Ceritasilat Novel Online

Tugas Rahasia 5


Tugas Rahasia Karya Gan KH Bagian 5


Tugas Rahasia Karya dari Gan K H   Perkataan Gin-koh mengingatkan sesuatu dalam benak Cia Thian, seketika dia menjerit keras, secara kekerasan dia memutar balik hawa murni sendiri hingga tubuhnya seperti terpelanting diudara, sebelum tubuhnya bertubrukan dengan Gin-koh tubuhnya sudah anjlok kebawah, dari sini dapatlah dinilai betapa tinggi Lwekang Cia Thian, namun dia terburu nafsu hingga daya putar balik hawa murninya teramat cepat, maka dia dipihak yang dirugikan, maka tubuhnya yang anjlok kebawah itu sudah tidak terkendali lagi.   "Blam"   Tubuhnya jatuh di atas meja besar hingga meja itu tertindih bolong, begitu tubuhnya ambruk dibawah meja terdengar pula suara retakan keras, jubin marmar di pendopo itu pecah berantakan tertindih badannya.   Sungguh bukan kepalang amarah Cia Thian, kedua tangan bekerja, meja besar itu dipukulnya hancur berantakan, sigap sekali dia sudah berdiri pula.   Namun saat itu cahaya perak berkelebat, dilihatnya Gin-koh sudah melayang keluar, di saat tubuhnya terapung diudara terdengar Gin-koh seperti menyesali diri sendiri, katanya .   ,,Ai, kiranya aku ini perempuan yang tidak terpandang di mata kaum lelaki."   Seperti Thi jan Lojin waktu pergi tadi, setelah berakhir ucapannya, bayanganyapun sudah jauh diluar perkampungan.   Cia Thian masih ingin mengejar, namun darah mendadak terasa mendidih, karuan kagetnya bukan main, lekas dia duduk bersimpuh mengendorkan urat syaraf dan menyalurkan hawa murni, cukup sejam lamanya baru dia membuka mata dan berdiri.   / Dia tahu umpama dirinya sempat mengejar tadi juga takkan bisa menyandak Thi-jan Lojin dan Gin-koh, apalagi sekarang ? Namun terpikir olehnya, sia-sia diri nya menjagoi dunia persilatan sekian puluh tahun, hanya kedatangan dua tamu, rumahnya sudah dibikin porak poranda, lebih celaka lagi, putra tunggalnya juga diculik orang makin dipikir makin marah dan penasaran hingga sekujur badan gemetar.   Pada saat itulah dilihatnya Nyo Cu-so berlari datang dari luar, kepandaian Nyo Cu-so cukup tangguh, namun napasnya ternyata ngosngosan, wajahnya pucat, cukup lama dia harus mengatur napas, namun masih belum bisa bicara.   Kalau dibanding keadaan C ia Thian masih lebih tenang malah, tanyanya .   "Kenapa ?"   Nyo Cu-so menyengir getir, katanya . ,,Aku mengudak mereka, jikalau Gin-koh tidak memberi kelonggaran, pasti aku tidak bisa pulang."   Kejadian terlalu singkat dan menegangkan hingga Cia Thian tidak tahu, kapan Nyo Cu-so mengejar keluar, maka dia hanya menyengir getir saja.   Nyo Cu-so berkata .   , Gin-koh titip pesan, bahwa perjodohan Sau-cengcu kelihatannya ganjil dan tidak masuk akal, tapi kelak dia berani tanggung cengcu dan Sau cengcu pasti menyatakan akur dan setuju, berterima kasih kepada mereka yang menjadi comblang."   Badan Cia Thian masih gemetar, setelah menghela napas, kepalanya menengadah dan merdelong, sepatah katapun tak terucapkan.   Waktu Cia Thian melambung diudara hendak mengejar Thi-jan Lojin tadi, tahu-tahu Gin-koh juga mencegatnya diudara, di saat badan mereka hampir bertumbukan itulah, Gin-koh memperingatkan kepadanya, maka Cia Thian lantas menjatuhkan diri ke bawah.   Soalnya Gin-koh pernah menyatakan secara terbuka dihadapan umum.   lelaki siapanun tidak pandang bulu, asal dia lelaki tulen, kecuali kaki dan / tangannya, bila berani menyentuh anggota tubuhnya yang lain, maka lelaki iiu harus mempersunting dirinya sebagai bini, kalau menolak maka dia harus mati di bawah tangannya.   Gin-koh juga seorang cantik molek, apa lagi dua puluhan tahun yang lalu, terhitung gadis cantik nomor satu, lelaki mana tidak senang mempersunting isteri cantik ? Tapi meski kecantikan Gin-koh tersiar luas, namun kekejamannya juga menggetar nyali setiap lelaki, pada hal setiap lelaki normal siapa tidak tergila-gila kepadanya, namun mengingat tangannya yang gapah dan hatinya yang kejam, mereka terima membujang seumur hidup dari pada kawin denan perempuan berbisa ini.   Oleh karena itu meski usianya sekarang sudah hampir setengah abad dia masih tetap perawan, selama dua puluhan tahun lebih, tiada seorang lelaki pun yang berani menjamah badannya.   Dari omelan G.n- koh waktu dia tinggal pergi tadi, kedengaran suaranya sedih dan rawan, jelas sikapnya itu bukan dibuat-buat.   namun keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.   Cia Thian masih terlongong ditempatnya, Nyo Cu-so mendekati dan berbisik.,,Cengcu, kejadian ini berlangsung didalam kampung, orang luar pasti tiada yang tahu."   Cia Thian menghela napas rawan serta tertawa getir, Nyo Cu so berkata pula."Ceng-cu, meski kelakuan Gin-koh dan Thi-jan Lo-jin terlalu sembrono, namun maksudnva ku kira juga baik tujuannya memang hendak merangkap jodoh San cengcu.   Bukan mustahil Sau-cengcu memang bakal ketiban rejeki."   Cia Thian menghela napas panjang, katanya menunduk."Cu-so, tahukah kau selama mengembara, pernahkah dia melakukan sesuatu yang mendatangkan bencana?' / Nyo Cu-so melengak, katanya.,.Mungkin dia melakukan kesalahan terhadap nona lihay dari keluarga mana, maka pihak mereka tidak memberi kelonggaran padanya?"   "Bukan"Cia Thian menggeleng. Dia.sampai disini dia merendahkan suara dan mau meneruskan perkataannya, tapi mulut yang terbuka tetap melompong, karena mendadak dia melihat dalam pendopo ini kecuali dirinya dan Nyo Cu-so ternyata betambah satu orang lagi. Melihat orang asing di dalam pendopo ini sungguh kejut Cia Thian bukan kepalang kejutnya jauh lebih besar di banding rasa-kagetnya waktu melihat Thi-jan Lojin membawa lari anaknya. Karena sejak kapan orang tak dikena! ini masuk ke-rumahnya, ternyata sedikitpun dia tidak tahu. Padahal dengan bekal Lwekangnya sekarang, meski sedang bicara dengan Nyo Cu-so pikiranpun tidak tenang, tapi betapapun bila ada orang datang memasuki pendopo, meski dia masuk dari belakangnya juga akan diketahui. Dan sekarang kenyataan orang ini sudah berdiri didepannya, baru dilihatnya, padahal kapan orang tiba dirinya tidak tahu jikalau kejadiaa tidak disiang hari bolong, mungkin dia bisa berprasangka dirinya melihat setan Karena Cia Thian menghentikan ucapannya, Nyo Cu-so segera merasakan sesuatu yang ganjil, lekas dia putar badan, melihat orang, seketika diapun terbelalak kaget. Orang itu berdiri tegak dan kaku. pakaiannya perlente, usianya amat muda, wajahnya pucat, hampir mirip orang yang mengapur mukanya sendiri, sorot matanya memancarkan cahaya dingin, dingin dan kaku mengawasi Cia Thian. Setelah lenyap kagetnya Cia Thian mem-bentak;"Siapakau tuan?"   Perlahan pemuda itu berkaia."Mana Sau-cengcu Cialng kiat? Aku ingin bertemu dengan dia."   Cia Thian amat gusar, bentaknya bengis.   "Jadi kau juga mencari dia, sayang sudah terlambat, dia diculik orang." / Berdiri alis pemuda itu. tanyanya mendelik."Diculik siapa? * ,,Gin-koh dan Thi jan Lo jin, jikalau kau bisa mencarinya, akupun akan berterima kasih kepadamu"   Tetap kaku sikap pemuda itu, katanya.   "Baiklah, ada beberapa persoalan ingin kutanya kepadamu, kurasa sama saja dari pada katanya dia."   Terbeliak mata Cia Thian, otaknya menimang bagaimana dirinya harus melayani pemuda misterius yang mendadak muncul ini, sebelum dia balas bertanya, pemuda itu sudah berkata pula., Apakah Cia Ing-kiat pernah belajar sesuatu kepada Sip-loyacu?"   "Kalau benar memangnya kenapa?"   Tanya Cia Thian.   "Bagus sekali,'' ucap pemuda itu "diapun pernah belajar di Toa-ceng bun dengan tujuh puluh dua perobahan itu, betul tidak?'' Baru sekarang C.a Thia merasakan urusan agak gawat, seketika berobah air mukanya, sesaat dia bungkam, pemuda itu sudah berkata pula."Betullah kalau begitu, dialah, yang sedang kucari, aku pasti dapat menemu kan dia."   Lalu dia berputar hendak beranjak keluar. Lekas Cia Thian bertanya "Siapakah nama tuan. ada keperluan apa kau mencari putraku?"   Pemuda itu tidak hiraukan pertanyaannya karuan membawa marah Cia Thian hanya berselang beberapa kejap belaka, kejadian berlangsung beruntun, perkampungannya yang angker disegani orang beruntun didatangi orang, pergi datang seenak udelnya sendiri, betapa dia kuat menahan emosi? Baru dua langkah pemuda itu beranjak, cia Thian sudah menghardik sambil memburu dua langkah lebar, tangannya terulur mencengkram pundak si pemuda.   Pemuda ini muncul secara mendadak di luar tahunya lagi, untuk mencengkram pundaknya jelas bukan sepele, maka / cengkramannya dilandasi delapan bagian tenaganya, tak nyana begitu, tangan diturunkan, jari-jari nya berhasil menangkap pundak orang.   "Berhenti."   Segera dia menghardik.   Ternyata pemuda itu berhenti, pelan-pelan menoleh.   Cia Thian dibelakangnya, jarak nya dekat, begitu pemuda ini menoleh dilihatnya kulit mukanya dingin, hampir menyerupai wajah mayat hidup yang sudah sekian tahun, terkubur diliang lahat.   Sekarang baru Cii Thian insaf dan menyesal, kenapa tentang putranya diculik Thi-jan Lojin dan Gin-koh dia terangkan kepada pemuda ini.   Jikalau peristiwa ini sampai tersiar diluar, nama besar Hwi liong-ceng selamanya akan tersapu dari percaturan dunia persilatan.Kini setelah dia mencengkram pundak si pemuda sudah timbul keinginannya untuk menahan pemuda ini secara kekerasan namun sebagai kawakan Kangouw, dia punya jiwa besar dan pandangan obyektif, begitu orang menoleh segera dia lepas tangan dan bertanya dengan keren.   "Tuan siapa?"   Pemuda itu balas menatap dingin tanpa bersuara namun sikapnya sudah jelas bahwa dia tidak sudi menjawab pertanyaan Cia Thian, malah segera membalik badan beranjak pergi pula.   Karuan tak tertahan lagi amarah Cia Thian, lekas dia mencengkram pula kepundak orang.   Cia Thian memiliki pengalaman luas dan pandangan tajam, dia tahu pemuda ini pasti memiliki Ginkang tinggi, begitu tangannya mencengkram pundak, orang pasti akan mencelat maju kedepan, maka sambil mencengkram dia sudah siap mengerahkan tenaga, bila (awan bergerak segera dia hendak membuntuti dibelakangnya.   Dugaannya memang tidak meleset, baru saja tandannya beigerak, tubuh si pemuda masih tegak dan bergerak, namun kakinya seperti meluncur dipermukaan salju dengan sky, betapa cepat gerakannya sungguh susah dibayangkan.   Bahwa dugaannya tepat Cia Thian bersorak girang dalam hati, sambil / menggerung segera dia menjejak kaki mengudak kencang.   Pemuda i tu beruntun melangkah sejauh lima kaki, mendadak berhenti.   Padahal daya luncuran tubuhnya cepat luar biasa, kini mendadak mengerem diri, Cia Thian mengudak dengan bernafsu, namun dengan bekal Lwekangnya sekarang untuk menghentikan gerakannya masih sempat dan mampu.   Saya meski tahu Gin-kang pemuda ini tinggi tapi dia tetap meremehkan pemuda ini, melihat lawan mendadak berhenti, bukan saja dia tidak segera berhenti malah menambah tenaga, tubuhnya terus menumbuk kebadan pemuda itu..Cia Thian beranggapan dengan terjangan kekuatannya yang dahsyat ini, paling sedikit pemuda ini akan terlempar beberapa tombak kedepan, jikalau Lwekangnya lemah, kemungkinan bisa terluka dalam yang cukup gawat, biarlah diberi haja an lebih dulu, baru nanti diobati dan ditanya asal-usulnya.   Pada hal jarak hanya dua kaki, kejadianpun berlangsung amat cepat, maka terdengarlah "Buk,"   Cukup nyaring, Cia Thian sudah menumbuk pemuda itu.   Tanpa kuasa ternyata Cia Thian mengeluarkan jeritan, tubuhnya memang menumbuk si pemuda, tapi tubuhnya seperti menumbuk dinding baja yang kokoh saja, celakanya dari tubuh lawan timbul segulung tenaga besar yang meretul (membalikkan) tenaga tumbukannya sehingga badannya seperti dipukul godam, kejadian sudah kebacut ingin menarik diri juga sudab tidak sempat lagi.   Sambil menjerit ngeri.mulutnya yang terpentang itu menyemburkan sekumur darah segar, jelas kelihaian semburan darahnya itu pasti menyemprot ditubuh si pemuda, namun sedetik sebelumnya, ternyata tubuh si pemuda telah bergerak kedepan pula.   gerakannya ternyata lebih cepat dari semburan darah, padahal semburan darah Cia Thiau mencapai satu tombak lebih biru tercecer diatas tanah, namun bayangan si pemuda sudah tidak kelihatan.   Setelah menyemburkan / darah, badan Cia Thian terhuyung tiga langkah baru sekuatnya berdiri.   Lekas Nyo Cu-so memburu maju memapaknya, pandangannya penuh rasa kaget dan panik.   Cia Thian sendiri merasakan hawa murni dalam tubuhnya mulai luber atau buyar, seperti kuda pingitan yang terlepas, menerjang kian kemari diseluruh badan, setiap mencapai urat nadi, terasa tenaganya semakin lemah.   Inilah pertanda paling bahaya bagi setiap insan persilatan, keringat sederas hujan, sekuatnya dia meronta dan melontarkan beberapa patah kata .   .Aku sudah tidak kuat lagi "   Nyo Cu-so juga menyaksikan apa yang terjadi, betapa tinggi Lwekang pemuda itu, sungguh susah dibayangkan, karuan Nyo Cu-so berdiri menjublek.   Kini mendengar Cia Thian menyatakan tidak kuat.   karuan kagetnya bukan main, lekas dia tutuk Ling-tai-hiat dipinggang Cia Thian- Namun hawa murni latihan Cia Thian sekian puluh tahun sudah kebacut buyar, Lwekang Nyo Cu-so juga kalah setingkat, begitu dia menekan Ling-tai-hiat.   telapak tangannya seketika tergetar pergi oleh terjangan arus besar sehingga tulang pergelangan sendiri terkilir.   Sementara badan Cia Thian bergetar makin keras, terdengar dia menjerit ngeri pula, lalu mendesis lirih .   "Habislah sudah.*' Badannya tersungkur tujuh langkah memeluk saka besar, makin lama makin keras gemetar tubuhnya, keringatpun bertetesan, saka menyanggah rumah yang dipeluknya itupun bergoyang, genteng sampai horeg seperti ke erjang gempa. Sementara itu jago-jago Hwi-liong-pang sudah memburu datang, menyaksikan adegan yang menggiriskan ini, semua berdiri menjublek, mata terbeliak, mulut terbuka lidah menjulur keluar. Hanya seorang yang berpikiran agak jernih segera menggembor ;   "Nyo-congkoan, lekas kau berdaya menolongnya." / Nyo Cu-so sudah membetulkan tulang tangannya yang terkilir, saking menahan sakit mukanya tambah pucat, badannyapun gemetar. Melihat keadaan sang Cengcu memang dia tahu bahwa Cia Thian memang sudah diambang kematian. Pada hal betapa tinggi Kungfu Cia Thian dia juga tahu jelas. Setelah menyaksikan kejadian tadi, maka dia pun dapat menilai bahwa Lwekang pemuda tadi sungguh susah diukur. Meski anak buahnya mendesak dan berteriak-teriak, namun Nyo Cu-so sendiri tidak mampu berbuat apa-apa, dia hanya berdiri menjublek. Sementara makin gemetar makin besar tenaga Cia Thian sehingga saka yang di peluknya itu sempal. Sekuatnya dia coba memalingkan muka memandang sekejap kearah orang banyak, jelas dia ingin bicara atau memberi pesan apa-apa, namun kecuali suara krok krok yang keluar dari mulutnya, ternyata dia sudab tidak mampu bicara lagi.   Jilid ke .   4 Keringat dingin sebesar kacang berketes-ketes membasahi sekujur badan dan lantai di bawah kakinya, dalam jangka setengah jam, keringat yang merembes ternyata berwarna merah muda, beberapa saat lagi bukan lagi keringat tapi darah segar yang merembes dari pori-pori badannya.   Badan Cia Thian terus bergetar namun makin lama makin mereda, namun sekujur badan sudah mandi darah, betapa mengerikan keadaannya sungguh susah dibayangkan kejadian hanya berlangsung beberapa kejap, namun keadaan Cia Thian berobah secara drastis, kini tubuhnya sudah tidak gemetar lagi.   Sedikitnya ada seratus orang yang hadir dalam pendopo besar ini, namun semua orang manahan napas, seperti kesurupan setan semua mendelong mengawasi Cia Thian, / setelah Cia Thian melepas pelukannya, badannya lantas tersungkur jatuh, kembali orang banyak menjerit kaget, jeritan yang ngeri namun juga duka cita.   Ditengah jeritan orang banyak itulah Nyo Cu-so memburu maju mendekat, dilihatnya bola mata Cia Thian membundar besar bola mata berdarah, diwaktu terjatuh barusan agaknya Ki-king pat meh seluruh tubuhnya tergetar putus, maka kematiannya begitu mengerikan.   ooo)0(ooo Berita kematian Cia Thian Hwi liong-ceng Cengcu yang mendadak lekas sekali tersiar luas, Cia Thian punya nama dan terpandang dikalangan Kangouw, begitu dia meninggal yang datang melayat sudah tentu amat banyak, semuanya tokoh tokoh kosen persilatan.   Tapi setelah para pelayat itu meninggalkan Hwi liong-ceng semua mendelu dan bertanya-tanya dalam hati.   Pertama, kenapa seluruh penghuni Hwi liong-esng tutup mulut kalau ditanya tentang kematian Cengcu mereka, kejadian seperti amat misterius.   Kedua, putra tunggal Cia Thian, Siau-kim-liong Cia Ing-kiat ternyata tidak pernah kelihatan bayangannya.   Memang demikianlah kejadian didunia persilatan, persoalan yang dirahasiakan, kejadian yang ditutup tutupi oleh pihak yang bersangkutan, justru semakin menimbulkan banyak dugaan yang makin jauh dari kenyataan sebenarnya.   Dalam jangka setengah bulan, tersiar tujuh puluh alasan atas kematian Cia Thian.   lebih separo dari berita yang tersiar itu menyalakan kematian Cia Thian ada sangkut pautnya dengan Gin koh dan Thi-jan Lojin, karena sebelum peristiwa tragis iiu terjadi, kedua orang ini pernah bertandang ke Hwi-liong-ceng.   Jenazah Cia Thian sudah dikebumikan, tamu-tamu sudah pulang, namun warga Hwi-Hong-ceng masih diliputi duka cita.   beberapa hari sudah berselang, namun Cia Ing-kiat putra tunggal Cia Thian ternyata masih belum tahu tentang kematian ayahnya.   / Sejak dia ditutuk Hiat-to dipinggang oleh Thi jan Lojin terus digondol pergi tubuhnya dipanggul diatas pundak terus dibawa melayang keluar, jangan kata meronta berteriakpun tidak mampu, dia hanya sempat mendengar gemboran marah sang ayah, lalu bayangan perak berkelebat, ternyata Gin-koh sudah menyusul di belakang Kecepatan lari Thi jan Lojin memang luar biasa, Cia Ing-kiat yang dipanggul di pundaknya menghadap kebumi, yang terlihat bumi ternyata seperti mundur ke belakang seperti mau menggulung dirinya, sementara bayangan perak dari baju Gin-koh yang kemilau tetap membayangi disebelah belakang.   Hari itu Thi-jan Lojin dan Gin-koh seperti berlomba lari sehari suntuk, hingga hari menjelang petang baru berhenti.   Tempat itu seperti di dalam hutan, di mana sudah menunggu sebuah kereta, ditanah dalam hutan tampak daun-daun pohon bercampur kembang-kembang merah yang rontok bertaburan.   Cia Ing kiat seorang yang suka kelana, suka ngelayap sejak usia masih belasan tahun, dari kembang-kembang merah itu dia tahu bahwa hutan di sini adalah hutan pohon flamboyan, letak hutan ini ada dua ratusan li lebih dari Hwi-liong-ceng.   maka dapatlah dibayangkan kecepatan lari Thi-jan Lojin dalam jangka setengah hari ini, tanpa berhenti memanggul badan lagi.   Setiba dipinggir kereta badan Thi jan Lojin sedikit mengendap sambil miring, tubuh Cia ing-kiat tahu tahu sudah didorong kedalam kabin kereta.   Menyusul didengarnya pintu ditutup, dari pandangan gelap diluar, didapati oleh Cia Ing-kiat keadaan didalam kereta ternyata bercahaya redup dan kalem, waktu dia mendongak, diatas langit-langit kabin kereta ternyata terbagi diempat penjuru masing-masing tiga butir mutiara, jadi jumlah seluruhnya dua belas Ya bing-cu sebesar kelengkeng.   cahaya temaram yang menentramkan perasaan ini dipancarkan dari dua belas mutiara itu.   Sementara kabin kereta ini ternyata dilembari kasur yartg empuk beralaskan kulit binatang yang berbulu tebal, ada bantal lagi, tidur / didalam kabin yang empuk begini memang cukup nyaman dan menyegarkan, tapi keadaan Cia Ing kiat sekarang justru terbalik.   Dalam pada itu kereta terasa bergerak dan kuda mulai berlari.   Selama dipanggul dipundak Thi-jan Lojin dan dibawa lari sepanjang dua ratus Li itu, hati Cia Ing-kiat bukan kepalang gusar dan penasaran, pikirannya timbul tenggelam, tak pernah tentram sampai sekarang perasaannya masih kalut.   Entah di mana kemana dirinya akan dibawa olah Thi-jan Lojin dan Gin-koh.   Tapi sekarang tersimpul dalam benaknya, bahwa tujuannya tentu amat jauh kalau dekat tidak mungkin mereka menyediakan kereta ditempat sejauh ini.   Akhirnya Cia Ing-kiat menyadari keadaan seperti dirinya mau ribut atau banyak pikiran juga percuma.   maka lambat laun keadaan menjadi tenang, Hiat-tonya tertutuk hingga tubuhnya tidak mampu berderak, namun dia masih bebas mencurahkan hawa murni, berulang kali dia kerahkan tenaganya untuk menjebol Hiat-to yang tertutuk.   Beruntun lima hari dia rebah didalam kabin, hakikatnya kereta berkuda ini tidak pernah berhenti, didalam kereta yang tertutup rapat, ada kalanya Cia Ing-kiat mendengar suara percakapan ramai seperti ditengah pasar atau dijalan raya sebuah kota yang penuh sesak, sering juga dia mendengar gemericiknya air mengalir jelas kereta manyebrangi sungai, lapat-lapat terasa oleh Cia Ing-kiat bahwa kereta ini menuju kearah selatan, namun sampai kapan kereta ini baru akan berhenti, susah dia mengetahui.   Hari keenam usahanya ternyata tidak sia-sia, setelah dia mengerahkan hawa murni berulang kali, Hiat-to yang tertutuk lambat laun dijebolnya satu persatu, karuan bati Cia Ing-kiat girang setengah mati, maka dia lebih giat mengerahkan tenaga dan berusaha sekuat tenaga, kira-kira satu jam kemudian seluruh Hiat-to yang tertutuk ditubuhnya sudah berhasil dibebaskan seluruhnya.   Segera Cia-Ing-kiat / menjingkat duduk, tindakan yang di lakukan setelah tubuhnya bisa bergerak bebas adalah ulur tangan mendorong pintu kereta Pintu ternyata tidak dikunci atau digembok dari luar, sekali dorong ternyata terbuka, namun Cia Ing-kiat lekas menutupnya pula.   hanya mengintip dari celah celah yang dibuatnya sedikit, dia tidak mau segera lompat keluar, karena dia tahu tangannya belum pulih seperti sediakala, kaki tangan juga masih pegal setelah tidur tak berkutik sekian hari.   Didapatinya kereta sedang laju ditengah jalan raya besar, sayang jalan ini tidak terawat atau mungkin sudah jarang orang lewat jalan ini sehingga jalan ini ditaburi rumput rumput liar, keadaan di sini sepi, tiada tampak bayangan orang disekitarnya.   Pintu kereta berada disamping, kebetulan dia bisa mengintil kearah depan, maka dilihatnya yang pegang kendali ternyata adalah Thi-jan Lojin seorang saja.   Tampak pula oleh Cia-Ing-kiat empat kuda penarik kereta ternyata semua kuda jempol, kuda pilihan diantara ribuan ekor kuda kuda yang paling baik, bahwa kuda bagus begini dibuat menarik kereta, sungguh harus dibuat sayang.   Senang hati Cia Ing-kiat melihat hanya Thi-jan Lojin yang mengiringi perjalanan dirinya, meski tahu kepandaian sendiri jelas bukan tandingan Thi-jan Lojin, namun satu lawan satu betapapun dirinya masih bisa berusaha mololoskan diri, dari pada pihak sana ketambah seorang Gik-koh pula.   Seteiah menarik nafas dan beristirahat beberapa lamanya, kereta sudah berlari, cukup jauh, kaki tangan juga sudah normal, perlahan dia mendorong pintu bila cukup tubuhnya menyelinap keluar, segera dia melompat jauh keluar, begini badan menyentuh tanah terus menggelundung pula beberapa kali.   Sementara kereta kuda itu masih terus berlari kedepan, hanya sekejap jaraknya sudah delapan tombak lebih, baru / saja Cia Ing-kiat merasa senang, baru saja dia mau melompat berlari, mendadak dilihatnya bayangan perak laksana lembayung meluncur dari atas kereta, bayangan perak seorang laksana seekor burung aneh berputar diudara, meluncur laksana panah menukik miring kearahnya.   betapa pesatnya, baru saja Cia Ing-kiat berdiri, Gin-koh ternyata sudah berdiri didepannya.   Pada saat itu pula didepannya Thi-jan Lojin membentak nyaring seraya menarik tali kekang, keretapun berhenti seketika.   Begitu berdiri tegak dan melihat Gin-koh sudah didepannya, maka dia hanya bisa tertawa getir saja.   Didengarnya Gin koh berkata.   "He kau mau lari menghindari pernikahan ini, ya, tidak boleh, jikalau kau pergi, kami berdua sebagai comblang bagaimana harus memberi pertanggung jawab kepada pihak mempelai perempuan?"   Meski gusar namun Cia Ing-kiat tak bisa berbuat apa-apa, katanya menyengir kecut "Kalau aku bisa lari, betapapun memang lebih baik."   Merdu tawa Gin-koh, katanya "Maklum karena kau belum melihat calon isterimu. Bila kau sudah melihat binimu, kuhajar pantatmu serta mengusirmupun tanggung kau tidak mau pergi"   Tergerak hati Cia Ing-kiat.   Gin-koh dan Thi-jan Lojin adalah jago kosen yang disegani dalam Bulim, bahwa hari ini mereka rela menjalankan tugas sebagai comblang, jikalau pihak yang menyuruh tidak memiliki Kungfu lebih tinggi dari mereka, maka mungkin kedua orang ini sudi melaksanakan tugas rendah ini? Maka segera dia menjengek dingin "Kiranya nama besar kalian hanya kosong belaka, ada juga orang yang kalian takuti."   Terangkat Kedua alis lentik Gin-koh, namun wajahnya masih berseri tawa, katanya.   "Anak bagus, sekarang Jangan / kau memancing amarahku, lekas naik kereta, atau ingin kututup Hiat-tomu serta kubopong naik ke-kereta?"   Insaf betapapun dirinya takkan bisa melarikan diri, dari pada di tutuk Hiat-tonya, terpaksa Cia Ing-kiat menghampiri kereta serta masuk kedalamnya. Ternyata Gin-koh mengawalnya ketat hingga dipinggir kereta. Thi Jan Lojin tertawa besar, katanya.   "Boleh diuji. Dalam jangka enam hari kau mampu menjebol tutukan Hiat-toku. beberapa hari ini kau tidak merasa lapar, kini setelah bergerak bebas, sebentar juga perutmu akan berontak, lekas naik kereta, didepan kita mencari makanan."   Tugas Rahasia Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Mending tidak bicara soal makan atau lapar, begitu disinggung Thi-jan Lojin, seketika perut Cia Ing-kiat betul-betul ketagihan.   Seketika dia rasakan kaki tangan lemas, mata berkunang.   Lelaki gagah macam apapun takkan kuat menahan lapar, sebetulnya Cia Ing-kiat masih ingin bicara, namun karena kelaparan segala persoalan tidak terpikir lagi olehnya.   Kali ini Thi jan Lojin tidak lagi menutuk Hiat-tonya, tapi Ing-kiat diseretnya naik kedepan duduk disampingnya yang pegang kendali, Gin koh melompat pula keatas kereta, kereta mulai bergerak.   Cia Ing kiat benar-benar kelaparan, dalam hati dia berdoa semoga lekas tiba disebuah kota maupun dusun yang penduduknya menjual makanan, celakanya kereta ini menyusuri jalan pegunungan yang sepi dan jauh dari kota, selepas mata memandang puluhan li tidak terlihat ada rumah penduduk atau asap.   Syukur beberapa jam kemudian, jauh didepan terlihat ada beberapa gubuk dipinggir jalan, didepan sebuah gubuk diantaranya dipasang sebuah barak, beberapa orang desa duduk berkerumun didalam barak itu istirahat.   Begitu tiba didepan barak itu Thi-jan Lojin menghentikan kereta terus berseru lantang.   "Ada makanan apa, lekas siapkan untuk kami." / Lekas Cia Ing-kiat melorot turun serta masuk ke dalam barak, kue-kue dan hidangan yang tersedia di sini ternyata berminyak dan warnanya juga kotor, dalam keadaan biasa jelas Cia Ing-kiat tak mau makan, namun sekarang dirasakan lezat dan enak luar biasa, Thi-jan Lojin mengikuti Cia Ing-kiat dan dan duduk disampingnya. Sementara Gin-kob tetap bersimpuh diatas kereta orang-orang desa itu nama melenggong, semua bingung dan saling pandang melihat kelakuan aneh perempuan yang satu ini. Cia Ing-kiat tidak peduli keadaan sekelilingnya, yang penting sekarang adalah mengisi perut sekenyangnya. Namun baru setengah jalan dia mengisi perut, didengarnya lari kuda mendatangi, tiga ekor kuda tampak dibedal kencang kearah sini dan berhenti didepan barak. Cia Ing-kiat belum sempat angkat kepala, didengarnya seorang berkata dengan dengan suara.   "Kenapa jalan setan seburuk ini yang dipilih, hayolah turun dulu istirahat sejenak."   Di susul langkah orang memasuki barak.   Baru sekarang Cia Ing kiat sempat melihat tiga orang berjalan masuk jajar, dua kurus satu gemuk, bila hal dalam barak hanya tersedia sebuah meja di mana Cia Ing-kiat dan Thi-jan Lojin sudah duduk di sana, tapi begitu masuk sigemuk lantas membentak.."Minggir "   Cia Ing-kiat sedang mengunyah makanan yang memenuhi mulutnya, waktu dia angkat kepala dilihatnya gendut yang mengusir mereka ini bermuka gembrot jelek dan bengis, umumnya orang gemuk berwajah lamah dan kalem, tapi lain si gendut ini, hanya sekilas Cia Ing-kiat metihat wajahnya, dia lantas menunduk jijik, karuan sigendut berjingkrak gusar, tangannya sudah terayun, untung seorang temannya yang kurus keburu mencegah.   "Toako, jangan sembrono, coba lihat, bukankah beliau adalah Thi-jan Cianpwe?"   "Cuh "   Thi jan Lojin berludah...   "beginilah tingkah laku kalian biasanya, enyah" / Bukan lagi bengis, tapi rona muka si gendut tampak menyengir lucu seperti babi yang mencium tahi bebek, sambil munduk-munduk dia mundur kebelakang, tiga orang ini sudah berada dipinggir kuda mereka, namun tidak berani berlalu, sikap mereka tampak lucu dan runyam, akhirnya mereka mematung diam diluar barak. Cia Ing-kiat tertawa geli dalam hati, dalam hati dia membatin, kebesaran nama Thi-jan Lojin memang terbukti, ketiga orang ini memang bukan jagoan, bahwa mereka juga sepatuh ini maka dapatlah dirasakan betapa besar pengaruhnya didaerah ini. Tapi kejap lain Cia Ing-kiat terasa gregeten sendiri, dibawah pengawalan Thi-jan Lojin bersama Gin-koh, betapapun dirinya tiada harapan untuk meloloskan diri, kenapa dirinya harus merasa senang malah ? Selera makannya seketika lenyap, sumpit diletakan, habis minum segera dia berdiri. Thi-jan Lojin merogoh kantong meletakan sekeping uang perak diatas meja terus berlalu. Waktu lewat didepan ketiga orang itu, mereka munduk munduk memberi hormat, seorang yang kurus berkata menjilat .   "Berapa lama kau orang tua meninggalkan Hwi-liong-ceng ? Cia Thian setan tua itu tidak tahu diuntung, berani dia bergebrak dengan kau orang tua, seumpama telur membentur batu layaknya."   Mendengar orang ini kurangajar terhadap ayahnya. Lia Ing-kiat amat gusar, namun sebelum dia bertindak. Thi-jan Lojin sudah bersuara .   "He, kejadian di Kangouw, cepat benar tersiar."   "Memang,"   Ucap orang itu membusung dada..."pihak Hwi-liong ceng plinitat plinitut tiada yang mau menjelaskan namun kejadian justru tersiar semakin luas."   Thi-jan Lojin tertawa, katanya .   "Berita yang tersiar di Kangouw itu kurang benar, aku dengan Cia cengcu pada hal tidak atau belum pernah gebrak, kami malah sahabat baik, kedatanganku ke sana menjadi comblang untuk pernikahan Cia-sauceng-cu, dia inilah Cia-sau cengcu." / Seketika berobah air muka ketiga orang itu, bila Thi-jan Lojin bicara habis, mimik mereka kelihatan lucu, mulut terbuka lidah menjulur, sepatah kata tak mampu bicara lagi. Cia Ing-kiat maju beberapa langkah, tanyanya kereng .   "Apa saja yang telah kalian dengar ?"   Ketiga orang itu saling pandang, tapi tidak berani bicara. Thi-jan Lojin berkata .   "Hayolah, kita harus melanjutkan perjalanan."   Salah seorang kurus diantara tiga orang itu agaknya tidak tahan lagi, mendadak dia bertanya .   "Sau-cengcu, apa kau tidak tahu?"   Cia Ing-kiat curiga, tiba-tiba dia membalik serta menyerbu ke depan si kurus serta menjambak baju didepan dadanya, namun si kurus ini ternyata memiliki kepandaian lumayan, badan mengegos miring dia meluputkan diri dari cengkraman Cia Ing-kiat, serunya .   "Sau-cengcu, bukankah ayahmu sudah meninggal"   Cia Ing-kiat masih ingin mengejar, tapi mendengar ucapan si kurus seketika dia berdiri tertegun, kupingnya seperti disambar geledek, hampir saja ia tidak kuat berdiri.   Pada saat itulah, Gin-koh yang sejak tadi bersimpuh diatas kereta mendadak membentak .   "..Membual."   Berbareng sinar perak berkelebat.   "plak, plok"   Dua kali, dua pipi si kurus telah digampar secara telak.   Tamparan Giu-koh cukup berat sehingga kedua pipi lelaki kurus itu bengap.   kini bentuk wajahnya tidak kalah lebar dibanding temannya yang gendut itu, namun alisnya berdiri mata mendelik, agaknya dia penasaran, namun serta melihat yang memukul dirinya berdiri serba perak didepannya, alis yang tegak berdiri seketika lunglai, katanya dengan suara sengau .   "Siapapun tahu bahwa Cia-cengcu dari Hwi liong-/ ceng telah meninggal, malah kami bertemu dengan beberapa kawan yang pulang dari melayat ke sana."   "Bagaimana kematiannya "   Tanya Thi-jan Lojin. Ketiga orang itu gelagapan.   "Katakan."   Tardik Thi-jan Lojin mendelik gusar. Suara itu berpadu .   "Barusan sudah kami katakan, kejadian ... setelah kalian berdua . bertandang ke Hwi-liong ceng."   Jawaban tiga orang ini agak ngelantur, namun stapapun dapat menangkap ke mana arti perkataannya, secara tidak langsung mereka mau bilang bahwa Hwi-liong-ceng Cia-cengcu mati dipukul oleh Thi-jan Lojin dan Gin-koh.   Begitu mendengar berita kematian sang ayah, kepala Cia Ing-kiat sudah hampir meledak, pandangan berkunang-kunang, meski masih- berdiri tapi badannya masih limbung, baru sekarang dia tenang, maju menghampiri.   Bola mata melotot kearah Gin-koh, karena waktu dirinya dipanggul Thi-jan Lojin hanya Gin-koh seorang yang masih melayani ayahnya den kenyataan waktu itu ayahnya belum mati.   Kejadian masih segar teringat dalam benak Cia Ing-kiat, meski cepat gerakan keluar Thi-jan Lojin, tapi masih sempat Cia Ing-kiat menyaksikan ayahnya yang hampir bertubrukan diudara dengan Gin-koh jikalau sekarang Cia Thian sudah mati, lalu siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan Gin-koh ? Setangkah demi selangkah dia menghampiri, wajah Gin-koh dan Thi-jan Lojin tampak kalau mereka berdiri sigap tidak bergerak, sementara tiga Orang itu menyurut mundur dengan lutut goyah langkah gemetar-Bila Cia Ing-kiat sudah semakin dekat baru Gin-koh angkat kepala serta membentak .   "bocah bodoh, apa yang sedang kau pikir?"   Berat napas Cia Ing-kiat, bola matanya seperti memancarkan bara yang menyala, Gin-koh ditatapnya / beringas. Gin-koh membentak pula .   "Kami sebagai comblang, walau Cia cengcu mungkin tidak setuju, yakin kelak dia akan berterima kasih kepada kami akan pernikahan putranya ini. mana mungkin kami berbuat sesuatu yang merugikan dia?"   Beringas muka Cia Irg kiat, hardiknya .   "Kau dengar bukan, apa yang dikatakan ketiga orang itu "   Salah seorang dari ketiga orang itu segera menjerit .   "Setiap otang di jalanan berkata demikian, urusan tiada sangkut pautnya dengan kami."   Mendadak Cia Ing-kiat memekik aneh.   "Wut"   Di mana tangannya terayun, kontan dia memukul muka Gin-koh.   Bekal kepandaian Cia Iug-kiat sekarang jelas bukan tandingan Gin-koh.   namun hatinya sedang di rangsang emosi, maka tindakannya sudah di luar kesadarannya.   Berdiri alis Gin-koh.   sebelum tangan Cia Ing-kiat mengenai wajahnya, sebelah tangannya terangkat, gerakannya lembut dan enteng, pergelangan tangan Cia Ing-kiat disampuknya perlahan serta ditariknya kesamping.   Kontan Cia Ing-kiat menjerit kesakitan, keringat dingin membasahi jidatnya- Sambil meringis Cia Ing-kiat mundur, tangan kiri memegang tangan kanan yang menjuntai lemas Jelas gerakan menepis enteng dari tangan Gin-koh barusan telah membuat tulang pergelangan tangan Cia Ing-kiat terkilir.   Baru dua langkah Cia Ing-kiat mundur, Thi-jan Lojin sudah memburu maju menangkap pundak Cia Ing-kiat serta membalikan tubuh, dengan tangkas kedua tangannya bekerja, memegang lengan dan telapak tangan terus dibetotnya "Krak"   Kembali Cia Ing-kiat melolong kesakitan, syukur tulang pergelangannya tersambung pula. Thi-jan Lojin lantas berkata .   "Sau-cengcu, kami berdua selamanya tidak perlu membela diri akan perbuatan yang pernah kami lakukan, tapi kau harus yakin bahwa kematian ayahmu bukan kami yang membunuhnya." / Dua kali disiksa kesakitan dipergelarkan tangannya hampir saja Cia Ing kiat jatuh pingsan, apalagi setelah dia menerima berita duka Kematian ayahnya, betapapun hati takkan bisa tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Namun setelah mendengar pertanyaan Thi-jan Lojin, tergerak juga hatinya. Menurut kebiasaan sepak terjang Gin-koh dan Thi-jan Lojin, apapun komentar orang terhadap perbuatan mereka selamanya tidak pernah membantah atau mendebatnya, itu menandakan bahwa mereka tidak pernah gentar menghadapi segala persoalan. Apalagi persoalan kecil didepan mata. Akan tetapi sekarang, Thi jan Lojin merasa perlu menyangkal dihadapannya secara serius, apakah maksudnya ? Hwi-liong-ceng memang disegani di kalangan Kangoaw, namun kedua orang ini juga tidak perlu takut terhadap kebesaran nama Hwi-liong ceng, bahwa sikap mereka sekarang masih agak segan dan sungkan terhadap dirinya tentu ada sebabnya, dan sebab itu lantaran dirinya sekarang digondol untuk melangsungkan pernikahan, jadi persoalan lebih jelas lagi bahwa pihak perempuan tentu mempunyai kekuatan yang cukup menciut nyali mereka. Makin dipikir benak Cia Ing kiat semakin ruwet, kecuali memburu napas sepatah katapun dia tidak bicara.   "Gin-koh,"   Seru Thi-jan Lojin "melihat gelagatnya, kami harus balik ke Hwi-liong-ceng untuk melihat kenyataannya."   Gin-koh menyeringai, katanya.   "Apa gunanya balik ke sana? Lekas kita antar orangnya dan serahkan kepada yang berkepentingan. Bila pernikahan sudah berlangsung, pihak perempuan sudah menjadi besan, urusan yang menyangkut Cia cengcu memangnya tidak mereka usut? Apa sih sangkut pautnya dengan kami ?"   "Betul, memang demikian."   Ujar Thi-jan Lojin.   Diakhir katanya jempolnya mendadak memijat Toa-pau hiat di bawah iga Cia Ing-kiat, berbareng tangan yang lain memeluk pinggangnya terus dikempit seketika Cia Ing-kiat mendehem / berat tenggorokan, di mana Thi jan Lojin menggerakan tangan, tubuh Cia-Ing-kiat dilemparnya "Blang"   Menumbuk pintu kereta dan tubuhnya terbanting diatas kasur empuk dalam kabin.   Sigap sekali seperti berlomba saja Thi-jan Lojin dan Gin-koh melesat bersama, yang satu tetap menjadi sais yang lain duduk diatas kereta, ditengah ringkik kuda kereta itu telah dilarikan kedepan.   Setelah kereta tidak terlibat lagi baru ketiga orang itu menghela napas lega, seperti siuman dari mimpi, satu sama lain saling pandang, keringat dingin menyebabkan pakaian mereka lengket ditubuh.   Terutama sigemuk keringatnya paling banyak, sambil mengusap keringat, napasnya masih ngos-ngosan, katanya.   "Sungguh menyesal, kami bertiga sebagai Hong teng-sam-say (tiga singa dari sungai timur) juga cukup punya nama, Heh, dinilai keadaan tadi, lebih baik pulang saja mengasuh anak."   Dua temannya yang kurus juga manggut manggut dengan muka cemberut, kini mereka masuk kebarak dan duduk dengan sopan dan tidak sekasar tadi, wajah mereka masih pucat, tubuhpun masih ingin gemetar, sekian lamanya mereka lupa pesan makanan.   Para pembaca harap maklum, Hong-tang-sim-say adalah begal besar dari golongan hitam, jelas mereka memiliki kemahiran yang berbeda, namun bila taraf mereka dibanding Gin-koh dan Thi jan Lojin jelas masih terpaut sangat jauh.   Dengan lesu mereka lalu minta makanan padanya, namun selera makan sudah hilang, maka sekedarnya saja mereka mengisi perut yang semula memang sudah lapar, namun makanan apa dan bagaimana rasanya yang masuk keperut mereka sama sekali tidak diperhatikan.   Setelah merasakan kenyang meski tiada separo piring yang mereka makan, siap berangkat pula, mendadak mereka melihat seseorang berjalan masuk dengan langkah gemulai.   Begitu melihat orang ini kembali Ho tang- sam-say melenggong.   Jalan raya yang berada di pegunungan dipagari / hutan lebat ini jarang dilewati orang, orang ini tidak menunggang kuda entah dari mana dan bagaimana dia datang kemari.   Pada hal jalan penuh debu, namun pakaiannya kelihatan resik, sepasang sepatunyapun tidak kelihatan berdebu seperti baru keluar pintu saja, usianya masih muda, bentuknya sih genteng, namun rona mukanya putih pucat seperti kelabur kapur.   Baru saja katiban pulung, maka Ho-teng-sara-say uring-uringan, namun melibat orang ini mereka juga hanya melirik saja tidak bersuara atau menegornya.   Tapi pemuda itu justru langsung menghampiri mereka.   Suaranya dingin tidak sopan lagi.   "Dijalan raya ini, adalah kaliau melihat Gin-koh dan Thi-jan Lojin"   Ho tang-sam-say melenggong. si gendut mendengus kasar, katanya.   "Baru saja lewat, jikalau larimu lebih cepat dari binatang, boleh kau menyusulnya."   "Apa maksud perkataanmu ?"   Tanya pemuda pucat sambil menatap si gendut. Sigendut tertawa geli sendiri, katanya .   "Arak bagus, tuan besarmu tidak ingin cari perkara, agaknya kau ingin mengusik aku, maksudku bila kau lebih cepat dari binatang ..."   Sigendut bicara sambil menggerakan kaki tangan, mendadak lengan baju si pemuda seperti disendal naik keatas mengusap muka sigendut, terasa oleh si gendut mukanya seperti dielus oleh tekanan angin keras hingga napaspun sesak, tersipu dia menyurut mundur, namun lengan baju orang bagi pisau baja yang tajam luar biasa, seketika dia rasakan sebelah pipinya kesakitan, sambil menjerit dia mendekap pipi yang kesakitan, terasa lekat dan basah, waktu dia angkat tangannya ternyata muka dan telapak tangan berlepotan darah, ternyata daging pipinya yang gembrot telah teriris hilang oleh kebasan lengan baju si pemuda.   / Biasanya si gendut suka berlaku kejam terhadap setiap korbannya, tapi kali ini tak urung dia menjerit-jerit, tiba-tiba pandangan gelap.   'Bluk' tubuhnya yang besar itu ambruk semaput.   Tanpa hiraukan korbannya pemuda itu putar tubuh terus beranjak keluar.   Dua singa kurus yang lain terperanjat melihat sigendut menjadi korban, sambil meraung mereka menubruk bersama dari kanan kiri mencengkram pundak.   Tapi begitu jari mereka menyentuh pundak si pemuda, segulung tenaga dahsyat memukul balik sehingga cengkraman mereka terpental kesamping betapa hebat tenaga yang tersalur di pundak si pemuda, ternyata kedua singa kurus ini sampai mencelat keatas menjebol barak Pemuda itu tidak berhenti, langkahnya tenang, bila dia sudah berada dijalan raya, kedua singa kurus itu juga sudah menggelundung jatuh ditanah, kecuali bola mata mereka yang, bergerak, badan ternyata lunglai tak bertenaga.   Dari keadaan mereka dapat dibayangkan, tulang belulang badan mereka sudah remuk.   Tidak lama sigendut semaput, pelan-pelan dia sudah siuman lagi, melihat keadaan temannya seketika dia mengkirik ketakutan, tanpa hiraukan mati hidup kedua rekannya segera dia angkat langkah seribu.   Selanjutnya Ho tang sam -say lenyap dari percaturan Kangouw, namun beberapa minggu kemudian, sering muncul seorang gendut gila yang separo mukanya terkelupas dagingnya dibeberapa bandar sepanjang sungai besar.   Setiap melihat orang membawa senjata, segera dia membujuk orang itu supaya tidak bermain silat, berbahaya salah salah jiwa bisa melayang, namun tiada orang yang menghiraukan ocehannya.   Sekarang mari kita ikut perjalanan Cia Ing-kiat yang rebah didalam kereta , sekaligus kereta itu dikaburkan sejauh delapan puluh li, setelah hari petang baru berhenti, karena Hiat-tonya tertutuk maka dia tidak mampu bergerak, dalam / beberapa jam ini.   pikirannya tidak karuan, sungguh dia kehabisan akal.   tak tahu apa yang harus dilakukan.   Setelah kereta berhenti, walau hari sudah petang, namun daun pintu sudah jebol maka dia bisa melihat kereta ini berhenti didalam hutan.   Didengarnya Gin koh yang berada di-atap kereta tertawa, katanya "..Ginkang tuan sungguh hebar, sepanjang jalan ini kau dapat mengejar dengan ketat"   Jelas dia sedang bicara kepada seseorang.   Meski pikiran sedang ruwet, namun mendengar perkataan Gin koh, kaget juga hati nya.   Kereta berlari sekencang itu, seseorang dapat menyusul bukan suatu yang perlu dibuat heran, karena tidak sedikit kaum persilatan yang lihay Kungfunya.   Pada hal Gin-koh duduk diatap kereta, pakaian peraknya yang khas itu.   jago silat mana yang tidak mengenalnya, tapi orang ini toh berani menyusul datang, hal inilah yang membuat Ing-kiat heran.   Maka dari tempat gelap sana seorang balas bertanya .   "Sau cengcu dari Hwi-liong-ceng, bukankah berada ditangan kalian?"   Ing-kiat hanya mendengar suara tidak melihat orangnya, namun suara dingin ini masuk ketelinganya, seketika dia bergidik ngeri, seolah-olah ditempat gelap dia melihat seraut wajah pucat lesi, seketika tubuhnya seperti kecemplung kekubangan salju suara itu adalah suara Sau-pocu dari Kim-hou po yang sudah dikenalnya, rasa takut seketika merangsang sanubarinya.   Bahwa dirinya menyelundup ke Kim-hou-po dan lari keluar pula adalah kejadian yang amat dirahasiakan, kecuali ayahnya seorang pasti tiada orang ketiga yang tahu, namun kenyataan Sau-pocu Kim-hou-po ini telah mengejar dirinya.   Karena tubuh Cia Ing-kiat tidak dapat bergerak, maka dia mendengar Gin-koh mengiakan- Kedua kali Sau-pocu Kim-huo po berbicara, suaranya sudah berada disamping kereta .   "Aku ingin tanya beberapa patah kata kepadamu." / Tampak oleh Cia Ing-kiat bayangan perak berderai, agaknya Gin-koh sudah melompat turun dari atas kereta sementara tak jauh didepan Gin koh, didalam keremangan malam tampak seraut wajah pucat. Berdetak jantung Cia Ing-kiat, didengarnya Gin-koh bertanya..   "Tuan siapa; siapa gurumu?"   Cia Ing-kiat tahu.   pertanyaan yang diajukan ini sudah terlalu umum dikalangan kangouw tapi pertanvaan sejenis keluar dari mulut Gin koh, jelas bobotnya berbeda ini pertanda pula bahwa Gin koh juga tahu bahwa orang ini bukan jago sembarang jago, maka nada pertanyaannya cukup prihatin, padahal Gin-koh yang berwatak kaku berangasan ini mana mau bersikap sopan dan bertanya secara wajar? Cia Ing-kiat berusaha memalingkan muka melirik keluar, dalam kegelapan sekujur badan Gin-koh seperti dibungkus cahaya perak kemilau, wajah Sau-pocu dari Kim-hou po yang pucat lesi itu kelihatan seram dan menakutkan dibawah pancaran sinar reflek baja Tampak Sau-pocu menggerakkan ujung mulutnya, lalu berkata."Tak usak tanyalah, apakah Cia Ing-kiat berada dalam kereta? "   Sembari bicara tangannya bergerak jarinya menuding kearah kereta, saat itulah mendadak pergelangan tangan Gin-koh terbalik, jari jari tangannya yang halus lembut laksana sutra gemulai laksana daun pohon pengebas ke pergelangan tangan lawan seperi pemain musik yang mengebas suara gitar, Siang tadi tulang pergelangan tangan Cia Ing-kiat juga dikebas hingga terkilir oleh gerakan gemulai jari jari Gin-koh ini-Tapi lain pula kejadian kali ini, jelas jari-jari Gin-koh tepat mengenai pergelangan tangan orang tapi Sau-pocu seperti tidak merasakan sama sekali, katanya lebih lanjut."Kalau betul dia ada didalam suruhlah dia keluar menjawab beberapa patah pertanyaanku," / Gerakan tangan Gin koh ringan seperti melayang, gerakan tangan mengkilir tulang yang dilakukan Gin-koh ini boleh dikata tiada tandingan di Kangouw, namun kali ini jarinya seperti mengebas batu karang yang sudah lama terendam dibawah air dan lumutan, keras tapi licin, kuku jari sendiri terasa kesemutan malah, Hal ini belum pernah terjadi sejak Gin-koh mahir menggunakan ilmunya keruan hatinya bercekat, serta merta dia berteriak.   "Thi-jan..."   Tugas Rahasia Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Thi jan tetap duduk ditemparnya memegang tali kendali, maka dia melihat jelas segala kejadian meski Gin-koh tidak memanggilnya juga dia sudah siap bertindak, sebat sekali dia sudah melompat turun, begitu kaki menyentuh tanah dia bergelak tawa, katanya.   "..Dalam dunia persilatan muncul pula seorang kosen seperti dirimu, ternyata kami tidak tahu menahu, sungguh cupat pandangan kami."   Tangan Sau pocu tetap menuding kedepan, katanya."Aku ingin becara beberapa patah kata dengan Cia Ing-kiat."   Thi jan Lojin dan Gin-koh adalah jaso silat kelas wahid, barusan Gin koh sudah menjajal kemampuan anak muda ini, meski hati tidak jeri, namun dia tahu bila betul-betul bergebrak, belum tentu dirinya bisa menang.   Maka Gin-koh merobah sikap, katanya dengan cekikikan.   "Cia saupocu adalah menantu baru orang, ada urusan apa tuan ingin tanya dia?"   Diam diam dia memberi tanda kepada Thi-jan Lojin.   Maka Thi-jan Lojin mundur selangkah, tangannya yang digendong dibelakang menutuk balik kebelakang kearah kereta, sejalur angin meluncur kebelakang membentur tubuh Cia Ing-kiat hingga Hiat-tonya yang tertutuk terbuka.   Diwaktu Hiat-to tertutuk karena ketakutan sekujur badan basah kuyup oleh keringat dingin, kini selelah Hiat-tonya terbuka, terbuka, bukan saja kedinginan diapun menggigil.   Sementara Gin-koh dan Thi-jan Lojin tetap berhadapan dengan Sau-pocu, agaknya mereka bersiaga sepenuh perhatian.   Didengarnya Thi jan Lojin berkata.   "Sau-pocu, / saudara ini mencarimu ingin tanya sesuatu hal, apa kau mengenalnya?"   Lekas Cia Ing-kiat tenangkan hati terpaksa dia mengeraskan kepada melorot turun dari dalam kereta, sahutnya.   "Aku tidak mengenalnya."   Begitu dia berdiri tegak serangkum angin silir seketika menyampuk mukanya, Sam-pocu dari Kim-hou-po ternyata bergerak lincah laksana kupu menari dan menyelinap, tahu-tahu tubuhnya menjeblos dari celah berdiri antara Gin koh dan Thi jan Lojin dan berdiri didepannya.   Reflek Thi-jon Lojin dan Gin-koh juga cukup cepat, segera mereka sudah membalik badan tapi mimik muka mereka kelihatan lucu menggelikan.   Maklum mereka berdiri jajar sejauh dua kaki berhadapan dengan orang, dengan bekal kepandaian mereka berdua, jangan kata manusia, seekor lalatpun jangan harap bisa menyelinap dari celah-celah mereka.   Tapi dengan kemampuan mereka yang hebat, kenyataan pemuda ini telah menyelinap kebelakang mereka, Bagaimana orang bergerak juga tidak terlihat jelas, hanya merasa angin sejuk menerobos.   Tahu-tahu orang sudah berhadapan dengan Cia Ing-Hiat, sungguh kejadian luar biasa, dan sekaligus telah menyapu bersih pamor mereka sebagai angkat tua yang berkepandaian tinggi, tak heran bila mimik muka mereka sedemikian lucu.   Timbul hasrat Cia Ing-kiat menyurut mundur, namun baru pundaknya bergerak.   Sam-pocu sudah ulur tangan memegang urat nadinya, betapa cepat gerakan tangannya sungguh cepat luar biasa, seketika Cia Ing-kiat lemas lunglai, tenaga tidak mampu dikerahkan, didengarnya Sau-pocu berkata;   "Serahkan"   Bergidik tubuh Cia Ing kiat, giginya sampai beradu, beberapa kali dia meronta baru bisa bersuara.   "Apa...apa yang diserahkan?" / Saat itulah Thi-jan Lojin membentak.   "He, kau bilang hanya tanya beberapa patah kata, kenapa turun tangan?"   Walau urat nadi Cia Ing-kiat kena dipegang, tapi Sau pocu.   tidak menggunakan tenaga besar, namun Thi-jan Lojin tidak tahu bahwa Cia Ing-kiat ketakutan akan bayangannya sendiri sehingga tubuhnya menggigil, suara gemetar, namun dia kira Sau-pocu memencet urat nadinya dengan tenaga dalam sehingga keadaannya kelihatan payah.   Sau-pocu anggap tidak dengar akan bentakan Thi-jan Lojin, katanya setelah tertawa dingin beberapa kali.   "Ciong Tay pek jangan pura pura pikun dihadapanku."   Thi-jan Lojin saling pandang sekejap dengan Gin koh berkata.   "Apa kau tidak keiiru mengenali orang Dia bukan Ciong Tay-pek, tapi Sau-congcu dari Hwi-long ceng bernama Cia Ing-kiat."   Cia Ing-kiat juga berseru.   "Kau panggil apa terhadapku "   Dingin setajam pisau tatapan bola mata Sau-pocu, seperti menyelidik wajah Cia Ing-kiat.   Kini Cia Ing-kiat malah lebih tenang, karena dia sudah tahu bahwa Sau-pocu juga tidak yakin bahwa dirinya betul adalah Ciong Tay-pek, asal dirinya tetap mungkir, orang pasti apa boleh buat.   Maka badannya tidak gemetar lagi, kini wajahnya memperlihatkan sikap marah, serunya .   "Kau ini pikun, sebetulnya siapa yang kau cari dan ada urusan apa ?"   Sau-pocu membentak bengis .   "Kau pernah belajar tata rias di Jit cap ji-pian Toa-seng bun. Betul tidak ?"   Tersirap darah Cia Ing-kiat.   "Ya, kenapa?"   Tapi segera dia menjawab.   "..Setelah tamat belajar tata rias, ke mana saja kau selama ini?"   Sau-pocu bertanya pula. Cia Ing-kiat marah, serunya .   "Kau ini siapa, kenapa aku harus memberitahu kepadamu " / "Katakan"   Bentak Sau-pocu sambil memperkeras pegangan tangannya.   Terasa segulung tenaga besar merembes masuk lewat urat nadinya menerjang jantung dan paru paru.   tak tertahan mulutnya terpentang dengan jeritan melengking.   Reaksi Gin koh dan Thi jan Lojin teramat cepat, sebat sekali mereka maju selangkah, Thi jan Lojin turun tangan lebih dulu.    Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini