Rahasia Si Badju Perak 13
Rahasia Si Badju Perak Karya GKH Bagian 13
Rahasia Si Badju Perak Karya dari G. K. H "Kemana kedua bocah gentayangan itu? Disini kosong melompong tiada orang jaga, kalau musuh bolos masuk mana dapat diketahui?" Diam-diam Thian-ih melongok keluar, dilihatnya orang yang bicara ini adalah Kiu Keng-po adanya. Setelah marah-marah Kiu Keng-po memanggil beberapa orang untuk mengganti jaga disini. Thian-ih menjadi lega hati, secara sembunyi-sembunyi segera ia mulai bergerak. Bangunan gedung ini memang besar dan rumit sekali bangunannya, banyak gang-gang dan lekak-lukuk yang dapat menyesatkan, keadaannya gelap dan lembab lagi, meskipun saat itu tengah hari bolong tapi dalam gedung harus menyumat obor atau lilin besar. Mengandal jubah pendeta samarannya ini Thian-ih agak leluasa bergerak mondar mandir kian kemari dalam gedung. Tampak kelompok demi kelompok sedikitnya terdiri tiga orang berjaga disetiap lobang tembok yang telah gugur. Karena menyangka Thian-ih adalah anak buah Lo Ka maka mereka diam saja tanpa menanyakan asal-usulnya. Selama berjalan-jalan itu Thian-ih melihat Lo-han-kun Sia Hwi-i dan Sia Hwi-kong. Agaknya luka berat yang diderita oleh Sia Hwi-kong waktu bertempur dipegunungan berbatu tempo hari masih belum sembuh seluruhnya, gerak-geriknya kelihatan agak lamban. Samar-samar masih teringat oleh Thian-ih gang-gang atau jalanan lika-liku dalam gedung itu, akhirnya dia tiba juga diruang depan. Disini terlihat Pau Kok-tam memimpin serombongan orang mengeram dibelakang pintu, tak kelihatan adanya tawanan diantara mereka. Thian-ih semakin gelisah, dimanakah To Yong disekap oleh mereka? Betapapun aku harus sudah menolongnya keluar dari sini sebelum rombongan diluar menyerbu masuk. Memutar kesebuah lorong tiba-tiba pandangannya menjadi terang, tampak beberapa pendeta dan laki-laki tegap tengah berkeliling menjaga seorang berpakaian baju perak, pinggang sibaju perak masih menyoreng pedang emasnya itu, orangnya tergantung diatas tembok dengan menundukkan kepala, wajahnya tidak kelihatan jelas, agaknya dia jatuh pingsan. Thian-ih tidak berani sembarangan bergerak, sembunyi di tempat gelap dia berpikir cara bagaimana dia harus menolongnya. Dilihatnya dada sibaju perak itu masih bergerak naik turun, jelas bahwa dia masih hidup, dibawah sinar pelita tampak air mukanya berwarna kuning, kabarnya memang To Yong tengah jatuh sakit sehingga kena tertawan oleh musuh, agaknya berita itu memang kenyataan. Dilihat keadaannya yang lemah itu, agaknya penyakitnya rada berat, Thian-ih harus memeras keringat mencari akal cara bagaimana untuk menolongnya. Sekonyong-konyong tergerak hatinya. Pedang emas adalah warisan keluarganya yang turun temurun, merupakan sebilah pedang pusaka yang tajam luar biasa. Kenapa setelah To Yong tertawan pedang itu masih tersoreng dipinggangnya ? Kalau toh Lo Ka takut sibaju perak ini terjatuh ditangan para satuan Bhayangkari serta dijebloskan kedalam penjara, mengapa pula masih membiarkan dia tetap mengenakan baju peraknya itu yang paling gampang dikenal orang? Secara teliti Thian-ih menerawangi keadaan yang dihadapi ini, akhirnya dia menaruh kecurigaan. Terdengar suara teriakan gemuruh diluar gedung, situasi dalam gedung menjadi tegang. Thian-ih menambah kewaspadaan, terdengar suara Lo Ka Siangjin membentak-bentak memberi perintah, cepat-cepat Thian-ih mengintil dibelakangnya. Lo Ka menyerukan para anak buahnya bersiap menyambut segala serbuan, lalu terdengar langkahnya memasuki sebuah ruangan samping. Thian-ih membayangi terus dibelakangnya. Terdengar ia berseru kedalam ruangan. "Awas! Begitu mereka menyerbu masuk, segera kau bawa tawanan itu lari.'' Seorang tertawa dalam ruangan, sahutnya. "Siangjin tak usah kuatir, bangsat ini sudah terbelenggu kedua tangan dan kakinya, kunci ini seumpama pedang pusaka juga belum tentu dapat membukanya, apalagi dia tengah terserang penyakit, betapapun aku masih kuat mengekangnya......" "Jangan kau terlalu takabur !" Terdengar seruan Lo Ka Siangjin, nadanya berat dan serius. "Para penyerbu itu ada termasuk putri Binisi Hujin dari luar perbatasan, pedang ditangannya itu tajam bukan olah-olah, bagaimana juga kau harus hati-hati jangan sekali-kali kau lepaskan tawanan ini sampai direbut oleh musuh.'' Terdengar orang dalam ruangan itu mengiakan berulang-ulang. Lantas terlihat Lo Ka melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Thian-ih mendekam ditempat gelap, terasa suara dalam ruangan itu sudah sangat dikenalnya, begitu Lo Ka pergi jauh segera ia menggeremet maju dan mengintip kedalam. Sekali pandang kontan hatinya mengeluh dan girang juga. Ruangan yang tidak begitu besar ini diterangi sebatang lilin, lapat-lapat terlihat dipojokan sana meringkuk tubuh seseorang, kaki-tangannya terbelenggu kencang dengan rantai dan kunci yang terbuat dari baja. Disampingnya duduk seorang yang melintangkan pedang didepan dada tawanannya, wajahnya mengunjuk senyum sinis dan menyeringai kejam. Thian-ih kenal orang ini karena dia bukan lain adalah murid Pak Ko-seng yg bernama Ban Ai-ling itu. Sungguh diluar tahunya bahwa bajingan tengik ini dapat melarikan diri sampai disini, tak heran ia sangat kenal suaranya. Walaupun tidak melihat tegas muka orang yang meringkuk itu, tapi Thian-ih kenal dan percaya betul bahwa orang itu pasti To Yong adanya. Hatinya menjadi lega, dari tempat sembunyinya itu diam-diam ia berpikir mencari akal cara bagaimana untuk menolongnya dari belenggu musuh ini. Memang pengaturan tipu muslihat Lo Ka Siangjin ini harus dipuji. Disamping memancang seorang duplikat sibaju perak diatas dinding, sedang sibaju perak asli sudah terbelenggu dalam ruangan ini dibawah pengawalan ketat Ban Ai-ling. Begitu orang-orang luar menyerbu masuk, dalam keadaan pertempuran yang kacau balau, dengan secara diam-diam mereka dapat lebih leluasa menyelundupkan sibaju perak asli ini keluar dari gedung bobrok ini. Tapi Thian-ih yang sudah tahu tipu muslihat ini dengan tenang saja sembunyi ditempatnya tinggal tunggu kesempatan untuk turun tangan menolong orang. Mendadak diluar sana terdengar suara panah bersuitan, suara teriak bertempur juga lantas timbul dimana-mana. Sedang dari sebelah dalam gedung segera menghamburkan senjata rahasia keluar menyambut serbuan musuh, seketika terdengar teriakan dan pekik kesakitan bagi yang terluka dan mati konyol. Sigap sekali Ban Ai-ling menjinjing tawanannya. Tapi Thian-ih segera mengayun tangannya menyambitkan senjata rahasia, sasarannya ternyata sangat tepat sekali. Terdengar Ban Ai-ling berpekik dan meraung keras, sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Bergegas Thian-ih memburu masuk, dimana pedang pusaka pemberian Ing-mo itu berkilat, borgol dan belenggu ditangan kaki sibaju perak jatuh berkerontangan. Legalah hatinya. Pekik raungan Ban Ai-ling yang keras itu mengejutkan semua orang dalam gedung itu. Pertama-tama Lo Ka Siangjin paling prihatin segera memburu tiba, dibelakangnya terlihat gadis berpakaian berkabung dari luar perbatasan itu mengejar kencang dibelakangnya. Timbul akal dalam otak Thian-ih, cepat-cepat tangannya diayun menyambitkan senjata rahasia untuk memadamkan lilin dalam ruangan itu. Kontan ruangan itu menjadi gelap gulita. Karena ruangan mendadak menjadi gelap, kuatir dirinya terbokong, Lok Ka dan sigadis berkabung itu lantas menghentikan langkahnya sambil mepet dinding tak bergerak. Cepat-cepat Thian-ih menggagap kebawah tapi yang terjamah ternyata tempat kosong, keruan bukan kepalang kejut hatinya. Ternyata sibaju perak yang terserang penyakit dan Ban Ai-ling yang menggeletak ditanah tadi sudah menghilang entah kemana. Mungkinkah To Yung hanya pura-pura terserang penyakit, terus melarikan diri begitu mendapat kesempatan ini? Ataukah Ban Ai-ling yang masih kuat menyeret lari tawanannya setelah terluka parah. Thian-ih tidak sempat berpikir lebih lama lagi, pertempuran dalam gedung bobrok itu kacau balau, susul menyusul terdengar teriakan dan pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban. Dalam keadaan yang mendesak ini Thian-ih merasa dirinya berdiri di tengah ruangan di tempat yang tidak menguntungkan dirinya, maka gesit sekali ia melesat kesamping di tempat pojokan, sungguh diluar perhitungannya, begitu ia bergerak pedang pusaka ditangannya seketika memancarkan kilat kebiru-biruan ditengah kegelapan. Cepat-cepat Thian-ih memasukkan kedalam sarungnya. Baru saja hatinya merasa lega mendadak disampingnya berkelebat percikan api, menerangi wajah Lo Ka Siangjin yang berwarna merah darah itu, jarak mereka tidak lebih dari tiga kaki. Keduanya terperanjat dan berseru kaget terus melompat mundur. Ternyata hanya sepercik kilatan api itu saja Lo Ka Siangjin sudah melihat jelas bahwa Ban Ai-ling dan si baju perak sudah menghilang jejaknya, tahu dia bahwa tempat ini tidak perlu dipertahankan terlalu lama lagi, maka sambil menggerung seram dia ayunkan tongkat bajanya terus menerjang kearah pintu. Sementara itu, dalam kilatan api itu juga sigadis berkabung telah melihat terang pula, belum lagi tubuh besar Lo Ka Siangjin menerjang tiba sampai di pintu, pedang panjangnya sudah melibat dengan serangan yang mematikan. Dilain pihak Thian-ih sudah sembunyi di pojokan, dilihatnya sinar pedang sigadis berkelebatan menyambar-nyambar, perbawanya sungguh hebat sekali sampai Lo Ka Siangjin terdesak di pinggir pintu, pertempuran sementara berjalan seru sulit ditentukan siapa bakal menang dan asor. Tak lama kemudian terdengar gadis berkabung itu membentak sekali, terlihat sinar kebiru-biruan pedangnya menyapu miring tongkat baja Lo Ka yang besar dan berat itu. Lo Ka mendehem keras, agaknya berusaha sekuat tenaga hendak menyampok pedang lawan yang menindih kuat itu. Tapi seakan-akan pedang sigadis sudah lengket dengan tongkat bajanya, pedang itu ikut bergerak naik turun mengikuti gerakan tongkat besarnya itu, saban-saban sinar kebiruan berkelebat sedemikian lincah dan elok sekali dipandang mata dalam kegelapan itu. Diam-diam Thian-ih merasa kagum dan memuji dalam hati, usia gadis ini belum cukup duapuluh tahun namun sudah berkepandaian sedemikian tinggi, merupakan tokoh silat nomor wahid di kalangan Kangouw. Tapi entah dia keluaran dari aliran atau golongan mana. Siapa pula Nisi Hujin yang diperbincangkan itu?" Lo Ka mengobat-abitkan tongkatnya semakin gencar, namun sedemikian jauh usahanya sia-sia karena pedang sigadis tak dapat dipentalkan copot, malah lambat-laun tenaganya terkuras habis dan gerak geriknya semakin lamban. Sungguh gusar dan gelisah Lo Ka bukan main, mulutnya berkaok-kaok dan memaki serta mengumpat kalang kabut. Thian-ih tertawa geli ditempat sembunyinya melihat kelakuannya itu. Sekonyong-konyong terlihat badan Lo Ka Siangjin yang tinggi besar itu mencelat tinggi keatas, si gadis berkabung juga selincah tupai telah membayangi tiba, pedangnya itu membabak miring diatas pundaknya, tepat mengenai luka di atas pundak Lo Ka yang belum sembuh itu, saking kesakitan ia meraung sekuatnya. Mendadak ia menyeruduk tiba sambil menyodokkan tongkat besarnya itu ke arah sigadis. Melihat kenekadan orang, sedikit bergerak saja sigadis sudah menyingkir kesamping sehingga Lo Ka menubruk tempat kosong dan terus menyelonong keluar pintu. Dimana sinar kilat pedang bergerak, baru saja sigadis siap mengejar keluar, tiba-tiba terdengar Lo Ka mengumpat caci dengan kerasnya. Terang di depan sana dia dicegat orang lagi dan terlibat dalam pertempuran pula. Langkah sigadis lantas berhenti diambang pintu. Sebetulnya Thian-ih hendak lari keluar, karena sigadis menghadang di ambang pintu diam-diam ia mengeluh, belum lagi bergerak, tahu-tahu sigadis melompat maju kedepannya, dimana ujung pedangnya bergerak, sinar kebiruan berkilat dengan tepat mengarah dadanya. Terpaksa Thian-ih menggerakkan tangan menyampok, angin pukulannya masih sempat menangkis dan memunahkan serangan lawan, terasa olehnya kekuatan tenaga sigadis cukup besar. Terdengar sigadis berseru kejut dan heran, gerak pedangnya mendadak berubah membalik keatas dengan jurus Hun-hoa-fu-liu (membagi kembang mengebut dahan liu) sinar pedang berkelebatan sangat aneh dan cepat serta tangkas sekali. Sudah tiada kesempatan bagi Thian-ih untuk melolos pedang sendiri, kali ini dia tidak berani menangkis dengan pukulan tangannya. Tahu dia bahwa kepandaian ilmu pedang si gadis sudah mencapai kesempurnaannya, jurus pertama tadi lawan sudah menjajal kekuatan Lwekangnya, maka cepat-cepat ia menggeser kedudukan sambil menyedot hawa mengkeretkan dada untuk meluputkan diri dari serangan jurus kedua ini. Belum lagi ia menghela napas lega, sinar terang kekuning-kuningan diatas kayu perabuan ditangan kiri sigadis tahu-tahu berkelebat di depan matanya, tanpa merasa Thian-ih memandang kearah sinar itu, matanya menjadi silau, dan pada saat itulah jurus pedang lawan dari gertakan berubah menjadi serangan sungguh, dengan jurus Tok-siong-theng-kheng (kelabang beracun terbang ke angkasa) tahu-tahu ujung pedangnya sudah mengancam dimuka Thian-ih. Thian-ih berseru kejut terus melompat tinggi ke atas sambil mementang kedua tangan dengan gaya seperti elang hendak menubruk mangsanya. Tanpa disadari dalam menghadapi bahaya ini secara reflek ia keluarkan kepandaian pelajaran dari Ing-mo. Dimana kekuatan terjangannya ini melanda sigadis berkabung sampai sempoyongan mundur. Jurus ciptaan Ing-mo ini memang betul-betul hebat perbawanya, sedikit saja kaki sigadis terhuyung mundur, kesempatan ini cukup buat Thian-ih menempatkan diri mepet dinding lagi. Hakikatnya tiada niat ia mencelakai sigadis rupawan yang mirip Hong-gi ini. Pada saat mana suara gaduh di sebelah luar sana mendadak sirap dan menjadi sunyi lalu terdengar seorang berteriak nyaring. "Nona Lo! Orangnya sudah ketemu! dimana kau?" Sejenak sigadis berdiam diri diambang pintu. Dalam kegelapan itu Thian-ih merasa bahwa orang tengah memandang kearah dirinya. Untung hanya sebentar saja lantas sinar pedang menghilang, sigadis terus memutar tubuh lari keluar. Thian-ih menghela napas panjang. Terdengar seseorang berkata diluar sana. "Satupun tiada yang lolos, semua sudah dibereskan. Pesakitan ini juga sudah kita temukan, mari kita kembali dulu ke markas besar So-ke-pang!" Itulah suara sitangan penembus awan Yu Liat-bong. Lalu terdengar juga si kelabang terbang So Tiong bicara. "Nona Lo! Dimana kau tadi? Kau melukai sigundul Lo Ka dan mengusirnya keluar! Tapi mengapa kau sendiri malah masih tinggal di dalam sana?" Merandek sejenak, tidak mendapat jawaban dari sigadis lantas ia menyambung lagi. "Apa kau juga terluka?" Terdengar suara sigadis merdu nyaring. "Tidak apa-apa. Aku memeriksa sebelah dalam sana, kudengar kalian sudah menemukan orang, baru aku bergegas keluar." Memangnya Thian-ih tengah kuatir dia akan membawa orang banyak untuk menempur dirinya, sungguh diluar dugaannya jawaban sigadis ternyata demikian, legalah hatinya. Tak lama kemudian suara So Tiong tengah memberi perintah kepada para chengtengnya untuk mengurus semua kawan-kawannya yang terluka atau yang sudah meninggal. Terdengar semua orang ribut setengah harian. Akhirnya Thian-ih harus berfikir, cepat atau lambat pasti mereka akan mencari kemari, dirinya harus segera meninggalkan tempat ini. Baru saja ia hendak bergerak, derap langkah orang banyak sudah tiba diambang pintu, cepat-cepat ia merapatkan tubuhnya ke dinding, bersiap siaga bila perlu segera turun tangan dan menerjang keluar. Tiba-tiba terdengar suara sigadis berkata. "So-kongcu, ruang ini sudah kuperiksa, tiada apa-apa didalam sana." Derap langkah So Tiong dan lain-lain terus maju lewat depan pintu sambil menjinjing obor tinggi-tinggi. Derap langkah itu semakin jauh dan akhirnya suasana menjadi tenang kembali, agaknya semua orang sudah meninggalkan gedung bobrok ini. Waktu Thian-ih keluar dari ruangan gelap itu, memang seisi gedung itu keluar semua tanpa ketinggalan seorang. Di tempat gelap sebelah sana mendadak terdengar suara orang memanggil. "Thian-ih, lekas kemari ikut aku!" Lalu terlihat sebuah bayangan bergerak di pojok sana. "Siapa kau?" Bentak Thian-ih. Jawaban orang ditempat gelap itu bernada girang. "Aku adalah orang yang kau tolong tadi!" Sekali berkelebat, menyusuri dinding terus berlari cepat kearah kanan sana. Terpaksa Thian-ih angkat langkah mengejar dengan kencang, akhirnya mereka sampai di belakang kebon gedung bobrok itu. Ditengah kebon terdapat sebuah perigi. Orang itu menggape tangan ditepi perigi terus melompat turun kedalam. Rahasia Si Badju Perak Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Thian-ih mengejar sampai di pinggir perigi, didapatinya itulah perigi yang sudah mati tanpa air, dengan membesarkan nyali iapun terus loncat kedalam, perigi ini sedalam tiga empat tombak, begitu kakinya menginjak tanah lantas terasa pergelangan tangannya dicengkram orang. Ternyata dasar perigi ini adalah sebuah lorong panjang dibawah tanah, keadaan disini sangat gelap sampai lima jari sendiri juga tidak kelihatan, orang itu menarik Thian-ih terus berlari-lari kedepan. Thian-ih minta orang melepaskan tangannya, tapi orang itu tidak ambil peduli, katanya. "Sekarang pasti Yu Liat-bong dan kawan-kawannya sudah tahu bahwa yang mereka ringkus itu adalah barang tiruan, sebentar lagi pasti mereka akan putar balik kemari untuk mengadakan penggeledahan besar-besaran. Biarkan mereka ribut dan bekerja banting tulang, kita mengumpat disini dengan nyaman dan tentram!" "Kalau mereka juga masuk kemari mencari kita bagaimana?" "Tutup dasar perigi ini adalah buatan seorang ahli bangunan yang kenamaan, ditambah variasi yang dapat mengelabui pandangan orang, kurasa siapapun takkan dapat menemukan tempat ini. Seumpama tahu bila tidak tahu cara membuka pintu rahasia itu, seribu tenaga kerbau juga jangan harap dapat membuka tutup pintu rahasia." Lorong bawah tanah itu memang jauh dan panjang sekali, sekian lama mereka berjalan berlika-liku tiada hentinya. Mendadak didepan sana terlihat sinar terang, agaknya seperti ujung lorong ini sudah sampai. Tiba-tiba orang itu berhenti, waktu Thian-ih melihat lebih tegas ternyata sinar terang itu bukan ujung dari lorong itu, tetapi adalah sebuah kamar batu dalam lorong itu. Diatas dinding kamar batu itu terporotkan beberapa butir mutiara besar yang berkemilauan memancarkan cahaya terang seperti disiang hari. Lantai dalam ruangan ini ditaburi permadani yang tebal dan mahal, dimana-mana terlihat peti2 besi, lemari pakaian, minuman dan makanan, buku serta segala keperluan hidup semuanya serba lengkap. Diatas dinding sebelah kiri tergantung pedang emas milik Thio Thian-ki semasa hidupnya serta jubah dan pakaian peraknya. Perasaan gusar dan sirik Thian-ih masih belum hilang seluruhnya, mendadak ia bertanya. "Kau ini To Yong bukan? Apakah penyakitmu sudah sembuh?" Wajah To Yong mengunjuk senyum simpul, sahutnya tertawa. "Mana aku terserang penyakit apa segala? Aku hanya ngapusi mereka saja. Kau tahu aku paling ahli dalam bidang ilmu rias, sudah tentu pura-pura sakit dengan wajah pucat sedikit adalah segampang membalikkan tangan bagi aku." Melihat Thian-ih bungkam, lalu ia menambahkan. "Thian-ih, kalau kau suka belajar ilmu riasku ini biar kuturunkan kepadamu..........." Thian-ih jadi berpikir, aku harus mengandal kepandaian silat yang kupelajari untuk malang melintang dan mengangkat nama didunia persilatan, buat apa mempelajari ilmu rias yang pranti mengelabui orang secara licik begitu. Dalam batin ia berkata begitu tapi lahirnya dia sungkan berkata, untuk menghilangkan rasa canggung ini ia berkata tawar. "Terima kasih banyak, untuk itu kelak kita bicarakan lagi !" To Yong juga tidak ambil dihati akan sikap dingin Thian-ih ini, dia suruh Thian-ih duduk, diambilkan makanan dan minuman, sambil makan minum ia berkata sambil menunjuk mutiara-mutiara besar diatas dinding itu. "Jumlah mutiara diatas dinding itu semua tigapuluh enam butir. Enam diantaranya adalah Ya-bing-cu, sedang yang lain juga merupakan mutiara mahal tak ternilai dari lautan timur sana. Waktu aku membangun dan memajang ruangan ini, meski pun udaranya segar, serta makan minum tidak kekurangan, tapi hanya disinari oleh pelita atau api lilin belaka. Sejak aku mencuri mutiara-mutiara itu dari keraton........" Melihat Thian-ih mengkerutkan kening, agaknya kurang sabar mendengar ceritanya itu, cepat-cepat ia mengalihkan pokok pembicaraan, katanya. "Thian-ih! Coba kau ceritakan pengalamanmu setelah berada di Hun-tai-san!" Terpaksa Thian-ih bercerita. Serta mendengar bahwa ditengah jalan Thian-ih bertemu dengan putri tunggal Nisi Hujin, To Yong berjingkrak kaget, serunya. "Wah celaka kalau dia juga datang. Untung aku tidak bersua dengan dia, kalau sampai ketemu, wah tentu berabe dan panjang buntutnya!" Thian-ih mulai merasa simpatik terhadap gadis berkabung yang berwajah mirip Hong-gi itu, melihat sikap gelisah To Yong itu, segera ia tanya. "Siapakah dia? Siapa pula Nisi Hujin itu? Dengan membekal kayu keperabuan dia mencari kau, ada dendam dan sakit hati apa lagi diantara kalian?" Nada To Yong rada jengkel, sahutnya. "Justru bukan aku yang bermusuhan dengan mereka? Adalah bapakmu yang bangor itulah yang menimbulkan bencana ini." Thian-ih minta penjelasan. Dalam ruang bawah tanah itu keadaan terang benderang disinari cahaya mutiara mestika, seperti di siang hari bolong. To Yong memboyong keluar arak simpanannya, mulailah mereka makan minum sekenyangnya, lalu mulailah To Yong bercerita akan pengalamannya pada masa yang lalu. Ternyata pada empat ratusan tahun yang lalu, pada saat bangsa Mongol menyerbu masuk kedaratan tengah ini, timbul banyak pemberontakan dibanyak tempat, diantaranya Pek-lian-kau (perkumpulan agama teratai putih) angkat senjata di kota Pian-seng. Dengan kedok malaikat teratai putih sebagai perisai, Ketua Pek-lian-kau memikat banyak rakyat jelata untuk menyanjung dirinya, dalam waktu singkat saja pengikutnya yang fanatik menjadi ribuan banyak, semua mengenakan ikat kepala warna merah, dimana-mana menimbulkan huru-hara dan bencana. Akhirnya pimpinan tertinggi mereka yaitu Han San-tong tertawan oleh musuh. Maka para pengikutnya yang setia dipelopori oleh Lau Hok-to mengangkat anak Han San-tong yang bernama Han Lim-ji sebagai gantinya dengan nama junjungan Siau-bing-ong. Mendirikan negeri Song dengan tahun Liong-hong, kota Hou-ciu sebagai ibukota. Sejak Han Lim-ji menampuk pimpinan kekuatan Pek-lian-kau semakin berkembang biak dan tersebar kemana-mana seumpama jamur dimusim semi, setelah malang melintang dan berkuasa penuh selama tigabelas tahun akhirnya kekuatannya mulai runtuh dan pecah belah. Pada permulaan dinasti Bing pada tahun Thian-khi, seorang bernama Ong Sun dari kota So-ciu di Ciatkang angkat senjata mengangkat diri sebagai tokoh pemberontak. Tatkala itu nama Pek-lian-kau sudah tidak murni lagi, banyak pengikutnya yang telah mendirikan lain-lain perkumpulan atau agama lain, dan pada saat itu yang paling terkenal adalah Hui-siang-kau. Demikian juga kekuasaan Ong Sun tidak lama, sejak ia tertawan musuh lantas disusul Djih Hong-hu ikut muncul, kekuatannya lebih besar dan kokoh, namun akhirnya juga menemui nasib yang sama. Namun demikian sejak saat itu, dalam kalangan masyarakat sering timbul kegaduhan serta kekacauan dari anasir-anasir sisa-sisa pengikut Pek-lian-kau itu. Kira-kira ratusan tahun yang lalu, cabang aliran dari Pek-lian-kau itu mendadak bersemi diluar perbatasan, barisan yang baru terbentuk ini mengenakan ikat kepala putih sebagai pengenal dengan ikat pinggang ungu, dan mengenakan juga pertanda khas yaitu gelang atau cincin ular emas yang menjulurkan lidahnya. Perkumpulan ini menamakan dirinya sebagai Kim-hoan-kau (perkumpulan gelang emas). Menurut kabarnya secara turun temurun Kim-hoan-kau ini mempunyai ilmu simpanan aneh yang khusus diturunkan kepada pimpinannya saja. Bukan saja disiplin mereka sangat keras, juga tindak tanduk mereka sangat ganas dan keji. Maka belum lama sejak berdirinya perkumpulan ini, pengikutnya bertambah banyak, kekuatannya semakin melebar masuk ke-dalam perbatasan. Disaat mereka membangun dan memperkokoh kedudukan, dan sudah bersiap hendak mengadakan aksinya, tiba-tiba tersiap kabar angin dikalangan Kangouw bahwa para pengikut Kim hoan-kau yang berada didaerah Tionggoan banyak yang ditarik balik keutara. Kabarnya dalam sarang mereka yang berada diluar perbatasan sana telah terjadi perobahan besar. Sejak itu Kim-hoan-kau lantas lenyap dan bubar tanpa bekas. Dan sebab musabab dari pembubaran ini katanya adalah karena ada beberapa tokoh silat dari angkatan pendekar kelas wahid telah meluruk datang dan mengobrak-abrik markas besar mereka. Dibawah pandangan sekian banyak para pengikutnya, sang ketua telah dikutungi kepalanya dan dibawa pergi. Tapi rumput yang tidak dicabut sampai ke-akar-akarnya akan bersemi lagi setelah kena hujan. Demikianlah pada lima belas tahun yang lampau, tersiar kabar bahwa diluar perbatasan sana telah berdiri lagi suatu perkumpulan rahasia yang mungkin didirikan oleh sisa-sisa pengikut Kim-hoan-kau dulu. Waktu itu Thio Thian-ki sudah mengasingkan diri di Thio-keh-cheng, entah mengapa tiba-tiba timbul niat isengnya mengajak To Yong pergi keluar perbatasan sana untuk menyirapi akan kebenaran kabar angin itu. Setelah mengalami berbagai rintangan dan bahaya akhirnya dapat diselidiki dengan benar bahwa perkumpulan rahasia itu memang merupakan duplikat dari Kim-hoan-kau itu. Akan tetapi tepat pada kedatangan mereka ini, Kim-hoan kau sendiri juga tengah mengalami bencana diantara hidup atau mati. Bahwasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa kaum Pek-lian-kau merupakan duri berbisa dipandangan masyarakat umum terutama bagi kaum persilatan dipandang sebagai aliran sesat. Maka bagi mata pendengaran kaum pendekar dimana ada bersemi suatu aliran yang bersumber dari aliran agama sesat ini begitu diketahui segeralah pasti ditumpas dan dilenyapkan dari muka bumi ini. Demikian juga kali ini, begitu mendengar bakal bersemi atau tumbuhnya lagi suatu perkumpulan rahasia yang bersumber dari aliran agama sesat ini, kaum pendekar segera menggerebeg datang untuk menumpasnya. Baru saja kepalanya tongol-tonggol hendak keluar segera dapat disirapi oleh para pendekar dari Tionggoan, segera diutus tokoh-tokoh silat tingkat tinggi untuk membubarkan atau menumpasnya habis. Tatkala itu orang yang diutus datang hanya dua orang, mereka adalah dua orang muda-mudi. Begitu sampai di sarang Kim-hoan-kau langsung mereka menantang kepada ketua Kim-hoan-kau waktu itu yaitu Lo Liong. Lo Liong ini adalah suami Nisi Hujin itu, bukan saja seorang yang cekatan yang pandai berpikir dan bekerja, ilmu silatnya juga lihay dan aneh. Namun sukarlah dijajaki betapa tingginya ilmu kepandaian muda mudi yang menantangnya ini. Hanya diketahui bahwa mereka berdua datang dari arah barat, yaitu gunung Thian-san. Karena tidak mengetahui asal-usul kedua musuhnya ini, secara serampangan saja Lo Liong serta Nisi Hujin lantas menanggapi tantangan mereka. Belum lagi sepuluh jurus mereka bertempur, Lo Liong sudah terluka berat dan rebah di tanah. Nisi Hujin menjadi nekad dan menempur mereka mati-matian dibantu para tokoh-tokoh silat dari Kim-hoan-kau. Namun hebat memang kedua muda mudi ini, bukan saja tidak gentar, mereka malah berkelahi semakin ganas seperti banteng ketaton, setiap kepalan atau pedangnya bergerak pasti musuh-musuhnya kena dirobohkan. Setelah bertempur setengah harian, banyak korban dari pihak Kim-hoan-kau berjatuhan, hampir seluruh gembong silat lihay dari Kim-hoan-kau mampus atau terluka berat. Sampai Nisi Hujin sendiri juga bertempur sampai titik terakhir dan rebah kehabisan tenaga. Sebetulnya pendekar muda pria itu sudah angkat pedangnya tinggi, sekali bacok saja pasti tamatlah riwayat Nisi Hujin ini. Tapi serta dilihatnya Nisi Hujin ini adalah seorang perempuan yang cantik jelita berkulit putih halus, hatinya menjadi tidak tega turun tangan, timbul belas kasihan dalam benaknya, pedang berkilau di tangannya sekian lama susah diturunkan. Harus diketahui bahwa pemudi yang menyertai pendekar muda itu ternyata adalah calon istrinya. Bahwasanya sifat perempuan memang rada dengki dan suka cemburu, berpikiran sempit lagi. Terutama dalam bidang asmara reaksinya paling tajam. Waktu itu dia melihat tegas sikap bakal suaminya itu, dia beranggapan bahwa tunangannya ini menaruh hati terhadap Nisi Hujin, keruan timbul rasa jelus dan cemburu dalam benaknya, saking tak tahan lagi mendadak ia menyentil pedang ditangannya. "creng", waktu pedang itu jatuh meluncur tepat sekali memapas robek sebagian jubah panjang didepan dada pendekar muda itu. Ini suatu pertanda putusnya hubungan tunangan mereka. Waktu pendekar muda itu angkat kepala dilihatnya calon istrinya itu sudah berlari pergi secepat terbang tanpa menoleh kembali dan entah kemana. Sebetulnya kepandaian muda mudi ini seimbang dan susah dibedakan siapa lebih tinggi atau rendah. Melihat orang tinggal pergi dengan penuh perasaan dengki dan cemburu, tahu dia bahwa sedikit kesalahan tindak tanduknya itu telah menimbulkan kesalahpahaman. Dijemputnya pedang pusaka bakal istrinya terus diselentik nyaring sambil bersuit panjang dan keras memekakkan telinga. Sedemikian nyaring suitannya itu seolah-olah menembus angkasa sampai mengejutkan burung dan margasatwa di alas pegunungan. Setelah ditunggu sejenak tidak mendengar sesuatu reaksi apa, dia insaf bahwa calon istrinya itu memang sudah bertekad bulat memutuskan pertunangan ini, tiada harapan untuk rujuk kembali, apa boleh buat digulungnya pedang pusaka emasnya diikat pinggangnya, terus mengempit tubuh Lo Liong dibawa pergi dengan cepat. Peristiwa ini terjadi pada dua puluh tahun yang lalu. Waktu itu semua pengikut Kim-hoan-kau kebetulan berkumpul, tapi betapapun banyak jumlah mereka juga tidak berguna, karena kepandaian pendekar itu sudah mencapai kesempurnaannya seumpama dewa malaikat. Meskipun terang-terangan dia menggondol pergi ketua mereka Lo Liong, tapi tiada seorangpun yang berani maju merintangi. Sejak saat itu, nama Kim-hoan-kau tenggelam lagi dan tak terdengar pula jejaknya. Waktu Thio Thian-ki dan To Yung memburu tiba, sisa-sisa terpendam dari kaum Kim-hoan-kau itu menyembunyikan diri di alas pegunungan Tiang-pek-san, mereka masih menjunjung Nisi Hujin sebagai pimpinan. Lima tahun sudah berlalu sejak Lo Liong digondol pergi oleh Pendekar muda itu, namun tiada terdengar kabar beritanya. Nisi Hujin merupakan kaum cendekiawan serta gagah dari kalangan wanita, dibawah perintahnya, dia kekang para anak buahnya untuk berdikari di alas pegunungan yang terpencil dari khalayak ramai. Meskipun markasnya itu tidak begitu besar dan luas, namun semua dapat diaturnya dengan rapi dan beres. Mengingat pengalaman yang sudah berulang kali terjadi terutama mereka lebih waspada menjaga diri dan takut gangguan luar, maka sedapat mungkin mereka merahasiakan sekali tempat persembunyian ini. Lima tahun lamanya Nisi Hujin menggembleng diri mempelajari pelajaran peninggalan para cakal bakal pendiri Kim-hoan-kau yang serba unik dan aneh serta keji lagi. Setiap detik selalu diingatnya untuk menuntut balas. Tapi sejak peristiwa itu, sepasang muda mudi itu juga terus menghilang jejaknya, meskipun sudah beberapa orang anak buah Kim-hoan-kau menyelundup kedalam perbatasan untuk menyelidiki, semua kembali dengan nihil. Seolah-olah kedua pendekar muda itu sudah mengasingkan diri atau mungkin juga sudah meninggal dunia. Dengan bekal sepasang pedang pusaka yang ditinggalkan oleh sepasang pendekar muda mudi itu, selalu Nisi hujin membekal diatas tubuhnya untuk melatih semua anak buahnya, dalam waktu singkat saja ilmu silat mereka maju pesat sekali. Disamping itu tidak lupa ia tetap mengutus para penyelidiknya menyelundup kedalam perbatasan untuk menyirapi segala kemungkinan yang harus dicurigai. Sebentar saja lima tahun telah silam, wanita bercita-cita tinggi dan berpambek besar ini masih kuat menahan kesabaran dirinya, besar harapannya bahwa sang suami masih belum meninggal dunia dan ada kemungkinan dapat pulang kembali. Kim-hoan-kau akan bersemi lebih subur dan mengembangkan sayapnya lebih lebar, dan yang terpenting adalah menuntut balas kepada sepasang pendekar muda mudi itu. Lima tahun lamanya, bukan saja kabar berita Lo Liong tidak terdengar, sepasang pendekar muda mudi itu juga telah menghilang jejaknya. Sementara itu, kekuatan Kim-hoan-kau di alas pegunungan Tiang-pek-san tiap hari bertambah kuat dan segar kembali. Ketenaran nama Nisi Hujin mulai tersebar dan menggetarkan dunia persilatan. Terbalik dari maksud Nisi Hujin semula, dia berharap dengan ketenaran namanya serta bangunnya kembali Kim-hoan-kau ini akan memancing keluar kedua musuh besarnya itu, maka mulai dia mengencerkan belenggu atau disiplin perkumpulannya, keruan secepat jamur menjalar dimusim semi, Kim-hoan-kau telah melebarkan sayapnya ke dalam perbatasannya, para tokoh-tokoh silat dari daerah Tiong-goan juga sudah mendengar selentingan kabar ini. Lima belas tahun yang lalu nilai atau mutu kepandaian silat tokoh-tokoh di daerah Tionggoan ini rada mundur dan rendah, mereka yang benar-benar lihay rata2 pergi mengasingkan diri dan tidak mau mencampuri urusan dunia lagi. Oleh karena itu, Kim-hoan-kau yang dipimpin Nisi Hujin ini semakin mendapat angin, sebaliknya kalangan persilatan Tionggoan semakin kuncup dan segan mendengar bahwa kepandaian Nisi Hujin katanya bagaimana lihay dan ganas, tiada seorangpun yang berani menempuh bahaya atau mempelopori memimpin tokoh-tokoh silat kenamaan untuk menumpasnya. Semakin hari nama kebesaran Nisi Hujin bagai geledek di siang hari bolong, keganasan dan kekejaman anak buahnya juga semakin menjadi-jadi. Dari kabar mulut ke mulut ini dikatakan betapa hebat dan tinggi kepandaian Nisi Hujin itu, sampai akhirnya menimbulkan minat Thio Thian-ki untuk belajar kenal. Begitulah bersama To Yung, Thio Thian-ki dapat menyelundup ke daerah Tiang-pek-san mengandal ilmu rias To Yung itu, mereka menyamar sebagai anak buah Kim-hoan-kau. Secara kebetulan kedatangan mereka hari itu adalah pembukaan hari raya, semua anak buahnya berbondong-bondong berkumpul di depan berhala besar untuk menyembah kewibawaan Nisi Hujin. Thian-ki juga ikut bergerombol diantara orang banyak, dilihatnya betapa cantik rupawan Nisi Hujin itu, merupakan perempuan yang paling cantik yang pernah dilihatnya selama ini. Justru kelemahan Thian-ki adalah suka iseng dan bangor, begitu melihat Nisi Hujin ini serasa seluruh tulang-ulangnya copot semua badannya menjadi lemas seperti hampir lumer, kedua matanya terlongong-longong memandang kearah Nisi Hujin, kedua kakinya itu seperti terpaku diatas tanah tak mau tinggal pergi. Melihat sikap linglung kawannya ini segera To Yung menyeretnya pergi. Sesampai di tempat sunyi, Thian-ki bilang bahwa hatinya sekarang telah terpincut benar kepada Nisi Hujin itu, betapa juga aku harus dapat memetiknya sebagai istri. To Yung sendiri juga memaklumi akan watak Thian-ki, sesuatu barang yang hendak dijamahnya bagaimana juga harus dapat dilaksanakan. Hanya sekarang mereka menghadapi Nisi Hujin yang kenamaan dan agung, apakah sedemikian gampang dapat terlaksana? Untuk beberapa hari lamanya, Thian-ki menjadi lesu dan tiada selera makan minum serta tak dapat tidur, sepanjang hari bertopang dagu melamun, sampai badan menjadi kurus. Sementara itu, To Yung terus menyamar menjadi umat Kim-hoan-kau itu, hari demi hari semakin luas pergaulannya sampai para pengiring dan pelindung terpercaya dari Nisi Hujin juga sudah dikenalnya dengan baik, dari mulut mereka ia menyirapi dan mencari tahu tentang segala keadaan hidupnya sehari-hari. Akhirnya diketahui bahwa sejak lima tahun yang lalu setelah suaminya terluka dan diculik pergi oleh musuh, hatinya menjadi keras dan teguh dalam tindak tanduknya. Keadaan hidupnya sehari-hari juga sangat sederhana dan keras dalam disiplin, meskipun usianya masih muda tapi dia seorang perempuan lurus dan teguh imannya tidak pernah bertindak nyeleweng sebagai perempuan cabul umumnya, sekian tahun sudah dia dapat mensucikan diri, titik kelemahan inilah yang tengah diincar tapi ternyata kurang tepat untuk dapat melaksanakan rencananya. Dasar To Yung ini berpikiran panjang dan otaknya encer, akhirnya terpikirkan olehnya suatu tipu muslihat yang rada keji tapi juga harus menempuh bahaya dengan segala risiko yang besar. Yaitu dia mengubah wajah dan bentuk Thio Thian-ki menjadi Kim-hoan Kaucu Lo Liong yang telah hilang itu, Lo Liong pulang dari rantau untuk berkumpul kembali dengan Nisi Hujin. Maka mulailah To Yung mempersiapkan segala pekerjaan, dari berbagai tempat dan mulut-mulut anak buah Kim-hoan-kau yang berusia agak lanjut dia mencari bahan-bahan yang diperlukan mengenai riwayat hidup Lo Liong serta Nisi Hujin, hobby serta kesenangan hidup mereka berdua, bagaimana cara Kim-hoan-kau bangkit kembali, serta undang-undang dan peraturan Kim-hoan-kau, sampai siapa-apa yang menjadi sanak famili Lo Liong, anak buah kepercayaannya serta segala tetek bengek yang terkecil juga telah dicari tahu. Lalu secara tekun dia membantu Thian-ki untuk mengingat dan mengapalkan diluar kepala. Maka mulailah To Yung merias Thian-ki menjadi Lo Liong mencontoh gambarnya semasa hidup. Kira-kira satu setengah bulan kemudian baru segala persiapan rencana ini dapat terlaksana. Kini Thian-ki sudah berganti rupa persis benar dengan bentuk dan rupa Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong semasa hidup dulu. Setelah Thian-ki meninggalkan daerah Tiang-pek-san, beberapa hari kemudian To Yung mulai menyebar kabar angin didaerah kekuasaan Kim-hoan-kau itu. Dikatakan bahwa Kaucu ternyata belum meninggal dunia sejak tertawan dulu. Sekarang sudah terdengar kabarnya di dalam perbatasan bahwa dia orang tua tengah menuju kemari pulang ke markas besar. Hanya selama beberapa tahun ini disekap oleh pendekar muda itu dialas pegunungan yang sunyi serta mendapat siksaan yang berat, sehingga otaknya sedikit bebal dan lemah urat syaraf, banyak kejadian atau pengalaman yang lampau sudah banyak terlupakan olehnya. Berita ini segera mengemparkan seluruh daerah kekuasaan Kim-hoan-kau itu. Kejut dan girang Nisi Hujin bukan main, segera ia utus rombongan para umatnya untuk pergi menyirapi kebenaran berita ini. Betul juga, tak lama kemudian ia mendapat laporan bahwa Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong sudah ketemu di markas besar lama Kim-hoan-kau dulu yang terletak di sekitar sungai Jong-no. Betapa girang Nisi Hujin sulit dilukiskan dengan kata-kata, cepat-cepat ia pim- pin semua anak buahnya pergi menyambut kedatangan sang Kaucu, waktu memasuki daerah Tiang-pek-san sepanjang jalan semua umat dan pemeluk agama Kim-hoan-kau ini menyambut dengan meriahnya. To Yung juga tercampur baur diantara sekian banyak orang itu. Melihat keadaan dan sikap Thian-ki yang girang-girang linglung seperti orang kehilangan ingatan, diam-diam ia memuji akan permainan sandiwara yang pura-pura ini. Setelah sang Kaucu kembali, betapa besar sayang dan cinta kasih Nisi Hujin terhadap suaminya ini, dengan tekun dan sabar ia layani semua keperluan serta memberikan obat-obatan yang mahal-mahal. Terkabullah angan-angan Thio Thian-ki, hidup dalam kesenangan dan pelukan perempuan ayu nan jelita, ia nikmati segala kemewahan dan hidup bahagia. Dengan kedudukannya sebagai Kaucu mudah saja ia memilih sepuluh orang sebagai pengawal pribadinya. To Yung adalah kepala pimpinan sepuluh orang itu. Setiap saat ia selalu mendampingi di samping Kaucu palsu ini, setiap kesempatan digunakan untuk berunding dan mengatur rencana dan tipu daya. Mimpi juga Nisi Hujin tidak menyangka akan tipu muslihat yang jahat dan keji ini, dia anggap bahwa Thio Thian-ki adalah suaminya dulu yang tulen, sedikitpun ia tidak sadar bahwa dirinya sudah terjebak kedalam pelukan pemuda bangor dan cabul ini. Mendapat pelayanan yang luar biasa dan hidup dalam kesenangan yang berlimpah-limpah ini Thian-ki menjadi lupa daratan, sudah berulang kali To Yung membujuknya untuk kembali ke selatan, namun Thian-ki berkukuh tidak mau. Apa boleh buat, To Yung kuatir kalau Kim-hoan Kaucu tulen benar-benar belum mati dan kebetulan kembali, tulen dan palsu segera akan konangan, saat itu untuk lari juga tidak mungkin lagi. Maka wanti-wanti ia berpesan kepada Thian-ki untuk selalu waspada dan hati-hati. Seorang diri lantas ia sering keluar mencari dan menyelidik, besar harapannya bisa mendapat kabar akan jejak Lo Liong itu, supaya segera dapat membunuhnya untuk menutup mulutnya. Dalam pencariannya itu secara kebetulan ia sampai di daerah sekitar markas besar lama Kim-hoan-kau yang terletak di hulu sungai Jong-ho itu. Dimana ditemui Kim-hoan-kau Kaucu Lo Liong yang tulen benar-benar telah pulang. Hanya orang ini cacad sebuah kakinya, wajahnya juga sudah terbakar hangus sangat jelek rupa, para anak buahnya disekte selatan sini sudah tidak kenal lagi pada ketuanya yang lama ini, dianggapnya dia seorang jahat dan gila pikiran, berani memalsu dan mengakui sebagai suami Nisi Hujin. Ini benar-benar suatu penghinaan besar, tanpa banyak cingcong lagi, beramai-ramai mereka meringkus dan membelenggunya siap hendak dikirim ke Tiang-pek-san dan diserahkan langsung kepada Kaucu untuk dijatuhi hukuman yang setimpal. Kedatangan To Yung tepat pada saatnya, diam-diam ia bersyukur dalam hati. Malam-malam waktu para penjaga kurang siaga dengan kepandaiannya yang lihay itu, ia tolong keluar orang itu. Pura-pura menjadi seorang pendekar kelana yang suka menolong yang lemah. Keruan orang itu girang bukan main, saking terima kasih segera ia menutur semua peristiwa yang telah dialami sekian tahun ini kepada To Yung. Sejak tertawan oleh pendekar muda dulu ternyata Lo Liong dikurung dalam sebuah gua diatas sebuah puncak yang terletak diperbatasan Sucwan. Dua ekor burung bangau besar selalu menjaga di luar gua memberi makan dan minum serta mengawasi segala gerak geriknya. Begitu hari demi hari dilewatkan dengan perasaan sunyi diatas puncak pegunungan, lambat laun lukanya mulai sembuh, hanya luka di paha kirinya oleh tabasan pedang itu sangat parah, mekipun sang bangau telah menyarikan daun-daun dan rumput obat-obatan, tapi hasilnya nihil, malah daging sekitar lukanya itu membusuk dan merambat semakin besar, bangau besar itu pula yang mencucuki daging yang sudah membusuk itu sampai kelihatan tulang putihnya, dan karena tiada harapan sembuh lantas pahanya itu dipotong dan cacatlah kakinya untuk selama-lamanya. Setelah dia biasa menggunakan tongkat, terasa juga bahwa Lwekangnya sudah mulai pulih seperti sedia kala, diam-diam ia mencari daya untuk melarikan diri. Tapi penjagaan kedua bangau besar itu sangat ketat, belum pernah Lo Liong diberi kesempatan untuk bergerak secara bebas. Tenaganya juga besar luar biasa, terbangnya juga pesat sekali, tahu dia bahwa betapapun dirinya bukan tandingan kedua burung besar ini, maka sekian lama dia tidak berani menempuh bahaya. Lima tahun kemudian terjadi pada suatu hari cerah, dari dalam gua kediamannya Lo Liong melihat kedua bangau itu tengah bercanda gurau ditengah udara, mendadak dilihatnya dari arah langit sebelah barat sana terbang mendatangi seekor bangau yang lebih besar lagi, begitu melihat bangau yang mendatangi ini, kedua ekor bangau itu seakan-akan ketemu dengan sanak familinya, bercewotan dan memekik-mekik dengan riangnya terus terbang menyambut. Kedatangan bangau besar itu agaknya menyampaikan berita apa, sekian lama ketiga ekor itu berkaok-kaok seperti sedang bicara, lalu hinggap diatas tanah terus bergulingan dan berloncatan dipuncak pegunungan batu cadas sehingga bulu-bulunya brodol dan badannya penuh luka-luka. Agaknya mereka mendapat suatu kabar jelek apa, saking duka dan sedih lantas mereka menyiksa diri dengan melukai seluruh badan sendiri. Lo Liong membatin dalam gua, mungkin bangau besar itu datang membawa kabar bahwa majikan muda mereka itu telah wafat, maka ketiganya menjadi berduka begitu rupa, ternyata benar juga dugaannya, tak lama kemudian ketiganya lantas terbang tinggi ketengah udara sambil berpekik panjang terus terjun keras meluncurkan tubuhnya menumbuk batu-batu gunung untuk bunuh diri. Meskipun sejak saat itu Lo Liong mendapatkan kebebasannya, tapi serta melihat betapa gagah perwiranya ketiga ekor binatang itu, hatinya kebat kebit dan terpesona sekian lama, timbul rasa kagum dan sayang dalam hatinya, seketika hilang perasaan dengki dan benci terhadap kedua ekor bangau yang selama lima tahun ini sedemikian ketat menyiksa dirinya, lalu dia meronta dan berusaha turun gunung untuk pulang keluar perbatasan. Karena kekurangan sangu dan kakinya cacat lagi, maka keadaannya sangat mengenaskan, sepanjang jalan dia minta-minta dan kenyang menderita, setelah susah payah akhirnya sampai juga diluar perbatasan. Siang berganti malam, malam berganti pagi, tiada sesuatu yang abadi dalam dunia ini. Selama lima tahun keadaan dimana-mana sudah banyak berobah. Sesampainya dihulu sungai Jongho ternyata bahwa markas besar Kim-hoan-kau telah berpindah tempat, anak buahnya yang menjaga tempat lama ini juga sudah tidak mengenal Ketua lamanya lagi. Malah secara semena-mena menuduh dan menghinanya sedemikian rupa. Setelah mendengar ceritanya yang panjang lebar ini, diam-diam To Yung juga merasa kagum dan salut dalam hati, kebesaran tekad dan keteguhan hati orang ini susah dicari bandingannya. Tapi betapapun juga demi keselamatan Thian-ki, terpaksa dia harus turun tangan membunuhnya. Maka To Yung pura-pura merasa simpatik dan kasihan, dengan rela hati dia menyanggupi untuk melindungi dan mengantarnya ke pegunungan Tiang-pek-san. Lo Liong sangat berterima kasih, dianggapnya To Yung sebagai sahabat kekal dalam rantau yang penuh derita dan siksaan Ditengah jalan terpaksa To Yung menguatkan hati turun tangan, dia suguhkan secawan arak yang telah dicampuri obat yang dapat membuat kehilangan kesadaran dan menjadi gila, dilihatnya Kim-hoan Kaucu Lo Liong menghabiskan secawan arak itu, secepat arak obat itu bekerja kontan dia jatuh pingsan. Karena menyesal dan terketuk hatinya sebelum tinggal pergi To Yung tinggalkan uang perak disampingnya, terus langsung kembali ke Tiang-pek-san. Secara rahasia ia beritahukan pengalaman ini terhadap Thian-ki, dibujuknya Thian-ki supaya segera mencari alasan untuk meninggalkan tempat itu. Tapi Thian-ki benar-benar sudah terpincut pada Nisi Hujin dan mabuk kesenangan mana mau dia pergi begitu saja meninggalkan kesenangan hidup yang berlimpah-limpah ini. Apalagi diketahui bahwa Kaucu yang asli kini telah dicekoki arak beracun dan menjadi gila, lebih besar dan lega hatinya, diutarakan bahwa dia akan terus hidup di Tiang-pek-san ini tanpa kembali lagi ke Sam-no Thio-keh-ceng. Begitulah tahu-tahu setengah bulan telah berlalu tak terasa sejak kedatangan mereka tempo hari, hitung-hitung mereka sudah selama setengah tahun berada di pe- gunungan Tiang-pek-san itu. Sejak meracuni Lo Liong sehingga menjadi gila, hidup To Yung menjadi kurang tentram, selalu terasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Hari itu Thian-ki mengusulkan supaya beramai-ramai mereka pergi berburu binatang, Nisi Hujin sangat penurut terhadap segala permintaan suaminya ini, segera ia perintahkan anak buahnya mempersiapkan segala keperluan. Tak lama kemudian rombongan mereka sudah berderap langkah ditengah pegunungan yang hijau permai. Segera anak buah Kim-hoan-kau disebar keempat penjuru lalu menabuh gembreng dan memukul tambur untuk mengejutkan binatang dalam hutan. Sekonyong-konyong dari semak belukar sebelah dalam hutan sana menggelundungi suatu benda. Thian-ki sudah pentang busur hendak memanah. Tapi pandangan Nisi Hujin lebih tajam, buru-buru ia berseru mencegah. "Tahan, itu manusia!" Semua orang terkejut dan menatap tegas, memang yang menggelundung keluar itu adalah orang yang berjambang baut lebat dengan rambut awut-awutan, pakaiannya compang-camping kotor dan kumal, sebelah kakinya cacat lagi, badannya penuh luka-luka lecet dan bekas-bekas gigitan yang masih merembeskan darah. Terlihat orang itu merangkak bangun dan berdiri tegak ditengah hutan, sepasang matanya mendelong mengawasi wajah Nisi Hujin. Sekali pandang saja lantas To Yung bercekat hatinya, jantungnya serasa hendak meloncat keluar karena manusia seperti setan ini bukan lain adalah Kim-hoan Kaucu asli Lo Liong adanya. Sudah tiada kesempatan untuk berpikir panjang lagi, cepat-cepat To Yung merogoh keluar segenggam senjata rahasia berbisa, belum sempat ia taburkan senjatanya, terdengar Lo Liang berteriak sambil mendelik. "Siau Yan, Siau Yan!" Lalu terlihat tubuhnya tersendat kebelakang kena sambitan sebatang senjata rahasia kecil lembut, meskipun hanya bertonggak diatas sebelah kakinya saja Lo Liong masih kuat dan berusaha tetap berdiri, mulutnya tertutup kencang sampai bibirnya tergigit pecah dan mengeluarkan darah, agaknya tengah menahan kesakitan yang tak terhingga. Sekonyong-konyong Nisi Hujin berteriak nyaring. "Pohon beringin berdiri tegak !" Disebelah sana Lo Liong segera menyambut. "Burung betet mengeluh sedih!'' To Yung dan Thian-ki sudah berfirasat akan situasi yang tidak menguntungkan ini. To Yung insaf bahwa mereka telah saling mengenal menggunakan sandi kata-kata rahasia hubungan mereka sebagai suami istri dulu, saking gugup, baru saja ia hendak turun tangan membunuh Lo Liong itu, keburu terdengar Lo Liong sudah menggembor keras terus menyemburkan darah segar, badannya juga lantas terbanting keras. Sedang Nisi Hujin berdiri termangu, wajahnya membeku pucat tanpa ekspresi. Berdetak keras jantung Thian-ki dan To Yung, diam-diam mereka mengeluh dalam hati. Tiba-tiba dilihatnya kedua mata Nisi Hujin berputar, wajahnya yang pucat itu segera pulih lagi berseri girang, lalu sambil mengulum senyum ia perintahkan anak buahnya mengurus baik-baik jenazah orang ini, serta digeledah kantong bajunya, kalau ada sesuatu barang harus segera dipersembahkan. Sampai detik itu baru To Yung merasa lega, pikirnya betapapun cerdiknya juga sudah terlambat satu tindak dibelakangku, segala benda atau barang milik Lo Liong itu sudah kukuras isinya, sekarang dia telah mati, bagaimana juga sukar dapat membuktikan bahwa dia adalah Kim-hoan Kaucu yang asli. Setelah kembali, diam-diam Thian-ki menambah kewaspadaan. Malam itu sebelum tidur seperti biasanya Nisi Hujin duduk berhadapan sambil minum-minum dan ngobrol panjang lebar. Tapi keadaan malam ini berlainan, sedikitpun Thian-ki tak berani lalai dan ceroboh, setetes arakpun dia tidak minum. Sikap dan tingkah laku Nisi Hujin seperti biasa mengerjakan segala keperluan Thian-ki. Setelah agak larut malam Thian-ki bersiap-siap hendak tidur, diam-diam ia memaki diri sendiri terlalu tegang dan banyak syak-wasangka. Karena hatinya merasa was-was dan kuatir meski sudah rebah diatas ranjang tapi dia tidak bisa pulas, namun dia pura-pura sudah tidur nyenyak untuk menanti dan berjaga-jaga. Tampak dengan kalemnya Nisi Hujin menurunkan sanggulnya lalu sambil membekal tusuk kundenya itu dia menghampiri kepinggir ranjang terus duduk dipinggiran, panggilnya lirih. Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo