Pedang Angin Berbisik 40
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 40
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Atau bisa juga ilmu kebal itu terbatas pada badannya saja, itu sebabnya lengannya patah dan saat senjata rahasia Tong Baidun mengarah ke wajahnya dia harus menangkisnya. Seulas senyum pun tersungging di wajah Ximen Lisi, Aku tahu, pada pertandingan melawan Ding Tao aku akan menggunakan toya besi yang berat. Dengan senjata itu, kukira tenaga serangan yang dihasilkan tidak berada di bawah tinju petir Bai Shixian. Seandainya Ding Tao menggunakan pedang pusakanya, toya besi itu bisa dengan mudah dia potong-potong. Tapi dia sudah berjanji untuk tidak menggunakan pedang pusakanya, jadi tidak ada yang perlu kukhawatirkan. Baik Lei Jianfeng dan Ximen Lisi sama-sama sudah tersenyum membayangkan kemenangan di depan mata, ketika mereka mendengar nama mereka dipanggil untuk maju bertarung, memperebutkan posisi di babak selanjutnya. Sekilas mata mereka pun bertubrukan dan senyum pun hilang dari wajah mereka. "Pertarungan berikutnya, antara Pendekar Lei Jianfeng dari Qinghai melawan Pendekar Ximen Lisi dari Shanxi.", demikian seru seorang bhiksu Shaolin yang bertugas untuk mengumumkan nama-nama mereka yang bertanding. Belum habis gema suaranya, yang dipanggil sudah berada di atas panggung. Kali ini Ximen Lisi membawa sebuah tombak panjang terbuat dari baja pilihan, seluruh tombak terbuat dari baja, mulai dari gagang hingga mata tombaknya, sudah tentu tombak tersebut sangat berat untuk dimainkan, namun Ximen Lisi membawanya seperti sedang membawa sebuah tombak mainan saja. Sementara Lei Jianfeng, tetap dengan membawa sepasang pedangnya. Keduanya tampil keren dan berwibawa, jubah luar mereka berkibar-kibar tertiup angin, baik jubah maupun pakaian dijahit dari bahan kain sutra yang mahal. Bedanya Lei Jianfeng tampil lebih konservatif dengan warna-warna gelap, sedangkan Ximen Lisi menggunakan warna cerah, sesuai benar dengan kemudaannya. "Saudara Ximen Lisi, sudah lama kutunggu kau berkunjung ke Qinghai tapi sepertinya Saudara Ximen Lisi terlalu sibuk dengan berbagai urusan. Siapa sangka akhirnya kita bertemu juga. ", sapa Lei Jianfeng. "Kalau aku tahu Saudara Lei Jianfeng sedang menunggu kunjunganku ke Qinghai tentu aku akan pergi ke sana. Sayangnya urusan di Shanxi sangat banyak hingga aku tidak sempat memikirkan urusan tetangga dekat.", jawab Ximen Lisi. "Hahaha, tidak apa, toh akhirnya kita sudah bertemu sekarang. Kuharap sejak hari ini, tidak perlu lagi ada yang menebak-nebak tentang siapa yang terkuat di utara.", ujar Lei Jianfeng sambil tertawa. "Ah rupanya tentang hal itu, kukira siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih lemah sudah cukup jelas. Sehingga akupun tidak pernah berpikir untuk berkunjung ke Qinghai. Seandainya aku tahu masih ada orang-orang yang berdebat tentang hal itu, tentu akan kusempatkan juga untuk berkunjung ke Qinghai.", jawab Ximen Lisi dengan cerdik. "Heh, cukuplah kita bicara. Lidahmu tajam tapi apa tombakmu itu setajam lidahmu? Biarkan sepasang pedangku ini mencari tahu.", ujar Lei Jianfeng sambil mengambil kuda-kuda. Ucapan Ximen Lisi menyinggung harga dirinya, namun tidak menggoncangkan ketenangannya. Jagoan yang sudah cukup berumur ini sudah kenyang dengan pengalaman dan tidak mudah dipancing emosinya. Dua orang dari generasi yang berbeda sudah berhadapan, Lei Jianfeng yang baru saja menginjak 40-an dan Ximen Lisi yang seumuran dengan Ding Tao. Yang satu tampil tenang dan berwibawa, Lei Jianfeng berdiri seperti sebatang pohon beringin raksasa yang sudah berdiri kokoh selama ratusan tahun, menjadi keras dan tegar setelah melewati puluhan hujan badai dan kerasnya alam. Di hadapannya seorang muda dengan semangat menggelora, seperti api unggun yang menari-nari, siap membakar apa pun yang menghalangi jalannya. "Mari", ujar Lei Jianfeng. "Hati-hati, akan kumulai.", jawab Ximen Lisi dan secepat dia berujar, secepat itu pula tombaknya meluncur ke depan. Cepat dan keras tombak itu meluncur ke depan, tombak yang terbuat dari baja itu pun berkilauan memantulkan cahaya matahari, serupa sinar keperakan dia meluncur ke arah Lei Jianfeng. Dengan sebuah ayunan yang melingkar Lei Jianfeng menangkis tombak Ximen Lisi, suara berdentang keras memenuhi telinga saat pedang bertemu tombak. Mata tombak Ximen Lisi terdorong ke lantai panggung, kemudian terpental membal, tepat kembali menyerang Lei Jianfeng yang sedang bergerak maju. Jangan dilihat bahannya dari baja, tombak Ximen Lisi bisa bergerak dengan lentur seperti terbuat dari kain saja. Seperti ular yang mematuk-matuk, tombak Ximen Lisi bergerak dengan lincahnya, diiringi derik-derik suara seperti giring-giring di kaki gadis muda yang sedang berlari. Jika diamati lebih dekat lagi, terlihatlah ruas-ruas tipis di sepanjang batang tombak Ximen Lisi, rupanya tombak baja itu dibuat dari potongan-potongan yang lebih pendek dan disatukan dengan satu cara tertentu sehingga dapat bergerak dengan lebih bebas dibandingkan tombak biasa. Dengan kekuatan dan cara dia memainkan tombaknya, tombak Ximen Lisi terkadang bergerak hampir seluwes sebuah pecut yang terbuat dari baja daripada sebatang tombak biasa. Menggunakan panjang tombak dan kelincahannya Ximen Lisi menyerang Lei Jianfeng sekaligus menahan laju majunya Lei Jianfeng mendekat ke arahnya. Sepasang pedang Lei Jianfeng sendiri, menjadi tembok pertahanan yang tangguh, sembari Lei Jianfeng berusaha maju mendesak kedudukan Ximen Lisi. Saling menyerang dan bertahan, keduanya bertarung dengan jurus-jurus yang mematikan namun indah dipandang. Matahasri sudah semakin tinggi di atas, pedang dan tombak berkilauan ditempa cahayanya. Permainan pedang Lei Jianfeng lebih mantap dan bertenaga, permainan tombak Ximen Lisi lincah dan cepat, keduanya tidak ada yang mau mengalah. Deng Songyan mengawasi pertarungan itu dengan hati yang tak tentu. Ximen Lisi memilih tombak, Deng Songyan yang sejak kanak-kanak sudah memegang tombak dengan cepat bisa menyelami permainan tombak Ximen Lisi, dalam hati dia bertanya-tanya, bukankah permainan tombaknya lebih baik dibandingkan Ximen Lisi? Lalu mengapa sekarang ini yang berada di atas panggung bukan dia melawan Ximen Lisi tapi Lei Jianfeng melawan Ximen Lisi. Jika dia lebih kuat dibandingkan Ximen Lisi, dan dia kalah melawan Lei Jianfeng, bukankah itu artinya Ximen Lisi juga akan kalah melawan Lei Jianfeng? Apakah menang kalah adalah hasil pertaruhan belaka, kemampuan untuk memanfaatkan datangnya kesempatan yang selisihnya hanyalah sehelai rambut dibagi tujuh? Bukankah sebenarnya permainan pedang Lei Jianfeng sudah jatuh ke dalam permainan tombaknya? Mengapa oleh karena tergelincir pada satu kesalahan kecil saja harus berakhir dengan tragis? Seharusnya saat ini dirinyalah yang berhadapan dengan Ximen Lisi. Tidak sedikit orang yang berpikir sama seperti Deng Songyan, mereka menunggu dan menunggu, saat-saat kekalahan Ximen Lisi. Permainan tombak Ximen Lisi tidaklah lemah, 18 macam senjata dia kuasai dengan baik. Tiap-tiap senjata penguasaannya tidak di bawah orang lain. Namun jika permainan tombaknya dibandingkan dengan permainan tombak Deng Songyan yang selama belasan tahun melulu berlatih tombak, tentu saja permainan tombak Deng Songyan lebih hidup dan lebih kuat. Jika permainan tombak Deng Songyan bisa menguasai sepasang pedang Lei Jianfeng, tidak demikian dengan permainan tombak dari Ximen Lisi. Di sele-sela serangan tombak, sesekali Lei Jianfeng berhasil menyerbu masuk dan menyerang dengan sepasang pedangnya. Pada saat demikian maka kelincahan dan pemahaman ruang Ximen Lisi yang baik membuat dia bisa menghindari serangan sekaligus memperbaiki kedudukan. Pertarungan pun berjalan dengan ketat, antara Lei Jianfeng yang sebenarnya ahli pukulan tangan kosong tapi menggunakan sepasang pedang, melawan Ximen Lisi yang menguasai 18 macam senjata tanpa mengkhususkan diri pada satu ilmu tertentu. Perlahan namun pasti Lei Jianfeng mulai menguasai pertarungan, dalam 10 jurus terakhir Ximen Lisi selalu didesak mundur oleh Lei Jianfeng. Pilihannya hanyalah mundur atau dia akan berada pada posisi bisa diserang namun tak bisa balas menyerang. "Sepertinya lawan ketua di babak akhir nanti adalah Lei Jianfeng", bisik Liu Chuncao pada Ding Tao. "Sepertinya begitu, tapi entah mengapa aku tidak mendapatkan kesan tersebut dari wajah Ximen Lisi. Bagi setiap orang yang melihat sudah jelas dalam beberapa jurus terakhir dia terdesak. Tapi tak kulihat ada kecemasan di wajahnya. Bisa jadi dia sedang menyiapkan sesuatu.", jawab Ding Tao yang terus mengamati pertarungan itu dengan cermat. Hmmm benarkah demikian?, pikir Liu Chuncao sambil mengamati wajah Ximen Lisi. Mereka yang mendengar percakapan itu pun jadi semakin tertarik untuk mengikuti jalannya pertarungan. Apakah pengamatan Ding Tao akan terbukti benar? Lei Jianfeng telah mengurung Ximen Lisi dengan langkah-langkah Bagua-nya. Semakin lama Ximen Lisi semakin terdesak, hingga pada satu saat Ximen Lisi tidak lagi mungkin bergerak mundur karena dia sudah berada di pinggir panggung. Sebuah teriakan penuh kemenangan pun terdengar dari mulut Lei Jianfeng, mengiringi serangan kilatnya yang dilancarkan sekuat tenaga. Pedang di tangan kiri menebas tombak Ximen Lisi, mendorongnya ke arah luar. Di saat yang bersamaan pedang di tangan kanan bergerak menusuk ke arah lubang pertahanan yang terbuka. Jarak mereka berdua sudah begitu dekat, mata tombak Ximen Lisi berada di belakang Lei Jianfeng dan tidak mungkin bisa digerakkan untuk menyerang Lei Jianfeng. Di saat yag paling kritis untuk Ximen Lisi itulah tiba-tiba terjadi kejadian yang mengejutkan. Sepersekian kejap setelah Lei Jianfeng berteriak, sebuah suara berkeratakan terdengar dari tombak Ximen Lisi, dibarengi suara mendesing. Dalam sekejap mata, tombak Ximen Lisi tiba-tiba terpisah-pisah menjadi beberapa bagian, masing-masing ruas dihubungkan dengan sebuah rantai pendek dan di saat yang bersamaan dari pangkal tombak yang tumpul mendesing keluar sebilah mata tombak yang lain. Kerena tombak tidak lagi menjadi sebatang tombak maka memang benar bagianujung tombak Ximen Lisi terdorong keluar, namun bagian lain yang terpegang oleh Ximen Lisi tidak ikut terdorong oleh pedang kiri Lei jianfeng. Dengan gesit Ximen Lisi menggunakan ruas yang dipegang tangan kirinya untuk menangkis serangan Lei Jianfeng, sementara tangan kanan yang memegang pangkal tombak bergerak menyambar tubuh Lei Jianfeng yang tengah bergerak mendekat. Celaka bagi Lei Jianfeng, pedang di tangan kiri menebas terlalu kuat, karena tenaga tombak yang seharusnya menahan laju pedang menjadi tidak ada. Di saat yang sama pedang di tangan kanan tertangkis ke arah luar oleh Ximen Lisi, tubuhnya yang sedang bergerak mendekat menjadi hidangan empuk bagi mata tombak Ximen Lisi yang menebas ke depan. Tapi bukan sekali ini saja Lei Jianfeng harus berhadapan dengan maut di depan mata, jagoan tua itu tidak menjadi gugup menghadapi perubahan yang tiba-tiba itu. Nalurinya untuk bertahan hidup dan keteguhan hatinya dalam menghadapi kematian memberi dia pikiran yang jernih di saat yang kritis itu. Sadar bahwa sepasang pedangnya tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk menahan serangan Ximen Lisi, Lei Jianfeng segera mengemposkan seluruh tenaga di kakinya untuk melompat mundur. Tanpa malu-malu jagoan yang sudah matang itu bergulingan ke belakang untuk menghindari mata tombak Ximen Lisi yang tiba-tiba muncul dari pangkal tombaknya, tak urung tombak Ximen Lisi berhasil mengiris dada Lei Jianfeng cukup dalam, darah pun dengan cepat mengucur deras. Ximen Lisi yang tidak mau melepaskan kesempatan baik, memburu ke depan, namun sebelum dia sempat bergerak terlalu dekat, sebilah pedang Lei Jianfeng meluncur cepat ke arah wajahnya dengan suara mengaung. Ximen Lisi pun dipaksa untuk menghindar dan menyampok jatuh pedang yang disambitkan Lei Jianfeng. Masih dalam keadaan bergulingan, tangan kanan Lei Jianfeng yang sudah tidak lagi memegang pedang, dengan cepat menotok jalan darah di sekitar luka yang diterimanya. Saat Ximen Lisi kembali memburu ke depan, Lei Jianfeng sudah berdiri di atas kedua kakinya, melompat mundur beberapa langkah, melintangkan pedang yang ada di tangan kiri di depan dada dan tangan kanannya menempel di pinggang siap untuk melontarkan serangan. Ximen Lisi pun tidak berani menyerang dengan sembrono, serangan yang dia lontarkan adalah serangan yang terukur tenaganya. Pedang di tangan kiri Lei Jianfeng pun dengan lincah menangkis serangan Ximen Lisi, langkah bagia Lei Jianfeng kali ini digunakan untuk menghindar dan bukan lagi untuk mengurung Ximen Lisi. Perubahan pada senjata Ximen Lisi sangat mengejutkan, membuat yang melihat pertarungan itu merasa kagum sekaligus ngeri dengan kayanya perubahan dan rahasia yang tersimpan dalam diri ilmu bela diri Ximen Lisi dan senjatanya. Namun terlebih kagum pada ketenangan dan kemampuan Lei Jianfeng untuk lolos dari pintu gerbang kematian yang datang dengan tidak disangka-sangka. Bahkan Deng Songyan yang merasa benci dan penasaran atas kekalahannya di tangan Lei Jianfeng, memandang jagoan itu dengan pandangan mata yang berbeda. Keadaan yang dihadapi Lei Jianfeng barusan, tidaklah lebih ringan dibandingkan dengan keadaan yang dialami Deng Songyan saat bertarung dengan Lei Jianfeng. Ketika saat-saat kemenangan berubah menjadi ancaman kematian dalam waktu yang kurang dari sekejapan mata. Tapi kejutan yang membuat Deng Songyan membeku di tempatnya, bisa dihadapi dengan tenang oleh Lei Jianfeng. Kejutan itu tidak membuat Lei Jianfeng kehilangan akal. Kengerian yang dihadapi ketika sadar dirinya sudah jatuh dalam jebakan lawan, tidak membekukan tubuh Lei Jianfeng. Permainan tombaknya boleh jadi lebih tinggi beberapa lapis dibandingkan permainan senjata Lei Jianfeng dan Ximen Lisi. Namun ketenangan dan kemampuan untuk bertindak dengan cepat di saat-saat yang kritis dari Lei Jianfeng melampaui dirinya. Di saat-saat itu, tiba-tiba Deng Songyan mendapatkan satu kedamaian dan ketenangan yang belum pernah dia rasakan. Satu penerimaan akan keadaan dirinya sebagai sesuatu yang memang sewajarnya terjadi. Deng Songyan menjadi manusia yang baru, tulang bahunya yang remuk tidak menghalangi Deng Songyan untuk menemukan jalannya kembali. Keteguhan hati, kekuatan jiwa dan semangat yang ditunjukkan Lei Jianfeng membukakan satu pintu pada jalan buntu yang dihadapi Deng Songyan. Pada dasarnya Deng Songyan bukanlah orang yang lemah dan berjiwa sempit. Setelah melihat kematangan yang ditunjukkan oleh Lei Jianfeng, pemuda itu menemukan kembali semangatnya sendiri. Di kemudian hari, Deng Songyan menelurkan pemuda-pemuda berbakat dari generasi berikutnya dalam keluarga Deng. Meskipun pada akhirnya tulang bahunya tidak dapat disembuhkan dan sebagai akibatnya kedua lengannya harus dipotong, Deng Songyan tidak kemudian menjadi manusia yang cacat jiwanya. Justru keadaannya yang cacat membuat api dalam dadanya berkobar lebih garang. Deng Songyan menciptakan sebuah ilmu tendangan yang didasari oleh ilmu tombak yang selama ini dia tekuni. Menambahkan ilmu keluarga baru dalam keluarga Deng. Belasan tahun setelah pertemuan Wulin Mengzhu ini, tersiarlah sebuah perkataan dalam dunia persilatan. Jika bertemu dengan keluarga Deng yang membawa senjata, hati-hati dengan ilmu tombaknya. Jika hendak menghadang keluarga Deng yang tidak membawa senjata, berhati-hatilah dengan tendangannya. Deng Songyang yang menonton di pinggir arena boleh mendapatkan jalan hidup, tapi Lei Jianfeng yang berada di atas panggung harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan pintu kehidupan yang semakin lama semakin tertutup. Tombak Ximen Lisi yang sekarang berubah menjadi ruyun beruas tujuh dengan dua ujung bermata tombak, tidak kalah mengerikan dari permainan tombak atau permainan golok Ximen Lisi. Sementara Lei Jianfeng sudah terluka berat di dadanya, sepasang pedangnya pun sudah berubah menjadi sebatang pedang. Ding Tao yang bertekad untuk berusaha agar tidak ada korban lain yang jatuh dalam pemilihan Wulin Mengzhu ini dibuat ketar-ketir oleh keadaan Lei Jianfeng. Untuk turun ke panggung, keadaannya belumlah memungkinkan, meskipun sudah terdesak namun Lei Jianfeng masih melawan Ximen Lisi dengan penuh semangat. Namun keadaan Lei Jianfeng sudah sedemikian buruknya hingga bisa terjadi setiap saat Ximen Lisi akan memberikan serangan terakhir yang menjadi penutup pintu kehidupan bagi Lei Jianfeng. Apalagi senjata Ximen Lisi yang berupa ruyung beruas tujuh itu jauh lebih sukar diperkirakan gerakannya dibandingkan dengan golok atau tombaknya. Beberapa kali Ding Tao sudah bersiap untuk melompat maju namun harus membatalkan niatnya. Tang Xiong yang ikut tegang melihat pertarungan itu dan kesulitan yang dihadapi Ding Tao, akhirnya tidak tahan lagi dan berseru. "Lei Jianfeng jangan bodoh, menyerah sajalah, sayangi nyawamu yang cuma satu itu!" "Dengar itu orang tua, dengarkan nasihat itu, cepatlah menyerah sebelum kau terjungkal di bawah kakiku!", seru Ximen Lisi menimpali seruan Tang Xiong. "Eh! Budak keparat! Kenapa kau berkata demikian?", seru Tang Xiong terkejut, tidak mengira Ximen Lisi membuat seruannya jadi bahan untuk mengejek Lei Jianfeng. Seruan kaget Tang Xiong itu hanya dijawab dengan suara tawa berkakakan oleh Ximen Lisi dan pendukungnya. Sementara para pendukung Lei Jianfeng melirik pada Tang Xiong dengan pandang mata penuh kemarahan. Ding Tao pun menepuk lengan Tang Xiong dan memberi tanda untuk tidak membuka mulut lagi. Terpaksa Tang Xiong hanya bisa menundukkan kepala dengan hati mendelu, menyesali diri sendiri yang tidak bisa menahan mulut. Maksud hati Tang Xiong tidaklah buruk, namun bagi telinga Lei Jianfeng masihat yang tulus itu terdengar sebagai satu penghinaan yang memedihkan. Apalagi setelah Ximen Lisi menyambung seruan Tang Xiong itu dengan hinaan. Bukannya membuat hati Lei Jianfeng jadi lunak, seruan Tang Xiong itu justru membuat hati Lei Jianfeng semakin keras. Sambil menggertakkan gigi Lei Jianfeng terus melawan Ximen Lisi dengan luka di dadanya yang terasa nyeri dan terus mengucurkan darah, meskipun tidak terlalu deras karena sudah tertahan oleh tutukan yang dia lakukan. Pandangan mata Lei Jianfeng mulai berkunang-kunang, kepalanya terasa ringan, gerakannya semakin melemah, tubuhnya sudah kehilangan banyak darah yang terus mengucur tanpa henti. Ximen Lisi terus mencecar Lei Jianfeng, tidak mengijinkan jagoan itu untuk mengambil nafas sedikitpun. Pada jurus yang ke 71, Ximen Lisi mundur setengah langkah mengambil jarak, Lei Jianfeng yang sudah mulai hilang kesadarannya terhuyung menghindar. Dengan satu gerakan pergelangan tangan, ruyung beruas tujuh milik Ximen Lisi bergerak melingkar melilit pedang Lei Jianfeng. Ximen Lisi pun menghentakkan tenaga, menyendal ruyungnya ke atas, tanpa bisa ditahan lagi pedang Lei Jianfeng terlepas dari tangannya. Alam bawah sadarnya menyadari bahaya yang mengancam, secara intuitif Lei jianfeng berusaha bergerak menghindari serangan Ximen Lisi yang datang menyusul. Apa daya tubuhnya sudah tidak bisa diajak bekerja sama, meskipun serangan Ximen Lisi mampu dihindari, tubuh Lei Jianfeng tanpa bisa ditahan lagi terguling jatuh di atas panggung. Saat itu juga tubuh Ding Tao sudah berkelebat maju ke depan,sudah cukup lama dia mengamati gerak ruyung beruas tujuh milik Ximen Lisi. Dengan matanya yang tajam dan otaknya yang encer, dia bisa membayangkan bagaimana akhir dari gerakan ruyun beruas tujuh itu kali ini. Tanpa berkedip sedikitpun Ximen Lisi meneruskan jurusnya hingga puncaknya, ruyung beruas tujuh miliknya bergerak berputaran dan dengan satu hentakan mata tombak yang berada di ujung ruyung meluncur cepat ke arah Lei Jianfeng yang sudah tidak berdaya. Meskipun demikian Ximen Lisi sudah tahu bahwa mata tombaknya itu tidak akan sampai pada sasaran. Matanya berkilat ketika dari ujung ekor matanya dia bisa melihat tubuh Ding Tao yang meluncur cepat ke arah dirinya. Dengan suara melengking pedang Ding Tao menusuk mata tombak Ximen Lisi yang sedang meluncur ke arah Lei Jianfeng yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Pedang Ding Tao meluncur dengan kerasnya, membawa mata tombak Ximen Lisi terbang beberapa langkah jauhnya dari Lei Jianfeng. Tapi ruyung beruas tujuh milik Ximen Lisi memiliki dua mata tombak, ketika mata tombak yang satu bergerak menusuk Lei Jianfeng, mata tombak yang lain sedang bergerak melingkar, tersembunyi di balik punggung Ximen Lisi. Saat Ding Tao sudah berada di depan Lei Jianfeng, mata tombak itu pun muncul dari balik punggung Ximen Lisi dari sisi yang lain, bergerak memutar mengancam punggung Ding Tao yang dari sudut yang tak terlihat oleh mata Ding Tao. Agaknya dari awal Ximen Lisi bukan bertujuan untuk menghabisi Lei Jianfeng, tapi dengan menggunakan Lei Jianfeng sebagai umpan, dia sedang membuat jebakan bagi Ding Tao. Mata tombak bergerak dengan cepat menuju punggung Ding Tao yang tak terjaga. Hanya tinggal sejengkal lagi mata tombak itu akan menembus punggung Ding Tao ketika Ximen Lisi tiba-tiba merasakan ruyungnya tertarik ke arah yang berlawanan. Agaknya lontaran pedang Ding Tao demikian keras, membawa mata tombak Ximen Lisi di ujung yang lain dengan kuatnya, hingga pegangan Ximen Lisi atas ruyung beruas tujuhnya terlepas. Di saat yang kritis itu, justru pedang Ding Tao menjadi tenaga yang menahan mata tombak Ximen Lisi yang menyerang punggungnya. Ruyung yang terlepas dari genggaman tangan Ximen Lisi sekarang berbalik meluncur ke arah yang membahayakan Ximen Lisi sendiri. Meskipun mata tombak yang tajam masih teracung ke arah Ding tao, namun sisi-sisi yang tajam dari mata tombak itu bisa mengiris putus jari-jari tangan Ximen Lisi yang menggenggam ruas ruyung. Ruyung yang sekarang dengan cepat meluncur melalui genggaman tangannya dengan membawa mata tombak yang tajam. Namun Ximen Lisi tidak menjadi gugup, dalam waktu yang sekejap itu dia mengerahkan tenaganya menghentikan luncuran ruyung yang tidak terkendali itu dan dengan sebuah gerakan menyendal dia menghunjamkan mata tombak yang meluncur ke arah dirinya ke atas lantai panggung. Sekaligus menghentikan lanjunya mata tombak lain yang terbawa oleh pedang pusaka Ding Tao. Tapi dalam saat yang sama tubuh Ding Tao sudah berkelebat pula dan dengan gerakan yang indah dan mengalir, mencabut pedang pusakanya yang masih tertancap pada mata tombak Ximen Lisi, menyarungkannya kembali dan berdiri tegap di antara Lei Jianfeng yang tidak sadarkan diri dengan Ximen Lisi yang sekarang sudah berdiri pula dengan sepasang mata tombak di tangan. Ding Tao yang jarang-jarang terlihat marah, kali ini memandangi Ximen Lisi dengan mata menyala-nyala. "Keji sekali perbuatanmu! Mengapa kau berusaha menyerang lawan yang sudah jelas-jelas tidak sadarkan diri?" Sebaliknya Ximen Lisi justru memandangi pemuda itu dengan mata yang nakal, seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru dan sedang memikirkan cara paling unik dan menarik untuk memainkannya. "Hahaha, Ketua Ding Tao benar-benar hebat, rupanya kau sungguh-sungguh berupaya agar tidak ada lagi korban yang jatuh." Ding Tao tidak menjawab, hanya alisnya saja yang makin berkerut dan rahangnya mengatup erat, jika dia membuka mulut, mungkin yang keluar hanyalah sumpah serapah. "O o o, apakah Ketua Ding Tao sedemikian murkanya padaku? Ketua Ding Tao, aku toh tidak akan berlaku sekeji itu pada lawan. Aku menyerang Lei Jianfeng yang sudah jatuh tak sadarkan diri, karena aku percaya Ketua Ding Tao pasti akan menyelamatkannya dari mata tombakku itu.", ujar Ximen Lisi dengan tenang dan tertawa-tawa. Mendengar jawaban Ximen Lisi wajah Ding Tao jadi mengendur, tidak lagi semurka sebelumnya. "Hmm jadi maksudmu kau bukan hendak membunuh Lei Jianfeng? Hanya memancingku untuk maju ke depan, tapi untuk apa?" Sebelum Ximen Lisi sempat menjawab Ding Tao sudah terlebih dahulu berkata lagi. "Hmm sungguh licik perbuatanmu, apakah itu sebabnya kau menggunakan jurus itu, sehingga ketika aku menolong Saudara Lei Jianfeng, mata tombakmu yang kedua menyerangku dari belakang?" "Hahaha, benar-benar pengamatan yang jitu, seperti yang sudah kuduga, Ketua Ding Tao memiliki pengamatan yang tajam. Memang benar di jurus ke 17, 30 dan 43, aku menggunakan jurus yang sama, tapi kukira tidak banyak orang yang bisa mengingat jurus itu dengan tepat sehingga tahu apa yang akan terjadi setelah Pendekar Lei Jianfeng jatuh tak sadarkan diri.", jawab Ximen Lisi dengan tenang. Wajah Ding Tao masih gelap, meskipun tidak lagi sekeras sebelumnya. "Sepertinya Saudara Ximen Lisi sudah tidak sabar lagi untuk memulai pertarungan di antara kita berdua?" Ximen Lisi menengok ke arah Lei Jianfeng yang sedang digotong turun dari panggung, dikerumuni oleh para pendukungnya dan sudah mendapatkan perawatan dari pihak Shaolin. Di dekat tangga kayu menuju ke atas panggung, bhiksu yang bertugas mengumumkan jalannya pertandingan masih berdiri, meragu, apakah hendak naik atau menunggu mereka berdua menyisihkan diri dari tengah arena. "Hmm mengapa tidak? Apakah kita sebangsa wanita yang harus berdandan terlebih dahulu sebelum mengunjukkan diri di depan orang?", tanyanya pada Ding Tao. "Baiklah kalau begitu", jawab Ding Tao dengan singkat sebelum menengok ke arah para pengikutnya. "Paman pendeta Liu Chuncao, bisakah aku minta pinjam pedangmu?", ujarnya pada Liu Chuncao yang berdiri sambil membawa pedang. Tanpa banyak tanya Liu Chuncao pun maju dengan pedangnya, sementara pedang Ding Tao diserahkan pula padanya. Ximen Lisi memandangi mereka berdua dengan senyum dikulum. Diapun menengok ke arah para pengikutnya yang ada di sana. "Xiaohu, ambilkan aku toya yang biasa kupakai untuk berlatih!" Dengan tangkas, salah seorang pengikutnya pun maju membawa sebuah toya terbuat dari besi. Dengan ringan dia melompat ke atas panggung sambil memanggul toya besi itu, kayu-kayu yang menjadi lantai panggung berderak saat orang itu menginjakkan kakinya di atas panggung. Setiap langkahnya membawa suara berderit-derit dari panggung yang terbuat dari kayu. Bisa dibayangkan, seberapa berat toya besi yang dia panggul. Liu Chuncao yang memandangi orang tersebut, dengan prihatin berbisik pada Ding Tao. "Ketua berhati-hatilah. Otaknya sungguh panjang, bukan lawan yang mudah dihadapi Bisa jadi apa yang dia lakukan tadi, adalah usaha untuk memancing emosi ketua saja." Ding Tao terdiam untuk beberapa lama, kemudian menganggukkan kepala sambil tersenyum pada Liu Chuncao. . "Aku mengerti paman", jawabnya singkat. "Baiklah, kalau begitu aku turun dulu ketua.", jawab Liu Chuncao. Ding Tao hanya menganggukkan kepala sekali lagi sebelum perhatiannya tertuju sepenuhnya pada Ximen Lisi yang sekarang sudah membolang-balingkan toya besi yang ada di tangannya. Toya besi yang berat bisa dia gerakkan dengan mudah, seperti memainkan toya kayu biasa. Pameran tenaga luar yang luar biasa ini saja sudah mengundang decak kagum banyak orang yang menyaksikan. Mereka yang condong pada Ding Tao pun merasa jantungnya berdebaran lebih kencang. Di satu sisi adalah Ximen Lisi dengan penampilannya yang meyakinkan, memainkan sebuah toya besi yang berat dengan mudahnya. Di pihak lain, adalah Ding Tao dengan tangan kiri masih terbebat dan digantungkan dengan menggunakan selembar kain ke atas pundaknya, di tangan kanannya sebagai ganti pedang pusaka yang bisa memotong besi seperti memotong sayur, hanyalah sebilah pedang biasa. "Apa kita mulai sekarang?", tanya Ximen Lisi sambil tersenyum-senyum. "Silahkan dimulai", jawab Ding Tao singkat. Tanpa banyak menawar lagi Ximen Lisi pun menggerakkan toya besinya sambil berseru. "Awas serangan!" Suara angin menderu mengikuti bergeraknya toya besi yang menggebah Ding Tao dengan kuat dari sisi kanan Ximen Lisi. Toya berat dan kuat, Ding Tao tidak ingin mencoba-coba kekuatan pedangnya dengan menangkis serangan itu. Ding Tao pun memilih untuk menyingkir ke belakang sembari terus memperhatikan lawan. Toya besi yang berat, setelah berputar tentu tidak mudah dihentikan, tapi memang tidak percuma Ximen Lisi dikatakan sebagai seorang jenius dalam ilmu silat. Toyanya terus berputar, mengikuti alurnya, di saat toya sedang berputar, giliran tendangan kaki kiri Ximen Lisi yang mencuat keluar. Pedang Ding Tao yang sejak tadi disimpan saja di belakang punggung, dengan cepat bergerak menusuk ke arah kaki yang menyerang. Sebelum pedang sampai mencium kaki Ximen Lisi, kaki kiri sudah ditarik kembali ke belakang sementara toya besi kembali muncul dari sisi kanan tubuhnya dan kembali menyerang Ding Tao dengan kekuatan yang berlipat ganda. Tapi yang banyak disebut orang sebagai jenius dalam dunia persilatan bukan hanya Ximen Lisi seorang. Tentu saja Ding Tao sudah bersiap dengan serangan toya yang berikutnya. Tubuhnya dengan cepat meliuk, merendah, menghindari serangan toya, sementara pedangnya masih terus bergerak mengikuti gerak kaki Ximen Lisi yang ditarik mundur, kali ini arahnya berubah ke arah pergelangan tangan Ximen Lisi. Ximen Lisi pun melompat mundur tanpa sedikitpun membatalkan gerak toyanya yag berputaran di sekitar tubuhnya, hanya arahnya yang digeser sedikit sehingga sekarang mengarah tubuh Ding Tao yang merendah. Dari posisi yang rendah, tentu tidak mudah untuk bergerak, tapi nyatanya Ding Tao masih bisa menghindar. Bisa dikatakan sejak awal dia menyerang kaki Ximen Lisi yang menendang dia sudah memperkirakan perubahan ini, dengan cekatan dia menegakkan tubuh sambil melompat ke depan, membiarkan toya lewat di bawah tubuhnya dengan sendirinya. Sementara pedangnya sendiri masih sekarang ganti mengejar ke arah wajah Ximen Lisi. Demikianlah Ding Tao menghindari serangan toya yang kembali datang, tanpa sedikitpun mengendurkan serangannya atas Ximen Lisi. Kembali Ximen Lisi dipaksa untuk mundur selangkah, kali ini dia menahan tenaga berputar yang keluar dari gerak putar toya besinya. Dibantu dengan munculnya tenaga tolak saat ujung toya besinya menghantam lantai panggung, toya itu pun kali ini bergerak ke arah yang berlawanan. Sementara kaki Ding Tao yang sudah menjejak lantai, dengan cepat bergerak menghindar ke belakang. Toya besi Ximen Lisi yang kehilangan sasaran untuk ke sekian kalinya kembali berubah arah, sementara tangan yang di depan menahan lajunya toya besi, tangan yang di belakang menggerakkan pangkal toya ke atas. Kemudian dengan gerakan yang sebat, Ximen Lisi menusukkan toya dari posisi tersebut. Dengan tangan di depan bekerja sebagai penahan, tangan di belakang dan ditambah berat toya itu sendiri sebagai pendorongnya, toya itu pun melaju pesat mengejar Ding Tao yang mundur ke belakang. Mengapa di serangan yang pertama Ding Tao menyurut mundur ke belakang? Mengapa di serangan yang kedua, saat Ximen Lisi menendang dia justru maju menyerang, jika dia tahu bahwa serangan toya yang kedua kalinya sudah siap untuk menyambar? Mengapa setelah dua kali menyerang, Ximen Lisi mengganti pola serangannya? Dan mengapa pula Ding Tao menghentikan serangannya? Pada serangan toya yang pertama, Ding Tao memilih mundur ke belakang, karena dia tahu bahwa tenaga putaran toya masih bisa dikendalikan dengan baik oleh Ximen Lisi, jika dia maju menyerang maka Ximen Lisi bisa mengubah arah serangan toyanya setiap saat dan itu berbahaya bagi Ding Tao yang bersenjata lebih ringan. Pada serangan yang kedua, meskipun Ding Tao tahu bahwa tendangan Ximen Lisi hanyalah pancingan, sebuah serangan yang digunakan Ximen Lisi sekedar untuk mengisi kekosongan di antara serangan toyanya, Ding Tao berani maju ke depan. Karena pada saat toya kembali menyerang dirinya untuk kedua kalinya, tenaga putar toya sudah dua kali lipat dari tenaga pada serangan sebelumnya. Dengan demikian, meskipun toya datang lebih cepat dan lebih kuat, jika Ding Tao menghindar ke arah lain, tidaklah mudah bagi Ximen Lisi untuk mengubah arah serangannya. Dengan laju dan arah toya yang bisa diperkirakan, Ding Tao tidak perlu mengkhawatirkan serangan toya Ximen Lisi dan dengan pedang yang tajam dia bisa melukai bagian tubuh Ximen Lisi yang manapun yang bisa dia capai. Pada putaran toya besi yang ketiga, Ximen Lisi yang mampu mengukur kekuatannya, justru mengeluarkan sedikit tenaga untuk mengurangi tenaga putar toya besinya. Sehingga toya besinya masih menyerang Ding Tao dengan hebat, tapi tidak secepat dan sekuat serangan yang kedua. Dengan mengurangi tenaga putar toya besinya, toya besi Ximen Lisi pun kembali dapat dia kendalikan dengan lebih bebas. Ding Tao yang menyadari hal ini, tidak lagi melanjutkan serangannya, karena dia paham bahwa setelah gerakan menebas ke bawah itu, tenaga putar dari toya besi akan jauh berkurang dan toya bisa bergerak ke mana saja dengan cepat. Sebelum dirinya terjebak dalam permainan toya besi Ximen Lisi, Ding Tao memilih untuk bergerak keluar. Ximen Lisi yang tidak ingin melepaskan Ding Tao begitu saja, sekali lagi menyerang Ding Tao, tapi kali ini dengan gerakan menusuk. Gerakan menusuk lurus ke bawah dan tidak melingkar. Tenaga serang yang keluar tetap berbahaya bagi Ding Tao, tapi kalaupun serangan itu bisa dihindarkan, maka tidak akan berupa gerakan mengalir yang melipat gandakan tenaga serang untuk kedua kalinya. Serangan itu akan terhenti pada saat ujung toya memukul lantai dan bisa dengan segera ditarik untuk serangan berikutnya. Demikianlah yang terjadi, gerak mundur Ding Tao tidak kalah cepat dengan toya yang menusuk deras ke arah dirinya. Ujung toya membentur lantai panggung, selisih beberapa jari di depan kaki Ding Tao, sebelum dengan cepat ditarik kembali ke posisi semula oleh Ximen Lisi. "Ilmu pedang yang bagus", ujar Ximen Lisi memuji. "Toya besi yang mengerikan", sahut Ding Tao balas memuji. Menyusul jawaban Ding Tao, toya besi Ximen Lisi pun kembali menusuk dengan cepat ke depan, tidak berani menangkis serangan Ding Tao memilih bergerak ke samping sambil berusaha maju ke depan, mempersempit jarak di antara mereka. Namun serangan Ximen Lisi kali ini sudah terukur benar tenaganya. Cepat untuk menyerang, cepat pula kembali ke posisi semula. Seperti jarum mesin jahit yang bergerak ke bawah dan ke atas dengan cepat, toya besi Ximen Lisi bergerak maju dan mundur dengan cepat, mengejar Ding Tao ke mana pun dia pergi. 12 kali serangan sebelum gerakan toya Ximen Lisi menurun kecepatannya. Seketika itu juga ganti Ding Tao yang mengejar maju ke depan. Meskipun tenaga Ximen Lisi sempat menurun, bukan berarti dia mudah untuk diserang. Kali ini toya besinya bergerak berputaran di sekitar tubuhnya membentuk benteng pertahanan. Ding Tao yang bersenjatakan pedang tidak ingin pedangnya membentur toya besi Ximen Lisi yang berat. Jika Ximen lIsi berdiri diam di tempat, sembari menggerakkan toya besinya mengelilingi tubuhnya, maka ganti Ding Tao bergerak dengan cepat di sekeliling Ximen Lisi berusaha menemukan lubang untuk diserang. Seperti seekor lebah yang mengelilingi bunga, hanya saja bunga yang satu ini bukan hanya batangnya berduri, salah perhitungan sedikit saja bukan Ximen Lisi yang terluka tapi justru pedang atau bahkan lengan Ding Tao yang patah terlanggar oleh toya besi. Setelah beberapa tarikan nafas, mulailah tenaga Ximen Lisi kembali terkumpul. Bagaimana bisa? Bukankah Ximen Lisi harus memutar toyanya untuk membentuk benteng pertahanan? Sekilas memang terlihat seperti itu, tapi dengan memegang toya di titik keseimbangannya, maka dengan tenaga yang relatif kecil Ximen Lisi pun bisa memutar toya besi itu dengan cepat mengitari tubuhnya. Tenaga yang membentuk benteng pertahanan itu sendiri adalah tenaga putar yang timbul dari berat toya besi itu sendiri. Ximen Lisi hanya perlu mengeluarkan sedikit tenaga untuk menjaga agar toya tetap berputar dan berputar mengikuti jalur yang dia inginkan. Begitu tenaganya kembali, ganti Ximen lisi yang menyerang dari berputar untuk bertahan, toya itu pun berputar untuk menyerang. Demikian kedua tokoh muda terbaik di jaman itu, bergantian saling menyerang dan bertahan dengan cepat. Jurus berganti jurus, tanpa terasa 35 jurus sudah berlalu, peluh sudah membasahi tubuh keduanya. Apalagi Ximen Lisi yang harus terus menerus menggerakkan toya besi yang berat, meskipun daya kekuatan itu timbul dengan sendirinya oleh karena gaya berat dari senjata itu sendiri, tenaga yang dikeluarkan Ximen Lisi untuk mengatur gerak dari senjata itu sudah tentu lebih besar dibandingkan Ding Tao yang bersenjatakan sebilah pedang. Beberapa kali toya besi Ximen Lisi sempat mampir ke tubuh Ding Tao, namun berbekal ilmu kebalnya yang sudah mulai dia terapkan perlahan-lahan sejak mereka mulai berhadapan, tubuh Ding Tao tidak mengalami cedera yang berarti. Nyata meskipun Ximen Lisi sudah mengetahui keadaan Ding Tao, toh bukanlah perkara yang mudah untuk menyerang titik lemah pemuda itu. Baik lengan kirinya yang patah ataupun kepalanya, beberapa kali menjadi sasaran toya besi Ximen Lisi yang ganas, tapi Ding Tao bisa menjaga dengan baik titik-titik lemah pada dirinya. Dibarengi dengan ilmu kebal yang dia terapkan, pertahanan pemuda itu pun jadi kokoh tak tertembus oleh serangan-serangan Ximen Lisi. Namun bukan berarti ilmu kekebalan yang dia terapkan itu tidak memiliki harga, karena untuk menerapkan ilmu kebal itu sebagian konsentrasi Ding Tao jadi terpecah, antara pengaturan hawa murni untuk membentuk benteng tak terlihat bagi tubuhnya dan bertarung dengan Ximen Lisi, sehingga beberapa kali kesempatan untuk menyerang jadi tersia-siakan. Penerapan ilmu itu juga menguras cadangan hawa murni yang dia miliki. Dengan demikian setelah sekian lama bertarung, keadaan mereka berdua tidak bisa dikatakan ada yang lebih baik atau yang lebih buruk. Seandainya saja lengan kiri Ding Tao tidak cedera mungkin dia bisa lebih leluasa dalam bergerak dan mampu mendesak Ximen Lisi tanpa harus terlalu banyak mengandalkan ilmu kekebalan. Seandainya saja Ding Tao bisa mempergunakan pedang pusakanya, maka toya besi itu bisa dibuatnya jadi potongan- potongan kecil dalam waktu singkat. Seandainya saja Ximen Lisi tidak menggunakan senjata yang demikian berat, sehingga menghasilkan daya serang yang kuat, mungkin Ding Tao tidak perlu terlalu sering bersandar pada ilmu kekebalannya untuk melindungi tubuh, dia bisa memanfaatkan pedangnya untuk menangkis serangan lawan. Tapi 2 dari 3 alasan tersebut terjadi karena kecerdikan Ximen Lisi dan bukan semata-mata ketidak beruntungan Ding Tao. Bagi para tokoh dunia persilatan yang menyaksikan pertarungan itu, kecerdikan Ximen Lisi tidak sepenuhnya dipandang sebagai satu kelicikan. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bagaimanapun juga bagi sebagian besar dari mereka, siasat dan strategi adalah bagian dari pertarungan. Semata-mata mengandalkan kekuatan dan kecepatan, tidak ubahnya seperti seekor banteng, bukan sesuatu yang pantas dipuji. Di lain pihak, ada pula yang justru bersimpati pada pilihan-pilihan merugikan diri sendiri yang diambil Ding Tao. Seakan tanpa siasat dia menghadapi kecerdikan Ximen Lisi, murni mengandalkan kepandaiannya dalam ilmu silat. Meskipun memiliki pedang pusaka, Ding Tao memilih untuk tidak menggunakannya dalam setiap pertarungan yang dia hadapi. Di saat melawan Bai Shixian yang bertangan kosong, bahkan dia tidak mencabut pedangnya, meskipun dia dikenal sebagai pendekar pedang. Ditambah lagi beberapa kali dia bergerak untuk menyelamatkan saingannya yang tersingkir dari bahaya kematian. Ada yang memandang dia terlalu bodoh, ada pula yang memandang dia memegang teguh kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang pendekar. Ada yang memandang dia sebagai seorang pendekar yang lemah hati, ada pula yang memandang dia sebagai pendekar yang penuh welas asih. Betapa berbeda cara tiap-tiap orang memberikan arti pada sesuatu yang dia lihat dan dia dengar. Nyata sesungguhnya, penghakiman yang diberikan pada orang lain seringkali lebih mencerminkan keadaan diri sendiri dibandingkan keadaan yang sedang dihakimi. Hati yang keras akan memandang belas kasih orang lain sebagai satu kelemahan, hati yang penuh curiga akan memandang kebaikan orang lain sebagai muslihat yang disembunyikan dan hati yang hanya mencintai diri sendiri akan melihat kebaikan orang sebagai satu kebodohan. Mungkin itu sebabnya, orang berhikmat justru berhati-hati dalam menilai orang lain, sementara orang yang bodoh dengan cepat memberikan penghakiman. Semakin lama semakin sulit bagi Ximen Lisi untuk mengendalikan tenaga dari toya besinya, hingga pada satu titik dia menyambitkan toya besi itu sekuat tenaga ke arah Ding Tao. Toya besi itu pun meluncur diiringi dengungan yang keras. Menurut perkiraan banyak orang tentulah Ding Tao akan melompat menghindar, tapi di luar sangkaan orang justru Ding Tao menyambut datangnya toya besi itu dengan dada terbuka, meskipun tubuhnya tetap bergerak menyurut ke belakang beberapa kaki. Jika pada pertarungan sebelumnya, biji-biji senjata rahasia yang dilontarkan oleh Tong Baidun terhenti satu cun dari tubuh Ding Tao, kali ini toya besi yang dilontarkan Ximen Lisi yang terhenti satu cun jaraknya dari tubuh Ding Tao. Apakah Ding Tao dengan sengaja memamerkan kekuatan ilmu kebalnya? Ataukah toya besi itu datang begitu cepat sehingga Ding Tao tidak sempat menghindarinya? Sebelum keheranan mereka itu sempat terlontar, jawabannya sudah bisa dilihat di depan mata. Tidak kalah cepat dari toya yang dilepaskan, menyusul pada saat yang hampir bersamaan Ximen Lisi menghamburkan senjata rahasia ke arah Ding Tao. Meskipun caranya melemparkan senjata rahasia masih kalah jika dibandingkan dengan Tong Baidun, namun kebrutalan toya besi yang dilontarkan sebelumnya seakan menjadi pengalih perhatian bagi senjata rahasia yang jauh lebih kecil dan tidak menarik perhatian seperti toya besi yang besar dan mengerikan. Di belakang hamburan senjata rahasia itu, masih tersimpan pula kejutan yang lain. Entah sejak kapan di tangan Ximen Lisi sekarang sudah tergenggam sebatang pedang. Rupanya di dalam toya besi masih juga disembunyikan sebilah pedang. Dengan mata yang awas dan kecepatan tubuh yang meningkat setelah berganti dengan senjata yang lebih ringan, Ximen Lisi bergerak menyerang Ding Tao. Serangan yang berlapis-lapis ini pun berhasil dimentahkan oleh Ding Tao dengan tenang. Pertama dia menyusut mundur dan menahan serangan toya besi dengan menggunakan kekebalan tubuhnya. Begitu toya besi itu kehilangan tenaga serang, dengan sangat indah dia menggerakkan tubuh dan pedangnya. Toya besi yang dilontarkan Ximen Lisi, dibuat bergerak berputaran dengan pedang Ding Tao sebagai porosnya, menjadi tameng melawan hamburan senjata rahasia yang datang. Tentu saja dengan badan dan sebelah tangan, tidak mungkin memutar toya terlalu lama, ketika pedang Ximen Lisi datang menyerang Ding Tao sudah lepas dari ancaman senjata rahasia dan toya besi pun sudah tidak lagi diperlukan. Sambil melompat menghindar dari serangan Ximen Lisi, toya besi dibiarkan saja terjatuh berputaran, menyerang kaki Ximen Lisi yang hendak menginjak lantai setelah melompat menyerang. Baru saja Ximen Lisi berhasil menghindar dari toya besinya yang berputaran dengan liar, pedang Ding Tao sudah ganti menyerang. Seandainya Ding Tao bergerak menghindar selain menyurut ke belakang, tentu senjata rahasia Ximen Lisi akan menghadang jalannya. Saat Ding Tao kerepotan, tentu pedang Ximen Lisi akan memanfaatkan lubang yang tercipta. Namun setiap serangan Ximen Lisi sudah diantisipasi oleh Ding Tao. Pemuda itu yakin sepenuhnya bahwa Ximen Lisi bukan orang yang mudah merasa putus asa, sehingga melemparkan senjata yang dia gunakan tanpa menyiapkan sesuatu di baliknya. Oleh karena itu ketika toya besi dilontarkan, Ding Tao pun menajamkan mata, membiarkan pedang di tangan kanannya dalam keadaan siap bergerak, sambil menggunakan ilmu kekebalannya untuk menahan lajunya toya besi yang datang. Dari diserang berbalik menjadi penyerang dalam satu jurus yang sama, mereka yang menyaksikan mau tidak mau berdecak kagum dan mengakui keahlian Ding Tao bermain pedang, ketenangan dan kemampuannya membaca keadaan. Dari 3 keuntungan yang berhasil diciptakan Ximen Lisi, dua di antaranya sudah hilang. Setelah tenaganya terperas akibat menggunakan toya besi yang berat tanpa memberikan hasi lyang maksimal, sekarang Ximen Lisi dipaksa untuk bertarung menggunakan pedang yang jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan toya besinya. Dengan sendirinya tenaga serangnya jauh lebih menurun, karena sekarang Ding Tao tidak perlu takut untuk mengadu senjata. Meskipun senjata Ding Tao bukanlah sebuah pedang pusaka, tapi kualitasnya tidak di bawah pedang milik Ximen Lisi. Keadaanpun berbali jadi tidak menguntungkan bagi Ximen Lisi. Meski bukan berarti Ding Tao bisa mengalahkannya dengan mudah. Di balik jubah luar yang lebar itu, entah masih ada senjata apa lagi yang tersembunyi. Banyaknya variasi serangan dan jenis ilmu yang dimiliki Ximen Lisi terbukti menjadi ancaman yang tidak ringan bagi lawan-lawannya. Apakah kali ini Ding Tao juga akan jatuh, mengikuti Lei Jianfeng dan Lu Jingyun, yang sudah termakan kelihaian Ximen Lisi? Sepertinya tidak, meskipun masih berusia muda, Ding Tao dengan hati-hati menjaga kedudukannya yang lebih baik. Pemuda itu tidak terburu nafsu menggunakan kesempatan yang ada untukmengakhiri perlawanan Ximen Lisi secepatnya. Serangan-serangannya cepat tapi terukur, meskipun Ximen Lisi tidak bisa dijatuhkan dalam satu serangan, namun Ximen Lisi pun tidak menemukan celah dalam pertahanan Ding Tao yang bisa dimanfaatkan untuk membalikkan keadaan. Perlahan namun pasti Ximen Lisi didesak oleh serangan-serangan Ding Tao. Bagi mereka yang sudah pernah bertarung dengan Ding Tao, dengan yakin mereka memprediksikan kemenangan Ding Tao. Ketika Ding Tao sudah mulai memainkan jurus-jurusnya dengan mantap seperti saat ini, jarang terjadi ada yang bisa lolos dari permainan pedangnya. Ximen Lisi bukanlah perkecualian, meskipun Ximen Lisi memiliki banyak akal dan terbukti tidak kalah dalam hal kekayaan ilmu dan ketajaman pengamatan. Tapi ilmu pedang Ximen Lisi tidaklah sematang ilmu pedang Ding Tao. Serangan Ding Tao lebih tajam dan lebih mantap, variasi perkembangan jurus pedang yang dimilikinya jauh lebih kaya. Pada saat-saat seperti inilah baru terasa kekurangan Ximen Lisi yang memilih untuk tidak mendalami satu jenis senjata saja. Seperti tukang sulap yang sudah kehabisan tipuan, Ximen Lisi tidak memi ki apa-apa lagi untuk digunakan melawan Ding Tao. Pertarungan jadi berlangsung lebih lama dari yang diperlukan, karena Ding Tao ragu-ragu, dengan cara apa dia bisa mengalahkan Ximen Lisi tanpa melukainya dengan parah. Tadinya dia berharap, bisa membuat Ximen Lisi terjebak dalam permainan pedangnya, perlahan-lahan diarahkan pada satu posisi di mana Ximen Lisi tidak memiliki jalan lain lagi. Seperti Tong Baidun yang ditodong ujung pedang di keningnya. Siapapun yang melihat bahkan Tong Baidun pun sendiri tidak akan bisa mengelak bahwa Ding Tao telah menang, tanpa Ding Tao harus membuat lawannya jatuh tergeletak, penuh luka dan tak berdaya di atas panggung. Berbeda antara keinginan dan keadaan yang sesungguhnya, Ximen Lisi memang cerdik, tidak kalah cerdik dibandingkan Ding Tao. Ilmunya pun sangat beragam, sehingga pengamatannya atas serangan-serangan Ding Tao, tidak berada di bawah Ding Tao. Demikian pula kecepatan dan ketepatan dia dalam mengambil keputusan. Akibatnya sekian lama Ding Tao berusaha mendesak Ximen Lisi pada posisi mati tersebut, tidak juga dia berhasil. Jika Ding Tao mau mengeraskan hati, maka bisa saja serangannya berhasil masuk. Namun Ximen Lisi akan mati atau terluka parah, tanpa sempat menyerah. Satu hal yang tidak diingini Ding Tao dan agaknya Ximen Lisi pun mengerti hal ini. Sehingga jika Ximen Lisi dihadapkan pada pilihan yang beresiko, tanpa ragu pendekar muda itu mengambil jalan tersebut, karena yakin bahwa Ding Tao tidak akan memanfaatkan kesempatan itu untuk melukainya. Hal ini tentu tidak luput dari pengamatan sekian orang yang menyaksikan. Suara desahan panjang, terdengar di sana-sini. Entah dari mereka yang memandang Ding Tao seorang yang lemah hati, atau mereka yang menyesali betapa Ximen Lisi keras kepala dan tidak mau mengakui kekalahan. Bukan hanya mereka yang menyaksikan saja yang mulai hilang kesabarannya, Ding Tao pun ikut mulai hilang kesabarannya. Terutama karena dia menyadari bahwa tenaganya mulai melemah. Baik dia maupun Ximen Lisi semakin lama akan semakin kehabisan tenaga. Dengan tenaga yang kurang, maka penguasaan atas senjata dan pelaksanaan jurus- jurus pun jadi berkurang. Jika diteruskan maka bukan tidak mungkin Ding Tao akan melukai Ximen Lisi tanpa sengaja. Atau bisa juga Ximen Lisi yang memenangkan pertarungan akibat kesalahan Ding Tao dalam melakukan jurus-jurus pedangnya. Sehingga akhirnya Ding Tao pun memutuskan untuk mengakhiri pertarungan ini secepat mungkin, sebelum dia semakin banyak kehilangan kendali atas jalannya pertarungan. Dalam keadaannya itu, pemuda ini pun teringat pada cerita-cerita kepahlawanan yang sering dia dengar di masa kanak- kanaknya. Bagaimana seorag pendekar pedang menunjukkan kelebihannya atas lawan, dengan memutuskan ikat kepala lawan tanpa melukai, atau mungkin memotong putus beberapa kancing baju lawan sekedar untuk menunjukkan bahwa jika dia mau dia bisa saja membunuh lawan. Kisah itu tentu saja menjadi kisah yang membuat semangat Ding Tao yang masih kanak-kanak semakin berkobar untuk belajar ilmu silat, terutama ilmu pedang. Namun dengan beranjak dewasanya Ding Tao kecil, Ding Tao semakin menyadari, bahwa hal itu mudah diceritakan dan dibayangkan, tapi sesungguhnya sulit untuk dilaksanakan. Namun setelah berkutat sekian lama tanpa hasil Ding Tao memutuskan untuk mencoba. Meskipun dia tidak yakin bisa melakukan seperti apa yang dikisahkan dalam kisah-kisah kepahlawanan itu. Setidaknya dia memiliki keyakinan, bahwa kalaupun sampai Ximen Lisi terluka, dia tidak akan terluka terlalu parah. Setidaknya lukanya masih bisa disembuhkan dan tidak mengancam jiwanya. Setelah mengambil keputusan maka dengan sendirinya keraguan dan kekhawatiran yang berlebih menghilang. Permainan pedang Ding Tao pun jadi semakin mantap. Dalam satu gerak tipu, pedang Ximen Lisi yang menangkis serangan pedang Ding Tao yang menyerang bahu kanannya, justru dibuat bergerak terlalu jauh keluar. Sebaliknya pedang Ding Tao dengan cantik bergerak melingkar, seperti sedang menyusuri pedang Ximen Lisi dengan lembut, kemudian berbalik arah menyerang ke arah tubuh Ximen Lisi. Ding Tao tidak terlalu berambisi untuk memutuskan ikat kepala Ximen Lisi, kepala yang lebih kecil dibanding tubuh, jadi sasaran yang lebih sulit. Belum lagi meskipun pedangnya hanya menggores tipis, jika yang kena adalah mata bukankah Ximen Lisi akan menjadi buta. Jika sampai ujung hidungnya terpotong atau timbul goresan luka memanjang, bukankah hal itu akan menjadi cacat yang dibawa seumur hidup. Perasaan Ding Tao yang halus tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena itu dia memutuskan untuk berusaha, menyobek saja baju di bagian jantung Ximen Lisi, sebagai tanda, bahwa jika dia ingin dia bisa menusuk jantung Ximen Lisi dan membunuhnya. Brett., suara baju yang tersobek. Bersamaan dengan kejadian itu terdengar pekikan terkejut dari dua tempat. Yang pertama dari bawah panggung, dari salah seorang penonton, terdengar suara dua orang pria berseru kaget. Yang kedua adalah dari atas panggung sendiri, pekikan terkejut yang nadanya terlalu tinggi bagi seorang laki-laki. Kalau bukan laki-laki tentu seorang perempuan atau tepatnya seorang gadis. Tapi di mana ada seorang gadis di atas panggung itu? Yang ada adalah Ding Tao dan Ximen Lisi. Ding Tao sedang berdiri terpaku dengan mata terbelalak oleh rasa kejut dan mulut terbuka, hendak berbicara namun otaknya terlampau bingung hingga tak bisa bersuara. Ximen Lisi berdiri dengan wajah pucat lesi, pipi bersemu merah muda dan mata membara. Tangannya tidak lagi memegang pedang, namun memegangi bagian dari jubah luar dan bajunya yang terobek oleh sabetan pedang Ding Tao. Hampir berbarengan dua sosok melompat ke atas panggung, ketika mereka sudah mendarat, orang pun segera mengenal siapa mereka berdua. Yang pertama adalah Zhu Jiuzhen dan yang menyusul belakangan namun sampai di saat yang bersamaan adalah Lu Jingyun. Zhu Jiuzhen tidak mempedulikan Ding Tao, tidak pula ambil pusing dengan Lu Jingyun yang bergerak menengahi Zhu Jiuzhen dan Ding Tao seandainya, seakan-akan dia khawatir jika dua orang itu akan bentrok di atas panggung. "Shu Lin, apakah kau tidak apa-apa?", tanya Zhu Jiuzhen pada Ximen Lisi. Ximen Lisi yang disapa dan ditanya dengan nama Shu Lin tidak menjawab pertanyaan Zhu Jiuzhen dengan segera, matanya masih memandangi Ding Tao dengan tajam. Ding Tao yang akhirnya berhasil juga menguasai keterkejutannya, apalagi dengan hadirnya Lu Jingyun dan Zhu Jiuzhen dengan cepat merangkapkan tangan di depan dada dan menunduk dalam- dalam. "Maaf, tidak sengaja. Kuharap nona tidak salah paham, maksud hati hanya memastikan kemenangan tanpa melukai siapa- siapa.", ujarnya dengan sangat sopan. Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo