Pedang Angin Berbisik 39
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 39
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Hm..hm baguslah kalau begitu. Kuharap kau sudah siap untuk berhadapan denganku kalau begitu." "Entahlah kalau ternyata kemampuanmu di luar dugaanku, aku akan lari", jawab Lu Jingyun ringan. Mendengar jawaban Lu Jingyun, Ximen Lisi tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, benar-benar lelaki sejati. Tidak malu diberi julukan pendekar empat kaki." Disindir demikian Lu Jingyun hanya tersenyum saja. "Sudah selesaikah kau tertawa? Kalau sudah selesai, sebaiknya kita mulai saja pertarungan ini, aku sudah bosan mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulutmu." Merah padam wajah Ximen Lisi mendengar jawaban Lu Jingyun yang pedas. "Bagus ! Sebaiknya Saudara Lu Jingyun berharap masih bisa lari selesai kita bertarung nanti." Lu Jingyun tidak menjawab apa-apa, hanya tangannya memberi tanda agar Ximen Lisi cepat-cepat memulai. Ximen Lisi menggeram marah, dengan wajah murka dia mencabut golok yang dia bawa. Lu Jingyun sendiri yang bersenjata sepasang pisau pendek segera bersiap menerima serangan lawan. Ximen Lisi tidak membuang waktu lagi, segera setelah Lu Jingyun mencabut sepasang pisaunya, dia pun dengan cepat menyabetkan goloknya menyerang Lu Jingyun. Jangan salah melihat penampilan Ximen Lisi yang lemah lembut seperti seorang sastrawan, goloknya menyambar-nyambar dengan ganas membawa hawa pembunuhan yang pekat. Lu Jingyun pun menunjukkan kemampuan yang mengangkat namanya dalam dunia persilatan, tubuhnya bergerak lincah mengatasi cepatnya sambaran golok Ximen Lisi. Meskipun demikian nama Ximen Lisi juga bukan nama kosong, sudah beberapa jurus berlalu Lu Jingyun tidak juga menemukan kelemahan dalam pertahanan Ximen Lisi. Golok sendiri bukanlah senjata andalan Ximen Lisi, 18 macam senjata semuanya dia bisa menggunakan. Jurus tangan kosong maupun senjata lontar juga bisa dia lakukan dengan baik, tidak ada yang tahu persis apa ilmu yang ditekuni dan menjadi andalan Ximen Lisi. Atau mungkin Ximen Lisi memang ahli dalam segala ilmu bela diri. Sesekali terlihat Ximen Lisi menggunakan beberapa jurus dari Shaolin, Kongtong, dan Kunlun. Dengan menggunakan jurus yang campur aduk itu, beberapa kali Ximen Lisi berhasil mendesak Lu Jingyun, namun berkat kecepatan geraknya di saat-saat terakhir Lu Jingyun selalu berhasil melepaskan diri. Melihat Ximen Lisi bisa menggunakan jurus-jurus golok dari beberapa perguruan, alis mereka yang berasal dari perguruan tersebut pun berkerut. Namun karena jurus-jurus yang digunakan Ximen Lisi belum bisa dianggap merupakan jurus-jurus rahasia dari perguruan mereka, maka mereka pun menahan diri untuk tidak mengucapkan apa-apa. Bagaimana pun juga, perguruan mereka sudah berdiri ratusan tahun, entah sudah ada berapa ratus atau ribu murid yang lulus dari perguruan dan tersebar di dunia persilatan. Tidak mungkin mereka bisa terus menerus menjaga agar jurus-jurus milik perguruan mereka tidak tersebar juga pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan dengan perguruan mereka. Yang lebih mengagumkan adalah kemampuan Ximen Lisi untuk mempelajari begitu banyak aliran dan mengombinasikannya dengan baik. Tapi nama besar Lu Jingyun bukanlah nama kosong belaka, perlahan-lahan kecepatan gerak Lu Jingyun semakin meningkat. Hingga pada satu titik, Ximen Lisi mulai kesulitan untuk mengikuti kecepatan gerak Lu Jingyun. Jika sebelumnya Lu Jingyun hanya bisa menghindar, setelah memasuki jurus ke 30 Lu Jingyun mulai balas menyerang. Dengan kecepatan geraknya Lu Jingyun berhasil menghindari serangan Ximen Lisi, menyerang di titik terlemah, kemudian kembali menghindar sebelum golok Ximen Lisi berhasil menyentuhnya. Semakin lama, gerakan Lu Jingyun semakin cepat. Bukan hanya mengincar titik lemah dalam pertahanan Ximen Lisi, beberapa kali Lu Jingyun bahkan berhasil menghilang dari pandangan Ximen Lisi. Tidak mampu mengikuti kecepatan gerak Lu Jingyun, ganti Ximen Lisi yang dipaksa untuk bertahan. Ximen Lisi memiliki kepekaan panca indera yang tajam, meskipun Lu Jingyun berhasil menghilang dari pandangannya dan menyerang dari sudut yang tidak terlihat oleh matanya, Ximen Lisi masih bisa menggunakan perasaan dan intuisinya untuk menentukan dari mana Lu Jingyun akan menyerang. Goloknya pun dengan segera menyambar ke arah Lu Jingyun, sebelum Ximen Lisi sempat mengubah kedudukan tubuhnya. Dengan demikian sekian lama Lu Jingyun berhasil lari dari mata Ximen Lisi, tapi belum ada serangan yang berarti dari Lu Jingyun. Beberapa kali justru Lu Jingyun yang harus cepat menghindar sebelum sempat menyerang, karena dengan tiba-tiba golok Ximen Lisi menghadang di depan jalannya. Melihat keadaan Lu Jingyun, tiba-tiba Ding Tao bertanya. "Jika aku turun tangan untuk menolong salah seorang dari mereka, apakah itu akan dianggap mengganggu jalannya pertandingan?" Para pengikutnya pun saling memandang dan mengangkat alis, Ma Songquan kemudian balas bertanya. "Maksud ketua menolong salah seorang dari mereka untuk memenangkan pertarungan ini?" "Bukan bukan begitu sejak kekalahan Saudara Bai Shixian, aku sudah merasa sangat menyesal. Seharusnya pertarungan yang terjadi, tidak perlu terjadi sampai saling melukai apalagi mengorbankan nyawa. Aku hanya berpikir, jika kalah dan menang sudah jelas, lalu aku ikut campur hanya untuk menyelamatkan nyawa seseorang, apakah bisa dianggap mengganggu jalannya pertandingan?", jawab Ding Tao menjelaskan. Liu Chuncao dan Ma Songquan saling berpandangan, kemudian Liu Chuncao menjawab. "Jika demikian halnya kurasa tidak akan dianggap demikian. Asalkan pihak yang kalah tidak menggunakan kesempatan itu untuk melukai yang seharusnya memenangi pertandingan." "Hmm benar juga tapi kurasa jika waktunya tepat, aku bisa memastikan hal itu tidak terjadi.", gumam Ding Tao. "Selain itu, ketua juga harus memastikan agar keadaannya benar-benar tepat. Jika ada keraguan tentang siapa yang seharusnya menang dan siapa yang seharusnya kalah, maka bisa jadi pihak yang kalah akan mengelak dari kenyataan dan melanjutkan pertarungan. Padahal menang dan kalah, terkadang hanya sebatas rambut. Yang kalah di satu saat, bisa jadi menang bila diberi kesempatan beberapa jurus lebih banyak. Jika demikian yang terjadi, banyak orang akan menyalahkan ikut campurnya ketua dalam pertarungan itu.", Liu Chuncao buru-buru menjelaskan. Ding Tao mengerutkan alis dan berpikir. "Hmmm tidak mudah juga ya" "Menurut ketua sendiri siapa yang akan kalah dalam pertarungan ini?", tanya Ma Songquan. "Menurutku Saudara Lu Jingyun yang akan kalah dalam pertarungan ini dan jika aku tidak ikut campur untuk menahan serangan terakhir Saudara Ximen Lisi, maka kalaupun tidak mati, tentu Saudara Lu Jingyun akan cacat seumur hidup.", jawab Ding Tao dengan yakin. Para pengikutnya yang mendengar perkataan Ding Tao itu, tidak ada yang meragukan pendapatnya. Ada juga pihak luar yang mendengar ucapan Ding Tao, mereka ini pun mulai berbisik-bisik membicarakan dugaan Ding Tao dan juga keinginan calon Wulin Mengzhu yang satu ini. Lei Jianfeng yang akhirnya mendengar juga apa yang dikatakan orang mengenai pembicaraan antara Ding Tao dan pengikutnya, meludah ke atas tanah dan bergumam. "Dasar, bocah kecil yang sok suci." "Ketua, jika boleh tahu apa alasan sebenarnya sehingga ketua ingin menyelamatkan Lu Jingyun?", tanya Ma Songquan. Ding Tao terdiam sejenak sebelum menjawab. "Sejak aku secara tidak sengaja membuat Saudara Bai Shixian terluka parah, hatiku sudah merasa terganggu. Bagaimana pun juga, kami sebenarnya tidak memiliki permusuhan apa-apa. Demikian juga saat melihat Saudara Deng Songyan harus mengalami cedera yang sedemikian berat, hingga kemungkinan besar untuk selanjutnya dia menjadi orang yang cacat. Akhirnya aku pun merasa, seandainya bisa, aku harus berusaha agar tidak jatuh lebih banyak korban dari saudara segolongan sendiri." Sekali lagi para pengikut Ding Tao saling berpandangan, tiba-tiba Wang Xiaho tersenyum lebar. Orang tua itu menepuk perlahan bahu Ding Tao dan berkata. "Jika demikian pandangan ketua, maka lakukan saja apa yang ketua pandang benar. Kami semua akan berdiri di belakang ketua." Ding Tao pun menoleh ke belakang dan di sana dilihatnya wajah-wajah bersahabat. Seluruh dunia persilatan boleh saja menyumpahi Ding Tao dan mempertanyakan ketulusannya. Namun orang-orang ini percaya penuh pada dirinya dan siap untuk berdiri di sampingnya saat kesulitan datang. Dengan sendirinya Ding Tao merasakan keragu-raguan yang sempat menguasai dirinya lenyap, oemuda itu balas tersenyum dan kembali memperhatikan pertarungan yang sedang terjadi di depannya dengan cermat. Ding Tao sudah mengambil keputusan, mulai saat ini dia akan berusaha agar tidak ada korban lain yang jatuh dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini. Mereka yang mendengar perhitungan Ding Tao tentang jalannya pertarungan, awalnya banyak yang tidak percaya dengan pendapat Ding Tao. Tapi setelah puluhan jurus berlalu, terbukti Ding Tao dengan tepat memperhitungkan jalannya pertarungan. Lu Jingyun yang dipaksa untuk bergerak dalam wilayah yang lebih luas, perlahan-lahan mulai menurun kecepatannya. Seandainya Lu Jingyun bisa menggunakan kecepatannya untuk menyarangkan satu atau dua serangan, mungkin dia bisa memenangkan pertarungan ini. Namun Ximen Lisi bisa menutupi kelemahannya dalam hal kecepatan dengan pertahanan yang rapat dan pembacaan keadaan yang tepat. Sementara Lu Jingyun hanya memiliki kecepatan saja, saat kecepatannya mulai menurun, Ximen Lisi sudah bersiap untuk kembali menyerang. Beberapa belas jurus kembali berlalu dan saat itu pun tiba. Dengan susah payah Lu Jingyun berusaha menghindari serangan Ximen Lisi yang mencecarnya tanpa jeda. Ding Tao semakin waspada, matanya dengan tajam mengawasi jalannya pertarungan. Dalam hati Ding Tao berharap Lu Jingyun menyerah seperti apa yang dilakukan Shan Zhengqi saat menyadari dirinya tidak mungkin menang melawan Tong Baidun. Apalagi di awal pertandingan Lu Jingyun sudah mengatakan akan melarikan diri seandainya dia tidak tahu tidak bisa memenangkan pertarungan ini. Namun berbeda dengan apa yang dia katakan di awal pertandingan, jelas Lu Jingyun tidak berniat untuk menyerah sebelum dia tergeletak tak berdaya. Peluh sudah membasahi sekujur tubuh Lu Jingyun, namun Lu Jingyun tetap tidak menyerah. Sesekali dia bahkan berusaha untuk menyerang Ximen Lisi, meskipun untuk melakukan hal itu dia harus mengambil resiko yang tidak kecil. Luka-luka pun mulai menghiasi tubuh Lu Jingyun. "Hehe, apakah ini belum waktunya untuk melarikan diri? Atau kau sudah kehabisan tenaga untuk lari?", ejek Ximen Lisi. Merah wajah Lu Jingyun, tiba-tiba dia menggeram dan melemparkan sebuah pisau pendeknya ke arah Ximen Lisi. Sebilah pisau itu pun berkelebat cepat menyambar Ximen Lisi dengan suara mendengung. Serangan Lu Jingyun itu sedikit di luar dugaan tapi tidak membuat Ximen Lisi kehilangan pengamatan. Dengan cepat Ximen Lisi menggeser tubuhnya untuk menghindar sambil menarik balik serangan goloknya untuk berjaga. Seperti yang sudah dia duga di saat dia bergerak menghindar, Lu Jingyun melepaskan pisau kedua. Pisau kedua ini berkelebat jauh lebih cepat daripada serangan yang pertama, jelas serangan yang pertama hanya berfungsi untuk memancing gerakan lawan dan serangan kedua bertujuan sebagai serangan yang sesungguhnya. Banyak penonton yang terkejut melihat serangan Lu Jingyun ini, lontaran Lu Jingyun tidak di bawah serangan Tong Baidun. Selamanya Lu Jingyun lebih banyak mengandalkan kecepatannya dan berkelahi dengan tangan kosong. Jika dia merasa tidak bisa menang, dia pun akan lari tanpa memikirkan apa ucapan orang. Entah mengapa kali ini terihat berbeda, bahkan Lu Jingyun sampai menggunakan jurus serangan simpanannya. Tapi yang dia hadapi adalah Ximen Lisi yang tidak pernah kehilangan kewaspadaan. Serangan putus asa Lu Jingyun dengan mudah dihindarkan, bahkan karena Ximen Lisi sudah bersiap maka begitu goloknya berhasil menangkis serangan pisau kedua, golok itu dengan cepat berbalik arah menyambar ke arah Lu Jingyun yang sekarang harus bertarung tanpa senjata. "Lu Jingyun menyerahlah!", seru Ximen Lisi tanpa memperlambat sedikit pun ayunan goloknya. "Sampai mati aku tidak akan menyerah padamu!", seru Lu Jingyun sambil melemparkan diri ke belakang, menghindari ayunan golok Ximen Lisi. Ximen Lisi tentu saja tidak membiarkan Lu Jingyun lepas begitu saja, tubuhnya meluncur ke depan, memburu Lu Jingyun yang berusaha mengelak dari serangan Ximen Lisi yang bertubi-tubi. Di saat-saat yang genting ini, semangat Lu Jingyun ikut terbangkit, entah oleh kemarahannya pada ejekan Ximen Lisi atau oleh naluri bertahan hidup yang dia miliki. Lu Jingyun kembali bergerak dengan cepat, entah dari mana sepasang pisau pendek kembali berada di tangannya. Lu Jingyun yang bangkit semangatnya ini berani menyerang dengan mengorbankan diri sendiri. Luka-luka di tubuhnya seperti tidak dia rasakan. Ximen Lisi pun dipaksa untuk berhati-hati dalam menyerang dan tidak melupakan pertahanan. Sebenarnya jika Ximen Lisi mau dia bisa saja menyudahi pertarungan ini lebih cepat, tapi dengan mengambil resiko terluka pula oleh serangan Lu Jingyun. Melihat serangan Lu Jingyun yang membabi buta, justru membuat Ximen Lisi waspada. Dia sadar, kalaupun dia menang melawan Lu Jingyun, jika dia mendapat kemenangan itu dengan sebuah luka berat di tubuhnya, itu sama artinya dia harus melupakan kedudukan Wulin Mengzhu karena Lei Jianfeng yang akan dia hadapi di babak berikutnya bukanlah lawan yang mudah. Sebaliknya Lu Jingyun juga memperhitungkan hal ini dan dengan beraninya mengambil resiko. Pendek kata, sekalipun Ximen Lisi berhasil menabas putus lehernya, setidaknya dia masih bisa menyarangkan sepasang pisaunya dalam-dalam ke tubuh Ximen Lisi. Sekarang nyawanya boleh saja melayang, tapi dengan luka yang didapatkan, nyawa Ximen Lisi sama saja tinggal menunggu giliran berikutnya, saat dia berhadapan dengan Lei Jianfeng. Itu sebabnya pertarungan yang seharusnya bisa dimenangkan dengan mudah oleh Ximen Lisi, menjadi pertarungan yang lebih panjang dan sukar. Di lain pihak, melihat kenekatan Lu Jingyun, adalah Ding Tao yang jadi semakin berdebar-debar. Seluruh syarafnya sudah menegang, tidak ubahnya dia sendiri yang sedang bertarung di atas panggung. Meskipun demikian, perlahan-lahan Ximen Lisi kembali mendapatkan posisi yang lebih baik. Setinggi apa pun semangat Lu Jingyun, kekuatan tubuhnya tetap saja terbatas. Tapi perlawanan Lu Jingyun yang penuh semangat membuahkan hasil, meskipun tidak bisa dikatakan seimbang dengan pengorbanan nyawa. Selain dia berhasil banyak menguras tenaga Ximen Lisi, beberapa luka sudah menghiasi lengan Ximen Lisi. Luka goresan pisau Lu Jingyun itu sendiri tak terlampau dalam dan berbahaya, namun luka tersebut tidak ubahnya sebuah corengan di atas gemerlapnya reputasi Ximen Lisi. Setidaknya dalam benak Ximen Lisi sendiri, karena itu dengan hati panas Ximen Lisi pun bertekad untuk membasuh rasa malu dan kesalnya dengan darah Lu Jingyun. Dalam sebuah serangan Lu Jingyun dipaksa untuk melompat mundur bergulingan di atas panggung. Ximen Lisi yang tidak sempat melompat mengejar, menimpukkan goloknya. Goloknya pun berkelebat cepat, menjadi bayangan hitam yang melesat cepat ke arah Lu Jingyun. Dengan sekuat tenaga, Lu Jingyun menjejakkan kaki untuk mengubah arah gerak tubuhnya yang sedang meluncur ke belakang. Golok Ximen Lisi pun gagal menembusi tubuh Lu Jingyun dan melaju tipis di sisi kiri Lu Jingyun. Dengan kedudukan yang masih goyah, Lu Jingyun menggunakan kesempatan yang langka itu untuk menerjang Ximen Lisi yang tidak bersenjata. Kesempatan tidak akan datang dua kali, Lu Jingyun yang sadar dirinya sudah mulai kehabisan tenaga tidak memiliki kesempatan kedua. Dengan pemikiran itu, Lu Jingyun pun mengerahkan seluruh sisa tenaga yang dia miliki untuk menyerang Ximen Lisi. Tubuhnya melesat cepat ke depan, dengan pisau di tangan siap diayunkan. Di luar dugaan setiap orang, golok yang sudah melaju, melewati tubuh Lu Jingyun, tiba-tiba berputar dan sekarang mengancam punggung Lu Jingyun yang terbuka lebar. Lu Jingyun yang merasakan desiran angin di belakang tubuhnya, tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya melaju terlampau cepat ke depan, dia sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk mengubah arah. Satu-satunya yang dia harapkan adalah dia bisa maju lebih cepat dari sambaran golok yang datang dari belakang. Ingin mengerahkan lebih banyak tenaga untuk mempercepat luncuran tubuhnya ke depan pun sudah tidak bisa. Lu Jingyun hanya bisa pasrah pada nasib saja. Tubuh Lu Jingyun meluncur cepat ke depan. Golok Ximen Lisi yang dengan ajaibnya berubah arah dan sedang bergerak hendak menabas tubuh Lu Jingyun juga bergerak dengan cepat. Hanya Ximen Lisi tidak juga beranjak dari tempatnya. Di saat yang sama seorang yang lain dari luar panggun berkelebat dengan cepat mendekat ke arah dua orang yang sedang bertarung. Sebuah percikan bunga api, sebuah denting dan suara logam beradu, suara teriakan pedih seorang yang terluka. Setiap kejadian berlangsung dengan sangat cepat, terasa seperti bersamaan meskipun bukan bersamaan. Saat semuanya berhenti bergerak yang mereka lihat adalah Ding Tao yang berdiri dengan tangan menghunus pedang. Sebuah potongan golok yang terlempar di atas lantai panggung dan sedang berputar-putar, terguling-guling tak tentu arah sebelum akhirnya diam. Lu Jingyun yang berlutut dengan punggung sobek oleh golok Ximen Lisi yang sekarang sudah kutung separuh lebih. Dan Ximen Lisi yang memandangi Ding Tao dengan pandangan yang berapi-api. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ketika mereka semua diam, barulah mereka yang ada di baris terdepan dan memiliki mata yang tajam, melihat seuntai rantai tipis yang terikat di pergelangan tangan Ximen Lisi, rantai yang terus terulur dan menjuntai ke arah potongan golok yang baru saja melukai punggung Lu Jingyun. Rupanya gagang golok Ximen Lixi menyimpan segulung rantai atau benang tipis yang kuat, pada saat Ximen Lisi melemparkan goloknya ke arah Lu Jingyun, seutas rantai itu masih menghubungkan golok dengan pemiliknya. Saat Lu Jingyun berhasil menghindari golok, Ximen Lisi menendang rantai tipis itu, menciptakan sebuah poros di tengah rantai yang terentang. Golok pun sekarang bergerak berputar ke arah Lu Jingyun dengan kaki Ximen Lisi yang menahan rantai sebagai pusatnya. Melihat dari keadaannya, jika Ding Tao tidak menyerbu masuk dan memotong golok Ximen Lisi, sudah tentu sekarang ini tubuh Lu Jingyun sudah tertabas menjadi dua buah potong. Golok yang sudah kutung itu saja, masih sempat melukai punggung Ximen Lisi cukup dalam. Dengan cekatan bhiksu tua yang bertugas mengobati mereka yang cedera dalam pertandingan, sudah berada di atas panggung bersama dengan dua bhiksu muda yang bertugas untuk membantunya. "Tuan, bagaimana keadaannya?", tanya Ding Tao dengan khawatir. Bhiksu tua itu menyelesaikan pekerjaannya, membersihkan luka dan memeriksa keadaan Lu Jingyun sebelum menjawab, "Syukurlah, berkat pertolongan Ketua Ding Tao, Tuan Lu Jingyun tidak menderita satu luka yang membahayakan jiwanya. Maju sedikit lagi, tentu tulang belakangnya akan terluka oleh golok Tuan Ximen Lisi dan untuk seterusnya dia akan menjadi orang cacat." "Ketua Ding Tao, apakah perbuatanmu ini tidak keterlaluan?", tanya Ximen Lisi dengan dingin. Perhatian Ding Tao yang sebelumnya lebih tertuju pada Lu Jingyun yang terluka pun, teralihkan ke arah Ximen Lisi. "Ah, maafkan aku Saudara Ximen Lisi, tapi kukira, tindakanku ini tidak merugikan siapa-siapa. Soal siapa menang dan siapa kalah, kukira semuanya sudah jelas. Saudara Lu Jingyun pun tentu akan mengakui kekalahannya. Aku hanya sekedar mencegah agar tidak ada korban yang jatuh lagi." "Hmm bukankah kita semua sudah biasa mempertaruhkan nyawa? Yang naik ke atas panggung ini sudah sadar akan resikonya. Mengapa Ketua Ding Tao merasa perlu untuk menyusahkan diri, bertindak seakan-akan diri sendiri yang paling benar dan berlagak sok suci?", tegur Ximen lisi dengan ketusnya. Jantungnya berdebaran oleh kemarahan, wajah Ding Tao pun memerah mendengar teguran Ximen Lisi yang dilakukan di hadapan orang banyak. "Saudara Ximen Lisi, terserah apa penilaianmu terhadap perbuatanku, tapi jelas apa yang kulakukan tidak merugikan dirimu. Jadi dengan alasan apa kau menegurku? Apakah lebih baik, jika sesama saudara segolongan saling membunuh dan mencederai?" "Bagaimana dengan dirimu sendiri? Bukankah kau sudah membunuh lawanmu di babak pertama? Apakah nyawa Lu Jingyun lebih berharga dari nyawa Bai Shixian?", tanya Ximen Lisi tidak mau mengalah. Sambil menggertakkan gigi Ding Tao menjawab. "Hati-hati dengan ucapanmu Ximen Lisi. Nyawa mereka berdua kupandang sama berharganya, apa yang terjadi pada Saudara Bai Shixian membuatku sangat menyesal. Seandainya ada yang bisa menghentikan seranganku pada waktunya, sehingga Saudara Bai Shixian bisa terhindar dari seranganku, aku akan sangat berterima kasih pada orang tersebut. Justru kau yang haus darah ini yang membuatku muak." "Tapi tindakanmu sudah merugikanku", kata Ximen Lisi. "Apa maksudmu?", tanya Ding Tao penasaran. Ximen Lisi menunjuk pada kutungan goloknya. "kau sudah mengutungkan senjata yang kupercaya. Setiap pendekar yang berlatih menggunakan senjata tentu tahu, senjata yang sudah dipakai selama bertahun-tahun, tidak ubahnya seperti anggota badan sendiri. Berat senjata, jangkauannya, kekuatannya, setiap aspek dari senjata itu sudah begitu kita kenal sehingga dengan demikian kita bisa menggunakan senjata itu dan mengembangkan jurus yang kita miliki dengan semaksimal mungkin. Sekarang kau sudah mengutungkan golokku, jika nanti aku harus bertarung dengan senjata yang lain, bukankah kerugian ada di pihakku?" Ding Tao merasa bahwa Ximen Lisi hanya mengumbar kata-kata kosong, Ximen Lisi dikenal sebagai seorang pendekar yang bisa menggunakan segala jenis senjata tanpa pernah menggunakan senjata khusus tertentu. Namun Ding Tao juga tidak berani memastikan bahwa Ximen Lisi hanya berbohong saja. Lagipula Ding Tao juga tahu, seperti apa rasanya memiliki senjata yang baik dan sudah dikenal. Tidak ingin menuduh orang sembarangan namun juga merasa orang sedang bermain kata-kata saja, akhirnya Ding Tao hanya bisa mengeraskan hati dan bertanya. "Baiklah, tapi hal itu sudah terjadi, lalu apa maumu?" Ximen Lisi tersenyum mengejek dan berkata. "Tidak ada yang bisa kau lakukan, golok sudah terpotong jadi dua, dalam waktu yang singkat ini mana bisa dikembalikan seperti semula. Jelas sangat merugikanku saat babak kedua melawan Saudara Lei Jianfeng nanti." Ximen lIsi sengaja terdiam sejenak seperti sedang berpikir, kemudian dia menambahkan. "Tapi setidaknya ada satu hal yang bisa kaulakukan." "Apa itu?", tanya Ding Tao. "Bila aku beruntung bisa lolos ke babak selanjutnya, kemudian kita harus saling berhadapan di babak terakhir, kau bisa membuat keadaan sedikit lebih berimbang bila kau berjanji untuk tidak menggunakan pedangmu itu. Aku tanpa golok kepercayaanku dan kau tanpa pedang andalanmu. Bagaimana?", tanya Ximen Lisi pada Ding Tao. "Huh! Tipuan anak kecil, Ketua Ding Tao jangan termakan oleh ucapannya!", sergah Tang Xiong sambil melompat ke depan menjajari Ding Tao. Rupanya Tang Xiong sudah tidak tahan lagi mendengar ocehan Ximen Lisi. Lagipula mereka semua merasa ucapan itu terlalu mengada-ada. Jelas tujuan utama Ximen Lisi adalah menghalangi Ding Tao untuk menggunakan pedang pusaka yang dia bawa. Setiap orang bisa melihat bahwa pedang Ding Tao bukanlah pedang sembarangan. Jika tidak mana mungkin golok yang tebal dan berat bisa dipotong hingga putus. Selain itu, kabar burung tentang munculnya pedang angin berbisik di tangan Ding Tao masih diingat banyak orang. Tang Xiong yang khawatir Ding Tao termakan oleh ocehan lawan, segera maju ke depan untuk mengingatkan, tapi Ding Tao mengangkat tangannya, memberi tanda agar Tang Xiong dan yang lain diam. "Aku terima syaratmu itu.", jawab Ding Tao dengan tegas. "Ketua Ding Tao?", seru Tang Xiong penasaran. Lu Jingyun yang sudah selesai dirawat dan ikut mendengarkan pembicaraan mereka pun berseru. "Saudara Ding Tao!" Tapi Ding Tao mengangkat tangannya, meminta mereka semua diam dan sekali lagi menegaskan. "Jika kau bisa lolos ke babak selanjutnya dan aku pun beruntung bisa lolos, sehingga kita saling berhadapan, aku akan menghadapimu dengan menggunakan pedang lain dan bukan dengan pedang andalanku ini. Apakah kau sudah puas?" Ximen Lisi mengangguk puas dan menjawab. "Bagus, tidak salah kabar yang mengatakan bahwa Ketua Ding Tao adalah seorang lelaki sejati. Aku percaya pada janjimu." Di tempat duduknya Lei Jianfeng memandangi Ximen Lisi yang berjalan kembali ke kursinya dengan amarah yang menyala- nyala. Harga dirinya tersinggung karena Ximen Lisi sudah berani membicarakan babak selanjutnya, seakan-akan dia pasti menang melawan Lei Jianfeng. Ding Tao sendiri sudah mengalihkan perhatiannya pada Lu Jingyun. "Saudara Lu Jingyun, bagaimana keadaanmu?", tanyanya dengan perhatian yang tulus. Lu Jingyun tersenyum kecut dan menjawab. "Heheheh, kalau bukan karena pertolongan Ketua Ding Tao tentu aku sudah tinggal nama sekarang ini. Entah, apakah ada sesuatu yang Ketua Ding Tao inginkan dariku?" Cepat-cepat Ding Tao menggelengkan kepala. "Tidak ada, tentu saja tidak ada. Asalkan Saudara Lu Jingyun baik-baik saja, hal itu sudah membuatku senang. Sungguh aku menyesali jatuhnya pendekar-pendekar hebat dalam pertandingan kali ini. Tidak ada maksud lain kecuali berusaha mencegah jatuhnya lebih banyak korban lagi." Lu Jingyun menganggukkan kepala, namun terlihat tidak sepenuhnya percaya pada Ding Tao. "Ah begitu rupanya... Tidak salah jika Ximen Lisi memanggilmu lelaki sejati. Kalau begitu aku pamit lebih dulu, aku ingin mengistirahatkan tubuhku yang sedang terluka ini." Ding Tao pun buru-buru memberi jalan pada Lu Jingyun yang berjalan pergi sambil dibantu dengan seorang bhiksu muda dari Shaolin. Tidak seperti Lu Jingyun, bhiksu tua yang sebelumnya juga sempat mengobati Ding Tao, tampaknya menaruh kepercayaan pada pemuda itu. "Tuan, baik sekali apa yang tuan lakukam barusan. Kuharap tuan tidak menjadi kecil hati dengan tanggapan orang yang bermacam-macam.", ujar bhiksu tua itu. Ding Tao pun mengangguk dengan sopan dan menjawab. "Sudah kupikirkan masak-masak apa yang tuan bhiksu katakan. Bukankah sekarang ini yang bisa kita lakukan hanya berusaha mengurangi jumlah korban semampu kita. Tuan bhiksu dengan kemampuan tuan dalam hal pengobatan dan aku dengan sedikit kepandaian yang kumiliki." Bhiksu tua itu tersenyum senang. "Baguslah kalau tuan berpandangan seperti itu. Perlu tuan ketahui, jatuhnya korban juga membuat sedih ketua kami dan sahabat ketua kami Pendeta Chongxan. Namun sebagai penyelenggara pertandingan ini, tangan mereka lebih banyak terbelenggu dengan berbagai kesulitan. Lepas dari itu semua, apa yang tuan lakukan mendapat dukungan dari mereka, meskipun hanya dalam hati saja." Selesai menyampaikan itu, bhiksu tua itu pun pergi kembali ke tempatnya, meninggalkan Ding Tao yang termangu beberapa saat lamanya. Pandang mata Ding Tao pun melayang ke arah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Kedua orang tokoh besar itu dengan samar menganggukkan kepala mereka begitu tatapan mata mereka saling bertemu. Dengan hati yang lega dan bersemangat, Ding Tao membungkukkan badan, memberikan hormat pada mereka sekalian yang duduk berdampingan, ke arah para pimpinan enam perguruan besar. Saat dia kembali untuk duduk di kursinya, nyeri di lengan kirinya pun jadi terlupakan untuk sesaat lamanya. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena baru saja dia duduk, seorang bhiksu Shaolin yang bertugas membacakan jalannya pertandingan sudah maju ke depan dan mengumumkan hasil pertandingan di babak pertama dan pertandingan yang akan diadakan berikutnya. Siapa lagi jika bukan Ding Tao dan Tong Baidun. Selesai nama mereka dipanggil, keduanya pun tidak membuang waktu untuk maju ke atas panggung. Tong Baidun tanpa malu-malu atau ragu, menggunakan taktik yang sama yang dia pakai saat melawan Shan Zhengqi. Begitu dia merasa jarak paling optimal antara dirinya dan Ding Tao tercapai, dia pun merangkapkan tangan di depan dada dan mengucapkan salam. Menurut hemat setiap oragn, Ding Tao yang sudah menyaksikan jalannya pertarungan antara Tong Baidun dan Shan Zhengqi tidak perlu terjebak dalam jebakan yang sama. Maju saja berjalan, beberapa langkah lebih dekat, sebelum membalas salam Tong Baidun. Tapi tentu saja bukan Ding Tao namanya jika dia melakukan hal itu. Sejak kehadirannya dalam dunia persilatan, apa yang dia lakukan seringkali berada di luar perhitungan orang pada umumnya. Dalam hal ini ada kemiripan antara Ding Tao dan Lu Jingyun, apa yang hendak dia lakukan akan dia lakukan. Bedanya Lu Jingyun hanya menuruti keinginan hatinya, sedangkan Ding Tao berusaha mengikuti prinsip yang dia yakini bukan apa yang dia ingini. Jika dia yakin itu benar, maka dia akan melakukannya tanpa memperhitungkan pendapat banyak orang. Demikian juga sekarang, jika orang lain memberi salam, sudah selayaknya dia membalas salam orang itu. Jadi itu pula yang dilakukan Ding Tao, meskipun sekarang dia harus menghadapi masalah yang sama yang dihadapi Shan Zhengqi. Di lain pihak, bisa dikatakan seandainya saat itu bukan Ding Tao yang berhadapan dengan Tong Baidun, orang itu tetap saja akan melakukan hal yang sama. Anggap saja Lei Jianfeng yang berhadapan dengan Tong Baidun, masakan dia mau mengakui ketakutannya pada senjata rahasia Tong Baidun? Jika dia tidak segera membalas salam dari Tong Baidun dan berusaha memperpendek jarak antara dirinya dengan Tong Baidun sebelum pertarungan dimulai, bukankah itu artinya dia sudah mengakui keunggulan lawan? Dengan demikian pertanyaannya bukan pada mengapa Ding Tao membalas salam Tong Baidun meskipun dia sudah tahu hal itu akan merugikannya. Pertanyaannya sekarang adalah, dengan cara bagaimana Ding Tao hendak mengubah kedudukan yang merugikannya itu, sehingga dia bisa meraih kemenangan. Kedua jagoan itu pun berdiri dengan tenang, saling berhadapan dengan seluruh panca indera dikerahkan untuk menangkap gerakan lawan dan keadaan di sekitarnya. Pernafasan Ding Tao dan Tong Baidun sama-sama masih teratur dan tidak terganggu dengan ketegangan yang semakin memuncak. Keadaan tubuh mereka bisa dikatakan rileks dan waspada di saat yang bersamaan. Ding Tao tidak ingin membuat tubuhnya terlalu tegang dengan terlalu bersiap sedia terhadap serangan lawan. Seperti busur yang direntangkan penuh, jika anak panah tidak segera dilepaskan maka tangan pun akan mulai pegal dan kewaspadaan akan terganggu. Yang terbaik adalah dalam keadaan siap namun rileks, perubahan dari diam jadi bergerak hanya dalam hitungan kejapan mata. Tong Baidun sadar, lawan di hadapannya tidak sama seperti lawan yang sebelumnya. Dalam hal menjaga agar syaraf tidak terlalu tegang, meskipun tetap waspada, Tong Baidun memiliki keuntungan. Dia dapat menyerang lawan sementara lawan tidak mungkin menyerang dia tanpa mendekat terlebih dahulu. Dengan keyakinan seperti ini, tentu saja lebih mudah bagi Tong Baidun untuk tetap rileks sambil menunggu lawan melakukan kesalahan. Entah sudah berapa helaan nafas berlangsung dan keduanya masih saja berdiri dalam diam, saling berhadapan. Tidak terlihat tanda-tanda akan ada yang bergerak lebih dulu. Kali ini tidak ada suara-suara yang mengeluhkan pertandingan yang membosankan itu. Masih segar dalam ingatan mereka nasib dari Bi Yonggi yang tidak bisa menjaga lidahnya. Adu kesabaran, adu kekuatan psikis dan mental, keduanya saling bertatapan dan mengamati lawan, tanpa melakukan gerakan. Tong Baidun dengan mata elangnya, melihat bagaimana nafas Ding Tao tidak juga berubah iramanya. Otot-otot di badannya tidak sedikitpun menunjukkan keseimbangannya terganggu. Memikirkan hal itu, Tong Baidun sempat tergoncang perasaannya untuk beberapa kejap. Yang sekejap itu tidak lepas dari pengamatan Ding Tao, dalam sekejap itu Ding Tao menggeser kedudukannya maju beberapa langkah. Ding Tao tidak melompat dalam satu lompatan yang besar, dia bergerak dengan cepat tapi dengan langkah yang pendek-pendek, sehingga setiap saat dia bisa mengubah arah gerakannya dengan cepat. Kelemahannya dia tidak bisa menutup jarak yang jauh itu secepat apabila dia melakukannya dalam satu kali lompatan. Di lain pihak, Tong Baidun yang tadi terguncang perasaannya, tidak berada dalam keadaan yang siap untuk menyerang saat Ding Tao mulai bergerak. Hal itu membuat dia semakin gugup dan tidak sempat berpikir untuk mengamati gerakan Ding Tao dan memilih waktu yang tepat untuk menyerang. Demi menjaga agar jarak di antara mereka berdua tetap sama, Tong Baidun pun menyurut mundur beberapa langkah. Tapi Tong Baidun bukan baru kali ini berhadapan dengan tokoh besar dalam dunia persilatan. Menyadari kesalahannya, Tong Baidun pun berusaha menguasai kembali perasaannya secepat mungkin. Ding Tao yang tidak pernah melepaskan pengawasannya bisa melihat perubahan di ekspresi wajah dengan gerak-gerik Tong Baidun. Saat Tong Baidun kembali mendapatkan kendali atas dirinya, selarik cahaya hitam melesat cepat mengarah ke bagian tubuh Ding Tao yang terdekat, yaitu ke arah lutut Ding Tao yang sedang bergerak ke depan. Tidak kalah cepat Ding Tao menggerakkan pedang yang masih berada dalam sarungnya untuk menangkis serangan tersebut. 4 kali serangan susul menyusul dilepaskan Tong Baidun, memaksa Ding Tao untuk berhenti bergerak. Meskipun tidak satupun serangan Tong Baidun mengenai sasaran, setidaknya serangan itu membantu Tong Baidun untuk meneguhkan kembali kedudukannya. Untuk beberapa lama mereka pun kembali berdiri diam dan saling mengamati. Beberapa orang penonton tanpa sadar mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya keluar kuat-kuat. "Ah dasar sialan, membuat jantungku jadi berdebaran begini.", gerutu salah seorang dari mereka. Ya, tontonan kali ini bukan hanya membosankan tapi juga teramat sangat membuat orang menderita. Menunggu bosan, tapi jika perhatian mereka teralihkan sedikit saja, bisa jadi pada saat itu akan terjadi gebrakan yang paling menentukan hasil pertarungan ini. Sehingga yang menyaksikan pertarungan itu dipaksa untuk beradu konsentrasi, kesabaran dan ketenangan dengan dua petarung yang berada di atas panggung. Mereka yang masih lemah pengendalian dirinya dengan cepat kehilangan fokus dan butuh waktu lama untuk bisa kembali mengikuti pertarungan itu dengan sabar. Salah satunya adalah Sun Gao yang masih muda, anak muda itu menggerutu dengan suara perlahan. "Mengapa juga Ketua Ding Tao tidak menggunakan saja ilmu barunya, dengan begitu pertarungan akan jadi lebih seru dan selesai dalam waktu yang singkat." Ayahnya yang mendengar keluhan itu tertawa kecil dan menjawab. "Kenapa kau hilang kesabaran? Ketua Ding Tao yang berhadapan dengan orang bermarga Tong sendiri saja masih bisa sabar. Gunakan kesempatan ini untuk melatih kesabaranmu, teladanilah Ketua Ding Tao, dari segi umur dia seumuran denganmu, namun kesabaran dan ketenangannya sudah jauh melampaui dirimu." Qin Bai Yun yang ikut mendengar teguran Sun Liang pada Sun Gao, menyeringai pada temannya itu, dia pun berbisik pada Sun Gao. "Rasakan kau." "Sialan", gerutu Sun gai sambil memukul pundak sahabatnya itu. Di atas panggung, rupanya justru Tong Baidun yang terlebih dahulu habis kesabarannya. Melihat ketenangan Ding Tao dan belajar dari kesalahan sebelumnya, akhirnya Tong Baidun sampai pada kesimpulan bahwa dia harus memaksa Ding Tao bergerak terlebih dahulu dan menunggu Ding Tao membuat kesalahan. Setelah sampai pada kesimpulan itu pun, dia segera bersiap. Meskipun dari luar tidak terlihat ada pergerakan, mau tidak mau, hawa pembunuh itu terasa keluar dari tubuh Tong Baidun. Dari sini bisa dilihat seberapa tinggi tingkat kepandaian Tong Baidun. Semakin menanjak kekuatan dan semangat seseorang, semakin cepat terasa dan semakin menekan semangat yang timbul dari kesiapan mereka untuk menyerang. Namun di tingkat-tingkat yang tertinggi, justru keinginan itu tidak bisa dirasakan oleh lawan. Jika Ding Tao orang awam, bisa jadi dia mengkerut ketakutan oleh tekanan semangat lawan, tapi dia sudah pernah menghadapi lawan yang lebih mengerikan dari Tong Baidun. Hawa pembunuh yang memancara dari Tong Baidun hanya jadi pertanda bagi Ding Tao untuk bersiap-siap dan meningkatkan kewaspadaan. Mereka yang menyaksikan dan berilmu cukup tinggi juga bisa merasakan adanya perubahan situasi di atas panggung, dengan sendirinya tubuh mereka menegak dan jantung mereka berdebar sedikit lebih cepat, mengantisipasi badai serangan yang akan segera mereka saksikan, bahkan mungkin juga akan ada beberapa senjata lontar yang berkunjung ke tempat mereka duduk menonton. Benar saja, begitu Tong Baidun selesai mengumpulkan hawa murni dan sudah mapan semangatnya, segera saja belasan senjata rahasia melesat cepat ke arah Ding Tao. Benar-benar unik serangan Tong Baidun ini, tiap-tiap senjata rahasia dilemparkan dengan tenaga dan kecepatan yang berbeda-beda. Ada serangan yang sekedar memancing gerakan lawan, ada serangan yang tujuannya menutup jalan mundurnya lawan ada pula serangan yang memang ditujukan untuk melukai lawan. Kalau dibuat contoh yang paling sederhana, Tong Baidun bisa melontarkan satu serangan yang terlihat cepat padahal lambat. Saat Ding Tao menghindar ke samping, Tong Baidun melepaskan serangan lain yang lebih cepat, sementara serangan yang pertama justru berada di belakang serangan kedua. Akibatnya, jika Ding Tao menghindari serangan yang kedua dengan kembali ke posisinya semula, dia justru akan bertemu dengan senjata rahasia Tong Baidun yang pertama kali dilepaskan. Dan semuanya itu jadi lebih rumit, karena Tong Baidun memiliki variasi serangan yang sangat beragam. Ada yang terlihat cepat tapi tiba-tiba melambat, ada yang di awalnya terlihat lambat tapi semakin lama semakin cepat, ada pula senjata yang dapat bergeser arah serangannya bahkan ada yang dapat berputar kembali menyerang Ding Tao dari belakang sesudah melewati Ding Tao dari samping. Saat bertarung melawan Shan Zhengqi, Tong Baidun baru bermain dengan kecepatan serang senjata rahasianya untuk mengacaukan pengamatan Shan Zhengqi. Baru sekarang inilah mata setiap orang jadi terbuka, betapa mengerikannya senjata rahasia milik Tong Baidun. Terlebih Ding Tao yang berhadapan dengan senjata-senjata Tong Baidun. Lebih sulitnya lagi, sudah menjadi pengetahuan umum, senjata rahasia milik keluarga Tong ada pula yang dilapisi dengan racun, sedikit saja luka goresan di atas tubuh sudah bisa mengakibatkan kematian. Mati-matian Ding Tao mencoba menyelamatkan diri dari serangan senjata rahasia Tong Baidun, tapi bukannya mundur, justru Ding Tao memilih untuk berusaha mendekat maju. Semakin pendek jarak antara Ding Tao dengan Tong Baidun, semakin singkat waktu yang dimiliki Ding Tao untuk menangkis atau menghindari senjata rahasia yang dilepaskan Tong Baidun. Mengingat hal itu, Tong Baidun memutuskan untuk bertahan di posisinya saat ini dan tidak menjauh dari Ding Tao yang langkah demi langkah semakin dekat dengan dirinya. Tong Baidun memilih untuk mencecar Ding Tao dengan lebih banyak serangan, kalaupun dia tidak bisa melukai Ding Tao, dia berharap bisa memaksa Ding Tao mundur. Ketika melihat sudah sekian puluh senjata rahasia dilepaskan, tapi Ding Tao masih juga mampu berjalan mendekat ke arahnya. Keringat dingin mulai membasahi dahi Tong Baidun. Jarak mereka sudah tinggal beberapa langkah lagi. Jika Ding Tao bisa melampaui jarak itu, maka Ding Tao bisa melepaskan serangan ke arah Tong Baidun. Tong Baidun pun bersiap untuk melompat mundur, jika Ding Tao berjalan satu langkah lagi lebih dekat. Dalam ketegangannya, Tong Baidun mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam melepaskan senkata rahasia. Tujuh macam senjata rahasia dilepaskan dalam satu tarikan nafas, tujuh tempat terancam oleh serangan itu. Menyusul 9 macam senjata rahasia yang berbeda dilepaskan pula di tarikan nafas yang kedua, menutup jalan bagi Ding Tao untuk menghindar dari serangan yang pertama. Ding Tao pun menggertakkan gigi dan membangkitkan semangatnya, tangan kanannya berkelebatan ke atas dan ke bawah, menangkis serangan Tong Baidun. 1, 2, 3, 4 senjata rahasia berhasil ditangkisnya, namun 3 yang lain sudah terlalu dekat. Tanpa bisa dihindari lagi, 3 senjata rahasia itu pun dengan telak mengenai tubuh Ding Tao. Dua di bahunya dan satu di punggungnya. "Kena!", Tong Baidun pun bersorak, seraya melompat mundur, menjauh dari Ding Tao yan masih bergerak mengejarnya. Sambil berhitung dalam hati, Tong Baidun berusaha lepas dari desakan Ding Tao yang berusaha memojokkan dia di sudut panggung. Ding Tao sendiri saat Tong Baidun berseru, bergerak lebih cepat dan berusaha mendesak Tong Baidun secepatnya. Jantung tiap orang berdebaran, sekarang ini pertanyaannya, siapa yang lebih cepat? Ding Tao yang hendak mengirimkan serangan maut ke arah Tong Baidun atau racun dari senjata rahasia Tong Baidun. Suasana pun jadi hening mencekam, baik pendukung Ding Tao maupun pendukung Tong Baidun tidak ada yang mampu mengeluarkan suara untuk bersorak. Bahkan mereka yang tidak mendukung keduanya pun ikut menyaksikan dengan tegang. Nyawa dua orang jagoan tingkat atas sedang berada di ujung tanduk. Apakah Ding Tao akan mati sebelum dia berhasil menyerang Tong Baidun ataukah Ding Tao akan berhasil mengajak pembunuhnya mati bersama? 10 hitungan sudah berjalan, namun tidak ada tanda-tanda Ding Tao menderita keracunan. Akhirnya Tong Baidun masuk dalam jangkauan Ding Tao dan sebuah serangan dilancarkan. Tong Baidun pun dipaksa untuk mengelak mundur, semakin terpojok di sudut panggung. Sungguh tidak masuk akal Tong Baidun, karena seharusnya sudah dua hitungan yang lalu Ding Tao terkapar di atas panggung. Tapi bukan saja pemuda itu tidak terkapar tak berdaya, bahkan dia masih menyerangnya dengan hebat Sambil mengelak dari serangan Ding Tao yang berikutnya, hampir putus asa Tong Baidun pun menghamburkan senjata rahasianya yang paling berbisa. Jarak mereka sudah begitu dekat, belasan biji peluru pipih dengan ujung tajam itu menyambar dengan cepat ke arah Ding Tao. Senjata ini bukan saja beracun tapi juga lebih berat daripada jarum-jarum yang ringan. Kalaupun Ding Tao kebal racun, senjata ini akan mampu menembusi otot dan uratnya dan mengakibatkan luka yang cukup parah. Dengan pedangnya yang belum dicabut, Ding Tao mengebaskan 3 senjata yang mengarah ke wajahnya, tapi 9 senjata yang lain tidak sempat dia tangkis ataupun hindari. Mata Tong Baidun menatap nyalang ke arah laju senjata rahasia yang dia lemparkan. Waktu seperti melambat dan mata Tong Baidun pun mendelik tak percaya. Pada saat senjata rahasianya hampir mengenai tubuh Ding Tao, tiba-tiba baju yang dikenakan pemuda itu seperti mengembang. 9 senjata rahasia yang melaju itu tiba-tiba melambat begitu mendekati Ding Tao dan runtuh sebelum berhasil melukai Ding Tao sedikitpun, seakan tertahan oleh tenaga yang tak terlihat. Tercengan, tergoncang, Tong Baidun pun tak sempat mengelak saat tangan Ding Tao bergerak menghajar perutnya. Tong Baidun hanya bisa mengeluh tertahan, terhuyung mundur dengan isi perut terasa terbalik. Saat dia akhirnya bisa menegakkan badan dan menengadahkan kepala, yang terlihat adalah ujung pedang Ding Tao yang mengancam tepat di antara dua matanya. Entah sejak kapan, Ding Tao mengempit sarung pedangnya di ketiak tangan kiri, mencabut pedangnya dan menodongkan pedang itu ke arah Tong Baidun. Jarak antara mata pedang dengan dahi Tong Baidun tidak lebih dari 1 cun. Senjata rahasia Tong Baidun boleh saja cepat, tapi sebelum dia bisa menggerakkan tangannya, dahinya sudah terlebih dahulu berlubang. Memandang Ding Tao dengan rasa tak percaya, Tong Baidun berucap lemah. "Aku kalah." Suasana yang hening mencekam pun dengan segera pecah oleh sorak sorai para pengikut Ding Tao, diikuti oleh sorakan ragu-ragu oleh mereka yang mendukung Ding Tao namun bukan pengikut Ding Tao. Dua orang bhiksu tua yang ahli dalam hal pertabiban, melompat dengan cepat mendekati Ding Tao. Dalam bayangan mereka saat ini, pemuda itu tentu sedang mengerahkan hawa murni untuk mencegah racun merambat ke seluruh tubuhnya. Di saat yang sama, entah siapa yang memulai, tapi jelas berasal dari kelompok pengikut Ding Tao. Sebuah bisikan menyebar ke seluruh penjuru. "Yi Cun Kai!" "Yi Cun Kai?" Apa maksudnya Yi Cun Kai? Baju besi satu inci? Apa maksudnya itu? Entah siapa yang memulai, kisah tentang Ding Tao yang berhasil mempelajari sebuah ilmu dari daratan yang jauh pun menyebar di antara orang-orang dunia persilatan yang sedang menyaksikan pemilihan Wulin Mengzhu tersebut. Karena ilmu itu sendiri sebenarnya dirahasiakan keberadaannya, sudah tentu yang pertama kali membocorkan adalah dari pengikut Ding Tao sendiri. Oleh karena perasaan gembira yang meluap, tanpa sadar sekelompok kecil mereka yang tahu, membocorkan rahasia ini pada sesama pengikut yang tidak tahu. Yang tidak tahu ini pun dengan rasa bangga yang meluap, menceritakannya pada teman dan kenalan, meskipun mereka ini bukan pengikut Partai Pedang Keadilan. Dari satu mulut ke mulut yang lain. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Suasana pun dengan cepat menjadi riuh oleh suara mendengung, bisik-bisik yang terjadi hampir secara bersamaan di seluruh penjuru. Ma Songquan hanya bisa menggelengkan kepala. "Hehh. Siapa lagi ini yang sudah menyebarkan cerita tentang Yi Cun Kai?" Wang Xiaho yang masih meluap kegembiraannya menyaksikan Ding Tao menang melawan Tong Baidun tertawa terbahak- bahak sambil menepuk-nepuk pundak Liu Chuncao yang berada di sampingnya. "Hahahaha, siapa yang peduli? Cepat atau lambat mereka juga akan mendengarnya." Liu Chuncao pun mengangkat bahu, menatap Ma Songquan sambil menyengir, tak bisa menahan kegembiraannya, "Saudara Wang Xiaho benar, bagaimana pun juga toh ilmu itu sudah diperlihatkan. Setidaknya Tong Baidun tentu bisa menyaksikannya dalam jarak begitu dekat. Kalaupun tidak ada dari saudara sendiri yang bercerita, sebelum pertarungan antara Lei Jianfeng dan Ximen Lisi selesai, semua orang yang ada di sini tentu sudah mendengar ceritanya." Akhirnya Ma Songquan pun ikut tersenyum dan tertawa bersama saudara-saudaranya yang lain. Jadi sebenarnya apa itu Yi Cun Kai? Dari sekian banyak kitab-kitab ilmu silat yang dikoleksi keluarga Murong, ada satu kitab yang bukan berasal dari daratan Cina sendiri. Menurut penulisnya ilmu itu berasal dari sebuah pulau yang jauh, di selatan daratan Cina, melewati samudra luas dan beberapa kepulauan. Sebuah negara yang jauh namun sudah maju peradabannya. Sebuah negara yang penuh dengan berbagai cerita akan kekuatan misterius dan mistis. Ketika Murong Yun Hua mendapati kitab ini, dengan serta merta dia mengajukannya pada Ding Tao. Pertama, kalaupun Ding Tao mempelajari ilmu ini, maka tidak akan ada aliran ilmu bela diri di daratan yang akan merasa dicuri ilmunya oleh Ding Tao. Yang kedua, apabila benar ilmu itu bisa dipelajari dan digunakan, bukankah ilmu ini setanding dengan ilmu baju besi milik Ren Zuocan? Sebuah bekal yang tepat untuk mengimbangi Ren Zuocan yang menjadi lawan utama Ding Tao nantinya. Yi Cun Kai sendiri, seperti namanya, membentuk sebuah perisai yang tak terlihat di sekujur tubuh penggunanya. Sebuah perisai setebal 1 cun yang terbentuk oleh olahan hawa murni, menyebabkan setiap serangan lawan terhenti 1 cun sebelum benar-benar mengenai tubuh penggunanya. Ding Tao sendiri sebenarnya belum menguasai ilmu ini secara sempurna, sehingga dia tidak bisa menerapkan ilmu ini dengan cepat. Ding Tao masih butuh waktu untuk mengolah hawa murni di tubuhnya, menerapkan ilmu ini, sampai perisai itu benar-benar siap dan bisa menangkal serangan lawan. Beruntung lawan Ding Tao kali ini adalah Tong Baidun. Siasat Tong Baidun yang menunggu lawan melakukan kesalahan, justru berbalik merugikan Tong Baidun sendiri. Di saat mereka saling diam itu, Ding Tao justru mendapatkan kesempatan untuk menggerakkan hawa murninya sesuai apa yang diajarkan dalam kitab itu. Sehingga tatkala dia mulai menyerang, ilmu itu sudah diterapkan dengan sempurna. Sebenarnya tidak perlu Ding Tao susah payah menghindar ataupun menangkis senjata rahasia Tong Baidun, namun Ding Tao masih berharap bisa mengalahkan Tong Baidun tanpa menunjukkan ilmu andalannya tersebut. Hanya saja, ilmu Tong Baidun memang tidak bisa dianggap enteng, meskipun Ding Tao berusaha semampunya untuk menangkis dan menghindari senjata rahasia Tong Baidun, tetap saja beberapa di antaranya lolos dan berhasil menghajar tubuh Ding Tao. Setelah 3 senjata rahasia Tong Baidun berhasil mengenai dirinya dan satu-satunya yang menahan adalah ilmu baru yang dia andalkan. Ding Tao pun beranggapan tidak ada gunanya lagi dia berusaha menyembunyikan ilmu itu. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ilmu itu belum benar-benar dikuasainya sehingga Ding Tao hanya bisa menggunakan ilmu itu dalam waktu yang terbatas, maka Ding Tao pun memutuskan untuk mengakhiri pertarungan mereka secepat mungkin. Itu sebabnya gerakannya pun berubah jadi semakin cepat dan semakin berani. Di saat yang sama Tong Baidun yang menyangka Ding Tao sudah terkena senjata beracunnya, tidak dengan segera menyerang pemuda itu lagi. Sampai di saat yang paling kritis, barulah dia menghamburkan senjata rahasianya. Ding Tao terpaksa menangkis serangan yang mengarah ke wajahnya, karena ilmunya yang belum sempurna, belum bisa melindungi bagian-bagian yang lemah seperti mata, lubang hidung dan telinganya. Meskipun ilmu itu sendiri belum sempurna, namun apa yang ditunjukkan Ding Tao sudah cukup untuk membuat heboh seluruh orang dunia persilatan yang menyaksikan pameran kekebalan tubuhnya itu. Sangat jarang tokoh dalam dunia persilatan yang memiliki ilmu baju baja seperti Ren Zuocan. Meskipun cukup banyak macam ilmu kebal yang dikenal, seperti Tie Bu Shan dari Shaolin atau Jin Zhong Zhao dari aliran Dao, tapi sangat jarang ada tokoh persilatan yang melatih ilmu tersebut. Salah satu alasannya adalah karena sulitnya untuk menguasai ilmu itu secara sempurna, sampai pada taraf di mana ilmu itu bisa digunakan secara efektif dalam satu pertarungan. Ilmu-ilmu ini justru lebih banyak dipelajari oleh pesilat jalanan yang mencari uang dengan mempertontonkan ilmu kebal mereka. Sebelum mereka mulai menusukkan tombak atau membiarkan tubuh mereka dipukul dengan keras, tentu mereka terlebih dahulu menghabiskan waktu beberapa lama untuk menerapkan ilmu kebal mereka itu. Waktu yang tentunya tidak selalu tersedia sewaktu bertarung dalam pertarungan yang sesungguhnya. Apalagi ilmu kebal Ding Tao ini bukanlah ilmu kebal yang sudah umum dikenal, tentu saja mengundan rasa tertarik orang-orang persilatan untuk membahasnya. Lei Jianfeng dan Ximen Lisi yang menyaksikan pertarungan itu memiliki pemikirannya sendiri-sendiri. Dengan kemenangan Ding Tao atas Tong Baidun itu artinya bila mereka memenangkan pertandingan berikutnya, mereka harus menghadapi Ding Tao dengan ilmu yang bernama Yi Cun Kai itu. Lei Jianfeng mengamati bagaimana Ding Tao mengebaskansenjata rahasia yang mengancam daerah mukanya dan berpikir, Hmm kalaupun dia memiliki ilmu kebal, toh ilmu itu belum bisa melindungi seluruh tubuhnya. Jika demikian aku bisa berfokus pada daerah kepalanya. Selain itu pada saat melawan Bai Shixian, bukankah lengannya jadi patah oleh pukulan Bai Shixian? Berarti kemungkinan besar, ilmu kebal Ding Tao mungkin bisa digunakan melawan serangan senjata tajam atau pukulan biasa, tapi tidak untuk pukulan tenaga dalam. Lei Jianfeng memiliki keyakinan akan Luo Yan Zhang-nya, dia yakin Luo Yan Zhang tidak akan kalah dengan Tinju Petir milik Bai Shixian, sambil tersenyum Bai Shixian berpikir, Apalagi Luo Yan Zhang milikku memiliki perkembangan yang lebih banyak macamnya dari tinju petir miliki Bai Shixian. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan dengan ilmu kebal Ding Tao. Justru pedangnya itu yang membuatku khawatir. Sungguh cerdik Ximen Lisi, dia bisa membuat Ding Tao berjanji untuk tidak menggunakan pedang pusaka itu. Tapi saat melawan Bai Shixian yang bertangan kosong, bukankah Ding Tao memilih untuk tidak mencabut pedang pusakanya? Moga-moga bila aku bertarung dengan tangan kosong, dia akan melakukan hal yang sama., pikir Lei Jianfeng dalam hati. Ximen Lisi yang duduk di sisi yang berlawanan juga sedang memikirkan infirmasi baru tentang Ding Tao ini, Hmmm banyak orang menggambarkan Ding Tao sebagai pemuda yang lugu. Nyatanya dia menyembunyikan ilmunya ini dari penciuman orang. Hal ini membuktikan bahwa meskipun mungkin saja dia orang yang jujur, bukan berarti dia bodoh dan bekerja secara sembarangan. Hmm.. saat melawan Bai Shixian mengapa dia tidak menggunakan ilmu kebalnya itu? Apakah karena tinju petir Bai Shixian terlampau keras sehingga menembus kekebalannya? Ataukah karena Bai Shixian menyerang sebelum dia sempat menerapkan ilmu kebalnya itu? Kukira keduanya sangat mungkin, Tong Baidun yang menunggu-nunggu hanya memberi kesempatan pada Ding Tao untuk menyiapkan ilmu kebalnya., pikir Ximen Lisi menganalisa kedua pertarungan Ding Tao. Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo