Pedang Angin Berbisik 35
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 35
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Saat itu Ding Tao dan pimpinan lain Partai Pedang Keadilan berkumpul di satu ruangan yang cukup besar di rumah yang mereka sewa. "Kalau tidak salah ayah Huang Zhuyu dulu pernah juga menjadi murid Perguruan Kunlun, sebelum kemudian mendirikan perguruannya sendiri.", ujar Wang Xiaho. "Bisa jadi, tapi dari berita yang disampaikan Chou Liang, dia maju sebagai pribadi, tidak membawa nama Kunlun", sahut Tang Xiong. "Kukira mereka sadar bahwa pemilihan Wulin Mengzhu ini adalah sebuah perjudian. Tidak ada yang bisa memastikan siapa menang siapa kalah. Katakanlah kita yakin dengan kemampuan kita, bukankah orang lain pun terus mengasah kemampuannya?", jawab Liu Chun Cao. "Benar, untuk mengetahui tingkatan tokoh-tokoh dalam dunia persilatan bukan barang yang mudah. Kebanyakan dari mereka yang sudah memiliki nama dan reputasi, tidak lagi mencari-cari pertarungan, mereka hanya bertarung ketika ada yang menantang.", ujar Wang Xiaho. "Tentu saja mereka enggan bertarung jika tidak terdesak, kalau kalah bukankah reputasi yang dibangun dengan susah payah akan runtuh seketika itu juga? Ke enam perguruan besar pun tidak ada bedanya dengan mereka, jika mereka ikut maju dan kalah dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini, bukankah akan menjatuhkan reputasi yang sudah dibangun?", ujar Ma Songquan. "Aku tidak akan heran, jika nanti salah satu dari mereka tiba-tiba akan ikut mengajukan diri setelah semua calon yang datang saling bertarung.", tiba-tiba Sun Liang memberikan pendapat. "Ya mereka akan menunggu sampai mereka melihat ringan beratnya lawan yang akan dihadapi, hanya jika mereka memiliki keyakinan bahwa mereka bisa menang barulah mereka mengajukan diri.", gumam Sun Gao puteranya. "Kalau begitu, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama?", tanya Qin Baiyu. "Dalam hal ini, nama besar yang sudah dipupuk selama ratusan tahun memberikan mereka kelebihan dibanding tokoh- tokoh di luar ke enam perguruan tersebut. Kita yang terhitung baru ini, tentunya harus membuktikan diri terlebih dahulu sebelum dianggap layak untuk ikut dalam pertarungan. Sedangkan mereka, cukup dengan sejarah yang mereka bawa, sudah membuat mereka berada dalam posisi yang layak pilih.", ujar Liu Chun Cao. Dalam benak Qin Baiyu pun terbayang, bagaimana Ding Tao dan tokoh-tokoh lain yang maju dalam pemilihan bertarung habis-habisan. Kemudian saat tenaga mereka terkuras dan tubuh sudah dihiasi luka-luka, tiba-tiba salah seorang dari enam perguruan ternama itu bangkit berdiri dan berkata. "Aku kecewa dengan kemampuan mereka yang maju dalam pemlihan Wulin Mengzhu ini. Tadinya aku berharap bisa melihat orang yang layak maju memimpin kita tapi menilik kemampuan kalian, terpaksa aku mengajukan diriku sendiri." Membayangkan hal itu emosi Qin Baiyu jadi meluap dan dengan kesal dia menggeram. "Tidak adil" Ma Songquan tersenyum dan berkata. "Sejak kapan dunia persilatan mengenal kata keadilan?" Ding Tao mengerutkan alis dan berkata. "Apakah benar demikian? Menilik apa yang dilakukan Ketua Guang Yong Kwang beberapa bulan yang lalu, aku bisa membayangkan dia atau Ketua dari Kontong melakukannya, tapi kurasa tokoh-tokoh lain seperti Biksu besar Khongzhen, Pendeta Chongxan, Tetua Xun Siaoma yang bisa dipercaya." Beberapa dari mereka menganggukkan kepala setuju, tapi ada juga beberapa yang lain yang hanya diam dan menyimpan pendapat mereka sendiri. Ma Songquan dan Chu Linhe yang bermasa lalu gelap, hanya tersenyum sinis, jelas buat mereka semua orang dari perguruan besar sama busuknya. Kalau dipikirkan, sebenarnya sepasang kekasih ini sudah jauh lebih baik, setidaknya ada orang-orang yang mereka percayai, Ding Tao dan yang lain, sementara dulu satu orang pun tidak. Ding Tao yang barusan berkata, melihat reaksi mereka yang berbeda-beda hanya bisa menghela nafas. "Sudahlah, apa pun yang harus kita hadapi, kita hadapi. Kalaupun harus berhadapan dengan seluruh tokoh dalam dunia persilatan, bukankah kita sedang berusaha melakukan apa yang benar menurut hati nurani kita?", kata Ding Tao pada akhirnya. "Ya, kukira, dipikirkan pulang pergi pun tidak akan ada banyak gunanya. Sejak awal kita sudah bersiap untuk menghadapi apapun juga, pun jika tidak ada pihak lain yang berdiri bersama kita.", ujar Ma Songquan. Kali ini semuanya menganggukkan kepala, mengkhawatirkan sesuatu yang belum tentu memang tidak ada gunanya. Yang terpenting mereka tahu untuk tujuan apa mereka pergi ke kaki Gunung Songshan. Setelah bercakap-cakap lagi untuk beberapa lama, membahas ini dan itu, baik masalah dunia persilatan maupun soalan lain sebagai sesama teman, akhirnya mereka pun pergi beristirahat. Selama beberapa hari tidak banyak peristiwa penting yang dapat diceritakan. Yang cukup mengejutkan adalah jumlah nama orang yang berangkat untuk ikut terjun dalam pemilihan Wulin Mengzhu ternyata bertambah dengan cepat dari hari ke hari. Mungkin karena mereka yang tadinya ragu untuk maju, mendengar bahwa jumlah mereka yang maju mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu tidaklah banyak, juga dari ke-enam perguruan besar tidak ada yang mencalonkan diri. Ada juga yang memang tadinya kurang terdengar karena mereka maju hanya dengan mengandalkan kepandaian semata tanpa menggalang dukungan dari pihak lain. Dalam 4 hari saja, jumlah mereka yang dikabarkan ingin mencalonkan diri sebagai Wulin Mengzhu sudah menjadi 20-an orang jumlahnya. Itu baru dari berita yang ditangkap Chou Liang, belum mereka yang luput dari pengamatannya. Setiap ada berita baru dari Chou Liang akan jadi bahan pembicaraan. Nama-nama yang muncul ada yang memang banyak dikenal, ada pula yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan. Ada pula nama-nama baru dari generasi seumuran Ding Tao. Demikianlah mereka menghabiskan hari-hari itu, semakin lama semakin dekat pada tujuan. Mereka baru saja meninggalkan propinsi Hubei dan memasuki Hunan, ketika mereka melihat 18 orang bhiksu menghadang jalan mereka. Delapan belas orang bhiksu menghadang jalan mereka, berdiri di depan mereka seorang Bhiksu bertubuh tinggi besar dengan senyum ramah. Dari kejauhan pun Ding Tao dan para pengikutnya dengan cepat melihat mereka. 18 orang berpakaian khas bhiksu dengan kepala yang licin berkilauan berdiri berjajar tentu saja sangat menyolok. Di lain pihak Ding Tao berjalan diiringi sejumlah orang yang jumlahnya hampir 100 orang juga merupakan rombongan yang mencolok. Mereka masih berada di jalan antara satu propinsi dengan propinsi yang lain, tempat yang dipilih ke 18 bhiksu itu untuk menghadang, adalah sebuah tempat yang lapang. Tidak ada bangunan di kiri dan kanan mereka, bahkan tidak tampak ada rumah sejauh mata memandang. Ketika rombongan Bhiksu itu melihat hadirnya rombongan Ding Tao, mereka segera bergerak menyambut. Melihat orang datang mendekat, hati Ding Tao dan yang lainnya jadi bertanya-tanya. Siapakah mereka? Apa tujuan mereka? Apakah mereka memang sengaja menunggu di sana? "Amitaba, Salam saudara, apakah benar saudara adalah Ketua Ding Tao dari Partai Pedang Keadilan?", ucap Bhiksu yang bertindak sebagai pemimpin dari ke-18 orang bhiksu tersebut sambil merangkapkan tangan di depan dada, memberi salam, bukan hanya pada Ding Tao tapi juga mengangguk ke kiri dan ke kanan, kepada mereka yang mengikuti Ding Tao. Ding Tao yang ditanya dengan sopan merangkapkan tangan di depan dada, membalas salam mereka dan menjawab, "Benar, nama siauwtee Ding Tao, boleh tahu siapa nama bapak Bhiksu yang terhormat dan bolehkah tahu ada urusan apa?" "Hmm bukankah dia itu keledai gundul yang bernama Bhiksu Pu Jit? Hei Pu Jit, apa kabarmu, jangan pura-pura lupa dengan Liu Chuncao", tiba-tiba Liu Chuncao yang tadinya berada di tengah barisan untuk bercakap-cakap dengan para pengikut mereka maju ke depan dan berdiri di samping Ding Tao. Beberapa orang dari jajaran pimpinan yang tadinya membaur di tengah barisan turut maju ke depan dan sekarang berjajar di belakang Ding Tao. Bhiksu Pu Jit yang disapa Liu Chuncao tidak marah oleh panggilan keledai gundul, senyumnya justru makin lebar. "Oho rupanya Tosu bau Liu Chuncao juga ada di sini, memang sudah kudengar kalau kau mengikuti Ketua Ding Tao, hanya saja tadi tidak kulihat dirimu. Sebenarnya sejak mendengar kabar itu aku ingin bertanya, ada apa dengan tosu bau macam dirimu ini, sehingga tiba-tiba ikut pula masuk dalam satu partai, bukankah dulu kau lebih suka berkelana sendirian?", olok-olok Pu Jit membalas Liu Chuncao. "Hee, jangan samakan aku dengan dirimu, aku mengikut Ketua Ding Tao karena hal itu sesuai dengan nuraniku. Jika hatiku bilang ke kiri ya aku ke kiri, ke kanan ya ke kanan. Bukan seperti dirimu yang untuk kentut pun harus minta ijin pada pimpinanmu.", jawab Liu Chuncao sambil menyengir lebar. "Wah, benar-benar tosu bau, tak kusangka mulutmu tidak kalah baunya dengan kentutku", ujar Pu Jit disambung tawa berkakakan mereka berdua. Bhiksu-bhiksu Shaolin yang datang bersama Pu Jit, juga orang-orang Partai Pedang Keadilan saling berpandangan keheranan. Tidak menduga Pu Jit dan Liu Chun Cao yang setiap harinya terlihat serius dan pendiam, ternyata bisa juga jadi urakan. Kedekatan mereka berdua memang jarang diketahui orang, tapi sebenarnya dua orang ini bersahabat cukup dekat. Belasan tahun yang lalu keduanya sempat bertarung akibat satu kesalah pahaman. Pu Jit yang jarang turun berkelana di dunia persilatan, bertemu dengan lawan tangguh untuk pertama kalinya. Ilmu keduanya hampir berimbang dan selama ratusan jurus bertarung tanpa ada yang mampu meraih kemenangan. Kelelahan dan kehabisan tenaga, barulah mereka berbicara dan sadar telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka berdua. Akhirnya dari bertarung mati-matian, keduanya justru jadi sahabat dekat. Saat tawanya mereda Liu Chuncao pun bertanya. "Keledai gundul, jadi apa maumu menghadang kami di sini?" "Haha bagaimana ya? Kalian tahu tidak berapa jumlah orang persilatan yang datang ke kaki Gunung Songshan dengan tujuan untuk ikut sertaberupaya merebut kedudukan Wulin Mengzhu?", ujar Pu Jit dengan senyum serba salah. "Hmmkami mendengarnya sudahlah cepat jelaskan saja apa maksudmu menghadang kami, tidak usah cengar-cengir begitu.", ujar Liu Chuncao. "Kuharap kalian tidak salah paham, ketua kami Bhiksu besar Khongzhen berpendapat bahwa kami harus melakukan sesuatu dan memutuskan bahwa mereka yang ingin maju menjadi calon Wulin Mengzhu harus diuji terlebih dahulu. Mereka ini harus dapat melewati barisan kami dan mendapatkan medali ini sebagai bukti.", jawabPu Jit sambil menunjukkan sebuah medali dari giok. "Hmm jadi maksud Bhiksu Pu Jit, jika siauwtee ingin maju menjadi calon Wulin Mengzhu di pertemuan kaki Gunung Songshan nanti, maka siauwtee harus membuktikan diri dengan menghadapi barisan kalian?", ujar Ding Tao yang sejak tadi mengikuti pembicaraan mereka. "Benar sekali Ketua Ding Tao, kuharap ketua mengerti, dengan cara ini diharapkan pada pertemuan nantinya tidak terlalu banyak calon dan menghabiskan banyak waktu. Selain itu ujian yang diberikan oleh ketua kami, hanya terbatas sampai calon yang diuji dapat menerobos keluar dari kepungan kami, sehingga diharapkan tidak ada korban yang jatuh. Dibandingkan jika terjadi pertarungan untuk mencari menang dan kalah, antara dua calon di atas arena.", jawab Pu Jit menjelaskan. "Itu ide yang bagus, tentu saja aku akan mengikuti ketentuan ini.", jawab Ding Tao dengan antusias. "Syukurlah kalau ketua merasa demikian", jawab Pu Jit dengan rasa lega. Liu Chuncao mengerutkan alis dan berkata. "Hmm apa bukannya kalian sedang menunjukkan pada dunia persilatan akan kekuatan kalian?" "Apa maksud Saudara Liu Chuncao?"", tanya Pu Jit sambil tersenyum kecil. "Hmph, dasar keledai gundul, jumlah mereka yang datang ke kaki Gunung Sonshan ada berapa orang. Ada berapa jumlah jalan yang bisa ditempuh seseorang untuk bisa sampai ke sana. Ada berapa jumlah Bhiksu petarung yang kalian tugaskan untuk menjaga jalan?", tanya Liu Chuncao dengan gemas. "Oh soal itu hehe, terakhir kali kami mendengar berita, setidaknya ada 20-an orang yang pergi ke kaki Gunung Songshan dengan keinginan untuk ikut maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu. Untuk masuk ke propinsi Henan, setidaknya ada 34 jalan masuk yang bisa dipilih. Ada 18 kali 34 orang Bhiksu yang dikirimkan secara berkelompok untuk menjaga 34 jalan masuk ke propinsi Henan, dan 6 kali 18 orang yang meronda berkeliling untuk memastikan tidak ada pengunjung yang terlewat.", jawab Pu Jit dengan senyum yang tak menyembunyikan rasa bangganya terhadap perguruan tempat dia dibesarkan. Tidak salah memang jika Liu Chuncap mengatakan Shaolin sedang melakukan pameran kekuatan. Dalam segi jumlah Bhiksu petarung yang diturunkan Shaolin saja, tidak sampai 10 perguruan atau partai yang bisa meyamainya, 18 kali 40, berarti ada 640 orang Bhiksu yang dikirimkan Shaolin. Lagipula ke 640 orang yang dikirim tersebut, tentu bukan orang sembarangan. Shaolin tentu saja tidak hendak mempermalukan diri sendiri dengan mengirimkan Bhiksu petarung tingkatan rendah. Liu Chuncao sendiri cukup maklum seberapa tinggi ilmu Bhiksu Pu Jit yang pernah dia hadapi dalam satu pertarungan. Selain itu, Gunung Songshan sendiri tentu saja tidak mungkin ditinggalkan kosong tanpa ada yang menjaga. Umumnya ketika seorang pendekar menyerang dalam satu pertarungan, maka setidaknya selalu ada 4 bagian tenaga yang disimpan untuk bertahan. Dengan perhitungan kasar yang sama, seharusnya masih ada 400-an bhiksu dengan tingkatan ilmu setara dengan mereka yang dikirimkan keluar yang berjaga di Gunung Songshan. Bagaimana dengan Bhiksu lain, baik mereka yang berada dengan tingkat di bawah ke 1000 orang bhiksu tersebut, juga mereka yang lebih tinggi tingkatnya? Dengan cepat mereka yang mendengar jawaban Bhiksu Pu Jit berhitung dalam hati dan diam-diam meleletkan lidah dengan dada bergemuruh membayangkan kekuatan Shaolin. Ding Tao pun mendesah sambil menggelengkan kepala. "Sungguh kekuatan Shaolin bukan nama kosong, jika ketua kalian mau maju dalam pemilihan Wulin Mengzhu, aku bisa kalah dengan hati lega." "Ketua Ding Tao terlalu memuji, tentang pemilihan Wulin Mengzhu, ketua kami sudah dengan jelas mengatakan bahwa beliau tidak akan turut serta dalam pencalonan. Hanya saja, apakah Shaolin akan ikut bersumpah setia di bawah pimpinan Wulin Mengzhu yang terpilih nanti atau tidak, belumlah ditentukan.", jawab Pu Jit. Sejenak Ding Tao terdiam memikirkan jawaban-jawaban Pu Jit. Ding Tao yang tidak menyimpan kecurigaan terhadap Biksu Khongzhen menanggapi keputusan Bhiksu Khongzhen itu dengan baik. Bhiksu Khongzhen yang tidak ingin ikut memperebutkan kedudukan Wulin Mengzhu, tidak ingin pula mengikatkan dirinya di bawah otoritas tokoh yang tidak bisa dia percaya. Mungkin itu pula sebabnya Bikshu Khongzhen menunjukkan kekuatan Shaolin di depan seluruh dunia persilatan. Sebuah pesan yang cukup jelas, Shaolin ingin bersahabat, namun jangan pula berusaha memaksa Shaolin untuk melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan. Berpikir demikian, tercetuslah satu pertanyaan. "Bhiksu Pu Jit, apakah sesungguhnya Bhiksu besar Khongzhen tidak setuju dengan diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu ini?" Pu Jit memandang Ding Tao untuk beberapa lama, dia tidak mendapati perasaan tidak menyenangkan dari pemuda ini. Meskipun umurnya terbilang masih sangat muda namanya sudah terkenal, namun hal itu tidak membuat pemuda ini menjadi seorang yang besar kepala. Sikapnya pada Pu Jit selalu sopan dan tidak mudah pula tersinggung. Seseorang yang tidak mudah tersinggung biasanya adalah seorang yang rendah hati. Karena dia tidak menganggap kedudukan dirinya sendiri tinggi, dengan sendirinya sikap orang lain selalu dianggap sesuatu yang wajar bagi dia. Beda dengan seseorang yang memandang dirinya lebih tinggi dari orang lain, orang yang demikian biasanya menuntut orang lain bersikap sesuai dengan kedudukannya yang tinggi. Jika ada orang yang meragukan mereka, itu adalah satu penghinaan yang besar. Apalagi Ding Tao memiliki kedudukan sebagai ketua dari satu partai, perkataan Pu Jit bahwa dirinya akan menguji kepandaian Ding Tao bisa dipandang sebagai satu penghinaan. Namun perasaan yang demikian, tidak tampak pada diri Ding Tao. Dengan cepat Pu Jit menyukai pemuda itu, apalagi sahabat yang dia percaya benar kepribadiannya memilih untuk menjadi pengikut dari pemuda itu. Rasa sukanya semakin besar, karena dari nada dia bertanya, alih-alih menjadi marah, Ding Tao justru memiliki pandangan yang baik terhadap Shaolin, yang kali ini dengan sengaja menghadang dia dan berniat untuk menguji dirinya. Sebuah senyum terbentuk di wajahnya dan dengan pandangan yang baru pada pemuda itu dia menjawab,"Memang sebenarnyalah demikian, sebelum mengirimkan kami semua untuk tugas ini, beliau sempat menyampaikan pandangannya atas diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu ini. Menurut beliau ada beberapa keberatan, yang pertama kedudukan Wulin Mengzhu dalam sejarah dunia persilatan, adalah kedudukan yang mengikat seluruh anggota dunia persilatan dan memberikan kekuasaan yang terlampau besar pada satu orang atau kelompok. Padahal kekuasaan yang terlampau besar, seringkali merusak watak seseorang." "Keberatan yang kedua adalah kemungkinan munculnya konflik-konflik dan permusuhan baru dalam persaingan untuk merebut kedudukan Wulin Mengzhu ini. Jika tidak berhati-hati dan jika tidak muncul tokoh yang bisa diterima semua pihak, pemilihan ini justru bisa jadi bumerang yang membuat dunia persilatan semakin terpecah-pecah. Seharusnya tanpa adanya satu sosok pimpinan pun, tanpa adanya seorang Wulin Mengzhu pun, jika setiap orang mau meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, persatuan dan kesatuan yang kuat akan terbentuk." "Keberatan yang ketiga, lebih merupkan keberatan yang muncul dari pilihan hidup beliau sebagai manusia yang mementingkan jalan spiritual. Menurut beliau, ancaman yang muncul dari Ketua Partai Bulan dan Matahari, tidaklah perlu dihadapi melulu dengan kekerasan. Dengan menyatukan seluruh dunia persilatan untuk menghadapi Partai Bulan dan Matahari, tidak ubahnya menambahkan kayu pada api, menang jadi arang kalah jadi abu. Jalan yang terbaik adalah merangkul dan berusaha membangun saling pengertian di antara dua pihak yang bersebarangan." "Namun karena tuntutan dari sebagian besar masyarakat dunia persilatan, termasuk beberapa perguruan besar lainnya, akhirnya setelah berdiskusi dengan ketua dari lima perguruan besar yang lain, beliaupun memutuskan untuk mendukung diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu tersebut. Dengan dua permintaan, yang pertama yaitu agar Shaolin dipercaya untuk mengatur pengadaannya. Yang kedua, bahwa Shaolin minta agar 5 perguruan yang lain tidak memaksa Shaolin untuk tunduk dan bersumpah setia pada Wulin Mengzhu yang terpilih.", ujar Pu Jit menjelaskan panjang dan lebar tentang pendangan Bhiksu Khongzhen terhadap pemilihan Wulin Mengzhu ini. Mereka yang mendengarkan penjelasan Bhiksu Pu Jit pun bisa memahami kedudukan Bhiksu Khongzhen. Jika ada yang tadinya merasa penasaran karena pihak Shaolin mengirimkan orang untuk menguji Ding Tao, setelah mendengar penjelasan itu jadi teredam kekesalannya. Apalagi Ding Tao yang sejak awal tidak merasa tersinggung oleh perlakuan Pu Jit, pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala, merasa kagum pada Bhiksu Khongzhen, katanya. "Sungguh aku kagum pada ketua kalian. Sayangnya aku sendiri berada pada kedudukan, di mana aku mengambil keputusan untuk mengikuti pemilihan Wulin Mengzhu ini. Baiklah sekarang, kita mulai saja ujian yang harus kulewati untuk mendapatkan medali giok tersebut." "Jika Ketua Ding Tao sudah siap, marilah kita mulai.", jawab Bhiksu Pu Jit. "Baik, mari kita mulai. Saudara-saudara yang lain harap mundur dan memberikan tempat.", ucap Ding Tao. Dalam waktu singkat sebuah ruangan yang cukup besar pun disediakan bagi Ding Tao dan ke-18 orang bhiksu Shaolin untuk bertarung. 18 orang bhiksu tersebut dengan cepat mengepung Ding Tao dalam sebuah barisan. Pengikut Ding Tao yang jumlahnya mendekati seratus, berdiri di jarak yang cukup jauh dan mengamati pertarungan yang akan segera terjadi. Suasana pun jadi sunyi sepi, sehingga suara burung-burung di kejauhan terdengar jelas. "Apakah kalian sudah siap?", tanya Ding Tao pada Pu Jit. "Kami sudah siap, silahkan Ketua Ding Tao memulai, asalkan ketua bisa menerobos barisan kami, maka medali giok itu menjadi hak Ketua Ding Tao, sebagai tanda bahwa ketua lulus ujian kami.", jawab Pu Jit dengan tegas. "Baik, hati-hatilah kalian, aku akan memulai.", ujar Ding Tao. "Silahkan", sekali lagi Pu Jit mempersilahkan, urat syaraf setiap orang pun menegang, menantikan dimulainya gebrakan pertama antara dua pihak yang berhadapan. Ding Tao tidak terburu-buru bergerak, seperti juga yang pernah dilakukan Guang Yong Kwang saat dikepung oleh barisan ciptaan para pimpinan Partai Pedang Keadilan, Ding Tao dengan tenang menguji reaksi dari barisan yang dia hadapi terhadap gerakan-gerakan kecil yang dia lakukan. Memang pertarungan kali ini pun memiliki syarat yang mirip dengan pertarungan saat itu. Karena barisan lawan hanya bertujuan untuk mengurung dan bukan melumpuhkan, maka yang terkurung memiliki ruang dan waktu yang lega untuk mengamat-amati barisan lawan. Alangkah jauh berbeda jika barisan lawan bukan hanya diam mengurung tapi juga bergerak untuk menyerang. Dari sini bisa dilihat bahwa bhiksu-bhiksu dari Shaolin ini memang hanya berniat menguji, bukan berniat untuk melukai ataupun menghinakan lawan. Mereka yang mendukung Ding Tao dan tadinya sempat merasa sebal dengan perlakuan orang-orang dari Shaolin yang seakan meremehkan keberadaan mereka, sehingga untuk datang ke kaki Gunung Songshan sebagai calon Wulin Mengzhu, mereka harus terlebih dahulu mereka uji. Bukankah yang menguji pada umumnya bertingkat lebih tinggi daripada yang diuji? Dengan demikian bukankah Shaolin merasa lebih hebat, lebih tinggi dan berpengetahuan dari mereka? Beruntung rasa penasaran mereka yang umumnya masih muda-muda dan berjiwa panas bisa diredam oleh mereka yang lebih tua dan lebih tenang dalam menghadapi masalah. Mungkin hanya Ma Songquan dan Chu Linhe dari para pimpinan yang ikut sewot seperti mereka yang masih berumur muda terhadap penghadangan Shaolin ini. Jika mengikuti kata hati dan sifat liar mereka yang dulu, mungkin sebelum Ding Tao menyediakan dirinya untuk diuji, mereka berdua sudah menghambur ke depan dan menggebrak lawan terlebih dahulu. Bukan hanya untuk menerobos tapi untuk melampiaskan kekesalan mereka dan melukai sebanyak-banyaknya lawan. Sedikit dari mereka yang mengetahui latar belakang kedua orang itu, merasa sangat kagum dengan perubahan yang terjadi pada diri mereka. Rasa kagum dan heran ini akhirnya berujung pada rasa kagum pada Ding Tao, sebagai orang yang berhasil menjinakkan sepasang iblis muka giok yang ditakuti oleh hampir semua tokoh dalam dunia persilatan. Bahkan mereka yang berkemampuan tinggi pun merasa gentar jika harus membuat permusuhan dengan mereka berdua. Bukan karena takut kalah, terluka atau terbunuh dalam pertarungan, tapi takut oleh keberingasan lawan dan sikap yang tidak peduli dengan aturan. Bermusuhan dengan sepasang iblis itu sama saja artinya, setiap kali makan harus memeriksa apakah makanan dan minumanmu bersih dari racun. Setiap tidur harus tetap menajamkan panca indera, siapa tahu sepasang iblis itu berusaha menyusup ke dalam rumah saat engkau tidur. Bermusuhan dengan mereka artinya, jika orang-orang dekat tidaklah berilmu tinggi, sebaiknya mereka selalu berada dekat dan bisa ditolong setiap saat. Hidup seperti itu bagaikan hidup di neraka dan sedikit kelengahan bisa berarti fatal. Reputasi sepasang iblis itu sendiri juga terlalu dibesar-besarkan dan juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk menyembunyikan jejak kejahatan mereka. Berencana membunuh saingan tanpa diketahui orang lain? Berpura-puralah jadi sahabatnya, kemudian setelah kau bunuh dia, salahkan saja sepasang iblis itu. Sepasang iblis itu sendiri tidak pernah keberatan dengan fitnah yang mereka terima, semakin menakutkan nama mereka di dunia persilatan semakin senanglah mereka berdua. Ketika muncul keinginan untuk meninggalkan jalan yang lama, nama mereka sudah terlampau hitam. Itu sebabnya mereka memilih untuk menyamar dan mengganti nama saat mereka hendak bergabung dengan Ding Tao, supaya hitamnya nama mereka tidak menjatuhkan Ding Tao yang baru saja tumbuh. Kembali lagi pada Ding Tao, dalam waktu yang terhitung singkat, pemuda itu sudah mulai menyusun rencana untuk bebas dari kepungan barisan lawan. Dia sudah menguji bagaimana barisan itu bereaksi terhadap gerakannya, menilik reaksi mereka, yakinlah Ding Tao bahwa barisan mereka sudah pernah dia pelajari dari salah satu kitab yang dibawa Murong Yun Hua. Kalaupun ternyata dia salah, tidak menjadi soal, dia masih bisa mundur dan memikirkan rencana lain. Pemuda itu yakin, bahwa bhiksu-bhiksu dari Shaolin ini sungguh-sungguh hanya ingin menguji dirinya, bukan untuk mencelakainya. Setelah memikirkan hal ini, dengan mantap Ding Tao mulai bergerak sesuai dengan rencana yang sudah terpeta di benaknya. Ding Tao bergerak limbung, dengan langkah terhuyung-huyung, inilah jurus pendekar mabuk. Ada beberapa macam jurus mabuk yang dia pelajari dalam kitab-kitab milik Murong Yun Hua, saat dia berpikir tadi tampaknya beberapa dari gerakan- gerakan tersebut sesuai sekali untuk menghadapi barisan dari Shaolin yang mengurungnya. Tanpa pernah melatih ilmu itu sebelumnya Ding Tao mencoba untuk bergerak sesuai teori yang dia baca. Gerakannya tidak seluwes mereka yang sudah melatih jurus-jurus tersebut selama bertahun-tahun, tapi tidak menjadi masalah, barisan Shaolin bereaksi sesuai perhitungannya. Semakin lama, gerakan Ding Tao semakin cepat. Barisan dari Shaolin pun ikut bergerak semakin cepat. Nyata beda tingkatan dari orang-orang Ding Tao yang melatih ilmu barisan Partai Pedang Keadilan dengan tingkatan bhiksu-bhiksu Shaolin ini. Jika barisan yang dihadapi Guang Yong Kwang menunjukkan kelamahannya karena perbedaan kemampuan antara seorang dengan seorang yang lain, maka barisan ini tidak menunjukkan kelemahan yang sama. Kecepatan, kekuatan dan pemahaman tiap-tiap bhiksu dalam barisan itu sama kuatnya. Per orangan, mereka tidak bisa dibandingkan dengan Ding Tao, bersama-sama mereka merupakan tandingan yang cukup kuat. Seandainya saja Ding Tao belum pernah mempelajari ilmu barisan itu, tentu dia tidak akan bisa memikirkan rencana yang saat ini sedang dia jalankan. Ding Tao harus menggunakan kekerasan untuk menerobos barisan itu. Sangat berbeda apa yang dilakukan Guang Yong Kwang kala itu dengan apa yang dilakukan Ding Tao saat ini. Rencana Ding Tao tidak bergantung pada perbedaan kemampuan mereka yang menjalankan ilmu barisan itu. Rencana yang ada dalam benak Ding Tao disusun berdasarkan teoridari ilmu barisan itu sendiri. Awalnya mereka yang melihat pertarungan itu tidak mengerti apa rencana Ding Tao, setelah beberapa jurus berlalu, mereka mulai melihat bagaimana barisan itu perlahan-lahan tersibak dan Ding Tao bergerak melalui celah yang terbentuk. Barisan itu berusaha menutup gerakan Ding Tao, namun setiap usaha mereka hanya membuat kepungan mereka atas Ding Tao semakin longgar. Barisan yang bertarung melawan Ding Tao sendiri tidak dapat melihat bagaimana reaksi mereka terhadap gerakan Ding Tao hanya membuat lubang-lubang dalam barisan mereka semakin lebar. "Cukup!", tiba-tiba Bhiksu Pu Jit berseru dengan kerass. Dengan penuh disiplin 17 orang bhiksu yang lain dengan cepat berlompatan dan berbaris rapi di belakang Bhiksu Pu Jit. Butuh beberapa jurus berlalu sebelum Bhiksu Pu Jit menyadari bahwa ding Tao sudah berhasil memegang kunci kelemahan barisan yang mereka gunakan. Sadar bahwa jika pertarungan itu diteruskan pada akhirnya Ding Tao akan berhasil lepas dari kepungan, Bhiksu Pu Jit pun memilih untuk menghentikan pertarungan itu. Pada dasarnya tujuan mereka adalah untuk menguji Ding Tao dan dari apa yang dia lihat Bhiksu Pu Jit sedikit banyak sudah bisa meraba seberapa tinggi ilmu Ding Tao. Selain itu dia juga bisa melihat kepribadian pemuda itu. Meskipun tidak ada larangan untuk saling menyerang, Ding Tao tidak berusaha untuk bebas dari kepungan dengan melumpuhkan lawan. Ding Tao memilih jalan yang lebih sulit, yaitu dengan cara berusaha memahami teori ilmu barisan lawan dan kemudian memikirkan cara untuk menerobosnya tanpa kekerasan. Mau tidak mau Bhiksu Pu Jit harus mengakui keenceran otak dan luasnya pengetahuan Ding Tao. Jika tidak bagaimana mungkin pemuda itu bisa menemukan kelemahan dari barisan yang dia hadapi dan menggunakan ilmu barisan itu untuk mengalahkan dirinya sendiri? Ilmu barisan itu sendiri diciptakan salah seorang Tetua Shaolin yang banyak mempelajari pergerakan benda-benda di langit Terinspirasi oleh gerakan planel-planet yang mengelilingi matahari dan berbagai macam bentuk rasi bintang, tetua Shaolin itu akhirnya menciptakan ilmu barisan yang sekarang mereka gunakan untuk mengurung Ding Tao. Dalam sangkaan Bhiksu Pu Jit, Ding Tao adalah seorang pendekar yang bukan saja mempelajari ilmu-ilmu bela diri tapi juga faham ilmu militer, ilmu alam dan macam-macam pengetahuan lainnya. Sehingga ketika Ding Tao menguji barisan itu, dia mengenali ilmu perbintangan yang menjadi dasar-dasar pergerakan mereka. Tapi mengenali ilmu barisan itu sendiri barulah setengah dari pekerjaan yang harus dilakukan Ding Tao. Memikirkan cara untuk memecahkan ilmu barisan itu berdasarkan apa yag dia ketahui dua kali lebih sulit daripada memahaminya dan Ding Tao berhasil melakukan hal itu. Di bagian yang pertama, yaitu memahami ilmu barisan itu, tentu saja Ding Tao banyak dibantu oleh kitab-kitab koleksi keluarga Murong. Namun untuk bagian kedua, bisa dikatakan sebagian besar adalah dari kecerdasannya sendiri. Bhiksu Pu Jit menunggu semua saudara perguruannya sudah berbaris rapi di belakangnya, sebelum kemudian dia maju dan mengangsurkan medali giok yang menjadi bukti bahwa Ding Tao sudah lolos ujian dari Shaolin dan dipandang layak untuk mengajukan diri sebagai calon Wulin Mengzhu. "Benar-benar, reputasi dan kehebatan Ketua Ding Tao bukanlah nama kosong.", puji Bhiksu Pu Jit. "Ah hanya kebetulan saja, kebetulan aku mengenali dasar-dasar ilmu barisan tersebut dari sebuah kitab yang pernah kubaca.", jawab Ding Tao, merasa malu karena dia merasa sudah berbuat curang untuk menang dari ujian ini. "Hahaha sungguh tidak kusangka, Ketua Ding Tao bukan hanya seorang yang ahli bela diri, tapi juga seorang yang ahli dalam ilmu perbintangan pula.", ujar Bhiksu Pu Jit yang menyangka tebakannya tepat. Ding Tao yang dipuji jadi semaki malu saja, mengertilah dia sekarang bahwa gerakan-gerakan tersebut rupanya diinspirasikan oleh pergerakan benda-benda di langit. "Bhiksu, anda terlalu memuji, aku hanya sedikit tahu saja, tidak bisa dikatakan sebagai seorang ahli." "Ketua Ding Tao terlalu rendah hati, memahami ilmu barisan itu sendiri baru setengah dari apa yang Ketua Ding Tao tunjukkan pada kami hari ini. Medali giok ini sudah sepantasnya berada di tangan ketua, aku justru merasamalu sekarang sudah berani-beraninya menguji ketua.", ujar Bhiksu Pu Jit sambil mengangsurkan medali giok yang ada di tangannya. "Ketua Ding Tao, aku mohon maaf sudah berani menguji dirimu, terimalah medali ini", ujar Bhiksu Pu Jit. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, kami mengerti kebijakan Bhiksu besar Khongzhen dan sama sekali tidak merasa keberatan dengan diadakannya ujian ini", jawab Ding Tao sambil mengambil medali giok yang diangsurkan Bhiksu Pu Jit. Alangkah kagetnya Ding Tao ketika dia merasakan sebuah hawa panas yang tajam meruak keluar dari medali itu melalui jari-jarinya, tepat pada saat jari-jarinya memegang sebagian dari medali tersebut. Hawa panas itu bergerak melalui jalur energi yang ada di sepanjang lengnnnya, hendak menyerang jantungnya. Dengan cepat Ding Tao mengerahkan hawa murninya untuk melindungi jantungnya dari serangan hawa panas tersebut. Baru setelah berhasil menahan hawa panas yang menyerang dirinya, dia memandang ke arah Bhiksu Pu Jit dengan pandangan bertanya. "Maaf Bhiksu apa maksudnya ini?", tanya pemuda itu. "Apakah ini pun sebuah ujian?", tanyanya sekali lagi. Bhiksu Pu Jit tidak bisa menjawab, karena saat itu dia sedang berjuang untuk menekan hawa murni Ding Tao yang melindungi titik-titik energi dalam tubuhnya. Hawa panas yang menyerang Ding Tao adalah hawa murni milik Bhiksu Pu Jit yang berusaha menyerang jantung Ding Tao, Bhiksu Pu Jit berusah menyusupkannya melalui persentuhan jari-jari mereka. Tapi sekali lagi Bhiksu Pu Jit harus mengakui kelebihan Ding Tao, bukan saja pemuda itu bisa dengan cepat mengerahkan hawa murninya dan menahan hawa murni Bhiksu Pu Jit yang menyerang. Himpunan hawa murni yang dimiliki Ding Tao bahkan lebih kuat dari yang dia miliki. Terbukti, saat Bhiksu Pu Jit harus bersusah payah untuk mengerahkan hawa murninya menyerang Ding Tao. Ternyata Ding Tao masih bisa mengajak Bhiksu Pu Jit berbicara. Bhiksu Pu Jit pun harus mengakui kekalahan untuk kedua kalinya dan perlahan-lahan dia menarik serangannya. Dia pun menjadi kagum, ketika merasakan bahwa hawa murni Ding Tao tidak berbalik menyerang dirinya. Sangkanya Ding Tao menahan serangan hawa murninya dengan cara mendorong hawa murni itu mundur kembali ke arah dirinya. Umumnya demikianlah yang dilakukan, dua orang ahli tenaga dalam saling mendorong dengan hawa murni mereka, yang kalah akan terpukul oleh hawa murni lawan. Tapi bukan demikian yang dilakukan Ding Tao, yang dilakukan pemuda itu adalah membangun benteng di sekitar jalur-jalur energi yang hendak digunakan Bhiksu Pu Jit untuk menyerang. Tekanan yang dirasakan Bhiksu Pu Jit muncul karena dia berusaha mendorong hawa murni yang melindungi tubuh Ding Tao. Tapi saat dia mengendurkan serangan, dengan sendirinya dia juga merasakan tekanan hawa murni Ding Tao pada dirinya berkurang. Kalau hendak digambarkan, hal ini serupa seperti saat kita mendorong sebuah tembok yang kokoh. Aksi kita mendorong temboklah yang melahirkan reaksi dorongan ke arah sebaliknya yang kita rasakan. Dorongan itu muncul sebagai reaksi atas dorongan kita, bukan berarti tembok itu yang mendorong kita. Hal itu hanya bisa dilakukan Ding Tao jika himpunan hawa munrni yang dia miliki jauh lebih kokoh dari hawa murni milik lawan dan itulah yang dipikirkan oleh Bhiksu Pu Jit. Namun tidaklah persis seperti itu yang terjadi. Hawa murni ada di sekeliling kita, ada di udara, di tanah, ada di air, di mana-mana. Sejak berlatih ilmu tenaga dalam inti bumi, pemuda itu mulai bisa merasakan tenaga yang terimpan di dalam bumi. Dalam ilmu hawa murni inti bumi yang dia pelajari, untuk mengumpulkan hawa murni, dia menghisap hawa murni dari bumi dan perlahan-lahan mengolahnya kemudian menyimpannya dalam Dan Tian. Dalam perkembangannya semakin lama, semakin mudah bagi Ding Tao untuk menghisap tenaga dari dalam bumi untuk dia olah dan gunakan. Meskipun kapasitas Dan Tian dalam dirinya sebagai manusia, tidak memungkinkan dia untuk menyimpan seluruh hawa murni yang bisa dia hisap dari dalam bumi, pemuda itu sudah terlatih untuk menghisap dan menggunakan tenaga dari bumi sesuka hatinya. Sehingga saat Bhiksu Pu Jit menyerangnya, sebenarnya yang dilakukan Ding Tao tidak lebih hanyalah bersandar bumi yang kokoh untuk menahan serangan Bhiksu Pu Jit. Ketika sadar Ding Tao seoenuhnya dapat menguasai hawa murninya dan tidak ada resiko untuk menarik hawa murninya sendiri, Bhiksu Pu Jit pun merasa lega. Dengan segera dia menarik kembali serangannya. Sedikit malu-malu, Bhiksu Pu Jit melepaskan medali itu, menggaruk-garuk kepalanya yang gundul, dan menjawab. "Hehe.. ah maafkan aku, adalah tugasku untuk menguji diri ketua dan yah sudah jelas Ketua Ding Tao sangat pantas untuk menjadi calon Wulin Mengzhu." Saat Bhiksu Pu Jit menghentikan barisan Shaolin dan mendekat pada Ding Tao untuk memberikan medali, orang-orang Partai Pedang Keadilan sudah berjalan mendekat sambil bersorak. Mereka menyangka ujian sudah selesai dan Ding Tao sudah melewatinya. Hampir semua orang terkejut, saat tiba-tiba mereka melihat gerakan Ding Tao terhenti dengan tiba- tiba. Ketika mereka sadar bahwa Bhiksu Pu Jit sudah menyerang dengan diam-diam, rasa terkejut itu pun berubah jadi rasa marah dan khawatir. Rasa khawatir mereka hilang saat Ding Tao mulai bertanya-tanya pada Bhiksu Pu Jit. Melihat Ding Tao masih bisa dengan bebas berkata-kata, membuktikan bahwa keadaannya tidaklah begitu berbahaya. Mereka pun menunggu-nunggu dengan cemas, tidak ingin bergerak sembarangan dan mengakibatkan kecelakaan yang fatal, pada dua orang yang sedang mengadu tenaga dalam.Baru setelah Bhiksu Pu Jit melepaskan pegangannya pada medali giok dan meminta maaf pada Ding Tao, barulah mereka datang mendekat dengan cepat. Liu Chuncao yang merasa sangat kesal pada Bhiksu Pu Jit berada paling depan. Ma Songquan dan Chu Linhe yang sangat marah justru tidak ikut maju ke depan. Ma Songquan begitu marahnya hingga tangannya gemetaran. Chu Linhe yang sudah sangat paham akan sifat ma Songquan, buru0buru menahan tubuh suaminya itu dan berbisik. "Ketua Ding Tao sudah aman, jangan merusak suasana dengan kemarahanmu" Bisik Chu Linhe. Ma Songquan hanya menggeram saja, tapi dia tidak melawan, dia sadar Chu Linhe benar. Ding Tao sudah berhasil mendapatkan medali giok sebagai tanda bahwa dia dapat maju sebagai calon Wulin Mengzhu, mengumbar kemarahannya dan menyerang Bhiksu Pu Jit hanya akan membuat suasana menjadi buruk. Sementara itu Liu Chuncao dengan cepat mendekat dan sebelum ada yang bisa bertindak dia sudah mendorong bahu Bhiksu Pu Jit dengan keras. "Keledai gundul, apa kau hendak mencari perkara denganku! ?Apa kau sudah bosan hidup!? Hah?", serunya dengan mata melotot. Bhiksu Pu Jit yang bisa memahami kekesalan orang-orang Ding Tao tidak melawan balik, dia hanya membungkuk dalam- dalam dan berkata. "Maafkan aku, aku hanya menjalankan tugas saja. Tidak lebih, tidak kurang." Sebelum Liu Chuncao sempat memaki dan menyerang Bhiksu Pu Jit untuk kedua kalinya, tangan Ding Tao sudah memegang bahunya. "Pendeta Liu, tenanglah Jika Bhiksu Pu Jit benar-benar hendak menyerangku dengan sungguh-sungguh, tentu salah seorang di antara kami sudah terkapar di tanah saat ini.", ujarnya berusaha menenangkan Pendeta Liu Chuncao. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bhiksu Pu Jit dengan malu-malu menjawab. "Ketua Ding Tao benar, bukannya aku ingin membela diri, bukan pula maksudku untuk menjilat, namun himpunan hawa murni Ketua Ding Tao terlampau kuat. Seranganku dengan cepat membentur satu tembok yang kokoh dan terpental balik. Jika aku menyerang dengan kekuatan penuh, mana bisa aku menguasainya dan menariknya perlahan-lahan." Kemarahan Liu Chuncao sudah agak surut karena Ding Tao menahannya, namun rasa penasaran dan kesalnya belum hilang. "Memang tidak terjadi apa-apa, karena hawa murni Ketua Ding Tao jauh lebih kuat dari hawa murni milikmu. Tapi seandainya tidak demikian, bukankah saat ini Ketua Ding Tao akan mengalami luka dalam oleh seranganmu?" "Aku tidak menyangkal, hal itu tentu saja akan terjadi. Tapi dia tidak akan sampai mati oleh seranganku, hanya sedikit luka dalam.", jawab Biksu Pu Jit sambil menghela nafas. "Sedikit luka dalam katamu? Dan apakah dia harus bertarung dan bersaing dengan calon-calon Wulin Mengzhu yang lain dalam keadaan terluka di dalam?", geram Liu Chuncao. Wajah Bhiksu Pu Jit terlihat suram, dengan berat dia menjawab. "Jika demikian, bukankah itu artinya dia tidak pantas untuk ikut dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini?" Pucat pias oleh rasa marah, Liu Chuncao dengan terbata-bata bertanya. "Bhiksu Pu Jit katakanlah muka dengan muka, apakah nuranimu tidak meneriakkan kata curang saat kau melakukannya?" Bhiksu Pu Jit tidak mengucapkan apa-apa untuk waktu yang lama. Beberapa orang bhiksu Shaolin yang berdiri di belakangnya menunjukkan ekspresi wajah bersalah. Ketika akhirnya Bhiksu Pu Ji menjwab, dia hanya bisa berkata. "Aku hanya menjalankan tugas" "Pendeta Liu sudahlah, aku tidak terluka apa-apa, Bhiksu Pu Jit tidak berniat buruk. Sudahalh, mari kita lanjutkan saja perjalanan.", ujar Ding Tao sambil menepuk-nepuk pundak Liu Chuncao. Kemudian pemuda itu berbalik ke arah Bhiksu Pu Jit dan merangkapkan tangan di depan dada. "Bhiksu Pu Jit, terima kasih, biarlah kami melanjutkan perjalanan. Aku mohon pamit lebih dulu." "Tentu saja ketua, tentang hal itu aku" "Sudahlah, sesama saudara, ada sedikit salah paham mengapa harus diingat-ingat? Lain kali kalau bhiksu berkunjung ke Jiang Ling, jangan lupa mampir menemuiku, kita bisa keluar makan-makan, aku tahu rumah makan barang tak berjiwa yang lezat di sana.", jawab Ding Tao dengan ramah, pemuda itu merasa kasihan juga melihat Bhiksu Pu Jit yang disiksa oleh perasaan bersalah. Bhiksu Pu Jit melihat ketulusan di mata Ding Tao dan merasa terharu oleh kebesaran jiwa pemuda itu. Dia hanya bisa menganggukkan kepala. "Tentu saja tentu saja" "Bagus kalau begitu, aku tunggu kunjungan bhiksu di Jiang Ling. Baiklah, sekarang kami akan melanjutkan perjalanan.", Ding Tao pun berpamitan sekali lagi sebelum melangkah pergi, diikuti oleh para pengikutnya yang memandang dengan gemas ke arah Bhiksu Pu Jit dan saudara-saudara seperguruannya. Ma Songquan dan Chu Linhe sudah lama menghilang, mendahului rombongan mereka jauh di depan. Liu Chuncao yang terakhir pergi, dia masih mematung beberapa lama, merasa kecewa dengan orang yang dipandangnya sebagai seorang sahabat. Sebelum dia pergi, tiba-tiba dia berkata. "Bhiksu Pu Jit, jika lain kali kita bertemu, jangan sekali-kali kau panggil aku tosu bau." Bhiksu Pu Jit hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Entah untuk ke berapa kalinya dia mendesah dan berkata dalam hati. "Aku hanya menjalankan tugas." Di lain tempat, jauh dari hamparan tanah yang dijalani Ding Tai dan para pengikutnya, di sebuah jalan menuju ke Kota Chang Sha, terlihat tiga orang sedang memacau kuda dengan cepat. "Perlambat kuda-kuda kalian, sebentar lagi kita akan mulai memasuki Luo Yang, jalan-jalan akan mulai lebih ramai dengan orang.", ujar seorang tua yang berkuda paling depan. "Baik guru" "Aku mengerti ayah" Jawab dua orang muda yang mengikuti di belakang. Siapa lagi mereka jika bukan Hua Ng Lau, Huang Ren Fu dan Hua Ying Ying. "Moga-moga kita tidak terlambat", ujar Hua Ng Lau. "Hari diadakannya pemilihan Wulin Mengzhu sudah makin dekat, jika Tetua Bai Chungho ingin menghadirinya, tentu beliau sudah berangkat ke Gunung Songshan jauh-jauh hari.", ujar Huang Ren Fu dari atas kudanya. Hua Ng Lau mendesah, lama tidak ada yang berkata-kata. Apakah mereka sudah terlambat?, pertanyaan itu muncul di benak mereka bertiga. Hua Ng Lau mendesah sekali lagi, dengan hati berat dia berkata. "Aku terlalu lama menganalisa obat itu kecil sekali kemungkinan bahwa Bai Chungho masih ada di Chang Sha." Sudah hampir seminggu lamanya, ketiga orang ini berada dalam perjalanan untuk menemui Ketua Kaypang, Bai Chungho. Segera setelah mendapatkan kepastian tentang obat yang disebarkan oleh salah seorang anak murid Kunlun pada para pengikut Ding Tao di Gui Yang, Hua Ng Lau dengan segera mencari tahu tentang keberadaan Bai Chungho. Hal ini tidaklah mudah, pengikut Kaypang tersebar hampir di seluruh daratan. Di tiap-tiap kota selalu saja ada cabang dari partai pengemis. Masih beruntung Hua Ng Lau sebagai pewaris keluarga Hua di masa ini, memiliki hubungan yang baik dengan partai pengemis, melanjutkan hubungan baik dari generasi-generasi sebelumnya. Tanpa kesulitan dia mendapatkan kabar terakhir tentang Bai Chunho yang diketahui oleh anggota partai pengemis yang dia temui. Meskipun tidak semua pengikut partai pengemis pernah bertemu dengan Hua Ng Lau, tapi Hua Ng Lau sudah mendapatkan satu kata sandi khusus untku dirinya. Asalkan dia membacakan sebaris bait sandi tersebut, maka setiap pengikut Kaypang, akan mengenali dia sebagai pewaris keluarga Hua yang harus dibantu. Meskipun demikian, mencari jejak Bai Chungho tetap saja jadi satu pekerjaan yang sukat. Berita dari satu cabang ke cabang yang lain harus melalui jarak yang jauh dan menyebar dengan lambat. Kabar terakhir yang mereka dapatkan mengenai Bai Chungho selalu saja terlambat beberapa hari. "Apakah kita tidak sebaiknya, segera ikut pegi ke kaki Gunung Song Shan?, tanya Hua Ying Ying setelah mereka bertiga terdiam cukup lama. "Kurasa itu jalan yang terbaik Chang Sha akan jadi kota terakhir yang kita kunjungi. Lagipula tampaknya sudah hampr pasti, bahwa Bai Chungo akan ikut datang saat pemilihan Wulin Mengzhu nanti.", ujar Hua Ng Lau dengan pahit. Lama mereka bertiga kembali diam, tiba-tiba Huang Ren Fu berkata. "Semoga kita tidak terlambat menemui Tetua Bai Chungho. Tapi kalaupun demikian yang terjadi, kukira kita tidak ada yang bersalah dalam hal ini. Guru sudah berusaha sekuat tenaga bahkan sampai kurang tidur berhari-hari lamanya. Hanya memang waktu tidak menjadi sahabat kita kali ini." "Kakak benar ayah ayah sudah berusaha sebaik mungkin. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.", ujar Hua Ying Ying berusaha menghibur ayahnya. Hua Ng Lau merasa terharu, dia tahu kedua orang muda itu berkata demikian untuk menghibur dirinya, orang tua itu tersenyum dan lambat-lambat menjawab. "Sudahlah aku tahu, pada kenyataannya inilah yang harus terjadi Kenyataan tidak selalu terjadi sesuai yang kita inginkan." "Tapi ayah tidak perlu khawatir, Kakak Ding Tao bukan orang yang mudah jatuh oleh kelicikan lawan. Memang tampilannya seringkali seperti orang bodoh dan lugu. Namun sebenarnya otaknya itu sangat cerdas, jika ada kekurangannya, maka itu adalah hatinya yang lemah dan terlalu mudah percaya.", ujar Hua Ying Ying yang selaluu bersemangat jika membicarakan kelebihan Ding Tao. "Hahaha, ya aku yakin dia orang yang seperti demikian. Lagipula dia berangkat bersama-sama dengan segenap orang kepercayaannya, kukira, mereka pun tahu bahwa tidak ada sekutu mereka yang bisa dipercaya sepenuhnya.", kata Hua Ng Lau sambil memperlambat laju derap kudanya. Beberapa puluh langkah di depan mereka mulai terlihat orang berlalu lalang. Kedua orang muda yang berada di belakangnya dengan sendirinya turut pula memperlambat laju kuda mereka. Semakin lama semakin lambat, dan akhirnya ketika jalan kuda mereka sama lambatnya dengan berjalan kaki, Hua Ying Ying melompat turun ke bawa. "Aduh pantatku sudah pegal-pegal, alangkah nikmatnya bisa berjalan kaki", keluh gadis itu sambil melompat turun. Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau tersenyum lebar mendengar keluhan gadis itu dan ikut pula melompa turun. Bukan hanya Hua Ying Ying yang merasakan pinggul dan pantatnya pegal setelah melakukan perjalanan panjang di atas punggung kuda. "Bayangkan saja berendam di air yang hangat setelah kita mendapatkan tempat untuk menginap nanti.", ujar Huang Ren Fu pada Hua Ying Ying. "Waah nikmatnya.", jawab Hua Ying Ying sambil memejamkan mata, membayangkan berendam di satu bak penuh air hangat. Hua Ng Lau hanya tertawa terbahak-bahak saja melihat kelakuan dua orang muda itu. "Ayolah kita mencari penginapan dulu dan beristirahat sebentar. Mendengar percakapan kalian tiba-tiba seluruh tulang-tulangku terasa ngilu-ngilu dan ingin berendam dalam satu bak penuh air panas." "Asyikkk ayah memang ayah yang paling pengertian.", seru Hua Ying Ying sambil melompat-lompat. "Hmm lihatlah Adik Ying Ying ayah, sepertinya dia tidak merasa lelah sama sekali. Mungkin sebaiknya kita pergi mencari orang-orang Kaypang dulu sebelum mencari penginapan aduh aduh aduh", ujar Huang Ren Fu menggoda dan terputus kata-katanya karena Hua Ying Ying segera saja mencubit pinggang kakaknya itu. Hua Ng Lau pun jadi tertawa terbahak-bahak lagi oleh ulah kedua orang itu. Sebenarnya jika ada yang merasa khawatir dengan nasib mereka setelah mendapati temuan di Gui Yang, orang itu adalah Hua Ying Ying. Namun Hua Ying Ying yang ramai di luar, tapi lembut di dalam, melihat perasaan Hua Ng Lau yang galau oleh apa yang mereka temukan. Tabib tua itu rupanya sempat merasa bersalah karena kurang cepat dalam bekerja, sehingga dia baru berhasil ketika pemilihan Wulin Mengzhu sudah hampir dilaksanakan. Meskipun sebenarnya, apakah dengan temuan itu mereka bisa mengubah keadaan atau tidak, juga sebenarnya diragukan. Tapi ada perasaan tanggung jawab untuk bisa menyampaikan temuan mereka ini secepatnya. Menimbang perasaan Hua Ng Lau itu, Hua Ying Ying pun berusaha untuk menyembunyikan rapat-rapat perasaan khawatirnya. Ketiga orang itu pun akhirnya mencari rumah penginapan lebih dahulu. Tapi segera setelah mereka mendapatkan tempat menginap, Hua Ng Lau segera berpamitan pergi untuk mencari anggota partai Kaypang di kota itu. "Kalian tidak usah pergi, sebaiknya kalian beristirahat saja dahulu. Ini bukan pekerjaan besar, cukup satu orang saja yang melakukannya.", ujar Hua Ng Lau pada puteri angkat dan muridnya. "Kalau tahu begini, aku tidak akan minta beristirahat lebih dahulu. Bagaimana mungkin bisa beristirahat dengan tenang sementara ayah masih bekerja?", keluh Hua Ying Ying. "Guru, biarlah aku menemani guru mencari, aku masih belum terlalu lelah.", ujar Huang Ren Fu. Hua Ng Lau tertawa saja. "Sudahlah, sebelum bertemu dengan kalian aku sudah malang melintang di dunia persilatan seorang diri, tidak pernah mengandalkan orang lain. Ren Fu, kau tunggulah di sini bersama adikmu, jika kau ikut denganku, justru aku merasa tidak tenang dalam bekerja karena meninggalkan Hua Ying Ying sendirian." "Jangan lama-lama Yah", ujar Hua Ying Ying. "Ya.., sudahlah kalian tunggu saja dengan sabar. Gunakan waktu untuk beristirahat sebaik mungkin. Aku pergi tidak akan lama.", ujar Hua Ng Lau sembari membuka pintu kamar. Hua Ng Lau pun meninggalkan kedua orang kakak beradik itu dan pergi sendirian. Sembari berjalan, tiba-tiba Hua Ng Lau merasa hatinya disergap kesepian. Entah sejak kapan, keberadaan kakak beradik itu sudah mengisi hati yang tua dan kosong. Hua Ng Lau, seperti yang dia katakan pada mereka sebelum pergi, adalah orang yang biasa malang melintang dalam dunia persilatan tanpa seorang kawan pendamping. Hua Ng Lau sering membantu orang, namun dia tidak suka bersandar pada orang lain, semua yang dia butuhkan dia kerjakan sendiri. Hua Ng Lau, hadir dalam banyak kehidupan orang lain sebagai penolong, namun hatinya sendiri tertutup rapat dari sentuhan kehangatan manusia lain. Baru setelah kedua orang kakak beradik itu hadir dalam hidupnya, dia bisa merasakan nikmatnya menerima kasih sayang orang lain. Ketika berjalan sendirian dalam keramaian seperti yang biasa dia lakukan di masa lalu, Hua Ng Lau tiba-tiba saja merasakan kerinduan pada celoteh dua orang anak muda itu. Pendekar tua itu pun tiba-tiba teringat dengan uluran persahabatan atau bahkan kasih sayang yang ditawarkan padanya, yang semuanya itu dia tolak dengan sopan. Pengalaman pahit di masa dia remaja membuat hatinya tertutup bagi manusia lain. Hua Ng Lau memang banyak menanamkan budi kebaikan pada orang lain, namun semuanya dia lakukan sebagai keawjiban, bukan karena hatinya tergerak oleh belas kasihan. Hehh rupanya semakin tua, hatiku justru jadi semakin lemah, pikir pendekar tua itu dalam hatinya. Ya bagi sebagian orang, hati yang diam, tenang, tak tersentuh dipandang sebagai satu kekuatan tersendiri. Bukankah air harus terlebih dahulu diam dan tenang sebelum isinya telrihat dengan jernih? Benarkah demikian? Tiba-tiba pendekar tua itu tercenung memikirkan hal ini. Sesuatu yang sudah dia pandang sebagai kebenaran selama berpuluh-puluh tahun, tanpa pernah mempertanyakannya. Tapi jika hal itu benar, mengapa justru dia merasa lebih hidup saat ini? Hua Ng Lau tidak sempat merenungkan hal itu lebih lama, matanya yang tajam melihat seorang pengemis dengan tanda- tanda pengikut Partai Kaypang. Segera saja Hua Ng Lau datang mendekat. Pendekar tua itu membungkukkan badan, berpura-pura meletakkan sekeping uang sebagai sedekah, di saat yang sama dia membisikkan sebaris bait yang menjadi tanda pengenal bagi dirinya di antara para pengikut Partai Kaypang. "Hati-hati dengan si tua Hua" "Tingkahnya persis seperti kura-kura" "Jika kau panggil, dia sembunyi kepala" "Jika kau lari ke selatan, dia pergi ke utara" "Tapi saat tidak kau cari. " "Justru dia menampakkan batang hidungnya" Bait itu dibuat oleh Ketua partai pengemis di masa yang dulu, untuk mengolok-olok para keturunan Tabib Hua Tuo yang sejakmemiliki ilmu bela diri, seringkali sulit ditemukan jejaknya tapi akan muncul dengan tiba-tiba pada saat dibutuhkan. Pada awalnya tidak ada bentuk perjanjian khusus antara Partai Kaypang dengan keturunan pewaris Tabib Hua Tuo. Pada perkembangannya, sejak pewaris ilmu pengobatan Hua Tuo mahir ilmu silat dan mulai terjun dalam dunia persilatan, Tabib dewa Hua jadi tidak gampang dipegang ekornya, maklum saja, mereka sekarang sudah ahli ilmu meringankan tubuh dan juga ilmu menyamar. Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo