Pendekar Misterius 5
Pendekar Misterius Karya Gan Kl Bagian 5
Pendekar Misterius Karya dari Gan Kl Tak terduga, A Siu tetap berdiri dengan kedua tangan lurus kebawah, hanya sepasang matanya menatap tajam keujung kebutnya. Melihat kesempatan itu, segera Cu Hong-tin dorong kebutnya kedepan. Tapi baru saja bergerak, tahu2 A Siu telah menggeser pergi hingga ujung kebutnya menyambar lewat disampingnya, ujung baju saja tidak menyentuhnya. Diam2 Cu Hong-tin memuji akan kecepatan orang, sekali kebutnya ditarik, sekali kebas dengan tipu "pek-hun-bian-bian" Atau awan bergumpal me-layang2 segera ia menyabet dari samping. Tapi kecepatan bergerak A Siu juga cepat dan gesit luar biasa, ditambah bajunya yang berwarna putih dan berkaki telanjang hingga langkahnya tidak bersuara, maka cara bagaimana bergeraknya susah terlihat jelas, hanya tampak bayangan putih berkelebat, tahu2 orangnya melesat minggir kesamping dengan indahnya. Diam2 Cu Hong-tin menjadi gugup melihat dua kali serangannya mengenai tempat kosong. Bila ia lihat gerak tubuh orang, nyata semacam ginkang yang maha hebat dengan kecepatan yang susah dibayangkan. Kalau melihat ujung kakinya sedikit melejit, lalu orangnya sedikit mumbul, lantas mengikuti tenaga kebasan kebutnya melompat kedepan, nyata sekali adalah ilmu "leng-kong-poh-hi" Atau melangkah kosong diatas udara yang biasanya hanya bisa dilatih oleh orang yang berilmu Iwekang tinggi, padahal gadis ini masih sangat muda, darimanakah bisa melatih ilmu entengi tubuh yang sehebat itu? Dalam sengitnya segera Cu Hong-tin menyerang tanpa berhenti dengan ke 36 jurus ilmu kebutnya. Tapi meski sekejap serangan berantai itu selesai dilontarkan, ujung baju gadis itu masih belum dapat disentuhnya. Malahan orang hanya berkelit kian-kemari tanpa membalas. Sungguh tidak kepalang terkejutnya Cu Hong-tin, sama sekali tak bisa dipahaminya, mengapa seorang gadis jelita suku Biau dapat memiliki kepandaian setinggi ini. la benar2 penasaran, sekali kebutnya diayun, kembali ia mengebas, sekali ini dengan jurus siau yau-bu-kek atau gembira ria tak terbatas, ia salurkan seluruh tenaga dalamnya kesenjatanya hingga membawa samberan angin keras. Tapi masih A Siu tidak balas menyerang, malahan dengan baik2 ia mengatakan . "Aku telah mengalah tiga puluh enam jurus seranganmu, dengan ilmuku ham-hong-gi-heng (bergerak terbawa angin), masakan kau mampu apakan aku ? Jika kau masih tidak kenal gelagat, rasanya kau sendirilah yang mencari susah! Lekas turun panggung sajalah!" Mendengar ilmu kepandaian orang, terkejut Cu Hong-tin ber-tambah2, pantas ujung baju orang saja ia tak mampu menyentuhnya. Ia menaksir dirinya tak akan sanggup melawan ilmu ginkang yang hebat itu, cuma tujuannya kemari telah banyak mengalami aral lintang dan berhasil merebut bunga seruni besi, sangkanya daerah Biau tak terdapat orang pandai, bila dirinya dapat memperoleh kedudukan Sengco dan memerintah tujuh puluh dua gua rakyat Biau kangzusi.com , pula bila bisa mendapatkan harta pusaka serta kitab silat rahasia yang tersiar dlkalangan Bulim itu, kelak ia bisa mendirikan cabang aliran tersendiri dan akan berdiri sama derajat dengan Jing-sia pay, Khong-tong-pay, Bu-tong-pay dan Go-bi-pay yang besar2 itu. Siapa duga, baru saja mengalahkan Bok Siang-hiong, tahu2 datang seorang gadis jelita yang membuatnya tak berdaya. Sudah tentu ia tak rela menyerah begitu saja. Tanpa bicara lagi, ia himpun tenaga, dengan tipu "Thian-hoa-kap-teng" Atau bunga langit menghambur kepala, secepat kilat ia sabet kepala A Siu. Namun samberan angin senjatanya itu lebih dulu membuat A Siu terbawa pergi beberapa kaki hingga sabetannya mengenai tempat kosong. Tahu2 gadis itu telah melompat maju, dengan tangannya yang putih bersih bergelang keleningan, segera kebutnya Cu Hong-tin kena ditangkapnya. Maka seketika kedua orang saling tarik menarik mengadu tenaga dalam, banyak orang yang kuatirkan A Siu yang bertubuh lemah itu takkan tahan, maka orang2 Biau sama bersorak membantu suara. Sebaliknya bagi penglihatan Ti Put- cian, ia sudah menduga Siau-yau ih-su pasti akan kalah. Kalau ia tahu diri mau turun panggung masih mendingan, tapi kalau mengadu tenaga dalam demikian, walaupun A Siu tidak ada niat arah jiwanya, sedikitnya akan terluka parah. Tadinya ia memperhitungkan tiada orang lain lagi yang bisa menandingi Cu Hong-tin, sebaliknya ia sendiri menaksir dengan mudah sanggup mengalahkannya. Siapa tahu ilmu silat A Siu bisa begini lihay, tampaknya tidak mudah jika bertanding dengan dia. Sementara itu diatas panggung Cu Hong-tin masih berkutetan dengan A Siu, meski ber-ulang2 ia kerahkan tenaga dalamnya, tapi selalu tak berhasil menarik kembali kebutnya. "Maafkan !" Tiba2 A Siu tersenyum, segera Cu Hong-tin merasa suatu tenaga yang kuat sekali menumbuk kembali dari kebutnya hingga dadanya serasa sesak. Hampir2 darah menyembur keluar dari tenggorokannya. Terpaksa ia lepaskan kebutnya dan melompat kebelakang turun dari panggung, menyusul pandangan menjadi silau, kebutnya sudah dilemparkan A Siu kearahnya. Masih tak berani ia menyambutnya, melainkan melompat kesamping, tak terduga sekali ini A Siu memang benar2 hendak mengembalikan senjatanya itu, maka tidak menggunakan tenaga, dengan enteng kebut itu jatuh ditanah, cepat Cu Hong-tin menjemputnya. Sejak Cu Hong-tin malang melintang dikang ouw, belum pernah ia dikalahkan seperti sekarang ini, keruan ia gemas bukan kepalang kepada A Siu, tanpa menoleh lagi ia berlari pergi. Sesudah kalahkan Siau-yau-ih-su Cu Hong-tin, lalu dengan senyum simpul A Siu berkata kepada para hadirin . "Masih ada orang gagah manakah yang sudi naik kemari memberi pelajaran ?" Ia ulangi beberapa kali tantangannya itu, tapi tiada seorangpun yang tampak berani maju. Ti Put-cian pikir telah tiba saatnya, ia memberi pesan pada Jun-yan tentang bantuan orang aneh itu, lalu berdiri dan berseru . "Aku yang rendah mohon petunjuk pada nona !" Lalu dengan jalan berlenggang ia mendekati panggung batu, sekali enjot, dengan enteng ia sudah melompat keatas. "Kau ?" Dengan wajah merah A Siu menegasi, ia tidak percaya kalau pemuda itu juga hendak bertarung padanya. "Benar aku, petunjuk apakah yang hendak nona berikan ?" Sahut Ti Put-cian dengan lagak tengik. A Siu tudingi jari satu2nya Ti Put-cian, lalu tunjuk pergelangan tangannya sendiri dengan wajah merah jengah. Ti Put-cian menjadi ingat godaannya tempo hari digardu tepi jalan itu, nyata si gadis ini telah jatuh hati padanya. Jika seorang gadis Biau sudah jatuh cinta pada seseorang, ia rela berkorban untuk segalanya, apalagi hanya kedudukan Seng- co. Memang dugaan Ti Put-cian tidak salah, diam2 A Siu memang sudah jatuh cinta padanya. Kiranya pergaulan laki perempuan diantara suku Biau meski bebas, tapi se-kali2 tak boleh kedua badan saling sentuh, kecuali kalau sudah suka sama suka untuk mengikat menjadi suami isteri. Ketika Ti Put- cian gunakan jarinya menggantol lengan A Siu digardu itu, kalau bukan ketampanan Ti Put-cian telah menggiurkan hati A Siu, tentu gadis itu sudah menghajarnya. Kini sesudah berhadapan, A Siu menjadi ragu2, ber-kali2 Ti Put-cian mempersilahkannya bergebrak, ia hanya memandangi pujaan hatinya dengan mata mendelong. "Long-kun ( panggilan pada kekasih ), mana bisa aku menangkan kau, silahkan kau turun tangan saja !" Dasar orang Biau memang sangat jujur, karena menyangka Ti Put-cian sudah penuju padanya, maka tanpa tedeng aling2 lagi A Siu terus menyebut "long-kun" Padanya. Tentu saja diam2 Ti Put-cian bergirang, terus ia menutuk ke "Ki-bun-hiat" Didada orang. Sama sekali A Siu tidak menghindarinya, maka tutukan itu tepat kena tempatnya, sekali tubuhnya mendoyong kebelakang terus terperosot kebawah panggung. Ketika hampir merosot kebawah, tiba2 telinga Ti put-cian mendengar gema suara yang lirih jelas. "Sampai ketemu besok malam dibawah bulan purnama, longkui." Tampak bibir A Siu bergetar dan mengulum senyum, habis itu ia berjalan mendekati Tiat-hoa-popo. Lalu terdengar Tiat-hoa-popo sedang berkata dalam bahasa Biau dengan suara keras seperti orang marah, begitu pula orang2 Biau lainnya sama berteriak merasa penasaran. Namun A Siu tidak ambil pusing, ia tinggal memandang kearah Ti Put- cian diatas panggung itu dengan kesemsem. Ketika keduanya diatas panggung, hakekatnya tidak sampai bergebrak, sebaliknya pasang omong dengan mesra, lalu sekali Ti Put-cian geraki tangannya, lantas A Siu turun panggung, terang se-akan2 keduanya sudah berunding secara baik2. Tentu saja hal ini membikin Jun-yan naik darah, tanpa pikir lagi ia terus melompat keatas panggung. Waktu itu Ti Put-ciang lagi senang2 karena merasa tiada orang lagi yang berani menantang dirinya. Ketika tiba2 melihat Jun-yan melompat keatas, ia menjadi kaget, tegurnya . "Hai, Jun-yan, ada apa kau naik kemari ?" "Ti Put-cian, manusia rendah, kasak-kusuk apa yang kau lakukan dengan budak hina itu?" Damprat Jun-yan. "He, nona Lou, kenapa kau menjadi marah2 begini ?" Jengek Ti Put-cian. Makin dipikir, makin gusar Jun-yan, tiba2 ia angkat tangannya terus menempiling kemuka orang. Namun Ti Put- cian telah memapaki sekali menjentik dengan jari tunggalnya itu hingga setengah tubuh si gadis merasa kaku kesemutan. Keruan Jun-yan semakin murka, teriaknya gusar . "Bagus kau, Ti Put-cian !" Sebenarnya kalau turuti tabiat Kanglam-it-ci-seng Ti Put- cian, perbuatannya akan jauh lebih keji dan ganas. Sepanjang jalan ia begitu baik pada Lou Jun-yan, tujuannya tiada lain hanya bermaksud memperalat si gadis untuk merebut kedudukan Seng-co saja. Kini kedudukan itu sudah terang dalam genggamannya, apa gunanya lagi seorang macam Lou Jun-yan. Segera dengan tertawa dingin iapun menjawab . "Baiklah, jika sudah berani naik kepanggung, silahkan nona menyerang !" Habis berkata, selongsong emas dijarinya itu tiba2 mengkilat, tahu2 menjulur panjang terus menutuk ke tubuh si gadis, tanpa kenal ampun ia telah keluarkan kemahiran menutuk yang lihay itu. Cepat Jun-yan melompat mundur buat berkelit sambil mendamprat, tapi secepat kilat tutukan kedua Ti Put-cian sudah dilontarkan lagi. Tampaknya sekali ini tenggorokan Jun- yan pasti akan terkena. Tiba2 terdengar suara "creng" Yang nyaring, entah dari mana datangnya sebutir batu, selongsong emas jarinya Ti Put-cian itu telah terbentur hingga lengannya tergetar kaku, seketika semper. Kesempatan itu digunakan Jun-yan dengan baik. "plak", kontan ia persen sekali tampar dimuka orang hingga merah bengkak. Diam2 Ti Put-cian mengeluh, tentu batu tadi disambitkan si orang aneh itu, dalam seribu kerepotannya ia coba melirik kearah si orang aneh, tapi orang tertampak duduk anteng saja ditempatnya. Sesudah memukul orang, Jun-yan menjadi menyesal malah, katanya. "Sudahlah, asal kau dapat memahami maksudku, marilah kita tinggalkan tempat ini!" Sambil berkata, tanpa berjaga-jaga ia terus mendekati orang. Namun kekejaman Ti Put-cian sudah tidak kenal maksud baik Jun-yan, ia tunggu si gadis sudah mendekat, mendadak tangan kiri menggaplok dari samping, sedang jari tunggal tangan kanan terus menutuk ketengah jidat Jun-yan. Serangan mendadak ini membikin Jun-yan tak berdaya sama sekali, dengan penasaran ia hanya bisa tunggu ajal saja sambil pejamkan mata. Tapi mendadak terdengar Ti Put-cian berseru tertahan, ketika ia membuka mata, ia lihat orang berdiri kaku sambil tangan kiri lagi meraba pinggang, menyusul mana orangnya malah terus mendeprok jatuh diatas panggung. Tanpa ayal lagi Jun-yan ayun kakinya menendang hingga tubuh Ti Put-cian tertendang kebawah panggung. Sebenarnya tadi Ti Put-cian lagi menutuk dengan tipu "it- liong-tam-cu" Atau sinaga mencakar mutiara, yaitu mengarah tengah2 batok kepala si gadis, tapi baru sampai tengah jalan tiba2 pinggangnya terasa pegal linu, ia insyaf terkena bokongan orang aneh itu lagi, lekas2 sebelah tangannya dipakai memijat tempat yang terasa pegal itu, tapi sudah terlambat, jalan darah itu telah tertutup dan badannya lemas terkulai hingga memberi kesempatan kepada Jun yan untuk menendangnya kebawah. Baru saja Jun-yan hendak menyusul kebawah panggung untuk memberi penjelasan, ia lihat A Siu sudah keburu mendekati Ti Put-cian dan membangunkannya. Malahan Ti Put-cian melotot dengan penuh kebencian kearahnya. Jun-yan menjadi kesima, pikirnya. "Ah, ia telah kena kutendang kebawah, terang takkan bisa menjadi kepala suku Biau, tentu ia akan membenci padaku, pelototan matanya tadi seakan mendekam kesumat tak terhingga padaku." Sedang perasaannya diliputi sesal tak terkatakan, mendadak suara tabur dipukul ramai pula, seluruh orang Biau yang hadir disitu telah berlutut menyembah kearahnya, Tiat- hoa-popo juga mendekati panggung batu itu serta berseru keras2 . "Dengan hormat mohon tanya nama suci Seng-co kesembilan siapa ?" Jun-yan menjadi bingung, tapi segera ia pun mengerti, kalau Ti Put-cian telah dapat dirobohkannya kebawah panggung dan tiada lagi yang berani naik menantang padanya, maka kedudukan Seng-co yang diperebutkan itu terang sudah jatuh atas dirinya. Saat itu, sebenarnya Jun-yan sama sekali tidak ketarik oleh kedudukan Seng-co dari tujuh puluh dua gua suku Biau yang sangat diharapkan oleh orang2 Bu-lim itu. Kalau tidak menyaksikan berapa mesranya waktu A Siu membangunkan Ti Put-cian, mungkin ia lebih suka menunggang bersama diatas satu keledai suseng berjari tunggal itu berkelana di kangouw. Tapi dasar wataknya memang sangat suka turuti pikiran hatinya yang timbul seketika, kini demi cemburu, segera ia menyahut,"Aku she Bo bernama Jun-yan!" Sementara itu Tiat-hoa-popo telah berlutut ditanah sambil berseru beberapa kali dalam bahasa Biau. Seketika orang2 Biau itu berjingkrak gembira ria dan bersorak gegap gempita. Kemudian Tiat-hoa-popo berkata lagi terhadap Jun-yan. "Ilmu silat nona Lou sudah lulus ujian, tetapi menurut peraturan, harus menghadapi tiga mahluk berbisa lagi, hendaklah bersiap menunjukan kesaktianmu untuk menaklukannya!" Diam2 Jun-yan memikir, kiranya masih begini banyak permainan dalam pemilihan Seng-co ini. Ia lihat orang2 Biau yang tadinya bersorak sorai itu kini telah diam mendadak, seorang wanita setengah umur tampak tampil kemuka dengan membawa keranjang rotan, dengan hati2 sekali keranjang itu dilemparkan keatas panggung, lalu orangnya berlari ketempat semula. "Silahkan nona Lou membunuh dulu katak berwajah manusia didalam keranjang ini!" Terdengar Tiat-hoa-popo melapor dibawah panggung dengan sangat menghormat. Jun-yan pikir tentu katak berwajah manusia itu adalah semacam binatang aneh yang jarang terlihat, apa yang harus ditakuti ? Tapi karena memang ia tidak bersenjata, maka katanya. "Aku tidak punya senjata, biarlah bertangan kosong saja !" Mendengar si gadis akan menghadapi katak dengan tangan kosong saja, tanpa merasa semua orang berseru kaget berbareng. Tapi Jun-yan masih belum insyaf akan gawatnya peristiwa nanti, tanpa ambil pusing ia mendekati keranjang rotan tadi terus ditendangnya hingga menggelundung pergi beberapa tindak jauhnya, se-konyong2 terdengar suara "kok" Sekali, dari dalam keranjang melompat keluar suatu mahluk aneh yang belum pernah dilihatnya. Mahluk itu tampaknya gepeng mendekam diatas panggung batu itu, warnanya serupa warna kulit manusia, besarnya pun serupa muka manusia, malahan seperti lengkap dengan mata, hidung dan mulut manusia, cuma jeleknya luar biasa macam siluman. Dalam terkejutnya hampir-hampir Jun-yan menjerit, maka cepat ia mundur selangkah. Siapa duga mahluk itupun terus mendesak maju. Sesudah itu barulah Jun-yan dapat melihat jelas, kiranya mahluk aneh itu adalah seekor katak dengan empat kakinya yang pendek, bentuk yang mirip wajah manusia itu hanya guratan2 diatas punggungnya saja. Dengan sendirinya Jun-yan tambah berani sesudah mengetahui mahluk itu hanya seekor katak, ia tidak tahu mahluk itu justru satu diantara tiga binatang berbisa yang paling ditakuti suku Biau. Katak berwajah manusia itu dapat menyemburkan hawa berbisa yang jahat, melulu menyenggol badannya saja tentu akan kena racunnya dan kulit daging orang bisa membusuk. Tempat dimana binatang itu hidup seluas beberapa tombak tiada hidup tetumbuhan apapun, maka dapat dibayangkan betapa jahat racunnya. Untuk menangkap binatang ini guna ujian bagi calon Seng-co, orang Biau entah berapa banyak harus dikorbankan. Namun Jun-yan masih belum kenal akan kelihayan katak berbisa ini, segera ia hendak memapak maju untuk membunuhnya, tapi tiba-tiba didengarnya suara menjengek Ti Put-cian dibawah panggung. Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ketika Jun-yan menoleh, ia lihat suseng berjari tunggal itu duduk berendeng dengan mesranya bersama A Siu, wajahnya mengunjuk ejekan. Seketika darah Jun-yan bergolak, cepat ia melengos tak sudi memandangnya. Tapi pada saat itulah, terdengar suara 'kok' sekali, katak itu telah menubruk kearahnya sambil meleletkan lidahnya seperti ular, malahan membawa semacam bau amis yang tak enak dicium. Tanpa pikir lagi Jun-yan ayun telapak tangannya terus menghantam. Mendadak katak berwajah manusia itu gembungkan perutnya dan melompat keatas, nyata itulah katak jenis kintak yang perutnya gembung bulat seperti bola, lalu dari atas udara terus menubruk kebawah dengan suara "kok-kok" Yang keras. Melihat binatang itu bisa menghindari serangannya, Jun- yan menjadi terkejut, sementara hidungnya mengendus bau amis yang memuakkan dan memusingkan kepala, hampir2 saja ia tak sanggup berdiri tegak, cepat ia melontarkan sekali lagi pukulan sekuatnya. Tapi ia merasa tenaganya sudah tidak sebesar tadi, tampaknya kintak itu masih terus menubruk kearahnya. Dan aneh bin ajaib, mendadak kintak itu bersuara "kok" Sekali lagi, cuma suara ini lain daripada tadi, badannya juga terus terbanting diatas panggung lalu empat kakinya mengenjol sekali terus tidak berkutik lagi, nyata sudah mati. Segera Jun-yan tahu, tentu seperti mengalahkan Ti Put- cian tadi, si orang aneh itulah yang telah membantunya pula. Tapi ketika ia melirik kesana, ia lihat orang aneh itu masih tetap duduk anteng saja, jaraknya dengan panggung batu kira2 3-4 tombak jauhnya, terang ia membantu dengan senjata rahasia, tapi anehnya tanpa suara tanpa wujut hingga tak diketahui orang lain. Maka dapatlah dibayangkan betapa hebat ilmu kepandaiannya. Sementara itu demi nampak Jun-yan berhasil membunuh katak berwajah manusia itu, seluruh orang Biau yang hadir disitu terus bersorak-sorai gembira. Segera Tiat-hoa-popo pun melompat keatas panggung batu lagi sembari tangannya sudah memegangi sebilah golok. "Ternyata ilmu sakti nona memang tiada bandingannya, asal bisa membunuh lagi dua mahluk berbisa lain, selamanya akan dijunjung sebagai Seng-co oleh suku kami dari tujuh puluh dua gua." Demikian kata nenek tua itu. "Sekarang silahkan nona minum dulu pil mujijat dari katak ini." Habis berkata, cepat goloknya bekerja, sekali potong dan sekali iris, tahu2 batang golok telah bertambah dengan sepotong benda yang besarnya seperti telor ayam. Kiranya itulah empedu binatang aneh itu. Meski bau katak itu amis memuakkan, tapi benda isi perutnya itu berbau wangi. Namun begitu, Jun-yan merasa ngeri akan isi perut kintal itu, katanya. "Aku tak mau makan barang mengerikan ini!" Baru saja selesai ia ucapkan, tiba2 dibawah panggung Ti Put-cian terus menyanggupi. "Dia tidak mau, berikanlah padaku !" Dalam pada itu, Bok Siang-hiong yang dikalahkan Cu Hong- tin itu, masih berada disitu, segera iapun berseru . "Nona Lou, Iwetan (pil dalam) mahluk berbisa itu mujijatnya dapat menandingi tenaga latihan selama beberapa tahun, adalah semacam benda yang sangat diinginkan oleh orang-orang yang belajar silat seperti kita. Hendaklah kau lekas menelannya, supaya tidak jatuh ditangan orang jahat!" Rupanya Bok Siang-hiong dapat juga menduga sisuseng itu tentu "Kanglam-it-ci-seng" Yang namanya sangat disegani kalangan Bu-lim, kalau sampai empedu katak itu dapat dimakannya, bukankah mirip harimau tumbuh sayap dan membawa malapetaka lebih hebat bagi dunia persilatan ? Ti Put-cian tertawa dingin, sahutnya . "Tadi dia sudah bilang tidak mau. Masakan seorang Seng-co bisa jilat kembali ludah sendiri ?" Ia menduga Tiat-hoa-popo tentu tidak menyerahkan lagi benda itu kepada Jun-yan. Tak ia duga, tiba-tiba Tiat-hoa-popo berkata dengan dingin . "Segala apa terserah keputusan Seng-co sendiri, orang dibawah panggung tak perlu banyak mulut!" Keruan Ti Put-cian malu dan gusar. Namun ia tak berani pakai kekerasan, terutama melihat si orang aneh itu masih berada disitu. Sementara itu Jun-yan mencium bau Lwe tan itu semakin harum semerbak, per-lahan2 ia jemput benda itu dari angsuran Tiat-hoa-popo, ia masih tak berani menelannya terang2an, tapi dengan pejamkan mata terus dijatuhkan ke- tenggorokan. Dan baru saja benda itu masuk ke mulut. "pluk", tahu2 pecah hingga rasanya segar wangi sangat nyaman mengalir kedalam perut. Lalu Tiat-hoa-popo masukan bangkai katak busuk itu kedalam keranjang tadi dan didepaknya kepinggir. Menyusul mana, tampak seorang wanita setengah umur yang lain telah membawakan sebuah peti keatas panggung, dari dalam peti itu mengeluarkan suara keresekan seperti ada semacam mahluk yang lagi me-rangkak2 didalamnya. Karena sudah tahu pasti si orang aneh selalu siap menolongnya dari samping, nyali Jun-yan menjadi besar. Tanpa bicara lagi, dengan kakinya ia depak tutup peti itu hingga menjeplak terbuka. "Awas, nona ! Binatang ini bernama "Kim jiau-ih-coa" !" Kata Tiat-hoa-popo. Segera dari dalam peti itu tampak merayap keluar seekor ular terus meloncat keatas. Hebatnya, ular ini se-akan2 bisa berjumpalitan dan melingkar2 diatas udara, lalu jatuh keatas panggung batu sambil merayap maju. Dimana tempat yang dilewati, tertinggal bekas se-akan2 dikerok. Jun-yan melihat ular itu tiada ubahnya dengan ular umumnya, bedanya cuma badannya gepeng dan lebar hingga sekilas pandang se-akan2 berkepet, sedang di bawah lehernya tumbuh dua cakar yang berwarna kuning gelap, bekas seperti dikerok diatas batu tentu disebabkan kedua cakarnya itu. Dengan lagaknya yang lincah, segera Jun-yan membentak . "Binatang, lekas serahkan nyawamu, apa perlu nonamu turun tangan ?" Sembari berkata, ia tertawa ngikik sambil melontarkan hantaman. Menurut cerita suku Biau, Kim-jiau-ih-coa atau ular cakar emas bersayap, kedua cakarnya kuat dan keras bagai baja, batu atau kayu kalau kena dicakarnya segera pecah belah, dan pula bisa meloncat seperti terbang, ditambah lagi berbisa jahat sekali, dibanding katak berwajah manusia itu jauh lebih lihay. Maka ketika pukulan Jun-yan dilontarkan, mendadak ular itu meloncat keatas, dengan lidahnya yang merah menakutkan, kedua cakarnya ber-gerak2 terus menubruk kearah si gadis. Sama sekali Jun-yan tidak menduga bahwa ular itu bisa sedemikian hebat, dalam terkejutnya ia menjerit kaget terus melompat kebelakang namun begitu, lengan bajunya telah tercakar sobek sebagian oleh cakar ular itu. Menyusul mana binatang itu terus menubruk lagi, cepat Jun-yan memukul pula, dengan angin pukulannya ia coba menahan tubrukan ular itu. Tapi ternyata ular itu gesit luar biasa, begitu tergetar mundur, kembali meloncat menubruk pula. Berulang kali Jun-yan sengaja menjerit untuk memancing bantuan si orang aneh, siapa duga orang itu tinggal diam saja belum mau turun tangan. Sampai akhirnya, ia benar2 kewalahan kalau bertahan terus diatas panggung batu itu, tanpa pikir lagi ia melompat turun dari panggung batu itu dengan dugaan ular itu takkan menyusulnya. Siapa tahu binatang itu benar2 seperti bayangan yang selalu melekat ditubuhnya saja, baru saja Jun-yan berdiri ditanah, tahu2 dari belakang angin sudah menyambar, lekas- lekas ia berjongkok terus menjatuhkan diri kesamping, maka terdengarlah suara berebet, lagi-lagi bajunya sobek tercakar ular itu. Karena sudah kepepet, sekenanya Jun-yan merampas sebatang tombak dari tangan seorang Biau didekatnya terus ditusukan kearah ular yang sementara itu telah menubruknya lagi. Anehnya, sudah jelas terdengar suara "crat-crat" Beberapa kali, terang tombaknya mengenai sasarannya, tapi sedikitpun ternyata ular itu tak terluka, malahan ketika cakarnya mencengkram, tahu2 terdengar "krak" Sekali, tombaknya itu malah sudah patah. Dalam keadaan terdesak, terpaksa setindak Jun-yan mundur mendekati tempat orang aneh itu. Ditelinganya terdengar suara ejekan Ti Put-cian yang rupanya merasa bersukur akan keadaan Jun-yan itu. Gemas dan gusar hati si gadis, tapi memang ia lagi kewalahan, keringatnya ber-butir2 menetes dari jidatnya, sedikit lengah, beberapa kali hampir tercakar oleh ular2 itu. Sukurlah akhirnya dapatlah ia mendekati tempat duduk si orang aneh. "Lekas turun tangan, bila lambat, aku bakal tercakar mati olehnya!" Serunya gugup pada orang aneh itu. Baru saja selesai ucapannya, terlihat tangan orang aneh itu sedikit bergerak, sebutir batu mendadak menyambar kepada ular. Warna ular itu seluruhnya hitam ber-bintik2 kuning, hanya sedikit dibawah lahernya ada satu lingkaran kecil berwarna putih. Ketika batu sambitan itu dilontarkan, tepat sekali mengenai lingkaran putih itu. Waktu itu ular lagi menubruk pula dengan cepat kearah Jun-yan, tetapi ketika kena sambitan batu, kontan terjungkel dari atas udara dan menggeletak diatas tanah tanpa berkutik lagi. Maka tahulah sekarang Jun-yan, sebab orang aneh itu tidak lantas menolongnya tadi, oleh karena seluruh tubuh ular itu keras bagai baja, hanya lingkaran putih kecil dibawah leher itulah yang merupakan titik kelemahannya. Segera ia melangkah maju, badan ular itu ia injak kuat2, ia angkat tombaknya dan mengincer tepat titik putih binatang itu dan terus menusuk, benar juga, sekali tusuk lantas masuk, maka melayanglah jiwa ular itu. Kalau sehabis membunuh ular, Jun-yan senang sekali, adalah dipihak lain Ti Put-cian yang mendongkol tidak kepalang. Sudah dua kali ia berharap gadis itu mampus dibawah binatang2 berbisa itu, siapa tahu si orang aneh itu selalu menolongnya dari samping. Orang ini begitu hebat ilmu silatnya, meski kedua matanya katanya buta, tetapi sekali timpuk tepat kelemahan ular yang diarah, se-akan2 terhadap seluk-beluk ular berbisa ini sudah jelas diketahuinya. Melihat Jun-yan sudah lulus ujian kedua, tiba2 Tiat-hoa- popo menuding kedinding tebing didepan sana. Ketika Jun-yan memandang kearah yang ditunjuk, ia lihat di bawah tebing yang curam itu dikelilingi dengan sebaris orang Biau yang tegap kekar, hanya tempat yang ditunjuk Tiat-hoa-popo itu sekira dua tombak luasnya tiada di-aling2i orang, kalau dinding disitu licin gelap tanpa tetumbuhan, sebaliknya di tempat itu ternyata tumbuh semacam akar rotan yang hitam halus, malahan berbunga kecil berwarna ungu. "Apakah itu maksudmu ?" Tanya Jun-yan heran. "Singkirkan akar rotan hitam itu, lantas tertampak sebuah gua", kata Tiat-hoa-popo dengan wajah keren. "Gua itu menembus keluar gunung. Apabila nona dapat melalui jalan situ, lalu masuk lagi dari pintu2 besi dilembah sana, lantas kau akan disembah sebagai Seng-co dari pada 72 gua suku kami !" Diam2 Jun-yan terkejut, pikirnya, gua sekecil ini, andaikan si orang aneh itu selalu ingin menolong aku, masakan sekarang juga bisa ikut masuk kesitu ? Maka tanyanya pula . "Mahluk apa lagi yang terdapat didalam gua itu ?". "Tiada lain, kecuali semacam Kim-ci-cu (laba-laba mata uang emas)", sahut si nenek. Hati Jun-yan menjadi lega. "O, kiranya hanya laba-laba berbisa!" Ujarnya. Nyata ia tidak tahu bahwa racun laba-laba itu jahat luar biasa, jangankan bisa yang disemburkan labah-labah itu, sekalipun menyentuh jaringnya yang halus saja, orang seketika bisa pingsan, dan kalau tidak dapat pertolongan obat mujarab yang jitu, dalam waktu singkat saja jiwa bisa melayang. Lebih dari itu, malahan orang yang mati terkena racun labah-labah itu, akan hancur menjadi darah dan darahnya berubah menjadi gas racun, jahatnya racun serupa lihaynya. Tempat labah-labah itu sembunyi adalah di atas selapis saput berbisa yang kempel dari gas racun. Saput berbisa ini sama jahatnya dengan labah-labah tersebut. Hal ini sama sekali tidak diketahui Jun-yan yang hidup di Jing-sia-san yang indah permai pemandangannya, la sangka kalau melulu labah- labah seperti itu saja dengan membawa obor tentu akan dapat membakarnya habis. Tentang adanya saput berbisa didalam gua itu, ternyata tidak dijelaskan oleh Tiat-hoa-po po. Kiranya nenek ini sesalkan A Siu telah mengalah pada Ti Put-cian, padahal gadis itu adalah calon satu2nya yang dia ajukan. Ia sendiri adalah tong-cu atau kepala gua pertama daripada tujuh puluh dua gua suku Biau. Sejak Seng-co kedelapan menghilang, tujuh puluh dua suku Biau itu lantas dibawah pimpinannya. Ia tidak menjelaskan tentang berbahayanya di dalam gua labah2 itu, karena ia masih punya harapan Jun-yan akan mati terkena racun, dengan begitu, menurut aturan bisa diulangi pemilihan Seng-co lagi, dan A Siu boleh jadi masih bisa terpilih. Begitulah, tanpa pikir, Jun-yan terus minta empat obor, dua dibuat cadangan dan dikempitnya, sedang dua lainnya ia sulut untuk penerangan terus menuju kemulut gua yang ditunjuk itu. Ketika akan melangkah masuk, tiba-tiba ia ingat akan diri si orang aneh itu, entah ikut dibelakangnya tidak. Cepat ia menoleh, dan sesaat itu, ternyata orang aneh itu sudah tidak ada di tempatnya tadi. Jun-yan melengak, ia pikir mungkin orang aneh itu tahu kalau gua itu mudah dilalui, maka sudah tinggalkan pergi dahulu. Tiba2 ia lihat Ti Put-cian melambai- lambaikan tangan kepadanya, ia tercengang tapi segera merasa girang dan membalas melambai tangan, lalu melangkah masuk kedalam gua. Gua itu ternyata sempit lagi pendek, kadang-kadang harus sedikit mendak untuk tidak menyundul atap gua. Dibawah penuh lumut yang licin, suasana dalam gua dingin seram. Sesudah duapuluh tombak jauhnya, gua itu mulai melebar, tapi sudah lama masih belum sampai keujung gua, malahan makin dalam makin gelap dan makin seram. Dengan tabahkan diri, Jun-yan angkat obornya tinggi2 dan terus maju kedepan, makin jauh gua itu makin luas, Se- konyong2 terasa olehnya dari belakang angin berkesiur, satu bayangan orang melesat lewat disampingnya, siapa lagi kalau bukan simanusia aneh itu? "He, kau ikut kemari?" Tegur Jun-yan bergirang. Tapi tenggorokan orang aneh itu berkeruyukan seperti suara ayam jago yang belum dikoroki, tak bisa bicara. Sudah banyak Jun-yan mendapat kebaikan darinya, ia lihat wajah orang itu penuh bekas luka yang benjal benjol, ditambah lagi buta dan bisu, entah betapa menderitanya dimasa dahulunya, maka hati Jun-yan sungguh sangat kasihan dan simpati padanya, tegurnya kemudian . "Apakah yang hendak kau katakan? Tidakkah kau dapat menulis untukku ?" Orang itu ter-mangu2 sejenak, mendadak ia pentang kedua tangannya ketika melihat Jun-yan hendak maju kedepan. Kemana Jun-yan hendak maju, selalu ia merintangi. Jun-yan menjadi heran. "Sudah banyak kau membantuku, kenapa sekarang kau malah merintangi?" Tanyanya. Sudah tentu orang itu tak bisa menjawab, hanya tenggorokannya tetap bersuara "krok-krok", tiba2 nadanya berubah sangat memilukan. Jun-yan mendongkol, katanya . "Asal aku bisa menembus gua ini, segera aku akan diangkat menjadi kepala suku Biau, kedudukan ini dapat kuberikan kepada It-ci Toako yang sangat menginginkannya, kau tidak mau membantu, kenapa malah merintangi ? Lekas minggir !" Dan sekali melesat, segera ia menerjang ke depan. Tapi kontan orang aneh itu memapak dengan sekali pukulan, dimana angin pukulannya menyambar, tahu2 sumbu api obor menjadi padam. Seketika keadaan menjadi gelap gulita, Jun- yan terkejut, ia menjadi curiga akan kelakuan si orang aneh ini, jangan2 hendak mencelakainya ? Cepat ia berkelit kesamping. Dan selagi hendak menyulut obor cadangannya yang dibawanya tadi, mendadak terasa bahunya kesemutan, tempat "thian-coan-hiat" Telah ditutuk orang hingga tubuhnya lumpuh, obornya juga jatuh. Lantas terasa tubuhnya kena dikempit orang serta menuju jalan masuk kegua tadi, tapi tidak jauh lantas membiluk beberapa kali, karena keadaan gelap gulita, ia tidak tahu orang membawanya kemana. Cuma tidak lama kemudian ia merasa tubuhnya diletakkan ditempat yang empuk bagai kasur. Ingin sekali Jun-yan mengetahui dirinya berada dimana, sekuatnya ia kerahkan tenaga dalam untuk melancarkan jalan darahnya yang tertutuk, tapi sayang, tetap tak berhasil, ia menjadi gugup, kenapa orang aneh itu tidak membuka jalan darahnya atau mungkin sudah meninggalkannya. Dengan tak sadar, entah lewat beberapa lama, jalan darahnya baru lancar kembali. Cepat Jun-yan melompat bangun, baiknya obor masih ada satu, segera ia nyalakan, tapi ia menjadi terkejut, kiranya dirinya berada didalam satu kamar batu, tempat dimana ia rebah tadi adalah sebuah balai2 batu dengan bantal kasur lengkap. Kecuali ada meja kursi dari batu, ada pula rak buku penuh kitab2, sebaliknya orang aneh itu telah menghilang entah kemana. Sungguh Jun-yan merasa heran kenapa di tempat demikian terdapat gua batu seindah ini. Ia merasa dirinya belum dibawa keluar gua oleh orang aneh itu, maka dapat diduga dirinya masih berada dalam perut gunung. Ia coba memeriksa kamar itu, ia lihat tempat dimana dirinya merebah tadi mendekuk kedalam, waktu ia merabanya, ternyata kasur itu sudah lapuk, mungkin saking tuanya. Pendekar Misterius Karya Gan Kl di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Begitu pula kitab2 di rak buku itu, sekali pegang lantas hancur. Tambah heran Jun-yan, diam2 ia memikirkan asal-usul orang aneh itu. Apakah mungkin tempat ini adalah tempat kediamannya dahulu? Sementara ini Jing-ling-cu dan para tokoh2 terkemuka lainnya sedang mempersiapkan pertemuan para jago silat seluruh jagat untuk mengusut asal-usul diri si orang aneh ini, kalau sekarang juga aku dapat menyelidikinya, kelak tentu akan bikin geger pertemuan besar itu. Tiba2 ia melihat dipojok kamar itu ada sebuah peti besi, ia mendekati dan memeriksanya, ia lihat peti itu digembok dan sudah berkarat. Ketika ia tarik sedikit, gembok itu lantas putus, ia membuka tutup peti dan melihat didalamnya terletak sebatang pedang panjang satu meter, sarung pedangnya kasap bagai terbuat dari sejenis kulit binatang. Dibawah pedang itu tertindih sepotong saputangan sutera merah, kecuali itu tiada benda lain lagi. Ia coba ambil pedang itu dan rasanya sangat enteng. Tiba2 hatinya tergerak, ia ingat kepandaian yang diperolehnya dari gurunya, Jiau Pek-king, kecuali Iwekang, ada lagi sejurus ilmu pukulan "Hui hun-cio-hoat", selain itu belum pernah diberinya pelajaran memakai senjata. Sebab katanya senjata biasa tiada gunanya dipelajari, senjata bagus susah didapatkan, hanya bisa diketemukan secara kebetulan, tapi dicari susah. Sebab itu bila kelak dirinya bisa memperoleh semacam senjata pusaka, barulah akan diberi pelajaran ilmu senjata. Lalu sang guru memuji Pek-lin-sin-to, cuma dikatakan bobotnya terlalu berat, karena gemblengannya kurang murni, senjata yang paling bagus harus tajam tapi enteng seperti kertas. Kini pedang yang dipegangi itu bukannya enteng bahkan hampir tak terasa, apa bukan senjata wasiat yang jarang terdapat ? Ia coba letakan obornya, lalu pedang itu ia lolos. Namun ia menjadi kecewa, karena pedang itu warnanya hijau tak bersinar, ketika disentil dengan jari juga tidak mengeluarkan suara nyaring, seperti bukan ditempa dari baja, nyata senjata itu tiada sesuatu yang luar biasa. Maka ia masukan kembali kesarungnya, lalu mengambil saputangan merah tadi. Ia lihat warna saputangan itu semarak menyenangkan, halus lunak, seperti bukan terbuat dari sutera biasa, diatas kain itu samar2 ada huruf tulisan lagi, cuma mungkin umurnya sudah terlalu tua, maka tidak jelas. Jun-yan tiada waktu untuk meneliti lebih jauh, sekenanya kain sutera itu ia masukan ke saku bajunya, lalu mem- bongkar2 peti itu, namun tiada penemuan lainnya. Karena kuatir kalau terlalu lama tinggal didalam gua, mungkin orang2 yang menunggu diluar menganggap dirinya tak mampu keluar lagi, bukankah urusan akan menjadi runyam ? Maka cepat ia keluar dari kamar batu itu, pedang hijau itu tidak diurusnya lagi. Agak lama ia berjalan kedepan, kemudian dapatlah dikenali sebagai tempat yang kemarin telah dilaluinya ketika mulai masuk gua, di-situ ada satu tikungan yang menyimpang, cuma kemarin tidak diperhatikannya. Sebab telah mendapatkan jalan semula, hatinya menjadi girang. Tidak jauh pula, tiba2 terdengar dijalan samping sana sayup2 berkumandang orang menangis yang tersedu-sedan, segera dapat dikenali itulah suara si orang aneh itu. Karena ingin cepat2 keluar gua, Jun-yan tidak urus lagi, malahan ia kuatir kalau orang aneh itu menyusulnya dan merintangi kepergiannya lagi, maka secara berindap-indap ia menuju kedepan. Tidak lama lagi, tibalah ia ditempat yang kena ditutuk si orang aneh itu kemarin, dua obor yang jatuh disitu masih ada. Dari situ maju lagi, setelah biluk satu tikungan, mendadak di depan ada cahaya api yang bergerak perlahan lahan, satu bayangan orang tertampak jelas di bawah sorotan sinar api itu yang segera dapat dikenalinya sebagai Ti Put-cian. "It-ci Toako!" Tanpa merasa Jun-yan berseru. Rupanya Ti Put-cian terkejut mendadak, ia terus menoleh sambil mengerutkan alis, sahutnya. "He, Jun-yan, kau masih disini?" Cepat Jun-yan mendekati dan balas menegur. "Kenapa kaupun berada disini ? Apakah kau kemari mencari aku ?" "Di mana manusia aneh itu?" Tanya Ti Put-cian menyimpang. "Entahlah, sudah menghilang." "Ya, ya, aku datang mencari kau", sahut Ti Put-cian kemudian. "Sehari semalam kau tak keluar dari sini, orang2 Biau itu menjadi gempar dan minta diadakan pemilihan ulangan tapi aku telah membantah keras, lalu aku menyatakan bersedia mencarimu kemari, Jun-yan ketahuilah, sebenarnya betapa rasa kuatirku atas keselamatanmu ?" Padahal Kanglam-it-ci-seng Ti Put-cian ini bukanlah manusia baik2, apa yang diucapkan itu berlawanan sama sekali dengan kenyataannya. Sebaliknya Jun-yan mudah dibujuk rayu, ia sangka Ti Put-cian benar2 rindu padanya lalu datang mencarinya, segera ia menjadi girang, katanya. "Agaknya kita perlu lagi maju kesana, marilah kita keluar dari gua ini dan tinggalkan daerah Biau ini !" Akan tetapi Ti Put-cian terus geleng2 kepala, sahutnya. "Jun-yan mana boleh kita buang tenaga percuma ditengah jalan? Kemarin kau telah telan Lwetan dari katak berwajah manusia itu, apakah kau ada merasa sesuatu yang aneh ?" "Eh, ya," Kata2 itu telah menyadarkan Jun-yan. "Ketika semalam aku tertutuk si orang aneh, beberapa kali aku himpun tenaga murni untuk menembusi jalan darahku, meski belum berhasil, tapi rasaku tenaga dalamku sudah bertambah kuat. Bok Siang-hiong itu bilang Lwe-tan sikatak dapat menambah tenaga dalam latihan beberapa tahun, entah betul atau tidak?" "Sudah tentu benar", sahut Ti Put-cian, diam2 ia unjuk senyum sinis, lalu sambungnya lagi. "Dan kalau kau sudah menjadi Seng-co setiap tahun dari rakyat 72 suku Biau itu tentu akan menghadiahkan seekor katak semacam itu pula kepadamu, kenapa kita malah akan undurkan diri ditengah jalan? Hayo, kita maju terus." Jun-yan menjadi terbujuk, ia mengiakan dan melangkah kedepan. Dengan kawan Ti Put-cian, ia bertambah berani, malahan merasa manis madu hatinya. Sebaliknya sambil jalan Ti Put-cian terus peras otak penuh dengan akal2 keji. Kiranya sesudah Jun-yan masuk gua, diluar orang2 Biau lantas bunyikan tambur menari dan menyanyi. Sedang orang2 Han yang melihat kedudukan Seng-co sudah ada calonnya, sudah terang tiada harapan lagi, berturut-turut mereka lantas tinggalkan tempat itu. Hanya Ti Put-cian saja yang tidak rela pergi, jauh2 ia datang kedaerah perbatasan ini untuk maksud meraih kedudukan Seng-co, masakan sekarang harus kembali dengan tangan hampa. Ia lihat benih asmara Jun-yan kepadanya belum lenyap sama sekali, ia pikir harus pakai bujuk halusan, bukankah serupa meski nanti gadis itu dapat merebut kedudukan Seng- co ? Sebab itulah ia tinggal disitu. Sedang A Siu mondar mandir disekitarnya saja sambil memandangi pemuda berjari satu ini dengan sorot mata penuh arti. Hati Ti Put-cian tergerak, dengan senyum manis ia menyapa. "A Siu !" Dengan kemalu-maluan A Siu menyahut sekali terus menunduk dan mendekati. Diam2 Ti Put-cian bergirang, dengan jari satu2nya ia mencoba menggantol lengan si gadis. "A Siu, tadi kau telah sudi mengalah, aku merasa sangat berterima kasih." A Siu tertawa, sahutnya. "Ah, itu sudah seharusnya." "A Siu," Tanya Ti Put-cian pula. "sebenarnya kepandaianmu yang tinggi itu diperoleh dari mana ? Jika kita benar2 berkelahi, terang aku bukan tandinganmu." "Menurut peraturan suku kami, terhadap kekasih, tidak mungkin saling gebrak, sekalipun kau hantam mati padaku, tak nanti aku melawan," Sahut A Siu. Nyata ia elakan diri dari pertanyaan tentang diperolehnya ilmu silat. Karena itu, Ti Put-cian menanya lagi berulang kali, tapi A Siu tetap tidak mau bilang dan selalu membilukan pembicaraan. Melihat si gadis lemah gemulai se-akan2 tak tahan tiupan angin, tapi setiap gerak-gerik penuh tenaga dalam, diam2 Ti Put-cian bertambah heran, katanya kemudian. "A Siu, marilah coba memberi petunjuk beberapa jurus padaku !" Habis berkata, tanpa menunggu sahutan orang, cepat tangan kanan menjulur, jari tunggalnya menjentik. "Koh-cing-hiat" Dipundak si gadis hendak ditutuknya. Diluar dugaan, sedikitpun A Siu tidak berkelit, maka terdengarlah suara "tuk" Sekali, tepat sekali tutukannya, tapi rasanya seperti mengenai kayu lapuk, empuk lunak, percuma ia kerahkan tenaganya. Sedangkan A Siu tetap bersenyum simpul saja. Keruan tidak kepalang terkejutnya Ti Put cian. Sejak ia memperoleh semacam kitab Tok-ci-pit-hoat atau pelajaran menutuk dengan jari satu2nya, ia berhasil meyakinkan ilmu menutuk dengan jari tunggalnya itu, lebih dulu ia dapat membalas sakit hati pada musuh yang pernah mengutungi sembilan jarinya yang lain, habis itu, ia malang melintang di kangouw tak terkalahkan, namanya semakin lama semakin disegani dan dipandang sebagai momok oleh orang Bu-lim. Pada jari tunggalnya ia pasang pula sebuah selongsong mas yang dapat dijulurkan lebih panjang beberapa kali lipat, selama ini belum ketemukan tandingan, maka namanya tambah ditakuti. Siapa tahu A Siu yang kena ditutuk sekarang ini hanya ganda bersenyum, tentu saja ia terkejut bukan main. Diam-diam ia pikir, kepandaian yang dimiliki A Siu ini terang adalah semacam Khikang dari kaum Lwekeh yang tinggi, maka dapat diketahui caranya A Siu mengalahkan Cu Hong-tin secara halusan, sebenarnya berlaku murah hati. Terhadap ilmu Khikang sedemikian hebatnya, terang ia sendiri takkan mampu menandingi. Maka ia pura2 bersenyum. "A Siu, kau memang hebat aku mengaku kalah!" Dan karena ini, ia menjadi makin ingin mengetahui dari mana A Siu dapat memperoleh kepandaian setinggi itu. Sementara itu Tiat-hoa-popo telah memanggil A Siu kesana. Diam2 Ti Put-cian menduga sinenek itupun bukan orang lemah, tampaknya harus cari kesempatan lebih sempurna. Setelah ambil keputusan ini, ia lantas mendekati beberapa orang Biau untuk diajak mengobrol, tapi karena bahasa masing2 yang kurang lancar, setelah ribut lama, kemudian barulah Ti Put-cian dapat gambaran bahwa A Siu itu sebenarnya adalah putri seorang Biau biasa, di-waktu berumur tiga tahun ikut orang tuanya mencari obat kegunung selama itu lantas menghilang dan baru kemarin saja mendadak muncul pulang, kalau gadis itu sendiri tidak mengaku sebagai A Siu yang empat belas tahun menghilang itu, siapapun tiada yang kenal padanya, sebab itu, siapapun tiada yang tahu dari mana ia memperoleh kepandaian setinggi itu. Tanpa terasa siang telah berganti malam lagi, tapi orang2 Biau itu terus menari dan menyanyi. Ia coba mencari A Siu, tapi tiada tampak bayangan si gadis, ia menjadi gugup. Sementara itu hari telah pagi lagi, dan Jun-yan masih belum kelihatan datang kembali. Dalam pikiran Ti Put-cian, ia harap hendaklah Jun-yan mati dalam gua oleh racun labah2 itu, dengan demikian barulah ia ada harapan lagi untuk merebut kedudukan Seng-co Biau itu. Kiranya Ti Put-cian mempunyai ambisi yang sangat besar, kecuali orangnya memang pintar cerdik dan serba pandai, yang dipikir olehnya selalu ialah ingin bisa mengepalai Bulim. Dibawah pengaruh jiwanya yang kemaruk kekuasaan dan gila hormat itu, kecerdasan itu menjadi disalahgunakan dan sesat jalan. Sebab itulah, sejak bertemu dengan Jun-yan serta si orang aneh itu, setiap saat iapun selalu peras otak cara bagaimana bisa memperalat mereka untuk merebut kedudukan Seng-co, sebab itulah ia membujuk Jun-yan mengikutinya keadaan Biau ini. Begitulah ia menjadi iseng menunggu kembalinya Jun-yan dari gua itu, tapi karena batas waktunya belum habis, yaitu meski tunggu sampai malamnya lagi baru bisa diputuskan, saking kesal iapun berjalan-jalan seenaknya kaki itu melangkah dan tanpa terasa telah keluar kesuatu pegunungan itu, makin jauh makin sepi, akhirnya ia sampai ditepi suatu kolam lumpur yang besar dan lebat oleh macam tetumbuhan. Karena kuatir kesasar jalan, segera Ti Put-cian berniat kembali, tiba2 didengarnya di tempat dekat sana ada suara bentakan orang yang gusar, suara itu sudah dikenalnya sebagai suara sinenek, yaitu Tiat-hoa-popo. Padahal sekeliling tempat tampaknya kolam lumpur belaka, di-samping2 lain tebing gunung yang curam, hakekatnya tiada tempat yang bisa dibuat sembunyi orang, lalu darimanakah datangnya suara orang itu? Tetapi ketika ia menegasi, ia menjadi terkejut, kiranya di- tengah2 kolam lumpur sana terdapat segundukan tetumbuhan yang lebat, disitulah ternyata merupakan sebuah pulau kecil tidak menarik perhatian orang, kalau tidak diperhatikan, orang akan menyangkanya sebagai sebuah batu besar saja dengan dikelilingi pepohonan. Tapi suara bentakan Tiat-hoa-popo tadi justru telah keluar dari situ. Betapa cerdiknya Ti Put-cian, segera ia tahu gundukan tanah yang tidak menarik itu sesungguhnya adalah sebuah tempat tinggal yang dibuat secara spesial. Sejak Ti Put-cian menjatuhkan A Siu di panggung pertandingan, ia lantas mengetahui banyak diantara orang Biau kangzusi.com yang tidak puas terhadap dirinya, terutama sinenek bunga besi itu. Apalagi Tiat-hoa-popo ini tampaknya begitu disegani orang2 Biau itu, melihat gelagatnya, orang tua itupun sangat tidak puas terhadap dirinya, dan kalau dirinya dapat menduduki Seng-co, mungkin nenek itulah yang akan merupakan oposisi yang paling kuat, rasanya harus mencari akal buat melenyapkannya, sebab itulah, gerak-gerik sinenek sekarangpun sangat menarik perhatian. Ia ter-mangu2 sejenak ditepi kolam lumpur itu, ia mendengar Tiat-hoa-popo makin lama makin sengit, cuma kata2nya diucapkan dalam bahasa Biau, yang ia paham, namun dapat diduga sedang marah terhadap seseorang. Lalu siapakah gerangan orang yang dimarahi itu ? Ia lihat kolam lumpur itu basah2 lihat, lumpur begitu baik manusia maupun hewan, se-injak pasti kejeblos kedalam. Tapi cara bagaimanakah Tiat-hoa-popo itu mendatangi tempat tinggal di tengah-tengah kolam itu ? Ia menjadi heran, ia coba mengitari kolam itu, tiba diatas sebuah daun kapu-kapu yang lebar dapat dilihatnya ada bekas dua tapak kaki, satu sangat besar dan yang lain agak kecil. Maka tahulah Ti Put-cian, didalam rumah itu sedikitnya ada dua orang, masuknya mereka ke sana ialah menggunakan ilmu mengentengi tubuh "Teng-peng-toh cui" Atau menarik kapu2 menyeberangi sungai. Ilmu kepandaian Kanglam-it-ci-seng Ti Put cian dengan sendirinya juga tidak lemah, kalau ilmu entengi tubuh seperti "Teng-peng-toh-cui" Itupun sudah dapat dipastikannya. Maka tanpa pikir lagi iapun melompat ketengah kolam sambil mengincar baik2 sebuah daun kapu2, sekali kakinya menutul enteng, cepat ia melompat ke depan lagi beberapa tombak, sebelum sampai ditempat itu, ia lihat disitu ternyata ada sebuah rumah yang bentuknya bundar pendek tanpa pintu maupun jendela, hanya didekat atapnya ada sebuah lubang kecil yang bundar, mungkin dari lubang inilah keluar masuknya kerumah bundar itu. Dengan hati2 dan perlahan sekali Ti Put-cian melompat lagi kedepan dan sampai dipinggir rumah bundar itu, kuatir diketahui sinenek, sampai ia menahan napas, dengan ber- endap2 ia meraba dinding rumah, lalu menengok kedalamnya melalui lubang bundar dekat atap tadi. Ia lihat didalam situ sangat gelap. Samar2 ia lihat Tiat-hoa- popo duduk mungkur dari lubang itu, tidak jauh dari nenek tua ini duduk seorang lagi yang berbaju putih mulus dengan perawakannya yang menggiurkan, siapa lagi dia kalau bukan si A Siu ! Sungguh heran Ti Put-cian melihat A Siu berada disitu. Kalau melihat ilmu silat A Siu terang diatasnya Tiat-hoa-popo, dengan usianya yang begitu muda sudah berhasil melatih ilmu sedemikian tingginya, sekalipun didaerah Tionggoan yang banyak tokoh2 silat terkenal juga jarang ada seorang liehay semacam dia. Apalagi daerah Biau ada seperti A Siu, sungguh hal ini susah dipahami orang. Entah darimanakah ia memperoleh kepandaian hebat itu. Pula berdiam saja meski didamprat dan dimarahi Tiat hoa-popo. Ia menjadi lebih terkejut ketika sekilas kerlingan mata A Siu, entah sengaja entah tidak, telah memandang kearahnya. Ia menjadi ragu2 apakah mungkin jejaknya telah diketahui si gadis itu ? Namun A Siu kelihatan sudah melengos ke sana lagi, lalu didengarnya ia berkata dalam bahasa Han dengan suara perlahan . "Tiat-hoa-popo, haraplah jangan kau marahlah, aku sudah pasti tidak hendak merebut kedudukan Seng-co pula, sebab......sebab....." Tiba2 ia merandek sambil menghela napas perlahan dan berpaling kearah Ti Put-cian, lalu sambungnya sambil menunduk . ".......sebab aku mencintainya." Seketika Tiat-hoa-popo berbangkit dengan tubuh gemetar, rupanya saking gusar, ia tuding A Siu dan mendampratnya . "A Siu, kau mencintainya tidak menjadi soal, tapi kau melepaskan kedudukan Seng-co, cara bagaimana kau akan bertanggung jawab kepada Lo-liong-thau ?" Ti Put-cian menjadi heran, siapakah gerangan Lo-liong-thau itu ? Dalam pada itu dilihatnya wajah A Siu rada berubah, sinar matanya menjadi guram, kulit badannya memang putih salju, mukanya menjadi lebih pucat, agaknya sangat ketakutan pada seseorang yang teringat olehnya, bibirnya tampak ber-gerak2, kemudian baru berkata dengan tak lancar . "Te.....tetapi aku cinta padanya, ak.....aku bersedia berkorban segalanya!" Cara berkatanya ada begitu wajar dan spontan suatu tanda cintanya pada Ti Put-cian sesungguhnya suci bersih dan sungguh2 timbul dari lubuk hatinya. Mengetahui isi hati si gadis itu, ia bukan bergirang A Siu cinta padanya, tapi dasar jahanam ia justru bergirang bakal bisa mempengaruhi A Siu untuk kemudian memperalatnya. Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Karena Wanita Karya Kho Ping Hoo Rahasia Si Badju Perak Karya GKH