Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 33


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL Bagian 33


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya dari Gan K L   "Nona sebutkan dulu julukanmu."   Melihat orang sudah menyimpan pedang, dengan bertangan kosong berani mencegat dirinya lagi, seketika perempuan baju hijau yang berpupur tebal menjengek.   "Siapa nona besarmu ini, setelah kau melihat ini pasti akan tahu"   Mendadak tangan kirinya terayun, entah cara bagaimana cepat sekali dia sudah kenakan sarung tangan, segenggam pasir beracun segera dia sebarkan ke arah Ling Kun-gi.   Menegak alis Kun-gi, wajahnya tampak bercahaya dan penuh wibawa, serunya sambil tertawa lantang.   "Toanhuntok-sa" (pasir beracun perenggut nyawa), memang kau tidak perlu sebutkan namamu lagi."   Sambil bicara dengan enteng dia angkat lengan bajunya terus mengebut, taburan pasir beracun la-wan tahu2 tergulung seluruhnya, malah terus dihambur balik menyerang tuannya.   Sudah tentu mimpipun perempuan baju hijau tidak pernah menyangka bahwa Ling Kun-gi akan berbuat seperti itu, sembari menjerit kaget, belum lagi dia sempat menyingkir, pasir beracun miliknya sendiri tahu2 sudah mengenai badan sendiri, asap hitam segera mengepul dari seluruh badannya, pelan2 iapun roboh terkulai dan binasa.   Dalam ruang pendopo yang cukup luas ini kini tinggal empat orang lagi yang masih terus berhantam dengan sengit.   Ting Kiau dengan kipas lempitnya masih saling serang dengan Tun Thian lay yang bersenjata pedang lebar, keduanya berebut kesempatan dan mengejar kemenangan.   Sayang sekali jarum beracun yang tersimpan dalam kerangka kipasnya sudah habis terpakai, dalam keadaan mendesak ini terang tak sempat lagi dia memasang dan mengisi jarum2nya, terpaksa dia andalkan kemahiran ilmu kipasnya menghadapi ilmu pedang musuh.   Setelah perempuan baju hijau tewas, Kongsun Siang kini hanya menghadapi satu lawan, seluruh perhatian dapatr dia tumplek ketpada lawan yangq satu ini, makar Thianlong-kiam dapat dia kembangkan dengan lancar dan gencar, ia melompat kian kemari setangkas serigala, tiba2 terjang ke kiri, tahu2 menubruk ke kanan, sinar pedangnyapun ikut bergaya laksana kilat, Sebetulnya cukup keras dan ganas juga -permainan ilmu pedang bergaya golok si laki2 berewok, tapi Thianlong-kiam Kongsun Siang sangat lihay dengan gerakan2 aneh dan membingungkan sehingga lawan dibuat pusing mengikuti gerakkannya, akhirnya hanya bertahan saja dan tidak segarang tadi.   Karena paha tergores luka pedang lawan, betapa geram hati Kongsun Siang, dendam rasanya tidak terlampias sebelum lawannya roboh termakan pedangnya, padahal pahanya masih terus melelehkan darah berwarna hitam hingga membasahi lantai.   Yang terkejut adalah Ling Kun-gi, melihat darah hitam di paha Kongsun Siang, baru dia ingat bahwa pedang lawan dilumuri getah beracun, segera dia berseru.   "Kongsun-heng, lekas mundur."   Tangan terayun, dia membelah ketengah antara kedua lawan yang lagi berhantamseru.   Pedang Kongsun Siang terayun kencang, serangannya gencar seperti orang kalap, pikirannya sudah mulai kabur, cuma dia terlalu apal dan mahir menggunakan ilmu pedangnya, maka kaki bergerak tanganpun bekerja secara otomatis.   mendadak dia tersentak mendengar seruan Ling Kun-gi, serta merta gerakannya sedikit merandek, badan bagian ataspun tampak bergontai lemah, akhirnya sempoyongandan jatuhterduduk denganlunglaidi lantai.   Pukulan telapak tangan ke tengah2 kedua lawan yang lagi berhantam oleh Ling Kun-gi itu ternyata tepat pada waktunya, gerakan telapak tangannya menimbulkan sejalur angin lunak menahan luncuran pedang laki2 berewok berilmu golok aneh itu, sigap sekali dia melejit maju ke samping Kongsun Siang.   Bersamaan waktunya laki2 berewok itupun melompat mundur, begitu membalik terus lari keluar pintu.   Tak sempat lagi Ling Kun-gi menghiraukan musuh, keselamatan Kongsun Siang lebih utama, lekas dia keluarkan Leliong-pi-tok-cu, celana Kong-sun Siang yang sudah basah dan lengket dikulit dia sobek, mutiara itu segera dia gosok dan digelindingkan beberapa balipulang pergidipermukaankulit dagingnyayangterluka.   Dalam pada itu Tun Thianlay masih melabrak Ting Kiau mati2an, bahwa teman-temannya sudah binasa dan ada yang melarikan diri, tinggal dia seorang yang masih berhantam mempertahankan jiwa, sudah tentu semakin luluh semangat tempurnya, suatu ketika dia pergencar gerak pedang lebarnya, dengan sengit dia menyerang tiga kali, setelah Ting Kiau dapat diaesaknya mundur, lekas dia melompat ke belakang, gerakannya masih tangkas meski sudah kehabisan tenaga setelah bertempur sekian lamanya, tahu2 bayangannya sudah berkelebat keluar pintu.   Sudah tentu Ting Kiau tidak berpeluk tangan, segera ia menghardik.   "Orang she Tun, ke mana kau mau lari"   Tanpa pikir segera ia mengejar ke sana. Kun-gi sendiri tengah mengerahkan Lwekang membantu menyembuhkan luka Kongsun Siang, mendengar hardikan Ting Kiau, lekas dia berpaling seraya berteriak.   "Ting heng, musuh sudah kalah, takusahdikejar."' Sementara itu empat laki2 yang berdiri di empat pojok membawa lampion tadi secara diam2pun telah memadamkan api serta menghilang entah lari ke mana. Kini tinggal Ling Kun-gi dan Kongsun Siang dua orang saja yang berada di dalam pedopo yang gelap itu. Hati Kun-gi amat gelisah, tapi Kongsun Siang pingsan keracunan, terpaksa dia harus menolongnya lebih dulu. Untung Pi-tok-cu adalah obat mujarab untuk menawarkan bisa getah beracun, tak seberapa lama kadar racun yang mengeram di luka Kongsun Siang sudah meleleh keluar bersama darah hitam, setelah luka dipaha rasanya tidak membahayakan lagi, segera dia menyobek jubah sendiri untuk pembalut luka orang. Kongsun Siang menarik napas panjang dan pelan2 membuka mata, teriaknya.   "Ling-Leng....."   Belum habis dia bicara mendadak suara gemuruh sayup2 mulai timbul seperti datang dari bawah tanah. Tergerak hati Kun-gi, katanya.   "Mungkin mereka sudah mulai mengerjakan alat perangkap, lekas kita tinggalkan tempat ini."   Sambil memapah Kongsun Siang segera ia berdiri. "Ling-heng,"   Ujar Kongsun Siang sambil meronta..   "biar Siaute berjalan sendiri."   Sementara suara gemuruh yang bergema semakin keras dari bawahbumi, semakin dekatdan keras. WaktuKun-giangkatkepala, dilihatnya pintu batu sebelah timur dan barat mulai bergerak menutup, lekas dia berkata.   "Luka Kongsun-heng belum sembuh, marilah kupapah saja."   Dengan tangan kiri setengah mengempit pinggang orang, dengan beberapa kali gerakan mereka sudah meluncur ke arah pintu timur yang jaraknya lebih dekat.   Ternyata di luar pintu adalah sebuah lorong panjang yang beralaskan batu2 hijau, tidak cukup untuk jalan dua orang berjajar, tampak patung batu tadi kini sudah menggeser mundur kedindingdan bergeraklagi.   Baru beberapa langkah Kun-gi berjalan sambil setengah menyeret Kongsun Siang, terdengar suara gedubrakan keras, pintu batu dibelakangnya sudah tertutup rapat dengan mengeluarkan suara gemuruh.   Kongsun Siang menegakkan badannya, dengan kuatir ia tanya.   "Ling-heng, manaTing-heng?Diatidakkeluar?" "Dia mengejar seorang musuh yang lari ke pintu barat tadi,"   Tutur Kun-gi.   Pintu batu sudah tertutup tapi suara gemuruh di bawah tanah masih terus bergema, Diam2 Kun-gi merasa heran, akhirnya dia kerahkan Lwekang dengan ketajaman matanya dia periksa keadaan sekelilingnya.   Nyata dinding sekelilingnya tetap utuh tak nampak perubahan apa2, tanpa sengaja ia mendongak melihat ke atap.   Seketika ia melonjak kaget, ternyata batu besar yang tepat di atas lorong tengah menindih turun pelan2.   Betapapun tabah hati Ling Kun-gi, meski tidak sedikit musuh2 tangguh yang pernah dia kalahkan, tapi belum pernah dia menghadapi keadaan gawat seperti ini, tanpa banyak pikir tekas dia kempit Kongsun Sing terus kabur ke depan secepatnya.   Lorong sempit ini ternyata sepuluhan tambak panjangnya, sepanjang itu batu yang berada di atas lorong sama2 ambles ke bawah, ke manapun berlari dan betapapun cepat ingin menyingkir tetap akan sia2 belaka, karena batu atap di bagian depan lorong yangbakaldilaluijugatelahmulai menggeserkebawah, Tiba2 di ujung lorong Kun-gi diadang oleh dinding batu pula, jelas tiada jalan keluar untuk menyelamatkan diri, sementara batu atap masih terus menindih turun semakin rendah dan sudah hampir menyentuh kepala, saking bingungnya akhirnya dia menghela napas putus asa, katanya.   "Kongsun-heng, agaknya malam ini kita bakal terkubur di tempat ini."   Luka paha Kongsun Siang belum sembuh, tapi sekuatnya dia berdiri sambil bertopang di badan Ling Kun-gi, keadaan sudah amat mendesak, tapi mereka tetap berlaku tenang, dengan ketajaman matanyadiaberusaha memeriksadindingdisekitarnya.   Mendadak kaki kirinya yang tidak terluka dia ulur dan menendang sekuatnya ke dinding sebelah kiri bawah, lalu menginjak pula sekeras2nya lantai di depan kakinya.   Terasa lantai yang terpijak kakinya anjlok turun, ternyata lantai yang diinjaknya itu dapat bergerak, waktu dia angkat kakinya, lantai itu terangkat naik pula ke tempat asalnya, kalau tidak diperhatikan orang takkan tahu kalau di situ ada rahasianya Dalam pada itu batu di atas kepala sudah merosot semakin rendah, mereka sudah tak bisa berdiri tegak lagi, dengan setengah berjongkok mereka mundur mepet dinding, tapi pada detik2 yang menentukan itulah, mungkin karena menginjak lantai yang melesat turun oleh injakan Kongsun Siang tadi, tahu2 dinding di sebelah kiri mereka tanpa suara telah bergerak dan terbukalah celah2 yang cukup lebar.   Kongsun Siang menghela napas lega, katanya.   "Syukurlah jalan keluarnya kena kutebak dengan jitu.   Ling-heng, lekas keluar"   Lalu dia mendahului menerobos keluar. Setelah berada di luar, Kun-gi berkata lega sambil tertawa. "Untung Kongsun-heng paham juga akan permainan peralatan rahasia itu, kalau tidak kita sudah tertindih hancur lebur," "Blum!"   Selagi mereka bicara itulah batu besar di lorong itu sudah anjlok, besarnya tepat memenuhi sepanjang lorong, tiada yang sedikitpun yang tersisa. Diam2 Kun-gi berkeringat dingin, batinnya.   "Entah bagaimana keadaan Ting Kiau, mungkinkah iapun kejatuhan batu, semoga dia lolos darielmaut."   Di luar lorong ternyata masih ada lorong lagi yang di pagari dinding tinggi, cuma lorong di sini sedikit lebih lebar.   Dengan mengacungkan Leliong cu di atas kepala, Kun-gi membuka jalan di sebelah depan, sementara luka di paha Kongsun Siang sudah dibalut, maka dia bisa bergerak lebih leluasa, dengan ketat dia mengikuti langkah Ling Kun-gi.   Lorong panjang ini amat gelap, bayangan setanpun tidak kelihatan, tapi dengan hati2 dan waspada mereka terus menggeremet maju.   Kira2 puluhan tom-bak kemudian, dari kegelapan dibelokan sebelah depan sana berkelebat sinar pedang yang menyamber laksana kilat, begitu cepat dan lihay samberan sinar pedang ini, tahu2 sudah membabat miring mengincar pinggang Ling Kun-gi.   Untunglah Kun-gi sela!u pasang kuping dan pasang mata lebar2, serangan terjadi mendadak dan sukar dijaga, lawan yang sembunyi agaknya memang lihay, sampai dengus napaspun tidak terdengar, sehingga tak tersangka, kalau musuh tiba2 melancarkan serangan gelap selihay ini..   Secara otomatis begitu melihat sinar pedang menyamber tiba, Kun-gi ayun tangannya menepuk ke batang pedang lawan, padahal ujung pedang lawan sudah dekat pinggangnya, untunglah tepukan tangannya yang bertenaga kuat mampu menggetar pergi pedang lawan.   Si pembokong ternyata berkepandaian tinggi, tahu2 pedangnya ditarik balik, dalam kegelapan yang menguntungkannya, dia lompat ke belakang, berbareng dua bintik sinar dingin tahu2 meluncur ke arah Ling Kun-gi.   Kun-gi mendengus, sekali lengan bajunya mengebut, kedua bintik sinar itu seketika tergulung ke dalam gerakan Kian kut siu, sekalisendal lagi keduabintik kemilau itupun jatuh ketanah.   Gebrak ini berlangsung dalam sekejap, dengan cepat Kun-gi mengudak maju seraya membentak, sekali berkelebat dia sudah menerobos ke tempat belokan, dilihatnya sesosok bayangan orang tengah menyurut ke tempat gelap di lorong sebelah depan sana.   Segera dia menghardik.   "Masih mau lari ke mana kau?" "Wut"kontantangankanannya memukul kedepan. Di dalam lorong yang sempit dan memanjang ini kecuali berkelahi secara kekerasan, tak mungkin berkelit lagi, apalagi pukulan Kun-gi ini dilancarkan sambil mengudak maju dengan kencang tenaga pukulannya laksana badai menerjang ke punggung orang itu. Padahal orang itu tengah mengayun langkah sekuatnya lari ke depan, tiba2 terasa kesiur angin kencang di belakangnya, sebagai orang yang telah berpengalaman, dia tahu bahwa Ling Kun-gi tengah menyerang dirinya dengan pukulan dahsyat, kalau melawan secara keras, mungkin dirinya mampu mematahkan sebagian kekuatan pukulan lawan, itu berarti jiwa masih mungkin tertolong. Pikiran bekerja secara cepat pula badannya membalik, iapun menghardik tak kalah kerasnya.   "Biar aku adu jiwa dengan kau!"   Kedua tangan terulur lurus menyongsoug ke depan.   Setelah dia membalik tubuh, baru terlihat jelas wajah orang itu, kiranya dia adalah laki2 berewok yang tadi berhasil lolos dari ruang pendopo, sorot matanya yang buas dan liar jelalatan memancarkan rasa takut dan kalap, mukanya tampak beringas, pukulan Kun gi ini menggunakan Mo-ni-in, meski laki2 berewok cukup cekatan dan bertindak tepat, toh dia tidak kuasa menghadapi pukulan sakti ini.   Kontan dia rasakan dada seperti dipukul godam, darah bergolak, kepala pusing, pandangan berkunang2, mulut terpentang megap2, napaspun ter-sengal2.   Dengan sinis Kun-gi tatap muka orang, katanya dingin.   "O, kiranya kau!"   Sorot mata laki2 berewok kini tambah liar, dengan melotot dia awasi mutiara di tangan Ling Kun-gi rona mukanya akhirnya mbenampilkan rasa heran dan jera, bentaknya.   "Berdiri, tahan dulu, ada omongan ingin kutanya kau."   Pedang siap di depan dadanya, ujung pedang teracung ke depan mengincar dada Ling Kun-gi, agaknya dia kuatir kalau Kun-gi menyergapnya. Kun-gi berdiri lima kaki di depan orang, tanyanya.   "Masih ingin omong apalagi?" "Apakah yang berada di tanganmu itu CinCu-ling?"   Tanya laki2 berewok. "Betul,"ucap Ling Kun-gisinis.   "inilahCinCu-ling."   Mendadak berubah hebat air muka laki2 berewok, bibirnya tampakrada gemetar, suaranyaserak."Kau....sheLing."   Heran Kun-gi, katanya.   "Betul, aku she Ling."   Mendadak laki2 berewok putar tubuh, dengan langkah tergopoh dia berkelebat ke ujung kanan dinding sana. Pertanyaan orang menimbulkan rasa ingin tahu Ling Kun-gi, hardiknya.   "Berhenti!"   Lengan kanannya terayun, dia lontarkan segulung angin pukulan yang keras dan kuat, sasarannya bukan badan laki2 berewok, tapi mengincar dinding batu di depan orang, jadidia berusaha mencegatorang melarikan diri.   Kepandaian si berewok ternyata harus dipuji juga, merasakan tekanan berat dari depan, sebelum dirinya menumbuk tenaga kuat itu, cepat dia meng-hentikan gerak badannya, teriaknya beringas.   "Apa maumu?"   Kun-gi ulur telapak tangannya yang memegang Leliong-cu, tanyanya.   "Kau kenal mutiaraku ini?" "Siapapun kenal akan CinCu-ling,"   Sahut laki2 berewok. "Kau salah satu dari tiga pnluh enam panglima itu bukan?"   Tanya Kun-gi. Melihat Kun-gi berdiri menatap dirinya lekat2, seperti menunggu jawabannya, seketika timbul amarahnya, katanya dengan ketus. "Betul!"   Mendadak dua jari tangan kirinya mencolok ke dua mata Ling Kun-gi, berbareng pedang di tangan kanan menusuk ke lambung.   Serangannya itu amat keji dan secara mendadak, pikirnya betapapun tinggi kepandaian Ling Kun-gi pasti akan kecundang di bawah pedangnya.   Tak terduga tangan Ling Kun-gi mendadak menangkap pergelangan tangan kanannya yang memegang pedang.   Tahu2 laki2 berewok merasakan pergelangan tangan kesakitan, keruan ia kaget, belum lagi dia meronta, jari2 orang sekeras tanggam telah pencet urat nadinya sehingga badannya lemas lunglai, tapi dia tetap beringas, teriaknya.   "Jangan kau memaksaku." "Cayhe hanya ingin bertanya .......   "   Belum Ling Kun-gi bicara, laki2 berewok sudah berteriak lagi. 'Tak usah banyak tanya, biar tuan besarmu serahkan nyawa padamu." "Agaknya kau punya kesulitan sehingga tak mau bicara ......   "   Timbul rasa heran Kun-gi melihat laki2 berewok berdiri mematung diam, tapi kejap lain dilihatnya wajah orang sudah berubah gelap, tiba2 darah hitam meleleh dari ujung mulutnya, pelan2 ia roboh terkulai. "Ling-heng,"   Kongsun Siang bersuara di samping Kun-gi.   "dia bunuh diri dengan minum racun."   Ling Kun-gi lepaskan pegangannya, katanya sambil mengerut alis.   "Kalau dia berani bunuh diri menelan racun, kenapa tidak berani bicara terus terang?" "Kukira dia amat mematuhi peraturan Hek-liong-hwe sehingga tidak berani membocorkan rahasia perkumpulannya, dari nada bicaranya bahwa dia tetap pegang rahasia karena persoalan ada sangkutpautnyadenganCinCu-lingditangan Ling-heng." "Akupun merasa begitu, waktu melihat mutiaraku ini, kulihat rona mukanyamenampilkan mimikyanganeh." "Kudengar dia tanya apakah kau She Ling, kalau tanpa sebab, tak mungkin pada saat2 gawat begini dia mengajukan pertanyaan ini." "Analisamu memang tepat, sayang dia sudah meninggal, sepatah katapun tak berhasil kutanya kepadanya." "Tapi dia juga bilang mau serahkan nyawanya padamu, lalu kenapadiaharusbunuhdiridengan menelanracunpula?" "Ya, kalau diselami kata2nya tadi memang aneh dan patut dicurigai." "Oleh karena itulah aku berpendapat bahwa soal ini ada sangkut pautnya dengan mutiara di tangan Ling-heng ini,"   Merandek sebentar Kongsun Sianp lalu bertanya.   "Entah dari mana pula Lingheng memperoleh Cincu-ling ini?" "Mutiara ini adalah warisan leluhurku, nama aslinya Leliong-pi-tok-cu, khasiatnya dapat menawarkan segala macam racun, jadi bukan bernama CinCu-ling." "Aneh kalau begitu, bagaimana pula mutiara ini bisa mirip dengan tanda kepercayaan Hek-liong-hwe?" "Hal ini aku sendiri juga tidak tahu, atas perintah guru aku mengembara ke Kangouw, tujuannya adalah untuk menyelidiki CinCu-ling ...."   Sembari bicara mereka berjalan terus kedepan, tanpa terasa akhirnya sampai di ujung lorong dinding batu kembali mengadang jalan mereka. Kun gi menghentikan langkah, katanya sambil menoleh.   "Lorong ini sudah tiba di ujungnya, coba Kongsun-heng periksa apakah ada pintu rahasianya?"   Kongsun Siang maju dua langkah, katanya.   "Yang kuketahui juga sedikit saja, entah dapat ku-temukan tidak rahasianya,"   Dengan seksama tangannya mulai meraba sementara matapun memeriksa dengan cermat, terasa seluruh dinding batu ini licin dan rata laksana kaca, tak terlihat adanya garis pemisah dari bekas sebuah pintu.   Akhirnya dia mengerut kening pedang dia tanggalkan, dengan gagang pedang dia ketuk2 dinding, lalu menempelkan kuping mendengarkan dengan teliti.   Pada dinding bagian depan agaknya tiada pintu yang dapat ditemukan, terpaksa dia membalik ke arah lain, kini dia periksa dinding sebelah kiri, dari atas ke bawah dia periksa dengan teliti, sementara mulutnya mengoceh.   "Dalam perut gunung ini semula memang sudah banyak gua ciptaan alam, kemudian mereka tambahi dan atur sedemikian rupa dengan bangunan berbagai alat rahasia, semua ini menunjukkan hasil karya seorang yang betul2 ahli dalam bidang ini, padahal aku hanya memperoleh sedikit pelajaran bidang ini dari guru, sungguh tak mampu aku menemukannya...."   Tengah bicara, entah bagaimana secara kebetulan ia menyentuh alat rahasianya di dinding batu itu, mendadak terbuka sebuah pintu tanpa mengeluarkan suara.   Pintu batu yang terbuka ini tampaknya bisa bergerak secara otomatis, padahal Kongsun Siang sendiri tidak menduga sehingga dia bersuara kaget, tapi sigap sekali dia sudah menerobos keluar sana.   Pintu ini bergerak cepat dan licin, begitu Kongsun Siang menerobos keluar darisebelah kanan, pintuitu lantas memutarbalik dan "blang", tertutup rapat pula.   Kejadian betul2 di luar dugaan, Ling Kun-gi berdiri cukup dekat, tapi dia tidak sempat menahannya.   Kini sekali pintu tertutup rapat baru dia terjaga kaget, serta merta ia berteriak.   "Kongsung-heng!"   Tangan segera menepuk ke pintu.   Dengan mudah Kongsun Siang mendorong terbuka pintu itu, jelas pintu ini bisa bergerak bebas, maka dia bisa menerobos keluar, malah daun pintu sudah berbalik arah, tapi tepukan tangan Kun-gi yang kuat ini ternyata tak berhasil menggoyahkan daun pintu batu ini.   Keruan ia gugup, tanpa pikir kembali Kun-gi menghantam pula, kali ini pukulannya berlipat ganda lebih keras, bukan saja daun pintu tetaptakbergeming, malahtelapaktangansendiriterasasakit.   Pikirnya.   "Kongsun Siang tadi hanya meraba2 daun pintu dan tanpa sengaja menyentuh alat rahasianya, jadi alat rahasianya pasti beradadiatasdaunpintu, kenapatidak kucaridengan seksama?"   Sambil mengacungkan Leliong-cu, dari atas segera dia memeriksa ke bawah dengan hati2.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Periksa punya periksa, sekian lamanya dia tetap tidak menemukan tanda apa2, kecuali garis lurus yang lapat2 kelihatan dari bekas celah pintu, tiada tanda2 lain yang ditemukan, apalagi alat rahasia untuk membuka pintu batu ini..   Sungguh Kun-gi tidak habis mengerti dan hampir tidak percaya akan kenyataan yang dihadapinya ini, bahwa dinding batu setebal ini, ternyata terpasang sebuah pintu yang dapat bergerak bebas bolak-balik secara cepat.   Yang jelas Kongsun Siang baru saja menerobos ke balik sana lewat pintu batu licin rata ini.   Tiga orang datang bersama, kini tinggal dirinya seorang saja.   Di antara delapan Houhoat Pek-hoapang hanya Kongsun Siang yang bergaul paling akrab dengan dirinya, meski tidak pernah bicara persoalan pribadi, betapapun dia tidaktegaberpeluktanganbegini saja.   Beruntun dua kali Kun-gi memukul pintu itu tetap tak bergeming, jalan keluar tiada, keruan dia naik pitam.   Mengingat dirinya terkurung di pendopo dan teralang oleh patung batu tadi, akhirnya dia berhasil mendorong mundur patung dan terbukalah jalan keluarnya, kenapa sekarang ini tidak mencobanya? Kali ini dia sudah berniat pakai kekerasan menggempur hancur dinding batu di depannya, maka pelan2 dia mundur dua langkah, dua tangan bersilang di depan dada, pelan2 dia kerahkan Kim-kong-sim-hoat, mendadak kakinya melangkah setindak ke depan, sementara mulutnya menghembus napas keras2 sambil menggerung seperti banteng ketaton, kedua tanganpun mendorong ke depan.   Kim-kong-sim-hoat adalah salah satu dari 72 ilmu ajaran Siau-lim yang hebat, merupakan Hud-bunsinkang (ilmu sakti dari aliran Hud) yang paling tingg, begitu kedua tangan mulai mendorong pelan2, segulung tenaga tidak kelihatan segera timbul dan menerpa ke depan.   "Blum!"   Begitu menerjang pintu batu, seluruh lorong gua di perut gunung ini serasa bergoncang keras, pasir beterbangan dan berguguran dari atas.   Tapi pintu yang tadi bisa bergerak licin dan bebas ini ternyata tetap tertutup tak bergeming.   Celakalah Kun-gi, karena tenaga saktinya tak berhasil menjebol roboh pinto batu, kekuatan sendiri malah menerjang balik memukul dirinya sehingga dia terpental mundur beberapa langkah.   Padahal lorong gua ini hanya lima kaki lebarnya, begitu dia tertolak mundur dengan daya tolak yang keras, punggungnya membentur dinding sebelah kiri di belakangnya.   Tak nyana begitu punggungnya menyentuh dinding belakang, terasa dindingnya bergerak, seolah2 dia mendorong sebuah daun pintu yang tak terpalang, mendadak dinding di belakang menjeplak terbuka.   Karena tidak menduga Kun-gi tak dapat menguasai diri, ia sempoyongan hingga puluhan langkah baru jatuh terduduk.   Kini baru Kun-gi melihat jelas, daun pintu di dinding belakangnya inipun dapat bergerak bebas, setelah dirinya terjatuh masuk, daun pintu segera memutar balik dan tertutub rapat pula.   Sigap sekali Kun-gi melompat berdiri, ia coba mendorong daun pintu, ternyata tak bergeming sedikitpun.   Sejenak Kun-gi berdiri mematung.   Pada keheningan itulah mendadak dia mendengar suara rintihan yang lirih dan lemah.   Waktu dia amat2i keadaan sekelilingnya, ternyata di balik pintu ini adalah sebuah lorong pula yang sempit memanjang ke sana, suara rintihan lemah itu terdengar dari sebelah depan.   Maka sambil mengangkat tinggi mutiara yang memancarkan sinar redup, dia melangkah ke sana.   Semakin dekat suara rintihan semakin jelas, setelah membelok ke kiri, tak jauh di depan sana terlihat seseorang meringkuk di atas tanah.   Betapa tajam pandangan mata Ling Kun-gi, sekilas pandang dia lantas mengenali orang yang rebah itu adalah Yu-hou-hoat Samgansin Coa Liang adanya.   Dengan kaget lekas dia memburu maju dan berjong-kok disamping orang, tanyanya.   "Coa-heng, di mana kauterluka?"Cepatiaangkattubuhorang dandibaliktelentang. Tertampak dada kiri, lambung kanan Coa Liang terluka oleh pedang, baju bagian depan dada, sudah lengket dengan kulit dagingnya oleh cairan darah yang berwarna hitam. Goresan luka pedang ini tampak amat dalam dan parah, agaknya sukar disembuhkan dan jiwapun sukar tertolong. Dengan Lwekangnya yang tangguh maka Coa Liang dapat bertahan sekian lamanya, tapi juga su-dah kempas-kempis, mendengar panggilan Kun-gi, pelan2 dia membuka matanya, tampak sinar matanya sudah guram menatap Ling Kun-gi sekian lamanya, mulut terpentang dengan bibir gemetar, seperti ingin bicara. "Coa-heng ingin bicara apa?"   Tanya Kun-gi.   Dengan mengerahkan tenaga Coa Liang mengangguk.   Diam2 Kun-gi mengerut kening, jiwa Coa Liang jelas sudah di ambang maut, terutama luka2 di dada kirinya amat dalam dan melukai paru2 dan jantung, kalau dia bantu mengerahkan hawa murni ke tubuhnya, darah pasti takkan berhenti mengalir keluar.   Tapi kalau tidak dibantu keadaannya sudah kempas-kempis, untuk bicarapun sudahtidak mampu lagi, sesaatdiajadibimbang.   Dengan sorot mata yang pudar Coa Liang memandang Ling Kungi, sorot matanya menandakan hatinya amat gelisah dan resah.   "Coa-heng ingin Cayhe bantu menyalurkan hawa murni, supaya kaudapat mengeluarkanisihatimu,"tanyaKun-gi Dengan kaku dan gerakan berat Coa Liang mengangguk.   Berat perasaan Kun-gi, pelan2 dia ulurkan tangan menekan tepat ubun2 kepala Coa Liang, lalu pelan2 dan sabar dia mulai salurkan hawa murninya ke badan orang.   Karena Lwekang Coa Liang sendiri amat tinggi sehingga dia masih kuat bertahan sekian lama, kini mendapat bantuan saluran hawa murni Ling Kun-gi, sekuatnya dia coba menarik napas, dua kali bernapas dengan enteng, maka bola matanyapun mulai bergerak, kejap lain tangan kanannyapun dapat bergerak dengan gemetar, mulut megap2 beberapa kali, suaranya terdengar amat lirih serak.   "Cu ....cukong (majikan) ...."   Hanya beberapa suku kata keluar dari mulutnya, darah hitam tiba2 menyembur keluar dari luka di bawah lambungnya, suara ngorokpun terjadi ditenggorokannya, pelan2 kepalanya lantas tertekuk lemah tak bergeraklagi.   Hanyaduapatahkatasempatdiaucapkan,nyawapun melayang.   Dengan rawan Ling Kun-gi menarik tangannya, pelan2 dia berdiri, dan membatin.   "Laki2 baju hitam yang kulihat di atas bukit malam itu ternyata adalah Sam-gansin Coa Liang, entah siapa pulmajikan' yang ia maksudkan? Apa pula maksud tujuannya menyelundupdanjadi mata2didalamPek-hoa-pang?" "Dia menudingkan jarinya ke arah lorong depan sana sambil menyebut 'majikan', maksudnya terang hendak beritahukan padaku bahwa majikannya menuju ke lorong sana, kenapa ia memberitahuku hal ini padaku?" "Mungkinkah majikannya menghadapi mara bahaya, supaya diriku lekas menolongnya? Ya, pasti majikannya menghadapi bahaya, maka dia berusaha mengeluarkan dua patah kata memberitahukan arah kepergian majikannya, maksudnya, jelas ingin aku pergi menolongnya."   Segera ia menjura ke arah jenazah Sam-gansin, katanya.   "Coa-heng tak usah kuatir, Cayhe segera akan menyusulnya ke depan sana."Cepat2iaberanjakke lorongyang lebih dalam. Majikan yang dimaksud Coa Liang sudah tentu seorang gembong persilatan yang punya kedudukan tinggi sebagai Pangcu atau ketua suatu aliran, ber-ilmu silat tinggi, tapi dari sikap dan mimik Coa Liang menjelang ajalnya yang resah dan gelisah tadi, dapatlah dibayangkan bahwa majikannya pasti mengalami mara bahaya di lorong2 sempit ini. Maka Kun-gi tak berani ayal dan ceroboh, untuk menghadapi musuh yang mungkin menyergap setiap saat, dia merasa perlu menggunakan kedua tangannya, maka Leliong-cu dia gantung di di ikat pinggangnya, tangan kiri berjaga di depan dada, tangan kanan melolos pedang pandak, pelan2 dia menggeremet maju terus mengikut jalaran lorong yang belak-belok, kira2 ratusan langkah dia menempuh perjalanan, membelok tiga kali, selama itu mata kupingnya bekerja dengan tajam, sekonyong2 didengarnya di sebelah depan ada derap kaki yang amat ringan. Begitu mendengar langkah orang Kun-gi lantas tahu bahwa orang ini memiliki Ginkang yang tinggi, di dalam lorong sempit yang belak-belok ini ternyata dia dapat berlari sekencang itu seperti kuda binal yang lepas dari kekangan. Pada saat Kun-gi berdiri bimbabng di ujung pengkolan itu, maka bayangan orang itupun sudah muncul di ujung yang lain. Itulah seorang laki2 yang sekujur badannya terbungkus pakaian hitam, pedang ditangannyapun berwarna hitam legam. Karena Leliong-cu tergantung dipinggangnya, begitu Kun-gi melihat orang, sudah tentu orang itu pun segera melihat dirinya, jarak kedua orang sekarang masih belasan kaki jauhnya, tapi cepat sekaliorang itu sudah menghampiri didepan Ling Kun-gi. Pedang terangkat dengan gaya mengancam, bentaknya dengan suara kereng.   "Siapa kau?" "Katakan siapa kau?"   Kun-gi balas menjengek. Sekilas orang itu memandang mutiara di pinggang Kun-gi, katanya kemudian.   "Kau membawa CinCu-ling, tentunya sudah tahu kalau di tempat ini dilarang main terobosan tanpa ijin Hwecu, siapapun berani masuk ke Hek-liong tam akan dihukum mati.'' Ternyatadiamengira Kun-giadalahorang Hek-liong-hwe. Sungguh tak pernah terpikir dalam benak Kun-gi, secara kebetulan dia main terobosan dan kini berada di Hek-liong-tam (kolam naga hitam), kalau tempat ini dinamakan Hek-liong-tam, pasti ada sebuah kolam di sini. Dan nama Hek-liong-hwe mungkin dipungut karena adanya kolam naga hitam pula, dari sini dapat pula disimpulkan kalau pusat kekuasaan Hek-liong-hwe pasti berada di Hek-liong-tam ini pula. Maka Ling Kun-gi. lantas bertanya.   "Apakah di sini letak markas pusat Hek-liong-hwe?" "Jadi kau bukan orang Hek-liong-hwe?'"   Tanya orang itu melengak heran. "TidakpernahCayhe mengaku orang Hek-liong-hwe."   Pedang menuding, orang itupun membentak dengan aseran. "Siapa namamu, datang dari mana!' "Cayhe Ling Kun-gi, sudah tentu datang di luar sana." "Peduli siapa kau, setelah masuk kemari, kepalamu harus dipancung!"   Segera pedangnya menusuk tenggorokan. "Tahan sebentar!"   Seru Kun-gi. Orang itu menghentikan gerakannya, katanya dingin.   "Masih ada urusan apa lagi?" "Bolehkah tuan beritahukan padaku, apakah Hek-liong-tam adalah pusat kekuasaan Hek-liong-hwe??? ''Tanyakan persoalanmu ini kepada Giam-lo-ong saja,"   Seru orang itu.   "Sret"   Pedangnya segera menusuk. Tangan kanan bergerak, Seng-ka-kiam di tangan Ling Kun-gi memancarkan cahaya terang di kegelapan.   "Trang", tusukan pedang lawankenadisampuknyake samping. Sibaju hitammendengusgeram, katanya. "Agaknya tuan memiliki kepandaian tangguh pula."   "Sret"   Kembali pedangnya menusuk lurus. "Ilmu pedang orang ini cukup cepat dan lincah, ilmu silatnya terang tidak lemah, mungkin dia penjaga daerah terlarang ini, terpaksa aku harus membekuknya lebih dulu,"   Demikian batin Kungi.   Sebatsekaligerak-gerik si bajuhitam, pedangnyaberkelebatkian kemari sehingga sukar diraba kemana serangannya.   Ilmu pedangnya bukan saja bergerak laksana kilat menyambar, setiap tabasan dan tusukannya dilandasi kekuatan yang tangguh, beruntun tiga jurus Seng-ka-kiam di tangan Ling Kun-gi balas menyerang, jadi keduapihakberebut kesempatanuntuk menundukkan lawan.   Dalam lorong yang sempit itu, di bawah penerangan cahaya mutiara yang redup, terjadilah perang tanding ilmu pedang yang cukup hebat dan sengit, kalau pedang Ling Kun-gi semakin memancarkan cahaya terang, adalah pedang lawannya semakin terasa berat tekanan serangannya, hawa dingin serasa hampir membeku diruangan lorong sempit itu.   Puluhan jurus kemudian baru lambat laun Kun-gi berhasil membendung serangan lawan.   Bahwa ilmu pedang kebanggaannya diungguli lawannya yang muda ini, si baju hitam naik pitam, sampai mem-bentak2 pedangnya berkelebat semakin cepat dan merangsek terlebih sengit lagi.   Tapi dia lupa akan satu hal, rangsakan cepat dan sengit ini merupakan adu kekuatan secara kekerasan pula.   Padahal pedang di tangan Ling Kun-gi adalah senjata pusaka yang tajam luar biasa..   Setelah pedang kedua pihak berdering nyaring saling beradu, pedang hitam di tangan si baju hitam terpapas putus berkeping, tinggal gagang pedang saja yang masih tergenggam di tangannya.   Sekilas si baju hitam melengak, baru saja dia hendak melompat mundur.   Tahu2 Kun-gi mendesak maju, ujung pedangnya mengancam di dada si baju hitam, para bentakannya kereng berwibawa.   "Berani kau bergerak, kurenggut jiwamu!"   Sinar kemilau pedang Ling Kun-gi yang mengancam dada terasa menyilaukan mata, si baju hitam tidak berani bergerak. wajah nyapun berubah pucat beringas. serunya murka.   "Apa kehendakmu?"   Tiba2 Kun-gi unjuk senyum ramah, katanya.   "Cayhe hanya ingin tanya sedikit, lebih baik tuan menjawab sejujurnya." "Soal apa yang ingin kautanyakan?" "Pertama, apakah Hek-liong-tam adalah markas pusat Hek-lionghwe?" "Aku tidaktahu," "Apa betul kau tidak tahu?" "Tugasku hanya meronda di lorong2 tertentu, siapapun tanpa izin Hwecu bila berani keluyuran dilorong ini haras dihukum mati, soal lain aku tidakperduli" "Jadilorong ini menjurus keHek-liong-tam, betul?" "Betul." "Bagus, ingin kutanya pula satu hal, barusan seseorang masuk kemari?" "Orang2 yang tugas ronda di sini bergiliran pada saat2 tertentu, baru saja kudatang, tak kulihat dan tiada laporan ada orang luar masuk kemari!' Heran Kun-gi, pikirnya.   "Sam-gansin Coa Liang terluka dua tusukan pedang, pada saat2 ajalnya masih berusaha menunjukkan bahwa majikannya menuju kearah sini, kenapa jejaknya tidak dilihat mereka?"   Segera dia bertanya pula.   "Saudara barusan datang dari arah Hek-liong-tam? Nah, sekarang tolong kau menunjukkan jalannya bagiku."   Belum si baju hitam menjawab, mendadak sebuah suara dingin menanggapi.   "Lepaskan dia, dia tidak akan tahu jalanan yang menjurus ke Hek-liong-tam."   Datangnya orang ini tak menimbulkan suara sedikitpun, padahal Kun-gi cukup yakin akan ketajaman pendengarannya.   Diam2 Kejut hati Kun-gi, waktu dia menoleh, dilihatnya tak jauh di belakang si baju hitam, berdiri seorang tua berjubah hijau.   Dalam keremangan tampak perawakan orang tua ini tinggi kurus, wajahnya dingin berwibawa, sorot matanya berkilat tajam, jenggot kambing di dagunya.   Dinilai dari sikap dan dandanannya, orang akan segera maklum orang tua ini pasti memiliki ilmu silat yang maha tinggi dan kedudukannya terang jauh lebih tinggi daripada si baju hitam.   Pelan2 Kun-gi mundur setapak sambil menu-runkan pedang pandaknya, katanya dengan tertawa ramah.   "Kalau begitu, biarlah Cayhe bertanya padamu saja, Lotiang (pak tua)."   Meski pedang sudah dia turunkan, tapi dia tetap waspada, apalagi berhadapan dengan lawan yang tangguh, diam2 ia malah kerahkan hawa murni pelindung badan dan siap siaga.   Lekas si baju hitam mundur ke samping dan memberi hormat kepada si jubah hijau.   Agak lama si jubah hijau menatap mutiara yang bergantung di pinggang Ling Kun-gi, akhirnya pandangannya beralih ke wajah Kun-gi, suaranya terdengar tenang.   "Tuan bisa menemukan tempat ini, ketabahanmu sungguh harus dipuji, bolehkah kutahu namamu?" "Cayhe Ling Kun-gi!"   Mendadak terpancar cahaya terang yang membayangkan rasa senang pada bola mata si jubah hijau, katanya sambil manggut2. "Baik sekali!"   Mendadak tangannya terayun.   "plak", dengan telak dada si baju hitam yang berdiridisampingnya kena digabloknya kebras. Padahal sdi baju hitam berdiri tegak hormat meluruskan kedua tangannya, sudah tentu tak pernah terpikir olehnya bahwa si jubah hijau akan membunuhnya, tentu saja ia tak sempat berkelit, tanpa mengeluarkan suara dia roboh binasa. Tanpa hiraukan korbannya si jubah hijau menatap Ling Kun-gi, katanya."Tambahisekali tusukanpedangmupula."   Kejadian di luar dugaan, keruan Kun-gi melenggong, bahwa si baju hitam sudah terpukul mampus menggeletak di tanah, buat apa dirinya harus menusuknya pula? Maka dengan kesima dia awasi si jubah hijau.   "Dia....." "Waktu amat mendesak, lekas kau tusuk dia, kita harus selekasnya meninggalkan tempat ini."   Semakin heran dan bingung Kun-gi.   "Kau..."   Dia ragu2 sambil mengawasi orang. Si jubah hijau goyang tangan dia menyela, suaranya tiba2 berubah ramah dan kalem.   "Tidak leluasa kita bicara disini, lakukan sepertipetunjukku, pastitidaksalah."   Kun-gi masih bingung apa maksud kata2nya, yang terang si baju hitam sudah mampus, tiada soal bila dia menambahkan sekali tusukan, toh orang tidak akan menderita, biarlah nanti mencari kesempatan mengorek keterangan dari si jubah hijau.   Maka tanpa bicara segera dia angkat pedang menusuk telak di ulu hati si baju hitam.   Si jubah hijau manggut2, katanya.   "Marilah kau ikut aku."   Lalu dia membalik berjalan menuju ke lorong sebelah sana, langkahnya enteng dan mantap, tanpa berpaling lagi, seolah2 kehadiran Kun-gi yangmengintildibelakangtidak menjadiperhatiannyalagi.   Kun-gi sendiri masih bingung apakah si jubah hijau kawan atau lawan? Cuma terasa tindak tanduk orang agak misterius, tapi dia tetap mengikuti langkah orang.   Lorong di perut gunung yang gelap gulita ini masih belak-belok kian kemari, dalam jarak dua puluh langkah pasti membelok sekali, entah ke kanan atau ke kiri, ternyata si jubah hijau tidak menyalakan obor atau penerangan lainnya, agaknya dia sudah apal sekali dengan liku2 jalan lorong disini, malah langkahnya semakin dipercepat.   Kira2 30 tombak kemudian, mendadak dalam kegelapan di sebelah depan seseorang membentak.   "Siapa?" "Aku!"   Sahut si jubah hijau.   Hanya beberapa patah kata tanya jawab ini dan Kun-gi sudah ikut membelok tiba, dilihatnya di depan mencegat seorang baju hitam pula, melihat si jubah hijau segera dia menyurut minggir serta berdiri dengan laku hormat, katanya kepada sijubah hijau.   'Hamba sampaikan hormatkepadaCongkoan."   Si jubah hijau hanya membalas hormat orang, dengan anggukan kepala, sementara kakinya masih melangkah maju, begitu tiba di depan orang mendadak tangannya terayun menepuk dada si baju hitam.   Gerakannya amat cepat dan tangkas, si baju hitam terang tidak bersiaga, sudah tentu sekali hantam kena dengan telak, hanya mulutnya saja yang sempat menguak pendek, tubuhnya terus roboh terkulai.   Dalam hati Kun-gi berkata.   "Orang2 berbaju hitam yang bertugas di lorong gelap ini tentu memiliki kepandaian silat yang amat tinggi, tapi hanya sekali angkat tangan si jubah hijau telah membinasakan mereka, maka dapatlah dibayangkan betapa tinggi kepandaian silat si jubah hijau ini."   Seperti tidak pernah terjadi apa2, Si jubah hijau terus melangkah ke depan sambil berkata dengan kereng.   "Lekas tusuk dia sekali lagi."   Setelah dua kali orang membunuh orang ber-baju hitam, sedikit banyak Kun-gi sudah agak maklum kemana maksud tujuannya, agaknya orang sengaja hendak membantunya, maka setelah membunuh anak buahnya sendiri ia menyuruhnya menusuk lagi dengan pedang supaya tidak membocorkan rahasia perbuatannya.   Kenapa si jubah hijau mau membantunya? Mungkin dia salah mengenali diriku, agaknya dirinya disangka sebagai orang sekomplotan dengan "majikan"   Yang dimaksud oleh Sam-gansin Coa Liang? Dari sini dapatlah diduga bahwa si jubah hijau ini pasti agen yang dipendam di dalam Hek-liong-hwe oleh sang "majikan"   Itu, maka tanpa berbicara, sekali pedangnya bergerak, dia tusuk ulu hati sibajuhitamyangsudah menggeletakbinasaitu. "Lekas jalan,"   Tiba2 si jubah hijau memberi isyarat, kakinya berlari kencang seperti terbang, Terpaksa Kun-gi ikut berlari kencang pula.   Setelah membelok dua kali, tiba2 si baju hijau menghentikan langkah, tangan terangkat menekan dua kali di kiri-kanan dinding, lalu membalik badan, katanya.   "Lekas masuk!"   Segera dia mendahului menerobos ke situ.   Setelah dekat baru Kun-gi melihat jelas di antara dinding batu yang licin itu sudah terbuka celah2 panjang yang cukup untuk seseorang menyelinap masuk, orang itu tampak menunggu di sebelahdalam, tanparagu2segeradia menyelinap masukjuga.   Baru beberapa langkah tiba2 didengarnya suara "duk"   Sekali, celah2 dinding telah merapat pula.   Lorong di sini agaknya memang ciptaan alam, bukan saja amat sempit, jalannyapun tidak rata dan hanya cukup dilewati seorang, malah dinding batu di kanan kiri juga penuh ditumbuhi lumut dan batu2 padas yang runcing, kalau tidak hati2 kepala pasti bisa benjut dan pakaian robek.   Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan KL di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Si jubah hijau berjalan amat cepat.   Karena ada penerangan dari mutiara di pinggangnya sudah tentu Kun-gi tidak bakal ketinggalan.   Kira2 sepeminuman teh kemudian, setelah turun naik dan lika-liku, sebelah depan agaknya sudah tiba di pangkal lorong karena sebuah dindingtembok mengadangdisitu.   Si jubah hijau menekan di atas dinding, maka terdengarlah suara gemeruduk yang bergema di dinding, pelan2 dinding batu itu mulai bergerak dan terbukalah selarik celah2 lubang..   Sambil tersenyum si jubah hijau menoleh, katanya.   "Silakan."   Lalu dia mendahului melangkah masuk. "Sarang Hek-liong-hwe berada di perut gunung"   Demikian pikir Kun-gi.   "Lorong2 di sini tembus ke segala penjuru, betapa besar proyek pembuatan lorong di perut gunung ini? Tidak sedikit jumlah aliran yang berdiri di Kangouw, kenapa pula Hek-liong-hwe membuang waktu dan tenaga begini besar untuk membangun markasnya di perut gunung? Memangnya mereka punya rahasia tersembunyi yang lain?"   Otak berpikir, tapi kaki segera beranjak ke dalam.   Di belakang pintu batu kiranya adalah sebuah kamar batu kecil, kecuali beberapa kursi yang ter-buat dari batu dan sebuah dipan batu pula, tiada perabot lain, tapi kursi dan dipan batu tampak mengkilap bersih.   Tepat di tengah ruangan di atas meja bundar yang dikelilingi kursi2 batu itu tertaruh sebuah lampu, entah minyak apa yang digunakan, ternyata sinarnya cukup terang.   Setelah Kun-gi dipersilakan masuk, kembali si jubah hijau menekan dinding sebelah atas kiri, pelan2 pintu batu itupun menutup kembali, sementara si jubah hijau sudah membalik badan sambilangkatsebelahtangan.   "Silakanduduk Kongcu!"   Tapi Kun-gi tidak segera duduk, dia merangkap kedua tangan menjura, katanya.   "Lotiang membawaku kemari, tentunya punya petunjuk yang berharga."   Si jubah hijau tertawa lebar, katanya ramah.   "Silakan Kongcu duduk saja, memang ada urusan yang perlu Lohu bicarakan, cuma sekarang belum tiba saatnya."   Dengan gagah Kun-gi duduk dikursi batu, tanyanya.   "Kenapa dikatakan saatnya belumtiba?"   Si jubah hijau tertawa, katanya.   "Orang luar takkan berani masuk kemari, harap Kongcu suka tunggu di sini, Losiu akan keluar sebentar dan cepat2 kembali."   Tanpa jawaban Kun-gi segera dia melangkah ke dinding sebelah depan, tiba2 dia menoleh dan berkata pula dengan tertawa. "Jangan Kongcu banyak curiga, tindakan Losiu ini pasti menguntungkan Kongcu,"   Lalu dia mendorong, dinding batu di depannya segera menjeplak terbuka.   Ternyata dinding batu itu merupakan pintu hidup yang bisa bergerak setiap kali tersentuh, begitu si jubah hijau melangkah keluar, secara otomatis pintu itupun menutup kembali tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.   Betapapun tindak tanduk orang cukup mencurigakan, maka begitu orang lenyap di balik pintu, Kun-gi segera berdiri memburu ke pintu dinding itu, waktu dia angkat tangan mendorongnya, ternyatapintubatuyangbarusan menutup takbergeming lagi.   Terpaksa Kun-gi duduk kembali ke kursinya, dengan seksama dia menerawang tindak-tanduk si jubah hijau, memang terasa sikap orang tidak bermaksud jahat terhadap dirinya, cuma untuk apa dia membawaku ke kamar batu ini, kenapa pula mendadak tinggal pergi? Dan untuk apa pula kepergiannya ini? Kalau orang luar tidak boleh masuk kemari, kenapa dikatakan pula bahwa tindakannya ini tidak mengandung maksud jahat terhadap diriku? Biarlah jawabannya kutunggu kedatangannya nanti.   Terbayang olehnya pesan sang guru yang wanti2 bila menghadapi marabahaya yang serba rumit, kepala harus selalu dingin dan pikiran harus tetap tenang, setengah malaman ini dia telah menempuh bahaya dan selalu terhindar dari renggutan elmaut, kini tanpa sengaja berhasil menyelundup ke tempat ini, kenapa lagi harus kuatir, biarlah segala sesuatunya terserah kepada takdir.   Kira2 setanakan nasi sejak si jubah hijau keluar, bayangan orang tetap tidakkunjung datang.   Setelah putar kayun dan berjuang mati2an di sarang musuh ini, kini baru Kun-gi memperoleh kesempatan istirahat, sambil duduk di kursi, diam2 dia telah mulai menghimpun semangat dan memulihkan kesegaran badannya.   Dalam keheningan itulah, tiba2 didengarnya langkah lembut mendatangi.   Sekilas Kun-gi tertegun, dirinya sedang bersemadi, kamar ini rapat dikelilingi dinding batu, umpama betul ada pintu rahasianya paling tidak dirinya pasti mendengar dulu suara pintu terbuka Tapi kenyataan tak pernah dia mendengar suara pintu terbuka, lalu dari mana suara langkah orang bisa masuk kemari? Serta merta iapun rnembuka mata, maka dilihatnya seorang gadis berbaju hijau sambil menjinjing sebuah tenong makanan tengah melangkak masuk dari pintu di dinding sebelah kanan.   Pintu itulah di mana tadi si jubah hijau berlalu, padahal pintu itu tadi sudah dia raba dan coba mendorongnya, tapi tertutup rapat dan tidak bergeming sama sekali.   Bagaimana pula nona baju hijau ini bisa masuk tanpa mengeluarkan suara.   demikian pula daun pintu batu itu nampak bergerak hidup dan licin, setelah gadis baju hijau beradadikamarpintupunlantasmembalikdan menutuprapatpula.   Begitu berada di dalam kamar, sepasang mata si gadis yang jeli serta merta terpentang lebar, ia lihat yang duduk di dalam kamar ini adalah seorang pemuda cakap, tanpa terasa mukanya menjadi merah jengah, lekas ia menunduk.   Dengan ter-gopoh2 dia menghampiri dipan, tenong dia taruh di atas dipan lalu membukanya satu persatu, dari tenong yang susun empat itu dia keluarkan beberapa macam hidangan, sepoci arak wangi dan sepiring bakmi goreng, hidangan ini dia taruh di atas meja, setelah menuang secawan arak dan menaruh sepasang sumpit, lalu dia memberi hormat kepada Ling Kun-gi, suaranya kedengaran merdu.   "Barusan Congkoan ada pesan, mungkin Kongcu sudah lapar, beliau perintahkan hamba menyiapkan hidangan ini, silakan Kongcu mencicipinya." "Terima kasih nona,"   Ucap Kun-gi sambil mengangguk dengan tertawa.   "Ada sebuah hal ingin kutanya kepada nona, entah suka memberitahu tidak?"   Mengerling si gadis baju hijau, katanya.   "Entah apa yang ingin Kongcu tanyakan?" "Congkoan yang barusan nona katakan, apakah kakek berjubah hijau dan berjenggot panjang itu' "Sudah tentu beliau,"   Sahut si gadis baju hijau. "Bolehkah nona memberitahu, siapakah nama Congkoan?"   Si gadis melengak, katanya.   "Kongcu adalah teman beliau, memangnyabelumtahu namaCong-koan malah?" "Kalau Cayhe tahu, buat apa bertanya pada nona?"   Berkedip mata si gadis, katanya kemudian.   "Kalau Congkoan tidakberitahu padaKongcu, hamba tidak beranibanyak bicara, lebih baik Kongcu langsung tanya padanya." "Agaknya nona tidak mau memberitahu. Baiklah, kutanya soal lainsaja,disinitempatapa,nonasudi memberitahubukan?"   Ternyata si gadis malah balas bertanya.   "Kongcu sudah berada di sini, memangnyakautidaktahutempatapakahini?". "Cayhe hanya tahu sedikit, cuma belum kubuktikan."   Si gadis tertawa cekikik, katanya.   "Syukurlah kalau Kongcu sudah tahu, kenapa harus tanya lagi, silakan sarapan, hamba mohon diri saja."   Bergegas dia lantas mengundurkan diri.. Tiba di dekat dinding, dengan seenaknya jarinya yang runcing halus mendorong, pintu batu lantas terbuka dengan mudah, mendadak dia berpaling, katanya dengan senyum lebar.   "Mohon maaf Kong-cu, sebelum mendapat izin, soal apapun hamba tidak berani bicara"   Begitu pintu berbalik lagi dengan cepat, dinding sudah tertutup rapat pula.   Memangnya Kun-gi sudah merasa lapar, tapi berada disarang musuh, setiap saat menghadapi ba-haya, sebelum jelas duduk persoalannya dan tahu siapa si jubah hijau yang serba misterius ini, betapapundiatidak berani mengusikhidangan itu.   Tidak lama setelah gadis baju hijau berlalu, waktu daun pintu terbuka lagi, tampak si jubah hijau melangkah masuk, tangannya membawa sebuah botol kecil warna hitam dan ditaruh di atas meja, ia melirik hidangan yang belum terusik, seketika dia mengunjuk rasa heran, katanya.   "Mengingat Ling-kongcu baru saja mengalami pertempuran sengit selama setengah malaman, tentu perut sudah kosong dan badan letih, maka kusuruh Siau-tho menyiapkan hidangan ini, memangnya kenapa? Kongcu kuatir Losiu menaruh racun dalam hidangan ini?"   Tanpa terasa dia ter-bahak2 sambil mengelus jenggot, katanya pula.   "Yakinlah bahwa dalam hidangan ini tiada ditaruh racun, Kongcu boleh silakan makan, tak perlu kuatir"   Kun-gi menyengir, katanya.   "Umpama betul di dalam hidangan ini ditaruh racun, Cayhe juga tidak perlu gentar."   Kemudian berkata pula si jubah hijau.   "Jadi kenapa Kongcu tidak memakannya?" "Cayhe baru saja bertemu dengan Lotiang di lorong gelap tadi, sebelum saling kenal, musuh atau kawan juga belum menentu, maka taksukaaku sembaranganbertindak."   Mendadak si Jubah hijau tertawa sambil mendongak, katanya.   "Memang tepat alasan Kongcu.   Baiklah, Losiu Yong King-tiong, seharusnya aku adalah kawan dan bukan lawan Kongcu, sudah cukup bukan keteranganku?" "Sekarang boleh Yong-lotiang beritahu padaku, apa maksud tujuanmu membawaku kemari?"   Yong King-tiong menggeleng2 kepala, katanya.   "Belum saatnya, silakan Kongcu makan minum dulu, Losiu akan tuturkan secara pelahan." "Kenapa Lotiang memaksaku makan dulu baru sudi memberi penjelasan?" "Kongcu, masih ada sebuah tugas yang teramat berat harus kau laksanakan dengan sukses, tanpa mengisi perut untuk menunjang kekuatan dan semangatmu, bagaimana kekuatan pisikmu bisa bertahan?"   Heran Kun-gi, tanyanya.   "Tugas berat apa yang harus kulaksanakan?" "Ya, ya, tugas ini amat penting dan besar artnya. lekaslah Kongcu makan dulu."   Walau merasa heran dan curiga, tapi orang baru mau menjelaskan setelah dirinya mengisi perut biarpun didesak lagi juga percuma, apalagi perutnya memang sudah keroncongan, maka dia berdiri dan berkata.   "Baiklah, Cayhe mengganggu sebentar."   Dia menghampiri dipan dan mulai makan minum dengan lahapnya.   Yong King-tiong diam saja, dia duduk disebuah kursi di depan dipan.   Memang perut sudah lapar, maka dengan cepat hidangan yang ada telah dilalap habis oleh Kun-gi, cuma sepoci arak yang disediakan itu hanya dia minum dua cangkir kecil.   Sehabis Kun-gi makan, Yong King-tiong tersenyum puas, dia bertepuk tiga kali.   Gadis baju hijau tadi segera mendorong pintu dan masuk, setelah memberesi semua mangkok piring segera mengundurkari diri ke samping.   Yong King-tiong berkata.   "Lohu hendak merundingkan persoalan penting dengan Kongcu, boleh kau berjaga di luar kamar, tanpa izinku siapapun dilarang masuk kemari."   Gadis baju hijau mengiakan terus keluar, pintu batupun menutup pula. Yong King-tiong mengambil dua cangkir arak dan ditaruh di meja pendekdi atasdipan, katanya."Kongcu silakanduduk ke dalam."   Tahu orang akan mulai membicarakan soal penting, segera Kun- gi mundur ke belakang, Yong King tiongpun duduk bersila di atas dipan saling berhadapan. Kata Yong King-tiong kemudian.   "Mutiara di pinggang Kongcu ini, bolehkah Lohu melihatnya?" "Sudan tentu boleh,"   Sahut Kun gi. Lalu dia copot ikatannya dan diserahkan. Bolak-balik Yong King-tiong mengamati mutiara itu dengan seksama, mendadak matanya ber-kaca2 mengembeng air mata, tanyanya kemudian dengan suara gemetar.   "Inilah CinCu-ling tulen dari Hek-liong-hwe, entah darimana Ling-kongcu memperoleh mutiara ini?"   Semakin besar rasa curiga Kun-gi, katanya.   "Mutiara ini adalah warisan keluarga, jadi jelas bukan milik Hek-liong-hwe."   Mencorong sorot mata Yong King-tiong, tanyanya.   "Kongcu tahu akan nama mutiara ini?" "Le liong-pi-tok-cu." "Pi-tok-cu, sesuai namanya, mutiara ini dapat menawarkan segala macam racun?" "Betul"   Mendadak Yong King-tiong berdiri, dari meja tengah dia jemput botol hitam kecil yang dibawanya tadi, serta mengambil mangkuk kosong, katanya.   "Entah mutiara Kongcu ini dapatkah menawarkan racun di dalam botol ini?"   Lalu dia buka tutup botol dan menuang cairan hitam kelam ke dalam mangkukkosong tadi. Sorot mata Kun-gi tertuju ke dalam mangkuk, mulutnya mendesis.   "Getah beracun."   Tanpa minta persetujuan Kun-gi, langsung Yong King-tiong angkat Le liong-pi-tok-cu terus dicemplungkan ke dalam getah beracun di dalam mangkuk.   "Cess", suara mendesis keras dan kepulan asap tebal seketika bergolak dari dalam mangkuk, begitu asap lenyap getah beracun yang semula kental gelap di dalam mangkuk itu kini berubah menjadiair bening. Dengan gemetar Yong King-tiong angkat mangkuk berisi air jernih itu dengan kedua tangannya, sekian lamanya ia kesima mengawasi air jernih itu, mimik mukanya tampak haru dan pilu, air mata pelan2 meleleh membasahi pipi, mulutnya bergumam. "Memang inilah Leliong-cu tulen, memang inilah CinCu-ling ....' Tiba2 ia letakkan mangkuk, lalu angkat Leliong-cu terus berlutut menyembah beberapa kali, serunya sambil menengadah.   "Semoga arwah Hwecu di alam baka maklum, bahwa hamba rela hidup tertekan dan dihina selama 20 tahun ini, syukurlah kini tiba saatnya untuk membuat perhitungan."    Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Golok Sakti Karya Chin Yung

Cari Blog Ini