Ceritasilat Novel Online

Pedang Angin Berbisik 57


Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 57


Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng   Sementara Zhu Yanyan menghilang di antara kerumunan tak terlihat oleh mata, demikian juga Khongti menghilang diam-diam.   Hu Ban memimpin Pang Boxi, Chen Taijiang dan Shu Sun Er sudah membaur dengan kelompok-kelompok kecil lainnya.   Ding Tao bersama Tetua Shen sudah menyamar pula dan membaur bersama para pendekar di bagian lain dari perkemahan yang luas itu.   Hari yang ditunggu-tunggu itu pun akhirnya datang juga, bila barisan di belakang Ren Zhoucan berbaris dengan rapi, sesuai dengan urutan dari yang paling senior sampai prajurit kecil berbaris di belakang mereka.   Maka barisan Murong Yun Hua justru membuat para mata-mata dari kerajaan semakin gentar.   Barisan diatur sesuai dengan strategi perang, masing- masing kelompok dibagi menurut bagiannya masing-masing dan dipimpin oleh ketuanya masing-masing, dalam satu formasi yang efektif untuk melawan lawan yang tidak memiliki bentuk khusus.   Berada di bagian paling depan, di tengah-tengah barisan yang lain, adalah barisan di bawah kendali Murong Yun Hua.   Hebatnya terlihat bermacam-macam bendera dipegang oleh salah seorang anak buah Murong Yun Hua.   Bukan saja jadi barang pameran, tapi juga diperagakan.   Dengan sebuah isyarat lewat panji-panji itu, maka barisan di bawah perintah Murong Yun Hua bergerak serempak mengikuti isyarat.   Terlihat cukup teratur, meski dalam pergerakannya masih kurang rapi.   Namun jelas terlihat bahwa mereka yang memimpin tiap-tiap kelompok sudah mendapatkan pengarahan khusus dan mampu menerapkannya.   Ren Zhuocan mungkin tidak mengerti ilmu perang, tapi melihat apa yang ditunjukkan itu, hatinya pun sedikit berdebar-debar.   Namun keyakinannya pada ilmunya yang menurutnya sudah setinggi langit, membantu keyakinannya tidak sampai goyah.   Hmm mereka boleh memiliki siasat perang, namun dalam pandanganku, ribuan orang tak ada artinya.   Mereka semua akan kutebas dalam satu gebrakan.   Nanti akan kita lihat, apa mereka bisa mempertahankan semangatnya., pikir Ren Zhuocan.   Ya, Ren Zhuocan mungkin tidak begitu mengerti siasat perang, namun dia mengerti prinsip dasar dalam sebuah pertarungan.   Bukan hanya masalah siasat, tapi juga kesatuan dan semangat dari mereka yang berperang.   Para pendekar di bawah pimpinan Murong Yun Hua bukan semuanya hasil didikan bertahun-tahun untuk menjadi sebuah pasukan.   Sementara semangat dan kedisiplinan adalah hal yang penting dalam menggerakkan satu pasukan agar bergerak sebagai satu kesatuan.   Para pendekar yang lebih individualistis, tentu tidak bisa bergerak seperti pasukan yang terlatih, di mana ada saatnya mereka bergerak, sekedar menjadi umpan yang bisa dikorbankan atau menjadi perisai bagi teman-teman yang lainnya.   Tidak pameran itu memang sempat menggetarkan hati Ren Zhuocan, tapi dengan cepat dedengkot dari luar perbatasan itu sudah menenangkan hatinya.   Melihat lawan sudah berbaris rapi bahkan memamerkan sedikit kemampuan mereka, Ren Zhuocan pun tak mau kalah gertak.   Diam-diam dikerahkannya hawa murni dan ketika dia membuka mulutnya, maka terdengarlah suaranya bergaung, bergema memenuhi seluruh dataran.   Membuat jantung mereka yang belum mapan ilmunya, seakan-akan melonjak-lonjak di dalam dadanya.   "Salam saudara-saudara sekalian, seperti yang sudah kita lakukan pada tahun-tahun sebelumnya, kita datang untuk mengadu ilmu, menguji kemajuan kita masing-masing.   Di sini sudah ada Ren Zhuocan! Siapa di antara kalian yang akan maju mewakili, untuk menguji ilmu dengan Ren Zhuocan?", demikian Ren Zhuocan mengambil inisiatif membuka pertemuan itu.   Suaranya yang menggetarkan dada setiap orang, membuat seluruh daratan hening terdiam untuk sesaat.   Murong Yun Hua tentu saja paham, Ren Zhuocan sedang memamerkan ilmunya untuk menggoyahkan semangat orang- orang yang berdiri di pihaknya.   Maka sebelum hilang gema suara Ren Zhuocan, Murong Yun Hua pun sudah membuka mulut dan menjawab.   "Wuling Mengzhu seluruh daratan, Murong Yun Hua akan maju melayani tantangan Ketua Ren Zhuocan.", suaranya lembut namun suara yang lembut itu mampu mengisi seluruh daratan dari ujung ke ujung, seperti tiupan seruling di tengah keheningan, lembut namun terdengar jelas di telinga.   Melihat kemampuan Murong Yun Hua yang mampu menyamai apa yang ditunjukkan Ren Zhuocan, meski dalam bentuk yang berbeda, pecahlah sorak sorai, utamanya dari mereka yang tadi nyalinya sudah sempat ciut, ditekan oleh gelombang suara yang menggetarkan dada mereka.   Ketegangan yang tadi mereka rasakan, mereka tumpahkan dalam sorakan.   Tapi belum lama hilang gema suara Murong Yun Hua, terkejutlah hati semua orang, sebuah suara lain bergulung-gulung menggelora tidak ubahnya seruan Ren Zhuocan mengaduk-aduk perasaan mereka semua.   "Tahan, Murong Yun Hua, kau bukanlah Wulin Mengzhu akulah Wulin Mengzhu yang terpilih!"   Ketika kata terpilih! dikatakan, suara itu bukan hanya bergulung dan menggelora tapi menghentak dada setiap orang.   Beberapa orang yang dangkal ilmunya dan terlalu dekat dengan sumber suara itu pun terhuyung-huyung dan jatuh terduduk di tempatnya masing-masing, membuat barisan mereka menjadi kacau dan tentu saja sebentar kemudian suasana menjadi ricuh ketika dia yang bersuara tampil pula ke depan.   "Ding Tao" "Ding Tao"   Nama itu pun dibisikkan di mana-mana, jika sebagian besar dari mereka terkejut melihat perkembangan yang tidak diduga- duga ini, maka beberapa gelintir orang sudah berdebar-debar ketakutan karena apa yang dibisikkan di telinga mereka ternyata benar adanya.   Dan sekarang mereka pun sibuk memutar otak, melihat bagaimana kartu akan dimainkan oleh Ding Tao dan Murong Yun Hua, serta bagaimana mereka harus memainkan kartu di tangan mereka.   Tapi yang pertama-tama bergerak bukanlah segelintir orang itu, melainkan Huang Ren Fu yang memimpin sekelompok kecil barisan yang dibentuk dari para pengikut Keluarga Huang.   "Ding Tao! Setelah sekian lama kau sembunyi, akhirnya berani juga kau menampakkan diri! Saudara-saudara, cabut senjata kalian, kita balaskan dendam segenap keluarga Huang!!!", seru Huang Ren Fu dengan senjata di tangan.   "Tahan dulu Saudara Huang! Aku punya bukti dan saksi, bahwa semua yang dituduhkan padaku adalah fitnah belaka.   Sebaliknya, Murong Yun Hua-lah yang ada dibalik ini semua, termasuk pembantaian Keluarga Huang di Wuling.", ujar Ding Tao tegas dan berwibawa, membuat semua orang yang tadinya bergerak hendak menyerang terhenti di tempatnya.   "Adik Huolin, Adik Ying Ying tolong bawa Tetua Jin ke depan", suara Ding Tao terdengar jelas di daratan yang luas itu dan pandang mata setiap orang pun mencari-cari, siapa yang dipanggil Ding Tao.   Tidak perlu lama mereka menunggu, dituntun oleh Murong Huolin di kanan dan Hua Ying Ying di kiri, diiringi oleh Hua Ng Lau di belakang mereka, juga ada seorang entah siapa membawakan kursi, tampil ke depan Pendekar pedang Jin Yong.   Mukanya masih pucat, tubuhnya masih terlihat lemah, namun tubuhnya sudah mulai berisi dan matanya tidak lagi kosong.   Obat Tabib Shao Yong sudah memulihkan sebagian kondisi Pendekar pedang Jin Yong, meski otot-otot tubuhnya sudah terlampau lemah untuk pulih seperti sedia kala dalam waktu yang singkat, setelah sekian lama tidak pernah digunakan.   "Mohon sekalian saudara semuanya tenang! Supaya Tetua Pendekar pedang Jin, bisa terdengar, karena kondisi beliau begitu lemah.", sekali lagi bergema suara Ding Tao ke seluruh penjuru.   Karena tertarik dan juga karena wibawa dari Ding Tao, terdiamlah semua orang, memasang telinga baik-baik untuk mendengar ucapan Pendekar pedang Jin Yong.   Dengan suara bergetar, tapi cukup jelas untuk orang-orang yang berada di sekitarnya, Pendekar pedang Jin Yong pun berkata sambil menunjuk ke arah Murong Yun Hua.   "Terlampau panjang jika harus kuuraikan satu per satu. Secara singkatnya, selama ini aku berada di bawah sekapan perempuan itu." "Dan aku bisa bersaksi lewat yang kudengar dari perkataan perempuan itu sendiri, bahwa apa yang dikatakan Ketua Ding Tao adalah benar adanya. Dialah yang sesungguhnya berada di balik pembantaian keluarga Huang di Wuling, juga dialah yang menyebarkan obat perebut semangat yang bernama Obat Dewa Pengetahuan. Aku dan Ketua Ding Tao juga menjadi korban dari obat terkutuk itu.", lanjut Pendekar pedang Jin Yong sebelum memberikan tanda pada Hua Ying Ying dan Murong Huolin untuk memapahnya ke tempat duduk yang disiapkan untuknya. Mereka yang tidak mendengar jelas perkataan pendekar pedang itu, bertanya pada mereka yang berada lebih dekat. Maka suasana yang tadinya hening, perlahan-lahan mulai riuh seperti desau air. "Bohong!", tiba-tiba terdengar suara Murong Yun Hua mengatasi keramaian itu. "Apa buktinya bahwa dia Pendekar pedang Jin Yong yang asli? Masakan oleh perkataan satu orang tua yang cacat dan tidak jelas asal usulnya, kalian semua percaya?", tanya Murong Yun Hua dengan nada yang tinggi, matanya menatap tajam ke arah Murong Huolin, seakan-akan ingin membunuh adik sepupunya itu dengan pandang matanya. "Bagaimana dengan kematian Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan? Apa kalian sudah lupa?", tanya Murong Yun Hua balik hendak menyudutkan Ding Tao. Tapi belum habis dia berbicara, terdengar gemuruh orang berbaris maju ke depan. Dipimpin oleh Khongti dan Zhu Yanyan, diiringi oleh empat orang saudara mereka,juga anak murid Shaolin dan Wudang maju ke depan. Setiap orang bertanya- tanya dalam hati, untuk apa mereka maju ke depan, apakah hendak membalaskan dendam ketua mereka pada Ding Tao? Tidak lama pertanyaan mereka pun terjawab. Zhu Yanyan membuka mulut.   "Saudara-saudara mungkin sudah lupa, tapi bagi generasi tua kuharap masih ingat dengan namaku. Zhu Yanyan, dan ini adikku Khongti. Kami berdua adalah saksi hidup yang bisa memastikan bahwa Ketua Ding Tao bukanlah pembunuh Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan. Bahkan kedua tetua berpesan pada kami berenam untuk membantu Ketua Ding Tao melepaskan diri dari jebakan orang."   Maju pula dari anak murid Shaolin dan Wudang yang ikut berkata.   "Kami pun adalah saksi hidup mengenai keputusan Ketua berdua untuk melindungi Ketua Ding dari jebakan perempuan iblis itu."   Suasana pun jadi makin riuh ramai, tiba-tiba ada seseorang yang berteriak dan bertanya.   "Jadi siapakah orangnya yang sudah membunuh kedua Tetua?"   Diiringi ramai suara lain yang berteriak-teriak menanyakan hal yang sama.   Di tempatnya masing-masing, Zhong Weixia, Tetuz Xun Siaoma, Bai Chungho dan Guang Yong Kwang pun berdebar-debar menanti jawaban Zhu Yanyan.   Menanti teriakan-teriakan itu agak mereda, Zhu Yanyan pun menjawab dengan suara lantang.   "Sayangnya kami tidak tahu siapa yang membunuh mereka berdua. Tapi kami tahu pasti itu bukan Ketua Ding Tao karena saat itu dia bersama kami. Yang kami tahu sebelum berpisah Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan berkata bahwa dia akan menghadang siapa pun yang berusaha menangkap Ketua Ding Tao, dan memberi kami waktu untuk melarikan diri." "Menurut dugaan kami, besar kemungkinan yang membunuh adalah pengikut-pengikut pilihan dari keluarga Murong! Dengan jalan keroyokan mereka telah membunuh kedua tetua!", sambung Zhu Yanyan dengan lantang. Karena sebelumnya telah melihat pameran kepandaian dari pengikut inti Murong Yun Hua, orang-orang pun jadi bisa membayangkan, bahwa memang ada kemungkinan Bhiksu Khongzhen dan Pendeta Chongxan terbunuh oleh mereka. Sementara 4 orang pelaku yang sesungguhnya menghembuskan nafas lega. Melihat bagaimana Ding Tao memainkan kartunya, maka sedikit banyak mereka pun sudah mengambil keputusan, bagaimana mereka akan memainkan kartu mereka. Murong Yun Hua yang semakin panik berteriak kembali.   "Apakah kalian semua begitu mudahnya dihasut orang? Tadi muncul orang yang mengaku dirinya Pendekar pedang Jin Yong. Lalu sekarang muncul pula orang yang mengaku menjadi saksi bahwa Ding Tao bukanlah pelakunya. Tapi siapa mereka itu? Siapa yang bisa membuktikan kebenaran perkataan orang-orang tua tak dikenal ini?"   Tiba-tiba dari tengah barisan terdengar suara.   "Apakah aku juga hanya seorang tua yang tidak dikenal?"   Dan semua orang pun menoleh ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari Tetua Xun Siaoma.   Tokoh tua itu pun maju ke depan diiringi seluruh barisan anak murid perguruan Hoasan.   "Aku Xun Siaoma, siapa berani tak percaya pada kesaksianku? Pada peristiwa di Jiang Ling aku telah dipaksa untuk mengikuti perintah perempuan iblis itu.", ujarnya membuat orang-orang yang mendengarnya tertegun tak percaya.   "Supaya jelas, biarlah kupaparkan kebobrokan partai kami sendiri.   Pan Jun ketua Hoasan yang sebelumnya, telah jatuh dalam pikatan perempuan iblis itu.   Hubungan antara mereka berdua menghasilkan keturunan yang oleh perempuan itu diaku sebagai anak Ketua Ding Tao.   Nah mengguakan anak itu lah, sebagai pewaris sah dari kedudukan Ketua Pan Jun dia memaksa kami untuk mengikuti perintahnya, memfitnah Ketua Ding Tao.", ujar Tetua Xun Siaoma lantang terdengar ke segala penjuru.   Karuan saja Murong Yun Hua murka.   "Kau kau berani-beraninya kau memfitnahku!"   Tetua Xun Siaoma hanya tersenyum mengejek.   "Memfitnahmu atau mengatakan yang sebenarnya? Lihat ini, Ketua Ding Tao telah berhasil membebaskan anak itu dari sekapanmu dan mengantarkannya pada kami."   Salah seorang anak murid Hoasan maju menggandeng Murong Ding Yuan ke depan dan pucatlah wajah Murong Yun Hua, keringat dingin mulai membasahi punggungnya.   Melihat apa yang terjadi sekarang, dia mulai berhitung apa saja yang telah dilakukan Ding Tao dibalik punggungnya.   Matanya berkeliaran melihat ke sekelilingnya, ketika terbentur pada mata Ding Tao, ketakutannya pun semakin memuncak.   Pandang mata Ding Tao yang memandangnya penuh belas kasihan, membuat dia semakin yakin bahwa Ding Tao telah menyiapkan bukti dan saksi-saksi lainnya.   Jika tidak, tidak akan pemuda itu memandangnya dengan cara demikian.   Sedemikian yakin dengan dirinya, sedemikian yakin dengan akhir yang menantinya.   Belum habis gema suara Tetua Xun Siaoma, Ding Tao membuka suara dan mengeluarkan bungkusan besar yang dia bawa- bawa.   "Ketua Zhong Weixia, lihatlah, pusaka Partai Kongtong turun temurun, yang telah dicuri dan digunakan Murong Yun Hua untuk memerasmu sudah ada di tanganku. Mengapa Ketua Zhong tidak maju dan mengambilnya. Kuharap Ketua Zhong juga mau menjelaskan duduk perkaranya. Supaya lebih jelas bagi semua orang, siapa yang hitam dan siapa yang putih."   Zhong Weixia pun terbelalak melihat isi bungkusan besar itu, tatkala Ding Tao dengan hikmat membuka tali yang mengikat bungkusan itu dan memperlihatkan apa isi dari bungkusan itu.   Sebuah kapak bertangkai panjang, senjata pusaka milik pendiri Partai Kongtong, beserta beberapa   Jilid kitab yang dia kenal betul adalah kitab yang dijanjikan Murong Yun Hua padanya.   Soal kitab memang benar kata Ding Tao, telah lama hilang tercuri dan ada di tangan Murong Yun Hua, kemudian digunakan sebagai alat barter untuk kerja samanya.   Tapi kapak besar bertangkai panjang itu, tidak pernah hilang, meski sudah lama tak terlihat, turun temurun kapak itu disampaikan pada Ketua Partai Kongtong pada generasinya untuk disimpan dalam ruang rahasia.   Jika sekarang kapak itu ada di tangan Ding Tao, berarti dengan satu cara Ding Tao sudah menyatroni Partai Kongtong, mengalahkan beberapa orang tetua yang bertugas menjada ruang rahasia itu, dan melenggang pergi membawa senjata pusaka mereka.   Berdebar dada Zhong Weixia, ini bukan cuma sekedar memainkan kartu, memberikan dia jalan untuk beralih pihak dari mendukung Murong Yun Hua berbalik mendukung Ding Tao.   Tapi ini juga semacam ancaman halus, sebuah pertunjukan akan kemampuan Ding Tao dan para pengikutnya, bahwasannya tembok-tembok dan penjagaan Partai Kongtong tak ada artinya buat mereka.   Berat langkah kaki Zhong Weixia tapi dia tidak melihat jalan keluar lain, dengan langkah tegap dia maju ke depan dan memberikan hormat pada Ding Tao.   "Sungguh Wulin Mengzhu Ding, sangatlah bijak dan memiliki kemampuan, aku ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan yang diberikan Ketua Ding pada kami dari Partai Kongtong."   Setelah menerima kitab dan kapak itu dari tangan Ding Tao, dan di hadapan sekian banyak orang dia memberikan hormat dan mengucap terima kasih, Zhong Weixia berbalik dan berseru dengan keras.   "Adalah benar apa yang dikatakan Ketua Ding Tao, menyandera barang-barang pusaka peninggalan pendiri Partai Kongtong, perempuan iblis itu memaksa kami untuk ikut dalam usahanya menjebak dan memfitnah Ketua Ding Tao."   Huang Ren Fu menyaksikan semuanya ini dengan mulut terbuka dan mata nanar, terbata-bata dia berpaling pada Murong Yun Hua dan bertanya.   "Yun Hua ada apa ini ada apa ini? Benarkah apa yang mereka katakan itu?"   Dada Murong Yun Hua sudah berdebaran tidak karuan, melihat apa saja yang terjadi yakinlah dia bahwa Ding Tao dengan diam-diam sudah mengatur apa saja yang akan terjadi hari ini.   Dia tidak siap, selamanya dia yang bergerak dalam kegelapan, kali ini berbalik orang lain yang bergerak dalam bayangan, sementara dia berada di tempat yang terang.   Dia tidak siap, panik dan putus asa, kemarahannya pun memuncak mendengar pertanyaan Huang Ren Fu yang mengiba-iba.   "Diam keparat!!! Diaaam!!!", desisnya penuh rasa marah pada Huang Ren Fu.   Membuat semua orang semakin yakin bahwa benarlah apa yang Ding Tao katakan, perubahan ini terjadi begitu cepat, setiap orang dibenturkan dengan kejutan demi kejutan.   Meski kenyataan begitu besar dinyatakan di depan mata, sebagian besar dari mereka rasa-rasanya masih belum bisa berpikir dengan terang dan tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.   Bagaimana dengan Ren Zhuocan di sana? Tapi kejutan demi kejutan belum berakhir, dari barisan yang berbaris rapi di belakang Murong Yun Hua, tiba-tiba bergerak memisah, hampir lewat separuh dari mereka yang berdiri sebagai anggota Partai Pedang Keadilan, bergerak serempak mengikuti aba-aba dari pemimpin kelompok mereka.   Bergerak memisahkan diri dari barisan Murong Yun Hua menuju ke sisi tempat Ding Tao berada.   Berbarengan dengan suara lantang mereka bersama-sama memberi hormat pada Ding Tao.   "Hormat kami pada Ketua Ding Tao!"   Ding Tao pun mengangguk dan melambaikan tangan.   Dia yang tadi sendirian, sekarang dengan tiba-tiba di belakangnya telah berdiri ratusan orang jumlahnya.   Lebih mengejutkan lagi, tiba-tiba dihantarkan oleh Pang Boxi dan Chen Taijiang, sekelompok kecil orang bergabung dengan ratusan orang yang sudah berbaris di belakang Ding Tao, ketika banyak orang mengamati lebih jauh, ternyata mereka adalah pengikut-pengikut setia Ding Tao yang masih hidup dan menghilang setelah kejadian di Jiang Ling, di antara mereka ada Sun Gao, Sun Liang, Qin Hun dan Qin Baiyu.   Belum selesai mereka membicarakan itu, sudah terdengar suara lain yang mengatasi sekian banyak suara.   "Murong Yun Hua! Kau bersandiwara bak seorang malaikat, membuat kami dari Emei pun bersimpati padamu, tak kusangka kau tidak lebih dari seorang iblis yang memakai topeng. Jangan harap kami dari Emei akan menolongmu keluar dari masalah ini."   Itulah Bhiksuni Huan Feng yang telah menggerakkan barisan anak murid Emei mengepung kelompok kecil Murong Yun Hua yang makin lama makin kecil saja dengan perginya sebagian pengikut Partai Pedang Keadilan kepada Ding Tao.   Bai Chungho yang licik dengan cerdik menggunakan kesempatan segera setelah Ketua Emei berbicara, dengan lantang dia berseru.   "Benar-benar siluman rubah! Aku yang sudah tua pun tertipu oleh sandiwaramu. Saudara-saudara dari Partai Pengemis, kepung mereka, jangan biarkan ada celah terbuka!"   Ya, tidak seperti Zhong Weixia dan Tetua Xun Siaoma, Bai Chungho mendukung gerakan Murong Yun Hua karena uang, jika dia tidak memanfaatkan situasi dan cepat-cepat mengekor dengan apa yang dilakukan Bhiksu ni Huanfeng, bisa-bisa dia nanti akan kelabakan mencari alasan untuk menjaga mukanya.   Dari sekian banyak pendukung Murong Yun Hua, sekarang tinggal ah Guang Yong Kwang yang berdiri dengan wajah pucat, pandangan matanya sekarang tertuju pada Ding Tao dan dalam hati dia memaki, juga memohon.   Setan, bocah keparat, kau sudah beri jalan pada Zhong Weixia dan Xun Siaoma untuk mundur, kapan giliranku?, demikian pikirnya kobat-kabit.   Matanya pun berbenturan dengan pandang mata Ding Tao yang melihat awas pada semua yang terjadi di dataran Gurun Gobi itu, seulas senyum samar-samar bisa dia lihat terbentuk di wajah Ding Tao, dan diapun memaki dalam hatinya sejadi- jadinya.   "Ketua Guang Yong Kwang, aku tahu, seperti diriku dan Tetua pendekar pedang Jin Yong, kau pun telah terjebak dengan tipuan Murong Yun Hua dan meminum Obat Dewa Pengetahuan.   Jangan khawatir, seperti yang kau lihat, aku sudah memiliki penawarnya.   Baik diriku maupun Tetua Jin, telah pulih dari efek samping yang mengerikan dari Obat Dewa Pengetahuan.   Kau tidak perlu lagi menjadi tawanan Murong Yun Hua, kemarilah, akan aku berikan resepnya.", ujar Ding Tao sambil menunjukkan secarik kertas yang dia ambil dari dalam jubahnya.   Hampir berlari Guang Yong Kwang berjalan cepat ke arah Ding Tao, menghaturkan hormat seperti yang dilakukan Zhong Weixia dia pun menerima secarik kertas yang diberikan Ding Tao padanya dan dengan suara yang terdengar jelas oleh semua orang dia berkata.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Wulin Mengzhu sungguh bijak, aku haturkan terima kasih yang tak terkira oleh pertolongan Wulin Mengzhu ini."   Menengok ke arah Murong Yun Hua dia pun berteriak lantang.   "Sekalian anak murid Kunlun, bersiap untuk menerima perintah dari Wulin Mengzhu Ding Tao!"   Habislah sudah Murong Yun Hua, dia menengok ke kiri dan ke kanan, ke belakang dan ke depan, di sekelilingnya adalah sekian banyak orang yang dahulu menjadi sekutunya, tapi sekarang mereka berbalik menjadi lawan.   Jumlah orang di pihaknya sendiri masih cukup besar, tapi apa artinya jika dibandingkan dengan lautan manusia yang mengepungnya saat itu? Belum lagi dia bisa berpikir, terdengar Ding Tao berkata.   "Kalian yang pernah menjadi pengikut Partai Pedang Keadilan, jangan kira aku tidak tahu siapa yang sungguh-sungguh setia dan siapa yang sejak awal sudah bermuka dua, berucap sumpah setia kepadaku namun diam-diam tunduk pada Murong Yun Hua dan bersedia untuk menggulingkan diriku.   Tapi pada kalian kuberikan juga kesempatan kedua.   Menyerahlah sekarang dan aku tidak akan memperhitungkan pengkhianatan kalian ini.   Menyerahlah dan menyingkirlah dari barisan itu!", lantang berwibawa suara Ding Tao.   Mereka ini yang sejak tadi sudah kebat-kebit melihat jagoan mereka tiba-tiba menjadi sasaran kemarahan sekalian orang- orang dari dunia persilatan memang sudah tidak tahan ingin lari dari barisan Murong Yun Hua.   Berbeda dengan para pengikut keluarga Murong yang sudah mengikuti Murong Yun Hua belasan tahun.   Kalau pengikut inti Murong Yun Hua ini, meski melihat keadaan dan menjadi panik, tak sedikitpun terlintas dalam benak mereka untuk meninggalkan Murong Yun Hua.   Tapi orang-orang persilatan yang tadinya mengikut Partai Pedang Keadilan untuk menebeng kebesaran partai itu, kemudian tertarik untuk mengikut Murong Yun Hua, mana ada kata kesetiaan dalam hati mereka.   Melihat keadaan berbahaya, sebenarnya tak tahan mereka ingin ikut bergerak bersama pengikut setia Ding Tao yang sudah lebih dahulu meninggalkan barisan.   Namun kaki mereka sungguh hilang kekuatan, apalagi setiap kali pandang mata mereka bentrok dengan pandang mata Ding Tao yang berwibawa yang melihat ke sekelilingnya seakan-akan menjenguk isi hati setiap orang.   Sekarang tiba-tiba Ding Tao memberikan jalan hidup bagi mereka, maka tanpa mempedulikan lagi harga diri, mereka pun bergerak hampir tunggang langgang, memisahkan diri dari barisan Murong Yun Hua.   Tersemburlah caci maki dari para pengikut setia Murong Yun Hua melihat kepengecutan mereka.   Tapi mana mereka itu ingat pada harga diri? Nyawa hampir saja melayang, soal harga diri bisa diurus nanti.   Bukan hanya para pengikut Murong Yun Hua, sebagian besar tokoh-tokoh dunia persilatan pun memandang mereka penuh penghinaan.   Banyak nama mereka yang diam-diam sudah tercatat dalam benak sekalian orang dunia persilatan.   Inilah para pengecut yang hanya tahu mencari untung, tapi di saat tuannya kesulitan mereka berbalik menggigit tangan yang pernah memberi mereka makan.   Bai Chungho pun terkekeh geli dalam hati.   Dasar orang goblok, tidak bisa cepat melihat berubahnya arah angin, ejeknya dalam hati.   Ya, Bai Chungho bukankah sebenarnya serupa mereka? Hanya saja tokoh yang satu ini cukup licin untuk bisa menyelamatkan diri dan juga harga dirinya di depan orang banyak.   Habis sudah dukungan untuk Murong Yun Hua, hanya tersisa dirinya dan sekitar seratusan orang pengikut setianya.   Meski demikian tidak ada yang bergerak sembarangan, kepandaian yang ditunjukkan Murong Yun Hua, beserta kira-kira 30-an orang pengikut yang dibinanya masih terekam dengan baik dalam ingatan.   Jumlah mereka boleh kecil, tapi dari segi tingginya ilmu, tidak bisa dipandang remeh.   Ding Tao diam sejenak, dibiarkannya Murong Yun Hua mengedarkan pandangan matanya ke seluruh dataran itu, dibiarkannya Murong Yun Hua meresapi keadaannya, kemudian dengan suara yang hampir-hampir lembut dia bertanya, "Nah Murong Yun Hua, apa jawabmu?"   Seperti seekor tikus yang dikejar-kejar, dalam benak Murong Yun Hua berpacu berbagai perhitungan, mencari cara untuk menyelamatkan diri, jumlah 6 perguruan besar, ditambah ratusan pengikut Ding Tao dan beberapa ribu anggota Partai Pengemis,mencapai kira-kira setengah dari total seluruh mereka yang datang di bawah panji-panjinya.   Masih ada setengah lagi yang terdiri dari berbagai macam tokoh persilatan, perguruan kecil dan sebagainya.   Dengan suara yang bergetar namun masih terkendali dia menatap ke arah mereka dan berkata.   "Jangan terpedaya! Ding Tao sudah bekerja sama dengan Ren Zhuocan, lihatlah, barisan kita yang besar ini sudah terpecah menjadi dua. Jangan salah mengambil langkah, jangan jatuh ke dalam jebakan lawan!"   Melihat perkembangan ini tentu saja yang paling gembira adalah Ren Zhuocan, dalam pertarungan antar tokoh dia memiliki keyakinan dengan dirinya.   Satu-satunya yang menggetarkan dari pihak lawan adalah jumlah mereka yang cukup besar dan mampu menandingi jumlah orang di pihaknya.   Sekarang dengan munculnya Ding Tao mereka mulai bertengkar di antara dirinya sendiri.   Tapi jika Ding Tao berhasil menyatukan mereka semua, dikurangi jumlah mereka yang setia pada Murong Yun Hua jumlah itu masih cukup besar juga.   Lebih baik jika mereka terbagi menjadi dua, atau bisa juga jika mereka bergerak saling serang, saling bunuh dan mengurangi kekuatan mereka.   Maka terdengarlah suara Ren Zhuocan tertawa terbahak-bahak.   "Benar juga kata nona itu! Meski aku datang untuk menantang kalian satu lawan satu, tidak ada yang lebih lucu dan menggelikan daripada melihat kalian saling cakar sendiri. Hahahaha, meski aku harus mengatakan bahwa baik Ding Tao atau pun Murong Yun Hua, nama itu aku tak kenal. Hahahaha."   Mereka yang mendengar ucapan Ren Zhuocan pun saling berpandangan, apa yang harus mereka lakukan sekarang, di seberang sana ada Ren Zhuocan dan ratusan ribu orang di bawahnya.   Di pihak mereka ada Murong Yun Hua dan Ding Tao.   Kalaupun Ding Tao yang benar, lalu apa yang harus mereka lakukan dengan Murong Yun Hua dan pengikutnya? Melepaskan mereka? Menawan mereka? Menumpas mereka terlebih dahulu? Zhong Weixia yang licik dengan suara yang lantang bertanya pada Ding Tao.   "Ketua Ding, beri kami perintah, apa yang harus kami lakukan sekarang?"   Ren Zhuocan boleh jadi menjadi ancaman, tapi kedengkian Zhong Weixia tak kenal batas, sungguh kesal dia melihat Ding Tao yang saat ini berdiri demikian tegar sebagai Wulin Mengzhu yang sah.   Dengan pertanyaannya ini dia sudah siap mempertanyakan keputusan Ding Tao, apa pun keputusannya.   Dalam hati sebuah senyum mengejek terbentuk di wajah Zhong Weixia ketika terdengar suara Huang Ren Fu berteriak lantang.   "Beri kami keluarga Huang keadilan!", teriak pemuda itu lantang, matanya menatap liar penuh dendam ke arah Murong Yun Hua.   Sebentar kemudian terdengar suara-suara lain yang ikut mendukung pemuda itu, meski di saat yang sama Huang Ren Fu melihat beberapa orang kepercayaannya justru diam dan memandang Murong Yun Hua menanti perintah.   Beberapa di antara mereka adalah Tang Xiong dan LI Yan Mao, orang-orang yang meyakinkan dirinya bahwa Ding Tao-lah yang berada di balik pembantaian di Wuling, maka makin tenggelamlah hati pemuda itu melihat kenyataan ini.   Dengan sebuah gerakan kepala dari Murong Yun Hua, beberapa orang pengikut Murong Yun Hua yang disisipkan ke dalam Keluarga Huang itu pun dengan cepat bergerak menyatukan diri ke dalam kelompok Murong Yun Hua, di luar dugaan orang, jumlah pengikut keluarga Murong yang menyusup ke berbagai partai, perguruan, keluarga ternama bahkan ke dalam enam perguruan besar tidaklah kecil jumlahnya.   Mengikuti apa yang dilakukan mereka yang bertugas menyusup ke dalam keluarga Huang, satu dua orang hampir dari tiap-tiap kelompok yang cukup punya nama dalam dunia persilatan bergerak menyatukan diri di dalam barisan Murong Yun Hua.   Sungguh jumlah mereka di luar dugaan banyak orang, jumlah yang tadinya hanya seratusan lebih, tiba-tiba membengkak mendekati 1000 orang.   Ren Zhuocan yang melihat itu dari kejauhan tertawa senang, semakin lama perkembangan yang terjadi semakin menguntungkan dirinya.   Dia pun diam-diam menanti dengan penuh perhatian, apa yang akan dilakukan Ding Tao menghadapi keadaan ini? Ding Tao mengangkat tangannya tinggi-tinggi, membuat setiap orang berhenti berbicara dan berteriak.   Kemudian dia berpaling ke arah Ren Zhuocan.   "Ketua Ren Zhuocan, maaf kami mempertunjukkan satu pertunjukan yang buruk di hadapan ketua.   Ketua Ren datang ke mari untuk saling menguji, saling bertukar ilmu dan melihat perkembangan ilmu silat dari masing-masing negara.   Tapi kami justru bertengkar sendiri di depan Ketua Ren, sungguh memalukan saja.", ujar Ding Tao dengan tenang, sembari maju melangkah mendekati barisan Ren Zhuocan.   "Ketua Ding, bagaimana dengan keluarga Murong?", sekali lagi Zhong Weixia bertanya.   Langkah Ding Tao pun terhenti, menghela nafas dia berbalik dan menengok ke arah Zhong Weixia.   "Ketua Zhong, Ketua Zhong adalah ketua dari satu partai yang besar, masakan tidak mengerti bagaimana kita harus menangani masalah ini. Di depan tamu, apakah pantas kita bertengkar antar saudara sendiri? Urusan di dalam biarlah kita selesaikan setelah tamu kita pulang."   Merah padam wajah Zhong Weixia ditegur sedemikian rupa di depan orang banyak.   Tanpa menunggu jawaban dari Zhong Weixia, Ding Tao sudah memalingkan muka dan kembali bergerak mendekati Ren Zhuocan.   Huang Ren Fu yang tadinya hendak membuka mulut dan menuntut keadilan sekali lagi, ikut terdiam mendengar jawaban Ding Tao pada Zhong Weixia.   Suara Ding Tao terdengar jelas ketika dia berkata.   "Ketua Ren, ayolah kita saling mengukur kepandaian. Bukankah untuk itu Ketua Ren datang ke dataran ini?" "Hahahahah, bagus, bagus, sungguh pahlawan sejati, benar-benar pantas untuk menjadi Wulin Mengzhu. Hebat Ketua Khongzhen dan Chongxan boleh pergi, tapi penggantinya tak kalah hebat. Bagus!", jawab Ren Zhuocan sembari berjalan maju, menemui Ding Tao di tempat yang luas, di antara barisannya dan barisan para pendekar dari dalam perbatasan. Melihat dua orang jagoan hendak bertarung, perhatian setiap orang pun tertuju pada dua orang itu. Murong Yun Hua boleh jadi merupakan berita yang mengejutkan, tapi pertarungan antara dua orang jagoan nomor satu dari dua negara yang berbeda, lebih menarik bagi sebagian besar orang yang hadir di situ, para penggila ilmu silat. Ketegangan pun menyelimuti dataran Gurun Gobi. Tetua Shen, Wang Shu Lin dan enam orang gurunya, mereka yang mengikuti Ding Tao sampai saat-saat terakhir sebelum Ding Tao menghilang, menyaksikan itu semua dengan jantung berdetak kencang. Seperti apakah Ding Tao yang sekarang? Benarkah dia sudah mencapai tataran yang sama dengan Ren Zhuocan? Sementara Murong Yun Hua menyaksikan pertemuan dua orang jagoan itu dengan pemikiran yang berbeda, jika Ding Tao kalah dalam pertarungan itu, dia sudah bersiap untuk melompat ke depan dan menantang Ren Zhuocan. Jika dia bisa mengalahkan Ren Zhuocan, penilaian orang pun tentu akan berbeda lagi. Ada kesempatan yang lebih besar baginya untuk menyelamatkan diri. Tapi entah mengapa, dalam hati kecilnya tiba-tiba dia berharap agar Ding Tao bisa menang melawan Ren Zhuocan. Gila!, makinya dalam hati dengan perasaan tak menentu. Sementara itu Ding Tao dan Ren Zhuocan berjalan makin perlahan, dalan tiap langkah mereka, semakin dekat jarak di antara mereka, maka tekanan yang timbul dari perasaan mereka yang peka akan bahaya dari lawan yang ada di hadapan mereka semakin besar. Makin lama makin perlahan, hingga akhirnya mereka berhenti, lima langkah jaraknya antara Ding Tao dan Ren Zhuocan. Udara di antara dua orang jagoan itu pun rasa-rasanya sudah pekat dengan tenaga yang tak terlihat. Naiklah alis mata Ren Zhuocan. Heh, boleh juga bocah ini, dalam hal pengolahan hawa murni dan semangat, dia tidak berada di bawah Khongzhen dan Chongxan. Tapi jangankan bocah ini, mereka berdua pun saat ini bukanlah tandinganku., pikirnya dalam hati. "Ketua Ding, kulihat kau membawa pedang, apakah dalam pertarungan ini kau akan menggunakan pedang?", tanya Ren Zhuocan. "Benar", jawab Ding Tao tenang. "Kalau begitu silahkan Ketua Ding mencabut senjata.", ujar Ren Zhuocan mempersilahkan. Ding Tao kemudian balik bertanya.   "Bagaimana dengan Ketua Ren, apakah tidak menggunakan senjata? Jika demikian maka baiklah aku pun tidak menggunakan senjata."   Ren Zhuocan tersenyum dan menjawab.   "Pedang sudah tidak ada di tanganku lagi, pedang sudah ada di hatiku."   Jawaban ini membuat orang-orang yang ada di barisan terdepan dan mendengar ucapan Ren Zhuocan itu saling berbisik dan perlahan ucapan Ren Zhuocan itu pun menyebar sampai pada mereka yang berada di baris belakang.   Mereka yang berdiri di belakang Ding Tao pun memasang telinga dan menunggu apa jawaban Ding Tao.   "Oh begitu baiklah kalau begitu aku pun tidak akan mencabut pedangku", jawab Ding Tao sederhana.   Tetua Shen yang ikut menonton dari balik kerumunan orang, tersenyum dalam hati, Tahu rasa kau, Ren Zhuocan, gayamu hendak menyombong, sekarang ketemu batunya, mau apa kau kalau dijawab seperti itu? Memang maksud hati Ren Zhuocan hendak menyombongkan dirinya, sekaligus menggertak lawan, siapa sangka justru Ding Tao bersikap seakan tak mengerti apa maksud dari perkataannya itu.   Seakan-akan apa yang dicapai Ren Zhuocan bukanlah sesuatu yang perlu dipikirkan, mau pedang di tangan, mau pedang di hati, mau pedang di pantat, juga semau dia, tidak ada urusannya dengan Ding Tao.   Wajah Ren Zhuocan pun berubah jadi gelap.   "Baiklah Awas serangan kalau begitu!", seru Ren Zhuocan dengan hati geram dia pun berkelebat menyerang Ding Tao.   Jarak yang lima langkah, dalam satu kejapan mata sudah ditutup, sebuah serangan dilancarkan, tangan kanan memancing, tangan kiri bersiap.   Sederhana saja, namun kekuatan dan kecepatannya sungguh mengerikan.   Tapi yang lebih mengejutkan adalah tanggapan Ding Tao, seakan dia sudah bisa membaca pikiran lawan, sebelum Ren Zhuocan sampai dia sudah bergeser ke kiri, ke sisi kanan Ren Zhuocan, tangannya yang membawa pedang menggerakkan gagang pedang bergerak menutuk ke arah mana pergelangan tangan Ren Zhuocan akan sampai seandainya serangan diteruskan.   Gerakan Ding Tao tidak secepat Ren Zhuocan, namun antara kecepatan dan waktu serangan, bila Ren Zhuocan tidak menghentikan serangannya, tidak bisa dihindari pergelangan tangannya akan kena ketuk oleh gagang pedang Ding Tao.   Ren Zhuocan pun dengan cepat mengubah pukulannya menjadi cengkeraman, tangan yang tadinya hendak bergerak lurus ke depan, sekarang berubah menyambar ke samping, tangan yang tadinya terkepal sekarang terbuka dan hendak menangkap tangan Ding Tao yang bergerak hendak menyerang pergelangan tangannya.   Tapi lagi-lagi dengan kecepatan yang berada di bawah serangan Ren Zhuocan, Ding Tao sudah bergerak menarik serangannya dan melangkah bergeser maju, membuat sambaran tangan Ren Zhuocan akan mengenai udara kosong, sementara gagang pedang yang tadi bergeraj hendak mengetuk pergelangan tangan, ditarik ke arah dada dan mengarah ke arah siku Ren Zhuocan.   Jika Ren Zhuocan terlambat menarik serangannya, niscaya sikunya akan membentur dengan gagang pedang Ding Tao dan akan terluka oleh kekuatannya sendiri.   Ren Zhuocan bukan anak kemarin sore, kepandaiannya tidak di bawah Bhiksu Khongzhen atau Pendeta Chongxan.   Dua gebrakan sudah cukup untuk menyadarkan dia bahwa dia terlalu memandang rendah lawan.   Sembari menarik serangan Ren Zhuocan menggeser tubuhnya menjauh dari jangkauan serangan Ding Tao.   Dalam satu gerakan yang singkat itu, Ren Zhuocan meredakan kemarahannya dan mengkonsentrasikan pikirannya, memasuki keadaan kosong.   Sekali lagi Ding Tao bergerak seakan sudah mengetahui apa yang akan terjadi, meski Ren Zhuocan bergerak mundur dia tidak maju memburu.   Melainkan dia berdiri diam di tempatnya, tubuhnya berdiri dalam keadaan sempurna, tidak terlalu tegang tapi juga tidak terlalu santai.   Pedang yang belum dicabut disilangkan di depan dadanya, tangan yang lain disembunyikan di belakang punggung.   Matanya menatap lurus ke arah Ren Zhuocan, tapi tidak berfokus pada Ren Zhuocan.   Ren Zhuocan pun sekarang berdiri diam, dalam sikap sempurna yang tak jauh berbeda dengan sikap yang diambil Ding Tao.   Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya dalam posisi bisa berubah setiap saat.   Seluruh panca inderanya menajam, semangatnya berada dalam keadaan wajar, tidak rendah tidak tinggi.   Matanya lurus menatap Ding Tao, tapi bukan hanya matanya yang mengamati pemuda itu, bahkan seluruh indera perasa pada kulitnya ikut mengamati gerak gerik pemuda itu.   Keduanya tidak lagi menyandarkan serangan dan pertahanan pada pemikiran mereka yang wajar.   Lebih tepat jika disebut intuisi, mungkin juga kepekaan hati, kumpulan pengalaman, pengetahuan, proses berpikir yang berbeda.   Menyerang atau tidak, apakah ada kelemahan pada lawan atau tidak, semuanya bukan bersandar pada pikiran sadar.   Lebih seperti orang yang berkedip, sebelum berpikir untuk berkedip, ketika ada benda yang hendak sampai di matanya.   Proses berpikir yang di luar kewajaran manusia pada umumnya.   Jika dua orang tokoh seperti mereka mengambil sikap kuda-kuda, apakah ada kelemahannya? Tentu saja hampir-hampir tidak ada, jika tidak bisa dikatakan tidak ada.   Jika dilihat dengan mata saja dan menggunakan cara berpikir yang biasa, mungkin justru orang akan melihat lubang-lubang kelemahan.   Tapi lewat intuisi mereka berdua, mereka tahu itu bukan kelemahan.   Justru maut yang akan didapat jika mereka mencoba menyerang titik-titik tersebut.   Jika demikian, kapankah mereka akan bergerak? Adakalanya bisa dikatakan ini pertarungan antara semangat yang seorang dengan yang lain.   Siapa yang semangatnya turun lebih dulu dan kewaspadaannya kendur sehingga terbuka jalan untuk diserang, apakah semangat lawannya masih terjaga dan kewaspadaannya tidak kendur sehingga bisa memanfaatkan kesempatan itu.   Tapi keduanya pun bisa dikatakan hampir berimbang, semangat keduanya bekerja dengan wajar, tidak berlebihan sehingga justru hilang kewaspadaan, tidak juga menurun sehingga melemahkan pertahanan dan serangan.   Tidak ada jurus pancingan, tidak ada gerakan yang memancing gerakan lawan.   Tanpa bergerak, tanpa dicoba, mereka berdua sudah tahu gerakan itu tidak akan berguna untuk lawan mereka kali ini.   Maka pertarungan kali ini pun seperti perlombaan untuk diam dalam keadaan sempurna.   Mereka yang tidak paham mulai bosan dan bertanya-tanya.   Jika ada mereka yang lebih berpengalaman, memiliki pengetahuan dan tidak pelit untuk berbagi, maka orang-orang itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul.   Maka keheningan itu mulai diisi dengan bisik-bisik di antara mereka yang melihat pertarungan itu.   Antara guru dengan murid-muridnya.   Antara senior dengan juniornya.   Dari hening kemudian timbul suara, keseimbangan yang tercipta sebelumnya bergeser sedikit saja dan dua orang itu pun bergerak.   Namun pergeseran itu hanya singkat saja umurnya, karena pada saat Ren Zhuocan kehilangan keseimbangan dengan sangat cepat dia memulihkan diri dan bergerak mengimbangi gerakan Ding Tao.   Jika terlambat sedikit saja, tentu saat ini Ding Tai sudah menyerang dan mencecar Ren Zhuocan.   Kekalahan yang selapis kulit ari itu, jika terjadi pada orang lain mungkin membuat semangat mereka terguncang dan tak mampu kembali pada keseimbangannya.   Jika itu yang terjadi maka selesailah pertarungan ini.   Tapi Ren Zhuocan terbuat dari bahan yang lebih liat.   Penguasaan dirinya tidak tergoyahkan oleh kesalahan yang sesaat itu.   Dengan cepat kedudukan kembali seperti semula.   Nafas tiap-tiap orang yang sempat terhenti pun mulai berjalan kembali.   Sampai berapa lama? Cukup lama, tiap-tiap kali ada perubahan pada lingkungan mereka, tiupan angin padang gurun, pergerakan matahari, awan tipis yang mungkin lewat, keringat yang mulai menetes di dahi mereka.   Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Setiap perubahan, selalu menuntut penyesuaian, keduanya pun tanpa terasa sudah berpindah tempat, namun sampai saat itu belum juga ada yang bergerak menyerang.   Ada kalanya sebelum berangkat berduel, seseorang memeriksa dahulu tempat yang akan mereka gunakan untuk berduel.   Ren Zhuocan yang sudah bersiap sudah melakukan hal itu, bisa dikatakan dia sudah menghafal, bahkan dengan sengaja mengatur tata letak dari arena tempat mereka akan bertarung.   Tidak demikian dengan Ding Tao, dia berangkat setelah waktunya sangat dekat.   Mereka sampai hanya selisih satu hari sebelum diadakannya pertarungan, itu pun dia harus memastikan segala sesuatunya siap untuk mengurung Murong Yun Hua dengan serangan-serangannya hingga Murong Yun Hua tidak bisa berkutik lagi.   Ada yang Ren Zhuocan tahu mengenai medan itu yang Ding Tao tidak tahu.   Ketika Ren Zhuocan menantikan saat-saat itu, Ding Tao tidak tahu saat-saat apa yang ditunggu Ren Zhuocan.   Pada satu saat, mereka kembali bergeser oleh terjadinya pergeseran matahari, kaki Ding Tao bergerak, seharusnya menginjak tanah berpasir yang padat, tapi dalam hitungan sepersekian detik dia mendapati tanah di bawahnya bergerak hendak ambles ke bawah.   Itulah jebakan yang sudah disiapkan Ren Zhuocan, ada beberapa tempat di mana dia menanam bebatuan sehingga permukaan tanah berpasir itu menjadi tidak rata, ada pula tempat di mana dia mengubur di bawah pasir-pasir itu kantung kemih babi yang ditiup sehingga menggembung berisi udara.   Sepertinya tanah itu rata, tapi begitu Ding Tao menginjaknya, meletuslah kantung tipis itu dan tanah pun ambles ke dalam Hanya sepersekian kejap saja kejadiannya, Ren Zhuocan berkelebat menyerang, setiap orang menahan nafas.   Beberapa orang dari mereka yang mendukung Ding Tao bahkan berteriak kaget.   Mereka yang mendukung Ren Zhuocan ada yang bersorak tertahan.   Bagaimana tidak, semua orang tahu, pertarungan ini akan diselesaikan dalam satu serangan dan Ren Zhuocan-lah yang bergerak menyerang lebih dahulu.   Sedemikian cepat apa yang terjadi, hampir-hampir tidak ada seorang pun yang dapat mengikuti apa yag terjadi.   Serangan Ren Zhuocan datang dengan cepat, tangan kanannya bergerak dari sisi tubuhnya, mengarah ke atas, menyambar Ding Tao yang hilang keseimbangan dan miring ke arah kiri.   Telapak tangan yang berkembang bergerak menyambar kepala Ding Tao yang seakan bergerak hendak menyambut tamparan maut itu.   Kena!, dalam hati Ren Zhuocan berteriak.   Tapi tidak, begitu kaki kirinya ambles ke dalam tanah, Ding Tao tidak kehilangan keseimbangan, justru dia menekuk kaki kirinya sehingga tubuhnya merendah dengan cepat, mendahului serangan Ren Zhuocan yang datang menyambar.   Tamparan Ren Zhuocan pun lewat tipis di atas kepalanya.   Bertumpu pada kaki kiri, tangan kiri Ding Tao bergerak menyerang bagian pinggang Ren Zhuocan, hebat serangan itu karena sembari memukul, dibarengi juga dengan hentakan di kaki kiri dan tumpuan digeser ke arah kanan.   Salah perhitungan, Ren Zhuocan sekarang justru berada pada kedudukan yang tidak menguntungkan.   Tangannya sudah menyambar ke depan, membuat pinggang kanannya terbuka lebar untuk diserang.   Tapi Ren Zhuocan tidak menjadi gugup, sekejap sebelum pukulan Ding Tao sampai dia sudah mengerahkan ilmu kebalnya untuk melindungi bagian itu.   Sementara tangan kanannya yang sudah berada di atas, sekarang bergerak ke bawah, hendak menghantam kepala Ding Tao dengan sikunya.   Tapi sekali lagi Ren Zhuocan salah perhitungan, karena pada saat itu juga Ding Tao menggunakan kaki kanannya untuk mendorong tubuhnya ke belakang.   Hentakan kaki kiri Ding Tao ditambah dengan pergeseran tumpuan tubuhnya, membuat tubuh Ding Tao bergerak ke arah mundur ke sisi kanan.   Pukulan tangan kiri Ding Tao ke arah pinggang justru hanya sebuah gerak tipu.   Begitu dia mendapatkan pijakan yang kuat, tangan kanan Ding Tao bergerak cepat memukul dengan menggunakan gagang pedang ke arah dada Ren Zhuocan.   Tidak kalah cepat tangan kiri Ren Zhuocan bergerak menangkis serangan Ding Tao, tapi pada saat tangannya berbenturan dengan sarung pedang Ding Tao, terjadilah hal di luar dugaan Ren Zhuocan, alih-alih tertangkis, justru Ding Tao menggunakan kekuatan tangkisan Ren Zhuocan sebagai tumpuan bagi pedangnya untuk berputar, dengan cepat gagang pedang mundur dan ujung pedang yang masih dalam sarung bergerak menebas maju, dan kali ini tanpa bisa dihindari, ujung pedang Ding Tao memukul telak leher Ren Zhuocan.   Pukulan ini bukan pukulan biasa, apalagi Ren Zhuocan sudah salah mengarahkan ilmu kebalnya.   Jika yang terkena pukul bukan Ren Zhuocan, mungkin sudah patah tulang pundaknya, tapi ini Ren Zhuocan, meskipun demikian pukulan itu membuat keseimbangannya terguncang.   Ren Zhuocan pun terhuyung ke kanan.   Ding Tao tanpa ragu menggunakan jurus-jurus serangan yang diwariskan Pendeta Chongxan dan Bhiksu Khongzhen padanya.   Terdesak Ren Zhuocan hanya mampu menghindar mundur dan menangkis.   Debu-debu berterbangan di sekitar mereka, dalam sekejapan mata sudah belasan langkah mereka bergerak, Ding Tao menyerang maju, sementara Ren Zhuocan terdesak mundur tanpa mampu melepaskan diri dari tekakan Ding Tao.   Serangan, demi serangan dilontarkan, beberapa terkena telak mendarat di tubuh Ren Zhuocan, beberapa bisa ditangkis, tak satupun berhasil dihindari apalagi untuk menghindar ke kiri atau ke kanan.   Satu kali dada Ren Zhuocan tak terjaga lagi dan jurus serangan yang pamungkas pun dikerahkan.   Terjadilah benturan hebat antara ilmu kebal Ren Zhuocan dengan Telapak Buddha tingkat akhir warisan Bhiksu Khongzhen, sebuah ledakan hebat terdengar menggetarkan setiap orang yang menyaksikan pertarungan itu.   Debu-debu dan pasir pun berhamburan membentuk kabut.   Untuk sesaat lamanya udara di sekitar dua orang itu menjadi hampa, dalam satu jurus simpanan Ding Tap bergerak mundur dan menghisap ruang hampa mengikuti arah geraknya, tubuh Ren Zhuocan terhuyung ke depan tersedot oleh udara di sekitarnya.   Kemudian dengan satu hentakan, satu kali lagi Ding Tao menghajar Ren Zhuocan dengan Telapak Buddha tingkat akhir.   Seperti layang-layang putus tubuh Ren Zhuocan terpental jauh ke belakang.   Semuanya terjadi dengan cepat, sejak Ding Tao hilang keseimbangannya, sampai pada serangan terakhir, kebanyakan orang hanya melihat bayangan Ding Tao dan Ren Zhuocan bergerak, untuk kemudian menyurut mundur dan ada satu tubuh yang terpental, melayang ke belakang dan terbanting di atas tanah.   Tapi mereka yang sudah mapan ilmunya bisa melihat, siapa menyerang dan siapa diserang.   Maka sorak sorai pun terdengar dari barisan para pendekar yang berasal dari dalam perbatasan.   Debu-debu mulai melayang turun, kabut pasir mulai menghilang, namun sorak sorai dari para pendekar justru semakin keras.   Semakin banyak orang yang melihat bahwa Ding Tao masih berdiri tegap, dan Ren Zhuocan lah yang terlontar ke belakang dan sekarang terbaring tak berdaya, semakin banyaklah yang bersorak-sorai.   Suara mereka semakin keras memenuhi seluruh padang gurun itu, pihak yang kalah tentu saja hanya bisa terdiam membeku di tempatnya.   Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Tak pernah terbayangkan, ketua mereka yang pilih tanding tak pernah terkalahkan itu ternyata akhirnya kalah di tangan seorang pemuda.   Kejutan itu terlalu besar bagi mereka.   Apakah Ren Zhuocan mati? Jika mati, lalu siapa yang sekarang memegang pimpinan? Siapa yang berhak untuk mengambil keputusan sekarang? Ren Zhuocan yang yakin tidak terkalahkan tidak pernah menyiapkan ini semua dan sekarang begitu dia dikalahkan, seluruh kawanannya yang jumlahnya ratusan ribu, tidak ubahnya seekor ular raksasa tanpa kepala.   Boleh saja mengerikan dan tampak mengesankan, namun sama sekali tak berbahaya.   Entah siapa yang memulai, setengah ragu-ragu terdengar suara berteriak.   "Balaskan dendam Ketua Ren Zhuocan!"   Dan mendengar suara itu, beberapa orang ikut berteriak, namun jumlah mereka sangatlah kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan yang ratusan ribu.   Selain itu mereka yang berteriak, tidak bergerak menyerbu ke depan, hanya maju beberapa langkah dengan ragu-ragu.   Ding Tao memandang mereka sejenak, kemudian memejamkan mata, mengosongkan diri, menyatukan dirinya dengan alam semesta, kemudian dalam sebuah hentakan yang mengguruh dia menabaskan tangan ke depan.   Gila! Sebuah tenaga yang besar menghempas ke depan, seperti ombak di lautan yang mengganas, seperti badai menerjang, sebuah gelombang kekuatan yang dahsyat bergulung-gulung menyambar, angin menderu menyapu butiran pasir di sekeliling Ding Tao, demikian luas jangkauan akibat dari pukulan itu, lingkarnya berjarak belasan kaki dari tempat tebasan itu dilancarkan.   Ketika butiran pasir itu mulai mereda, terlihat sudah terbentuk satu lubang besar sedalam mata kaki menganga di hadapan pemuda itu, sementara pasir bergunung di sekeliling lubang berbentuksetengah lingkaran itu.   Nyali siapa yang tidak ciut melihat pameran tenaga raksasa itu.   Suara yang berteriak menuntut balas itu pun redam dengan sendirinya.   "Ketua kalian belum mati, dia hanya pingsan saja, cepat kalian bawa dan rawat dia", ujar Ding Tao berkata, tidak bersetu tidak berteriak, namun suaranya sampai ke seluruh penjuru dataran.   Selesai berkata dia pun membalikkan badan dan berjalan kembali ke arah Murong Yun Hua yang masih dikepung oleh sekalian pendekar yang sekarang berbalik hendak menawannya.   Orang-orang kepercayaan Ren Zhuocan berlari cepat memeriksa keadaan Ren Zhuocan, ternyata benar kata Ding Tao, Ren Zhuocan masih hidup, meski nafasnya terkadang cepat, terkadang lambat, jelas tubuhnya sudah terluka dalam oleh pukulan Ding Tao.   Mungkin tidak semua orang sadar, tapi yang paling mengagumkan adalah Ding Tao bisa mengukur kekuatannya sedemikian rupa sehingga dia bisa yakin bahwa Ren Zhuocan tidak sampai mati oleh pukulannya.   Apakah dia tadi masih menahan tenaga atau memukul sekuat tenaga, tidak ada orang yang bisa mengukur dan memastikan.   Tapi dari cara Ding Tao mengatakan bahwa Ren Zhuocan masih hidup, tanpa dia bergerak sedikitpun untuk memeriksa keadaannya, jangankan bergerak, menengok untuk melihat pun tidak.   Artinya saat dia melancarkan pukulan yang kedua, dia tahu pukulan itu tidak akan membunuh Ren Zhuocan.   Melihat keadaan Ren Zhuocan cepat-cepat orang-orang kepercayaannya itu mengalirkan hawa murni untuk membantu Ren Zhuocan sadar, mengurangi akibat dari pukulan Ding Tao meski tidak bisa memulihkan keadaan Ren Zhuocan sepenuhnya.   Ren Zhuocan pun perlahan sadar dan membuka mata.   Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, ketika ada orang kepercayaannya yang mencoba membantu, dikebaskannya tangan mereka.   Karuan saja dia terhuyung hampir jatuh, karena sembarangan mengeluarkan tenaga dalam keadaannya saat itu tapi dasar keras kepala, Ren Zhuocan memaksakan diri dan berhasil berdiri dengan tegak.   Ding Tao yang sedang berjalan menuju tempat Murong Yun Hua berada berhenti di tempatnya dan membalik badan.   "Ketua Ren", ujar Ding Tao membuat Ren Zhuocan yang hendak pergi, diam kemudian berbalik, matanya tidak menunjukkan tanda-tanda mengakui kekalahan, yang terpancar adalah dendam dan kemarahan.   Tapi Ding Tao tidak ambil peduli, suaranya justru terdengar kasihan, seperti seorang tua yang melihat anaknya sedang berjalan menuju bahaya, namun dia tak mampu mencegahnya, meski dia berkata, namun dia tahu anaknya tak akan mendengarkan.   Meski begitu, tak mungkin juga dia berdiam diri sehingga dia pun berkata.   Seperti itu cara Ding Tao berkata.   "Ketua Ren, ketua mengatakan pedang sudah tidak ada di tangan, pedang ada dalam hati. Kuharap Ketua Ren tidak lupa, pedang adalah senjata, senjata hanyalah alat, sebuah alat adalah hamba dari yang menggunakan, jika alat kemudian menjadi tuan, itu artinya sesat. Itu artinya pemiliknya sudah kerasukan oleh ilmunya sendiri, bukan menjadi penguasa atas ilmunya."   Benar saja, mana mungkin Ren Zhuocan yang pongah mau mendengar nasehat Ding Tao, mendengus kesal dia menjawab, "Aku jalani jalanku sendiri, kau jalankan jalanmu. Lima tahun lagi aku akan datang dan kita lihat siapa yang benar."   Ding Tao pun menjawab.   "Kuat tidak selamanya berarti benar. Kalaupun aku kalah lima tahun lagi, benar memang itu artinya Ketua Ren lebih kuat tapi bukan berarti Ketua Ren lebih benar."    Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Perintah Maut Karya Buyung Hok Raja Silat Karya Chin Hung

Cari Blog Ini