Pedang Angin Berbisik 6
Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Bagian 6
Pedang Angin Berbisik Karya dari Han Meng "Heh, setelah dua tahun menghilang, kau tiba-tiba jadi makin hebat saja anak Ding, apa kau menemukan buah sakti atau obat dewa?" Matanya berputar dan mengedip dengan nakal pada Ding Tao. Ding Tao jadi tertawa geli dan menjadi jauh lebih rileks. "Tidak Paman Zhang, hanya saja guru mengajarku baik-baik." "Oh begitu, tapi kalau kau benar dapat obat dewa, jangan lupa kau bagi sedikit pada pamanmu yang tambah tua ini." Sambil tertawa Ding Tao menjawab. "Tentu paman, aku tidak akan lupa." "Baiklah sekarang kita harus saling menguji kemampuan kita masing-masing. Sebagai yang lebih muda kau mulailah lebih dahulu." "Baik paman." Setelah mereka sama bersiap dan berhadapan, dengan sopan Ding Tao memulai. "Awas serangan paman!" ------------------ o ----------------- Siapa bilang yang mengambil inisiatif terlebih dahulu akan mengambil keuntungan darinya? Mungkin saja benar demikian, tapi tidak kali ini. Kalau Tiong Fa cerdik seperti musang, Zhang Zhiyi mungkin pantas dipanggil musang kecil. Setelah beramah tamah dengan Ding Tao, diberinya kesempatan Ding Tao maju lebih dulu. Jika lawannya bukan Ding Tao, jika ini bukan pertandingan persahabatan, mungkin berbeda yang terjadi. Tapi yang kita bicarakan di sini ini adalah Ding Tao, bukan hanya lugu tapi juga sejak kecil sudah diajar untuk menghormati orang yang lebih tua. Benar dia bergerak lebih dulu, tapi serangannya bukanlah serangan yang membahayakan Zhang Zhiyi, bukan pula serangan yang akan membuat Zhang Zhiyi terpaksa mundur ke posisi yang merugikan. Bukan juga bagian dari siasat untuk mendesak Zhang Zhiyi mengikuti permainan silat Ding Tao. Serangan setengah matang semacam ini tentu saja tidak merugikan Zhang Zhiyi, justru serangan mentah ini menjadi kerugian buat Ding Tao. Perlu dipahami saat seseorang menyerang tentu ada bagian dari pertahanannya yang terbuka. Serangan bisa menjadi pertahanan yang baik, jika serangan itu dilancarkan dengan tepat. Kalaupun gagal mencapai hasil, setidaknya serangan itu memaksa lawan untuk mundur atau menangkis serangan, sehingga tidak sempat memanfaatkan celah-celah yang timbul untuk balik menyerang. Teori ini tentu saja dipahami dengan baik oleh Ding Tao, tetapi pemuda itu terlanjur terbawa oleh suasana persahabatan yang diumpankan oleh Zhang Zhiyi. Siapa sangka serangan Zhang Zhiyi justru telengas dan sebat, tak sepadan dengan senyum di wajahnya. Dengan satu gerakan yang sama Zhang Zhiyi mudah saja menghindari serangan Ding Tao, sekaligus masuk ke dalam daerah pertahanannya. Tangannya pun cepat terjulur menghajar ke dada Ding Tao, sementara pedangnya mengayun menutup jalan mundurnya. Padahal di saat itu tangan Ding Tao yang memegang pedang sudah terlanjur maju dalam gerakan menyerang. Untuk menarik serangannya jelas tidak sempat, tapi jika Ding Tao mengelak mundur maka pedang akan menghajar tubuhnya, mau tidak mau Ding Tao harus menerima hajaran Zhang Zhiyi. Untung Ding Tao masih sempat menggeser posisi tubuhnya dan menyilangkan satu tangannya di depan dada. Meskipun tidak sepenuhnya dapat menahan serangan Zhang Zhiyi, setidaknya mampu mengurangi sebagian dari daya serangan itu yang mencapai jantungnya. Tapi bahaya belum lewat sepenuhnya karena pedang di tangan Zhang Zhiyi sudah siap mengancam punggung Ding Tao. Hebatnya Ding Tao, serangan yang di depan dia tahan, serangan yang dari belakang pun tidak lepas dari pengamatan. Pada saat yang bersamaan pedangnya sudah ditarik mundur, bergerak menyilang menjadi perisai bagi punggungnya. Diam-diam Zhang Zhiyi memuji kecekatan anak muda itu, tapi kekagumannya tidak membuat dia menjadi bermurah hati pada pemuda itu. Tanpa mengendurkan sedikit pun serangan kali ini kakinya yang bergerak menendang ke depan. Dalam beberapa gebrakan saja, Zhang Zhiyi sudah berhasil mendesak mundur Ding Tao. Bukan hanya itu saja, pemuda itu dapat merasakan betapa jantungnya tergetar saat telapak Zhang Zhiyi mampir di dadanya tadi. Rupanya tanpa sungkan- sungkan Zhang Zhiyi sudah mengerahkan segenap hawa murni yang dia miliki dibalik pukulannya tadi. Jika pemuda itu tidak rajin-rajin berlatih dan menghimpun hawa murni sejak dia mulai belajar, mungkin sekarang pemuda itu sudah tergeletak dengan jantung yang terluka parah. Beruntung dia memiliki himpunan hawa murni yang cukup mapan, lagipula gerakannya menghindar dan melindungi dada, mengurangi sebagian lontaran tenaga Zhang Zhiyi. Tapi tetap saja aliran tenaganya menjadi kacau, sementara serangan Zhang Zhiyi tanpa hentinya dilancarkan tanpa belas kasihan. Baru kali ini Ding Tao menghadapi situasi di mana dia harus mati-matian menyelamatkan diri. Bahkan pada saat kekalahannya ketika melawan Wang Chen Jin, keadaannya masih jauh berbeda. Dia masih memiliki ruang untuk mengamati, berpikir dan merencanakan jurus yang harus dia lancarkan. Tapi tidak kali ini, rasa nyeri di dadanya, ditambah lagi serangan Zhang Zhiyi yang bervariasi dan dilancarkan tanpa henti membuat dia tidak memiliki kesempatan untuk berpikir sama sekali. Berbeda dengan serangan Wang Sanbo yang membadai tapi sederhana bentuknya. Serangan Zhang Zhiyi selain dilambari dengan penggunaan hawa murni yang menggiriskan hati, setiap serangan tentu memiliki kerumitan di baliknya. Jika tadi Ding Tao membuat lawannya bergerak menuruti permainannya, kali ini Ding Tao jatuh dalam permainan Zhang Zhiyi. Jangankan untuk melepaskan diri bahkan untuk bernafas pun hampir-hampir tidak. Dengan cepat tenaganya terkuras, otaknya dipaksa berputar keras. Keadaan Ding Tao benar-benar bagaikan telur di ujung tanduk. Mereka yang bersimpati pada Ding Tao pun sama-sama mengalirkan keringat dingin. Sementara seulas senyum terbentuk di wajah Tiong Fa dan para tokoh pimpinan keluarga Huang. Sudah terbayang kemenangan keluarga Huang di depan mata, apa lagi jika mereka membayangkan bahwa setelah ini mereka akan dapat menarik Ding Tao untuk memperkuat barisan. Kekalahan Ding Tao melawan Zhang Zhiyi, tidaklah menurunkan harganya, di mata mereka yang berpengalaman justru harga Ding Tao naik berkali lipat. Mereka sama-sama maklum akan sifat Ding Tao dan kecerdikan Zhang Zhiyi yang memanfaatkannya. Tapi taktik licik seperti itu sudah terang tidak akan bisa dipakai untuk kedua kalinya. Kekalahan Ding Tao kali ini justru akan membuat pemuda itu jadi lebih berpengalaman dan waspada dalam bentrokan-bentrokan selanjutnya di masa depan. Jika Ding Tao diberi kesempatan untuk memulihkan diri, lalu melakukan pertandingan ulang melawan Zhang Zhiyi, mereka yakin sepenuhnya bahwa pemuda itu yang akan memenangkan pertandingan. Bahkan Tuan besar Huang Jin yang tadinya tidak rela mengumpankan puterinya Huang Ying Ying untuk menikahi Ding Tao, sekarang ini berbalik merasa sayang jika Ding Tao sampai terluka parah. Dalam hati dia memaki Zhang Zhiyi yang terlampau keras melukai calon menantunya. Tentu saja dia sadar bahwa Zhang Zhiyi memang harus berlaku demikian, jika tidak, belum tentu Zhang Zhiyi dapat memenangkan Ding Tao dalam pertandingan ini. Melirik ke arah puterinya, Tuan besar Huang Jin jadi geli dan tertawa senang dalam hati. Sambil mengangguk-angguk, dia memuji kecerdikan Tiong Fa dan kejelian putera sulungnya. Sungguh-sungguh keluarga Huang mendapat untung besar kali ini. Teringat dia pada Gu Tong Dang, diapun berjanji dalam hati, setelah semua ini berakhir dia akan menjemput pelatih tua yang sudah banyak berjasa pada keluarga Huang. Huang Ying Ying yang tadinya bersembunyi di belakang kakaknya, tanpa terasa bergeser maju ke depan. Wajahnya penuh kecemasan, air mata pun mengembeng di pelupuk matanya. Yang sempat melihat, tentu sudah bisa menebak isi hati gadis muda ini. Tapi selain ayahnya, tidak ada yang sempat melirik gadis itu. Perhatian setiap orang tertuju pada pertarungan antara Ding Tao dan Zhang Zhiyi. Serangan Zhang Zhiyi yang membadai dan keuletan Ding Tao yang berusaha bertahan. Setiap saat selalu saja mereka disuguhi dengan gebrakan yang mendebarkan hati. Entah sudah berapa kali mereka sempat berpikir, akhirnya, kalah juga pemuda itu, atau robohlah dia sekarang. Tapi dengan keras kepalanya pemuda itu masih sempat saja untuk meloloskan diri. Yang tidak disangka semua orang adalah sebenarnya saat itu Zhang Zhiyi sudah hampir berputus asa. Pengetahuannya yang luas dalam ilmu bela diri sudah diperasnya habis-habisan. Selain dari ilmu keluarga Huang, Zhang Zhiyi memiliki banyak simpanan ilmu yang didapatnya saat dia memata-matai perguruan besar yang ada di daratan. Tapi kali ini dia bertemu batunya, yaitu Ding Tao yang hanya mempelajari ilmu keluarga Huang tapi berhasil menangkap inti sari dari ilmu keluarga Huang. Ding Tao memang belum berhasil menyelami hakekay ilmu bela diri sampai kedalaman yang terdalam, mendaki hingga puncak yang paling puncak. Di mana semua aliran yang berbeda itu bisa dipahami bersumber sari satu sumber yang sama. Di mana menguasai yang satu sama artinya dengan menguasai semua. Tapi dia sudah menyelami ilmu keluarga Huang hingga tuntas, sehingga sedikit banyak, pemahaman itu sudah ada padanya, meskipun masih berupa bayangan yang tidak jelas. Itu sebabnya berhadapan dengan jurus serangan Zhang Zhiyi yang berbagai macam jenisnya, Ding Tao masih bisa menyelamatkan diri. Bahkan sedikit demi sedikit, ruang geraknya menjadi semakin luas. Zhang Zhiyi justru sebaliknya, semakin lama dia bisa merasakan genggamannya atas diri Ding Tao semakin melemah, ikan yang sudah terkail olehnya itu mulai melepaskan diri. Mereka yang di luar pertarungan tentu saja tidak bisa memahami hal ini, karena sampai sekarang pun Ding Tao masih saja harus pontang panting menyelamatkan diri dari serangan Zhang Zhiyi. Hingga terkejutlah mereka ketika melihat bagaimana pertarungan itu berakhir. Saat itu Zhang Zhiyi sedang melancarkan satu tendangan ke arah Ding Tao yang sedang bergerak mundur. Seharusnya Ding Tao masih dapat menangkis serangan, tapi di luar dugaan mereka justru pemuda itu membiarkan perutnya terkena tendangan Zhang Zhiyi. Bukan main hebatnya tendangan itu, meskipun Ding Tao sudah bersiap-siap dengan memusatkan hawa murninya di bagian itu, tidak urung dia harus menggertakkan giginya kuat-kuat untuk meneruskan rencananya. Sebenarnya Zhang Zhiyi sudah bersiap-siap dengan serangan yang berikutnya, tapi tindakan Ding Tao di luar dugaannya. Dengan menerima tendangan itu, Ding Tao meluncur lebih jauh lagi ke belakang, memberinya ruang untuk balik melancarkan serangan. Tanpa memperbaiki posisi terlebih dahulu, tidak juga menghimpun dahulu tenaga yang membuyar. Ding Tao langsung melancarkan serangan. Serangan itu sederhana saja, tapi dilontarkan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Zhang Zhiyi pun mundur untuk kemudian berbalik menyerang karena dia tahu, tentu himpunan tenaga Ding Tao belumlah sepenuhnya pulih setelah terkena tendangannya tadi. Tapi ternyata serangan itu hanyalah gertakan saja, saat Zhang Zhiyi mundur, Ding Tao ikut menyurut mundur. Ketika Zhang Zhiyi sadar, dalam waktu yang singkat itu Ding Tao sudah berhasil mengatur kembali aliran hawa murni di tubuhnya dan sebelum Zhang Zhiyi sempat bereaksi dia sudah melancarkan serangan selanjutnya. Itulah serangan yang dilancarkan oleh Feng Xiaohong sebelumnya, kali ini Ding Tao yang memainkannya dan perbawa jurus itu terasa jauh lebih hebat. Gulungan hawa pedang menyambar Zhang Zhiyi. Sayang lawannya adalah Zhang Zhiyi, Zhang Zhiyi sudah lama merenungi jurus serangan ini dan sudah memegang cara untuk memecahkannya. Inti serangan jurus itu terletak pada jebakan yang siap menyambut lawan, saat lawan berusaha memanfaatkan celah yang sengaja dibuka. Tapi jika lawan sudah bersiap terhadap jebakan itu, lalu apa artinya jebakan itu? Muka Zhang Zhiyi yang sempat pucat saat dirinya salah memperhitungkan reaksi Ding Tao kembali berwarna. Dengan sigap dia menyerang melalui celah yang sengaja dibuka. Ketika dilihatnya pukulan Ding Tao menyambar, dia sudah siap. Pedang yang menusuk hanyalah pancingan, dengan sebat gerakan itu berubah di tengah, berbalik hendak memangkas tangan Ding Tao yang maju menyerang. Entah ada berapa banyak pasang mata yang terhenti nafasnya. Tapi bukan tangan Ding Tai yang terpapas, sebaliknya justru pedang Ding Tao yang menempel pada leher Zhang Zhiyi. Rupanya pukulan Ding Tao itupun hanyalah serangan palsu. Dibalik muslihat, ada muslihat. Serangan pedang yang seharusnya hanya merupakan pancingan justru menjadi serangan yang sesungguhnya. Pukulan yang tersembunyi ternyata hanya pancingan. Pucat wajah Zhang Zhiyi, kejadian ini di luar dugaannya, tapi pedang sudah melintang di depan lehernya. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali mengakui kekalahannya. Kali ini beberapa orang yang mendukung Ding Tao tanpa sadar bersorak, meskipun dengan cepat sorakan itu terhenti dan mereka yang bersorak cepat-cepat menunduk dengan wajah bersalah. Apalagi ketika mereka merasa pandangan mata para pimpinan keluarga Huang yang tajam menusuk, ditujukan pada mereka. Untuk beberapa saat Zhang Zhiyi kehilangan kata-kata, ketika akhirnya dia membuka mulut nada suaranya terdengar lesu dan senyumnya terasa dipaksakan. "Hehh Anak Ding, rupanya aku pun harus mengakui kehebatanmu." Nafas Ding Tao masih sedikit tersengal, banyak tempat di sekujur tubuhnya yang terasa sakit, tapi dikuat-kuatkannya juga untuk menjawab dengan sesopan mungkin. "Maafkan aku Paman Zhang, hanya keberuntungan saja, kalau tidak tentu sudah sejak tadi aku terjungkal oleh pukulan dan tendangan paman." Zhang Zhiyi mengangguk-angguk, kemudian menepuk pundak pemuda itu sebelum kembali ke pinggir arena. Seperti saling berjanji, pandang mata setiap orang sekarang tertuju pada Tiong Fa, sudah jelas bahwa pertandingan ini dialah yang mengatur. Dalam hati setiap orang bertanya-tanya, siapa lagi yang akan diajukan oleh Tiong Fa, apakah belum cukup kemampuan yang ditunjukkan oleh Ding Tao? Ketika Tiong Fa dengan langkah yang tenang berjalan ke tengah arena, tanpa terasa banyak dari mereka yang mendukung Ding Tao, menutup mata dan menghela nafas. Pikir mereka. "Sayang sekali, sebenarnya sungguh tidak adil, tapi kali ini habislah Ding Tao." Tiong Fa sudah ada di hadapan Ding Tao, wajahnya tenang tidak menunjukkan kekejian hatinya. Ditampilkannya wajah menyesal dan berkata dia pada Ding Tao. "Sebenarnya aku merasa malu, harus mendesakmu sedemikian rupa." Ding Tao yang masih saja percaya pada Tiong Fa membalas dengan tidak kalah sopannya. "Anak Ding mengerti hati Paman Tiong, apalagi justru ini menjadi pengalaman yang baik bagi anak. Tidak nanti akan menyalahkan paman." "Hemm terima kasih untuk pengertianmu Anak Ding. Aturlah dulu nafasmu, kapan kau siap, kau saja yang membuka dulu serangan. Aku orang tua sudah sepantasnya mengalah sejurus pada yang lebih muda." "Terima kasih paman.", ujar Ding Tao yang sungguh-sungguh merasa berterima kasih. Jauh di pinggir arena Zhang Zhiyi memaki Tiong Fa dalam hati. Selama apa Ding Tao hendak mengatur nafas? Luka yang dideritanya sejak tadi melawan dirinya dan Wang Sanbo tentu tidak mudah hilang begitu saja. Tapi Ding Tao yang tidak berpikir macam-macam, benar-benar menggunakan kesempatan itu untuk sebisa-bisanya mengumpulkan lagi hawa murni di tubuhnya. Perlahan-lahan dialirkan hawa murni mengitari seluruh tubuhnya, sekedar untuk meringankan kerusakan yang sudah terjadi. Pemuda itu tidak terburu-buru melakukan serangan, sambil berusaha memulihkan diri dia berpikir keras, cara apa yang akan dia ambil untuk menghadapi Tiong Fa. Tiong Fa yang tadi dengan murah hati memberikan waktu pada Ding Tao untuk memulihkan diri, diam-diam menjadi kesal. Tidak disangkanya pemuda itu benar-benar menggunakan waktu tanpa sungkan-sungkan. "Dasar pemuda dungu tidak tahu malu.", makinya dalam hati. Ding Tao sendiri sebenarnya merasa malu dan sungkan, karena membuat semua yang hadir di situ menunggui dirinya, tapi pemuda itu memandang tugas yang diberikan gurunya jauh lebih penting dari itu semua. Saat akhirnya dia bersiap untuk menyerang, tubuhnya sudah terasa jauh lebih segar, rasa nyeri pada bagian-bagian tubuh yang terluka masih bisa ditahannya tanpa mengganggu jalannya hawa murni dalam tubuh. "Maaf paman, jika terlalu lama menunggu.", ujarnya dengan muka sedikit memerah. "Ah, tidak apa, tidak apa. Apakah kau sudah siap sekarang?" "Iya paman, aku akan memulai sekarang. Awas serangan!" Jurus yang dilancarkan Ding Tao adalah jurus ketiga dari 3 jurus dasar pedang keluarga Huang. Kali ini tidak berani dia melancarkan serangan yang setengah-setengah. Pengalamannya dengan Zhang Zhiyi sudah cukup mengajarinya untuk tidak bermain-main dalam setiap pertarungan. Siapa pun lawannya dan bagaimana pun keadaannya. Tusukannya begitu cepat dan keras, hingga pedang kayunya pun berdengung. Tiong Fa tidak menjadi gugup karenanya, dengan mudah serangan itu dia pecahkan. Menyusul berganti dia yang menyerang. Dalam waktu singkat, berpuluh jurus sudah mereka lancarkan bergantian. Kedua pihak masih seimbang, baik Ding Tao maupun Tiong Fa masih saling menyerang dan bertahan dengan rapatnya. Tiong Fa yang mengharapkan tenaga Ding Tao sudah jauh melemah setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya jadi mengeluh dalam hati, ketika menyaksikan keuletan pemuda itu. Tapi Tiong Fa cukup sabar dan berpengalaman, tanpa terburu-buru dia dengan tenang berusaha menekan Ding Tao, sesekali menjauh sambil dibukanya celah untuk memancing Ding Tao melompat menyerang, agar tenaga pemuda itu semakin cepat habis. Dua orang itupun seperti sedang melakukan tarian pedang, mengelilingi arena yang cukup luas. Keringat Ding Tao yang baru saja mengering, dengan cepat mengalir kembali dengan deras. Nafasnya sedikit-sedikit mulai memburu. Baru pada saat itulah mulai Tiong Fa mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Ini adalah jurus-jurus rahasia, yang hanya diketahui oleh keluarga sendiri. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit Ding Tao mulai terdesak. Tidak ada yang berpikir Ding Tao akan menang, dengan sendirinya jantung mereka yang melihat tidak berdebar sekeras pertandingan-pertandingan sebelumnya. Kebanyakan justru menggunakan kesempatan ini untuk sebanyak mungkin menangkap jurus-jurus rahasia keluarga Huang yang belum pernah mereka lihat. Dengan hati yang jauh lebih tenang, pengamatan mereka pun jauh lebih cermat. Meskipun mereka mengagumi jurus-jurus yang diperagakan Tiong Fa, lebih kagum lagi mereka pada Ding Tao yang mampu bertahan sekian lama. Entah berapa kali mereka bertanya pada diri sendiri, seandainya mereka yang diserang dengan cara demikian, dapatkah mereka lolos dari serangan itu? Tentu saja setelah melihat cara Ding Tao meloloskan diri, pemecahannya jadi bisa dimengerti dengan jauh lebih mudah. Tapi yang membuat mereka heran, bagaimana cara Ding Tao yang belum pernah mempelajari jurus rahasia itu, hingga anak muda itu bisa tahu cara pemecahannya? Tiong Fa tidak kalah kagumnya dengan bakat pemuda itu, tapi kekagumannya berubah menjadi rasa iri dan dengki. Apa lagi ketika dia teringat rencana mereka untuk menarik pemuda itu ke dalam keluarga Huang. Diam-diam dia justru merasakan kekhawatiran berkembang dalam hati kecilnya, apakah pemuda itu tidak akan membahayakan kedudukannya dalam keluarga Huang nanti? Justru karena bakat pemuda itu yang terlampau besar. Sebelum menghadapi pemuda itu secara langsung, hal ini tidak terbayang oleh Tiong Fa, tapi sekarang setelah dapat menyelami sendiri secara langsung bertarung dengan pemuda itu, mulailah keragu-raguan itu mengganggu hatinya. Ding Tao memang selalu terlambat satu atau setengah langkah menghadapi jurus-jurus rahasia keluarga Huang. Tapi kenyataan bahwa pemuda itu mampu menghindarkan diri dan tidak sampai jatuh ke dalam permainan Tiong Fa, menunjukkan bahwa dalam waktu yang singkat itu, pemuda itu sudah mampu menangkap garis besar atau ide yang dibawa oleh jurus-jurus tersebut. Jangankan Tiong Fa yang menghadapi pemuda itu secara langsung, bahkan Huang Jin yang menonton dari pinggir arena pun seperti tidak percaya pada penglihatannya. Demikian juga tokoh-tokoh pimpinan yang lain, seperti Huang Yunshu dan Huang Ren Fang, terutama Huan Ren Fang yang tiba-tiba saja bisa merasakan kedudukannya sebagai calon utama pengganti ayahnya sedang digeser oleh tangan yang tak terlihat. Ketakutan yang muncul di hati Tiong Fa juga muncul di hati mereka. Merekrut orang berbakat memang perlu, tapi jika orang itu jauh lebih berbakat dari mereka sendiri, apakah tidak seperti memelihara anak harimau, yang jika besar nanti malah membahayakan jiwa pemeliharanya? Biasanya untuk memastikan bahwa anak murid yang ditarik masuk tidak akan membahayakan bagi dirinya, seorang guru akan menyimpan satu atau dua jurus pamungkas. Jurus yang nantinya akan bisa digunakan jika muridnya ternyata tidak setia pada perguruan. Tapi hal itu tidak berlaku buat orang semacam Ding Tao, dengan bakatnya diberi tahu satu, dia sudah bisa mengerti dua dan tiga. Apalagi Ding Tao sudah mempelajari lengkap seluruh jurus dasar dan jurus lanjutan. Ibaratnya untuk memasuki satu ruangan, pintunya sudah ditemukan dan kuncinya sudah ada di tangan. Tinggal satu langkah saja, segenap ilmu keluarga Huang akan dikuasainya. Jika orang bermain kartu dan semua kartu As sudah ada di tangan, apakah akan dengan sengaja mau mengalah? Orang mengukur orang lain dengan ukurannya sendiri, ketika melihat bakat Ding Tao keringat dingin mereka pun mengalir keluar. Dengan menggertak gigi, dalam hati Tiong Fa memaki. Semakin lama, perlawanan Ding Tao justru semakin ulet. Menghadapi jurus rahasia keluarga Huang, justru pikiran pemuda itu jadi semakin terbuka. Bila orang bermain puzzle dan hampir seluruh puzzle-nya telah tersusun, maka makin mudah pula untuk menemukan tempat bagi sisa-sia potongan yang ada. Demikian juga keadaan Ding Tao saat ini, jika dia tidak melihat dan mengalami sendiri jurus-jurus rahasia keluarga Huang, mungkin baginya perlu waktu satu atau dua tahun untuk mengembangkan apa yang sudah dia miliki hingga menguasai sampai pada puncaknya. Tapi serangan-serangan Tiong Fa justru membuka matanya dan yang satu-dua tahun itu dengan mudah dikuasainya sekarang. Meskipun penguasaannya tidak benar-benar sempurna, tapi untuk menahan serangan Tiong Fa, hal itu jauh lebih daripada cukup. Penonton yang tadinya menyaksikan pertandingan itu tanpa perasaan, jadi tergerak melihat perlawanan Ding Tao yang semakin mantap. Apalagi ketika kedudukan keduanya jadi mulai berimbang. Pembaca yang suka menonton pertandingan balap kuda mungkin bisa membayangkan perasaan mereka saat itu, bagaimana ketika kuda yang tidak dijagokan sebelumnya, tiba-tiba mulai mendekati kuda terdepan di putaran terakhir. Apalagi jika pembaca kebetulan sudah memasang taruhan pada kuda tersebut. Sungguh celaka bagi Tiong Fa, semakin lama dia bertarung dengan Ding Tao, semakin cepat pula pemuda itu mematangkan penguasaannya. Satu-satunya harapan Tiong Fa adalah tenaga pemuda itu yang sudah terlebih dahulu terkuras. Yang tidak diduga oleh siapapun, adalah penemuan Ding Tao saat dirinya bertarung antara batas hidup dan mati melawan Wang Chen Jin. Dan itulah yang terjadi sekarang, ketika Ding Tao sudah merasa mengerti semua kunci-kunci jurus rahasia keluarga Huang, mulailah dia mampu memberikan perlawanan. Sadar bahwa yang dia ketahui belum cukup untuk menggunakannya untuk menjebak Tiong Fa untuk jatuh dalam permainan pedangnya, terpikirlah Ding Tao untuk menggunakan kelebihannya tersebut. Tenaganya mulai disalurkan pada pedang kayu yang ada di tangannya. Pada mulanya Tiong Fa masih belum menyadarinya, baru setelah beberapa kali tangannya tergetar setiap kali pedang mereka berbenturan, sadarlah dia. Pucat wajah Tiong Fa ketika menyadari hal itu, keterkejutannya itu membuat lemah permainan pedangnya. Untuk beberapa saat lamanya Ding Tao balik menggempur tokoh utama keluarga Huang tersebut. Tapi Tiong Fa mendapatkan kepercayaan dari Huang Jin bukan tanpa alasan, dengan cepat dia berhasil menguasai perasaannya, diapun menyalurkan hawa murninya ke tangan sehingga pada setiap benturan yang terjadi tangannya tidak lagi tergetar dan pertarungan pun kembali menjadi seimbang. Mengandalkan himpunan hawa murninya yang lebih mapan, Tiong Fa berusaha mendesak Ding Tao. Pertarungan pun menjadi semakin seru, hingga menginjak ratusan jurus yang sudah dikeluarkan. Gulungan pedang keduanya saling membelit dan berkitaran di tengah arena. Tidak satupun dari keduanya terdesak mundur dari kedudukan terakhir. Pada saat yang makin menegangkan itulah, tiba-tiba terdengar suara pedang kayu yang berderak patah. Salah satu gulungan pedang yang berputaran di arena pertandingan menghilang. Itulah pedang Tiong Fa yang patah jadi serpihan. Nyata bahwa meskipun himpunan hawa murni Tiong Fa lebih mapan, tapi penguasaan Ding Tao terhadap pengaturan hawa murninya justru lebih baik dan lebih menyatu dengan senjata di tangannya. Nafas Ding Tao terdengar memburu di tengah ruang latihan yang sunyi. Wajah Tiong Fa pucat lesi, meskipun keadaannya jauh lebih baik dari Ding Tao. Bahkan Tiong Fa yang terkenal cerdik pun kali ini kehilangan akalnya. Pedang Ding Tao belum sampai mampir di tubuh Tiong Fa, pemuda itupun tidak menyerang, hanya mengambil posisi yang siap mengirimkan serangan. Jika patahnya pedang Tiong Fa tidak dihitung sebagai satu kekalahan, bukan tidak mungkin akhirnya Ding Tao akan kalah karena kehabisan nafas. Tapi kedudukan Tiong Fa sebagai tokoh yang lebih tua, tentu membuat hal itu akan tampak sangat memalukan. Adalah Tuan besar Huang Jin yang lebih dahulu pulih dari rasa kagetnya. Suara tepuk tangannya menyadarkan semua yang hadir di ruang latihan itu. Ketika mereka melihat Tuan besar Huang Jin-lah yang bertepuk tangan maka sorak sorai pun pecah memenuhi ruangan. Mereka yang masih muda berlari mendekat untuk memberikan selamat pada Ding Tao, dengan tawa lebar mereka menepuk-nepuk pundak pemuda itu. Ada pula yang dengan bercanda mendorong badan pemuda yang sudah kepayahan itu. Huang Ying Ying yang tadi ikut bersorak, kali ini justru bersikap malu-malu, gadis itu hanya ikut tertawa dari kejauhan saja. Tuan besar Huang Jin diam-diam membisikkan sesuatu kepada putera sulungnya, kemudian dengan langkah yang tegap mendekati Tiong Fa dan Ding Tao. Mereka yang melihat kedatangan Tuan besar Huang Jin, mundur keluar dan berbaris dengan rapi dan tertib di pinggir arena. Menepuk-nepuk pundak Tiong Fa Tuan besar Huang Jin berkata. "Pertandingan yang bagus, tidak perlu berkecil hati. Sudah jadi pepatah dunia persilatan, gelombang ombak yang baru selalu mendorong menggantikan yang lama." Kemudian berbalik pada Ding Tao dia tersenyum lebar pada pemuda itu. "Selamat Anak Ding, kemajuanmu dalam menguasai ilmu keluarga Huang sungguh di luar dugaan kami semua. Kecuali satu dua jurus pamungkas, yang memang hanya diturunkan pada kepala keluarga besar Huang, semuanya bisa kau kuasai." "Benar-benar bakat yang luar biasa." Ding Tao yang mendapat pujian sedemikian tinggi hanya bisa menggumamkan terima kasih sambil menundukkan kepala. Mereka yang mendengar pujian Huang Jin pun semakin terheran-heran dan mengagumi bakat pemuda itu. Seandainya saja mereka tahu yang sesungguhnya tentu akan berkali-kali lipat pula rasa heran dan kagum mereka. Karena hanya bualan kosong belaka jika Tuan besar Huang Jin mengatakan, bahwa seolah-olah masih ada satu atau dua jurus pamungkas keluarga Huang yang belum dikuasai oleh Ding Tao. Jangankan jurus pamungkas yang dikuasai oleh Tuan besar Huang Jin, bila diberikan waktu yang cukup buat Ding Tao, bukan tidak mungkin jurus pamungkas yang dikuasai oleh Tuan besar Huang Jin itu pun akan dapat disempurnakannya melebihi penguasaan Tuan besar Huang Jin sendiri. Hanya saja kenyatan seperti itu sangat sulit diterima oleh akal, yang salah ternyata bisa jauh lebih masuk di akal dari kenyataannya. Karenanya dalam pikiran setiap orang, apa yang dicapai Ding Tao masih kalah seusap dengan tingkatan Tuan besar Huang Jin. Meskipun hal itu ada benarnya, tapi sebenarnya yang seusap itu adalah masalah himpunan tenaga dalam Tuan besar Huang Jin yang jauh lebih mapan. Bahkan dalam hal itu pun, tidak akan banyak membantu bila keduanya harus berhadapan dalam pertandingan yang sesungguhnya. Karena sebesar apa pun simpanan hawa murni yang berhasil dihimpun, penggunaannya masih sangat bergantung pada kemampuan pemiliknya untuk menguasai dan menyalurkan tenaga itu secara tepat. Lebih lagi jika dipertimbangkan bahwa, hawa murni yang bisa membuat pemiliknya bergerak lebih ringan, lebih cepat dan lebih kuat itupun, dalam pengerahannya masih dibatasi juga oleh keterbatasan dari tubuh penggunanya. Ding Tao yang lebih muda dan terlatih tubuhnya dibanding Tuan besar Huang Jin, memiliki kemampuan untuk menggunakan hawa murni yang lebih besar. Bila hendak diibaratkan sebuah bendungan, maka himpunan hawa murni itu seperti air yang tertampung dalam bendungan, tubuh adalah saluran irigasi yang dilewati oleh air itu nantinya dan penguasaan akan hawa murni itu adalah pintu-pintu yang mengatur besar kecilnya dan ke arah mana, air akan dilewatkan. Jika saluran irigasi yang akan dilewati tidak kuat dan air yang lewat dipaksakan terlalu besar, maka hancurlah saluran- saluran itu dan air pun akan tumpah sebelum sampai pada tujuannya. Demikian juga jika seseorang memaksakan diri untuk menggunakan hawa murni secara berlebihan, pada waktu yang singkat bisa jadi dia akan menghasilkan daya hancur yang besar, tapi daya hancur yang sama itu pula akan merusakkan tubuhnya. Lagipula meskipun Tuan besar Huang Jin sudah bertahun-tahun lebih lama berlatih dan menghimpun hawa murni, tapi bukankah apa yang dia simpan itu dia gunakan pula? Entah dalam latihan atau dalam pertarungan yang sesungguhnya. Itu sebabnya bahkan keunggulan yang seusap itupun sebenarnya masih dapat diperdebatkan. Siapa yang sebenarnya lebih unggul, Ding Tao atau Tuan besar Huang Jin sebagai tokoh utama dalam keluarga Huang. Tidak lama setelah Tuan besar Huang Jin berbasa-basi, Huang Ren Fang telah datang bersama seorang pelayan, membawa sebuah baki berisi dua cawan dan sebotol arak. Tuan besar Huang Jin, mengisi kedua cawan itu lalu menyerahkan yang satu pada Ding Tao, kemudian sambil mengangkat cawan arak yang lain, dia berucap dengan sungguh-sungguh. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Anak Ding, hari ini kau sudah membuktikan bahwa kau memang pemilik yang tepat dari pedang itu. Aku, mewakili keluarga Huang, mengucapkan selamat." "Dan mengingat tugas yang kau pikul di pundakmu adalah tugas yang menyangkut kepentingan seluruh negeri, kami seluruh anggota keluarga Huang, dengan ini memberikan kesanggupan kami untuk berdiri di belakangmu dan membantumu sekuat tenaga kami, sampai kau berhasil menunaikan tugasmu itu." "Sekali lagi aku ucapkan selamat!" Dan dengan satu tegukan Tuan besar Huang Jin menghabiskan arak di cawannya. Tepuk tangan dan sorak sorai pun memenuhi ruang latihan itu untuk kedua kalinya. Ding Tao dengan mata yang basah oleh air mata, meneguk habis arak di cawannya. Cepat Tuan besar Huang Jin menangkap pundak pemuda itu, ketika dia hendak bersoja di depannya, dengan kebapakan Tuan besar Huang Jin membimbing pemuda itu. "Sudah, sudah, cukup, aku tahu ketulusanmu. Malam ini kau sudah banyak menguras tenaga, sebaiknya cepatlah beristirahat. Besok, kita akan bicarakan lebih jauh masalah tugas yang dibebankan oleh gurumu." Menoleh ke salah satu anak muda yang ada di situ dia berpesan. "Antar dia ke kamarnya, dan jangan habiskan waktu untuk mengobrol yang tidak perlu. Besok masih ada banyak waktu, malam ini biarkan Ding Tao istirahat sebaik-baiknya." Dengan perkataan itu bubarlah mereka semua dari ruang latihan, masing-masing pergi ke ruangan mereka, beberapa orang mengantarkan Ding Tao yang sudah kelelahan ke kamarnya. Mereka pun menaati pesan Tuan besar Huang Jin, apalagi ketika melihat keadaan Ding Tao yang benar-benar terkuras tenaganya. "Sampai besok Ding Tao, selamat atas kemenanganmu. Sekarang beristirahatlah baik-baik.", pamit mereka. "Terima kasih atas perhatian kalian semua. Sampai besok.", jawab Ding Tao yang baru sekarang merasa betapa tenaganya benar-benar terkuras. Segera setelah dia menutup pintu, Ding Tao merebahkan tubuhnya ke atas pembaringan. Seluruh tulang dan ototnya terasa lemas tak bertenaga. Untuk sesaat pemuda itu belum memejamkan mata, kejadian malam itu sungguh di luar bayangannya. Meskipun Gu Tong Dang sudah berkali-kali meyakinkan pemuda itu bahwa ilmunya telah maju pesat, tak pernah terbayangkan olehnya bahwa dia akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh yang lebih tua seperti Wang Sanbo, Zhang Zhiyi apalagi Tiong Fa. Bahkan Tuan besar Huang Jin pun mengakui bahwa sudah hampir seluruh ilmu keluarga Huang dikuasainya secara sempurna. Mendesah bahagia pemuda itu merasa betapa lelahnya dia sekarang, matanya mulai mengantuk dan hampir saja dia memejamkan mata ketika terdengar ketukan lembut di pintu kamarnya. Dengan kemalasan pemuda itu bangkit, sejenak dipandanginya saja pintu kamarnya itu, berharap yang mengetuk pintu akan pergi setelah tidak dijawab beberapa lama. Tapi harapannya itu tidak terpenuhi, malah setelah beberapa kali mengetuk tanpa dijawab, terdengar suara lirih memanggil, "Ding Tao Ding Tao apakah kau sudah tidur?" Suaranya memang lirih saja, tapi suara yang lirih itu justru lebih berarti dari ketukan pintu sekeras apapun, karena suara itu ada suara Huang Ying Ying. Senyuman muncul dari wajah Ding Tao, segala rasa malas dan lelah sepertinya jadi hilang saat dia mendengar suara gadis itu. Malah sekarang dia takut kalau gadis itu benar-benar menyangka bahwa dia sudah tidur dan pergi. Cepat-cepat dia menjawab. "Tunggu, aku belum tidur." Bergegas dia membukakan pintu, di depan Huang Ying Ying sudah menunggu dengan wajah cemberut manja. "Hiih kau bilang belum tidur, lalu kenapa tidak lekas kau buka pintunya." Sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Ding Tao menyahut. "Ah maafkan aku Adik Ying, aku tidak tahu kalau kau yang mengetuk pintu." "Kalau kau tahu itu aku, apa langsung kau bukakan pintu?", tanya gadis itu dengan manja sambil menundukkan kepala dan wajah bersemu kemerahan. "Tentu" Sejenak keduanya berdiri terdiam dengan jantung berdebaran. Biasanya Huang Ying Ying lah yang berceloteh tanpa henti dan Ding Tao tinggal menimpali, tapi kali ini gadis itu tidak seramai biasanya. Akhirnya Huang Ying Ying mengangkat wajahnya, dengan sorot mata prihatin dia bertanya. "Ding Tao, bagaimana dengan lukamu?" Merasakan betapa besar perhatian Huang Ying Ying, setengah sakit yang dia rasakan sepertinya sudah sembuh, dengan menyengir kuda dia menjawab. "Tidak terlalu masalah, hanya rasanya tubuhku sangat lelah itu saja. Tidur sedikit, besok juga sudah baikan." "Huuh kalian ini anak laki-laki, selalu saja menganggap enteng luka. Ini kubawakan obat untukmu, kau minum yang bungkusan ini, kemudian lakukan latihan pernafasan. Lalu setelah itu minum dari bungkusan yang satunya lagi sebelum tidur. Apa kau ada alat untuk memasak obat ini?" "Ada ada", jawab pemuda itu sambil menatap Huang Ying Ying dengan tatapan penuh kasih. Betapa terharu hati Ding Tao melihat besarnya perhatian Huang Ying Ying, digenggamnya tangan gadis itu dan dengan penuh perasaan dia berterima kasih. "Adik Ying kau baik sekali." Huang Ying Ying yang terpegang tangannya, menunduk malu, jantungnya berdebaran. Hendak menarik tangannya dan lari, tapi tubuhnya terasa lemas. "Itu itu itu tadi pesan ayah padaku. Sudahlah aku harus cepat kembali.", katanya, ketika akhirnya dia berhasil menenangkan hatinya. Ding Tao yang sadar sudah menggenggam tangan gadis itu cepat-cepat melepaskannya. "Ah benar, hari sudah malam. Baiknya Adik Ying cepat kembali ke kamarmu." "Sampai besok Kakak Ding." "Ya, sampai besok." Bercampur aduk perasaan keduanya, ada rasa senang, tapi juga ada rasa berat karena harus berpisah. Ding Tao berdiri saja menunggu di depan pintu sampai Huang Ying Ying menghilang di tikungan. Sebelum menghilang, gadis itu masih sempat berbalik sekali lagi kemudian melambaikan tangan. Agak lama Ding Tao terpekur memandangi jalan yang kosong, ketika akhirnya dia menutup pintu dipandanginya bungkusan obat yang ada di tangannya. Teringat tangan lembut Huang Ying Ying yang membawa bungkusan itu dengan sepenuh hati dia kemudian mendekap dan menghirup dalam-dalam wangi dua bungkusan obat itu. Seandainya saja benar dua bungkusan obat itu berbau wangi, sewangi bau Huang Ying Ying, tapi yang namanya ramuan obat jarang-jarang yang berbau wangi. Dan dua bungkusan obat itu tidak satupun yang berbau wangi, bisa dibilang justru dua bungkusan itu contoh paling bau dari segala macam obat yang berbau. Karuan saja Ding Tao hampir muntah-muntah dibuatnya. Tapi bau obat itupun tidak bisa membuat pemuda itu berhenti tersenyum. Sambil menjerang air dan memasak obat itu, pemuda itu pun pelan-pelan menggumamkan lagu cinta yang sedang banyak dinyanyikan orang. Saat obat yang satu telah siap dan habis diminum, dimasaknya pula bungkusan yang kedua. Sambil menunggu obat itu siap, dia mulai bermeditasi, mengolah dan menghimpun hawa murni ditubuhnya. Obat yang diberikan Huang Ying Ying, benar-benar baik. Perlahan-lahan tubuhnya jadi semakin segar, aliran hawa murni dalam tubuhnya juga semakin lancar. Jika setelah benturan-benturan tadi aliran darahnya sempat terasa sedikit kacau dan terhambat, maka sekarang bisa dia rasakan aliran darahnya kembali pulih. Hanya rasa lelahnya tidak kunjung hilang, meskipun merasa sedikit heran, Ding Tao menduga hal itu karena dia terlalu banyak memeras tenaga, jauh di luar pertimbangannya sendiri. Mungkin karena terbawa oleh suasana dan ketegangan, sehingga rasa lelah ini tidak dirasakannya sebelumnya. Merasa semakin lama semakin sulit baginya untuk berkonsentrasi, pemuda ini akhirnya memilih untuk mengakhiri meditasinya, terlalu riskan jika dia memaksakan diri. Akhirnya pemuda ini pun memilih termenung-menung, menatapi obat yang sedang dimasak. Beberapa kali kepalanya terangguk-angguk hampir tertidur, tapi mengenangkan kebaikan Huang Ying Ying yang diwakili oleh obat itu, jangankan sedikit kantuk, seandainya disuruh melatih kuda-kuda sambil menjinjing 2 ember air selama 2 batang hio pun mungkin akan dijalaninya. Sambil tersenyum-senyum pemuda itu, menatap air yang mendidih dan bau khas obat ramuan yang teruar keluar dari dalam poci. Akhirnya setelah menanti sekian lama, siap juga obat itu untuk diminum, dengan hati-hati, ditiup-tiupnya ramuan yang masih panas itu, lalu pelan-pelan diseruput. Sehabis meminum obat itu, maka tubuhnya merasa sangat nyaman dan kepala pun terasa semakin melayang. Sambil menghempaskan diri ke atas pembaringan, Ding Tao bergumam. "Rupanya obat supaya tidurku pulas." Ding Tao benar-benar tertidur pulas. Saat pintu kamarnya diketuk perlahan-lahan dari luar, pemuda itu sedikitpun tidak terbangun. Bahkan ketika ketukan itu menjadi semakin keras, pemuda itu tidak juga terbangun. Sebilah pedang tiba-tiba muncul di sela-sela antara daun pintu, dengan tebasan yang cepat pedang itu bergerak memotong palang pintu yang mengunci pintu dari dalam. Secepat pedang itu menebas, secepat itu pula sebuah sosok melompat ke dalam dan menahan agar palang pintu yang sudah terpotong tidak jatuh bergelontangan ke lantai. Cahaya bulan yang samar tertutup awan hanya memperlihatkan dua sosok berkedok dan berbaju hitam. Kedua sosok itu dengan cepat memeriksa isi dalam kamar, ketika mereka menemukan Pedang Angin Berbisik milik Ding Tao, keduanya saling berpandangan. Seorang di antara mereka jelas bertindak sebagai pemimpinnya, karena begitu kepalanya mengangguk, yang seorang lagi dengan segera menghadiahkan satu pukulan ke arah ulu hati Ding Tao. Tinju 7 luka, sebuah ilmu pukulan yang sempat dia curi dari perguruan Kongtong dari Gunung Kongtong Dengan telak pukulan itu menghajar ulu hati Ding Tao, begitu kerasnya hingga tempat tidur anak muda itu ikut patah menjadi dua. Darah pun menyembur dari mulutnya. Tubuhnya bergulingan, seketika itu juga dia tersadar dari tidurnya yang lelap. Dadanya nyeri bukan kepalang, terasa anyir darah di mulutnya yang menggugah kesadarannya. Matanya terbelalak nyalang memandang ke arah dua orang berbaju dan berkedok hitam. Dua orang itu tidak kalah kagetnya melihat pemuda itu belum mati terkena pukulan maut yang dilancarkan begitu telaknya. Kesadaran Ding Tao dan kemauan dasarnya untuk bertahan hidup lebih cepat bereaksi dibandingkan kedua orang berkedok hitam, sekelam hati mereka. Melihat pintu yang terbuka lebar, pemuda itu mengemposkan tenaga melompat keluar. Lagi-lagi hal ini berada di luar dugaan kedua orang itu, hingga untuk beberapa saat keduanya hanya saling berpandangan, sebelum seorang di antara mereka memaki. "Goblok! Cepat kejar!!" Bergegas keduanya mengejar, tapi Ding Tao sudah menang waktu, dia juga tampaknya lebih paham lika-liku di kediaman keluarga Huang bagian itu, dibandingkan dua pengejarnya. Beberapa kali keduanya kehilangan jejak saat pemuda itu menyusup masuk melewati celah-celah sempit atau gerumbulan semak yang menyembunyikan jalan setapak. Untuk sesaat lamanya keduanya kehilangan jejak, rumah kediaman keluarga Huang sangatlah luas, mirip satu perkampungan sendiri. Kelompok-kelompok rumah para pelayan dan penjaga, taman dan kolam, bangunan tempat keluarga besar Huang tinggal dan bangunan utama. Apalagi di malam yang gelap. Pembunuh yang gagal itu meneteskan keringat dingin, dipandangnya rekannya yang lain dengan sorot pandang mengiba, "Tetua aku sungguh seharusnya pukulan itu" Guram wajah yang seorang lagi, sambil menggigit bibir dia berpikir, akhirnya dia berkata. "Kita pergi saja melaporkan hal ini pada Tuan Huang." Rekannya yang masih gugup dengan segera menuruti perkataannya dan melangkah ke arah gedung utama di mana Tuan besar Huang Jin menunggu laporan mereka. Hatinya berdebar membayangkan kemarahan Tuan Huang. Tiba-tiba dia merasakan hembusan angin menyentuh belakang lehernya, matanya melebar saat sadar apa artinya tiupan angin itu. Tapi belum sempat dia berkata apa-apa, dirasakan dunia di sekitarnya berputaran, sekilas dilihatnya tubuhnya sendiri berdiri tanpa kepala, sebelum jatuh ke tanah, semakin lama semakin jauh dari dirinya. Telinganya masih sempat mendengar teriakan memanggil para penjaga. Dalam waktu singkat gegerlah rumah kediaman keluarga Huang, bukan hanya kediaman keluaraga Huang yang geger, bahkan Kota Wuling pun ikut menjadi geger. Hampir setiap anggota keluarga laki-laki yang telah cukup umur, menenteng senjata, bergerak menggeledah ke seluruh penjuru rumah itu, bahkan beberapa telah memacu kudanya keluar untuk memeriksa ke sudut-sudut kota. Dari mulut ke mulut beradar desas-desus yang mengatakan, Zhang Zhiyi telah memergoki Ding Tao sedang menyelinap ke dalam ruangan khusus milik Tuan besar Huang Jin, dan sedang berusaha melarikan diri sambil membawa kitab pusaka keluarga Huang yang hanya diwariskan pada pimpinan keluarga yang terpilih. Zhang Zhiyi yang harus menghadapi pemuda itu dengan pedang pusakanya sangat kerepotan. Syukur saja Tiong Fa yang sedang kesulitan tidur, sempat mendengar suara perkelahian mereka dan memburu keluar. Sayang Tiong Fa tidak keburu membantu Zhang Zhiyi menahan Ding Tao, tapi setidaknya sebelum pedang Ding Tao dengan kejamnya memotong leher anggota yang setia itu, Zhang Zhiyi masih sempat menjelaskan duduk perkaranya. Meskipun dengan penjelasan yang sepotong-sepotong dan dibayar dengan nyawa. Ding Tao tidak lolos begitu saja, diapun terluka oleh pukulan Tiong Fa sebelum berhasil melenyapkan diri dalam kegelapan. Tapi pemuda itu masih sangat berbahaya dengan Pedang Angin Berbisik di tangan, itu sebabnya setiap anggota keluarga Huang dan para penjaga yang menemukannya, diperintahkan untuk mengambil langkah sekeras mungkin. Tidak perlu menangkapnya hidup-hidup, bunuh dulu baru urusan lain belakangan. Terang saja seisi kota jadi ikut geger, derap kuda membelah malam yang sepi. Tidak sedikit pula orang-orang keluarga Huang yang ikut di tempatkan menjaga gerbang-gerbang kota Wuling. Entah berapa ratus orang yang mencari Ding Tao malam itu, tapi Ding Tao lenyap tanpa bekas. Bisik-bisik mengatakan bahwa sebenarnya pemuda itu merupakan pemuda yang berbakat yang sulit ditemukan bandingannya dalam 10 tahun terakhir. Hanya sayang sifatnya ternyata licik hingga tega menyatroni orang yang telah membesarkan dia selama ini. Dalam keremangan malam Tiong Fa menyesali kericuhan yang terjadi ini. Dalam hati dia mengutuki kecerobohannya, bagaimana mungkin pemuda itu bisa lolos darinya? Dia pun sangat menyesali terbunuhnya Zhang Zhiyi. Zhang Zhiyi adalah salah satu orang kepercayaannya, tapi pada saat rencana itu rusak berantakan yang terlintas di benaknya adalah, sesedikit mungkin orang di luar kelompok inti boleh mengetahui hal itu. Lepasnya Ding Tao membuat dia terdesak oleh waktu, setiap saat bisa saja Ding Tao bertemu dengan salah seorang penjaga, dia harus terlebih dahulu memburukkan nama pemuda itu, sebelum pemuda itu sempat bertemu siapapun. Dipandanginya tubuh Zhang Zhiyi yang terpisah dari kepalanya, teringat pula akan keadaan kamar Ding Tao yang tidak sesuai dengan cerita darinya baru saja. Tapi Tiong Fa belum bisa bergerak untuk membersihkan kamar Ding Tao dari jejaknya. Rahangnya mengeras, bertanya-tanya, sampai berapa jauhnya kerusakan pada rencana mereka ini terjadi. ------------------------------ o ------------------------------ Sebenarnya apa yang terjadi malam itu? Ada juga keinginan dari penulis untuk membuat semacam cerita misteri, sayangnya penulis termasuk orang yang bermulut ember, tidak bisa menyimpan rahasia, sehingga meskipun ada keinginan tapi tidak ada kemampuan. Sejak Tuan besar Huang Jin menyaksikan bakat Ding Tao, dalam hatinya lenyap sudah keinginan untuk menarik anak muda itu ke dalam keluarganya. Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Hilang pula minatnya untuk mengambil Pedang Angin Berbisik dari tangan pemuda itu secara baik-baik. Kekalahan Tiong Fa, kondisi Ding Tao yang sudah sangat kelelahan, membuat sangat tidak berwibawa jika Tuan besar Hung Jin harus memaksakan diri untuk mengirim satu orang lagi untuk bertanding melawan Ding Tao. Lagipula siapa yang hendak ditandingkan melawan pemuda itu? Kondisinya sangat payah, siapa pun jagoan tingkat atas dari keluarga Huang yang diminta untuk bertanding melawan pemuda itu akan kehilangan mukanya. Sementara bakat Ding Tao justru menunjukkan kemampuannya memberikan hasil yang di luar dugaan. Mengirimkan salah satu jagoan muda memiliki resiko menelan satu lagi kekalahan, memperpanjang daftar kemenangan Ding Tao dan membuat nama mereka jadi lebih terpuruk bila memaksa Ding Tao untuk bertanding lagi dan lagi hingga mareka memenangkan pertarungan karena pemuda itu mati kepayahan. Tuan besar Huang Jin tidak pernah suka berjudi, jika dia harus berjudi, maka jelas baginya kapan dia harus bertahan dan kapan harus mundur. Kali ini dia memilih mundur dari perjudian itu. Itu sebabnya di depan semua orang dia memuji bakat Ding Tao, sekaligus mengesankan masih adanya jurus rahasia yang tidak dipahami Ding Tao. Berjanji untuk membantu Ding Tao dan mengikat tali persahabatan. Di depan semua orang ditunjukkannya bahwa tidak ada ganjalan, keluarga Huang sudah mempercayakan pula pedang pusaka itu ke dalam tangan Ding Tao. Jika seorang mengusut satu kejahatan, yang pertama kali dia lakukan adalah mencari siapa yang memiliki motif untuk melakukan kejahatan itu. Apa tujuan kejahatan itu dilakukan? Balas dendam? Keserakahan? Keuntungan apa yang ingi diraih pelakunya lewat kejadian itu? Setiap penjahat yang licin mengerti akan hal ini, sebelum memulai aksinya, terlebih dahulu dia berusaha untuk mengaburkan motif itu. Dalam hal ini Tuan besar Huang Jin lah penjahatnya, meskipun bila kau tanya dirinya, mungkin dia tidak akan merasa apa yang dilakukannya adalah satu kejahatan. Inilah bentuk rasa baktinya bagi leluhur, bentuk rasa kasihnya pada anak cucunya. Dengan berjuang, berusaha mengangkat nama keluarga meskipu dirinya harus berendam dalam lumpur untuk dapat menggapainya. Arak yang dia hidangkan mengandung racun yang akan membuyarkan himpunan hawa murni seseorang. Tidak cukup demikian, diutusnya puteri kesayangannya untuk mengantarkan bungkusan obat untuk membantu Ding Tao memulihkan kondisinya yang kelelahan. Obat itu mengandung ramuan semacam obat tidur, ditambah dosis yang lebih kuat dari racun pembuyar hawa murni yang dicampurkan ke dalam arak. Tidak perlu heran jika Ding Tao akan tertidur lelap setelah meminum obat itu, karena obat itu memang meredakan ketengangan dan membantu seseorang yang mengalami luka-luka yang menyakitkan tubuh untuk tidur dengan tenang. Lengkap sudah rencananya, Ding Tao akan tertidur dengan pulas dan hawa murni yang buyar. Tuan besar Huang Jin sendiri harus meminum obat penawar dan memulihkan diri karena dia meminum racun yang sama dengan yang diminum Ding Tao. Untuk melaksanakan tugas selanjutnya, diserahkannya pekerjaan itu pada orang kepercayaannya Tiong Fa. Tiong Fa kemudian memilih Zhang Zhiyi untuk membantu dia mengerjakan hal itu. Dia memilih Zhang Zhiyi karena jagoan yang satu itu mengenal banyak sekali ilmu dari perguruan lain. Rencana mereka adalah meninggalkan bekas pukulan yang khas, yang akan dikaitkan dengan sebuah perguruan di daerah utara. Zhang Zhiyi tidak perlu kuatir apakah ilmunya sudah cukup sempurna karena Ding Tao sudah buyar hawa murninya, yang penting adalah bekas yang ditinggalkannya. Jaring sudah dipasang dengan rapat, lalu bagaimana ikan itu bisa lolos? Adalah Huang Ying Ying yang mengacaukan rencana itu, gadis yang sedang jatuh cinta ini mendapatkan ide untuk mengambil pula obat penambah tenaga yang biasa dikonsumsi keluarga Huang untuk membantu mereka dalam proses memperkuat himpunan hawa murni mereka. Tuan besar huang Jin tidak menyangka gadis itu akan berani mengambil obat rahasia keluarga untuk orang luar. Tapi gadis yang sedang jatuh cinta memang seharusnya tidak dipercaya. Apalagi gadis itu sama sekali tidak tahu menahu tentang rencana jahat ayahnya terhadap Ding Tao. Dilihatnya ayahnya begitu kagum dan perhatian pada pemuda itu. Dalam pikirannya jika sampai ayahnya tahu pun tentu tidak menjadi halangan. Obat yang diambil Huang Ying Ying dengan diam-diam itulah justru yang menjadi penawar dari racun pembuyar hawa nurni. Alhasil memang benar Ding Tao tertidur pulas bak orang sudah mati, tapi himpunan hawa murni dalam tubuhnya masih bekerja dengan baik. Saat Zhang Zhiyi memukul dadanya, hawa murninya secara naluriah melindunginya dari kematian. Pukulan itupun menyadarkan pemuda ini untuk sementara waktu sehingga dia masih sempat melarikan diri dari kedua pembunuh itu. Setengah sadar pemuda itu melarikan diri dari ancaman bahaya yang bisa dirasakan oleh nalurinya untuk bertahan hidup. Jika ada sifat yang diwariskan secara turun temurun pada manusia, itulah naluriah untuk bertahan hidup. Mereka yang tidak mewarisinya tentu tidak akan mampu bertahan hidup di dunia purba yang keras. Lalu di mana pemuda itu menghilang? Bukankah kesadarannya terganggu oleh khasiat obat tidur yang diminumnya? Ditambah dengan luka di jantungnya yang tidaklah ringan, bagaimana dia mampu menjaga kesadarannya sampai selamat di luar perbatasan kota? Rasanya jawaban dari pertanyaan ini bukanlah misteri bagi para pembaca. Sudah jelas Ding Tao tidak akan mampu melarikan diri melampaui gerbang-gerbang kota yang dijaga ketat, dia juga tidak mungkin mampu merayap melewati dinding-dingin kota yang tinggi. Jangankan melakukan hal-hal semacam itu, untuk lari keluar dari kediaman keluarga Huang pun dia tidak mampu. Jadi di mana dia berada? Sudah tentu dia masih ada di dalam kediaman keluarga Huang. Di mana? Tentunya di tempat orang yang paling dekat dengan hatinya, tempat orang yang paling dipercayainya, dalam keadaan setengah sadar, hati dan nalurinya bekerja melampaui pikiran logisnya. Dengan langkah yang terhuyung-huyung, pemuda itu telah mengambil jalan-jalan pintas hingga sampai di depan kamar nona muda keluarga Huang, Huang Ying Ying. Pemuda itu pingsan begitu dia sampai di depan pintu kamar, Huang Ying Ying tentu saja tidak tahu Ding Tao sedang terbaring pingsan di sana. Barulah ketika dia membuka pintu karena didengarnya ada keributan di luar, dia menemukan pemuda itu di sana. Kaget dan khawatir, gadis itu tidak sempat berpikir panjang. Apalagi darah yang mengering, menodai sebagian besar bagian depan baju yang dikenakan pemuda itu. Tanpa menunggu pertolongan orang lain, dengan susah payah, didukungnya tubuh Ding Tao hingga sampai ke atas pembaringannya sendiri. Diaturnya baik-baik tubuh pemuda itu lalu diselimutinya. Setelah yakin pemuda itu aman berada di dalam kamarnya diapun bergerak untuk meninggalkan kamar dan menemui tabib pribadi keluarga Huang, yang tinggal di salah satu bangunan dalam kediaman keluarga Huang. Tangannya sudah menyentuh pintu, ketika terpikir bahwa luka yang dialami Ding Tao menunjukkan bahwa ada orang yang berniat mencelakai pemuda itu, tidak terpikir olehnya betapa berbahayanya berkeliaran di luar kamar, bila ada orang yang sedang menyatroni rumahnya. Si Angin Puyuh Tangan Kilat Karya Gan Kh Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo