Pedang Angin Berbisik 45
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 45
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng Ding Tao sendiri meskipun sering mengecam maupun mempertanyakan perbuatan Chou Liang, pada akhirnya harus menyetujui alasan mengapa Chou Liang melakukan hal itu. Para pengikut Ding Tao pun terbagi dua dalam melihat perbuatan Chou Liang itu, mereka yang lebih praktis dalam menilai keadaan akan mendukung sepenuhnya keputusan Chou Liang. Sebaliknya, mereka yang berpegang pada prinsip-prinsip tertentu seperti Liu Chuncao, tidak jarang menerimanya dengan kerutan di alis. Hanya saja selama ini semua hal itu bisa diterima karena mereka memiliki satu tujuan. Juga karena saling percaya yang ada di antara para pendukung awal Ding Tao. "Maksud Nyonya ?", tanya Chou Liang ragu-ragu, bagaimana pun juga jarang sekali Murong Yun Hua ikut campur dalam urusan Partai Pedang Keadilan, terutama sebelum peristiwa penyerangan Kunlun ke Partai Pedang Keadilan. "Maksudku, tentang Nona muda Huang Ying Ying, ketika pertama kali aku mendengar berita bahwa dia dan saudaranya masih hidup, sudah ada perasaan yang mengganjal. Apa mungkin Saudara Chou Liang yang terkenal cerdik, bisa kalah main petak umpet melawan Tiong Fa yang sudah kehilangan sebagian besar kekuatannya?", ujar Murong Yun Hua dengan mata tajam menyelidik. Chou Liang pun terdiam mendengar pertanyaan Murong Yun Hua. Chou Liang menimbang-nimbang, jawaban apa yang harus dia berikan. Kenyataannya memang dia yang menyabotase sendiri pencarian sarang Tiong Fa, tapi haruskah dia menyangkal sekuat-kuatnya? Ataukah lebih baik jika dia mengakui saja hal itu? "Tadinya aku yakin benar, kedua bersaudara itu sesungguhnya sudah mati di Wuling. Jika benar perkataan Tiong Fa, aku yakin Saudara Chou Liang pasti mampu menemukan mereka berdua. Apakah ada yang salah dalam pertanyaanku ini?", karena melihat Chou Liang masih juga terdiam, Murong Yun Hua pun bertanya untuk kedua kalinya. Chou Liang menghela nafas panjang-panjang dan menjawab. "Memang benar dugaan Nyonya, tapi hal itu kulakukan juga demi kebaikan kita semua. Di lain pihak, aku sendiri kurang yakin apakah Tiong Fa hanya menggertak saja atau benar bahwa dua orang bersaudara itu ada di tangannya." Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Chou Liang, dengan suara dingin dia berkata. "Urusan tentang hidup matinya Nona muda Huang Ying Ying, tidak berhubungan dengan Partai Pedang Keadilan. Hal itu adalah urusan pribadi Ketua Ding Tao dengannya." Chou Liang menghela nafas untuk kedua kalinya. "Ucapan nyonya benar, dan aku menyesali keputusanku waktu itu." Dalam hati dia berucap, Seandainya Huang Ying Ying ditemukan masih hidup, bukankah kau saat ini sudah menjadi ibu dari seorang anak haram? Tapi hal itu tidak terlihat di wajahnya, wajah Chou Liang tampil tenang, tidak memperlihatkan kejengkelan dalam hatinya. Murong Yun Hua menatap tajam Chou Liang yang masih menundukkan kepala, menghindari tatapan matanya. "Jangan kau pikir, aku tidak bisa meraba apa yang ada dalam benakmu. Menurutmu semua yang kau lakukan adalah demi kebaikan Ketua Ding Tao. Tapi coba pikirkan seandainya saja waktu itu kau bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan jejak Tiong Fa. Bukankah hubungan keluarga Huang dengan Ding Tao akan lebih baik daripada sekarang?", tegur Murong Yun Hua dengan sedikit ketus. Dan Chou Liang pun menghela nafas untuk ketiga kalinya, kali ini perasaan menyesal yang tersirat dari jawabannya, benar-benar muncul dari hatinya yang terdalam. "Nyonya benar, sungguh aku menyesali hal itu, seandainya saja aku bersungguh-sungguh mencarinya, seharusnya hubungan bekas pengikut keluarga Huang dengan Ketua Ding Tao akan makin erat." "Tapi kau tidak ingin mereka hanya sekedar jadi pendukung Ketua Ding Tao, kau ingin mereka menjadipengikutnya. Itu sebabnya, bagimu lebih baik jika setiap pewaris sah dari keluarga Huang mati di Wuling.", sambung Murong Yun Hua dengan dingin. Atas tuduhan Murong Yun Hua itu, Chou Liang tidak mengiyakan, tidak pula menyangkal, hanya menghela nafas panjang untuk ke sekian kalinya. Melihat Chou Liang tidak menyangkal tuduhannya, tidak juga berusaha membela diri, sebagian kemarahan Murong Yun Hua jadi sedikit mereda. Apalagi kejutan tentang munculnya Huang Ying Ying sebenarnya sudah mulai dapat dia atasi. Betapa perasaannya sulit dimengerti ketika berita itu baru saja datang, bersamaan dengan kemenangan Ding Tao di kaki Gunung Songshan yang dibawa oleh pengikut-pengikut mereka yang sudah kembali lebih dahulu. Meskipun di luaran Murong Yun Hua tampi tenang dan percaya diri, dalam hatinya siapa yang tahu? Sejak mereka menikah, dia yang ikut berjuang sekuat tenaga untuk mendukung Ding Tao. Sekarang setelah Ding Tao berhasil menjadi pimpinan dari seluruh dunia persilatan, justru cinta pertama Ding Tao muncul lagi dalam hidupnya. Bukankah cinta rela berkorban? Tapi apakah cinta rela berbagi? Bukankah bicara tentang hak, Huang Ying Ying-lah yang lebih berhak? Tapi bicara saat ini, bukankah dia adalah isteri Ding Tao dan bukan Huang Ying Ying? "Sudahlah, Saudara Chou Liang, pikirkan saja baik-baik tentang masalah di Gui Yang. Tentang hubungan Kakak Ding Tao dengan keluarga Huang, biar aku yang menyelesaikan.", kata Murong Yun Hua dengan tegas. Tanpa banyak cakap, tanpa berpamitan, Murong Yun Hua meninggalkan ruangan Chou Liang. Chou Liang masih saja menundukkan kepala, menyesali keputusannya yang kurang tepat. Namun mendengar ketegasan Murong Yun Hua, Chou Liang pun berpikir ulang. Tidak, dia tidak menyesalinya, jika Huang Ying Ying muncul sebelum Ding Tao menikah dengan Murong Yun Hua, maka Ding Tao tidak akan pernah menikahi Murong Yun Hua. Memang benar, dengan demikian, keberadaan bekas-bekas pengikut keluarga Huang bisa jadi lebih kokoh. Tapi toh tetap ada kemungkinan bahwa Huang Ren Fu akan menarik mereka dari Ding Tao. Di lain pihak, Murong Yun Hua terbukti merupakan pasangan yang sepadan bagi Ding Tao. Lepas dari usianya yang lebih tua, berkali-kali Murong Yun Hua membuktikan bahwa dirinya bukan hanya seorang isteri yang bisa menyenangkan suaminya, Murong Yun Hua juga merupakan isteri yang bisa mendukung kemajuan suaminya. Demikian juga dengan masuknya keluarga Murong dalam Partai Pedang Keadilan, jelas tidak sedikit sumbangannya bagi kemajuan partai. Sambil menghela nafas, entah untuk ke berapa kalinya di hari itu, Chou Liang memutuskan untuk berkonsentrasi pada masalah di Gui Yang dan mempercayakan masalah Huang Ying Ying dan Ding Tao, sepenuhnya pada Murong Yun Hua. Sementara itu Murong Yun Hua berjalan dengan langkah kaki yang cepat, berjalan menuju ke kamar pribadinya. Dua orang dayang pembantunya yang masih remaja, sampai setengah berlari, mengikuti dia. Sambil berjalan, otaknya sudah berputar memikirkan masalah Ding Tao dan Huang Ying Ying. Ketika dia sampai di kamarnya, dia pun berbalik ke arah dua orang pembantunya. "Kalian pergi, carilah Nyonya Huolin, bawa dia menemuiku.", perintahnya dengan singkat. Tanpa menunggu mereka pergi, dia pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Baru setelah dia sendirian, Murong Yun Hua meraih bantal yang ada di atas pembaringan dan membantingnya dengan keras ke atas lantai. Dengan suara tangis tertahan dia mengambil pula bantal itu kemudian ditekapkan kuat-kuat ke wajahnya. Air mata bercucuran keluar, suara jerit tangis tertahan oleh bantal, sendirian dia menumpahkan segala rasa sakit dan kemarahan yang terpendam. Murong Yun Hua baru saja menyusuti air matanya, ketika Murong Huolin mengetuk pintu kamarnya. Bergegas Murong Yun Hua merapikan diri kemudian membuka pintu kamar. "Kakak ada apakah?", tanya Murong Huolin sedikit cemas. "Tidak ada apa-apa, aku ingin mengajakmu untuk pergi menyambut Kakak Ding Tao dan rombongannya.", ujar Murong Yun Hua dengan tenang, tidak terlihat lagi bekas-bekas tangisannya. " entahlah kakak, aku memang ingin bertemu dengan Kakak Ding Tao, tapi bagaimana jika ada pula Nona muda Huang Ying Ying di sana? Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap.", jawab Murong Huolin dengan ragu-ragu. "Jangan bodoh! Justru karena Nona muda Huang Ying Ying ada bersamanya, kita harus pergi menyambut mereka. Baru saja aku mendapat kabar dari Penasehat Chou Liang, sepertinya ada ganjalan dalam hubungan Kakak Ding Tao dengan Nona muda Huang Ying Ying.", ujar Murong Yun Hua. Mendengar berita baru itu, alis Murong Huolin pun terangkat. "Apa maksud kakak? Apakah mereka berdua sedang bertengkar?" "Kurang lebih seperti itu.", jawab Murong Yun Hua. Murong Huolin menggigit bibirnya dan berpikir, sesaat kemudian dia pun berkata. "Lalu apa urusannya dengan kita jika mereka berdua bertengkar, biarlah mereka menyelesaikan sendiri urusannya. Justru bagus bila Nona muda Huang tidak ingin meneruskan lagi hubungannya dengan Kakak Ding Tao." "Adik jangan berpikir sependek itu!", tegur Murong Yun Hua dengan keras. Kemudian dia pun dengan panjang lebar menjelaskan rencananya dan berusaha membujuk Murong Huolin untuk mengikuti rencananya. Lama kedua orang bersaudara itu beradu pendapat, kedua pembantu yang ada di luar kamar hanya bisa mendengar suara-suara dan potongan percakapan yang tak jelas. Ketika pintu kembali terbuka, Murong Huolin keluar dengan bekas air mata di pipinya. Murong Yun Hua yang mengantarkan dia keluar, berpesan dengan tegas. "Adik, ingatlah pesanku baik-baik. Jangan kau mengikuti perasaanmu saja, pikirkan kepentingan yang lebih luas. Pikirkan kewajibanmu." Dengan sedikit terisak Murong Huolin mengangguk tanpa membalikkan badan, lalu cepat-cepat lari kembali ke kamarnya sendiri. Murong Yun Hua hanya memandangi kepergiannya dan menghela nafas panjang. Wajahnya sendiri sudah bersih dari segala kesedihan dan kemarahan, yang ada hanyalah kemauan yang kuat dan tegas untuk melakukan apa yang dia pandang penting bagi dirinya dan orang-orang yang penting dalam hidupnya. Keesokan paginya, terlihat kesibukan yang tidak biasa, Murong Yun Hua dan Murong Huolin sibuk mengatur para pekerja di rumah kediaman mereka, mempersiapkan perjalanan bagi mereka berdua. Beberapa orang pelayan lelaki dan perempuan akan ikut dalam rombongannya. Hari menjelang siang saat segala persiapan selesai dilakukan. Murong Yun Hua pun pergi menemui Chou Liang untuk menjelaskan rencananya. "Aku akan pergi menyongsong Kak Ding Tao dan rombongannya", ujar Murong Yun Hua membuka percakapan. "Kuharap nyonya berhasil dalam perjalanan ini", jawab Chou Liang. "Aku mengerti tentang pentingnya tugasku, jadi jangan kuatir, akan kulakukan segalanya untuk menyatukan mereka berdua. Sementara itu kuharap Penasehat Chou Liang bisa mempersiapkan aturan rumah tangga yang jelas, terutama mengenai sanksi bagi penyelewengan yang saat ini terjadi di Gui Yang.", ujar Murong Yun Hua. "Hmmm sebenarnya tentang hal itu bukannya tidak ada aturan yang jelas. Tapi sebelum mereka melakukan tindakan yang jelas-jelas merugikan, memang aturannya jadi sedikit kabur. Apakah Nyonya memiliki satu ide?", ujar Chou Liang sambil mengawasi Murong Yun Hua. "Aku tidak ingin, Penasehat Chou Liang sekali lagi melakukan suatu tindakan atas nama partai, di luar sepengetahuan Kak Ding Tao. Karenanya aku memiliki satu rencana. Buat peraturan yang jelas, sampaikan pada Kak Ding Tao agar dia menyetujuinya. Pastikan sanksi yang diberikan tidaklah ringan tapi juga tidak terlampau keras sehingga dia menolaknya." "Dengan kepergianku kali ini, aku akan memastikan Nona muda Huang menikah dengan Kak Ding Tao. Kemudian dengan alasan pesta pernikahan mereka, undang setiap orang penting yang ada dalam daftar yang diberikan oleh Tabib Hua. Kita undang juga sekalian tokoh-tokoh penting dari setiap cabang, juga tokoh-tokohpenting dalam dunia persilatan, utamanya dari enam perguruan besar. Pada saat itulah, di depan semua orang kita tegakkan peraturan partai.", Murong Yun Hua menjelaskan. Chou Liang diam berpikir lalu berkata. "Dengan demikian, kita akan menunjukkan pada setiap orang bahwa Partai Pedang Keadilan bukan partai yang bisa dibuat main-main. Ketua Ding Tao harus menyetujui sanksi yang diberikan karena aturannya sudah dibuat." "Ya, selain itu dengan mengundang para pimpinan dari cabang-cabang yang lain, serta keberadaan pengikut inti dari partai yang ada di Jiang Ling sendiri, bisa dikatakan seluruh kekuatan kita terhimpun pada acara itu.", ujar Murong Yun Hua. "Dan mereka yang dari Gui Yang tidak akan curiga, karena sudah sepantasnya memang demikian. Adalah wajar jika dalam pesta pernikahan Ketua Ding Tao, baik sebagai ketua partai maupun sebagai seorang Wulin Mengzhu untuk mengundang mereka semua.", sambung Chou Liang sambil menganggukkan kepala. "Benar, dengan disaksikan semua orang, kita tunjukkan kebesaran partai kita. Biar juga mereka yang dari Kunlun melihat bahwa usaha mereka itu sia-sia saja. Biarlah jadi pelajaran, untuk tidak bermain api dengan Partai Pedang Keadilan.", kata Murong Yun Hua dengan suara tegas. Chou Liang sekali lagi merasa lega, bahwa dahulu dia sudah mengusahakan agar Ding Tao menikah dengan Murong Yun Hua. Sekali lagi nyonya ini menunjukkan kemampuannya dalam mengelola sebuah partai yang besar. Dengan dia di samping Ding Tao, Chou Liang merasa yakin Partai Pedang Keadilan akan tumbuh menjadi partai yang besar. Dirinya sendiri tentu saja tidak merasa di bawah Murong Yun Hua dalam hal kecerdikan. Namun posisi Murong Yun Hua sebagai isteri Ding Tao membuat dia memiliki kelebihan dibandingkan Chou Liang. Contohnya saja dalam hal menyatukan Hua Ying Ying dengan Ding Tao, tidak mungkin dia yang bukan apa-apanya Ding Tao ikut campur dalam hal ini, terutama setelah Ding Tao menikah. Tapi Murong Yun Hua sebagai salah satu isteri Ding Tao dan juga kakak dari isteri Ding Tao yang kedua, dialah yang paling tepat untuk melakukan hal ini. Dengan siasat ini, maka satu kali tepuk, tujuh lalat mati sekaligus. "Baiklah, apakah ada yang bisa kulakukan untuk membantu nyonya agar rencana ini berhasil?", tanya Chou Liang. "Pastikan saja, nama-nama orang yang harus kita curigai di Gui Yang dan mungkin juga di cabang yang lain. Susun juga undangannya, persiapkan orang-orang yang akan kita gunakan untuk membekuk para pengkhianat itu. Kemudian bantu juga untuk memastikan bahwa Kakak Ding Tao dan rombongannya tidak mengambil jalan yang berbeda dengan yang sudah kuperkirakan sebelumnya.", jawab Murong Yun Hua setelah berpikir sebentar. Sebenarnya tidak perlu dijelaskan pun sudah tentu Chou Liang tahu apa saja yang perlu dia lakukan dan siapkan. Namun dengan bertanya, Chou Liang membuat Murong Yun Hua merasa lebih dihargai. "Baik, akan saya persiapkan semuanya, harap nyonya berdua hati-hati di jalan dan semoga perjalanan nyonya berhasil.", jawab Chou Liang dengan meyakinkan. Murong Yun Hua menatap Chou Liang beberapa saat, orang tercerdik dalam Partai Pedang Keadilan, pengikut yang lain percaya penuh akan kesetiaan Chou Liang, tapi Murong Yun Hua terkadang bertanya-tanya dalam hati. Apakah Chou Liang tidak menyembunyikan sesuatu dibalik kesetiaannya itu? Mungkinkah Chou Liang memiliki kepentingan sendiri, ambisi pribadi, dibalik setiap perbuatannya untuk Ding Tao? Saat ini pun, bisa dikatakan, dalam hal mengambil keputusan, Chou Liang adalah orang pertama yang akan dimintai pendapat, juga orang yang memberikan kata-kata terakhir dalam setiap pertemuan. Ding Tao boleh jadi adalah ketua partai, hati dan juga pemersatu Partai Pedang Keadilan, namun tidak akan ada yang berkata salah, jika dikatakan Chou Liang adalah otaknya. "Aku percayakan semuanya padamu, baiklah, aku akan berangkat sekarang.", ujar Murong Yun Hua berpamitan. Sekali lagi Chou Liang meyakinkan Murong Yun Hua sambil mengantar nyonya itu sampai ke pintu ruangannya. Untuk beberapa saat lamanya Chou Liang memandangi Murong Yun Hua dari belakang. Dalam hati dia bertanya-tanya, seberapa tuluskan Murong Yun Hua berusaha menyatukan Ding Tao dan Huang Ying Ying? Murong Yun Hua mungkin seorang wanita yang memiliki otak cerdas dan bersandar pada logika, tapi bukankah dia tetap seorang wanita yang memiliki perasaan? Bisakah dia menelan perasaannya demi kepentingan Partai Pedang Keadilan? Chou Liang berdiri di dekat pintu, memandangi punggung Murong Yun Hua, pada awalnya tidak ada rasa, Murong Yun Hua hanyalah salah satu bagian dari rencananya untuk memperkokoh kedudukan Ding Tao. Namun sejak dia menyaksikan kecekatan dan kepandaian Murong Yun Hua dalam menyelesaikan masalah, dia mulai mengagumi wanita itu sebagai seorang manusia dan bukannya sebuah biji catur. Lalu entah sejak kapan, dia mulai menyadari sisi lain dari wanita itu. Kecantikannya, keluwesannya, tawa renyahnya, keanggunannya bahkan lekak-lekuk tubuhnya yang samar samar bisa dia bayangkan ketika memandangi wanita itu. Jantung Chou Liang tiba-tiba berdebar lebih kencang, terasa keringat dingin menetes di keningnya, saat dia menyadari perasaannya sendiri. Entah sejak kapan, dia mulai jatuh cinta, pada Murong Yun Hua. Dan sekarang, wanita yang dia cintai itu akan pergi, untuk meyakinkan orang yang dicintainya, supaya dia menikah dengan wanita lain. Chou Liang bisa membayangkan rasa sakit yang dialami Murong Yun Hua, dulu dia tidak mengerti, tapi sekarang setelah dia menyadari perasaannya pada Murong Yun Hua, tiba-tiba dia bisa merasakannya. Rasa cemburu yang sering muncul namun terpendam dalam-dalam, terpendam oleh perasaannya pada Ding Tao. Tiba-tiba sekarang perasaan itu muncul dengan kuatnya, rasa pahit dan pedihnya, ketika yang dicintai justru menjadi milik orang lain. Dan dia, Chou Liang, memuji dan mendukung dia untuk melakukan hal itu. 30 tahun lebih Chou Liang hidup sebagai lelaki, baru kali ini dia mengenal rasanya cinta. Bukannya dia tidak memiliki pengalaman dengan wanita, tapi selamanya dia menertawakan mereka yang jatuh cinta. Baru sekarang dia merasakan apa itu cinta dan dia tidak bisa tertawa lagi. Bagaimana perasaan Chou Liang, apakah Murong Yun Hua tahu? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Meskipun peribahasa mengatakan, dalamnya laut bisa didugan hati orang siapa yang tahu, tapi bukan tidak jarang kisah yang menceritakan, betapa tajamnya perasaan seorang wanita. Apa pun jawabannya dari pertanyaan itu, Murong Yun Hua sekarang sedang duduk dalam kereta bersama dengan adiknya Murong Huolin. Tidak seperti biasa, keduanya tidak saling bicara meskipun berada dalam kereta yang sama. "Apakah kakak sudah yakin dengan rencana kakak?", akhirnya Murong Huolin bertanya. Murong Yun Hua menatap tajam ke arah Murong Huolin dan menjawab dengan tegas. "Ya, aku sudah yakin dengan rencana ini. Sudah kupikirkan baik-baik dan aku tidak melihat ada jalan lain yang lebih baik dari jalan ini." Murong Huolin terlihat sedikit gemetar di bawah tatapan tajam Murong Yun Hua, namun gadis itu tidak menunduk dan mengalah, selamanya Murong Yun Hua adalah seorang kakak, pengganti orang tua, namun dalam hal cinta, jangankan seorang kakak, bukankah seringkali orang tua pun dilawan? "Meskipun kakak mencintainya dan kakak tahu bahwa di matanya, kakak adalah orang yang paling dia cintai?", tanyanya dengan suara gemetar. Murong Yun Hua tidak segera menjawab, apakah terlihat ada sedikit keraguan di wajahnya? Jika memang ada, maka hal itu hanya sebentar saja terlintas di sana, karena Murong Huolin berusaha mencari setitik tanda keraguan dan dia tidak mendapatinya di sana. Mungkin ekspresi ragu dan kepedihan yang dia lihat tadi hanyalah khayalannya semata? Berharap Murong Yun Hua membatalkan rencana ini. Masih dengan wajah yang tegas dan pandang mata yang tidak tergetar sedikitpun Murong Yun Hua menjawab. "Ya, meskipun aku yakin dia mencintaiku dan aku mencintainya." Murong Huolin pun tidak bisa berkata-kata lebih banyak, dia akhirnya membuang muka, memandangi isi kereta hingga tiap detail-detailnya, tanpa sekalipun menatap Murong Yun Hua untuk kedua kalinya. Sampai Murong Yun Hua memanggil namanya. "Adik Huolin" Murong Huolin pun menengok ke arah Murong Yun Hua, entah sudah sejak kapan hubungan mereka seperti itu. Dia selalu menjadi adik yang manis dari Murong Yun Hua dan Murong Yun Hua menjadi kakaknya yang baik. "Adik apakah kau masih percaya padaku? Pernahkah aku mengecewakanmu sebelumnya?", tanya Murong Yun Hua dengan lembut. Perlahan Murong Huolin menjawab. "Ya aku percaya pada kakak, tidak sekalipun kakak berbuat sesuatu yang merugikanku." Murong Yun Hua tersenyum lembut. "Percayalah padaku, rencana ini adalah rencana yang terbaik bagi kita semua." Lama tapi akhirnya Murong Huolin mengangguk juga. "Bagus, masih beberapa hari sebelum kita bertemu Kak Ding Tao dan rombongannya. Berusahalah berdamai dengan hatimu, supaya saat kita bertemu mereka, perasaanmu tidak lepas kendali. Jangan sampai kau melakukan sesuatu yang menyakitkan hati Nona muda Huang.", ujar Murong Yun Hua dengan lembut. Murong Huolin menganggukkan kepala perlahan, setetes air mata jatuh mengaliri pipinya yang halus, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Murong Yun Hua tidak berkata apa-apa lagi, hanya perlahan dia meraih tangan Murong Huolin dan meremasnya dengan lembut. Beberapa ratus li jauhnya dari rombongan Murong Yun Hua, adalah rombongan Ding Tao. Jarak di antara keduanya, semakin lama semakin dekat dengan berlalunya waktu. Hari demi hari berlalu, setiap orang dengan pikirannya masing- masing. Pikiran yang menyenangkan, pikiran yang menyedihkan, pikiran yang membangkitkan amarah. Siapa yang bisa membuat otak berhenti berpikir? Saat demi saat, gerbong demi gerbong pemikiran berendeng berjalan dalam otak kita. Satu pemikiran selesai, yang lain akan datang. Terkadang satu pemikiran dengan pemikiran yang lain saling bersambung, terkadang melompat tak terhubung dengan pemikiran yang sebelumnya. Terus menerus dia berlari, bahkan saat tertidur pun terkadang dia masih bekerja dan muncul dalam bentuk mimpi. Huang Ren Fu berjalan dalam diam, dia pun sedang berpikir. Selama beberapa hari ini bercakap-cakap dengan Tang Xiong dan Li Yan Mao, sebuah pemikiran terbentuk dalam benak mereka bertiga. Lama dia memandang Ding Tao yang berjalan di depannya, berdua dengan adik kandungnya. Tang Xiong dan Li Yan Mao berjalan mengiringi pemuda itu, keduanya diam, menanti keputusan Huang Ren Fu, sibuk menerka-nerka dan berpikir tentang apa yang sudah mereka percakapkan. Huang Ren Fu tiba-tiba berkata. "Aku akan pergi untuk berbicara dengan Ding Tao, kalian berdua tidak usah ikut." Li Yan Mao dan Tang Xiong saling berpandangan kemudian menjawab. "Baik tuan muda, kami mengerti." Huang Ren Fu pun berjalan lebih cepat, menyusul Ding Tao dan Hua Ying Ying yang berjalan di depan. Li Yan Mao menghela nafas panjang, sementara Tang Xiong diam terpekur. "Saudara Li apakah pendapat kita salah?", tanya Tang Xiong sambil memandangi punggung Huang Ren Fu. Li Yan Mao tidak segera menjawab. "Entahlah aku sendiri tidak bisa menjawab dengan pasti. Jika sahabat baru datang lalu kita melupakan sahabat lama, orang bilang kita tidak punya rasa persahabatan. Lalu jika yang berlaku sebaliknya, apakah namanya itu? Tapi jika kita benar menilai kepribadian Ketua Ding Tao dan Tuan muda Huang Ren Fu, kukira inilah jalan yang baik. Tidak akan ada yang dirugikan, tidak Ketua Ding Tao, tidak juga keluarga Huang." "Bagaimana jika Ketua Ding Tao menolak?", tanya Tang Xiong. "Jika demikian, berarti jelas siapa yang kemaruk harta dan siapa yang tidak.", jawab Li Yan Mao dengan tenang. "Berarti, apapun jawaban Ketua Ding Tao, kita tidak akan mengambil jalan yang salah, bukankah benar demikian?", tanya Tang Xiong kembali. "Seharusnya benar demikian.", jawab Li Yan Mao dengan berat hati. "Seharusnya demikian", ulang Tang Xiong bergumam tak jelas. "Tapi mengapa hati ini merasa berat?", ujar Tang Xiong sambil menghela nafas panjang. Li Yan Mao sendiri tak tahu jawabnya dan hanya bisa berjalan dalam diam, menemani Tang Xiong dengan pergumulan hatinya, dengan serentetan pikirannya sendiri. Memandangi Huang Ren Fu yang kini sudah berdiri sejajar dengan Ding Tao. "Saudara Ding To, bisakah kita bicara berdua saja sebentar?", tanya Huang Ren Fu sambil menepuk pundak pemuda itu. Ding Tao menoleh ke arah Huang Ren Fu, tersenyum dan menjawab. "Tentu saja." Baru setelah menjawab, dia melihat ada yang berbeda di wajah Huang Ren Fu. Huang Ren Fu tidak berkata lebih banyak, tapi memandang ke arah Hua Ying Ying. Hua Ying Ying pun bertanya. "Apakah kakak ingin berbicara berdua saja dengan Kak Ding Tao?" "Uhm ya, kalau kalian tidak keberatan.", ujar Huang Ren Fu sedikit ragu. "Tentu saja tidak", jawab Hua Ying Ying yang kemudian berjalan lebih cepat, menyusul Ma Songquan, Chu Linhe dan Hua Ng Lau yang berada paling depan. Ding Tao merasa hatinya tidak tenteram dan bertanya. "Saudara Ren Fu, sebenarnya ada apa? Apakah masalah keputusanku terhadap Shao Wang Gui di Shaolin?" "Tidak tidak bukan itu.", jawab Huang Ren Fu cepat-cepat. "Sebenarnya bukan satu masalah yang penting", ujar pemuda itu ragu, ragu dengan keputusannya untuk berbicara dengan Ding Tao tentang masalah yang dia simpan di benaknya selama beberapa hari ini. Ding Tao melihat kesulitan yang dihadapi Huang Ren Fu dan tidak ingin menambah rumit masalah pemuda itu. "Saudara Ren Fu, katakanlah dengan bebas, apa pun masalah itu. Apakah masalah itu ada hubungannya dengan Adik Ying Ying? Atau masalah yang lain? Percayalah, apapun yang kau katakan, kita tetap bersahabat." Huang Ren Fu memandang ke arah Ding Tao, sekali lagi dia menimbang-nimbang, sebelum akhirnya dia menghembuskan nafas kuat-kuat untuk mengusir kegalauan dalam hatinya dan berkata. "Ding Tao, aku ingin membicarakan masalah peninggalan keluarga Huang, terutamanya yang ada di Wuling. Sebenarnya sejak bertemu dengan guru, kami berdua, aku dan Ying Ying sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan masa lalu kami dan memulai lembaran yang baru." "Tidak sedikitpun terlintas dalam pikiran kami, untuk meminta apa yang menjadi hak kami. Tapi beberapa hari ini, berbicara dengan Paman Li Yan Mao dan Tang Xiong, aku berubah pikiran. Bagaimanapun juga sejarah keluarga Huang tak boleh terhapus begitu saja di tanganku. Apalagi cabang di Wuling yang menjadi cikal bakal, berkembangnya keluarga Huang." "Itu sebabnya, aku ingin meminta padamu, untuk mengembalikan seluruh milik keluarga Huang yang ada di Wulin kembali ke tanganku. Aku tahu, setelah peristiwa pembantaian itu, tempat itu tidak ubahnya seonggok puing-puing, jika bukan kalian dari Partai Pedang Keadilan yang membangunnya kembali, tapi di situlah sejarah keluarga ini dimulai. Aku pun tidak ingin mengambil hasil kerja keras orang lain, suatu saat nanti, aku akan mengembalikan setiap sen yang sudah digunakan untuk membangun kembali tempat itu. Ding Tao jika permintaanku ini kau pandang terlalu berlebihan, aku " "Cukup", ujar Ding Tao menghentikan kata-kata Huang Ren Fu. Wajah Ding Tao bersemu kemerahan.Entah menahan marah atau malu? Huang Ren Fu pun memandang pemuda itu dengan hati berdebar, namun tangan terkepal. Sudah berulang kali dia memikirkan hal ini, dia tidak bisa melihat di mana letak kesalahannya, karena memang semua itu adalah haknya sebagai satu-satunya yang tertinggal dari keluarga Huang. Ding Tao memejamkan mata beberapa saat lamanya sebelum kemudian membuka mulut dan berkata. "Saudara Ren Fu maafkan aku, mendengarmu berkata sepanjang itu, hanya untuk mendapatkan apa yang sebenarnya memang merupakan hak-mu. Ah betapa perih hatiku. Betapa aku malu memikirkan hal ini, tanpa mengetahui bahwa kalian yang merupakan pewaris sah dari keluarga Huang masih hidup, aku berdiri, berjalan dan memanjat ke atas menggunakan hak milik kalian berdua." Huang Ren Fu pun jadi tergagap dan merasa malu dengan kecurigaannya. "Ding Tao.. jangan berkata demikian, tatkala semuanya direbut orang, kaulah yang menyatukan kembali sisa-sisa keluarga Huang dan merebut kembali apa yang sudah diambil oleh penjahat-penjahat itu." "Dan aku lupa untuk mengembalikannya, bukankah aku tidak ubahnya seperti para penjahat itu?", ujar Ding Tao dengan senyum pahit. Huang Ren Fu menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak, tidak, jangan pernah samakan dirimu dengan para penjahat itu. Ding Tao, jika kata-kataku sudah melukai hatimu, aku minta maaf dengan setulus-tulusnya." Ding Tao terdiam, menghela nafas, Adakah dia merasa tersinggung dengan ucapan Huang Ren Fu? Ya ada sebagian dari dirinya yang merasa tersinggung dengan ucapan Huang Ren Fu. Adakah sebagian dari dirinya yang merasa tidak rela untuk menyerahkan kembali miliki keluarga Huang yang ada di Wuling pada Huang Ren Fu? Dengan kecewa Ding Tao menjawab jujur pada dirinya sendiri, Ya ada sebagian dari dirinya yang tidak rela menyerahkan apa yang sesungguhnya memang bukan miliknya. Dengan pandangan mata yang lebih jernih, Ding Tao menatap Huang Ren Fu. "Saudara Ren Fu, aku akan berkata jujur padamu. Sebagian dari diriku merasa tersinggung oleh ucapanmu barusan, sebagian dari diriku tidak rela untuk menyerahkan Wuling padamu, meskipun itu adalah hakmu." Huang Ren Fu mendengarkan dengan penuh perhatian, sebagian dari dirinya terkejut oleh pernyataan Ding Tao, tapi sudah tidak ada lagi kecurigaan yang sempat bersemayam dalam hatinya. Ding Tao mungkin berubah oleh berjalannya waktu, mungkin dia berubah oleh keadaan, tapi di dasar hatinya yang terdalam, Ding Tao tetaplah orang yang sama. Orang yang dia percayai beberapa tahun yang lalu dan sekarang masih dia percaya dengan sepenuh hatinya. "Jadi kau lihat, aku tidak sebaik dugaanmu, tapi jangan kuatir, aku masih bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Memang bersama beberapa orang sahabat aku mendirikan Partai Pedang Keadilan, tapi sebagian besar dari apa yang kami miliki saat ini sesungguhnya adalah milik kepunyaan kalian berdua. Selekasnya aku sampai di Jiang Ling aku akan mengurus segala sesuatunya, agar apa yang menjadi hak kalian, kami kembalikan pada kalian.", ujar Ding Tao dengan hati yang tiba-tiba terasa lapang. Ya, hati Ding Tao tiba-tiba terasa lapang, begitu dia melepaskan segala keinginan untuk menguasai apa yang dulunya milik keluarga Huang. Justru di saat dia memutuskan untuk kehilangan sebagian besar, jika bukan keseluruhan, dari apa yang pernah dia pandang sebagai miliknya, di saat itu justru hatinya terasa lapang. Serasa sebuah beban yang berat lepas dari jiwanya. Tapi Huang Ren Fu sekali lagi menggelengkan kepala. "Ding Tao, kau salah jika mengambil keputusan demikian dan aku akan menyesali keputusanku seumur hidupku jika kau memaksa untuk melakukan hal itu. Sedikit pun aku tidak ingin kau mengembalikan semuanya itu kembali pada keluarga Huang." Ding Tao diam mendengarkan dan Huang Ren Fu pun berkata lagi. "Aku hanya menginginkan akar, cikal bakal dari keluarga Huang di Wuling, satu kenangan, satu ungkapan, penghargaan pada usaha yang sudah dikerjakan selama 3 generasi. Satu titik, di mana aku akan membangun sendiri keluarga Huang, dengan dua tanganku sendiri. Bukan dari sisa keluarga Huang yang kau selamatkan dengan kekuatan orang lain." Lama Ding Tao diam, sebelum akhirnya dia menjawab. "Aku mengerti, tapi tawaranku tetap adanya. Kapan pun kau menghendaki, kau atau keturunanmu, aku akan mengembalikan semua yang pernah menjadi milik keluarga Huang pada kalian." "Aku mengerti maksudmu, hanya saja kuharap kau mengerti juga apa yang ada dalam hatiku. Semua yang kau katakan sebagai milik keluarga Huang, bagiku sudah hilang di malam pembantaian itu. Tak mau aku bangkit berdiri oleh pertolongan orang lain, aku ingin bangkit berdiri dengan kekuatanku sendiri. Sekali-kali bukan karena aku tak percaya padamu, tapi inilah yang kurasakan.", jawab Huang Ren Fu. Ding Tao menganggukkan kepala. "Tentu saja, aku tidak berani mengatakan bahwa aku mengerti apa yang kau rasakan. Tapi aku percaya padamu." Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Baru kali ini hati Huang Ren Fu terasa lega, setelah lama dia menyimpan pikiran ini, sebuah senyum pun terungkap tulus di wajahnya. "Lain hari ketika kita bertemu, saat aku sudah membangun kembali keluarga Huang dengan dua tanganku, barulah aku merasa berdiri sejajar dengan dirimu." "Hah jangan berpikir bodoh, apapun keadaan kita, kita selalu sahabat bukan? Apakah jika aku jatuh dari kedudukanku sekarang, kau akan memandangku dengan belas kasihan, seperti memandang seorang pengemis yang kelaparan? Kuharap bila itu terjadi kau tidak berlaku demikian, tapi tetap memandangku sebagai seorang sahabat.", sahut Ding Tao sambil memukul lengan Huang Ren Fu. "Hahaha ya ya, anggap saja aku yang salah, tapi lihat saja, akan kubangun keluarga Huang kembali dari reruntuhan. Dan setiap sen biaya yang kau gunakan untuk membangun kembali kediaman keluarga Huang di Wuling, aku akan mengembalikannya.", jawab Huang Ren Fu sambil tertawa. Keduanya pun bercakap-cakap dengan bebas, sebuah ganjalan sudah dilemparkan jauh-jauh dari persahabatan mereka berdua. Tidak mudah untuk membicarakan hal yang tidak menyenangkan, tapi jika dia memang seorang sahabat, maka kau harus percaya bahwa apa pun itu, tidak akan mengubah persahabatan yang ada. Sekilas Huang Ren Fu berpikir, betapa Ding Tao sesungguhnya memang sudah berubah, Ding Tao yang dulu tidak akan sebebas ini berlaku terhadap dirinya. Ding Tao yang dulu selalu membawa diri sebagai seorang hamba terhadap tuan mudanya. Tapi Huang Ren Fu tidak merasa terganggu dengan Ding Tao yang baru ini. Bicara ke kanan dan ke kiri, tiba-tiba Huang Ren Fu bertanya. "Bagaimana hubunganmu dengan Adik Ying Ying?" Ditanya demikian Ding Tao pun tergagap. "Eh apa ah entahlah" Memikirkan Ying Ying, Ding Tao jadi terdiam dan lesu, hilang sudah tawa cerianya bersama Huang Ren Fu tadi. Huang Ren Fu pun menghela nafas, lalu berkata. "Ding Tao, sedikit banyak aku sudah mendengar tentang kisah hubunganmu dengan kedua isterimu. Aku pun pernah melihat mereka berdua saat kau mengadakan syukuran kelahiran puteramu yang pertama. Keduanya memang wanita yang bisa dikatakan sulit dicari bandingannya." Ding Tao masih terdiam dan Huang Ren Fu pun terdiam beberapa lama, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan pikiran dalam benaknya. "Kau tahu dalam hal hubungan kalian, kedudukanku berada di posisi yang serba tidak enak. Di satu sisi, kau ini sahabatku dan sebagai lelaki, meskipun aku tidak akan membenarkan perbuatanmu, tapi aku juga bisa memahami bagaimana hal itu sampai terjadi." "Di sisi lain, Ying Ying adalah adikku yang kusayangi dan sekarang dia merupakan satu-satunya keluargaku di dunia ini. Tak mau aku melihat dia bersedih atau dihinakan orang.", ujar Huang Ren Fu. Ding Tao pun mendesah sedih dan berkata. "Ren Fu, tak nanti aku akan menghinakan atau membuat Ying Ying bersedih." Huang Ren Fu mengangguk dan berkata. "Ya, aku percaya, tapi bagaimana dengan orang lain? Bagaimana dengan dua orang isterimu? Inilah pula yang menjadi salah satu alasanku, meminta kembali harta milik kami yang ada di Wuling. Dengan jalan itu aku berharap bisa memberikan latar belakang yang layak bagi Ying Ying. Bukan sekedar anak yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa, seorang murid perantauan. Meskipun guru memiliki nama besar dalam dunia persilatan, tapi seorang anak gadis tanpa keluarga yang kuat di belakangnya, akan ada saja orang yang akan mencibir dirinya." "Ding Tao, apakah kau masih mencintai Ying Ying? Apakah engkau masih berpikir untuk menikahinya?", tanya Huang Ren Fu. Ding Tao mengangguk dengan tegas. "Ya, sejak pertemuan kita kembali di kaki Gunung Songshan, perasaanku padanya semakin kuat. Aku memang mencintainya dan jika dia bersedia, aku akan menikahinya. Aku tidak ingin memaksa dia untuk mengambil satu keputusan, tapi inilah yang ada dalam hatiku, lepas dari apa yang nantinya akan terjadi." Huang Ren Fu tersenyum puas. "Aku percaya padamu, aku percaya kau akan berusaha untuk membahagiakan dia. Dan percayalah, dia sungguh mencintaimu, selama ini dia terus memikirkan dirimu. Mungkin saat ini dia masih butuh waktu untuk bisa memaafkanmu, tapi pada akhirnya dia akan memaafkanmu." Ding Tao terdiam beberapa lama, memandangi punggung Hua Ying Ying yang sedang bercanda dengan Chu Linhe. "Ya kuharap dia bisa memaafkanku." "Apakah kau sudah berusaha menyampaikan padanya, mengenai keinginanmu untuk menikahi dia?", tanya Huang Ren Fu. "Sudah" "Lalu apa jawabnya?" "Dia berkata akan mempertimbangkannya lebih dahulu.", jawab Ding Tao sambil tersenyum pahit. "Sudahkah kau bertanya lagi padanya setelah itu?", tanya Huang Ren Fu pada Ding Tao. "Belum, aku tidak ingin mendesak dia terus menerus Sungguh aku merasa bersalah padanya dan aku tidak ingin terlalu mendesak dia. Setelah apa yang kulakukan sudah wajar jika dia menolak pinanganku itu.", jawab Ding Tao dengan pilu. "Jangan bodoh, sudah berapa lama kau menunggu jawaban darinya?", tanya Huang Ren Fu. "Entahlah, setidaknya sudah lewat beberapa hari, mungkin 1 minggu", jawab Ding Tao. "Sudah cukup lama, bukankah sekarang dia sudah mulai mau kau ajak bercakap-cakap. Cobalah bertanya lagi padanya, masa kau berharap seorang gadis berbicara lebih dahulu mengenai masalah pernikahan? Jika kau tidak bertanya padanya, bisa jadi kalian berdua sebenarnya saling menunggu dan menunggu.", ujar Huang Ren Fu mendorong Ding Tao. Ding Tao pun berpikir beberapa lama, lalu menjawab. "Kau benar, begitu ada waktu yang tepat, aku akan bertanya lagi pada dia." "Itu bagus", jawab Huang Ren Fu. Dan hari itu pun akhirnya berlalu tanpa Ding Tao sempat bertanya pada Hua Ying Ying mengenai pinangannya pada gadis itu. Keesokan paginya Ding Tao berusaha mengumpulkan keberaniannya untuk menghadapi Hua Ying Ying. Mereka berangkat dari penginapan pagi-pagi sekali, ketika matahari baru bersinar dengan terang, rombongan Ding Tao sudah jauh meninggalkan desa tempat mereka menginap semalam. Udara yang cerah membuat semangat mereka semua terbangun. Bahkan Hua Ying Ying yang beberapa hari ini sering diam, tampak lebih banyak bicara, membuat Ding Tao tersenyum lebih banyak daripada kemarin. Dengan sengaja, kali ini Ding Tao mengajak Hua Ying Ying berjalan paling belakang. Huang Ren Fu yang bisa mengira-ngira apa yang akan mereka bicarakan, dengan sengaja mengajak Tang Xiong dan Li Yan Mao untuk ikut bergabung dengan Hua Ng Lau bertiga, berjalan paling depan. "Kak Ding Tao, apa yang kemarin hendak dibicarakan Kakak Ren Fu denganmu?", tanya Hua Ying Ying tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ding Tao terdiam sejenak. "Tidak ada yang penting kakakmu, dia ingin tinggal lagi di Wuling itu saja." Hua Ying Ying mendesah. "Jadi akhirnya kakak setuju dengan saran Paman Li, tidak perlu ditutupi, sedikit banyak kakak sudah pernah berunding pula denganku." "Oh begitu, lalu bagaimana menurut pendapat Adik Ying Ying tentang hal itu?", tanya Ding Tao. "Aku tidak suka", ujar Hua Ying Ying perlahan. "Ah, kenapa?", tanya Ding Tao tak tahu harus berkata apa. "Kakak Ren Fu dan aku sudah memutuskan untuk membuang masa lalu, mengapa sekarang kami justru meminta lagi apa yang kami anggap sebagai hak kami? Entahlah aku merasa, aku lebih bahagia seperti sekarang ini bebas dari segala ikatan yang tak perlu", ujar Hua Ying Ying perlahan. "Tapi kakakmu, melakukan hal itu, juga demi kebaikanmu dia ingin", Ding Tao tak tahu harus bagaimana menyampaikan apa yang dibicarakan dengan Huang Ren Fu kemarin. Setelah beberapa saat terdiam akhirnya Ding Tao memberanikandiri untuk bertanya. "Adik Ying Ying, tentang lamaranku beberapa waktu yang lalu, sudahkah adik mempertimbangkannya?" Hua Ying Ying tidak langsung menjawab, Ding Tao dibuat berdebar-debar menunggu jawabannya. "Sudah kupertimbangkan", ujar Hua Ying Ying pendek, kemudian lama dia terdiam kembali, membuat Ding Tao hanya bisa menunggu dengan dada yang serasa dihimpit gunung anakan. "Kakak, jika teringat kakak sudah menikah, apalagi kakak berkenalan dan bercinta dengan wanita lain, bahkan sebelum kakak mengira aku mati, sementara aku selalu menanti-nanti kedatangan kakak, hatiku terasa sakit sakit sekali.", ujar Hua Ying Ying lalu kembali diam. Mendengar perkataan itu hati Ding Tao ikut terasa sakit, sakit oleh penyesalan, tapi waktu tidak bisa diputar kembali, hanya bisa berjalan terus ke depan. "Tapi aku pun mengerti, kakak toh hanya seorang manusia, sementara bahkan dewa pun bisa tergerak hatinya dan melakukan kesalahan, apalagi manusia biasa. Dan kedua isteri kakak, memang bisa dikatakan serupa dengan dewi-dewi di langit cantiknya. Lagipula, aku tahu benar sifat kakak, tiap perkataan kakak, aku tidak meragukan ketulusannya. Sedikit banyak, kukira aku bisa belajar untuk memaafkan perbuatan kakak itu.", ujar Hua Ying Ying membuat harapan Ding Tao kembali muncul ke permukaan. "Aku mencintai Kak Ding Tao, aku tidak bisa membohongi hatiku, semarah apapun, sebesar apapun rasa kecewa yang pernah kurasakan. Di lain pihak, aku jadi berpikir, jika aku menikah dengan Kak Ding Tao, apakah kedua isteri Kak Ding Tao tidak akan merasakan sakit yang kurasakan? Jadi jadi aku memutuskan", tinggal satu kata, ya atau tidak, tapi berat sekali bagi Hua Ying Ying untuk mengatakannya. "Aku memutuskan", ujar Hua Ying Ying setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, tapi omongannya itu terputus saat Tang Xiong dengan setengah berlari datang mendekat dan menunjuk jauh ke depan. "Ketua lihat, sepertinya ada rombongan dari Partai Pedang Keadilan yang datang menyambut kita.", seru Tang Xiong yang tidak tahu menahu tentang pembicaraan penting dari sepasang kekasih itu. Otomatis, Hua Ying Ying pun tidak meneruskan perkataannya dan Ding Tao ditinggalkan bertanya-tanya. Untuk beberapa saat keduanya terdiam serba salah dan Tang Xiong yang menyadari suasana itu pun bertanya perlahan-lahan. "Maaf apakah aku mengganggu pembicaraan yang penting?" Gemas sekali hati Ding Tao, rasanya ingin dia menggampar wajah Tang Xiong yang baru saja sadar, sudah mengganggu satu pembicaraan yang penting. Sekalipun demikian, tak sampai hati dia memaki Tang Xiong. Dengan menahan kesal pemuda itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, tidak ada apa-apa", ujarnya sambil memandang ke depan, ke arah yang ditunjuk oleh Tang Xiong. Hua Ying Ying yang ikut merasa serba salah dengan kedatangan Tang Xiong yang tiba-tiba, cepat-cepat menyambung perkataan Ding Tao, supaya Tang Xiong tidak sempat bertanya lebih panjang. "Kak Ding Tao, apakah benar yang di depan sana itu rombongan dari Partai Pedang Keadilan? Kalau benar, ayolah kita cepat-cepat menyongsong mereka pula." "Benar, ayolah Paman Tang Xiong, mari kita percepat jalan kita.", ujar Ding Tao dengan segera menyambut usul Hua Ying Ying. "Eh ya baiklah, kukira di antara mereka tentu ada nyonya berdua, jika bukan mereka siapa lagi yang menggunakan kereta? Apakah Saudara Chou Liang? Menurut ketua bagaimana?", ujar Tang Xiong sambil mempercepat langkah kakinya. Mendengar ucapan Tang Xiong, hati Ding Tao terasa tenggelam. "Kukira kau benar tentu mereka berdua, jika tidak masakan harus pakai kereta segala." Hua Ying Ying melirik sekilas ke arah Ding Tao, melihat wajah Ding Tao seketika itu juga hatinya mengkal, dalam hati dia membatin, Huh tadi bersemangat sekali, sekarang melihat isterimu datang, toh kau jadi ketakutan" Ya, tapi siapa yang bisa menyalahkan Ding Tao, Tang Xiong yang tadinya bersemangat menyampaikan berita, begitu melihat wajah Ding Tao barulah dia tersadar. Sudah juga jadi lelaki, kalau ada banyak wanita yang mengejar. Dengan wajah kecut, Tang Xiong pun berjalan mengiringi Ding Tao tanpa berani banyak berkata apa-apa. Ding Tao sendiri jadi tenggelam dalam segala macam perasaan dan perhitungan. Seandainya Hua Ying Ying sudah memberikan jawaban yang pasti, maka lebih mudah bagi dia untuk mengambil satu keputusan. Tapi Ying Ying belum sempat mengatakan ya atau tidak. Betapa bodohnya jika dia menyambut kedua isterinya dan mengatakan akan menikahi Hua Ying Ying, tapi ternyata jawaban dari gadis itu adalah tidak. Sebaliknya dia bisa merasakan pandangan tajam mata Hua Ying Ying yang mengamati setiap detail ekspresi wajahnya dan berusaha membaca perasaannya. Hendak bertanya lebih jelas pada Ying Ying, tapi ada Tang Xiong di sana, sehingga dirinya pun tidak leluasa untuk bertanya. Ding Tao masih sibuk berpikir bagaimana caranya agar dia bisa berbicara berdua saja dengan Ying Ying, ketika terlihat, kereta kuda yang ada di kejauhan itu berhenti bergerak, dengan serta merta Ding Tao pun berkata pada Tang Xiong, "Saudara Tang Xiong, cobalah berjalan lebih dulu dan lihat, mengapa kereta itu berhenti bergerak, mungkin mereka butuh pertolongan." Tang Xiong pun merasa lega dan dengan segera menjawab. "Ah tentu saja, baiklah ketua, aku akan bergegas ke sana, mendahului ketua." Siapa sangka di saat itu, Hua Ying Ying yang masih merasa mengkal atas sikap Ding Tao berkata pula. "Paman Tang Xiong, aku ikut denganmu, siapa tahu mereka memang perlu bantuan." Dan habis berkata demikian tanpa menunggu gadis itu pun mempercepat langkahnya, meninggalkan Ding Tao dan Tang Xiong yang melengong dengan mulut setengah terbuka. "Ketua soal ini", sedikit terbata Tang Xiong berdiri termangu memandang Ding Tao. Ding Tao pun hanya bisa menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala. "Ahh sudahlah, ayolah kita semua sedikit bergegas." Akhirnya mereka bertiga pun bergegas menghampiri rombongan yang ada di depan, kemudian bersama-sama, mempercepat langkah kaki mereka untuk menemui para penyambut dari Kota Jiang Ling. Dari kejauhan mereka melihat dua orang wanita turun dari kereta, siapa lagi jika bukan Murong Yun Hua dan Murong Huolin. Dengan berjalan kaki, kedua wanita itu bersama-sama para pengantarnya, pergi menyambut Ding Tao dan rombongannya. Seperti apa perasaan Ding Tao, sulit sekali untuk dijelaskan, karenanya penulis memilih untuk membiarkan pembaca membayangkan sendiri perasaan Ding Tao saat itu. Siapa yang hendak disalahkan jika pertemuan suami isteri yang sudah lama terpisah jadi terkesan sedikit kaku dan dipaksakan? Ah, mungkin ini jelas-jelas salah Ding Tao, lelaki mana yang punya akal sehat akan datang bertemu dengan kedua isterinya, sembari membawa cinta pertamanya? Tapi Ding Tao sendiri tidak pernah menduga bahwa Murong Yun Hua dan Murong Huolin akan pergi untuk menyambutnya, sehingga sebelum mereka bertemu, sementara permasalahan antara dirinya dan Hua Ying Ying belum memiliki kejelasan. Bukan hanya Ding Tao, yang lain pun merasa berada di dalam kesusahan yang sama. Hua Ying Ying yang bersangkutan langsung jelas ikut berdebar-debar jantungnya, meskipun debaran itu sedikit tersamar oleh kekesalannya pada Ding Tao. Huang Ren Fu dan Hua Ng Lau sebagai orang terdekat dari Hua Ying Ying, ikut pula merasa mulas perutnya dengan semakin dekatnya jarak di antara dua rombongan ini. Li Yan Mao dan Tang Xiong, meskipun tidak terkait secara langsung, ikut terpengaruh dengan suasana yang menyesakkan. Hanya Ma Songquan dan Chu Linhe saja yang tidak terlalu ambil peduli, tapi mengamati kejadian ini dengan penuh rasa ingin tahu. Tapi ketegangan itu dengan segera menjadi cair ketika kemudian Murong Yun Hua dan Murong Huolin berlari kecil dan dengan hangat menyapa, bukan saja Ding Tao tapi juga Hua Ying Ying dan yang lainnya. "Kak Ding Tao, syukurlah kalian semua baik-baik saja Bagaimana dengan tangan kakak? Apakah masih sakit?", sapa Murong Yun Hua dan Murong Huolin dengan hangat pada Ding Tao. Kemudian sebelum Ding Tao sempat membuka mulut, keduanya meraih tangan Hua Ying Ying dan menggandeng gadis itu di kiri dan kanan. "Nona Ying Ying, syukurlah ternyata kalian berdua baik-baik saja. Sungguhpun kami sangat terkejut mendengar berita tentang kalian berdua, tapi kami juga sangat bersyukur bahwa kalian berdua ternyata baik-baik saja. Kalau saja kau tahu betapa Kak Ding Tao sangat bersedih jika sedang memikirkan kalian berdua." Dengan beberapa kalimat itu, dan disambung dengan sapaan-sapaan dan pertanyaan yang ramah pada semua orang yang ada, maka ketegangan yang sempat dirasakan itu pun dengan cxepat mencair. Meskipun tentu ada sisa-sisa perasaan yang mengganjal, tapi perasaan itu tidaklah sampai membuat suasana menjadi rusak. Kedua isteri Ding Tao dengan pandainya membawakan peranan mereka sebagai isteri-isteri yang berbahagia karena bertemu kembali dengan suami yang dikasihi. Tentang kedudukan Hua Ying Ying sebagai kekasih Ding Tao, tidak sedikitpu mereka singgung, dan orang berakal mana yang mau coba-coba menyinggung masalah itu dalam keadaan demikian? Dengan bijaksana kedua orang nyonya itu berjalan beriringan dengan Hua Ying Ying bukan berjalan beriringan dengan Ding Tao. Dengan cara mereka bersikap, orang bisa menangkap, bahwa mereka tidak menafikan adanya hubungan hati antara Ding Tao dengan Hua Ying Ying. Di saat yang sama mereka juga menunjukkan bahwa, mereka tidak akan memusuhi atau menyalahkan Hua Ying Ying atas hubungan gadis itu dengan suami mereka. Tentu saja tidak ada seorangpun yang percaya bahwa kedua nyonya itu sungguh-sungguh tidak menyimpan ganjalan apa pun dalam hati mereka. Namun justru ketulusan mereka dalam menyambut Hua Ying Ying, keramahan yang tidak dibuat- buat, membuat mereka semua kagum pada jiwa besar kedua orang nyonya itu. Termasuk Hua Ying Ying sendiri, gadis itu ikut tergerak oleh keramahan mereka berdua yang tulus dan semakin kuatlah keyakinannya untuk menolak pinangan Ding Tao. Gadis itu toh bukannya gadis yang egois dan mau menang sendiri. Jangankan kedua orang nyonya itu bersikap ramah pada dirinya, seandainya mereka bersikap cemburu pun dia bisa mengerti. Sikap ramah mereka berdua, juga cara mereka berusaha menjaga perasaan setiap orang, baik Ding Tao maupun dirinya, membuat Hua Ying Ying merasa kecil di hadapan mereka berdua. Dia yang baru saja bersikap semaunya dan tidak mau tahu dengan kedudukan Ding Tao yang serba salah, tiba-tiba dihadapkan pada dua orang nyonya ini, yang menurut Ying Ying lebih berhak untuk merasa kesal dengan Ding Tao, tapi ternyata justru berusaha menghilangkan kekakuan yang ada di antara mereka ber-empat. Di antara mereka semua, tentu saja yang paling merasa lega dan bersyukur adalah Ding Tao, wajahnya yang murung pun sekarang menjadi cerah. Meskipun kedua isterinya justru bergandengan tangan dengan Hua Ying Ying, tapi justru itu yang membuat dia merasa senang. Ding Tao pun menepuk jidatnya sendiri dalam hati, mengapa pula dia sempat merasa menyesal sudah menikahi dua kakak beradik itu. Tak sedikitpun ada cela dalam sikap mereka sebagai isteri. Tentu saja timbul pertanyaan dalam benak Ding Tao, jika demikian, lalu bagaimana dengan Hua Ying Ying sekarang? Pemuda itu pun berharap-harap cemas, bahwa pada akhirnya semua akan berakhir dengan baik. Dengan keceriaan dua orang nyonya itu, perjalanan yang panjang pun menjadi lebih ringan dan menyenangkan. Tanpa terasa akhirnya mereka sampai pula pada kota tujuan mereka untuk hari itu. Penginapan pun dipesan, dalam pembagian kamar tentu saja Ding Tao dan kedua isterinya diberikan satu kamar tersendiri. Tapi ketika yang memesan kamar menyampaikan pembagian itu pada yang lain, Murong Yun Hua menggamit tangan Ding Tao dengan lembut. "Suamiku, kuharap kau tidak marah, tapi bagaimana jika untuk malam ini, biarlah aku dan Adik Huolin tidur sekamar dengan Adik Ying Ying. Sungguh, ada banyak hal yang ingin kami bicarakan.", ujar Murong Yun Hua dengan lembut namun cukup jelas bagi setiap orang. Ding Tao tertegun menatap Murong Yun Hua beberapa lama, sebelum kemudian hatinya dipenuhi satu kehangatan oleh tatapan mesra yang terpancar dari mata Murong Yun Hua. "Tentu saja, tentu aku tidak marah. Kupikir, adalah baik kalau kalian bertiga saling mengenal lebih dekat." "Terima kasih", ucap Murong Yun Hua pendek saja. Meskipun pendek tapi banyak arti yang tersirat di dalamnya, jika bukan Ding Tao percaya, tentu bukan demikian jawaban Ding Tao. Atas kepercayaan Ding Tao ini, betapa besar rasa terima kasih Murong Yun Hua, semuanya tertumpang di atas satu kata itu saja. Untuk sekejap lamanya, kedua orang ini saling memandang dengan mesra, sebelum Murong Yun Hua memalingkan wajahnya dan menarik tangan Hua Ying Ying dengan ceria. "Ayolah Adik Ying Ying, kita lihat kamar kita, tubuhku sudah penat sekali tidak terbiasa dengan perjalanan panjang. Pasti nikmat berendam bersama dalam satu bak air panas yang besar." Kemudian berpaling pada pemilik penginapan diapun berkata dengan ramah. " Tuan pemilik, tentu bisa menyediakannya bukan?" "Tentu nyonya, tentu, tentu saja kami bisa menyiapkan, akan kami siapkan dengan segera.", jawab pemilik penginapan itu dengan ramah dan pandang mata kagum yang tidak bisa disembunyikan. Melihat cara pemilik penginapan itu memandang Murong Yun Hua, Ding Tao hanya tersenyum saja, memiliki isteri yang cantik, apalagi dua orang isteri yang cantik tentu harus siap melihat lelaki lain memandang mereka dengan penuh kekaguman, asalkan tidak terlihat sorot mata yang kurang ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Seruling Samber Nyawa Karya Chin Yung Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo