Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 49


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 49


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Kakak lindungi aku beri aku kekuatan."   Salah satu cara menaklukkan lelaki, adalah dengan membuat dia merasa jadi seorang pahlawan.   Semakin wanita tampak tak berdaya, lelaki pun semakin berdiri gagah berusaha membela.   Semakin cantik wanita itu, semakin tuluslah dia berusaha membela.   Semakin tangguh wanita yang memohon perlindungan padanya, semakin berbesar hatilah dia.   Di masa itu, di antara sekian wanita Murong Yun Hua yang dipandang tercantik.   Di antara sekian banyak wanita, Murong Yun Hua yang dikenal paling bijak dan kuat.   Dan sekarang dia tampil lemah tak berdaya, memohon perlindungan pada Huang Ren Fu.   Siapa bisa menyalahkan Huang Ren Fu, bila dia lupa pada persahabatan? Jika rasa percaya sudah hilang, persahabatan pun mati dengan cepat.   Bila wanita sudah terlibat, tidak jarang lelaki lupa pada sahabat.   Jauh di sana, di luar kota Jiang Ling, seorang lelaki yang rasa persahabatannya sudah teruji oleh waktu dan tantangan hidup, sedang bergerak dengan hati-hati, menggunakan lebatnya pepohonan dan rimbunnya dedaunan, untuk bergerak dalam bayang-bayang, menjelajahi isi hutan.   Zhu Yanyan bergerak dengan sangat hati-hati, sebelum dia bergerak, terlebih dahulu dia akan memastikan tidak ada orang di sekitarnya, tidak ada orang yang akan melihat gerakannya menuju ke tempat persembunyiannya yang berikutnya.   Bergerak seperti itu tentu saja menghabiskan waktu yang sangat lama.   Antara mereka yang tersebar, berjaga-jaga di tempat yang tersembunyi, beradu kesabaran dengan dia yang bergerak perlahan, menembus penjagaan.   Mungkin umur Zhu Yanyan yang sudah matang, membuat dia lebih sabar dibanding lawan-lawannya.   Sebuah pertarungan tanpa jurus, tanpa pedang, namun setiap saat nyawa bisa melayang.   Beberapa kali kesabaran Zhu Yanyan membuahkan hasil, matanya yang tajam mengawasi keadaan menangkap gerakan dari mereka yang berjaga.   Mungkin pinggul yang pegal, pantat yang terasa tebal, mungkin ada serangga yang menggigit atau sekedar bosan diam berjaga.   Tapi gerakan mereka itu membuat keberadaan mereka tertangkap oleh mata Zhu Yanyan yang tajam.   Semakin lama, penjagaan semakin rapat, hingga akhirnya pada satu titik, Zhu Yanyan pun dipaksa untuk menyerah.   Tidak dilihatnya jalan untuk masuk lebih dalam lagi tanpa membunuh beberapa penjaga, sementara dia tidak ingin keberadaannya diketahui orang.   Zhong Weixia tidak boleh tahu jika ada orang yang sedang mengamati gerak-geriknya.   Sadar akan hal itu, Zhu Yanyan pun diam-diam menghela nafas dan memuaskan dirinya dengan mengamati apa yang bisa diamati.   Menjelang tengah hari, satu per satu orang mulai berdatangan.   Dari tempatnya yang tersembunyi, Zhu Yanyan pun mulai menghitung dan mencatat.   Pertemuan ini begitu rahasia, penjagaannya begitu ketat, mereka yang datang, entah sendirian atau dalam kelompok kecil semuanya punya nama dalam dunia persilatan.   Sebelum Zhong Weixia sendiri muncul sudah ada belasan orang yang datang.   Jangan dilihat jumlahnya yang sedikit lebih dari jumlah jari tangan, karena setiap orang memiliki pengaruh yang besar dan bisa menggerakkan puluhan hingga ratusan orang.   Keringat dingin pun membasahi punggung Zhu Yanyan.   Tapi kejutan belum habis smpai di situ, seperti yang sudah mereka duga, Zhong Weixia datang bersama dengan Guang Yong Kwang, artinya jelas keduanya bekerja sama.   Kejutan terbesar justru datang, setelah kedatangan mereka berdua.   Sekelompok bhiksu Shaolin datang sembari mengawal Shao Wang Gui yang terikat erat di tengah mereka.   Kemudian tiga orang Bhiksuni dari Enmei menyusul datang.   Dua orang tetua dari Hoasan, dengan kedudukan hanya selapis di bawah Xun Siaoma turut pula datang, Menyusul tiga orang tetua partai pengemis.   Tampaknya hanya dari pihak Wudang saja yang tidak seorangpun diundang dalam pertemuan ini.   Bukan hanya berkeringat dingin, sekarang Zhu Yanyan dibuat menjadi pening melihat siapa-siapa yang hadir dalam pertemuan ini.   Dan dua orang terakhir yang menghadiri pertemuan rahasia itu, lebih-lebih lagi membuat dia tak mengerti, Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua.   Sebenarnya apa yang terjadi, jangan-jangan, orang yang mengumpulkan mereka semua ini sesungguhnya adalah Ding Tao sendiri.   Apa yang terjadi dalam pertemuan itu sendiri, Zhu Yanyan tidak bisa tahu.   Tempatnya terlalu jauh dari pertemuan diadakan dan penjagaan terlalu ketat untuk menyusup diam-diam.   Zhu Yanyan hanya bisa menunggu pertemuan itu bubar, sembari bertanya-tanya dalam hati.   Masakan Ding Tao hendak menggerakkan orang melawan Wudang? Tapi jika tidak demikian, mengapa di antara sekian banyak undangan, hanya Wudang yang tidak mendapatkan undangan? Jika pertemuan ini begitu penting, mengapa Ding Tao sendiri tidak hadir? Atau jangan-jangan orang-orang terpenting, seperti Tetua Xun Siaoma, Ketua Bai Chungho, Bhiksu Khongzhen, Pendeta Chongxan dan Ding Tao sendiri sedang membahas soalan ini.   Atau mungkin sengaja tidak bergerak untuk mengelabui mata orang? Begitu banyak pertanyaan, pada akhirnya Zhu Yanyan sampai pada satu pemikiran.   Yaitu menemui saudaranya yang telah lama tidak dia temui.   Pendeta Chongxan mungkin bisa memberikan jawabannya.   Setidaknya, dengan bertemu, ada beberapa kemungkinan yang bisa dicoret, sekaligus dia bisa memberikan peringatan seandainya benar Wudang-lah yang menjadi sasaran.   Menunggu mereka bubar, ternyata membutuhkan kesabaran yang jauh lebih besar.   Apalagi dengan pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul, perasaan bahwa dirinya sedang berpacu dengan waktu, membuat dia semakin sulit bersabar.   Namun Zhu Yanyan memiliki watak dasar yang penyabar, ditambah ketekunan berlatih untuk menahan diri dan menjaga semangat selama puluhan tahun, meskipun hatinya penuh dengan kekhawatiran, Zhu Yanyan tetap bersembunyi dengan sabar.   Pertemuan itu berlangsung cukup lama, dengan pendengarannya yang tajam Zhu Yanyan bisa mendengar beberapa kali ada sorakan yang cukup keras, meskipun hanya sayup-sayup sampai di telinganya.   Dari suara yang dia dengar Zhu Yanyan pun bisa memperkirakan di mana pertemuan itu dilaksanakan.   Meskipun demikian apalah gunanya bagi dia, toh tetap saja dia tidak bisa pergi mendekat dan ikut mendengarkan dengan jelas isi pertemuan itu.   Matahari pun sudah condong ke arah barat, ketika satu per satu, peserta pertemuan itu pergi meninggalkan tempat.   Zhu Yanyan pun mendekam saja di tempat dia bersembunyi, apalagi dia sadar orang-orang macam Zhong Weixia ada di sana.   Ketahuan sama artinya dengan kematian.   Setelah seluruh peserta pertemuan itu pergi menghilang, Zhu Yanyan masih mendekam tidak bergerak.   Benar saja, menunggu beberapa lama, sekali lagi serombongan orang pergi dari hutan itu, melewati tempat persembunyiannya, mereka ini tentulah orang-orang yang ditugaskan untuk berjaga tadi.   Setelah hutan kembali sepi, Zhu Yanyan masih menunggu beberapa lama lagi.   Menjelang sore hari, barulah dia berani bergerak, sedemikian berhati-hatinya dia, itulah Zhu Yanyan, orang pertama dari enam sahabat pengikat enam perguruan besar.   "Hmm..   tentu yang lain sudah mulai berkhawatir", pikir Zhu Yanyan.   Teringat dengan saudara-saudara dan muridnya, maka dia pun bergegas pergi, bergerak dengan ringan, berkelebatan di antara pepohonan.   Zhu Yanyan masih bergerak ke arah lain beberapa lama, sebelum mengambil arah menuju ke jalan besar.   Muncul di titik lain dari jalan besar itu, barulah dia berjalan cepat dengan langkah panjang-panjang menuju ke Jiang Ling.   Tidak berapa lama kemudian, mereka bertujuh pun sudah berkumpul di sebuah ruangan kecil, di dalam toko yang mereka beli beberapa bulan yang lalu.   Dengan mendetail Zhu Yanyan menyampaikan apa yang dia lihat dan dengar.   Tidak banyak memang, tapi apa yang dilihat Zhu Yanyan memberikan gambaran, tentang skala gerakan yang sedang mereka hadapi ini.   Dengan wajah sedikit pucat Chen Taijiang menggelengkan kepala tak percaya dan berujar.   "Mendengar penuturan Saudara Yanyan, seakan-akan seluruh tokoh dunia persilatan tertumpah di Jiang Ling." "Lebih ngerinya lagi, tidak akan ada orang yang merasa aneh melihat hal itu, mengingat pesta pernikahan Wulin Mengzhu, Ding Tao akan diadakan dalam waktu dekat ini.", sambung Hu Ban dengan wajah serius. "Aku akan pergi menemui Chongxan diam-diam,masalah ini harus secepatnya dibuat terang, jika tidak aku tidak akan bisa tidur dengan tenang.", ucap Zhu Yanyan menyampaikan pemikirannya. Ke enam orang yang lain pun mengangguk setuju, Wang Shu Lin sejak tadi sudah kehilangan kekuatan untuk mengucapkan sepatah kata pun. Apa yang diceritakan Zhu Yanyan, jelas di luar perkiraannya. Gerakan yang dilakukan Zhong Weixia sungguh terlampau besar, melampaui kekhawatiran-kekhawatirannya selama ini. Usul Zhu Yanyan untuk menemui Pendeta Chongxan memberi dia satu harapan baru. "Hmm menurutku, ada kemungkinan besar Ketua Khongzhen juga tidak mengetahui hal ini. Shaolin memang terlihat besar dan kokoh dari luar. Tapi sesungguhnya yang ada di dalam tidaklah seharmonis apa yang terlihat di luar. Justru jumlah anggota yang terlalu besar ini, menimbulkan adanya fraksi-fraksi dalam Shaolin. Berbeda dengan Wudang yang lebih kecil, namun lebih kuat kekeluargaannya.", ujar Khongti sambil berpikir. "Saudara Yanyan, jika kau pergi menemui Pendeta besar Chongxan, aku pun akan pergi menemui Bhiksu besar Khongzhen.", sambung dia setelah berpikir sejenak. "Kukira kau benar. Semoga saja pergerakan rahasia ini sepengetahuan Ding Tao dan mereka berdua. Jika demikian beres sudah urusannya. Tapi bila tidak", ujar Zhu Yanyan menggantung, tak sanggup membayangkan apa yang terjadi jika tidak demikian halnya. "Perasaanku tidak tenang, besar kemungkinan semuanya ini terjadi di luar tahu mereka", ucap Shu Sun Er sambil menghela nafas berat. Tidak ada yang menjawab ucapan Shu Sun Er, mereka semua termenung dengan dada terasa sesak ditekan oleh ketegangan dan perasaan buruk oleh peristiwa yang akan datang. "Kapan kalian berdua akan pergi menemui Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan", tiba-tiba Pang Boxi bertanya, memecahkan keheningan. Khongti dan Zhu Yanyan saling berpandangan beberapa saat, kemudian Zhu Yanyan menjawab dengan tegas.   "Malam ini juga."   Dengan tiga kata itu, selesailah pertemuan mereka.   Meskipun tidak juga membubarkan diri, namun tidak ada pula yang mengucapkan sepatah kata pun.   Mereka bertujuh sudah kehilangan nafsu untuk berbicara ataupun untuk makan.   Tidak lama kemudian Zhu Yanyan menutup mata dan mulai bermeditasi.   Segera yang lain pun berturut-turut mengikuti apa yang dilakukan Zhu Yanyan.   Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menunggu malam tiba dan hati mereka terlalu kisruh untuk memikirkan langkah-langkah lain yang pelru dilakukan.   Apalagi mengingat jumlah kekuatan mereka yang terlalu kecil jika dibandingkan dengan persekutuan yang dibangun oleh Zhong Weixia.   Malam pekat, bulan sabit hanya seleret tipis, bintang-bintang pun ditutupi awan, ketika Khongti dan Zhu Yanyan bergerak diam-diam mendekati penginapan tempat Rombongan dari Shaolin dan Wudang menginap.   Sebagai tokoh besar, tentu saja Partai Pedang Keadilan menyediakan tempat yang terbaik bagi tokoh-tokoh enam perguruan besar.   Sebuah penginapan terkenal di Jiang Ling disewa seluruh kamarnya, untuk menyediakan tempat bagi rombongan dari enam perguruan besar.   Tapi dari enam perguruan hanya empat yang menempati penginapan tersebut, Khongtong dan Kunlun memilih tempat penginapannya sendiri.   Tempat yang kosong akhirnya disediakan bagi partai pengemis dan beberapa tokoh kenamaan lain.   Suasana begitu sunyi, tapi samar-samar terdengar suara orang membaca sutra Buddha.   Khongti memberi tanda pada Zhu Yanyan, suara Khongzhen tentu sangat dia kenal, belasan tahun hidup bersama di biara, ada selirit rasa rindu, tapi urusan besar sedang menunggu.   Perlahan dia bayangan itu pun bergerak mendekati sumber suara pelantun sutra Buddha.   Kamar Bhiksu besar Khongzhen terletak di utara bangunan dengan jendela menghadap ke jalan besar.   Setelah sampai di depan jendela, mereka berdua pun berdiri diam, ragu-ragu untuk sesaat lamanya.   Khongti baru saja hendak mengetuk daun jendela ketika dia mendengar Bhiksu besar Khongzhen berhenti melantunkan sutra.   Gerakan tangannya pun terhenti, sekali lagi ragu hendak mengetuk atau tidak.   Dari dalam terdengar suara Bhiksu Khongzhen.   "   A Yung, A Man, kalian berdua, pergilah berjaga di depan pintu."   Dua orang bhiksu muda yang disuruh keluar oleh Bhiksu Khongzhen itu pun slaing berpandangan, bertanya-tanya dalam hati, namun dengan patuh mereka pergi keluar meninggalkan Bhiksu Khongzhen sendirian di kamar.   Bhiksu Khongzhen mengikuti kepergian mereka dengan senyum dikulum, keduanya adalah generasi baru yang berbakat, juga berkepribadian baik.   Dia memaruh harapan yang besar pada dua orang itu.   Setelah pintu kamar ditutup rapat, Bhiksu Khongzhen pun dengan tenang mengambil dua buah cangkir dan menuangkan teh, kemudian duduk bersila dengan tenang di salah satu kursi yang ada.   Kemudian dengan suara lembut menelusup telinga dia memanggil Zhu Yanyan dan Khongti yang berada di luar.   "Sahabat di luar, jika hendak berkunjung, kenapa tidak segera masuk, dua cawan teh manis sudah kusediakan untuk kalian berdua?"   Mendengar suara Bhiksu besar Khongzhen itu, Zhu Yanyan dan Khongti saling berpandangan dengan senyum dikulum.   Tanpa ragu lagi, mereka berdua mendorong daun jendala yang tak terkunci dan masuk ke dalam.   "Kakak", ujar Khongti dengan suara tertahan.   "Ketua Khongzhen", ujar Zhu Yanyan dengan sopan sembari memberi penghormatan.   Melihat mereka berdua, tak urung Bhiksu besar Khongzhen yang sudah matang dalam olah batin itu terguncang juga.   Bukan oleh rasa takut dan khawatir, tapi oleh rasa rindu dan sayang pada saudara mudanya yang telah lama menghilang.   "Ah kalian berdua tentu ada masalah yang penting hingga kalian datang menemuiku.   Baiklah, cepat duduk dan ceritakan masalah kalian.", ujar Bhiksu besar Khongzhen, meskipun suaranya sedikit bergetar namun dengan cepat dia berhasil menguasai perasaannya.   Mendengar penjelasan Khongti dan Zhu Yanyan yang secara bergantian menyampaikan penemuan mereka, wajah Bhiksu besar Khongzhen pun sedikit menegang.   Hatinya merasa tidak enak, sebuah bayangan buruk melintas di benaknya.   "Saudara Yanyan, Adik Khongti berita yang kalian sampaikan ini sungguh mengejutkan.   Apalagi ada anak murid Shaolin yang berani membawa keluar Shao Wang Gui di luar tahuku.   Menurutku dugaan Adik Khongti ada benarnya, diam-diam di dalam Shaolin ada yang bekerja untuk orag luar.   Ini sungguh memalukan dan mencemaskan.", ujar Bhiksu besar Khongzhen dengan hati rawan.   "Lalu apa yang harus kita lakukan kak?", tanya Khongti pada Bhiksu besar Khongzhen.   "Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan meminta A Man memanggil kakakmu Pendeta Chongxan ke mari.", ujar Bhiksu besar Khongzhen pada Khongti dan Zhu Yanyan.   "A Man kau dengar pembicaraan kami?", tanya Bhiksu Khongzhen pada A Man yang berjaga di depan pintu.   "Dengar guru", jawab A Man.   "Bagus, pergilah.", ucap Bhiksu besar Khongzhen singkat saja.   "Menurut kakak, apa tujuan gerakan ini sebenarnya?", tanya Khongti.   "Tunggu, biarlah kita tunggu sampai Saudara Chongxan datang", ujar Bhiksu besar Khongzhen.   Khongti pun terpaksa menahan diri, baik dia dan Zhu Yanyan tidak berani mengajak Bhiksu besar Khongzhen bicara lagi, karena Bhiksu besar Khongzhen tampaknya juga larut dalam perenungannya.   Tidak menunggu berapa lama, Pendeta besar Chongxan pun masuk ke dalam ruangan.   Dari wajahnya terlihat dia pun mendapatkan perasaan yang tidak enak dari kejadian malam ini.   "Ah Adik Yanyan, Saudara Khongti angin apa yang membawa kalian ke mari?", sapanya dengan senyum lembut di wajah, meskipun disertai selapis kekhawatiran.   "Ceritakan semuanya", ujar Bhiksu besar Khongzhen sebelum kembali diam dalam renungannya.   Khongti dan Zhu Yanyan pun kembali mengulang apa yang tadinya mereka sampaikan pada Bhiksu besa Khongzhen sebelumnya.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pendeta Chongxan pun mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak sedikitpun dia meragukan keterangan- keterangan yang diberikan kedua orang itu.   Setelah mereka berdua selesai bercerita, Pendeta Chongxan tidak segera memberikan tanggapan, seperti juga Bhiksu besar Khongzhen dia justru larut dalam pemikirannya sendiri.   Khongti dan Zhu Yanyan hanya bisa saling berpandangan dan menunggu.   Mereka pun menaruh kepercayaan penuh pada dua orang itu.   Alis keduanya ikut berkerut, mencoba ikut merenung, namun beban yang menekan perasaan mereka cukup berat membuat keduanya sulit berpikir.   Tapi keduanya sudah cukup matang pula, melihat apa yang dilakukan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, membuat mereka sadar.   Persoalan boleh besar, tapi perasaan harus dapat dikendalikan, pikiran harus dapat ditenangkan, dengan demikian baru bisa berpikir jernih.   Kesadaran tidak boleh goyah, pun bila dalam merenungkan persoalan tentu muncul kekhawatiran.   Menghela nafas dalam-dalam keduanya berusaha menenangkan hati dan ikut berpikir.   Cukup lama mereka berempat duduk dalam diam, ketika Bhiksu Khongzhen menegakkan badan dan menghela nafas, hampir berbarengan Pendeta Chongxan, Zhu Yanyan dan Khongti melakukan hal yang serupa.   Wajah mereka tampak kelam, tidak ada senyuman di sana, jelas situasinya sangatlah buruk dalam pandangan mereka berempat.   "Bagaimana menurut Ketua berdua?", tanya Khongti pada akhirnya.   Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan saling berpandangan sejenak, Bhiksu Khongzhen yang kemudian menjawab lebih dahulu.   "Delapan dari 10 bagian tentu Wuling Mengzhu, Ketua Ding Tao yang menjadi sasaran." "Zhong Weixia dan orang-orangnya menyembunyikan hal ini dari kami berdua, tentu dia memiliki rencana yang tidak baik, tapi bagaimana dia bisa membuat orang dari berbagai golongan bergerak bersama, kukira ada pegangan yang kuat.", sambung Pendeta Chongxan. "Sementara dari pihak kita sendiri, hanya segelintir kecil yang benar-benar bisa dipercaya.", ujarnya lagi. Khongti dan Zhu Yanyan mengangguk setuju. "Waktunya begitu dekat, sementara apa sebenarnya rencana mereka belum begitu jelas, apa yang bisa kita lakukan?", tanya Khongti. "Melihat keadaannya, persiapan mereka tentu sudah sangat matang, meskipun ketua berdua ikut campur pun", Zhu Yanyan ragu untuk melanjutkan. "Tidak apa, kenyataannya memang demikian, jika mereka sudah berani bergerak, tentu kekuatan kami berdua pun sudah diperhitungkan. Artinya entah mereka memiliki siasat untuk mengikat tangan kami berdua, atau jumlah kekuatan di sisi mereka, jauh lebih besar dari yang ada di pihak kita.", lanjut Bhiksu Khongzhen dengan tenang. "Jadi bagaimana?", kembali Khongti bertanya. "Hmm kita harus bersikap waspada namun luwes, siap menghadapi segala perubahan keadaan dan tidak terpaku pada rencana tertentu.", jawab Bhiksu Khongzhen. "Ada satu hal yang bisa kita persiapkan dari sekarang.", ujar Pendeta Chongxan. "Benar", jawab Bhiksu Khongzhen pula. Zhu Yanyan dan Khongti hampir bersamaan berkata.   "Persiapan untuk melarikan diri." "Benar, keadaan jelas tidak menguntungkan, kemungkinan besar, apa yang akan kita hadapi nanti berada di luar jangkauan kita. Jika itu benar, kita harus menyiapkan jalan mundur dari sekarang.", kata Bhiksu Khongzhen dengan satu kepastian. Persoalan besar belum hilang, tapi setidaknya sekarang ada pegangan tentang apa yang bisa dan harus mereka berbuat. Perasaan Zhu Yanyan dan Khongti pun jadi jauh lebih mantap. Mereka berempat pun kemudian sibuk membahas lebih jelas mengenai persoalan yang ada di depan dan persiapan menjelang pernikahan Ding Tao. "Yang membuat bertanya-tanya dan membuat kita semakin sulit menentukan siapa lawan dan siapa kawan, adalah kehadiran isteri dan sahabat Ding Tao dalam pertemuan rahasia itu.", ujar Khongti. "Benar, untuk memberi kisikan pada Ding Tao pun jadi tidak mudah. Jika kita memberikan kisikan tanpa memberi tahu keterlibatan isterinya, maka ada kemungkinan dia akan menyampaikan masalah ini pada isterinya sehingga lawan tahu rahasianya telah bocor. Di lain pihak jika kita berkata bahwa isterinya terlibat, tentu dia tidak percaya pada perkataan kita.", keluh Zhu Yanyan. "Hmm tampaknya jalan Ding Tao tidak akan mudah semoga kita bisa membantunya melewati kesulitan ini. Adik Yanyan, kau ingat baik-baik, jika keadaan sangat buruk dan baik Wudang maupun Shaolin tidak bisa bergerak bebas, kau antarkanlah Ketua Ding Tao ke sebuah desa di luar perbatasan. Nama desa itu, Desa Hotu, kemudian carilah seorang tabib di desa itu, ceritakan apa yang terjadi di sini.", ujar Pendeta Chongxan sebelum mereka berpisah. "Aku mengerti, apakah ada petunjuk lain?", jawab Zhu Yanyan. "Tidak ada, hanya sekali lagi ingat baik-baik, bawa dia ke desa itu, hanya jika Shaolin dan Wudang tidak bisa bergerak bebas. Aku berharap Shaolin dan Wudang bisa mengimbangi gerakan tersembunyi ini, tapi aku kuatir, bila dugaanku benar, tidak akan banyak yang bisa kami lakukan.", ujar Pendeta Chongxan sambil menghela nafas. "Baiklah kalau begitu kami pamit pergi dahulu.", ujar Zhu Yanyan kemudian memberi hormat, demikian juga Khongti. Pendeta Chongxan pun menepuk-nepuk pundak Zhu Yanyan.   "Adik, hati-hatilah dalam bertindak, meskipun mati sebagai pahlawan berarti hidup tidak sia-sia. Namun hidup tetaplah sesuatu yang lebih berharga daripada kematian. Jika ada waktu, kalian datanglah ke Gunung Wudang, ada tempat untuk kalian berenam di sana." "Tentu saja."   Jawab Zhu Yanyan dengan tenggorokan tercekat.   "Kakak, aku pergi ", ujar Khongti.   "Hmm pergilah, tampaknya kehidupan di luar biara lebih sesuai untuk dirimu", ujar Bhiksu Khongzhen sambil tersenyum simpul.   Khongti membelai rambutnya yang panjang dan menyengir lebar.   "Hehe, ya entah apa aku akan tahan jika harus kembali dalam biara." "Hm..hm.., yang penting adalah batin yang bersih. Daripada terlampau sibuk memperhatikan aturan untuk tubuh tapi lupa menjaga kejernihan hati. Boleh saja sekarang kau berhenti jadi seorang biarawan, hanya kuharap jangan lupa pada hal-hal yang prinsip.", nasehat Bhiksu Khongzhen pada Khongti. Khongti pun mengangguk dengan serius.   "Nasihat kakak, tentu akan selalu kuingat." "Hahaha, sebenarnya kurasa tidak perlu aku menasihatimu. Aku percaya akan kebersihan hatimu, sungguh aku sebenarnya rindu dengan kekonyolanmu, Shaolin jadi terlalu sepi tanpa lawakanmu. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya membicarakan masa lalu, tentang masa depan, kukira undangan Saudara Chongxan perlu kalian pikirkan, hatiku mengatakan, awan gelap akan menyelimuti dunia persilatan. Bahkan Shaolin pun tampaknya tidak luput darinya.", ujar Bhiksu Khongzhen sambil mendorong pergi Khongti dengan lembut. Mendengar ucapan Bhiksu Khongzhen itu, suasana hati Zhu Yanyan dan Khongti pun jadi sendu. "Baiklah kami pergi", ucap mereka berdua. Dalam sekejap, bayangan mereka pun sudah ditelan kegelapan malam. Setelah mereka berdua pergi, Bhiksu Khongzhen berpandangan dengan Pendeta Chongxan. "Sahabat, tampaknya sosok gelap yang menghantui tidur kita akhirnya muncul juga.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan nada sedih. "Ya, pada kejadian di kaki Gunung Songshan, aku sempat berharap semuanya tuntas sudah, tapi bahkan pada waktu itu pun, perasaan bahwa ada kegelapan yang sedang menunggu dan menjalin jaring-jaringnya tidak hilang dari hatiku.", jawab Pendeta Chongxan. "Perasaanku semakin kuat, bahwa semua kejadian beberapa puluh tahun terakhir, mulai dari isu-isu mengenai ambisi Ren Zhuocan, munculnya pedang angin berbisik, menghilangnya Jinyong, kematian beberapa orang tokoh, bersatunya Thai Wang Gui dan Shao Wang Gui, semuanya berkutat dan berpusar pada satu orang atau satu organisasi saja.", kata Bhiksu Khongzhen. "Apakah Bhiksu Khongzhen setuju, bila kukatakan bahwa sosok itu sepertinya berasal dari keluarga Murong?", tanya Pendeta Chongxan. "Demikiankah perasaan Pendeta?", tanya Bhiksu Khongzhen. "Ya, saat ini tidak ada pegangan yang pasti tapi perasaanku berkata demikian.", jawab Pendeta Chongxan. Beberapa lama Bhiksu Khongzhen diam, kemudian berujar.   "Sepertinya perasaan Pendeta benar, jika Murong Yun Hua kita letakkan di posisi itu, maka banyak kejadian aneh dalam dunia persilatan yang bisa dijelaskan. Entah sudah berapa lama dia membangun jaring di sekitar kita, bahkan Shaolin pun tidak luput darinya. Semakin lama aku memikirkannya, hatiku semakin ngeri untuk menghadapi hari-hari di depan." "Heh golok di depan mata mudah dihindari, panah gelap dari belakang lebih berbahaya", ujar Pendeta Chongxan singkat. Demikianlah, maka di luar tahunya Ding Tao dan Hua Ying Ying, menjelang pernikahan mereka berdua, sebuah jebakan sedang disiapkan. Sedangkan di luar tahunya mereka yang sedang membangun jebakan itu, ada pula kekuatan yang mencoba menggagalkan rencana mereka. Namun Murong Yun Hua, Zhong Weixia dan Guang Yong Kwang, terbukti memang pantas jadi orang-orang nomor satu dalam dunia persilatan. Rencana mereka matang dan teliti, serta dilaksanakan dengan sangat berhati-hati. Akhirnya tiba juga hari yang dinanti-nanti oleh banyak orang, masing-masing dengan tujuannya sendiri. Pagi itu Ding Tao sudah berdandan rapi, meskipun ini adalah kali kedua dia menikah, dengan isteri yang ketiga, tetap saja jantungnya sedikit berdebar menanti datangnya waktu untuk bertemu pengantin wanita. Di kamar dia berdua saja dengan Tabib Shao Yong yang hari ini menjadi wali bagi dirinya. Beberapa pengikutnya yang lain baru saja keluar menuju gedung tempat akan diselenggarakannya pernikahan Ding Tao. Memandangi Ding Tao yang sudah tumbuh dewasa dan sekarang menjadi orang nomor satu dalam dunia persilatan, berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hati Tabib Shao Yong. "Tabib Shao, mengapa kau melamun saja, harusnya justru aku yang banyak melamun hari ini", ujar Ding Tao menggoda Tabib Shao Yong ketika dilihatnya tabib tua itu menatap dirinya dengan pandangan entah ke mana. Mendengar ucapan Ding Tao, tabib tua itu pun tersenyum.   "Hahaha aku hanya membayangkan, betapa cepat waktu berlalu, rasanya baru kemarin aku menyuruhmu mencari akar-akaran."   Sambil mengangkat tangannya setinggi pinggang dia menyambung.   "Tinggimu baru segini, tiba-tiba sekarang kau sudah jauh lebih tinggi dari kebanyakan orang."   Tiba-tiba Tabib Shao Yong tampak sedih dan terdiam. Melihat itu Ding Tao jadi terharu, dia berpikir, tentu Tabib Shao Yong teringat oleh keadaannya yang tidak berputera.   "Tabib Shao, hari ini kau menjadi waliku, tapi sejak dulu, dalam hati kau memang sudah kupandang sebagai pengganti orang tuaku."   Mendengar perkataan Ding Tao, mata Tabib Shao Yong membasah, dengan sedih dan haru dia mengelus kepala pemuda itu.   Ding Tao tentu saja merasa heran, namun juga terharu melihat perhatian orang begitu besar pada dirinya.   Tiba-tiba Tabib Shao Yong mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan memberikannya pada Ding Tao.   "Simpan ini baik-baik, jangan sampai ada orang yang melihatmu menyimpannya.", ujarnya dengan sungguh-sungguh.   "Tabib Shao apa ini?", tanya Ding Tao ingin tahu dan juga heran.   "Anak Tao, kau bilang kau anggap aku ini ayahmu", ujar Tabib Shao Yong.   "Ya, benar, Tabib Shao, percayalah aku tidak bermain-main saat mengatakan itu", ucap Ding Tao tulus.   "Aku percaya, kalau benar demikian, lakukanlah apa yang aku suruh ini, simpan baik-baik bungkusan ini, mungkin bisa membantumu.", sekali lagi Tabib Shao Yong berkata dengan sungguh-sungguh.   Meskipun masih merasa heran, Ding Tao pun segera menyimpan bungkusan itu di bagian dalam bajunya tanpa banyak bertanya lagi.   Melihat Ding Tao sudah menyimpan bungkusan itu, Tabib Shao Yong tampak sedikit lega.   "Ayolah, sudah waktunya kita pergi.   Jika tidak para tamu tentu akan terlalu lama menunggu", ujar Tabib Shao Yong dengan senyum di wajah.   Melihat Tabib Shao Yong terlihat lebih ceria, hati Ding Tao pun jadi lega.   "Tabib Shao benar, ah dadaku jadi berdebar- debar Tapi ayolah."   Diiringi dengan tawa dari Tabib Shao Yong, mereka pun pergi menuju ke gedung tempat pernikahan akan dilaksanakan.   Sembari berjalan terlihat ada pikiran yang membebani hati Tabib Shao Yong, baru beberapa langkah mereka berjalan, ketika di sekitar mereka sepi dari orang tiba-tiba Tabib Shao Yong berkata.   "Anak Tao, seandainya aku memintamu, melepaskan kedudukanmu sebagai Wulin Mengzhu dan pergi membawa Ying Ying pergi ke desa kecil, jauh dari kota, hidup sederhana sebagai seorang petani, apakah kau akan mendengarkan permintaanku itu?"   Ding Tao melihat ke arah Tabib Shao Yong dengan alis terangkat.   "Tabib Shao, kenapa bertanya demikian?"   Ditanya demikian, Tabib Shao Yong tergagap.   "Eh ah tidak apa, hanya ingin tahu saja, dulu kehidupan seperti itulah yang kubayangkan ketika kau beranjak dewasa."   Ding Tao merenung sejenak kemudian menjawab.   "Seandainya bisa, tentu aku akan memilih jalan itu. Tapi sejak aku secara tidak sengaja, menemukan Pedang Angin Berbisik, tampaknya jalan hidupku sudah ditentukan akan menjadi beda dengan keinginanku. Awalnya demi mengemban tugas dari guru. Semakin lama, semakin banyak jerat hutang budi dan harapan orang, yang tidak mungkin aku lepaskan begitu saja. Bukan karena aku menginginkannya, tapi aku tak mungkin mengkhianati cita-cita bersama demi keinginanku pribadi."   Tabib Shao Yong mendesah sedih dan Ding Tao pun ikut mendesah sedih.   Kaki Tabib Shao Yong terasa berat, apa yang akan dihadapi Ding Tao dia sudah tahu.   Tentu saja dia tahu, bukankah dia termasuk orang kepercayaan keluarga Murong yang disusupkan ke dalam keluarga Huang? Bahkan disusupkan sejak dia masih muda.   Kepada keluarga Murong dia terikat oleh hutang budi, bahkan berhutang nyawa.   Kepada Ding Tao dia merasakan kasih seorang ayah kepada anaknya.   Sejak dia bekerja dalam keluarga Huang, dia sudah menjaga hatinya dari segala perasaan simpati kepada orang-orang dalam keluarga Huang.   Meskipun dia bersikap baik kepada setiap orang, tapi dalam hatinya dia sudah membangun sebuah tembok bagi mereka.   Tak akan dia menangisi kepergian mereka.   Tapi Ding Tao berbeda, tak pernah dia berpikir Ding Tao kecil akan menjadi seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, seorang tokoh besar yang punya arti untuk dimanfaatkan dan harus disingkirkan jika menjadi berbahaya.   Itu sebabnya tidak ada tembok terbangun di antara dirinya dan Ding Tao.   Setiap manusia membutuhkan hangatnya kasih sayang, entah lewat hubungan keluarga atau persahabatan.   Tabib Shao Yong menutup pintu itu terhadap semua orang, jauh dalam hatinya tentu saja dia menderita.   Hingga hadir Ding Tao kecil, seorang anak yatim piatu yang dididik dengan keras oleh orang tuanya untuk mengerti budi dan kewajiban.   Tabib Shao Yong jatuh hati pada pandangan pertama.   Hatinya yang kosong tiba-tiba terisi dengan kehangatan.   Dia bukan seorang peramal, tak dapat dia tahu, bahwa pada akhirnya dia harus ditempatkan di situasi yang memilukan hatinya.   Bukan hanya kesetiaan pada keluarga Murong yang menahan lidah Tabib Shao Yong, tapi juga betapa rapat dan betapa kuat sesungguhnya keluarga Murong.   Sungguhpun dia ingin melepaskan Ding Tao, dia juga tidak melihat jalannya.   Jika Ding Tao melawan, maka setitik kecil harapan dia untuk menyelamatkan Ding Tao mungkin akan hilang pula.   Sebuah bungkusan dia berikan pada Ding Tao, segenap harapannya agar pemuda itu selamat, ada dalam bungkusan itu.   Selama hari ini bisa dilewati tanpa Ding Tao mati oleh pedang, pemuda itu masih punya harapan.   Dengan pemikiran ini, langkah kaki Tabib Shao Yong jadi lebih mantap.   Segenap yang dia bisa lakukan, sudah dia lakukan.   "Anak Tao, tersenyumlah sedikit, jika tidak nanti Ying Ying kira kau bersedih menikah dengannya.   Atau jangan-jangan memang benar demikia? Kata orang satu isteri saja sudah cukup untuk membuat pusing seorang laki-laki dan sekarang kau malah hendak menikahi isteri yang ketiga.", ujar Tabib Shao Yong ketika melihat wajah sedih Ding Tao.   Digoda demikian, Ding Tao pun tersipu malu.   "Tabib Shao, kau bisa saja."   Malu, tapi setidaknya sekarang wajahnya sudah ceria kembali.   Dengan senyum di wajah, Ding Tao berjalan menuju ke gedung tempat perayaan akan dilakukan.   Jauh sebelum memasuki gedung, dia disambut oleh para tamu, menerima ucapan selamat, membalas salam dan segala keramaian yang biasa ditemukan dalam perayaan pernikahan.   Di antara puluhan pengunjung yang tidak mendapatkan tempat di dalam gedung, terselip tujuh orang yang mengawasi kedatangan Ding Tao dengan hati berdebar.   Mengkhawatirkan nasib dari pemuda itu, juga nasib Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang berada di dalam gedung.   Meskipun dua orang itu memiliki ilmu silat tanpa tanding, tapi di dalam sana, ada berapa jumlah lawan dan ada berapa jumlah kawan semuanya masih gelap.   Setelah melewati sekian banyak orang, akhirnya sampai juga Ding Tao di ruang utama, kedatangannya segera disambut oleh orang-orang terdekatnya.   Mereka yang sudah berjuang sejak awal hingga sampai kedudukan Ding Tao yang sekarang ini.   "Mana, pengantin wanitanya, apakah sudah tiba?", tanya Wang Xiaho dengan wajah memerah sudah terlalu banyak minum arak.   "Hahaha, masa Ketua Ding Tao yang hendak menikah, Tetua Wang yang lebih dahulu tidak sabar untuk bertemu dengan pengantin wanitanya.", sahut Fu Tong sambil tertawa terbahak-bahak.   Chou Liang hanya menggelengkan kepala melihat itu semua, ada sedikit rasa iri dalam hatinya, tapi yang sedikit itupun cepat-cepat dia singkirkan.   Bagaimanapun juga, jika tidak ada Ding Tao, sampai sekarang mungkin dia masih menelusuri gang-gang sempit di Wuling dengan hati acuh tak acuh melihat orang-orang di sekelilingnya.   Demikian Ding Tao merasa berbahagia, dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya, satu pandangan, satu cita-cita.   Ada Chou Liang, Pendeta Liu Chuncao, Ma Songquan dan Chu Linhe, Wang Xiaho, Chen Wuxi, Fu Tong, Sun Gao dan Sun Liang, Qin Baiyu dan ayahnya Qin Hun dan masih ada puluhan orang lainnya lagi yang berkumpul di sekeliling Ding Tao.   Untuk beberapa lamanya mereka tertawa riang, sebelum perlahan-lahan sadar, betapa senyap suasana dalam gedung itu.   Hanya mereka saja yang terdengar suara tawanya.   Kesadaran itu datang perlahan, diikuti dengan perasaan seram yang merayapi hati mereka sedikit demi sedikit.   Tanpa ada yang mengatur, setiap orang berdiri membentuk lingkaran, menghadap keluar, memandangi wajah-wajah dingin yang mengepung mereka.   Tidak semuanya mengepung mereka, setidaknya ada sekelompok kecil, yaitu mereka yang datang dari Wudang dan Shaolin, tapi sisanya memandang mereka seperti sekelompok serigala memandangi mangsanya.   Suara Bhiksu Khongzhen yang berwibawa, seketika itu juga terdengar bergaung rendah memenuhi ruangan.   "Ada apa ini? Sudahkah kalian semua kehilangan akal? Mengapa sikap kalian tiba-tiba berubah dalam sekejap mata? Atau jangan-jangan kalian semua sudah merencanakan sesuatu?"   Zhong Weixia sebagau orang yang paling senior dalam kumpulan itu maju ke depan dan menjawab pertanyaan Bhiksu Khongzhen.   "Bhiksu Khongzhen, tidak salah kalau kau mengatakan kami sudah merencanakan ini semua. Memang kami sudah berencana untuk menangkap seorang pengkhianat, penipu, pembunuh anak-anak dan orang tua, seorang bertopeng kebaikan namun busuk di dalam. Orang ini sangat berbahaya bagi dunia persilatan, oleh karena itu kami semua sepakat untuk menangkapnya." " sebenarnya kami ingin membunuhnya, tapi karena seseorang, kami memutuskan, cukup asalkan orang ini ditahan sehingga tidak bisa lagi membahayakan orang lain.", sambung Zhong Weixia setelah berhenti sejenak. Begitu mendengar perkataan Zhong Weixia, Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan pun bisa meraba apa yang akan terjadi sebentar lagi, tapi dua tokoh itu memang sudah matang batinnya, tak mudah tergoncang dengan berbagai macam bahaya. Suara Bhiksu Khongzhen pun tetap tenang saat bertanya dan menegur Zhong Weixia. "Ketua Zhong Weixia, siapa orangnya yang kau maksudkan? Kuharap kalian tidak sembarangan menuduh orang, tanpa bukti yang jelas.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan tegas. Mendengar ketegasan dalam suara Bhiksu Khongzhen itu, beberapa orang tokoh yang sudah memberikan kata setuju pada Zhong Weixia tampak meragu. Terlihat dari cara mereka menengok ke arah Zhong Weixia, mencari kepastian dari Ketua Kongtong tersebut. Zhong Weixia hanya tersenyum sinis, melihat keraguan mereka, membuat mereka itu menundukkan wajah tersipu malu. "Bhiksu Khongzhen, jika kami tidak memiliki bukti yang kuat, mana mungkin kami berani bergerak, karena orang yang hendak kami tangkap tersebut adalah Wulin Mengzhu, Ketua Partai Pedang Keadilan, Ketua Ding Tao.", tegas Zhong Weixia menjawab tanpa keraguan sedikitpun, membuat beberapa orang yang tadinya terombang-ambing kembali yakin dengan keputusan mereka. "Bagus kalau memang kau memiliki bukti yang kuat, mari kita adakan pengadilan terbuka sekarang juga. Jika tidak jangan harap, kami dari Shaolin dan Wudang berdiam diri saat kalian hendak melaksanakan rencana keji kalian!", geram Pendeta Chongxan membuat beberapa orang mundur beberapa tindak. Wibawa dua orang tokoh besar itu memang sulit ditandingi di masanya, bahkan Ding Tao yang menjadi Wulin Mengzhu pun belum sempat menancapkan wibawa dan reputasi seperti dua orang tokoh besar itu dalam dunia persilatan. Jika tidak, mana mungkin ada begitu banyak orang yang sanggup dihasut oleh Zhong Weixia untuk berbalik memusuhi Ding Tao setelah beberapa bulan sebelumnya mereka bersumpah setia pada Ding Tao. Murong Yun Hua memang bergerak cepat atau nasib yang mempermainkan Ding Tao? Kemunculan dua bersaudara Huang dan gurunya Hua Ng Lau, memaksa Murong Yun Hua memainkan kartu ini. Seandainya tidak, tentu Murong Yun Hua akan terus membantu Ding Tao memupuk namanya, sembari kuku-kukunya semakin dalam mencengkeram. Apakah ini nasib baik? Ataukah ini nasib buruk? Baikkah bila namanya terus membubung tinggi, namun satu hari dia bangun dan tersadar seluruh hidupnya berada di bawa permainan orang lain? Burukkah nasibnya, karena sebentar lagi seluruh pekerjaannya yang dibangun dengan susah payah akan hancur dalam semalam, namun di saat yang sama dia lepas dari rencana orang untuk menjadikan dia seorang kaisar boneka? Di saat yang genting itu, muncul dua orang sosok masuk ke dalam ruangan, dengan senyum kemenangan Zhong Weixia memandang ke arah mereka berdua.   "Bhiksu Khongzhen Pendeta Chongxan orang bilang kemampuan kalian dalam menilai seseorang tidak tertandingi. Kuharap mulai hari ini kalian lebih rendah hati. Bukti yang kalian minta, bukan aku yang akan membeberkan ada yang lebih pantas, biarlah mereka berdua yang menjelaskan semuanya."   Dengan sendirinya mata setiap orang mengikuti arah pandangan Zhong Weixia dan jatuh ke arah dua orang tersebut, Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua.   Melihat kehadiran Huang Ren Fu dan Murong Yun Hua berbagai macam perasaan bergejolak dalam hati Ding Tao dan kawan-kawannya.   "Zhong Weixia, kau jelaskan sekarang juga, apa maksudmu ini? Atas dasar apa kau menuduhku? Atas kejahatan apa kau hendak menangkapku?", suara Ding Tao menggelegar memenuhi ruangan.   "Ding Tao! Masihkah kau mau berpura-pura ? Jangan mengelak lagi, kaulah yang ada di belakang pembunuhan keluarga Huang di Wuling!", ujar Huang Ren Fu dengan suara tidak kalah kerasnya, telunjuknya menunjuk lurus ke arah Ding Tao.   Dengan bibir menggeletar menahan emosi Ding Tao menjawab.   "Ren Fu, sungguh aku memang tidak mengerti aku tidak percaya perkataan bohong apa yang sudah disampaikan orang bermarga Zhong itu padamu? Yun Hua kenapa kau juga ikut percaya?"   Murong Yun Hua tampak terhuyung lemas, untung Huang Ren Fu dengan cepat menangkap tubuhnya.   Bersandar beberapa lama pada Huang Ren Fu, tampak Murong Yun Hua mendapatkan kembali kekuatannya, dengan suara yang sedikit bergetar namun dengan kalimat yang tertata rapi, dia menjawab pertanyaan Ding Tao.   "Ding Tao, dari penuturan Saudara Huang Ren Fu, menurut kisahmu kau sedang menyembuhkan lukamu saat pembunuhan itu terjadi.   Namun aku tahu sendiri, pada saat itu lukamu telah sembuh.   Beberapa kali kau datang dan pergi ke kediaman kami, kepergianmu justru tepat sekali waktunya dengan terjadinya pembunuhan di Wuling." "Kedua, saat bertemu denganku, kau mengaku sedang dikejar oleh sepasang tokoh dari aliran sesat, yaitu mereka yang dikenal sebagai Sepasang Iblis Muka Giok, jadi bagaimana penjelasanmu, jika sekarang ternyata mereka bekerja di bawah perintahmu?" "Ketiga, aku sudah memeriksa salah satu kitab yang dulu pertama kau pinjam dari perpustakaan keluarga Murong, di dalamnya aku melihat ada cara pembuatan Obat Dewa Pengetahuan.   Apakah kau akan menyangkal bahwa kau sudah menggunakan obat itu untuk meningkatkan kemampuanmu dalam menyerap ilmu-ilmu yang ada?" "Dan yang lebih keji, setelah kau menyadari, adanya efek samping yang membuat orang ketagihan terhadap obat itu, kau dengan sengaja menyebarkannya pada anggota-anggota baru Partai Pedang Keadilan yang kau ragukan kesetiaannya!"   Ding Tao tentu saja tidak mengerti semuanya ini, dengan wajah pucat pias dia menggelengkan kepala dan menjawab.   "Yun Hua, kau salah, kau bagaimana kau bisa berkata demikian? Aku bukankah"   Sebelum Ding Tao sempat membela diri sendiri, beberapa orang sudah maju ke depan, mereka adalah orang-orang Partai Pedang Keadilan di cabang Gui Yang yang mengkonsumsi Obat Dewa Pengetahuan.   "Ding Tao, jangan lagi menyangkal, lihat, mereka ini telah mengakui sendiri, bagaimana kau sudah mempengaruhi mereka untuk mengkonsumsi obat sesat itu.", ujar Murong Yun Hua dengan keras.   Belum ladi Ding Tao membuka mulut, maju pula ke depan beberapa orang anak murid Perguruan Kunlun dan kali ini Guang Yong Kwang yang berkata dengan suara menggelegar.   "Bukan saja anak murid partaimu sendiri, kau bahkan mempengaruhi pula anak murid perguruan kami!"   Belum mereda gema suara Guang Yong Kwang, maju lagi, kali ini dari perguruan Hoasan dan Tetua Xun Siaoma yang berkata dengan lantang.   "Ding Tao! Tadinya aku percaya kau lelaki sejati, namun apa yang kudapat, kau sudah menyusupkan obat sesatmu itu pada anak murid perguruan Hoasan. Sudahkah kau lupa pada budi baik perguruan kami padamu, ketika kau baru saja belajar berdiri?!"   Dan sebagai penutup, majulah adik seperguruan Bhiksu Khongzhen, Biksu Khongbu, bersama empat orang bhiksu shaolin, menyeret Shao Wang Gui yang tertatih-tatih mengikutinya dari belakang.   "Jika Ketua Ding Tao merasa masih mau mengelak dari kenyataan, maka apa Ketua Ding Tao masih mau mengelak lagi, lhat setan inipun sudah mengakui siapa orang ke-lima yang memimpin penyerbuan keluarga Huang di Kota Wuling."   Dengan sedikit keras dia mendorong Shao Wang Gui ke depan, sehingga setan tua kecil itu pun jatuh terhuyung-huyung, kemudian dengan suara parau Shao Wang Gui pun berkata,"Ding Tao, Ketua Ding Tao-lah yang menjadi dalang di belakang kejadian itu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Pan Jun dari Hoasan sama sekali tidak terlibat, justru dia hendak membongkar topeng Ketua Ding Tao.   Hanya saja, keburu Ketua Ding Tao berhasil menutup mulutnya.   Orang-orang keluarga Huang yang terbunuh oleh Pan Jun adalah mereka yang sudah berkomplot dengan Ketua Ding Tao, menghianati keluarga Huang."   Suasana pun jadi semakin riuh ramai dengan pengakuan Shao Wang Gui tersebut.   Selain pihak Shaolin dan Wudang ada cukup banyak tamu yang tidak tahu menahu, tidak termasuk pada pihak Shaolin, tidak juga mengikut pihak Khongtong, mereka inilah yang sekarang riuh ramai, mulai mencaci maki Ding Tao dan pengikut setianya.   Orang-orang yang berada di pihak Khongtong dan sudah mendengarkan kesaksian-kesaksian ini dari pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia, ikut pula menambahi bumbu-bumbu dalam cerita yang disampaikan.   Sebagian memang karena merasa dengki pada Ding Tao, tapi tidak sedikit pula yang memang mengira bahwa kesaksian itu benar adanya.   Dan kenapa tidak, mereka yang maju memberi kesaksian adalah anak murid perguruan ternama seperti Kunlun dan Hoasan.   Bahkan isteri Ding Tao yang terkenal setia pun ikut memberikan kesaksian yang memberatkan Ding Tao.   Bhiksu Khongbu pun memberi hormat pada Bhiksu Khongzhen dan berkata pula.   "Ketua, seperti yang ketua lihat, Ketua Ding Tao tidak bisa dipercaya. Maafkan kami jika baru menyampaikannya sekarang. Iblis tua itu baru membuka mulut setelah Ketua pergi menuju ke Jiang Ling. Mendengar pengakuannya, kami pun, sesegera mungkin berusaha menyusul ketua, namun masih juga terlambat, sehingga setelah perayaan dilakukan baru kami sampai di Jiang Ling. Tapi langit benar tidak buta, sehingga meski kami terlambat tapi sudah ada banyak saudara lain yang menyibak topeng Ketua Ding Tao."   Ucapan ini tentu saja tidak benar, seperti yang sudah kita ketahui mereka sudah sampai sebelumnya.   Tapi mereka yang mengetahuinya pun tidak berani membuka mulut, meskipun ada pula yang bertanya-tanya dalam hati, apakah ada perpecahan dalam Biara Shaolin sendiri? Bhiksu Khongzhen yang tidak mau membocorkan keberadaan enam orang sahabat pengikat enam perguruan besar dan Wang Shu Lin pun berpura-pura menerima penjelasan Bhiksu Khongbu.   "Hmm baguslah kalau benar yang adik katakan, sehingga Shaolin tidak sampai membela orang yang bersalah. Tidak perlu menyesal karena datang terlambat, karena bukankah sebenarnya kalian tidak terlambat? Kalaupun tidak ada saudara lain yang bersaksi, bukankah kedatangan kalian masih tepat waktunya?"   Bhiksu Khongbu mendengarkan dengan hati berdebar, apa ada maksud terselubung di balik jawaban Bhiksu Khongzhen itu? "Terima kasih ketua, tapi memang sepertinya kedatangan kami tidak banyak berarti", jawabnya berpura-pura rendah hati, meskipun jantungnya belum mau diminta tenang.   "Hmm..   sudahlah, sekarang mari kita dengar apa jawab Ketua Ding Tao terhadap tuduhan-tuduhan ini.", ujar Bhiksu Khongzhen dengan berwibawa.   Bhiksu Khongbu pun menghela nafas lega karena Bhiksu Khongzhen tidak memperpanjang lagi masalah kedatangannya dan dengan perkataannya itu, perhatian setiap orang sekarang beralih pada Ding Tao.   "Ketua Ding Tao ada begitu banyak orang datang dengan tuduhan padamu.   Apakah kau memiliki pembelaan atas tuduhan mereka?", tanya Pendeta Chongxan setelah suasana mereda.   Chou Liang yang sudah mulai bisa berpikir lebih tenang, sejak tadi mengerutkan alis dan berpikir dengan keras, ketika suasana mulai tenang dan semua orang menantikan jawaban dari Ding Tao, berkatalah dia kepada Ding Tao.   "Ketua Ding Tao, kita tahu semua tuduhan itu adlah bohong belaka. Hanya saja mengapa sampai nyonya ikut pula menuduh ketua demikian, ini yang tidak masuk akal. Yang lain tentulah kesaksian palsu saja, tapi bagaimana mungkin Nyonya Murong Yun Hua ikut pula di dalamnya. Tentu ada yang memaksanya. Coba lihat, di mana Murong Ding Yuan? Di mana Nyonya Murong Huolin? Demikian juga Nyonya Hua Ying Ying dan gurunya, waktu sudah berjalan sedemikian lama, tak seorang pun terlihat. Jangan-jangan ada orang menyekap mereka dan memaksa Nyonya Murong Yun Hua dan Tuan muda Huang Ren Fu untuk bersaksi melawan ketua."   Ucapan Chou Liang itu ditujukan kepada Ding Tao saja, tapi suaranya disengaja cukup keras sehingga setiap orang yang hadir di ruangan itu bisa mendengarnya.   Di mata Chou Liang Murong Yun Hua adalah seorang dewi dari kahyangan.   Sehingga menilik dari situasi yang terjadi, itulah yang terpikirkan olehnya.   Pikiran yang sama bukannya tidak lewat di benak Ding Tao, tapi justru hal itu membuat Ding Tao tidak berani membuka mulutnya, karena mengkhawatirkan mereka yang menjadi sandera.   Tidak demikian bagi Chou Liang, yang terpenting justru nama Ding Tao dan keselamatannya.   Lagi pula dengan membuka kemungkinan tersebut, Ding Tao dan mereka yang berada di pihaknya justru memiliki kebebasan untuk bertindak dan membebaskan Murong Yun Hua dari paksaan lawan.   Akibat dari perkataan Chou Liang itu, suasana kembali menjadi ramai, mereka yang tidak berada di pihak Zhong weixia kembali meragu dan memandang ke arah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan yang dari sikapnya terlihat condong membela Ding Tao.   Dalam hati Murong Yun Hua dan Zhong Weixia memuji kecerdikan Chou Liang, hanya dengan beberapa kalimat, orang itu bisa membalikkan kembali keadaan.   Zhong Weixia pun dengan segera angkat bicara sebelum keadaan berubah menguntungkan Ding Tao lebih jauh lagi.   "Hmph! Kau bisa berkata macam-macam, kenyataannya orang-orang yang kau sebutkan itu berada dalam keadaan baik-baik saja. Mereka tidak datang karena masih sulit menerima kenyataan dan tidak tega melihat kebusukan Ketua Ding Tao dibongkar. Jika memang dikehendaki, biarlah dari pihak Shaolin menjemput mereka di tempat mereka berada sekarang ini. Jangan kami yang menjemput, supaya jangan pula orang mengira kami sedang mengancam mereka." "Tadpi ada dua kesaksian penting yang bisa dibuktikan dengan jelas tanpa kehadiran mereka. Benarkah Ketua Ding Tao menggunakan obat sesat untuk meningkatkan ilmunya? Untuk membuktikan ini, Tabib dewa Hua Ng Lau bisa dipanggil untuk memeriksa nadinya dan memberikan keterangan. Yang kedua, benarkan dua iblis sesat, sepasang kekasih cabul, iblis muka giok bekerja untuk Ketua Ding Tao? Bukankah mereka berdua sekarang ini ada di sini pula, meskipun dengan samaran. Apakah perlu kami menunjuk muka, atau mereka mau maju sendiri ke depan?", sambung Zhong Weixia penuh kemenangan. "Ketua Ding Tao, apa jawabmu terhadap dua hal itu?", tanyanya dengan seringai mengejek di wajahnya. Terhadap pertanyaan Zhong Weixia itu, termangu-mangu Ding Tao tak bisa menjawab. Tentang obat dewa pengetahuan, memang dia pernah meminumnya. Meskipun dia tidak sadar, bahwa selama ini dia masih terus menerus mengkonsumsi obat itu lewat berbagai cara, tapi ragu juga dalam hatinya apakah efek dari obat itu tidak tersisa dan terdeteksi oleh Hua Ng Lau. Apalagi ketika ditanya mengenai sepasang iblis muka giok. Selagi dia termangu, Ma Songquan dan Chu Linhe pun berkata dengan lantang. "Memang kami berdua, sepasang iblis muka giok telah lama mengikut Ketua Ding Tao. Tapi hal ini adalah di luar tahunya, bukankah kalian semua tidak akan pernah tahu siapa kami ini dengan samaran yang kami pakai sekarang? Jadi bagaimana Ketua Ding Tao bisa tahu siapa kami ini sebenarnya?", demikian ucap Ma Songquan membuat geger suasana. Selama malang melintang sebagai tokoh sesat, sudah ada banyak dendam dia tebarkan, sekarang begitu banyak tokoh persilatan berkumpul, tentu tidak sedikit yang menyimpan dendam pada sepasang iblis itu dan teriakan-teriakan pun mulai muncul di antara mereka semua. "Jika Ketua Ding Tao benar tak bersalah, serahkan sepasang iblis itu pada kami untuk kami cincang!!", seru salah seorang tokoh yang datang pada pertemuan rahasia yang diadakan Zhong Weixia. Orang ini dan beberapa orang lain, sengaja diundang karena permusuhan mereka dengan Sepadang Iblis Muka Giok. Dengan satu seruan itu, segera saja suasana jadi ramai oleh teriakan-teriakan lain yang bernada sama. Belum lagi reda suasana, terlihat Murong Huolin menggendong putera Ding Tao, Murong Ding Yuan bersama dengan Hua Ying Ying dan Hua Ng Lau memasuki ruangan dan diantarkan ke tempat Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Beberapa orang yang melihat kehadiran mereka, dengan segera menunjuk dan menyampaikan kabar itu pada yang lain. Suasana pun menjadi semakin riuh rendah dengan hujatan, semakin yakinlah mereka pada tuduhan-tuduhan yang disampaikan kepada Ding Tao. "Ding Tao menyerahlah! Serahkan dirimu utuk ditangkap, aku berjanji tidak akan ada yang melukai dirimu maupun pengikut-pengikut setiamu!", suara Murong Yun Hua tiba-tiba terdengar lantang dan disambut riuh suara orang. Chou Liang menatap tajam ke arah Murong Yun Hua, pikirannya menghitung-hitung setiap kemungkinan. Memandangi wajah Murong Yun Hua yang menyiratkan ekspresi kemenangan. Melihat cara Murong Yun Hua menyandarkan diri pada bahu Huang Ren Fu. Mengingat kembali setiap kejadian-kejadian yang berhubungan dengan Murong Yun Hua. Dan sebuah perasaan ngeri, serta nyerinya dikhianati menyusup ke dalam hatinya. Dengan suara tertahan dia menarik keras lengan Ding Tao dan berbisik.   "Ketua Ding Tao jangan menyerah, cepat lari! Kita sudah dikhianati orang! Kita sudah dijebak! Cepat lari!"   Suaranya makin lama makin keras, menyadarkan setiap orang di sekeliling Ding Tao.   Meskipun mereka belum sampai memahami seluruhnya pemikiran Chou Liang, keadaan di sekeliling mereka sudah memberi tahukan pada mereka kebenaran dari perkataan Chou Liang.   Bersamaan mereka pun berseru dan yang dekat dengan Ding Tao berusaha menarik- narik lengan pemuda itu.   "Ketua! Sadarlah! Lari, pergi sekarang juga!"   Ma Songquan dan Chu Linhe yang sempat tercenung memandangi wajah Murong Yun Hua, tiba-tiba meraung marah, sambil menggerung hebat mereka tiba-tiba menggebrak kepungan terdekat.   "Buka jalan untuk Ketua Ding Tao!!!"   Mendengar seruan ini, terbangkitlah semangat juang setiap pengikut Ding Tao yang setia, jumlah mereka tidak lebih dari tiga puluh orang, namun kemarahan mereka sempat membuat ngeri setiap orang sehingga jalan pun terbuka untuk sesaat.   Tapi di pihak lawan ada Zhong Weixia dan Guang Yongkwang, bahkan ada pula bersama mereka Tetua Xun Siaoma dan ketua partai pengemis Bai Chungho, dengan cepat jalan itu pun menutup kembali.    Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini