Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 34


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 34


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Jangan segan untuk mengalah dan merendahkan diri.", jawab Hua Ng Lau "Lalu bagaimana dengan aku ayah? Apakah ada tugas juga untukku?", tanya Hua Ying Ying dengan perasaan harap-harap cemas.   "Ya, tugasmu membawa barang-barang yang kaubeli dan makanan yang sudah dibungkus ini ke rumah", jawab Hua Ng Lau sambil menyengir.   "Ah ayah, jangan bercanda yah", keluh Hua Ying Ying.   "Hehe, tapi tidak juga, untuk sementara ini kukira hanya itu yang bisa kau lakukan, tidak mungkin aku mengajakmu untuk menguntit lawan misalnya dengan bawaan yang banyak itu.   Jangan memikirkan besar kecilnya tugas, tapi lakukan saja apa yang menjadi tugasmu dengan sebaik-baiknya.", Hua Ng Lau terkekeh melihat Hua Ying Ying kecewa.   "Ya sudahlah, lalu ayah sendiri, apa yang akan ayah lakukan?", tanya Hua Ying Ying.   "Aku akan mencoba mengikuti orang Partai Pedang Keadilan dari kejauhan, jika dia bilang ada rekannya yang berhasil dibujuk, mungkin dia akan menemui rekan barunya ini untuk membicarakan hasil pertemuannya.   Mungkin juga tidak, tapi siapa tahu?", jawab Hua Ng Lau pula.   "Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau aku mengawasi Kakak Ren Fu dari kejauhan, siapa tahu nanti dia butuh bantuan.   Mungkin saja anak murid Kunlun yang datang ini termasuk berdarah panas dan tidak mau berhenti sebelum melihat darah tertumpah, aku kan bisa membantu melerai mereka.", ujar Hua Ying Ying.   "Hmm..   boleh juga demikian.   Ren Fu, kau ingat baik-baik ya, kau mencari perkara hanya untuk menyelidiki asal-usul orang itu saja.   Setelah kau merasa cukup meilhat jurus-jurusnya, segera mengalah saja dan sebisa mungkin merendahkan diri supaya dia puas dan berhenti.   Jangan terlampau jauh mendesak lawan, kita tidak ingin memancing kecurigaan lawan-lawan kita.", ujar Hua Ng Lau.   "Aku mengerti guru.", jawab Huang Ren Fu.   "Baiklah kalau begitu, kita mencari tempat untuk menunggu mereka keluar dari rumah makan tanpa terlihat.", ujar Hua Ng Lau.   Akhirnya ketiga orang itu berhenti di sebuah toko yang menjual berbagai macam hiasan rumah.   Hua Ying Ying kembali sibuk melihat-lihat, sementara Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau memperhatikan pintu keluar rumah makan yang baru saja mereka tinggalkan.   Sembari menunggu Hua Ng Lau pun membisikkan nasihat-nasihat untuk Huang Ren Fu.   "Pada saat berkelahi gunakanlah gerakan kaki yang baru saja aku ajarkan pada kalian, tapi kombinasikan dengan ilmu pukulan keluarga Huang.   Keduanya memiliki sumber yang sama dengan ilmu Lohan Chuan dari Shaolin.   Meskipun merugikan dirimu karena kelebihan dari kedua ilmu itu jadi berkurang faedahnya tapi dengan menggabungkan kedua ilmu itu, akan sedikit mengaburkan ilmu apa sebenarnya yang kau pakai." "Aku mengerti guru, tugasku untuk menyelidiki asal usul ilmu lawan dan jangan sampai lawan bisa meraba asal-usulku sendiri." "Benar, ingatlah hal itu baik-baik.   Demikian juga sewaktu membuntuti lawan, bila kau lihat tiba-tiba orang yang kau ikuti itu berhenti, kemungkinan besar dia sedang mengamati apakah ada orang yang mengikutinya.   Jika dua atau tiga kali dia berhenti dan dia melihat orang yang sama sedang berhenti beberapa jauh darinya, maka tahulah dia bahwa dia sedang diikuti."   Sejenak Huang Ren Fu memikirkan hal itu sebelum mengangguk dengna bersemangat.   "Ya, aku mengerti. Cara itu bagus sekali, lain kali jika aku dalam perjalanan yang penting, cara itu bisa kugunakan." "Hehehe, itu baru cara paling umum untuk memeriksa apakah kita sedang diikuti orang atau tidak", ujar Hua Ng Lau sambil tertawa terkekeh. Ketika hendak bertanya lagi, Huang Ren Fu melihat dua orang yang hendak mereka kuntit keluar dari rumah makan. "Guru mereka sudah keluar", ujarnya. "Pergilah kau mengikuti mereka, aku akan menyusul beberapa saat lagi", jawab Hua Ng Lau. "Baik guru", jawab Huang Ren Fu dan dia pun bergegas mengikuti mereka diam-diam. Hua Ng Lau sendiri terlebih dahulu mengabari Hua Ying Ying sebelum diam-diam mengikuti. Hua Ying Ying sesuai pesan Hua Ng Lau, menunggu beberapa saat sebelum menitipkan barang-barangnya dan ikut keluar mengikuti Huang Ren Fu. Kedua orang yang diikuti itu berpisah dan mengambil jalan yang berbeda segera setelah mereka sampai di satu persimpangan. Sejak keluar dari rumah makan pun keduanya sudah bersikap seperti orang yang tidak saling mengenal. Karena sudah membagi tugas sebelumnya, maka tanpa banyak cakap, Huang Ren Fu mengikuti orang yang dicurigai merupakan anak murid perguruan Kunlun, sementara Hua Ng Lau mengikuti yang seorang lagi. Huang Ren Fu sambil terus mengikuti orang yang ada di depannya, terus berpikir bagaimana caranya dia hendak mencari perkara dengan orang itu. Ketika dia melihat orang yang diikutinya berhenti sebentar di seorang penjual kipas dan macam-macam kerajinan tangan lainnya, Huang Ren Fu teringat dengan nasihat Hua Ng Lau. Hmm apakah dia sedang melihat ke sekelilingnya? Mengingat-ingat orang-orang yang ada di sekitarnya, jika aku menunggu sampai dia memeriksa keadaan untuk kedua kalinya, bukankah ada kemungkinan dia akan mencurigaiku?, pikir Huang Ren Fu. Tunggu dulu bukankah tugasku sekarang ini bukan membuntuti dia, tapi mencari perkara dan menguji ilmu silatnya?, berpikir demikian Huang Ren Fu pun membuat keputusan. Pemuda itu terus saja berjalan, tidak berusaha bersembunyi tidak pula ikut berhenti menunggu. Dia berjalan saja tenang- tenang, padahal seluruh panca inderanya bekerja dengan tajam. Pemuda itu mengamati keadaan di sekelilingnya, apa yang dilakukan orang-orang di sekitar itu, terutama mengamati juga gerak-gerik orang yang sedang dia incar. Dia pun menyesuaikan gerakannya dengan gerakan mereka. Hal ini sulit tapi masih dalam kemampuan Huang Ren Fu, karena mereka yang bergerak pun sedang bergerak dengan normal dan sesuai dengan yang diinginkan Huang Ren Fu, dirinya pun berjalan melintas murid Kunlun yang sedang dia incar, menubruk orang di depannya dan terpental menabrak murid Kunlun tersebut. "Hei !" "Hei, hati-hati!"   Brak! Krak suara meja yang tertumbuk dan barang terinjak.   Suasana pun jadi ricuh dan pedagang yang merasa dirugikan pun meminta ganti rugi.   Murid Kunlun yang ditumbuk Huang Ren Fu tentu saja tidak mau tubuhnya didorong-dorong orang seenaknya, dengan sebelah tangan dia menangkis tubuh Huang Ren Fu yang terhuyung ke arahnya.   Huang Ren Fu yang mencari perkara mandah saja didorong, malah dia menjatuhkan diri ke arah dagangan orang.   Pedagang yang barang dagangannya terinjak sudah tentu tidak mau rugi, cepat- cepat dia meraih baju Huang Ren Fu dan menahannya.   "He..   anak muda jangan ngacir dulu, kau harus ganti barang daganganku!", seru pedagang itu sambil meraih lengan baju Huang Ren Fu.   Pemuda itu pun mengibaskan tangannya.   "He bukan aku yang salah!"   Bergegas dia menghadang jalan anak murid Kunlun yang rupanya juga tidak berniat cepat-cepat pergi seakan pencuri yang takut ditangkap orang.   Berdiri dengan tenang dia menunggu kericuhan itu selesai.   Huang Ren Fu cepat-cepat menghadang di depan murid Kunlun itu dan berkacak pinggang.   "Hei kau yang mendorongku ke arah barang dagangan orang itu! Apa sebenarnya maumu?", tegur dia dengan telunjuk terarah ke depan wajah lawan.   Melihat sikap orang demikian kurang ajar, tentu saja wajah pendekar dari Kun Lun tersebut berubah angker oleh rasa marah.   "Hmph! Dirimu sendiri yang tidak berjalan dengan hati-hati mengapa menyalahkan orang lain?" "Terserah apa katamu, kalau menurut kataku, kaulah yang salah dan kau yang harus mengganti kerugian orang itu.", ujar Huang Ren Fu dengan tandas. "Hahahaha, tidak disangka ada anak ayam berani mengaum, bukankah kau harusnya berciap-ciap. Hei anak muda, dengar baik-baik, sedari tadi tanganku sudah gatal ingin menghajarmu, tapi baik kuberi kau kesempatan sekali lagi untuk bertobat.", ujar pendekar Kunlun tersebut sambil tertawa mengejek. Orang-orang yang berada di sekitar mereka dengan cepat menjauh begitu menyadari kejadian tersebut. Dari lagak lagu mereka berdua, sudah jelas keduanya adalah orang dunia persilatan atau setidaknya seorang dari mereka berdua adalah pendekar pedang. Daripada jadi sasaran mata pedang yang lewat lebih baik mundur menjauh dan menonton dari jarak yang aman. Sementara itu Huang Ren Fu yang berhadapan muka dengan lawannya sekarang bisa mengamati lawannya lebih jelas. Wajah orang itu terbakar matahari, matanya tajam dengan urat kening menonjol, menurut taksirannya usia lawan tentu sudah mendekati 30 akhir atau awal 40-an. Melihat dari gerak-gerik orang dan keyakinan orang itu pada dirinya sendiri, pemuda itu yakin orang di hadapannya itu tidak bisa diremehkan. Jika dia belum pernah mempelajari ilmu dari Hua Ng Lau, jelas dia sama sekali bukan tandingan orang tersebut. Namun Hua Ng Lau sudah memberinya tugas, Huang Ren Fu pun yakin tentu gurunya sudah punya pertimbangan yang cukup mantap. Dengan kepercayaan pada gurunya, hati Huang Ren Fu pun jadi lebih mantap. "Hah! Karena kau membawa-bawa pedang sikapmu jadi sombong, tapi apa kau berani adu kepalan denganku?", jengek Huang Ren Fu. "Anak muda, biar kuperingatkan dirimu sekali lagi, aku ini salah seorang murid perguruan Kunlun, sedikit ilmu silat yang mungkin pernah kau pelajari dari guru di kota ini atau dari orang tuamu, jangan kau pandang terlalu tinggi.", ujar pendekar dari Kunlun itu sekali lagi, meskipun hatinya sudah panas ingin menghajar Huang Ren Fu, dia masih mengingat derajatnya sebagai murid perguruan ternama dan tak hendak sembarangan menghajar orang. "Hahaha kau bilang murid Kunlun? Aku pernah pula bertemu orang yang mengaku pernah belajar ilmu dari Kunlun, nyatanya dia jatuh terjungkal terkena bogem tanganku. Jangan-jangan kau inipun sejenis jadi-jadian seperti dia, membawa-bawa pedang tapi hanya dipakai untuk menggertak orang.", jawab Huang Ren Fu dengan kurang ajar. "Anak tidak tahu diri, rupanya tuan besarmu harus memberi sedikit hajaran sebelum kau mau bertobat.", dengus pendekar Kunlun itu dengan menahan geram. Sadar lawan tidak bisa diremehkan dan di saat yang sama dia harus bertarung sambil menyamarkan sumber ilmunya sendiri, Huang Ren Fu memutuskan untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu. "Jangan banyak bicara, makan saja kerasnya kepalan tanganku!", seru Huang Ren Fu sambil meloncat maju ke depan dan mengirimkan sebuah pukulan. Jarak antara Huang Ren Fu dan pendekar dari Kunlun itu masih ada beberapa langkah, tapi jarak itu ditutup dengan satu lompatan yang sangat cepat. Inilah hasil latihan yang diberikan oleh Hua Ng Lau, ilmu Hua Ng Lau adalah ilmu warisan keluarga Hua yang bersumber dari dua orang tokoh silat besar di masa lampau, yaitu Huang Shi Zhou dan Feng Mianwu, yang seorang adalah tokoh dari partai pengemis dan yang seorang lagi adalah ahli silat Lohan Chuan dari Shaolin. Tapi kedua tokoh ini bukan menurunkan ilmu yang mereka pelajari dari guru mereka, melainkan bersama-sama menciptakan satu ilmu baru berdasarkan apa yang mereka pelajari dan pengalaman mereka selama berkelana di dunia persilatan. Lahirlah sebuah ilmu dengan gerak kaki mengikuti aturan Bagua dan gerakan atas menyesuaikan dengan kedudukan bagian bawah tubuh. Keturunan Hua Tuo memulai pelajarannya di umur yang tidak muda namun dia memiliki kelebihan berupa otaknya yang cerdas, untuk itu kedua tokoh itupun menciptakan ilmu yang mengandalkan kecepatan dan kerumitan, untuk mengalahkan lawan yang memiliki hawa murni lebih kuat. Ilmu keluarga Hua ini pun lebih menitik beratkan pada pergerakan untuk memasuki kelemahan lawan, cepat masuk ke dalam jarak serang, cepat menyerang dan cepat pula keluar dari jarak serang. Huang Ren Fu sudah melatih ilmu ini lebih dari setengah tahun lamanya dan pemuda ini pun berlatih dengan tekun dan pikiran yang tidak bercabang. Keluarganya sudah tidak ada, harta kekayaan tidak ada, bagi pemuda ini, satu-satunya jalan yang terbuka bagi dia untuk menjejakkan kakinya di dunia adalah ilmu ajaran Hua Ng Lau ini. Ditunjang dengan bakat yang cukup baik, maka perkembangannya dalam menjalani ilmu ini sangatlah pesat. Memang Hua Ng Lau selalu saja menemukan kekurangan dalam apa yang dia lakukan, namun hal itu muncul karena Hua Ng Lau menanggapi semangat yang terpancar dari diri Huang Ren Fu dengan menuntut kesempurnaan dari muridnya itu. Hua Ng Lau sendiri merasakan usia yang sudah makin menggerogoti dirinya dan tidak ingin meninggalkan muridnya dengan ilmu yang setengah matang. Itu sebabnya Hua Ng Lau tidak mau menyibukkan Huang Ren Fu dengan ilmu obat-obatan, hal itu bisa dipelajari Huang Ren Fu nanti setelah ilmunya lengkap. Kalaupun Hua Ng Lau keburu meninggal sebelum hal itu terjadi, Huang Ren Fu masih bisa mempelajarinya dari Hua Ying Ying dan buku yang akan diwariskan Hua Ng Lau nanti. Demikian cepat gerak tubuh Huang Ren Fu hingga pendekar Kunlun yang sudah kenyang makan asam garam itu pun terkejut dibuatnya. Celaka apakah dia murid orang ternama?, pikir pendekar Kunlun itu sambil buru-buru menghindar ke belakang tanpa sempat berpikir panjang. Sejenak setelah dia bergerak, menyesallah pendekar Kunlun tersebut karena sadar gerak menghindarnya menyisakan terlampau banyak lubang dalam pertahanan dan merugikan dia dan mengeluh dalam hati, Kalau sampai aku terjungkal di bawah kepalan anak muda ini, bisa jatuh nama Kunlun oleh perbuatanku. Tapi saat dia melihat serangan yang dilontarkan, pikirannya pun berubah, Hei mengapa dia menyerang dengan serangan setengah matang? Hmm mungkin aku menilai pemuda ini terlalu tinggi. Biarlah aku mengalah dulu beberapa kali untuk melihat lebih jauh. Maka dalam beberapa jurus selanjutnya pendekar Kunlun itu pun tampak terdesak hebat oleh serangan Huang Ren Fu. Meskipun sudah berniat hanya untuk mengamati saja, namun gerak kaki Huang Ren Fu memang cepat dan mengejutkan, sehingga beberapa kali jalan mundur pendekar Kunlun itu pun terpotong dan dia harus menangkis atau ganti menyerang untuk membuka jalan. Pertarungan pun jadi seru untuk dilihat. Hmm rupanya ilmu pemuda ini lebih mengandalkan kecepatan kakinya saja, serangannya sendiri tidak perlu ditakutkan. Tapi sungguh gerak kakinya sangat cepat, tidak heran dia menjadi besar kepala., pikir pendekar Kunlun itu dalam hati. Di lain pihak Huang Ren Fu berpikir berbeda, Sejak tadi belum bisa kudesak dia untuk mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya, apakah sebaiknya kutingkatkan kecepatan dan kerumitan gerak tubuhku? Namun jika aku meningkat pada jurus langkah tingkat dau atau tiga maka dia akan bisa meraba asal-usulku. Bagaimana baiknya ini? Sedang Huang Ren Fu masih menimbang-nimbang, pendekar Kunlun itu telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada lagi yang bisa dilihat dari serangan Huang Ren Fu yang telah beberapa kali mengulang jurus yang sama. Rupanya gerak kaki berdasarkan Bagua, pemuda ini cukup rajin berlatih hingga gerak kakinya cepat dan mengalir, sayang perkembangannya terlalu sedikit dan sederhana. Belum sampai 30 jurus sudah bisa kuperhitungkan setiap kombinasi yang dia miliki. Baiklah kukira ini waktunya bagiku untuk menghajar adat anak ini, pikir pendekar Kunlun tersebut. Setelah berpikir demikian, mulailah pendekar Kunlun itu bergerak menyerang dengan jurus-jurus andalannya. Ilmu perguruan Kunlun memiliki latar belakang Taoism yang kental, Bagua justru berasal dari Kunlun, itu sebabnya menilik gerakan Huang Ren Fu yang mengambil inspirasi dari Bagua, pendekar dari Kunlun ini dapat dengan cepat memecahkan gerak kaki Huang Ren Fu. "Hah! Anak muda berbekal sedikit pengetahuan tentang Bagua kau mau membangga-banggakan ilmu warisanmu. Cobalah rasakan pukulanku ini Qian Long Xi Kong Quan.", seru pendekar Kunlun itu. Tubuhnya tiba-tiba melambung ke atas, pukulannya bagaikan memenuhi udara di sekitar Huang Ren Fu mengurung pemuda itu dari segala penjuru. Qian Long Xi Kong Quan atau Tinju Ribuan Naga Bermain di Udara sungguh tepat penamaan jurus itu. Menggabungkan gerakan langkah yang mengurung ke delapan penjuru lawan, tinju bergerak menyerang dan menutup ruang gerak lawan. Jurus ini tepat sekali mematikan langkah Huang Ren Fu yang lincah. Segera saja tubuh Huang Ren Fu menerima pukulan lawan di berbagai tempat. Sambil menggertakkan gigi Huang Ren Fu menyilangkan tangan di atas kepala dan di depan dada, mengerahkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dari pukulan lawan yang jatuh seperti cucuran air hujan. "Luo Yan Zhang!", seru pendekar Kunlun itu dengan suara menggelegar. Seketika itu juga pandangan Huang Ren Fu berkunang-kunang, kepalanya seperti dijatuhi batu seberat ratusan kati. Meskipun sudah melindungi dirinya dengan hawa murni tidak urung keseimbangannya tergoncang hebat. Bagusnya reaksinya tidaklah lambat, sepersekian detik begitu lawan berseru, dia merasakan ancaman di bagian ubun-ubun kepalanya, buru-buru pemuda itu menghentakkan hawa murninya ke bagian punggung dan menyembunyikan kepalanya di antara dua tangan dan punggungnya, Dai Ji Dun atau Tameng tempurung kura-kura, ilmu melindungi tubuh ciptaan Hua Ng Lau. Dipandang sekilas tidak ubahnya anak kecil yang ketakutan dan menutupi kepalanya dengan dua belah tangan. Namun jurus yang tidak sedap dipandang ini sudah menyelamatkan nyawa Huang Ren Fu. Luo Yan Zhang atau Tapak Jatuh Burung Bangau, adalah sebuah pukulan dengan telapak tangan terbuka, memukul dari atas ke bawah dengan seluruh kekuatan terpusat pada telapak tangan. Pukulan khas Kunlun ini memiliki daya hancur yang kuat. Pendekar Kunlun itu dengan cerdiknya mengurung Huang Ren Fu hingga tak dapat berkisar dari tempatnya dengan Qian Long Xi Kong Chuan sebelum memberikan pukulan akhir dengan pukulan andalannya Luo Yan Zhang. Sesosok tubuh tiba-tiba menyibakkan kumpulan penonton yang melingkar di sekitar arena pertarungan. "Kakak !!!", jerit Hua Ying Ying sambil menghambur ke depan, menghampiri tubuh kakaknya yang sudah tak berdaya. Huang Ren Fu jatuh dengan kedua kaki dalam posisi bertelut, menengkurap di tanah dengan tangan menutupi kepalanya, tidak bergerak-gerak lagi. Warna kemerahan terlihat mewarnai permukaan tanah di sekitar kepala Huang Ren Fu. Pendekar Kunlun itu berdiri diam di tempatnya, Hua Ying Ying yang memeluk tubuh Huang Ren Fu dan menangis menggerung- gerung, dan keyakinannya terhadap keampuhan pukulannya yang mematikan, membuat dia diam di tempatnya. Ketika melihat tangis Hua Ying Ying tidak juga berhenti, pendekar Kunlun itu pun memutuskan untuk pergi. Bisa dia bayangkan nona muda itu sudah mendapati kakaknya tidak bernafas lagi. Sebelum pergi, pendekar dari Kunlun itu melontarkan sebuah keping emas pada Hua Ying Ying dan berkata.   "Nona, dunia persilatan adalah dunia yang keras. Saudaramu sudah menantangku untuk bertarung dan kerasnya kepalan tangan atau tajamnya pedang adalah resiko yang harus kami terima sebagai orang yang hidup dalam dunia persilatan yang keras. Ku akui kegagahan saudaramu, kau pakailah uang ini untuk mencari tabib yang baik dan merawatnya. Kuharap hari ini saudaramu belajar untuk lebih berhati-hati dengan mulutnya."   Selesai berkata-kata dia pun pergi, melanjutkan kembali perjalanannya.   Tidak ada seorangpun yang berani menahan kepergiannya.   Lagipula awal pertarungan itu dimulai sendiri oleh Huang Ren Fu yang sekarang terbaring tak bergerak.   Sambil berbisik-bisik dan bergumam tak jelas, satu per satu dari mereka yang tadi berkerumun mulai bubar.   Takut berurusan dengan yang berwajib, mereka pun meninggalkan tempat itu.   Yang berdagang cepat-cepat membereskan barang dagangannya, yang berencana untuk membeli cepat-cepat pergi ke pasar yang lain dan yang sekedar lewat cepat-cepat melanjutkan kembali perjalanannya, meninggalkan Hua Ying Ying sendirian menangisi kakaknya yang tengkurap mencium tanah dan tidak bergerak-gerak lagi.   Mereka yang merasa kasihan pada gadis itu hanya bisa menepuk pundaknya, ada juga yang menjatuhkan beberapa keping uang atau sekedar berbisik menghibur gadis yang menangis tanpa henti itu, sebelum pergi menghilang, tak ingin tersangkut paut dengan sebuah pembunuhan.   Ketika keadaan sepi, perlahan-lahan Hua Ying Ying berbisik.   "Semua orang sudah pergi" "Uuhh kepalaku seperti terbelah dua", keluh Huang Ren fu dengan suara berbisik. "Salahmu sendiri kurang hati-hati", bisik Hua Ying Ying. "Kau memang adik yang kejam", keluh Huang Ren Fu. "Hmm memangnya kau pikir aku tidak mengenal ilmu kura-kura mu itu?", balas Hua Ying Ying. "Hei berani kau menghina ilmu ciptaan guru?", tanya Huang Ren Fu sambil perlahan-lahan menegakkan kepala. Hua Ying Ying hanya meleletkan lidah sebagai jawaban, sebenarnya gadis ini juga merasa khawatir dengan keadaan kakaknya. "Apa kakak bisa berjalan atau harus merangkak seperti kura-kura?", ujarnya menggoda. "Hmph! Tentu saja berjalan, aku toh masih seorang manusia", jawab Huang Ren Fu sambil berusaha bangkit berdiri. Kakinya goyah dan cepat-cepat Hua Ying Ying bergerak untuk menyangga supaya dia tidak sampai jatuh. Perlahan-lahan sambil dipapah oleh adiknya Huang Ren Fu menjauh dari tempat itu, masuk ke sebuah gang sempit dan sepi yang mereka temui pertama kali. Perlahan-lahan mereka menyusuri jalan yang kecil itu, sebelum kemudian menemukan sebuah tempat yang lebih tersembunyi lagi. Huang Ren Fu menggamit tangan adiknya dan memberi tanda untuk berhenti. Hua Ying Ying segera berhenti dan perlahan-lahan mendudukkan Huang Ren Fu di tanah. Tanpa banyak bicara Huang Ren Fu segera memejamkan mata dan bersila. Pemuda itu pun mulai mengerahkan dan menggerakkan hawa murni dalam tubuhnya untuk menyembuhkan luka-luka dalam yang dia derita. Hua Ying Ying dengan cekatan segera menajamkan panca inderanya dan berjaga, memastikan bahwa kakaknya tidak terganggu. Cukup lama Huang Ren Fu bersila dan mengatur hawa murni sebelum tubuhnya mulai mendapatkan kembali keseimbangannya. Ketika dia membuka mata, wajahnya sudah tampak lebih segar. Hua Ying Ying dengan segera mengangsurkan sebuah pil buatan Hua Ng Lau. "Ini kak, obat untuk melindungi kepala dari cedera yang berbahaya."   Tanpa banyak cakap Huang Ren Fu menelannya, baru setelah itu dia berkata.   "Ayolah kita cepat kembali ke rumah, meskipun sekarang terasa jauh lebih baik, aku tidak ingin berkelahi untuk beberapa waktu."   Cepat-cepat kakak beradik itupun mencari jalan pulang, beberapa kali mereka salah mengambil jalan dan butuh waktu beberapa saat sebelum mereka menemukan jalan yang mereka kenal.   Meskipun menghabiskan banyak waktu, akhirnya mereka pun sampai di rumah.   Hua Ng Lau yang menantikan kedatangan mereka dengan cemas, segera menyambut kedua kakak beradik itu dengan penuh rasa syukur.   "Ren Fu bagaimana keadaanmu? Ying Ying, kau tidak apa-apa kan?" "Aku tidak apa-apa ayah, tapi Kakak Ren Fu menderita luka dalam yang cukup berat.", jawab Hua Ying Ying sambil memapah Huang Ren Fu ke sebuah bangku dibantu oleh Hua Ng Lau.   "Tidak apa-apa guru, memang kepalaku masih terasa sedikit pusing tapi kukira tidak terlalu parah, sebelum telapak tangannya menghajarku, aku masih sempat mengurangi kerasnya benturan dengan melengkungkan badan, sehingga sebagian tumpuan telapak tangannya tertahan oleh punggungku.", ujar Huang Ren Fu berusaha menenangkan Hua Ng Lau.   Memang tepat sekali jika Huang Ren Fu menggunakan ilmu Dai Ji Dun untuk menahan Luo Yan Zhang milik pendekar dari Kunlun itu.   Dalam Luo Yang Zhang, yang menjadi ujung penggada adalah telapak tangan, pangkal serangan yang menjadi sumber kekuatan ada di panggul dan bahu, sementara lengan menjadi perpanjangan.   Dengan melengkungkan punggung sehingga sebelum telapak tangan lawan sampai di tujuan, lengan sudah terlebih dahulu tertahan oleh punggung Huang Ren Fu, sehingga tenaga yang tersalurkan ke telapak tangan jadi berkurang jauh.   Selain itu gerakan punggung yang melengkung, seperti gerakan memutar, sehingga tenaga yang jatuh ke bawah, sebagian lagi digeser arahnya ke depan.   Dengan demikian, saat telapak tangan lawan membentur tangan Huang Ren Fu yang disilangkan di atas kepala, tenaganya sudah jauh berkurang dan hanya sebagian kecil saja yang berhasil menerobos masuk menghantam kepala Huang Ren Fu.   Tapi yang sedikit itu pun sudah cukup untuk mengguncang isi kepala Huang Ren Fu.   Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika pukulan itu dengan telak menghantam Huang Ren Fu, mungkin tengkorak kepalanya sudah remuk dan isi otaknya berhamburan keluar.   "Hmm anak pintar"   Ucap Hua Ng Lau sambil meraba denyut nadi di pergelangan tangan Huang Ren Fu.   Jarinya yang peka bisa mengamati keadaan tubuh Huang Ren Fu hanya lewat denyut nadi yang dia rasakan.   "Hmm.   Kejam sekali Apa saja yang kau lakukan hingga dia semarah ini?", tanya Hua Ng Lau pada Huang Ren Fu.   Huang Ren Fu pun hanya bisa tersenyum kecut sambil mengangkat bahu.   Hua Ng Lau menepuk-nepuk pundak pemuda itu dengan rasa sayang.   Bisa dia bayangkan pertarungan yang terjadi, muridnya yang satu ini selalu mengerjakan tugasnya dengan kesungguhan yang sulit ditemui.   Hua Ng Lau merasasakit melihat luka-luka yang dialami pemuda itu, tapi di saat yang sama merasa bersyukur bahwa dia tidak salah memilih pewaris.   "Coba ceritakan pertarungan itu sendiri", ujar Hua Ng Lau sambil bang kit berdiri.   Beberapa saat kemudian Huang Ren Fu menceritakan jalannya pertarungan itu, sementara Hua Ng Lau dibantu Hua Ying Ying, sibuk menyiapkan obat-obatan untuk merawat luka Huang Ren Fu.   "Qian Long Xi Kong Chuan dan Luo Yan Zhang, tidak diragukan lagi dia seorang murid dari perguruan Kunlun.", gumam Hua Ng Lau.   "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang Ayah?", tanya Hua Ying Ying.   "Pertama aku harus memastikan dahulu, bungkusan apa yang diberikan pendekar Kunlun itu pada orang dalam Partai Pedang Keadilan.   Menilik pembicaraan mereka, kukira obat itu tentu adalah sejenis obat penakluk jiwa.   Setelah itu, hasil temuan itu sebaiknya aku sampaikan pada Bai Chungho, Ketua dari Partai Pengemis.", ujar Hua Ng Lau setelah berpikir beberapa saat.   "Mengapa tidak langsung ayah sampaikan saja pada Kakak Ding Tao?", tanya Hua Ying Ying.   Hua Ng Lau memandang puteri angkat dan muridnya dengan penuh kasih lalu menjawab.   "Aku sudah tua, sebisa mungkin aku tidak ingin lagi terlibat dengan urusan dunia persilatan. Lagipula Bai Chungho memiliki hubungan yang baik dengan Ding Tao, tentu Ding Tao akan lebih mudah mendengarkan dia daripada mendengarkan pendapat orang yang baru dia kenal." "Oh begitu lalu apa rencana ayah untuk mengetahui isi bungkusan itu?", Hua Ying Ying mengangguk-angguk, namun dengan cepat kembali bertanya. "Aku sudah mengikuti orang itu diam-diam, sampai di rumah kediamannya. Nanti malam aku akan mencoba menyatroni rumahnya dan mencuri sedikit dari isi bungkusan itu.", jawab Hua Ng Lau. "Tapi guru, apakah hal itu tidak terlampau sulit? Pertama guru tidak tahu di mana bungkusan itu disembunyikan. Setelah menemukan obat-obatan dalam rumah itu pun, guru belum tahu pasti apakah obat itu yang dibawa oleh pendekar dari Kunlun tersebut.", ujar Huang Ren Fu sambil mengerutkan alis. "Memang sudah kupikir-pikirkan sejak tadi. Tadinya aku berharap bisa mengutil sedikit isi bungkusan itu saat menguntit orang itu. Siapa sangka, orang itu sangat waspada, tidak kutemukan kesempatan semacam itu.", jawab Hua Ng Lau sambil menghela nafas. Mereka bertiga pun terdiam, tiba-tiba Hua Ying Ying memecahkan suasana.   "Ayah, bagaimana kalau kita culik saja orang itu, kemudian kita paksa dia memberikan keterangan."   Huang Ren Fu ikut memandang Hua Ng Lau penuh harap, namun Hua Ng Lau hanya tersenyum lemah.   "Cara itu kurang baik, dengan cara apa kita memaksa dia memberikan keterangan? Dengan ancaman? Dengan siksaan? Apakah kita bisa yakin bahwa keterangan yang diberikan itu benar atau sekedar untuk menyelamatkan dirinya saja? Lalu apa yang akan kita lakukan setelah dia memberikan keterangan? Apakah kita akan membebaskan dia? Bagaimana jika dia membocorkan keberadaan kita pada orang-orang Kunlun. Bukankah usaha kita akan jadi sia-sia?" "Tidak sia-sia begitu saja guru, setidaknya setelah mendapatkan bukti-bukti yang kuat, kita bisa meyakinkan Ding Tao dan para pengikutnya untuk mewaspadai orang-orang Kunlun.", jawab Huang Ren Fu. "Hee janganlah terlalu memandang rendah Ding Tao dan pengikutnya. Mereka bisa bekerja bersama, mendirikan satu partai yang besar dalam waktu yang relatif sangat singkat. Bukankah di antara mereka ada Pendeta Liu Chun Cao yang sudah terkenal berkelana, malang melintang di dunia persilatan sendirian. Ada juga yang disebut titisan Zhuge Liang, si Penasihat Chou Liang, ada juga Sun Liang yang bijaksana dan masih ada orang-orang lain yang menonjol. Mereka ini orang yang teliti dan berpengalaman, aku yakin mereka sudah tahu dan mewaspadai persekutuan mereka dengan orang-orang Kunlun.", ujar Hua Ng Lau dengan sabar. "Jika demikian, bagaimana bisa orang-orang Kunlun mendekati pengikut Kakak Ding Tao yang ada di kota Gui Yang ini? Bahkan siapa tahu hal ini terjadi bukan hanya di Gui Yang.", tanya Hua Ying Ying penasaran, karena ayah angkatnya selalu saja merendah. Hua Ng Lau pun menjawab dengan sabar.   "Jika kalian ingat apa yang aku ceritakan mengenai percakapan kedua orang itu. Bukankah pendekar dari Kunlun itu sempat bercerita bahwa ada orang Chou Liang yang berusaha mengikuti jejaknya? Tapi tampaknya orang-orang yang dilatih Partai Pedang Keadilan masih kalah pengalaman dengan orang-orang dari Kunlun. Kalaupun ada orang-orang yang berpengalaman, jumlah mereka tidak seimbang dengan besaran dari partai mereka. Akibatnya orang-orang Kunlun bisa dengan mudah menemukan celah dalam organisasi mereka. Hal ini memang sulit diatasi, tidak seperti Kunlun dan perguruan besar lainnya yang memiliki puluhan bahkan ratusan tahun untuk menata diri, partai bentukan Ding Tao dan sahabat-sahabatnya, meningkat pesat dalam waktu kurang dari 1 tahun." "Hmm guru, bukankah seperti dalam berlatih ilmu bela diri yang pernah guru jelaskan. Peningkatan kemampuan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan keseluruhan, justru merugikan.", ujar Huang Ren Fu yang sejak tadi mendengarkan dengan tekun. "Murid pintar, murid pintar", ujar Hua Ng Lau dengan mata penuh rasa sayang.   "Benar, seperti seorang yang sangat kuat namun tidak luwes. Atau yang memiliki banyak jurus namun melupakan kekuatan." "Ayah, jika Chou Liang benar-benar titisan Zhuge Liang, masa dia tidak menyadari hal sesederhana ini? Bukankah itu artinya ayah masih lebih bijaksana dari dia?", tanya Hua Ying Ying. Hua Ng Lau mengelus rambut gadis manja itu dan menjawab.   "Kupikir bukan demikian yang terjadi, mereka pun tentunya menyadari hal ini, namun waktu yang tidak berpihak pada mereka. Mereka dipaksa berpacu dengan waktu jika ingin berpartisipasi dalam pemilihan Wulin Mengzhu." "Huuh apa sih pentingnya kedudukan itu? Mengapa setiap orang begitu menginginkannya? Sampai-sampai Kakak Ding Tao pun ikut-ikutan mengejar kedudukan dan nama.", dengus Hua Ying Ying dengan kesal. "Hahahaha, kau ini kadang-kadang seperti anak kecil saja. Kedudukan itu sangat berarti jika Ding Tao ingin berhadapan dengan Ren Zuo Can dan sesuai ceritamu, bukankah itu adalah salah satu tugas yang dibebankan oleh Guru Ding Tao kepadanya?", jawab Hua Ng Lau merasa geli. "Guru benar Ying Ying, kurasa Ding Tao melakukan ini semua bukan karena keinginannya pribadi dan itulah perbedaan Ding Tao dengan orang-orang lain yang memburu kedudukan itu.", ujar Huang Ren Fu. "Benar juga sih Kalau dipikir-pikir Paman Gu Tong Dang memberi tugas kok keterlaluan ya?", ujar Hua Ying Ying dengan bibir mengerucut. Hua Ng Lau tersenyum lebar dan dalam hati merasa terenyuh karena dia sadar bahwa dalam hatinya yang terdalam Hua Ying Ying masih mencintai Ding Tao.   "Anak Ying kukira guru Ding Tao melihat potensi yang ada dalam diri anak muda itu, demikian juga sifatnya yang tidak mementingkan diri sendiri. Itu sebabnya dia memberikan tanggung jawab yang sedemikian besar padanya."   Mendengar jawaban Hua Ng Lau, Hua Ying Ying mengangguk-angguk puas.   Puas karena ayah angkatnya sudah memuji pemuda idamannya.   Di lain pihak Huang Ren Fu menundukkan kepala dan tercenung, sikap Huang Ren Fu ini tidak lepas dari perhatian Hua Ng Lau.   Orang tua yang bijak ini dengan cepat memahami isi hati murid satu-satunya itu.   Dengan penuh rasa sayang dia menepuk pundak Huang Ren Fu.   "Jangan salah paham, kau pun adalah pemuda pilihan. Jika tidak masakan aku akan mempercayakan ilmu warisan keluarga Hua turun temurun kepadamu dengan hati mantap? Jika saat ini aku masih menahan semangatmu yang meluap, maka kau pun harus ingat, saat Ding Tao sudah merasakan pahitnyakehidupan dan menempa dirinya kau masih tinggal dalam lindungan keluargamu. Dia sudah mendahuluimu beberapa tahun, karena itu janganlah membandingkan dirimu dengan dirinya."   Hati Huang Ren Fu merasa terhibur oleh ucapan Hua Ng Lau dengan lirih dia menjawab.   "Terima kasih guru, atas kepercayaan guru. Aku berjanji akan berusaha agar tidak membuat kecewa guru."   Hua Ng Lau mengangguk-angguk puas dan menjawab.   "Aku percaya padamu, aku bahkan sudah melihat hasilnya hari ini. Memang hari ini kau kalah melawan pendekar dari Kunlun itu, tapi coba perhitungkan dalam syarat-syarat yang kutetapkan dan mengekang dirimu untuk bertarung dengan sepenuh hati. Di lain pihak pendekar Kunlun itu tanpa ragu menggunakan ilmu-ilmu simpanannya untuk melawanmu. Jika pertarungan itu dilakukan tanpa batasan, aku yakin kau bisa memenangkannya." "Guru terlalu memuji", ujar Huang Ren Fu dengan wajah memerah. "Hahaha baiklah aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi, aku yakin kau tidak akan lupa diri oleh sedikit pujian. Kau juga tidak akan patah semangat karena merasa kalah dibandingkan orang lain. Teguhkan saja tekadmu, satu saat nanti kau akan berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan."   Wajah Huang Ren Fu memerah oleh rasa bangga.   Seandainya bisa malam itu pun dia ingin memulai berlatih kembali, tapi dia tidak berani melanggar perintah gurunya untuk beristirahat 2-3 hari lamanya.   Hua Ying Ying pun meremas tangan kakaknya itu dengan hangat, gadis ini turut merasa bahagia melihat kepercayaan ayah angkatnya pada kakak satu-satunya itu.   Hua Ng Lau melanjutkan.   "Pada saat itu, maka satu saja pesanku. Jangan lupa dengan apa yang terjadi saat manusia mementingkan segala cara untuk meraih tujuannya. Keluargamu sudah ikut menyaksikan apa yang terjadi saat hal itu terjadi."   Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying tercenung beberapa lama, kemudian dengan khidmat Huang Ren Fu menjawab.   "Kami mengerti guru, kami akan mengingat baik-baik petuah guru."   Hua Ying Ying ikut mengangguk, mengiyakan.   "Baguslah, aku percaya dengan kalian.   Jawabanmu itu membaut hatiku merasa tenang", jawab Hua Ng Lau.   "Ayah lalu bagaimana dengan rencana ayah untuk menyatroni rumah orang itu?", tanya Hua Ying Ying.   "Aku akan mulai menyelidiki keadaan rumah mereka malam ini.   Waktu memang mendesak tapi aku tidak mau bekerja dengan serampangan.   Sebisa mungkin aku ingin mendapatkan kepastian tanpa membiarkan mereka sadar bahwa rencana mereka sudah terbongkar.", jawab Hua Ng Lau.   "Guru, apakah yang akan guru lakukan setelah mendapatkan obat itu? Apa saja yang bisa kita dapatkan dari contoh obat itu?", tanya Huang Ren Fu ingin tahu.   "Aku tahu apa yang bisa dilakukan dengan obat itu", ujar Hua Ying Ying tiba-tiba.   "Oho, bagus coba katakan pada kami, apa saja yang bisa kita lakukan dengan obat itu di tangan kita?", ujar Hua Ng Lau tertarik.   "Kita bisa meneliti obat itu dan mencari pemunahnya, dengan begitu kita bisa membebaskan mereka yang sudah terlanjur jatuh dalam pengaruh obat itu.", jawab Hua Ying Ying.   "Hmmm boleh juga tapi ada hal lain yang lebih penting.   Coba pikirkan apa hal itu?", tanya Hua Ng Lau lebih lanjut.   Huang Ren Fu yang tidak terlalu mengerti masalah obat-obatan hanya mendengarkan saja, sementara Hua Ying Ying berpikir keras, Mendapatka pemunah obat itu memang hanya memecahkan sebagian masalah saja.   Mereka yang jatuh dalam pengaruh obat itu, pada dasarnya adalah orang yang kurang setia pada Kakak Ding Tao Berpikir demikian, tiba-tiba terbukalah pikiran gadis itu sambil tersenyum lebar dia menjawab.   "Nah aku tahu apa yang akan guru lakukan setelah mendapatkan contoh obat itu." "Hahaha, sepertinya kau yakin sekali, baiklah apa coba katakan.", ujar Hua Ng Lau. "Ayah akan meneliti obat itu, melihat apa pengaruhnya pada tubuh manusia, kemudian ayah akan tahu dengan cara bagaimana ayah bisa membedakan, siapa yang sudah meminum obat itu dan siapa yang belum jatuh dalam pengaruh obat itu. Dengan cara itu, ayah dapat memberi tahukan pada Kakak Ding Tao, bagaimana caranya dia bisa tahu, siapa orang dalam partainya yang bekerja sama dengan orang-orang Kunlun dan siapa yang setia padanya.", jawab Hua Ying Ying dengan nada menang. "Hahahahaha, benar sekali. Kau memang puteri ayah yang cerdas", puji Hua Ng Lau sambil tertawa berkakakan. Jawaban Hua Ying Ying rupanya tepat kena sasaran, menghadapi pengkhianatan dari dalam, adalah penting bagi Ding Tao dan para pimpinan Partai Pedang Keadilan untuk mengetahui siapa-siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak bisa dipercaya. Selain itu dengan mengenali sifat dari obat yang mereka minum, Hua Ng Lau ingin tahu apa yang membuat mereka jatuh dalam pengaruh obat itu. Apakah mereka meminumnya dengan suka rela, ataukah mereka jatuh dalam jebakan dan terpaksa mengkonsumsi obat itu untuk menyambung hidup. Obat yang digunakan untuk membuat seseorang tunduk pada orang lain sangat banyak macamnya. Partai Matahari dan Bulan yang diketuai Ren Zuocan terkenal dengan cara-cara sesat mereka, salah satunya adalah obat atau lebih tepatnya racun yang digunakan untuk memastikan kesetiaan seseorang. Hua Ng Lau dengan pengalamannya yang luas, mengenal beberapa macam racun atau obat perampas jiwa yang mereka gunakan. Jika obat yang diberikan oleh pendekar Kunlun itu termasuk obat-obatan yang dipakai oleh Partai Matahari dan Bulan, maka ada bukti kuat bahwa mereka sudah menjalin hubungan dengan Ren Zuocan. Bukti ini juga bisa dipakai untuk menelusuri lebih jauh, siapa-siapa saja yang sudah jatuh di bawah pengaruh Ren Zuocan. Salah satu hal yang mencemaskan di dunia persilatan saat ini adalah adanya kabar burung bahwa Ren Zuocan telah berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan di daratan. Tapi siapa saja mereka itu dan dengan cara bagaimana mereka jatuh dalam pengaruh Ren Zuocan? Mereka semua masih berada dalam kegelapan dan keragu-raguan dan timbulnya kecurigaan di antara orang sendiri bisa dikatakan merupakan kerugian yang terbesar bagi mereka. Sejak mendengar percakapan pendekar Kunlun dengan orang Partai Pedang Keadilan itu, muncul kecurigaan dalam hati Hua Ng Lau bahwa Ren Zuocan melakukannya lewat obat perampas jiwa yang dimilikinya. Hua Ng Lau pun melihat dengan cara bagaimana dia dan murid-muridnya bisa menyumbangkan kepandaian mereka bagi keselamatan banyak orang. Hua Ng Lau bertekad untuk membongkar rahasia bungkusan yang disebarkan orang Kunlun secara diam-diam kepada para pengikut Partai Pedang Keadilan. Setelah dia mempelajari dan mengetahui apa yang diakibatkan obat itu pada tubuh manusia, barulah Hua Ng Lau berani meminta bantuan tokoh-tokoh lain dalam dunia persilatan. Karena jika tidak, Hua Ng Lau khawatir dia akan mempercayakan rahasia itu pada orang yang salah. Jika perguruan yang terkenal lurus dan bergengsi tinggi seperti Kunlun bisa jatuh dalam pengaruhnya, lalu siapa yang bisa dipercaya? Itu sebabnya meskipun di luaran Hua Ng Lau masih tampak tenang dan tertawa-tawa, sesungguhnya isi dadanya bergemuruh. Perasaannya saat ini, mirip dengan apa yang dia rasakan saat hendak menghadapi pertarungan hidup mati dengan lawan yang kuat. Apakah Hua Ng Lau akan berhasil membongkar rahasia tersebut? Waktu terus berjalan, tidak menunggu Hua Ng Lau memecahkan rahasia tersebut lebih dahulu. Ding Tao dan pengikut-pengikutnya pun harus terus berjalan menghadapi pemilihan Wulin Mengzhu yang semakin dekat tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi dalam tubuh partai mereka. -------------------------------- o --------------------------------- Hari pemilihan Wulin Mengzhu itu pun akhirnya datang. Siap atau tidak siap waktu terus berjalan tanpa menanti satu orangpun. Mereka yang menyadari bagaimana waktu berjalan tanpa pernah menengok kembali ke belakang, memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mereka tidak menyesali masa lalu, tapi belajar dan mengambil hikmah dari kesalahan di masa lalu. Mereka tidak larut dalam impian akan masa depan, tapi bertekun dalam membangun masa depan mereka. Ding Tao dan sahabat-sahabatnya adalah manusia-manusia serupa itu, mereka tidak mengangankan masa depan tanpa bekerja. Cita-cita yang tinggi di masa depan, mereka raih dengan membangun di masa sekarang. Mereka tidak patah arang oleh seberapa tinggi apa yang mereka capai, dibandingkan dengan seberapa tinggi yang ingin mereka raih. Keyakinan mereka adalah apa yang mereka bangun sekarang tidak akan hilang sia-sia. Kalaupun mereka tidak nanti menggapainya saat maut menjemput, mereka percaya ketulusan mereka akan menyentuh hati seseorang yang akan meneruskan perjuangan mereka. Bukan soalan jika mereka tidak pernah menikmati masa indah yang mereka cita-citakan, karena masa indah yang mereka cita-citakan itu bukanlah demi kesenangan pribadi mereka sendiri. Hari itu mereka semua bersiap untuk berangkat menuju ke kaki gunung Songshan, tempat pemilihan Wulin Mengzhu akan diadakan. Gunung Songshan adalah pusat utama perguruan Shaolin, lepas dari keadaan dunia persilatan yang diselimuti oleh kabut keraguan dan ketidak percayaan, nama besar Shaolin tidak tergoyahkan. Bukan hanya reputasi akan kekuatan mereka tapi juga keberadaan Shaolin sebagai sebuah biara, tempat berkumpulnya bhiksu-bhiksu yang lurus dan tidak tergoda oleh gemerlapnya dunia. Shaolin juga terkenal sebagai tempat yang melahirkan patriot-patriot bangsa. Jika ada yang mengatakan bahwa Shaolin menjadi penkhianat bangsa dan menjadi sekutu Partai Matahari dan Bulan, maka tidak ubahnya dia mengatakan matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur. Tidak akan ada seorang pun yang percaya. Ding Tao berdiri tegap, memandangi orang-orang yang berdiri, berkumpul di hadapannya. Wajah-wajah yang sudah dia kenal dalam waktu yang cukup lama, tapi lebih dari sekedar lamanya waktu, mereka inilah orang-orang yang dia percayai sepenuh hati. Rencananya sebelum mereka berangkat bersama-sama, Ding Tao akan memberikan sepatah dua patah kata sebagai penyemangat dan pengantar. Namun sekarang saat berhadapan dengan mereka, tiba-tiba semua kata-kata yang sudah dia persiapkan terasa hambar di hatinya. Sebaliknya dalam diam, hati mereka berpaut menjadi satu. Tanpa kata mereka bisa merasakan semangat yang sama yang bergelora dalam dada mereka masing-masing. Itu sebabnya Ding Tao pun terdiam, hanya berdiri dan saling menatap. "Ayolah kita berangkat", akhirnya dia berkata. Tiga kata yang pendek itu tentu saja tidak cukup untuk menggambarkan apa yang mereka rasakan, apa yang sudah mereka kerjakan, apa yang akan mereka pertaruhkan hari ini dan apa yang ingin mereka capai. Tapi ribuan kata pun tidak mampu menjabarkannya. Yang tidak dikatakan, yang dirasakan, saling pengertian yang terbangun, mengubah tiga kata yang pendek itu menjadi kata sakti. Tiga kata saja dikatakan, balasannya bahkan lebih pendek lagi. Bukan kata, hanya dengusan dalam dada dan pandang mata yang menyala. Rombongan itu pun berangkat dalam segala kemegahannya. Kemegahan yang terbangun dari perlengkapan dan jumlah mereka yang cukup besar, hanyalah kulit yang tidak berarti. Tapi kemegahan yang bisa dirasakan setiap orang yang berpapasan dengan mereka, kemegahan yang terbangun dari semangat berkobar puluhan orang dengan satu cita-cita itu, yang membubung tinggi ke atas langit, yang menusuk dalam kalbu, itu yang menyilaukan mata mereka yang bertemu pandang dengan mereka. Sesungguhnya ada banyak yang bisa diceritakan mengenai keberangkatan mereka kali ini. Di mata umum, Partai Pedang Keadilan adalah partai yang kuat dengan dukungan dari beberapa perguruan ternama. Seakan-akan tidak ada yang perlu mereka khawatirkan dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini. Bahkan ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa bagi Ding Tao, kedudukan itu tidak ubahnya seperti buah yang tinggal dipetik. Berbeda dengan pendapat umum, mereka yang menjadi pimpinan-pimpinan dalam Partai Pedang Keadilan justru memahami benar betapa istana megah yang mereka bangun sesungguhnya adalah istana dari kaca. Bayangan gelap yang menyelimuti dunia persilatan belum lagi berhasil mereka bongkar. Beberapa kegiatan dari perguruan Kunlun yang sempat tertangkap oleh mata mereka justru membangkitkan kecurigaan, meskipun belum ada bukti kuat yang mereka dapat. Dengan berbagai pertanyaan ini, dengan persekutuan yang meragukan, mereka berangkat ke kaki Gunung Songshan. Itu sebabnya mereka pun membuat perhitungan mereka sendiri dan akhirnya diputuskan, seluruh anggota yang dapat dipercaya benar akan diajak untuk ikut menyertai Ding Tao menuju ke kaki Gunung Songshan. Keputusan ini diambil karena mereka tidak ingin memecah kekuatan inti mereka. Apa yang terjadi bila ternyata yang dianggap sekutu adalah musuh dalam selimut. Bagaimana jika di dalam partai mereka sendiri telah menyusup musuh-musuh yang menyamar? Jika benar demikian, maka yang berangkat ke kaki Gunung Songshan akan berada dalam bahaya. Mereka yang ditinggalkan pun akan berada dalam bahaya. Jika memang harus membuat pertaruhan dengan nyawa, biarlah mereka semua maju bersama. Demikianlah yang mereka pikirkan, semua yang ikut dalam perjalanan ini menyadari keadaan tersebut. Namun resiko yang sedang mereka hadapi, mereka hadapi dengan dada tegak. Niat mereka sudah teguh tercacak, tidak goyah oleh segala kemungkinan. Keluarga-keluarga yang ditinggalkan sudah pula diamankan di tempat-tempat rahasia yang memang disiapkan. Beserta mereka adalah orang-orang yang bekerjanya memang di bawah bayangan. Di luar dua kelompok ini pun masih ada kelompok Guru Chen Wuxi, Fu Tong dan Song Luo yang dilarang untuk memunculkan dirinya. Mereka inilah yang menjadi kekuatan tersimpan, yang akan menjaga bara api cita-cita mereka, seandainya Ding Tao dan mereka yang mengikutinya binasa dalam usaha mereka merebut kedudukan Wulin Mengzhu. Sedemikian cermat Chou Liang mengatur segala sesuatunya, sehingga tiap-tiap kelompok tidak mengetahui di mana kelompok yang lain bersembunyi. Dengan demikian, seandainya ada satu tempat yang bocor ke telinga lawan, tidak akan mudah bagi lawan untuk menelusuri dan menangkap kelompok-kelompok yang lain. Ketegangan mewarnai perjalanan itu, bukan hanya mereka yang melakukan perjalanan saja. Ketegangan yang sama bahkan mungkin lebih, mewarnai perasaan mereka yang ditinggalkan. Sudah beberapa lama kelompok itu berjalan dalam diam, hanya sesekali terdengar gumaman dan kalimat-kalimat pendek diucapkan. Tanpa terasa mereka pun sudah meninggalkan ramainya kota Jiang Ling. Berjalan menderap tanpa henti, sebuah desa kecil yang berbatasan dengan Jiang Ling baru saja mereka tinggalkan. Di kiri dan kanan jalan yang mereka lewati, terlihat pepohonan yang tumbuh jarang-jarang, di antara lebatnya rumput liar. Tidak ada satu pun rumah terlihat lagi, jika mereka tetap berjalan dengan kecepatan yang sama, baru tengah hari nanti mereka baru akan menjumpai desa yang lain. Rasa tegang bercampur semangat semakin menekan mereka yang sedang berjalan. Terutamanya mereka yang belum matang, baik dalam kehidupan ataupun dalam ilmu bela diri yang menuntut pengendalian diri. Di saat seperti itu, tiba-tiba terdengar seorang muda menyeletuk, pemuda itu adalah Qin Baiyu. "Saudara Sun Gao, lihatlah langit begitu cerah", katanya sambil menghirup udara dalam-dalam. Kedua orang muda yang dengan cepat menjadi sahabat yang tak terpisahkan itu pun menengadahkan kepala, memandangi langit biru dan luas. "Ya sungguh hari yang menyenangkan untuk memulai satu perjalanan.", jawab Sun Gao. Keduanya berpandangan sejenak dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil saling memukul bahu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Sahabat baik! Hari yang baik!"   Dengan beberapa kata itu, ketegangan kedua orang muda itu tiba-tiba menjadi cair.   Meskipun dengan suara setengah berbisik, kedua orang muda itu mulai bercanda dan bercakap-cakap dengan bebas.   Ketegangan yang sempat mewarnai hati mereka hilang sirna begitu saja.   Tinggal semangat, gurauan, ketertarikan pada segala hal khas orang muda yang meluap- luap.   Beberapa orang saling pandang dan bertanya-tanya, namun ketika mereka mulai saling memandang perlahan-lahan mereka pun mulai bisa memahami apa yang terjadi.   Merasakan hal yang sama yang dirasakan oleh Sun Gao dan Qin Baiyu.   Mereka yang lebih matang hanya tersenyum maklum.   Apa yang sebenarnya mereka rasakan? Dari persiapan yang dilakukan, dari cara para pimpinan mereka menyampaikan, mereka pun bisa meraba-raba keadaan yang akan mereka hadapi.   Dengan demikian merekapun mulai berhitung dan menyadari apa yang sudah disadari terlebih dulu oleh para pimpinan mereka.   Jumlah mereka yang sungguh-sungguh bida dipercaya dan sekarang diajak ikut serta ke kaki Gunung Songshan tidak sampai 100 orang.   Jumlah yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan murid-murid 6 perguruan utama.   Bahkan jika dibandingkan dengan nama-nama besar dari keluarga yang turun temurun memiliki reputasi di dunia persilatan, jumlah tersebut bukanlah satu jumlah yang bisa dibanggakan.   Memang benar Perguruan Kunlun sudah menjanjikan dukungan mereka, tapi apakah perkataan mereka bisa dijadikan sandaran? Sedangkan tadinya mereka datang untuk menundukkan Partai Pedang Keadilan.   Bagaimana dengan Perguruan Hoasan? Dengan mereka pun ada ganjalan yang tidak mudah dihilangkan yaitu hilangnya nyawa Pan Jun ketua mereka yang terdahulu di tangan Ding Tao.   Lebih-lebih lagi jika mereka memperhitungkan Perguruan Kongtong, yang diam-diam sudah dipandang oleh setiap orang, ikut bertanggung jawab dalam pembantaian di Wuling.   Memang wibawa Shaolin bisa jadi jaminan bagi berjalannya pemilihan dengan aman dan lancar.   Tapi siapa tahu lawan di mana dan kapan lawan akan menyerang? Dengan demikian, jika mereka harus berhitung dengan cermat, kartu yang bisa mereka andalkan tidaklah banyak.   Kepergian mereka ini tidak ubahnya sebuah perjudian dengan maut.   Bisa jadi satu langkah mudah meraih apa yang berusaha diraih, tapi bisa juga satu perjalanan bunuh diri.   Jika yang terburuk terjadi, maka bukan tidak mungkin mereka pergi untuk menghadapi kegagalan dan banyak kehilangan.   Untuk kembali pulang dan mendapati rumah mereka pun sudah direbut orang.   Memang tekad yang teguh dan tidak tergoyahkan sudah terpatri di dalam dada mereka.   Tapi sebagai manusia mereka pun tidak lepas dari perasaan tertekan.   Setiap kali satu langkah menapak ke depan, mereka merasa satu tapak lebih dekat dengan kematian.   Tidak heran perlahan-lahan suasana jadi semakin menekan.   Tawa Sun Gao dan Qin Baiyu menyadarkan mereka.   Memandang ke kiri dan kanan mereka melihat orang-orang yang mereka percayai dengan sepenuh hati.   Melihat ke depan, mereka melihat orang-orang yang mereka kagumi.   Ada berbagai cara untuk mati, mati dalam perjuangan bersama orang yang kau kagumi dan sahabat yang kau percayai adalah kematian yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan puluhan cara mati yang lain.   Memikirkan hal itu, langit memang terlihat lebih cerah, hati pun hangat oleh persahabatan yang mengelilingi mereka.   Suasana perjalanan yang penuh ketegangan itu pun tersapu pergi.   Tanpa terasa satu hari pun berlalu, tidak banyak yang terjadi selama satu hari perjalanan mereka itu, informasi-informasi baru berkenaan dengan pemilihan Wulin Mengzhu tidak pernah berhenti datang, Setiap kali Chou Liang mendapatkan berita baru, tentu dia akan menyampaikannya pada Ding Tao dan yang lain lewat seorang pembawa pesan.   Berita itu bisa sampai dengan relatif cepat untuk keadaan di jaman itu.   Hal itu bisa terjadi karena sejak memulai membangun jaringan, Chou Liang sudah menyiapkan orang-orang yang memelihara merpati pos untuk mengirimkan berita dengan cepat.   Tidak diijinkan oleh Ding Tao untuk ikut serta, Chou Liang akhirnya memilih untuk menyumbangkan tenaganya dengan sebisa mungkin menyediakan berita terbaru pada mereka yang pergi.   Di tempat lain Tabib Shao Yong memilih untuk menemani Murong Yun Hua dan Murong Huolin.   Tabib tua itu bertekad untuk menggunakan sisa hidupnya memastikan keselamatan keluarga dan terutama putera Ding Tao, seandainya terjadi sesuatu dengan Ding Tao dan rombongannya.   Dari berita yang dikirimkan Chou Liang, Ding Tao dan yang lain mendengar majunya seorang pendekar pedang terkenal dari utara yang mendapatkan dukungan dari banyak pendekar di daerah bagian utara untuk maju menjadi Wulin Mengzhu, namanya Huang Zhuyu.   Di pihak lain, justru dari ke enam perguruan terbesar tidak ada seorangpun yang mengajukan diri untuk menjadi Wulin Mengzhu.   "Menurut kalian, apakah berita ini bisa dipercaya? Mengapa tidak satu pun dari enam perguruan besar mengajukan diri?", tanya Ding Tao.    Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok Pedang Karat Pena Beraksara Karya Tjan ID

Cari Blog Ini