Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 54


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 54


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   "Bagus sekali pemikiran kalian, hmm tapi jika kalian bisa mengendus jejak kami, lawan-lawan kita pun bukan anak kemarin sore. Terbukti lebih dari satu kali kami dipergoki orang.", ujar Ding Tao sembari berpikir. Hal yang sama sudah beberapa kali dibicarakan, namun hal itu tidaklah terelakkan, mereka sudah mencoba mengambil jalan memutar, tidak mungkin mereka terus berputar-putar karena semakin lama mereka sampai ke perbatasan semakin kecil pula peluang mereka untuk mencegah Murong Yun Hua berkuasa. "Ketua Ding Tao jangan kuatir, kamipun sudah memikirkan hal itu, jadi sudah beberapa lama ini, kami membagi tugas dan dengan sengaja menyebarkan pula desas-desus palsu yang mengaburkan jejak Ketua Ding Tao.", ujar Shin Su, sekali lagi dengan rasa bangga. "Benar ketua, bahkan ada dua kali kami berhasil melenyapkan kelompok yang serupa di daerah yang menyimpang dari arah perjalanan ketua.", ujar seorang yang lain, diikuti anggukan kepala Shin Su dengan penuh semangat. Mendengar jawaban Shin Su itu pun wajah Ding Tao dan Zhu Yanyan menjadi cerah. "Bagus, bagus sekali, kalian benar-benar kelompok bentukan Saudara Chou Liang, otak kalian sungguh lincah.", puji Ding Tao membuat dada setiap pengikutnya mengembang oleh rasa bangga. "Bagus, kalau begitu masalahnya jadi lebih mudah. Nah dengarkanlah kalian semua, kami saat ini sedang menuju ke Desa Hotu yang berada di luar perbatasan. Ini semua sesuai dengan amanah dari Tetua Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Setelah kalian tahu ini, tentu kalian tahu dan menentukan sendiri, di mana dan dengan cara apa bisa berhubungan dengan kami.", ujar Ding Tao. "Baik ketua, kami mengerti", ucap Shin Su. "Bagus, nah sekarang aku memiliki beberapa tugas untuk kalian.", ujar Ding Tao lagi. "Kami siap melaksanakan", jawab Shin Su dengan tegas. "Yang pertama, aku ingin kalian meneruskan usaha kalian untuk mengaburkan keberadaan kami. Aku percayakan tentang bagaimana caranya pada kalian semua." "Yang kedua, ada satu surat untukku dari Tabib Shao Yong, yang aku yakin akan menarik bagi kalian. Seperti yang nanti kalian baca dalam surat ini, kita memiliki saksi kunci yang mungkin bisa kita gunakan. Aku ingin kalian secara berhati-hati, berusaha memeriksa kebenaran dari hal ini dan sebisa mungkin mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai keberadaan saksi kunci kita ini.", ujar Ding Tao sambil menyerahkan surat dari Tabib Shao Yong yang masih dia simpan kepada Shin Su. "Simpan surat itu baik-baik, itu adalah bagian dari bukti bahwa kita telah dijebak orang.", ucap Ding Tao pada Shin Su dijawab dengan sebuah anggukan. "Baik ketua, apakah masih ada tugas lain untuk kami?", jawab Shin Su. "Ya, kita semua tentu sampai pada kesimpulan bahwa isteriku Murong Yun Hua telah mengkhianatiku. Tapi selain dia, masih adakah orang yang tidak termasuk dalam rencananya, mereka yang masih bersimpati padaku, meskipun secara diam-diam dari antara apa yang tersisa dari partai kita? Aku ingin kalian memeriksa hal ini. Jika kalian menemukan orang-orang seperti ini, jangan kalian menemui mereka, jalian cukup kumpulkan namanya dan biarkan aku yang nanti menemui mereka. Aku ingin keberadaan kalian tetap menjadi rahasia bagi semua orang." "Baik ketua, kami mengerti", ucap Shin Su dengan takzim. "Lalu tugas terakhir untuk saat ini, kalian tahu ada lebih dari satu orang yang bekerja sama entah di bawah kendali Nyonya Murong Yun Hua atau sebagai sekutu yang sederajat. Aku ingin kalian mencari tahu, apa motivasi mereka, apa pertalian di antara mereka, adakah persaingan di antara mereka, adakah mereka mengikut karena terpaksa dan sebagainya. Singkat kata, aku ingin kalian mencari celah dan retakan dalam persekutuan ini. Kalian mengerti?", ujar Ding Tao. Wajah Shin Su pun menjadi cerah, keyakinannya pada perkataan Chou Liang semakin tebal. Ketua Ding Tao yang dia lihat sekarang benar-benar pantas dipanggil sebagai ketua. Dengan penuh semangat dia pun menganggukkan kepala.   "Baik, kami mengerti ketua, kami akan segera mulai melaksanakannya." "Bagus, pergilah kalian sekarang, tapi ingat baik-baik. Lakukan dengan sangat berhati-hati, jumlah kita sudah jauh di bawah lawan, tidak boleh berkurang satu orang pun.", ujar Ding Tao memperingatkan. "Kami mengerti ketua, kami pergi sekarang.", ujar Shin Su diiringi pula oleh kawan-kawannya yang lain. "Sebagai tanda pengenal, apabila kami mengirim seseorang maka ketua harus bertanya seperti ini", ujar Shin Su sambil memberikan secarik kertas sebelum pergi. Ding Tao melihat sekilas isi kertas itu yang berisi tanya jawab, sebagai sandi pengenal, dia pun tersenyum puas.   "Bagus, baik aku mengerti."   Shin Su pun tersenyum dan berkata pula.   "Setiap kali ada utusan yang menemui Ketua Ding Tao, tentu dia akan memberikan secarik kertas berisi sandi untuk utusan yang berikutnya. Harap ketua mengingatnya baik-baik." "Aku mengerti", jawab Ding Tao sambil balas tersenyum. "Ketua kami pergi sekarang.", ujar Shin Su sambil membungkuk hormat, satu per satu mereka berpamitan dan pergi meninggalkan Ding Tao dan rombongannya. Menunggu tidak satu pun dari mereka terlihat lagi, melompatlah keluar Hu Ban, Pang Boxi, Khongti, Chen Taijiang dan Shu Sun Er dari tempat persembunyian mereka. Khongti keluar dengan tawa lebar dan menepuk-nepuk pundak Ding Tao dengan riang.   "Kejutan bagus! Kejutan bagus! Alih- alih harus membunuh orang, ternyata kita justru mendapat kawan seperjuangan." "Benar sekali kata Kak Khongti, ini kejutan yang bagus, benar-benar menggembirakan.", sahut Hu Ban pula. Begitulah mereka saling memberi semangat dan tertawa lepas, keprihatinan dan ketegangan yang mewarnai perjalanan mereka selama beberapa hari ini tersapu habis oleh pertemuan mereka dengan Shin Su dan kawan-kawannya. Ding Tao yang ikut larut dalam kegembiraan mereka, memandang ke sekelilingnya dan mendapati wajah-wajah yang cerah. Dan kesadaran pun menyelip ke dalam hatinya, tidak seorang pun dari mereka merasa senang harus membunuh orang. Sejak peristiwa di Jiang Ling, dalam benaknya, seisi dunia persilatan seakan hanyalah soal bunuh membunuh. Tapi peristiwa hari ini sekali lagi menyadarkan dia, ada banyak orang seperti dirinya, seperti Wang Jianho, seperti Guru Chen Wuxi, bahkan seperti Ma Songquan dan Chu Linhe. Mereka semua sudah bosan dengan bunuh membunuh, tidak semuanya yang hidup dalam dunia persilatan, mengejar nama besar dan reputasi. Ada juga yang hidup di dalamnya sekedar untuk mencari penghidupan bagi dirinya dan keluarga. Ada pula yang ada di dalamnya karena kecintaan pada seni pedang. Ada orang-orang seperti ke-enam guru Wang Shu Lin. Ada dirinya, impiannya mungkin jauh dari kenyataan, tapi dia tidak sendirian. Ding Tao pun ikut tertawa lepas. Ada kelegaan, ada beban yang terlepas dari hatinya. Di satu sisi dia semakin menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang ketua dari sebuah partai, tanggung jawabnya atas harapan dan kepercayaan yang diletakkan di pundaknya. Di satu sisi dia menyadari betapa berat dan banyaknya halangan bagi dirinya untuk mencapai tujuan yang dia inginkan. Tapi di sisi lain dia melihat bahwa dia tidak sendirian. Dia bukan seorang diri melawan seluruh dunia persilatan, ada banyak orang dalam dunia persilatan yang memiliki pendirian serupa dengan dirinya. Setidaknya mereka memiliki kecenderungan yang sama dengan dirinya. Hari itu Ding Tao baru benar-benar merasa terbuka matanya, atas kedudukan yang telah dia pilih, entah oleh karena nasib atau memang benar-benar merupakan pilihannya sendiri. Yang pasti inilah dia yang sekarang dan inilah jalan yang dia pilih, dia tahu halangannya, dia tahu keinginannya dan dia tahu berapa keras dan berliku jalan yang harus dia tempuh untuk mencapai tujuannya. Perjalanannya boleh jadi panjang, tapi sekarang dia sudah memahami dengan jelas, di mana dia berada dan mau ke mana dia pergi. Betapa banyak orang yang hidup tanpa tahu, di mana dia berada dan hendak pergi ke mana dia, seperti ikan yang mati, yang bergerak hanya mengikuti arus sungai. Perjalanan ke Desa Hotu masih beberapa hari lamanya, tapi yang beberapa hari itu terasa sangatlah singkat. Tidak lagi mereka berjalan dengan beban berat di hati, meski kewaspadaan tidak menjadi hilang, namun satu kebaikan bisa menghapuskan banyak beban dan membuat langkah kaki menjadi lebih ringan. Melewati segala macam pengalaman, kecil dan besar, mendapatkan berbagai macam pencerahan baik kecil maupun besar, akhirnya sampai juga mereka ke Desa Hotu. Jika Ding Tao untuk sementara ini merasa lepas dari berbagai macam kekhawatiran, maka nun jauh di sana Murong Yun Hua justru merasakan kegalauan. Kemenangan yang dia raih tidaklah memuaskan dirinya. Saat ini dia sudah berada di puncak kekuasaan. Tiga dari enam perguruan besar berada di bawah kekuasaannya. Kekuasaannya sendiri tidaklah kecil, pendekar yang bersenjatakan tombak berkait kemarin, tidaklah membuat ketika mengatakan bahwa Keluarga Murong memiliki kekuatan tersembunyi, sekelompok pendekar pilihan yang terlatih. Masih ada lagi yang berada langsung di bawah kekuasaannya, yaitu bagian dari Partai Pedang Keadilan yang memang sudah bersetia padanya dan bukan pada Ding Tao lewat satu dan lain cara. Tapi lolosnya Ding Tao hingga sekian lama berada di luar perhitungannya. Meski seharusnya tidak ada pula yang perlu dikhawatirkan, karena tanpa Obat Dewa Pengetahuan, dalam hitungan minggu Ding Tao akan menjadi tak ubahnya sesosok mayat hidup. Namun desas-desus yang beredar membuat dia merasa khawatir juga. Adakah dia salah perhitungan? Lagi pula sampai sekarang, orang-orang yang dia kirim tidak berhasil membawa Ding Tao ke hadapannya, entah dalam keadaan hidup atau mati. Malam itu Murong Yun Hua sedang menyisir rambutnya yang tebal dan panjang di dalam kamar, sendirian, berbicara pada dirinya sendiri yang berada di dalam cermin. "Apakah dia masih hidup?" "Apakah benar dia berhasil bebas dari pengaruh Obat Dewa Pengetahuan?" "Siapa yang membantunya?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?"   Dia bertanya dan bertanya, tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.   Dengan gemas dan gusar dia berdiri sambil melemparkan sikat rambutnya ke atas meja.   Seperti yang biasa dia lakukan, ditariknya ikat pinggangnya dan dia biarkan jubahnya terjatuh ke atas lantai.   Dipandanginya tubuhnya yang sempurna di depan cermin.   Entah setan dari mana yang datang, tiba-tiba yang terbayang dalam benaknya adalah Ding Tao yang sedang membelai tubuhnya.   Tubuhnya menggeletar, teringat pada sentuhan pemuda yang sempat menjadi suaminya itu.   Tiba-tiba Murong Yun Hua disergap rasa rindu yang tak pernah dia sadari ada dalam hatinya.   "Ding Tao", bibirnya bergetar memanggil nama itu.   "Tapi dia Cuma seorang pemuda yang bodoh seperti lelaki baik-baik lainnya, mereka bodoh dan rendah!", demikian dia bergumam, memaki kerinduan dalam hatinya.   Tapi benarkah pemuda itu bodoh? Jika benar, lalu mengapa dia merasa khawatir dengan tidak ditemukannya Ding Tao sampai saat ini?, sebuah pertanyaan terselip dalam hatinya.   Bukankah dia merasa khawatir, karena dalam hatinya dia mengakui ada potensi dalam diri Ding Tao yang bisa membuat dia menjadi lawan yang berbahaya?, sebuah bisikan lain bertanya pada Murong Yun Hua.   Tidak! Sudah pasti dia lelaki yang bodoh dan tak berharga.   Lelaki yang punya otak, hanyalah lelaki macam ayahnya, kejam, sadis, penuh ambisi, tidak berperasaan, bejat, dengan menggeram Murong Yun Hua menjawab keraguannya.   Sejenak tidak ada apa pun, hanya keheningan, lalu seperti setan yang tak puasnya menggoda manusia, sekali lagi sebuah pikiran menyelinap diam-diam, Jadi, maksudmu Ding Tao bukanlah lelaki demikian? Dia tidak seperti ayahmu, dia tidak keji, tidak kejam, tidak bejat, dia memiliki perasaan yang halus, dia memiliki cinta dia mencintaimu dengan tulus Dan hati Murong Yun Hua pun tiba-tiba merasa nyeri, nyeri sekali, di luar sadarnya sebuah bisikan pedih keluar dari bibirnya.   "Ding Tao"   Terdengarlah ketukan dari pintu dan Murong Yun Hua pun bergegas merapikan dirinya sebelum pergi membuka pintu.   Ternyata yang datang adalah Huang Ren Fu.   "Yun Hua aku rindu padamu", ujar pemuda itu dengan senyum penuh arti.   Biasanya Murong Yun Hua sudah mati rasa dengan hal-hal semacam ini, dengan mudah dia akan tersenyum, dan tak terlihat sedikitpun apa yang ada dalam hatinya tentang lelaki yang datang padanya dengan senyum dan pandang mata demikian.   Tapi tidak malam ini, wajahnya berubah masam, tiba-tiba hatinya merasa sebal, sedih, marah dan tak ada keinginan untuk menutupinya dengan sebuah senyuman mesra.   "Ren Fu, aku minta maaf, tapi jangan ganggu aku malam ini.   Aku aku sedang merasa galau.", ujarnya dengan tegas, namun masih sopan, bagaimana pun juga Murong Yun Hua masih memikirkan ambisinya dan Huang Ren Fu sekarang ada dalam rencananya.   "Oh", terkejut Huang Ren Fu, karena sebelumnya tak pernah Murong Yun Hua menolak kunjungannya.   "Ehm mungkin aku bisa menghiburmu eh kita bisa" "Tidak tidak bisa, sudahlah kembalilah ke kamarmu, aku mau istirahat sekarang.", ujar Murong Yun Hua lebih tegas dari sebelumnya dan tanpa menunggu jawaban dari Huang Ren Fu dia pun menutup pintu kamarnya.   Tertegun Huang Ren Fu berdiri dengan mulut terbuka, suara palang pintu kmar dipasang dari dalam terdengar jelas.   Perlahan wajahnya berubah, ada rasa marah dan malu di sana.   Untuk sesaat lamanya dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan, sampai kemudian dia berbalik arah dan pergi dengan berbagai macam perasaan dalam hatinya.   Di dalam kamar Murong Yun Hua melepaskan jubahnya, melemparkan diri ke atas pembaringan dalam keadaan polos, direngkuhnya apa saja yang bisa dia rengkuh dan peluk.   Rasa rindu tiba-tiba menyerang dengan hebat, penuh tangis sesal dia bertanya-tanya, mengapa dia baru sadar sekarang, Ding Tao bukanlah ayahnya.   Ding Tao bukanlah ayahnya dan jika terbukti bahwa pemuda itu bukan seorang bodoh yang tak berguna, itu artinya seluruh kebencian dan kejijikan yang dia bangun atas laki-laki, semuanya tidak berarti di hadapan pemuda itu.   Malam itu Murong Yun Hua tertidur dengan wajah penuh air mata dan bibir memanggil-manggil nama Ding Tao.   Di kamar yang lain Murong Huolin berjalan dari satu ujung ke ujung lain dari kamarnya.   Ding Tao, ya nama yang sama sedang menghantui dirinya.   Bagi gadis itu Ding Tao adalah satu-satunya lelaki yang pernah menyentuh dirinya, satu- satunya lelaki, kepada siapa dia menyerahkan seluruh dirinya, hati dan tubuhnya.   Di sisi lain ada pula Murong Yun Hua, seorang yang lebih dari sekedar pengganti orang tua.   Perang batin yang hebat membuat dia semakin hari semakin hilang semangatnya untuk hidup, tubuhnya semakin kurus dan kantung matanya semakin terlihat jelas.   Tapi tidak ada yang memperhatikan dia, semua sibuk dengan rencana mereka sendiri.   Tentu saja ada para pelayan, tapi apakah dia bisa percaya pada mereka? Karena mereka pun adalah pelayan setia Murong Yun Hua.   Baru kali ini dia merasakan keberadaan Murong Yun Hua sebagai satu penghalang, satu sandungan dalam hidupnya.   "Ding Tao apakah kau membenciku juga? Tapi aku tidak termasuk dari mereka ", keluh gadis itu.   "Tapi kau benar meski aku bukan bagian dari mereka, aku pun tidak melakukan apa-apa untuk menolongmu", gumamnya lagi.   Terkenanglah dia dengan masa-masa ketika Hua Ying Ying belum muncul.   Masa yang indah bagi dirinya, lepas dari segala rencana Murong Yun Hua mereka bertiga hidup bahagia.   Bahagiakah mereka? Perlahan Murong Huolin menggelengkan kepalanya, mungkin Ding Tao merasa bahagia, tapi dirinya sendiri, bukankah sebenarnya dia sedang menipu dirinya sendiri.   Membungkam hati kecilnya yang merasa bersalah karena ada satu rahasia yang dia sembunyikan dari Ding Tao? Tapi semuanya tidak akan terjadi jika bukan karena kemunculan gadis itu!, sebuah bisikan penuh kemarahan tibat-tiba terselip dalam hatinya.   Ya, jika bukan karena Hua Ying Ying, kakaknya Yun Hua tidak akan mengambil keputusan untuk menyingkirkan Ding Tao dan mereka bertiga akan hidup sebagai suami isteri sampai selamanya.   Tidak tidak, itu pun tidak benar.   Sejak awal semuanya dimulai dengan kebohongan, bagaimana mungkin sesuatu yang suci dibangun di atas satu kebohongan?, sebuah pikiran lain pun muncul dalam hatinya.   "Ding Tao", Murong Huolin berbisik penuh rasa rindu.   "Ah Ding Tao aku inilah yang bodoh, kau benar, ketulusan kejujuran, Hua Ying Ying tak bersalah, kamilah yang bersalah.   Sejak awal aku sudah memulainya dengan salah.", keluh gadis itu.   Tertelungkup di atas pembaringannya, Murong Huolin pun terus bertanya dan bertanya.   "Ding Tao, ada dimanakah kau sekarang?" "Apakah kau masih hidup? Apakah kau baik-baik saja?" "Tentu kau masih hidup, karena sampai sekarang Enci Yun Hua tidak berhasil menangkapmu, tentu ada orang yang membantumu.   Kau orang baik, bukankah langit selalu membantu orang-orang baik sepertimu?" "Akankah kau kembali?" "Jika kau kembali, apakah kau datang dengan dendam?" "Bagaimana perasaanmu padaku sekarang?"   Ratusan pertanyaan terus berdatangan hingga dia tertidur lelap dengan bantal basah oleh air mata.   Di kamar yang lain ada Hua Ying Ying dan ayah angkatnya.   Gadis itu pun memiliki banyak pertanyaan.   "Ayah, apakah ayah tidak merasa aneh dengan semua ini?", gadis itu bertanya.   "Tentang Ding Tao? Ya aku pun merasa ada yang tidak benar, tidak biasanya aku salah menilai orang.", jawab Hua Ng Lau.   "Tapi disaat yang sama ayah juga tidak yakin bahwa dia tidak bersalah.", desak gadis itu.   "Tidak ada bukti dan saksi yang meringankan dia, meski bila mataku tidak salah melihat, pada hari itu Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan dengan sengaja melepaskan dirinya.", jawab Hua Ng Lau sambil mengingat-ingat kembali kejadian di hari itu.   Malam itu diam-diam Hua Ying Ying pergi menemui Hua Ng Lau.   Hua Ng Lau bukannya tidak tahu apa yang ingin dibicarakan gadis itu, karena dia pun merasakan ada ganjalan dalam segala sesuatu yang terjadi di hari itu.   "Dan itu artinya, bukan Kak Ding Tao yang membunuh mereka berdua, ada orang lain, kekuatan lain yang bergerak di sini.", gumam Hua Ying Ying sambil berjalan hilir mudik di depan Hua Ng Lau yang duduk dengan tenang.   "Ya tapi jika itu benar, itu artinya kita sedang berhadapan dengan lawan yang menakutkan.   Itu artinya, saat ini kita sedang berada di antara musuh, di luar kita seperti tamu, kenyataannya kita adalah tawanan.", jawab Hua Ng Lau dengan bijak.   Hua Ying Ying berhenti berjalan, menatap lurus ke arah ayah angkatnya dia berkata.   "Tapi bukan berarti kita akan diam saja kan ayah?"   Hua Ng Lau menganggukkan kepala dengan wajah serius.   "Benar, itu bukan berarti kita akan diam saja tapi kita harus bergerak dengan sangat hati-hati. Apalagi kakakmu saat ini sudah tidak bisa kita percaya lagi."   Teringat kakaknya, Hua Ying Ying pun menggigit bibir dan mengangguk perlahan.   "Ayah benar aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dengan Kakak Ren Fu."   Akhirnya mereka sampai juga di Desa Hotu, sebuah desa kecil dan terpencil, jauh dari jalur utama perdagangan.   Ding Tao berdelapan terlihat cukup mencolok dibandingkan penduduk asli desa itu.   Tubuh mereka jauh lebih tinggi dibandingkan kebanyakan ornag cina daratan, Ding Tao yang tertinggi di antara mereka berdelapan, tampak normal di antara penduduk desa itu.   Demikian juga pakian yang mereka kenakan, terlihat sedikit berbeda dengan kebanyakan jenis pakaian yang dipakai oleh penduduk desa.   Pakaian Wang Shu Lin dan Ding Tao terlihat begitu mewah di sana.   Akibatnya ke mana pun mereka pergi, mata orang mengikuti mereka dengan pandang mata ingin tahu.   Meski demikian penduduk desa itu cukup ramah.   Ding Tao dan yang lain pun menganggukkan kepala dengan sopan setiap kali pandang mata mereka bertemu dan mereka membalasnya dengan senyuman.   Di depan mereka, mengantarkan menuju ke rumah kepala desa adalah salah seorang penduduk asli desa itu yang mereka jumpai pertama kali mereka sampai di bagian terluar desa itu.   "Meng Ho, masih berapa jauh lagi kah rumah kepala desa?", tanya Ding Tao pada pemuda tanggung yang mengantarkan mereka itu.   "Tidak berapa lama lagi, tuan lihat rumah di sana itu?", ujar Meng Ho sambil menunjuk sebuah rumah kecil yang terlihat dari kejauhan.   "Ya, apakah itu rumahnya?", jawab Ding Tao.   "Bukan, tapi setelah rumah itu, kita akan melewati sebuah sawah dan setelah sawah itu kita akan sampai di pusat desa, kebanyakan rumah berkumpul di sana dan rumah pak kepala desa ada di tengah-tengahnya.", jawab Meng Ho sambil tertawa lebar, menunjukkan beberapa giginya yang hilang.   "Ah, begitu, cukup jauh juga.   Kami benar-benar sudah merepotkanmu, apa nanti kau akan kembali ke sawahmu?", tanya Ding Tao pada Meng Ho.   "Tidak, tidak, pekerjaan hari ini sudah selesai kok, jadi sama sekali tidak merepotkan karena aku memang sudah mau pulang.", jawab Meng Ho dengan ramah.   "Syukurlah kalau begitu, aku tidak enak kalau terlalu banyak menyusahkanmu.", ucap Ding Tao dengan lega.   "Hahaha, sama sekali tidak menyusahkan.", ujar Meng Ho sambil tertawa lebar.   Untuk beberapa saat mereka hanya berjalan tanpa bercakap-cakap, kemudian Meng Ho dengan sedikit ragu bertanya, "Tuan, apa benar dugaanku bahwa tuan-tuan ini, orang-orang dunia persilatan?"   Ding Tao tidak segera menjawab, dia saling berpandangan dengan anggota rombongan yang lain.   Zhu Yanyan mengangkat bahunya, menyerahkan keputusannya pada Ding Tao.   "Meng Ho, kenapa kau bertanya demikian?", tanya Ding Tao hati-hati.   Meng Ho mengangkat bahunya.   "Hmm entahlah, kulihat beberapa dari tuan membawa senjata. Selain itu perjalanan dari daratan ke luar perbatasan bukan perjalanan singkat. Setidaknya beberapa orang dari tuan-tuan ini tentunya bekerja sebagai pengawal." "Kau pintar juga, kau benar, sebenarnya kami semua orang-orang dunia persilatan.", ujar Ding Tao sambil mengulum senyum. "Wah benarkah?", tanya Meng Ho dengan mata terbelalak. "Tuan, apakah salah satu dari kalian bisa mengangkatku menjadi murid tuan? Maksudku, aku cukup pintar dan aku tidak akan jadi beban untuk kalian.", pinta Meng Ho dengan sungguh-sungguh. "Menjadi pendekar? Meng Ho, kalau aku boleh tahu, berapa usiamu sebenarnya?", kata Ding Tao balik bertanya. "Ehm tahun ini usiaku 15 tahun, tapi beberapa bulan lagi akan jadi 16.", jawab Meng Ho. "Kenapa kau ingin terjun dalam dunia persilatan?", tanya Ding Tao pada pemuda itu. "Karena karena karena itu hebat sekali, maksudku, menjadi pendekar, menjadi pahlawan, menolong orang yang lemah melawan penjahat dan sebagainya.", ujar Meng Ho dengan bersemangat. "Hmm apakah desamu ini pernah diserang gerombolan penyamun?", tanya Ding Tao pada Mengho setelah terdiam berpikir beberapa lama. "Tidak, tidak, semuanya tenang dan damai di sini.". jawab Meng Ho. "Lalu penjahat mana yang mau kau lawan dengan ilmu silatmu nanti?", tanya Ding Tao kemudian. "Ehm tentu saja bukan di sini, jika tuan mulai berkelana lagi, tentunya sebagai murid aku akan mengikuti tuan-tuan sekalian.", ujar Meng Ho setelah berpikir sebentar. "Ah kemudian kita pergi mencari penjahat dan mengalahkan mereka demi menolong orang banyak. Benar begitu?", tanya Ding Tao pada Meng Ho. "Ya, ya, benar begitu.", jawab Meng Ho bersemangat. Ding Tao tersenyum melihat keluguan Meng Ho.   "Meng Ho, jika demikian hidup seorang pendekar, menurutmu, dari mana dia mendapatkan uang untuk makanan, penginapan, kuda yang bagus, memperbaiki pedangnya di pandai besi, atau bahkan rumah dan memberi makan seisi rumahnya?"   Meng Ho tentu saja tidak pernah berpikir demikian, dalam cerita pahlawan sepertinya tidak pernah diceritakan bagaimana mereka mencari uang.   "Hmm entahlah, bukankah kita bisa berburu untuk mencari makan dan tidur di kuil kosong jika tak ada uang untuk penginapan." "Jika kita berada di dekat hutan, mungkin bisa juga kita berburu untuk mencari makan, tapi jika sedang berada di kota besar, hendak pergi ke mana untuk berburu? Lagipula, bagaimana dengan pakaian dan pedang? Apakah kau mau menjahit pakaianmu sendiri dan menempa pedangmu sendiri?", tanya Ding Tao lebih lanjut. Berkerut alis Meng Ho.   "Ya kupikir tidak perlu ke kota besar, di kota besar perlu banyak uang, kita berkelana ke kota kecil dan pedesaan saja. Bukankah perompak kebanyakan tinggal di jalan-jalan yang sepi? Soal pakaian ya aku kira aku bisa belajar menguliti binatang dan mungkin menjahitnya menjadi pakaian. Lalu dengan pedang jika aku sudah sangat mahir dalam ilmu silat, bukankah aku tidak perlu pedang lagi?" "Boleh juga, jadi kita tinggal dan berkelana melalui hutan-hutan dan desa-desa kecil. Berburu untuk hidup dan mengurus hidup kita sendiri, kulit binatang bisa juga dijual untuk mendapatkan beberapa keping uang. Lalu jika sudah mengerjakan itu semua, menurutmu kapan kau bisa berlatih agar menjadi benar-benar mahir dengan ilmu silatmu?", tanya Ding Tao kembali. Dahi Meng Ho semakin banyak kerutannya.   "Ehm entahlah, menurut tuan berapa lama seseorang bisa menjadi seorang pendekar yang tanpa tanding?"   Terbahak mereka semua mendengar pertanyaan Meng Ho, membuat wajah Meng Ho memerah karena malu. Ding Tao buru-buru menghibur pemuda itu.   "Maafkan kami Meng Ho, jika kami tertawa karena pertanyaanmu. Jangan berkecil hati, bukan salahmu, kami semua dulu juga pernah berpikir untuk menjadi pendekar tanpa tanding. Setelah belasan bahkan puluhan tahun kami berlatih, ternyata kami belum juga menjadi pendekar tanpa tanding, itu sebabnya kami tertawa."   Khongti ikut menjawab.   "Benar, menjadi pendekar tanpa tanding bukanlah hal yang mudah. Kau berlatih bertahun-tahun dan berpikir kau sudah menjadi lebih kuat, itu mungkin memang benar, tapi orang lain pun juga berlatih sama kerasnya atau bahkan lebih keras dari dirimu. Perompak-perompak itu pun berlatih dan berlatih, bahkan mungkin karena pilihan jalan hidup mereka, mereka punya kesempatan lebih banyak untuk bertarung daripada dirimu."   Meng Ho tampak kecewa.   "Jadi menurut tuan-tuan ini, tidak mungkin bagi diriku menjadi seorang pendekar yang hebat?"   Khongti tertawa.   "Tidak juga, bukan begitu maksudku, untuk menjadi pendekar nomor satu. Pertama kau harus punya bakat yang baik. Kedua kau harus mau berlatih dengan keras hampir seluruh waktumu harus kau gunakan untuk berlatih. Itu artinya hanya ada sedikit waktu untuk hal-hal lain, termasuk untuk mengurus penghidupanmu sendiri." "Ketiga, kau harus punya nasib yang baik. Nasib yang baik artinya kau bertemu dengan guru yang baik dan juga kau tidak bertemu lawan yang tangguh sebelum kau berhasil mematangkan ilmumu."   Ding Tao kemudian menambahkan.   "Lalu setelah kau melalui itu semua, dari mana kau tahu bahwa kau sudah menjadi pendekar tanpa tanding? Atau dari mana orang akan tahu kehebatanmu? Kau pun kemudian mulai mencari lawan untuk kau kalahkan. Mungkin dengan mendatangi sarang penjahat, atau mungkin dengan menantang bertarung pendekar lain yang sudah memiliki nama. Jika kau cerdik dalam memilih lawan, maka kemenangan demi kemenangan akan kau raih dan namammu pun akan menjadi terkenal."   Khongti dan yang lain sudah mulai mengerti ke arah mana pembicaraan ini akan pergi, karenanya Khongti pun menyambung perkataan Ding Tao.   "Nah, setelah kau berhasil memupun namamu, maka kau pun harus bersiap-siap, karena akan datang anak muda lain yang juga ingin memiliki nama besar dan mereka akan menantangmu bertarung."   Hu Ban menambahkan.   "Pada saat itu, jangan kau berpikir untuk pergi mengalahkan penjahat dan menolong orang. Karena tanpa melakukan itu pun lawan demi lawan sudah mengantri untuk bertarung denganmu." "Atau bisa juga kau mendirikan satu partai, sehingga kau memiliki bawahan dan kau tidak perlu turun tangan sendiri untuk melawan setiap orang yang ingin menantang dirimu.", ujar Chen Taijiang seakan memberi jalan keluar. "Tapi itu artinya ada lebih banyak mulut untuk diberi makan, ada lebih banyak orang untuk diberi pakaian. Kau juga perlu rumah yang besar, kau perlu memastikan setiap anak buahmu merasa senang berada di bawah pimpinanmu. Tentu saja itu artinya kau perlu punya usaha yang cukup besar untuk mendapatkan uang yang sangat banyak.", sambung Ding Tao sambil mengenang betapa dia dulu sudah pernah sampai di sana dan bodohnya tak pernah terpikirkan tentang semua hal itu sebelumnya. "Itu belum cukup, karena kau harus terus berlatih dengan keras, jika tidak bisa jadi akan datang lawan dan tidak seorangpun dari anak buahmu bisa melawannya. Atau lebih buruk lagi, ada di antara bawahanmu yang nantinya memiliki ilmu lebih tinggi darimu dan memancing timbulnya pengkhianatan.", sambung Wang Shu Lin yang mulai ikut menikmati percakapan mereka ini. Mendengar panjang lebar pembicaraan mereka, Meng Ho jadi sakit kepala. Pertama sebelum dia menjadi pendekar tangguh dia tidak bisa berkelana ke kota-kota besar, hanya berkelana di hutan-hutan dan desa-desa kecil. Lalu apa bedanya dengan kehidupan dia sekarang ini? Padahal dia membayangkan jika terjun ke dalam dunia persilatan dan menjadi pendekar, itu artinya dia bisa keluar dari kehidupannya sebagai petani yang terasa membosankan ini. Melihat kota-kota besar dan keramaian, dipuji dan disanjung orang. Lalu setelah mematangkan ilmunya, pujian dan sanjung puji itu tidak datang dengan sendirinya. Dia harus mempertaruhkan nyawa untuk mendapat nama besar. Setelah mendapatkan pun bukan berarti dia bisa menikmati hasil usahanya, karena ancaman demi ancaman masih akan datang. Pemuda itu pun menggeleng-gelengkan kepala.   "Ah.. apakah tuan-tuan ini bersenda gurau denganku saja" "Hahaha, apakah kami hanya sekedar mempermainkanmu atau tidak, apakah tidak bisa kaupikirkan sendiri. Coba renungkan, adakah perkataan kami itu masuk akal atau tidak.", jawab Khongti sembari tertawa ramah. Cukup lama juga Meng Ho terdiam dan berpikir.   "Kupikir tuan-tuan memang mempermainkanku, tapi maksud tuan-tuan itu baik, untuk menunjukkan keadaan dunia persilatan yang sebenarnya."   Jawaban Meng Ho itu membuat mereka semua merasa kagum, pemuda tanggung itu rupanya punya pemikiran yang cukup lumayan.   "Baguslah kalau kau mengerti.", ujar Ding Tao sambil menepuk-nepuk pundak pemuda itu.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Tuan kalau dunia persilatan sekeras itu, mengapa banyak orang masuk ke dalamnya? Kenapa pula tuan-tuan menjadi pendekar?", tanya Meng Ho tiba-tiba.   "Hmm ada banyak yang masuk ke dalam dunia persilatan karena sedari awal keluarga mereka sudah menjadi bagian dari dunia persilatan.   Ada pula yang tertarik mempelajari ilmu silat karena suka, seperti ada juga orang yang menyukai catur atau memancing.", jawab Ding Tao.   "Ada juga yang memulainya karena dendam, mungkin ada anggota keluarga yang terbunuh oleh orang-orang persilatan dan mereka ingin membalasnya.", ujar Wang Shu Lin.   "Ada juga yang ingin mendapatkan nama besar dan melihat dunia persilatan sebagai jalannya.", ujar Zhu Yanyan.   "Atau mereka ingin kaya lewat jalan yang cepat, menjadi perampok bisa jadi pilihan jika imanmu tipis", sambung Khongti.   "Bisa juga karena pekerjaanmu membuatmu sering berkelana, dan kau ingin belajar ilmu silat untuk melindungi dirimu sendiri sepanjang perjalanan.   Jadi kau lihat Meng Ho, ada banyak alasan mengapa seseorang masuk ke dalam dunia persilatan.   Tidak ada yang salah dengan belajar ilmu silat, yang penting kau tahu benar untuk apa dan mengapa.", ujar Zhu Yanyan memberi nasehat.   "Menurut tuan, jika aku ingin menjadi pendekar nomor satu, apakah itu alasan yang tepat?", tanya Meng Ho setelah mendengar itu semua.   "Tidak ada yang bisa mengatakan alasan mana yang lebih baik, meski secara pribadi aku lebih cenderung mengatakan, mempelajari ilmu silat untuk melindungi diri sendiri dan orang lain adalah alasan yang paling tepat.   Sementara menjadi pendekar nomor satu adalah jalan yang paling sukar dan paling berdarah yang mungkin bisa dipilih seseorang.", ujar Ding Tao sambil menghela nafas.   Meng Ho pun bertanya kembali.   "Tuan, lalu tentang kisah-kisah kepahlawanan dari para pendekar yang sering diceritakan tukang keliling, apakah itu benar nyata?"   Ding Tao tersenyum, bukankah dia dulu juga suka mendengarkan cerita para pendekar dari tukang cerita keliling.   "Ada yang benar, ada yang tidak benar dan ada pula yang tidak tepat benar. Kau boleh mengambil pelajaran yang baik dari cerita-cerita itu, tapi jangan langsung percaya jika kau belum mengerti sendiri pokok persoalannya. Banyak kejadian dalam dunia persilatan yang harus diselidiki benar-benar, jika kita mau tahu duduk persoalan yang sebenarnya." "Apakah tuan-tuan ada mengenal seorang pahlawan yang benar-benar dalam dunia persilatan?", tanya Meng Ho dengan wajah ingin tahu. "Hahaha, kenapa kau bertanya demikian pada kami, kau kan baru saja bertemu dengan kami, bagaimana jika ternyata kami ini sebenarnya sekelompok orang jahat?", ujar Khongti sambil tertawa terbahak-bahak. Meng Ho pun menjawab dengan malu-malu.   "Kukira itu tidak mungkin, tuan-tuan ini tentu orang baik. Sikap tuan ramah dan tidak menakutkan, pula berwajah penuh wibawa, tampan dan cantik."   Mendengar jawaban Meng Ho tertawalah mereka semua, apalagi Khongti, tertawanya paling keras, sambil menunjuk ke arah Chen Taijiang dia tertawa dan berkata terputus-putus, diselingi oleh tawa.   "Dia bilang kita berwajah tampan, hahaha, wajah seperti itu hahaha, tampan, hahaha, penuh wibawa..."   Chen Taijiang tentu saja memasang wajah cemberut.   "Hmm kau saja yang tidak bisa menilai ketampanan orang. Bunga peoni kau bilang buruk, tai kerbau kau bilang harum."   Mendengar jawaban dan raut muka Chen Taijiang, yang lain pun tertawa, termasuk Meng Ho ikut pula tertawa.   "Sudahlah sudah, jangan diteruskan lagi", ujar Zhu Yanyan setelah mereka puas tertawa.   "Meng Ho, pelajaran pertama yang harus kau ingat baik-baik jika kau mau terjun ke dalam dunia persilatan.   Jangan kau terlalu lekas percaya pada orang, meski jangan pula kau terlalu cepat menghakimi seseorang.   Kau harus memiliki sikap waspada dan pemikiran yang terbuka.   Kau harus pintar memilah untuk tahu, mana yang memang benar-benar kau ketahui sendiri dan mana yang masih merupakan kemungkinan atau sekedar kesan.", ujar Zhu Yanyan dengan serius.   Meng Ho pun mendengarkannya dengan baik-baik, kemudian menjawab.   "Ya, aku mengerti tuan. Dari jawaban tuan-tuan sekalian, semakin kuat dugaanku bahwa tuan-tuan sekalian tentu termasuk mereka yang baik. Jika tidak tuan-tuan akan memanfaatkan kebodohanku dan membuatku semakin yakin bahwa tuan-tuan ini baik. Tapi kenyataannya tuan-tuan justru menasehatiku untuk bersikap waspada dan menilai tuan-tuan dengan lebih berhati-hati." "Hahaha, kau sungguh anak yang pintar, pemikiranmu itu ada benarnya juga. Yang penting gunakan mata, telinga dan otakmu untuk mencerna segala sesuatunya dengan jelas.", ujar Zhu Yanyan. Meng Ho pun merasa senang, dipandangnya wajah Zhu Yanyan yang berwibawa dan terlihat bijak, jenggotnya dan rambutnya yang berwarna putih, maka dia pun berkata.   "Tuan, benarkah jika kukatakan tuan adalah yang paling hebat di antara tuan-tuan sekalian?" "Ho mengapa kau berkata demikian?", jawab Zhu Yanyan balik bertanya. "Karena tuan yang terlihat paling tua dan bijaksana", jawab Meng Ho tanpa ragu lagi. "Hahahaha, tentang tua kau memang benar, aku yang tertua, tapi sesungguhnya bukan aku yang ilmunya paling tinggi di antara kami berdelapan.", jawab Zhu Yanyan sambil tertawa lebar. "Oh benarkah? Lalu siapa yang paling tinggi ilmunya di antara tuan-tuan sekalian?", tanya Meng Ho dengan heran. "Apakah tuan yang seperti raksasa ini?", tanya dia sambil menunjuk ke arah Pang Boxi. "Hahaha, kau masih salah", jawab Pang Boxi sambil tertawa. "Kalau begitu siapa?", tanya Meng Ho dengan bingung. "Heh kalau kau bertanya orangnya sendiri tentu tidak akan mengaku, jadi biar aku tunjuk saja orangnya. Nah inilah orang yang ilmunya paling tinggi di antara kami berdelapan.", ujar Khongti sambil tangannya menunjuk ke arah Ding Tao. Meng Ho pun menatap Ding Tao penuh rasa kagum, membuat wajah Ding Tao memerah karena merasa malu. "Apakah benar itu tuan?", Meng Ho bertanya pada Ding Tao. "Ah, tidak juga, ilmu silat sukar diukur, siapa yang lebih tinggi juga sulit dikatakan, setiap orang yang rajin tentu ilmunya akan terus bertambah, yang hari ini unggul, belum tentu tahun depan masih unggul. Menang kalah dalam satu pertarungan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan sekitar. Yang menang ketika beradu di atas panggung, belum tentu menang ketika bertarung di atas perahu atau bahkan di dalam air.", jawab Ding Tap merasa tidak enak ditanya demikian. Tapi jawaban Ding Tao itu justru membuat Meng Ho semakin yakin, maka dengan penuh keyakinan pemuda itu menjawab, "Ah tuan sangat merendah, sudah pasti memang benar tuanlah yang terhebat. Tuan begitu rendah hati, pula tuan bertubuh tinggi, tegap dan berwajah tampan. Sungguh tuan ini pastilah seorang pahlawan."   Mendengar perkataan Meng Ho itu, Khongti pun tertawa terbahak-bahak.   "Eh anak muda bagus sekali pandanganmu menilai orang. Kalau begitu bisakah kau menunjukkan siapa orang kedua terhebat dalam kelompok kami ini?"   Dan tanpa ragu Meng Ho pun menunjuk ke arah Wang Shu Lin.   "Tentu saja nona ini, dia begitu cantik dan anggun, pasangan yang sesuai untuk tuan pahlawan."   Wang Shu Lin dan Ding Tao pun tersipu malu, sementara ke-enam guru Wang Shu Lin tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Meng Ho yang polos itu. Apalagi ketika Khongti menunjuk ke arah Chen Taijiang dan berkata.   "Bocah, itu artinya menurut cara penilaianmu tentu dialah yang berada di nomor terakhir." "Hmm mengapa pula kau selalau mengolok-olok wajahku", jawab Chen Taijiang dengan sedih. "Hohoho, jadi akhirnya kau mengaku kalau wajahmu itu buruk?", kata Khongti. "Tidak, siapa bilang begitu? Hanya saja di antara kita semua berdelapan yang semuanya tampan, gagah dan cantik ini. Memang wajahkulah yang terburuk. Tapi kalau dibandingkan dengan wajah tokoh-tokoh dunia persilatan yang ada, wajahku termasuk nomor tujuh yang tertampan.", jawab Chen Taijiang dengan cepat. Olok-olok di antara mereka berdua ini membuat semuanya tertawa. Meng Ho pun tersadar, betapa dangkalnya cara dia berpikir tadi. "Tuan, jika kita tidak bisa menentukan kehebatan seseorang dari luar, lalu dari mana kita tahu siapa yang hebat dan siapa yang tidak?", tanyanya kemudian setelah tawa mereka semua mereda. "Hmm, jika kau sudah berlatih dan kepekaanmu semakin tinggi, kau bisa menilai ketenangan seseorang dari cara dia bernafas. Kau bisa melihat bagaimana lanngkah kakinya, apakah ringan atau berat. Mantap atau tidak seimbang. Bagaimana posisi tubuhnya, apakah banyak celah kelemahan atau rapat terlindungi. Tapi itu semua hanya memberi gambaran yang kasar, terkadang seorang yang ahli dengan sengaja menyembunyikan ciri-ciri tersebut dan berpura-pura seperti orang yang lemah. Kau baru bisa tahu hebat atau tidaknya dia setelah kau bertarung dengannya.", ujar Zhu Yanyan panjang dan lebar. "Itu sebabnya, seseorang harus selalu rendah hati dan sopan, siapa pun yang sedang dia hadapi. Karena kau tidak pernah tahu.", ujar Khongti menyambung. "Hmm dan sikap rendah hati, bukan saja karena rasa takut, tapi yang lebih penting adalah kerendahan hati itu timbul karena kau menyadari keberadaanmu sebagai manusia yang serba terbatas. Di atas langit masih ada langit, ini ucapan yang baik, mengingatkan kita untuk tidak menjadi sombong oleh kebisaan kita.", lanjut Chen Taijiang berusaha melengkapi nasehat-nasehat sebelumnya. "Apa yang diucapkan saudaraku itu benar, kau harus ingat itu baik-baik. Apa pun jalan yang kau pilih, siapa pun dirimu. Kerendahan hati adalah sifat yang baik dan sikap yang paling tepat dalam menghadapi segala keadaan.", ujar Khongti membenarkan. Sambil bercakap-cakap dan bersenda gurau, perjalanan pun jadi terasa singkat. "Lihat sepertinya kita sudah sampai di pusat desa.", ujar Hu Ban sambil melihat ke depan, di kiri dan kanan mereka sudah mulai terlihat rumah-rumah penduduk. Melihat mereka sudah sampai di tujuan, Meng Ho terlihat sedikit kecewa. "Ah ya, kita sudah sampai. Padahal masih banyak yang ingin kutanyakan.", keluhnya dengan sedih. Ding Tao tertawa kecil melihat kekecewaan Meng Ho.   "Sudahlah, kau antar kami ke rumah kepala desa, nanti selesai kami minta ijin untuk tinggal di desa kalian, kami akan pergi pula ke rumahmu. Bisa kita sambung nanti percakapan kita. Bagaimana?" "Benar tuan mau mampir ke rumahku?", tanya Meng Ho bersemangat. "Tentu saja, kenapa tidak, masa kau tidak percaya?", jawab Ding Tao. "Percaya, percaya, tentu saya percaya, ayolah aku antar ke rumah kepala desa, nanti aku akan minta ibu menyiapkan makanan dan minuman.", ujar Meng Ho dengan bersemangat. "Hei, jangan sampai merepotkan ibumu", ujar Ding Tao sambil mengikuti Meng Ho yang sudah berjalan cepat ke rumah kepala desa, tak sabar dia untuk buru-buru pulang dan bertemu dengan ibu serta adik-adiknya, juga tetangga dan teman- temannya, kedatangan rombongan Ding Tao nanti benar-benar satu berita besar. "Ah, tidak repot, tidak repot.", ujar Meng Ho sambil setengah berlari. Ding Tao yang melihat itu jadi menggeleng-gelengkan kepala, dia sudah membuka mulut hendak mencegah Meng Ho, tapi Khongti menggamit tangannya sambil menggelengkan kepala. "Percuma dibilang apa juga. Dia tidak akan mendengarkan.", ujar Khongti pada Ding Tao. Ding Tao pun tertawa kecut sambil mengangkat bahu.   "Ya, sudahlah, bukan maksudku merepotkan orang."   Kepala Desa Hotu, orangnya sudah berumur, tapi seperti penduduk desanya, dia pun orangnya ramah dan rendah hati.   Namanya Li Su, biasa dipanggil Kepala desa Li.   Bagi dia, rombongan Ding Tao sudah seperti rombongan seorang pejabat besar.   Jarang-jarang ada rombongan dari cina daratan yang berkunjung ke desanya.   Apalagi sampai delapan orang jumlahnya.   Kebanyakan penduduk di Desa Hotu masih memiliki pertalian dengan bangsa Han, itu sebabnya mereka pun menaruh hormat pada Ding Tao dan yang lainnya, yang datang dari dalam perbatasan.   "Jadi, tujuan kalian ke mari untuk berobat pada tabib di desa kami?", tanya Kepala Desa Li.   "Kurang lebih begitu, yang pasti kami butuh beberapa informasi darinya, mungkin juga nantinya akan nyata juga bahwa ada dari kami yang memerlukan pengobatan.", jawab Zhu Yanyan.   "Hmm di desa ini Cuma ada Tabib Sheng, apakah dia orang yang kalian cari?", tanya salah seorang pembantu kepala desa yang ikut menemui mereka, namanya Bo Tu.   "Petunjuk yang kami terima hanya mengatakan bahwa kami harus menemui tabib di desa ini, jika di desa ini hanya ada satu tabib, berarti dialah orangnya.", jawab Zhu Yanyan.   "Ya kalau begitu memang tidak ada lagi tabib lain di desa ini, ya hanya ada Tabib Sheng, tapi aku tidak tahu kalau ilmunya sehebat itu, sampai ada orang jauh-jauh datang untuk meminta bantuannya.", jawab Bo Tu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.   Zhu Yanyan pun tersenyum lebar.   "Ya ada kalanya orang pintar justru mencari tempat sembunyi dan hidup dengan tenang sembari menutupi kepandaiannya." "Ya bisa juga begitu, tapi memang selama ini setiap kali ada yang sakit dan pergi ke Tabib Sheng, kebanyakan tentu sembuh, kecuali memang sudah waktunya untuk berangkat menemui dewa Yama.", ujar Kepala desa Li. "Lalu apakah kalian akan tinggal di tempat Tabib Sheng atau hendak mencari tempat lain? Kira-kira berapa lama kalian akan tinggal di sini?", tanya Kepala desa Li. Zhu Yanyan dan yang lainnya sudah pernah merundingkan hal ini, jadi Zhu Yanyan dengan cepat menjawab pertanyaan Kepala desa Li.   "Sebenarnya bisa dikatakan kami ini pelarian dari daratan, ada orang-orang yang mungkin akan mencari jejak kami, meski kami rasa mereka tidak akan m ampu mengikuti kami sampai di sini. Tapi itu sebabnya kami sudah sepakat, untuk tinggal di luar perbatasan desa, hanya pada saat-saat kami perlu bertemu Tabib Sheng atau perlu membeli sesuatu dari desa, kami akan datang."   Mendengar penjelasan Zhu Yanyan, mata Kepala desa Li dan Bo Tu sedikit membesar dan jantung mereka sedikit berdebar.   "Hmm rupanya begitu, agak riskan juga situasinya, tapi aku senang kalian mau berterus terang, dari jawaban kalian itu artinya kalian pun tak mau menyusahkan kami.   Kalian orang yang baik.   Baiklah aku tidak keberatan, kalian bisa tinggal di utara desa ini, dengan begitu lebih mudah bagi kalian untuk menemui Tabib Sheng, juga di daerah itu hutan sudah mulai dibuka meski baru sedikit-sedikit.   Jadi kalian dengan mudah bisa mendapatkan kayu untuk membangun rumah, kami pun akan ikut membantu.   Tentu saja, hanya rumah yang sederhana saja.   Sementara menunggu rumah itu siap, kalian bisa tinggal di rumahku, rumahku cukup besar untuk kalian ber-delapan.", ujar Kepala desa Li setelah berpikir beberapa lama.   Bo Tu yang mendengar keputusan Kepala desa Li ikut mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju.   Zhu Yanyan dan yang lain terlihat lega mendengar jawaban Kepala desa Li yang menyambut mereka dengan tangan terbuka.   "Terima kasih karena Kepala desa Li mau menerima kami dengan tangan terbuka", ujar Zhu Yanyan dengan sopan.   "Sama-sama, sama-sama, aku lihat kalian semua orang baik, yang aku harapkan dengan sungguh-sungguh adalah agar kalian benar-benar memperhatikan keadaan desa ini, agar rakyat desa ini tidak ikut terlibat dengan masalah yang kalian bawa.   Seperti yang kalian lihat, kami hidup dengan damai, jauh dari kekerasan dan kuharapkan sampai nanti aku menutup mata keadaan desa ini tetap damai.", jawab Kepala desa Li.   Zhu Yanyan pun menganggukkan kepala dengan tulus.   "Kami mengerti, kami tidak akan membalas kebaikan kalian dengan keburukan. Pada saat yang paling mendesak pun kami akan memilih mengorbankan diri kami sendiri daripada penduduk desa ini." "Ya ya aku mengerti, aku percaya itu, itu sebabnya kedatangan kalian kami terima dengan tangan terbuka.", ujar Kepala desa Li. Selesai dengan meminta ijin pada Kepala desa Li, maka mereka pun beralih pada pembicaraan yang ringan-ringan, sebelum kemudian berpamitan. "Jadi kalian mau ke rumah Meng Ho?", tanya Kepala desa Li. "Benar, tadi kami sudah berjanji mau mampir dulu ke rumahnya, setelah kami selesai meminta ijin pada Kepala desa Li.", ujar Zhu Yanyan. "Hohoho, dia memang seorang pemuda yang penuh semangat, aku yakin pembicaraan di rumahnya nanti bakal cukup menghibur. Mungkin nanti aku juga ikut mampir ke sana.", ujar Kepala desa Li sambil tertawa. Selesai berpamitan, mereka pun bersama-sama mencari rumah Meng Ho. Tanpa banyak kesulitan mereka sampai di sana. Begitu sampai di sana, Ding Tao dan rombongannya cukup terkejut karena rumah Meng Ho sudah ramai dengan orang. Sedikit bersungut-sungut, Meng Ho menyambut tamu-tamunya dan menjelaskan.   "Sudah kubilang pada ibu, jangan banyak cerita pada tetangga, ternyata tetap saja dia cerita. Jadinya mereka ikut datang, ingin melihat tamu desa ini. Sudah lama tidak ada pengunjung dari luar."   Ibunya yang sedang menghidangkan makanan dan minuman rupanya mendengar ucapan Meng Ho dan sambil tertawa keras dia berkata.   "A Ho, jangan asal buka mulut, kau sendiri menyombong ke teman-temanmu, sekarang mereka juga pada datang ingin mendengar cerita."   Melihat keramaian itu Khongti tertawa saja.   "Wah, rupanya kita bakal jadi bintang utama malam ini."   Meng Ho mempersilahkan mereka duduk sambil tersipu malu karena tidak mampu menjaga mulutnya.   Tapi penduduk desa yang sudah cukup umur, dengan cepat membuat tamu-tamu mereka merasa betah dengan gurauan-gurauan ringan dan pertanyaan-pertanyaan mereka tentang keadaan di luar desa mereka.   Dengan cepat terbentuk kelompok-kelompok kecil, ada yang suka mendengar cerita-cerita Khongti, Hu Ban dan Chen Taijiang.   Ada yang memilih berbicara dengan Zhu Yanyan dan Pang Boxi.   Ibu-ibu lebih banyak berkumpul di sekitar Shu Sun Er dan Wang Shu Lin.   Sementara mereka yang seumuran dengan Meng Ho dan juga Meng Ho berkumpul di sekitar Ding Tao.   Tidak berapa lama, Kepala desa Li ikut pula datang dalam keramaian itu, dari cara penduduk memperlakukannya, jelas dia seorang kepala desa yang dihormati dan disukai oleh penduduknya.   Pembicaraan itu pun berlangsung hangat, apalagi di kelompok Khongti yang pandai bicara, sebentar-sebentar tentu terdengar tawa mereka meledak.   Tapi waktu terus berjalan dan hari pun makin larut, satu per satu tamu berpamitan.   Pada saat sudah mulai sepi, justru tiba-tiba datang seorang tamu yang memiliki arti penting buat Ding Tao dan rombongannya.   Seorang tua dengan dandanan sederhana, wajahnya cekung saking kurusnya dia, tapi terlihat cerah dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya.   "Malam Kepala desa Li, Meng Ho, apa kabar Bibi Wang ", satu per satu mereka yang ada di sana disapanya.   "Tabib Sheng, begitu ramainya rumah kami sampai kau pun datang ya?", ujar ibu Meng Ho sambil membawakan secangkir minuman untuk tabib tua itu.   Mendengar nama Tabib Sheng disebut, tentu saja Ding Tao berdelapan dengan sendirinya menoleh dan memperhatikan tamu yang baru datang.   Tabib Sheng pun tanpa berbasa-basi menyapa mereka dan berkata.   "Kudengar kalian datang arena ada keperluan denganku, apa benar?"   Zhu Yanyan sebagai yang tertua pun maju dan menjawab.   "Benar sekali Tabib Sheng, sebenarnya kami datang diutus oleh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan."   Mendengar dua nama itu, mata Tabib Sheng tampak berkilat.   "Hmm benarkah demikian? Menarik sekali, apakah mereka menitipkan suatu pesan?" "Tidak ada, kami hanya diperintahkan untuk menceritakan segala kejadian yang kami alami dan nantinya Tabib Sheng tentu tahu apa yang harus dilakukan.", jawab Zhu Yanyan dengan jujur. "Hmm..hmm di mana nanti kalian akan tidur?", tanya Tabib Sheng. "Kepala desa Li sudah menawari kami untuk menginap di rumahnya, sampai kami selesai membangun rumah untuk kami sendiri di luar batas desa.", jawab Zhu Yanyan. "Oh, mengapa demikian?", tanya Tabib Sheng heran. "Kami sendiri yang memintanya demikian, karena sebenarnya, saat ini bisa dikatakan kami ini adalah pelarian. Lawan-lawan kami adalah orang kuat dalam dunia persilatan.", jawba Zhu Yanyan tanpa menutupi apa pun. Berita ini tentu saja sebuah berita baru untuk penduduk desa yang lain, kecuali bagi Kepala desa Li dan Bo Tu yang sudah mendengar cerita Zhu Yanyan lebih dahulu. "Ah, benar-benar menarik. Kalau begitu begini saja, biarlah kalian tinggal bersamaku sambil menunggu rumah itu selesai. Bagaimana? Kepala desa Li, tidak keberatan kan, kalau tamunya aku rebut?", ujar Tabib Sheng sambil terkekeh. "Haha, Tabib Sheng ada-ada saja, tentu saja tidak apa-apa. Sepertinya memang ada hal yang penting yang harus kalian bicarakan.", ujar Kepala desa Li. "Jadi bagaimana menurut kalian", tanya Tabib Sheng ke arah Zhu Yanyan. "Kupikir itu usul yang bagus, asal Tabib Sheng tidak repot saja, karena kami ada berdelapan.", jawab Zhu Yanyan. "Hehehe, tidak, tentu saja tidak.", jawab Tabib Sheng. Setelah itu mereka pun kembali berbincang-bincang seperti biasa, namun tamu-tamu yang lain sadar juga ada hal penting yang akan dilakukan tamu desa mereka ini di desa mereka. Lagipula hari memang sudah mulai menginjak malam dan sebelumnya sudah banyak yang berpamitan. Maka dalam waktu singkat, rumah itu pun jadi sepi, tinggal Ding Tao berdelapan, Meng Ho, ibu dan saudara-saudaranya, serta Tabib Sheng. "Meng Ho, kurasa sudah saatnya kami berpamitan, terima kasih banyak untuk keramahan kalian.", ujar Zhu Yanyan sembari mengangguk ke arah Meng Ho dan ibunya. Ibu Meng Ho pun menjawab.   "Ah, biasa saja, kami ini jarang ada hiburan, jadi berita tentang kedatangan kalian jadi berita besar. Kalian juga merupakan tamu-tamu yang menyenangkan, justru kami yang berterima kasih, cerita-cerita kalian membuat desa yang sepi ini jadi hidup." "Hahaha, syukurlah kalau begitu, besok-besok tentu kami akan mampir lagi.", ujar Khongti menjawab. Selesai berpamitan, mereka pun pergi meninggalkan rumah Meng Ho dan pergi ke rumah Tabib Sheng. Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara, karena Tabib Sheng sendiri hanya berdiam saja dan tampak tak ingin membicarakan apa pun. Melewati beberapa rumah, bertemu dengan beberapa orang yang masih duduk-duduk di pelataran, akhirnya mereka sampai juga di rumah Tabib Sheng. "Ini rumahku, cukup besar juga kan? Tapi harap maklum kalau di dalamnya sederhana saja, tapi orang persilatan seperti kalian tentu sudah biasa tidur di mana saja. Ada cukup banyak pembaringan, beberapa tahun yang lalu desa ini sempat terserang penyakit menular dan akhirnya kami kumpulkan mereka semua di sini untuk aku rawat.", ujar Tabib Sheng. "Eh Tabib Sheng, tapi tidak menular kan kalau kami tidur di pembaringan itu?", tanya Shu Sun Er ragu-ragu. "Hahaha, tentu saja tidak, sudah aku semprotkan obat-obatan, lagipula itu sudah beberapa tahun yang lalu, penyakit yang ada tentu sudah mati semua dalam jangka waktu selama itu.", ujar Tabib Sheng sambil membuka pintu dan mempersilahkan tamu-tamunya masuk. Rumah Tabib Sheng memang benar sederhana dan tidak banyak isinya, namun bersih dan rapi. Hanya saja ada samar- samar bau obat-obatan di rumahnya, seperti biasa toko jual obat atau rumah tabib lainnya. Shu Sun Er tampak lega melihat betapa bersih dan rapinya rumah itu. "Ini ada beberapa bangku, mari bantu aku memindahkannya ke mari, supaya kita bisa bicara dengan enak.", ujar Tabib Sheng sambil berjalan ke ruangan yang lain. Maka Ding Tao dan yang lain pun mengikuti Tabib Sheng dan dalam waktu yang singkat, di ruangan yang besar tadi sudah ada bangku-bangku bahkan sebuah meja. Shu Sun Er dan Wang Shu Lin pun dengan cekatan sudah menghidangkan satu poci besar teh panas untuk mereka semua. "Hmm begini baru nikmat nah coba ceritakan apa yang terjadi dengan kalian. Apa hubungannya dengan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan, lalu bagaimana sampai mereka berdua memberi pesan pada kalian untuk datang mencariku di desa ini.", ujar Tabib Sheng setelah menyeruput teh yang dihidangkan. Maka Zhu Yanyan pun menceritakan segala kejadian yang telah terjadi beberapa bulan terakhir di dalam perbatasan. Tabib Sheng mendengarkan dengan serius, beberapa kali dia menghela nafas tapi dia tidak menyela penuturan Zhu Yanyan. Baru ketika Zhu Yanyan sampai pada bagian di mana Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan mengambil keputusan untuk mengorbankan nyawa mereka. "Tunggu ah lalu apa yang terjadi? Apakah mereka hmm apakah mereka berdua sudah meninggalkan dunia ini?", sela Tabib Sheng dengan suara bergetar dan sedih. Zhu Yanyan yang melihat kesedihan dalam pertanyaan Tabib Sheng jadi merasa terharu. Meski duka mereka sudah lama lewat dan tidak lagi membuat mereka kelu dan tidak dapat melanjutkan hidup mereka, tapi melihat ada orang lain yang juga berduka oleh kematian mereka berdua, rasa harunya pun muncul. Dengan suara sedikit serak Zhu Yanyan menjawab.    Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini