ding Tao termenung, Chou Liang pun cepat-cepat berkata.   "Sudahlah Ketua Ding Tao, jangan dipikirkan perkataan ngawurku tadi. Asalkan ketua bisa menunjukkan bahwa ilmu ketua tidaklah di bawah peserta yang lain, hal itu sudah cukup. Percayalah, Chou Liang akan berusaha menggalang kekuatan untuk memastikan keberhasilan ketua. Dalam kenyataannya dukungan dari sahabat-sahabat Partai Pedang Keadilan cukup besar."   Ding Tao hanya menganggukkan kepala setengah hati, menanggapi usaha Chou Liang untuk menghibur dirinya itu.   "Apakah Ketua Ding Tao ingin melanjutkan kembali latihan?", tanya Chou Liang bersiap untuk berpamitan.   "Ya, waktu yang tersisa ingin kugunakan sebaik-baiknya.   Moga-moga pada waktunya nanti aku tidak mengecewakan kalian semua.", jawab Ding Tao.   "Baiklah kalau begitu aku pamit lebih dahulu.   Kuharap Ketua Ding Tao, jangan pula terlalu memaksakan diri.   Setiap manusia memang ada keterbatasan, asalkan ketua sudah berusaha semaksimal mungkin, apapun hasilnya pada pemilihan Wulin Mengzhu nanti, tidak ada yang perlu disesalkan.", ujar Chou Liang.   Setelah sekali lagi berpamitan, Chou Liang akhirnya meninggalkan Ding Tao sendirian didalam ruang latihan.   Setelah menutup pintu, Ding Tao berjalan ke tengah ruangan, kemudian duduk bersila.   Benaknya penuh dengan pertanyaan, tidak terpikir lagi untuk berlatih, melainkan Ding Tao ingin terlebih dahulu mengambil keputusan, akankah dia mempelajari isi dari kitab-kitab yang dibawa Murong Yun Hua ataukah dia akan terus berlatih seperti yang selama ini dia lakukan? Sambil menggigit bibir Ding Tao pun bertanya pada diri sendiri, apakah terus berlatih seperti yang dia lakukan selama ini, akan membawa dia melangkah lebih jauh lagi? Ataukah kemampuannya untuk mengembangkan diri sudah sampai pada batasnya? Teringat dahulu ketika dia hendak mengikuti ujian kenaikan tingkat dalam keluarga Huang, melatih jurus-jurus yang sama, mencoba menyelaminya, semuanya terasa seperti membenturkan diri melawan tembok yang kokoh.   Namun saat pencerahan itu datang, terobosan itu terjadi dan tiba-tiba dia memahami segala sesuatunya dengan pengertian yang lebih dalam.   Saat ini pun dia mengharapkan hal yang sama.   Berbulan-bulan lamanya, dia menghabiskan sekian banyak waktu untuk memerah tenaga dan pikiran, tapi masih saja mendapati jalan buntu.   Dia menantikan saat-saat di mana pikirannya berhasil memecahkan kebuntuan itu, namun saat itu tidak juga kunjung datang.   Di saat yang sama, Murong Yun Hua sudah menyediakan jawaban bagi persoalan yang dia hadapi.   Jika dia tidak memanfaatkan kesempatan yang sudah dihadirkan ini, apakah masih bisa dikatakan bahwa dia sudah berusaha sekuat tenaga? Jika sampai jatuh banyak korban dalam pertemuan Wulin Mengzhu nanti, apakah dia bisa tidur dengan nyenyak, mengetahui bahwa dia memiliki kesempatan untuk mencegah hal itu terjadi namun tidak mengambilnya? Lama Ding Tao menutup mata dalam sikap duduk bersila.   Lama dia berpikir, menimbang dan bertanya.   Akhirnya dia membuka mata dengan satu keputusan sudah terbentuk dalam hatinya.   Ding Tao pun berjalan keluar dari ruangan latihan itu, pergi menuju ke tempat dia tinggal bersama kedua isterinya.   Ada kalanya seseorang harus mengaku bahwa sikap yang dia ambil tidaklah tepat.   Banyak orang merasa malu untuk mengakui kesalahan, padahal berkeras pada hal yang salah justru menunjukkan kekerdilan hati seseorang.   Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, hanya saja ada yang berani mengakuinya dan ada yang tidak mau mengakuinya Selesai masalah pertama, masih ada masalah kedua.   Hari itu juga, segera setelah Chou Liang menjalankan siasatnya dibantu oleh sepasang suami isteri, Ma Songquan dan Chu Linhe, Ding Tao pergi untuk menemui Murong Yun Hua.   Dalam hati terselip juga rasa malu, malu untuk mengakui kesalahan.   Bukankah suami itu kepala keluarga, pemimpin dari keluarganya.   Betapa sering kedudukan ini, membuat suami merasa dirinya harus menjadi manusia yang tidak pernah bersalah, pun jika terbukti dirinya bersalah.   Memang seorang pemimpin, harusnya tidak membuat kesalahan.   Namun sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan, seharusnya pemimpin juga sanggup untuk mengakui kesalahannya.   Dengan begitu, jalan menuju pada yang benar akan terbuka.   Jika karena malu, seorang pemimpin tidak bersedia mengakui kesalahannya, maka hilang pula kesempatan untuk memperbaiki kesalahan tersebut.   Bahkan lebih buruklagi, bila langkah tersebut diambil oleh seorang pemimpin, maka biasanya yang terjadi adalah, kesalahan tersebut ditutupi dengan cara yang mengundang kesalahan-kesalahan lain.   Sehingga perlahan-lahan, pimpinan yang tadinya baik, bisa berubah menjadi pembawa mala petaka bagi mereka yang dipimpinnya.   Bagusnya Ding Tao bukan jenis pemimpin yang demikian.   Sadar atau bahkan terlalu sadar bahwa dirinya bukan orang paling bijaksana di dunia ini, Ding Tao tidak segan-segan untuk mengakui kesalahannya.   Termasuk mengakui kesalahannya pada isteri-isterinya.   Murong Yun Hua sedang bersenda gurau dengan adiknya Murong Huolin di taman, saat Ding Tao datang untuk mengakui kesalahannya.   "Kakak Ding Tao, wah tidak biasanya belum waktunya makan siang sudah datang", ujar Huolin sambil berlari kecil menyambut Ding Tao, disusul oleh Murong Yun Hua di belakangnya.   Murong Yun Hua tentu saja tidak bisa berlarian seperti Murong Huolin, perutnya sudah bertambah besar saja.   Jika tidak ada aral melintang tentu 2 bulan lagi dia akan melahirkan.   Ding Tao menyambut Murong Huolin yang ceria dengan senyum di wajahnya, tangannya dengan serta merta menggenggam mesra tangan gadis itu.   Bergandengan mereka berjalan ke arah Murong Yun Hua yang datang menyusul.   Ding Tao pun berkata.   "Sebenarnya aku datang karena ada satu urusan dengan kakakmu, Yun Hua." "Oh kusangka kakak rindu padaku, ternyata yang dirindukan adalah Kakak Yun Hua, aduh malunya", keluh Murong Huolin dengan manja. "Hush jangan sembarangan.., ini masalah Partai Pedang Keadilan.", jawab Ding Tao sambil mencubit Murong Huolin dengan lembut. "Masalah partai? Apakah ada masalah genting dalam partai kita?", tanya Murong Huolin dengan nada yang lebih serius. Karena sudah sampai pula ke dekat Murong Yun Hua, maka Ding Tao pun dengan segera meraih tangan Murong Yun Hua untuk digandengnya pula. Dengan menggandeng dua orang isteri yang cantik di kiri dan kanannya, Ding Tao berjalan ke arah bangku-bangku yang ada. "Dikatakan masalah yang genting tidak juga. Tetapi bukan berarti tidak penting. Hal ini ada hubungannya dengan pemilihan Wulin Mengzhu yang akan diadakan dalam beberapa waktu ke depan, hitungan bulan.", ujar Ding Tao menjelaskan. "Ah apakah hubungannya dengan diriku?", tanya Murong Yun Hua. "Soal itu, ada hubungannya dengan apa yang pernah kita bicarakan sebelumnya. Mengenai koleksi kitab-kitab, milik keluarga Murong. Aku sudah banyak berpikir dan harus kuakui, sebelumnya aku sudah terlalu kaku dalam memikirkannya. Saat ini waktu yang tersisa semakin sedikit, sementara aku tidak memiliki keyakinan yang kuat untuk maju dalam pemilihan tersebut. Jika imbangan kekuatan dalam pemilihan tersebut, tidak berbeda jauh, bukan tidak mungkin akan jatuh korban dari kalangan sendiri. Aku ingin berusaha sebisa mungkin untuk menghindari jatuhnya korban.", jawab Ding Tao menjelaskan. Murong Huolin yang mendengarkan, tidak berani banyak berkomentar, hanya pandang matanya saja yang terarah pada Murong Yun Hua. Sebaliknya Murong Yun Hua dengan senyum menyambut jawaban Ding Tao. "Syukurlah kalau Adik Ding Tao memutuskan demikian. Sebenarnya apakah kitab-kitab itu akan bermanfaat atau tidak, aku sendiri tidak bisa mengatakan dengan pasti. Tapi jika aku bisa membantu Adik Ding Tao, sesedikit apapun, hal itu akan membuatku senang.", ujarnya sambil meremas tangan Ding Tao dengan mesra. "Bantuan Enci Yun Hua sudah terlampau banyak, tempat ini pun terasa lebih menyenangkan untuk ditinggali setelah kedatangan kalian berdua. Jika kitab-kitab itu tidak bermanfaat, maka kesalahan terletak pada otakku yang bebal. Aku berjanji akan berusaha segiat mungkin untuk mempelajarinya dan tidak menyia-nyiakan kebaikan Enci Yun Hua.", jawab Ding Tao sambil mencium lembut pipi Yun Hua. "Aduh irinya Aku pun ingin bisa membantu Kakak Ding Tao. Apa daya aku tidak sepandai Enci Yun Hua.", keluh Huolin sambil tersenyum menggoda. "Hahaha kenapa harus iri. Adik Huolin juga sudah banyak membantuku dengan cerita-cerita yang lucu. Jika tidak kepalaku tentu sudah pecah menghadapi urusan partai setiap hari.", ujar Ding Tao, tidak lupa memberikan kecupan mesra di pipi Murong Huolin. Sembari mendudukkan badan mereka ke bangku yang terdekat, ketiganya pun bertukar cerita mengenai apa yang mereka alami hari itu. Setelah bercakap-cakap mengenai hal-hal yang ringan, Murong Yun Hua kembali mengarahkan pembicaraan mereka pada hal yang penting. "Adik Ding Tao, kitab-kitab itu cukup banyak, sudahkah memikirkan kitab mana dulu yang akan dibaca dan mana yang akan ditekuni? Ataukah adik akan membaca dulu semuanya secara sekilas sebelum memutuskan akan mempelajari kitab yang mana?", tanya Murong Yun Hua. "Tentang hal itu sudah kupikirkan baik-baik. Aku tidak akan memilih ilmu tertentu untuk dipelajari, melainkan lebih menekankan pada mengenali setiap kelebihan dan kekurangan ilmu dari berbagai aliran. Dengan begitu aku bisa menemukan cara untuk mengalahkan lawan tanpa harus terlalu banyak mencuri belajar dari mereka.", jawab Ding Tao. "Oh begitu, maksud kakak, kakak hanya ingin menemukan cara untuk menghadapi setiap aliran dengan ilmu yang kakak kembangkan sendiri?", tanya Murong Huolin untuk menegaskan. "Ya, begitulah. Sebisa mungkin aku akan berusaha untuk tidak mencuri ilmu dari aliran lain. Namun jika memang hal itu tidak bisa dihindarkan, misalnya ketika ilmu itu bisa menjadi pelengkap yang baik dari apa yang sudah kutekuni, maka sebisa mungkin aku menekuninya dengan meleburkannya dengan ilmu yang sudah kumiliki dan bukan menirunya mentah- mentah.", jawab Ding Tao. "Apakah ada cukup waktu untuk melakukan hal itu?", tanya Murong Huolin dengan wajah khawatir. Alis Ding Tao pun berkerut memikirkan hal itu, dengan ragu dia menggelengkan kepala.   "Sebenarnya aku sendiri tidak yakin, namun yang bisa dilakukan hanyalah berusaha mempelajari sebanyak mungkin dalam waktu yang tersisa. Kalaupun tidak bisa mempelajari semuanya, setidaknya dari yang sudah dipelajari akan membuat pengetahuanku menjadi lebih lengkap." "Kalau begitu, biarlah kitab-kitab yang memuat ilmu-ilmu andalan dari perguruan besar dipelajari terlebih dahulu. Dengan kitab yang menerangkan jurus lebih diutamakan daripada kitab yang berkenaan dengan pengolahan tenaga.", ujar Murong Yun Hua setelah mendengarkan penjelasan Ding Tao. Ding Tao pun mengangguk membenarkan.   "Kurasa itu salah satu jalan yang baik."   Murong Yun Hua termenung beberapa saat kemudian bertanya.   "Adik Ding Tao, apakah membutuhkan obat pengetahuan dewa untuk mempercepat proses pembelajaran ini?"   Ding Tao terdiam dan berpikir, Murong Huolin-lah yang terlebih dahulu berkata.   "Kakak, kurasa terlalu banyak menggantungkan diri pada obat-obatan tidaklah baik. Kakak Ding Tao sudah mendapatkan banyak perkembangan setelah meminumnya. Meminumnya kembali bukan hanya belum tentu memberikan hasil seperti yang lalu, tapi juga tentu memiliki resikonya sendiri."   Ding Tao memandang Murong Huolin sejenak, kemudian tersenyum dan menjawab.   "Adik Huolin benar, sejak meminum obat itu untuk berapa lama, memang sekarang kerja otakku jadi lebih encer. Meskipun setelah berhenti meminumnya beberapa bulan, tidak kurasakan daya kerjanya menurun. Kupikir lebih baik, kali ini aku tidak meminumnya kembali. Terlalu banyak pun kurasa tidak akan baik jadinya."   Murong Huolin terlihat bersyukur mendengar jawaban Ding Tao.   Murong Yun Hua pun menganggukkan kepala setelah mendengarkan jawabannya.   "Hal itu pun baik, ada kalanya karena mengharapkan keajaiban seseorang jadi terlalu bergantung pada obat-obatan.   Jika setelah berhenti meminumnya Adik Ding Tao tidak merasakan penurunan dalam kerja otak dan syaraf Adik Ding Tao, maka hal itu menunjukkan satu perubahan yang sudah mapan dalam sistim syaraf Adik Ding Tao dan obat itu sudah tidak diperlukan lagi.", ujar Murong Yun Hua sambil tersenyum.   "Kapan kakak akan mulai mempelajari kitab-kitab itu?", tanya Murong Huolin.   "Waktunya tinggal sedikit, makin cepat, makin baik.", jawab Ding Tao dengan ringkas.   Mendengar jawaban Ding Tao Murong Yun Hua menganggukkan kepala dan bangkit dari duduknya.   "Jika adik sudah berketetapan demikian, baiklah kita mulai saja sekarang.   Kitab-kitab itu kusimpan dalam kamar, sekarang kita bisa pergi ke sana dan mengambil satu kitab untuk dibawa Adik Ding Tao ke ruang latihan.   Sambil Adik Ding Tao mempelajarinya, aku dan Adik Huolin akan memilah-milah kitab-kitab yang lainnya sambil juga menyiapkan segala keperluan Adik Ding Tao nanti.   Kukira setelah ini, Adik Ding Tao akan menghabiskan banyak waktu di ruang latihan.", ujar Murong Yun Hua dengan tegas.   Ding Tao menganggukkan kepala, dia tidak keberatan dengan sikap Murong Yun Hua yang terkadang bertindak sebagai seorang kakak terhadap adiknya.   Lagipula sejak awal, memang itu pula yang dia pikirkan.   Mereka berdua menunjukkan tekad yang kuat, hanya Murong Huolin sedikit muram membayangkan akan berjauhan dengan Ding Tao dalam waktu yang lama.   Dengan cara kerja yang cepat dan tepat, tanpa banyak membuang waktu untuk hal-hal yang tidak penting, tidak lama setelah itu, Ding Tao sudah berada di dalam ruang latihan, membaca dan menekuni sebuah kitab.   Karena sudah pernah membaca kitab yang menjadi salah satu sumber ilmu perguruan Kongtong, Ding Tao memilih kitab- kitab dari perguruan tersebut untuk dipelajarinya pertama kali.   Dalam benaknya dia berpendapat, kalaupun waktu yang ada itu tidak memungkinkan untuk memahami semuanya, setidaknya ada satu atau dua yang sudah dimengertinya dengan tuntas, walaupun hanya dalam bentuk teori.   Sementara Murong Huolin memilah-milah kitab-kitab yang ada, sesuai dengan petunjuk Murong Yun Hua.   Murong Yun Hua sendiri memilih untuk mengarahkan para pelayan, mengenai persiapan kebutuhan Ding Tao selama dalam ruang latihan.   Setelah selesai memberikan pengarahan dan juga membantu di dapur beberapa lama.   Murong Yun Hua pun pergi untuk menemui Chou Liang dan menyampaikan rasa terima kasihnya.   Chou Liang pun ikut bergembira melihat siasatnya berhasil dengan baik.   "Syukurlah kalau begitu. Berarti saat ini Ketua Ding Tao sudah mulai mempelajari isi kitab-kitab itu?" "Ya, benar, segera setelah menyampaikan keinginannya pada kami, Adik Ding Tao membawa beberapa   Jilid kitab ke ruang latihan dan mulai mempelajarinya.   Penasehat Chou Liang, melihat keadaannya kukiralebih baik jika Adik Ding Tao tidak diganggu dengan urusan partai sampai waktu yang cukup lama.", ujar Murong Yun hua menjawab pertanyaan Chou Liang.   "Ya tentu saja, kuharap tidak akan muncul masalah yang di luar kemampuanku untuk memecahkannya.   Sebisa mungkin akan kujaga agar tidak ada yang mengganggu pikiran Ketua Ding Tao selama dia berlatih nanti.", jawab Chou Liang.   "Ya, kuharap juga demikian.   Jika tidak maka dengan waktu yang singkat ini, tentu akan sulit untuk mendapatkan hasil yang maksimal.", ujar Murong Yun Hua sambil mendesah.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Sudahlah, kuharap Nyonya jangan terlalu merisaukan hal itu.   Aku percaya Ketua Ding Tao adalah orang yang berbakat.", jawab Chou Liang berusaha menghibur Murong Yun Hua.   Selesai menemui Chou Liang, Murong Yun Hua pun bergegas kembali menemui Murong Huolin dan ikut membantu adiknya itu memilah-milah kitab-kitab yang ada.   Demikianlah keputusan Ding Tao membuat kesibukan rumah itu menjadi meningkat.   Meskipun para pelayan tidak seluruhnya mengerti ilmu silat, namun sebagai bagian dari satu partai besar dalam dunia persilatan mereka memahami pentingnya apa yang dilakukan Ding Tao saat ini.   Dan bersama-sama mereka berusaha untuk mendukung Ding Tao agar berhasil dalam usahanya, meskipun bila hal itu hanya dalam bentuk doa sekalipun.   Entah karena manjurnya doa mereka, atau mungkin karena suasana hati Ding Tao yang baik.   Begitu dia mulai mempelajari isi dari satu kitab, pikirannya bekerja dengan terang.   Semangatpun jadi terbangkit dan pelajaran yang berat jadi terasa menyenangkan.   Ding Tao hampir lupa makan dan minum, jika saja bukan Murong Yun Hua dan Murong Huolin yang sesekali datang menengok mengingatkan dirinya.   Memang benar Ding Tao hanya mempelajari teorinya saja tanpa melatih isi dari kitab-kitab yang dia baca.   Namun tenaga yang diperlukan tidak kalah banyaknya, apalagi Ding Tao seperti orang yang kehausan, berusaha mereguk ilmu-ilmu yang ada sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.   Tanpa terasa beberapa minggu pun sudah lewat, dengan Ding Tao selalu berada di dalam ruang latihan.   Sedikitpun dia tidak pernah beranjak keluar.   Beruntung Partai Pedang Keadilan memiliki orang-orang yang cakap seperti Chou Liang, Sun Liang, Qin Hun, Pendeta Liu Chuncao dan Ma Songquan.   Mereka juga tidak kekurangan orang-orang yang setia dan bisa dipercaya seperti Wang Xiaho, Li Yan Mao dan yang lainnya, mereka ini orang-orang tanpa ragu-ragu akan bersedia mati demi Ding Tao.   Dengan demikian, absennya Ding Tao dari kegiatan Partai Pedang Keadilan tidak mengganggu jalannya partai.   Meskipun tidak mengganggu jalannya roda partai, tidak urung keadaan Ding Tao yang seperti lupa makan dan minum ini membuat hati Chou Liang menjadi risau.   Ma Songquan dan Chu Linhe yang baru saja selesai membasmi kelompok pembegal di Gui Yang, ikut risau pula melihat keadaan Ding Tao.   "Sudah berapa lama Ketua Ding Tao bersikap seperti ini?", tanya Ma Songquan kepada Chou Liang.   Sore itu mereka bertiga sedang duduk-duduk di ruangan kerja Chou Liang.   Setelah selesai dengan tugasnya Ma Songquan dan Chu Linhe memutuskan untuk menginap beberapa hari di markas besar Partai Pedang keadilan di Kota Jiang Ling, untuk menilik hasil dari siasat Chou Liang.   "Sudah 16 hari, sebentar lagi genap 3 minggu Ketua Ding Tao mengurung diri dalam ruang latihan.", jawab Chou Liang dengan wajah murung.   Melihat wajah Chou Liang yang murung, Ma Songquan tertawa dan menjawab.   "Tidak perlu terlalu kuatir, Ketua Ding Tao rupanya juga orang yang keranjingan ilmu silat. Bukan hal yang aneh bila orang jadi lupa waktu, saat bertemu dengan sesuatu yang mengasyikkan." "Hmmm Saudara Ma Songquan, belum bertemu dengan Ketua Ding Tao jadi bisa berbicara demikian. Kalau sudah bertemu, mungkin akan beda lagi pendapatnya.", keluh Chou Liang. "Memangnya seperti apa Ketua Ding Tao sekarang ini?", tanya Chu Linhe penasaran. "Hehh setiap kali bertemu, kulihat dia seperti sudah kehilangan akalnya. Pikirannya hanya penuh terisi dengan ilmu dari kitab-kitab tersebut. Hal-hal lain sama sekali tidak dia hiraukan. Jika bukan kedua Nyonya Murong dan diriku yang mengingatkan untuk makan dan minum, mungkin dia tidak akan makan dan minum sampai berhari-hari." "Oh itu sih biasa", ujar Ma Songquan menenangkan Chou Liang. "Kalian belum melihat tumpukan kitab yang sudah selesai dia baca. Bukankah kalian sendiri mengatakan, paling bijaksana jika Ketua Ding Tao hanya melihat-lihat sekilas, kemudian memilih salah satu kitab untuk ditekuni benar-benar. Tapi jika melihat keadaannya, aku tidak akan heran, jika kenyataannya dia melahap setiap ilmu dalam kitab-kitab tersebut.", gerutu Chou Liang. Mendengar itu Ma Songquan pun jadi mengerutkan kening.   "Hmm apa benar demikian? Masakan Ketua Ding Tao seceroboh itu?" "Hmph, coba saja nanti malam kalian ikut dengan diriku, membawakan makanan untuk Ketua Ding Tao, nanti kalian akan lihat sendiri apa yang membuatku kuatir.", jawab Chou Liang menggerutu. Meskipun mulai merasa khawatir, Ma Songquan meragukan kekhawatiran Chou Liang. Bagaimanapun juga Chou Liang bukanlah seorang pesilat. "Apakah sudah ada yang pernah menengok kondisi Ketua Ding Tao selain dirimu dan kedua isterinya?", tanya Ma Songquan. Chou Liang menggelengkan kepala.   "Belum, pada anggota Partai Pedang Keadilan yang lain aku hanya menyampaikan bahwa Ketua Ding Tao sedang berusaha mempelajari satu ilmu dan tidak bisa diganggu hingga dia selesai."   Ma Songquan termenung mendengar jawaban Chou Liang, sedikit banyak dia bisa meraba alasan apa yang melatar belakangi tindakan Chou Liang yang menyembunyikan keadaan Ding Tao saat ini.   Tidak semua orang akan menerima dengan pikiran terbuka, apa yang sedang dilakukan Ding Tao saat ini.   Contoh saja Sun Liang dari keluarga Sun di Luo Yang, walaupun ilmu mereka tadinya bersumber dari Shaolin, namun sejak beberapa generasi, mereka sudah mengembangkan sendiri ilmu keluarga Sun.   Ilmu yang diwariskan turun temurun dan dijaga ketat.   Atau keluarga Huang sendiri, bukankah ilmu keluarga Huang tidak diwariskan, kecuali pada garis keturunan penerus keluarga Huang? Orang-orang seperti mereka, tentu akan mengerenyitkan alis jika mereka mendengar Ding Tao sedang mempelajari ilmu dari berbagai aliran tanpa ijin dari ketua aliran tersebut.   Bahkan mungkin dalam hati mereka akan bertanya-tanya juga, jangan-jangan ilmu warisan keluarga mereka ada di salah satu kitab-kitab yang dipelajari Ding Tao.   "Hmm sepertinya kita sudah mengambil resiko terlalu besar", gumam Ma Songquan.   "Resiko yang tidak pernah kupikirkan adalah, jika sampai terjadi sesuatu pada Ketua Ding Tao akibat mempelajari kitab- kitab tersebut.   Resiko yang lain masih bisa aku tangani.", sahut Chou Liang dengan suara lirih.   "Soal itu, justru kupikir, resikonya adalah yang terkecil.   Aku sudah melihat bagaimana dia bisa berkembang pesat dalam hitungan bulan, hal itu membuktikan bakatnya yang sangat baik.   Aku juga sudah melihat wataknya yang tidak lapar dan haus pada kekuasaan atau kekuatan.   Itu sebabnya terasa aneh jika Saudara Chou Liang mengatakan, Ketua Ding Tao tampaknya berusaha melahap semua ilmu yang ada dalam kitab-kitab itu.", jawab Ma Songquan.   "Kukira, kukira dalam hal ini aku ada sedikit salah perhitungan", ujar Chou Liang dengan wajah memucat dan hati berdebar.   "Apa maksud Saudara Chou Liang?", tanya Ma Songquan.   Lama Chou Liang terdiam sebelum kemudian menjawab.   "Tadinya aku hanya berpikir untuk memancing Ketua Ding Tao, agar tergerak untuk mempelajari kitab-kitab tersebut. Mengenal wataknya yang keras kepala dalam hal-hal prinsip, sepertinya skenario yang kuatur terlalu berlebihan." "Dari yang kudengar lewat Nyonya Yun Hua, tampaknya Ketua Ding Tao ingin mempelajari seluruh kitab-kitab tersebut meskipun hanya terbatas pada teorinya saja." "Hoo mempelajari seluruh kitab tanpa memilih salah satu ilmu untuk dikuasai dengan baik?", gumam Ma Songquan sementara otaknya berpikir cepat. "Hmm kukira aku mengerti", gumam Ma Songquan perlahan-lahan. "Apa yang kakak mengerti?", tanya Chu Linhe yang sejak tadi mendengarkan. "Mudah saja, kelemahan Ketua Ding Tao yang terbesar adalah pengalaman bertarungnya. Hal itu pula yang kita tekankan. Dengan mengenali seluruh ilmu-ilmu yang tercatat dalam kitab itu, sama saja dengan menambah pengalaman bertarungnya melawan berbagai aliran tanpa sungguh-sungguh bertarung. Setelah itu, dia bisa memikirkan pemecahan dari setiap serangan dan kelemahan dari setiap pertahanan. Dengan cara itu, tanpa mencuri belajar ilmu dari aliran lain, dia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengalahkan mereka.", ujar Ma Songquan menjelaskan. "Jika Ketua Ding Tao bukan sedang berusaha menguasai ilmu-ilmu tersebut. Bukankah bahayanya bisa dibilang hampir tidak ada? Salah jalan hanya terjadi jika seseorang berusaha menguasai satu ilmu dan pikirannya bercabang, hingga hawa murni yang diperkuat, lepas kendali dan menjadi liar. Sedangkan saat ini, Ketua Ding Tao tidak sedang berusaha menguasai satu ilmu pun, resiko tersesatnya hawa murni bisa dibilang tidak ada? Bagaimana menurut kakak, benar tidak pemikiranku ini?", tanya Chu Linhe. Ma Songquan tidak langsung menjawab, sementara Chu Linhe dan Chou Liang menantikan jawabannya dengan penuh harap. Jika benar uraian Chu Linhe, itu artinya Chou Liang pun boleh bernafas lega, mereka semua boleh bernafas lega. "Uraianmu tidaklah salah, namun keadaan Ketua Ding Tao saat ini juga tidak bisa dikatakan aman dari bahaya. Yang pertama, hawa murni bergerak mengikuti pikiran dan kehendak. Jika dalam mempelajari kitab-kitab tersebut, Ketua Ding Tao tidak berhati-hati, maka bisa jadi tanpa sadar, pikiran dan kehendaknya tergerak untuk melakukan apa yang sedang dia baca." "Yang kedua, meskipun hanya menggunakan pikiran saja, sementara kehendak ditidurkan dan hati dijaga ketenangannya. Bukan berarti tidak ada resiko mengalami kesesatan. Bagaimana pun juga untuk mempelajari ilmu itu, pikiran harus bekerja, maka ada kemungkinan akan mengalami kesesatan juga. Hanya saja, kesesatan yang terjadi tidak mengakibatkan kelumpuhan, seperti yang biasa terjadi saat seorang pesilat yang melatih hawa murni mengalami salah jalan. Namun yang terjadi adalah kegilaan, kepribadiannya yang akan terganggu.", jelas Ma Songquan dengan nada prihatin. Mendengar jawaban Ma Songquan, wajah Chou Liang berubah semakin pucat. Chu Linhe yang melihatnya merasa kasihan juga, apalagi dirinya dan suaminya juga tersangkut dalam masalah yang sama. Maka dengan nada prihatin dia bertanya pada Ma Songquan. "Jika begitu, apakah tidak ada yang bisa kita lakukan?" "Hmm pada saatnya mengantarkan makanan nanti, kita akan ikut menjenguk dan melihat keadaannya. Jika memang pikirannya terlampau jauh terseret dalam pembelajarannya, kukira asalkan kita bisa menghentikan Ketua Ding Tao untuk berpikir beberapa lama, resiko yang kita kuatirkan bisa dikurangi.", ujar Ma Songquan setelah berpikir beberapa lama. "Ah kalau benar demikian, mengapa harus menunggu nanti. Baiklah kita datangi dia sekarang.", ujar Chou Liang sambil bangun dari duduknya. Tapi Ma Songquan menggelengkan kepala.   "Tidak, lebih baik pada waktu kita mengantarkan makanan." "Mengapa demikian? Bagaimana jika terlambat?", tanya Chou Liang tidak mengerti. "Bukankah biasanya makanan dan minuman diantarkan pada waktu yang sama?", tanya Ma Songquan. "Ya, benar, kedua nyonya tidak pernah terlambat untuk menyiapkan makanan dan minuman. Semuanya selalu siap pada saatnya.", jawab Chou Liang. "Pada saat makanan dan minuman diantarkan, apakah Ketua Ding Tao bisa makan dan minum sendiri?", tanya Ma Songquan. "Tentu saja, hanya saja bisa terlihat bahwa pikirannya banyak tertuju pada hal-hal di luar apa yang sedang dia lakukan saat itu.", jawab Chou Liang. "Lalu apakah pernah kau atau kedua nyonya mengajaknya bicara di waktu dia makan dan minum tersebut?", tanya Ma Songquan. "Ya, tentu saja pernah, menunggui dia makan tanpa berkata-kata apa pun tentu saja terasa aneh. Lagipula pikiran Ketua Ding Tao yang tampak melayang-layang membuat suasana jadi terasa sedikit aneh. Jadi meskipun tidak banyak selalu ada percakapan pada waktu-waktu tersebut. Sekedar untuk mengisi kekosongan dan mencairkan suasana.", jawab Chou Liang. "Hmm jadi ada kemungkinan, setelah berhari-hari melakukan rutinitas yang sama, yang dimulai jauh sebelum pikirannya semakin masuk dalam pembelajaran, secara alami sebuah kebiasaan sudah terbentuk. Setidaknya pada waktu-waktu tersebut, pikiran Ketua Ding Tao, dengan sendirinya menyediakan sebagian kemampuannya untuk makan, minum dan juga berinteraksi dengan kalian.", ujar Ma Songquan setelah puas bertanya. Mendengar perkataan Ma Songquan, Chou Liang pun perlahan-lahan kembali duduk sambil menganggukkan kepala tanda paham. Chou Liang bukan orang bodoh, tentu saja dia bisa memahami alasan Ma Songquan. "Ya dengan memanfaatkan kebiasaan yang sudah terbentuk, kita sengaja datang pada saat pikiran memberikan celah bagi kita untuk masuk.", gumamnya. "Benar jika bukan di saat-saat itu, kukira, dengan daya konsentrasinya yang tinggi. Sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan Ketua Ding Tao, di saat dia sedang memfokuskan pikirannya pada kitab yang sedang dia pelajari.", ujar Ma Songquan. "Baiklah, kalau begitu kita menunggu terlebih dahulu. Omong-omong, Saudara Ma Songquan dan Nyonya Chu Linhe, kuharap tetap berada di Jiang Ling sampai masalah ini selesai. Di Wuling sudah kuminta Saudara Sun Liang dan puteranya, dibantu Qin Bai Yu yang sekarang bersahabat dekat dengan Sun Gao, untuk mengambil alih pimpinan di kota Wuling sampai kalian berdua kembali ke sana.", ujar Chou Liang. "Baguslah kalau begitu. Di saat seperti ini aku pun tidak ingin berada jauh dari Ketua Ding Tao.", jawab Ma Songquan. Sambil menunggu waktu, ketiganya pun bercakap-cakap mengenai banyak hal lain. Mendekati waktunya, terdengar pintu ruangan diketuk dari luar. Rupanya Murong Huolin datang membawakan makanan dan minuman yang sudah disiapkan untuk Ding Tao. Setelah berbasa-basi sebentar, merekapun pergi bersama-sama menemui Ding Tao dalam ruang latihannya. Di luar ruangan tersebut, sekarang tampak beberapa orang anggota Partai Pedang Keadilan yang berjaga. Panca indera Ma Songquan dan Chu Linhe yang tajam, juga merasakan adanya orang-orang yang berjaga di tempat-tempat yang tersembunyi. Bahkan sudah dimulai dari ratusan meter sebelum mereka sampai di ruangan latihan Ding Tao. Dengan gerakan yang tidak kentara, Ma Songquan melirik Chou Liang dengan alis terangkat. Chou Liang yang paham maksudnya, segera mengangguk sambil tersenyum dan bergumam. "Hanya ini saja yang bisa kulakukan. Setelah kedatangan kalian berdua hatiku tentu akan merasa lebih tenteram."   Rupanya Chou Liang mengkhawatirkan keadaan Ding Tao yang seperti orang ling lung dan menempatkan penjagaan di sekitar ruang latihan itu.   Akan tetapi sebagian besar dari mereka ditempatkan di tempat yang tersembunyi, karena jumlah yang terlampai banyak justru akan memberi sinyal bahwa ada yang kurang beres dengan keadaan Ding Tao.   Serba salah memang, tidak dijaga salah, dijaga pun salah.   Itu juga salah satu sebab Chou Liang merasa cemas beberapa hari ini.   Setiap hari Ma Songquan belum datang, setiap hari itu pula Chou Liang harus tidur dengan jantung berdebar-debar.   Setelah mengetuk pintu dengan ringan, tanpa menunggu jawaban, Murong Huolin mendorong pintu sampai terbuka.   Ding Tao yang sedang duduk dalam posisi bermeditasi, perlahan membuka matanya.   Seperti yang dikatakan Ma Songquan, jam dalam tubuhnya sudah menyesuaikan diri dengan kebiasaan yang berjalan selama beberapa minggu tersebut.   Setelah membuka mata, masih perlu waktu beberapa lama sebelum Ding Tao menyadari hadirnya Ma Songquan dan Chu Linhe.   Ding Tao menatap kosong ke arah kedua orang tersebut, samar-samar otaknya mengenali ada yang berbeda dengan hari biasa.   Namun sebagian besar dari otaknya sedang sibuk menganalisa dan mengurai apa yang dia baca.   Tinggal sebagian kecil yang bersentuhan dengan realita di sekelilingnya dan meskipun dia segera sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda, dia pun butuh waktu cukup lama sebelum memahami apa yang berbeda itu.   Ketika dia mulai memahami keberadaan Ma Songquan dan Chu Linhe, wajahnya pun berubah menjadi cerah, sambil tersenyum dia menyapa mereka berdua.   "Saudara Ma Songquan, Enci Chu Linhe, kalian berdua sudah kembali. Bagaimana kabar kalian?" "Baik, kami semua baik-baik saja. Ada beberapa orang yang luka ringan, namun tidak ada yang serius, masalah pencoleng itu juga semuanya sudah beres. Ketua Ding Tao sendiri, bagaimana kabarnya?", jawab Ma Songquan balik menanya. "Baik baik", jawab Ding Tao sedikit mengambang, sejenak matanya menerawang entah ke mana, sebelum kemudian berfokus kembali pada mereka yang hadir seruangan dengan dirinya. "Ah.. ayolah kita mulai makan, perutku sudah mulai lapar.", ujar Ding Tao kemudian bergerak untuk duduk di kursi-kursi yang sudah disediakan. Makanan dan minuman sudah diatur oleh Murong Huolin dan Chu Linhe, sambil menunggu Ding Tao dan Ma Songquan bercakap-cakap tadi. Setelah mereka duduk bersama, Murong Huolin dengan telaten, mengambilkan nasi dan lauknya untuk Ding Tao. Sementara Ding Tao seperti sebuah robot, mengucapkan terima kasih, sambil mengajak yang lain untuk ikut makan, kemudian dengan lahap dia makan apa yang sudah dihidangkan oleh Murong Huolin dengan pandangan mata yang seringkali kosong. Hanya sesekali matanya terlihat hidup dan perhatiannya terarah pada keadaan di sekelilingnya. Jika ada yang bertanya pada Ding Tao, maka butuh waktu beberapa lama sebelum dia menjawab. Setelah menilik keadaan Ding Tao akhirnya Ma Songquan membuka mulut dan berkata.   "Ketua Ding Tao, apakah tidak bisa berhenti sejenak memikirkan ilmu-ilmu yang sedang ketua pelajari?" "Huh ?", sahut Ding Tao dengan ekspresi wajah kosong. Ma Songquan pun mengulangi lagi pertanyaannya dan harus menunggu beberapa saat sebelum Ding Tao akhirnya menjawab dengan alis berkerut dan nada kurang suka.   "Tentu saja bisa, tapi apakah ada sesuatu yang penting?" "Penting, sangat penting malah dan berhubungan erat dengan perkembangan ilmu dari Ketua Ding Tao. Jika Ketua Ding Tao mau mendengarkan usulanku, kujamin proses belajar Ketua Ding Tao akan menjadi lebih cepat beberapa kali lipat.", jawab Ma Songquan dengan sungguh-sungguh. Mata Ding Tao berkilat saat mendengar bahwa usulan Ma Songquan bisa membantunya dalam mempelajari ilmu dari kitab- kitab yang sedang dia baca.Sebagian perhatiannya mulai bergeser pada Ma Songquan, tanpa sadar dia meletakkan mangkok dan sumpitnya ke meja. Melihat perhatian Ding Tao sudah lebih banyak terarah pada dirinya Ma Songquan melanjutkan usahanya untuk menarik Ding Tao dari pusaran ilmu yang mengikat benaknya. "Sebelumnya, marilah kita coba berlatih tanding untuk menilai sampai sejauh mana Ketua Ding Tao mengalami kemajuan dengan apa yang ketua baca selama ini.", ujarnya sambil melangkah ke tengah ruangan. Sejenak Ding Tao memandangi Ma Songquan dan kemudian menjawab.   "Baik."   Keduanya pun berhadapan di tengah ruangan, Ma Songquan merangkap tangan di depan dada dan berujar.   "Mari Ketua Ding Tao, silahkan dimulai lebih dulu."   Ding Tao mengangguk dan menatap kuda-kuda lawan, segera saja benaknya berputar, segala apa yang sudah pernah dia pelajari berkelebatan dalam otaknya.   Semakin banyak pengetahuannya, semakin banyak kemungkinan-kemungkinan yang dapat dia bayangkan dari kedudukan awal mereka.   Semakin lama, Ding Tao semakin terjebak oleh benaknya sendiri, berputar-putar dengan ingatan akan apa yang sedang dia baca.   Setelah cukup lama menunggu, akhirnya Ma Songquan pun berucap.   "Jika Ketua Ding Tao segan untuk memulai, bagaimana kalau aku yang memulai lebih dulu.", tanyanya dengan sopan.   Dengan ragu-ragu, Ding Tao menganggukkan kepala.   "Silahkan."   Tanpa banyak cakap lagi, Ma Songquan pun mulai menyerang.   "Awas serangan Ketua Ding Tao!"   Serangan yang dilancarkan tidaklah rumit, tapibenak Ding Tao yang masih sibuk memikirkan ilmu-ilmu yang baru dia baca, tidak cukup cepat untuk bereaksi terhadap serangan Ma Songquan yang sederhana.   Menatap kosong pada kepalan Ma Songquan yang bergerak lurus ke depan, tiba-tiba kepalan itu sudah mampir di dadanya.   Tanpa dapat dicegah, Ding Tao terhuyung mundur beberapa langkah sebelum akhirnya jatuh terduduk.   Murong Huolin dan Chou Liang yang menyaksikannya dengan tegang terpekik kaget.   Chu Linhe buru-buru menenangkan mereka yang sudah hendak bergerak menolong Ding Tao.   "Jangan takut, sabar dulu.   Kakak Ma Songquan tahu keadaan Ketua Ding Tao dan membatasi tenaganya.   Biarkan dulu mereka, jangan diganggu.   Pelan-pelan Ketua Ding Tao akan sadar akan keadaannya.", ujar Chu Linhe sambil menahan tangan Murong Huolin dengan lembut.   Dengan ragu Murong Huolin memandang ke arah Chu Linhe, kemudian mengangguk setuju.   Sekali lagi pandang matanya diarahkan pada Ma Songquan dan Ding Tao yang sudah saling berhadapan untuk kedua kalinya.   Meskipun masih ada jejak- jejak kecemasan di raut wajahnya, Murong Huolin tidak lagi memburu ke depan, melainkan menanti dengan tegang.   "Ketua Ding Tao bagaimana keadaan ketua? Apakah bisa kita mulai sekali lagi?", tanya Ma Songquan datar.   Ding Tao yang masih terkejut ketika menyadari betapa Ma Songquan bisa menjatuhkan dirinya dengan mudah terdiam mendengar pertanyaan itu.   Perlahan akal sehatnya mulai bekerja, menganalisa kekalahannya barusan.   Serangan yang sederhana masuk dengan mudah.   Dengan penasaran dia mengangguk perlahan.   "Mari kita mulai lagi. Silahkan Kakak Ma Songquan menyerang lebih dahulu." "Baik, awas serangan!", seru Ma Songquan. Sekali lagi dia menyerang dengan serangan yang sama, kali ini gerakannya lebih cepat dari gerakan sebelumnya. Ding Tao yang sudah lebih berkonsentrasi mengamati gerakan lawan, tidak seterkejut tadi saat kepalan Ma Songquan sudah hampir sampai di dadanya. Namun benaknya masih berkutat dengan apa yang barusan dia pelajari. Bukannya menghindar, dia justru lebih sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan perkembangan selanjutnya. Dengan semakin banyaknya pengetahuan yang ada, semakin terbuka pikirannya terhadap jumlah kemungkinan yang muncul dari satu serangan yang sederhana. Setiap langkah memiliki pecahan kemungkinannya sendiri, jika untuk memikirkan satu langkah ke depan saja sudah puluhan jumlah kemungkinan yang muncul, betapa lebih banyak lagi ketika Ding Tao berpikir dua sampai tiga langkah ke depan. Akibatnya sebelum dia sempat memutuskan apa yang harus dia lakukan, pukulan Ma Songquan yang sederhana tanpa jebakan atau kembangan kembali mampir ke dadanya. Sekali lagi Ding Tao tersurut mundur, beberapa langkah ke belakang dan jatuh terduduk. Kembali Murong Huolin dan Chou Liang terpekik kecil. Dada mereka ikut berdebar, tidak sabar dan cemas, menyaksikan pertarungan yang bodoh ini. Ding Tao sendiri bukannya tidak sadar dengan pekik kaget mereka, wajahnya pun berubah merah oleh malu dan rasa penasaran. Bagaimana mungkin dia bisa dijatuhkan semudah ini? Seperti seorang anak yang baru belajar ilmu bela diri. Dengan menggeram dia bangkit berdiri dan sebelum Ma Songquan sempat bertanya, dia sudah berkata.   "Mari kita coba sekali lagi, silahkan Kakak Ma Songquan mulai menyerang lebih dulu." "Baiklah, awas serangan!", seru Ma Songquan yang segera menyerang tanpa ragu lagi. Dua kali di amenyerang dengan pukulan yang sederhana, kali ini Ma Songquan bergerak seperti hendak memukul lurus dengan tangan kiri, namun hanya bahunya yang bergerak maju, di tengah jalan tangan kirinya ditarik ke belakang, sementara tangan kanannya bergerak menebas dari samping. Ding Tao yang sudah bersiap hendak menerima pukulan dari depan, ketika melihat perubahan gerakan Ma Songquan, tiba-tiba kembali lagi benaknya diserang dengan berbagai macam pikiran dari kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tanpa dapat dielakkan, sisi tangan kanan Ma Songquan dengan telak mampi di leher Ding Tao. Beruntung di saat-saat terakhir Ding Tao masih sempat mengumpulkan hawa dan semangat untuk melindungi tempat yang akan terpukul oleh Ma Songquan dengan hawa murninya. Meskipun demikian pukulan itu menyengatnya dengan keras, pusat syarafnya tergetar dan dengan keluhan pendek Ding Tao melompat jauh ke samping, menjauhi kedudukan Ma Songquqn yang sudah siap dengan serangan berikutnya. Ma Songquan tidak memberikan kesempatan pada Ding Tao untuk beristirahat, segera setelah Ding Tao bergeser, diapun memburu dengan sebuah tendangan berputar, menutup gerak menghindar Ding Tao. Kakinya yang panjang bergerak melingkar, menyerang ke arah badan Ding Tao yang sedang bergerak menghindar. Sekali lagi Ding Tao harus menahan nyeri, saat tendangan tersebut dengan telak mengenai sisi tubuhnya. Dengan menggunakan tenaga dorongan kaki Ma Songquan Ding Tao pun melompat, mengikuti arah serangan Ma Songquan, selain mengurangi benturan, juga membantu dia untuk melompat lebih jauh ke arah yang berlawanan. Begitu kaki Ma Songquan menyentuh lantai, dengan segera dia melompat memburu ke depan, sebuah pukulan kembali dilontarkan. Sebuah pukulan lurus ke arah kening Ding Tao yang terbuka lebar, ketika Ding Tao hendak menghindar, ternyata serangan tersebut hanyalah tipuan, justru kaki Ma Songquan yang diam-diam mengambil posisi untuk menendang dan sebuah tendangan menyapu ke arah kaki Ding Tao dilancarkan. Kali ini reaksi Ding Tao lebih cepat daripada sebelumnya. Dengan cepat dia melompat pendek ke atas, menghindari sapuan kaki Ma Songquan, tidak lupa kakinya berbalik mengincar kaki Ma Songquan yang sedang menyerang. Ma Songquan pun menarik mundur serangannya dan bersiap dengan serangan berikutnya. Demikianlah, kemudian keduanya saling bertahan dan menyerang. Semakin Ding Tao menunjukkan kegesitannya, Ma Songquan pun menambah kecepatan serangannua. Perlahan-lahan, otak Ding Tao ditarik keluar dari kungkungan pikiran yang diciptakannya sendiri. Setiap kali Ding Tao berhasil menahan serangan Ma Songquan, Ma Songquan akan bergerak lebih cepat dan menggunakan jurus serangan yang lebih rumit, memaksa benak Ding Tao untuk lebih berkonsentrasi pada pertarungan mereka dan bukan pada ilmu-ilmu yang sedang dia pelajari. Melihat keduanya sekarang bertarung dengan imbang, Murong Huolin dan Chou Liang pun menarik nafas lega. Dengan nada penuh rasa terima kasih, Murong Huolin berkata pada Chu Linhe.   "Enci Chu Linhe, syukurlah, rupanya serangan-serangan Kakak Ma Songquan akhirnya bisa menyadarkan Kakak Ding Tao dari ketidak sadarannya."   Chu Linhe pun tersenyum manis dan membalas.   "Ya, memang itu tujuannya. Namun Kakak Ma Songquan belum sepenuhnya berhasil. Dalam keadaan yang normal, Ketua Ding Tao dapat mengalahkan Kakak Ma Songquan yang bertarung berpasangan dengan diriku dengan mudah. Namun sekarang ini, baru melawan Kakak Ma Songquan saja, dia sudah dibuat keteteran."   Murong Huolin dan Chou Liang mengarahkan kembali pandangan mereka pada pertarungan yang terjadi antara Ding Tao dan Ma Songquan.   Mereka pun dapat melihat kebenaran dari perkataan Chu Linhe.   Memang Ding Tao tidak jatuh dalam satu kali pukulan seperti yang terjadi sebelumnya.   Namun sampai sekarang Ding Tao belum dapat mengimbangi serangan- serangan Ma Songquan, beberapa kali serangan Ma Songquan kena dengan telak dan Ding Tao harus terhuyung sambil mengeluh, menahan nyeri.   Meskipun demikian, perlahan-lahan, keadaan tampak berubah.   Semakin lama gerakan mereka berdua semakin cepat, semakin jarang serangan Ma Songquan mampu menghantam Ding Tao dengan telak.   Setiap rasa sakit yang menyengatnya, membangkitkan rasa marah dan frustasi dalam diri Ding Tao.   Semakin dia marah, semakin sedikit dia memikirkan teori-teori ilmu silat yang saat itu membelenggu benaknya dan semakin cepat reaksi Ding Tao terhadap serangan Ma Songquan.   Perlahan-lahan Ding Tao mulai dapat mengimbangi permainan Ma Songquan.   Chu Linhe pun berpaling ke arah Murong Huolin dan Chou Liang, sambil tersenyum kecil dia berkata.   "Kukira, ini sudah waktunya bagiku untuk bergabung."   Dengan bergabungnya Chu Linhe kembali Ding Tao terdesak dan dipaksa untuk lebih banyak lagi berkonsentrasi pada pertarungan yang ada di depannya dan bukan pada ilmu-ilmu yang sedang dia pelajari.   Murong Huolin dan Chou Liang hanya bisa memandangi pertarungan di hadapan mereka dengan penuh harap.   Melihat setahap demi setahap, Ding Tao terbebas dari jeratan yang menjauhkan dia dari dunia nyata.   Tidak seorangpun dari mereka sadar, bahwa telah terjadi sesuatu di luar, di ruang besar tempat Partai Pedang Keadilan menerima tamu-tamu mereka.    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH

Cari Blog Ini