Pedang Darah Bunga Iblis 11
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 11
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H "Aku inginkan jiwamu!" "Apa kau minta jiwaku?" Seru Suma Bing berjingkrak. "Benar, hendak kukorek jantung hatimu..." Suma Bing menjadi serba salah dan geli, katanya. "Apa kau tahu siapa aku?" "Kau menjadi abu juga akan kukenali, bukan saja hendak kubunuh kau. Kho-lo-sia guru setan tuamu itu akan kubunuh juga." Suma Bing tertegun heran dan mundur selangkah. Orang sudah tahu asal usulnya tapi sedikitpun dia tidak kenal orang, naga2nya orang ini tengah mencari dirinya untuk menuntut balas, maka segera katanya lagi. "Sebenarnya siapa kau ini, ada permusuhan apa dengan aku yang rendah?" Wanita itu mendesak maju selangkah, rantai ditubuhnya ikut terseret berbunyi nyaring, makinya sambil menunjuk kearah Suma Bing. "Kau bukan manusia, kau binatang, hendak kukorek hati binatangmu itu, kau... mengapa kau demikian kejam? Oh, tidak! Aku tidak akan bunuh kau, tidak bisa, kau masih mencintaiku bukan?" Berkerut alis Suma Bing, baru sekarang dia sadar bahwa orang yang dihadapinya ini kiranya adalah wanita gila, tanpa terasa dia tertawa geli sendiri. Karena pikirannya ini segera ia jejakkan kakinya, tubuhnya melenting jauh... Dimana terdengar suara gemerantang se-konyong2 wanita itu juga sudah melesat tiba dihadapannya sambil menyurung sebuah pukulan kedepan. Walaupun agaknya pikirannya tidak beres, tapi gerak gerik wanita ini lihay sekali. Karena tidak bersiaga Suma Bing kena tergetar mundur tiga langkah. "Kau hendak pergi, hm, naga2nya hari ini aku harus membunuh kau!" Suma Bing meng-geleng2 kepala sambil tertawa kikuk badannya segera melesat miring kesamping sana... Dalam waktu yang hampir bersamaan wanita itu juga melesat ketengah udara, beruntun dia, lancarkan tiga kali pukulan yang menerbitkan angin men-deru2. Mengingat pikiran orang kurang waras. Suma Bing tidak mau meladeni serangan ini, sebat sekali tubuhnya jumpalitan menghindar. Tapi serangan wanita itu malah semakin gencar beruntun ia lancarkan lagi serangan yang mematikan mengarah tempat penting ditubuh Suma Bing. Se-konyong2 sebuah pikiran berkelebat dalam otak Suma Bing. Batinnya. kalau pikiran orang ini kurang beres bagaimana dia bisa mengenal asal usulnya. Apa mungkin dia pura2 gila, atau ada latar belakang apalagi yang tersembunyi? Mengapa pula lehernya diikat rantai, dilihat dari cara ia turun tangan kepandaiannya agaknya tidak lemah, lalu mengapa dia tidak berusaha menanggalkan rantai dilehernya itu? Serangan2 wanita itu semakin deras dan kejam tak mengenal kasihan. Karena banyak berpikir. Suma Bing berlaku sedikit ayal, dan hampir saja jalan darah Ci-tong-hiat kena tercengkram. Mau tak mau akhirnya dia harus mengambil keputusan yang tegas, pikirnya, terpaksa aku harus turun tangan meringkusnya dan ditanyai secara terang. Karena ketetapannya ini beruntun dua tangannya bergerak lincah melintang kedepan. "Blang," Sambil mengeluh kesakitan wanita itu terhuyung lima kaki jauhnya. "Loh Tju-gi, akan kukeremus dagingmu kuminum darahmu!" Sambil memaki kalang kabut wanita itu menyerbu datang lagi dengan serangan kalap. Tergetar perasaan Suma Bing, sambil berkelit kian kemari, otaknya berpikir. kiranya aku disangka Loh Tju-gi suheng yang murtad itu. Apa wajahku mirip dengan Loh Tju-gi. Tapi tidak mungkin, sedikitnya usia Loh Tju-gi sudah pertengahan umur, usia kita terpaut terlalu banyak, mana bisa salah kenal! Hanya ada satu kepastian bahwa perempuan ini pasti dulu pernah dirugikan oleh Loh Tju-gi itu... Serta merta lantas teringat akan ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan, tanpa terasa bergidik dan merinding tubuhnya. Menurut cerita si maling bintang Si Ban-tjwan bahwa ibunya dulu pernah diperkosa oleh bangsat Loh Tju-gi itu, apa mungkin... Sekali melejit ia menyingkir sejauh dua tombak dan berdiri tegak, dia perlu menenangkan gejolak hatinya. Pada saat itulah tiba2 sebuah tandu tengah mendatangi dengan kecepatan bagai terbang. "Pek-hoat-sian-nio!" Tanpa terasa mulut Suma Bing berseru kejut. Tiba2 perempuan gila itu berteriak nyaring terus berlari pergi se-kencang2nya. "Cegat dia!" Membarengi seruan ini, sebuah bayangan melesat datang lewat sampingnya. Kontan Suma Bing kirim sebuah hantaman keras kearah bayangan ini, dimana debu dan kerikil beterbangan, bayangan itu kena tersuruk jatuh diatas tanah, dia bukan lain adalah guru daripada Ting Hoan yaitu Pek-hoat-sian nio. Sambil menggeram gusar Pek-hoat-sian-nio lancarkan sebuah pukulan keras. Segera Suma Bing angkat tangan menyambuti dengan kekerasan juga. 'Bum' ditengah dentuman menggelegar kedua belah pihak sama2 tersurut mundur satu tindak. Dalam mundur setindak itulah Pek-hoat- sian-nio sudah lancarkan selentikan jarinya lagi, beruntun angin selentikan melengking saling susul menyambar kedepan. Terpaksa Suma Bing jumpalitan kesamping menghindar... Menggunakan kesempatan ini, Pek-hoat-sian-nio melejit kedepan dengan kecepatan yang susah diukur. "Kemana kau pergi." tubuh Suma Bing juga ikut melesat datang, ditengah udara ia lancarkan pukulan2 lihay membuat Pek-hoat-sian-nio terpaksa harus meluncur turun. "Suma Bing, apa2an maksudmu ini?" "Kita selesaikan perhitungan lama!" "Hm, tidak malu kau turun tangan kepada seorang perempuan yang berpikiran kurang waras. Malah kau merintangi aku pergi mengejar dia, jikalau terjadi sesuatu diluar dugaan, awas kau harus bertanggung jawab?" Terperanjat hati Suma Bing, jadi benar2 pikiran perempuan itu kurang waras, untuk apakah Pek-hoat-sian-nio mengejar perempuan gila itu? Tapi kebencian hatinya mendesak dia melakukan langkah2 selanjutnya, maka dengan dingin ia menantang. "Pek-hoat-sian-nio, dua kali hadiahmu yang berharga tempo hari, biar hari ini kukembalikan." Sinar mata Pek-hoat-sian-nio, me-nyala2 gusar, rambut putihnya juga berdiri kaku, bentaknya keras. "Suma Bing, kau mencari mati?" "Belum tentu mencari mati, kita setali tiga uang." "Baiklah, biar kusempurnakan keinginanmu itu," Bentak Pek-hoat-sian-nio sambil kirim serangan kearah Suma Bing, karena gusar kekuatan pukulannya seumpama kilat menyambar dan geledek menggelegar. Sejak mendapat Kiu-tjoan-hoan-yang-tjauko dari pemberian Setan barat. Lwekang Suma Bing bertambah berlipat ganda, sekali turun tangan kekuatan pukulannya juga bukan olah2 hebatnya. Terjadilah pertempuran mati2an yang susah dilerai. Keempat gadis pemikul tandu menonton diluar gelanggang dengan muka pucat dan hati berdebar keras. Sekonyong2 terdengar suara pekik nyaring yang mengerikan dari kejauhan sana, suara itu benar2 membuat mengkirik dan berdiri bulu roma. Serta-merta Suma Bing dan Pek-hoat-sian-nio menghentikan pertempuran. Wajah Pek-hoat-sian-nio berobah pucat, sebat sekali tubuhnya meluncur kearah dimana suara pekik mengerikan itu terdengar. Sejenak Suma Bing tertegun lalu membatin. apa pekik kesakitan yang mengerikan ini keluar dari mulut perempuan gila itu? Lantas teringat olehnya akan kata2 yang diucapkan oleh perempuan gila itu, tanpa terasa bergidik tubuhnya, sebat luar biasa iapun berlarian mengejar kedepan. Tiga li kemudian ditengah jalan raya rebah terlentang sebuah mayat bergelimang diantara banjir darah. Kepala mayat ini sudah hancur terpukul, wajahnya rusak berlepotan darah susah dikenal, sungguh mengerikan dan mengenaskan keadaan ini, rantai hitam panjang itu kini sudah tertanggal dari lehernya, separo diantaranya terendam diantara merah darah. Tubuh Suma Bing gemetar keras, pandangannya nanap mengawasi mayat didepannya, sebuah pikiran yang menakutkan merangsang hatinya, sehingga keringat dingin membasahi jidatnya, akhirnya tercetus juga perkataannya. "Siapakah dia?" Air mata meleleh deras dikedua pipi Pek-hoat-sian-nio, dengan geram ia melotot kearah Suma Bing, lalu membungkuk memayang jenazah diatas tanah itu terus masuk kedalam tandu. Segera keempat gadis seragam hijau berlarian pergi dengan cepatnya. Suma Bing ter-longong2 memandangi noda darah diatas tanah seperti orang linglung. "Suma Siangkong!" Sebuah suara nyaring merdu membuat Suma Bing tersentak dari lamunannya. Seorang gadis cantik rupawan yang berwajah pucat tengah berdiri tegak dihadapannya dia bukan lain Ting Hoan adanya. "Nona Ting!" Seru Suma Bing terharu. Sejenak Ting Hoan menatap wajah Suma Bing dengan penuh perasaan kasih mesra tapi tak lama pula wajahnya berobah membeku, katanya. "Suma Siangkong, kau berkukuh hendak berkelahi dengan suhuku, sehingga jiwa suciku menjadi korban." "Dia adalah sucimu?" Ting Hoan mengiakan. "Dalam hal ini kunyatakan penyesalanku, siapakah pembunuhnya?" "Bwe-hwa-hwe-tiang!" Gigi Suma Bing gemeratak gusar, serunya penuh kebencian. "Mengapa ketua Bwe-hwa-hwe mau turun tangan terhadap seorang perempuan yang berpikiran kurang waras malah turun tangan secara keji lagi?" "Kulihat kau bergebrak dengan suhuku, maka segera aku datang mengejar seorang diri, sayang aku terlambat juga, waktu aku menyusul tiba dia sudah mendapat celaka, durjana itu baru saja tinggal pergi, sekian jauh aku mengejar tidak kecandak." "Siapakah nama sucimu ini?" "Untuk apa kau menanyakan ini?" "Aku hanya ingin tahu saja!" "Dia bernama Lim Siok-tien." Suma Bing menghela napas lega, katanya lagi. "Apakah aku boleh bertanya tentang keadaannya selama ini?" "Dia seorang wanita yang harus dikasihani..." "Dia pernah dipermainkan seorang lelaki?" "Darimana kau tahu?" "Dia salah sangka aku sebagai Loh Tju-gi, maka dia nekat hendak menempur aku." Wajah Ting Hoan beringas katanya penuh kebencian sambil mengertak gigi. "Benar, Loh Tju-gi sudah mempermainkan dia, lalu meninggalkan dia pergi. Dia melahirkan seorang anak perempuan yang meninggal tidak lama kemudian, dia sendiripun menjadi gila..." "Loh Tju-gi akan datang suatu hari pasti kuhancur leburkan tubuhnya!" "Eh, bukankah dia adalah..." "Dia murid murtad dari perguruanku, juga musuh besar keluargaku. Selama aku masih hidup terbang kelangit atau menyusup kebumi pasti akan kucari dia sampai ketemu!" Ting Hoan menghela napas panjang, ujarnya. "Mengapa tidak siang2 kau katakan hal ini?" "Kenapa?" "Guruku juga menyangka kau sebagai murid Loh Tju-gi itu, maka dia turun tangan kepadamu!" "Jadi begitulah duduk perkaranya." "Setelah pikirannya kurang beres, setiap melihat pemuda gagah ganteng, lantas suciku anggap dia sebagai Loh Tju-gi. Karena terpaksa maka suhu mengurungnya dengan memborgol lehernya dengan rantai. Sungguh tak duga beberapa hari yang lalu dia dapat terlepas, maka kita beramai datang mengejar..." "Apa kau melihat tegas orang yang membunuh dia adalah Ketua Bwe-hwa-hwe?" "Sedikitpun tidak salah." "Hm, aku juga tidak akan melepas dia! Oh ya, nona Ting kuingat bukankah gurumu juga tengah mencari Tiang-un Suseng..." "Benar, kenapa?" "Belum lama berselang aku baru saja berpisah dengan Tiang-un Suseng, si orang berkedok yang bersama aku itulah orangnya." "Si orang berkedok itu adalah Tiang-un Suseng?" "Begitulah, baru sekarang aku mengetahui kedok sebenarnya." "Tapi sekarang kami tidak perlu lagi mencari dia." "Mengapa?" "Tiang un Suseng Poh Jiang adalah duplikat dari Wi-thiantjhiu yang kenamaan di Bulim. Tujuan kita dulu adalah hendak minta dia mengobati penyakit gila suciku itu, sekarang suci sudah menemui bencana, tidak perlu lagi mencari dia!" Suma Bing manggut2 sambil berdiam diri. Kata Ting Hoan lagi. "Tentang kesalah pahamanmu dengan guruku kuharap sejak saat ini dapat dibikin terang." "Ya, tentu dapat." Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sekarang kau hendak kemana?" "Menuju ke Bu-kong-san!" "Apa keperluanmu kesana?" Sejenak Suma Bing berpikir dan ragu2, akhirnya ia berkata sebenarnya. "Aku berharap dapat menemukan Bunga-iblis..." "Bunga-iblis?" Seru Ting hoan penuh keheranan. "Apa Bunga-iblis berada di Bu-kong-san?" "Bukan, konon Bunga-iblis itu berada ditangan Bu-siang sin-li. Justru tempat bersemayam Bu-siang sin-li berada di Bukong- san..." Berobah air muka Ting Hoan, katanya. "Bu-siang-sin li, seorang Tjian-pwe aneh didalam dongeng, sudah lama tidak muncul di Kangouw, malah katanya ilmu silatnya setinggi langit, seumpama kenyataan memang begitu, kukuatir..." Suma Bing tertawa ewa, katanya. "Aku tahu tapi besar tekadku untuk mendapatkannya". "Baik, kudoakan kau berhasil." "Terima kasih!" "Aku harus segera kembali membantu mengurus jenazah suci..." "Silahkan nona Ting, aku juga harus segera berangkat!" "Suma Siangkong..." "Nona masih ada perkataan apa?" "Aku... aku..." "Kalau ada perkataan apa2 silahkan katakan saja." Wajah Ting Hoan merah jengah, bibirnya sudah bergerak hendak berkata tapi ditelannya kembali. Lalu sambil tunduk dia bermain ujung bajunya, sikapnya kikuk dan malu2, benar2 membuat orang merasa geli dan tenggelam dalam alunan asmara. Mendadak ia angkat kepalanya lagi seakan tiba2 bertambah besar nyalinya, suaranya halus merdu. "Ada sepatah kata hendak kuberitahukan kepadamu." "Coba katakan?" "Aku teringat pada waktu kau mengobati lukaku dulu itu..." "Nona terluka karena aku, peristiwa itu selalu mengganjel dalam hatiku, dalam hal ini pasti aku tidak akan melupakan..." "Tidak!" "Mengapa tidak?" Tanpa terasa berdetak keras jantung Suma Bing, entah apa maksud dengan 'tidak' itu? "Walaupun kaum persilatan tidak mengukuhi adanya adat istiadat lama tapi sedikit banyak ada batas2nya. Tubuh seorang gadis kalau sudah diraba dan dijamah oleh seorang laki2, dia... dia harus bagaimana?" Suma Bing tertegun, ujarnya. "Nona waktu itu aku mengobati lukamu" "Ya, memang mengobati lukaku, tapi seorang gadis memandang kesucian dirinya melebihi jiwa sendiri. Hakikatnya kita sudah bersentuhan tubuh, aku berkata demikian bukan karena ingin memohon sesuatu, aku hanya berharap supaya kau tahu selama hidup ini badanku ini tidak akan menjadi milik laki2 lain!" Jantung Suma Bing hampir melonjak keluar, keringat membasahi seluruh tubuh, teriaknya gugup. "Nona Ting, ini... ini..." Kata Ting Hoan dengan kalem dan tenangnya. "Sudah kukatakan aku tidak memohon apa2, asal kau tahu maksud hatiku saja. Sudah tentu aku tidak bisa paksa kau untuk mencintai aku. Ucapanku sampai sekian saja, harap kau jaga dirimu baik2!" Habis berkata sekali lagi ia pandang wajah Suma Bing lekat2 penuh harap lalu tubuhnya melenting tinggi menghilang dikejauhan sana. "Adik Hoan!" waktu Suma Bing tersadar, dia berseru memanggil, tapi bayangan Ting Hoan sudah hilang tanpa jejak. Serasa ada sesuatu benda yang menindih sanubarinya, sedemikian berat benda itu sehingga membuat dia susah bernapas. Hubungan lelaki perempuan, antara cinta dan persahabatan tiada batas perbedaan yang jelas, waktu kau merasa resah dan gundah susah tentram, mungkin itulah pertanda cinta, tak perduli dalam keadaan yang bagaimana kamu merangkap pertemuan itu. Untuk pertama kali inilah hatinya resah karena cinta, karena cinta, telah membelenggu dirinya tanpa dia sadar sebelumnya. Tanpa terasa dia menghela napas dalam. Tengah ia tenggelam dalam renungannya itulah, mendadak sebuah bayangan manusia tengah mendatangi dengan sempoyongan kearah dimana Suma Bing tengah berdiri. Waktu Suma Bing tersadar kaget dan membalik tubuh, bayangan itu sudah terpaut tiga tombak dari dirinya. Waktu melihat orang yang mendatangi ini seketika membaralah hawa amarahnya menggeser kaki segera ia mencegat ditengah jalan sambil menghardik keras. "Berhenti!" Kiranya yang datang ini bukan lain Tang-mo adanya, salah satu dari Bu-lim-su-ih yang sejajar dengan Se-kui, Pak-tok dan Lam-sia. Tang-mo menurut kata menghentikan langkahnya. Terlihat oleh Suma Bing pandangan kedua mata orang begitu redup, napasnya memburu, jidatnya basah oleh keringatnya yang meleleh deras. Diam2 terkejut hatinya batinnya apakah iblis laknat ini terluka parah? "Iblis timur, akhirnya kita bertemu juga disini!" "Kau... kau..." Seru Tang-mo tergagap. "Akulah Suma Bing, murid Lam-sia Su-hay..." Tubuh Tang-mo ter-huyung2 hampir roboh agaknya dia hampir tak kuat lagi berdiri. Suma Bing membatin dalam hati. "Luka iblis ini tidak ringan, entah terluka ditangan siapa dia." Maka segera ia bertanya. "Apa kau terluka?" Iblis timur menggigit bibir menahan sakit dan menguatkan hatinya, serunya beringas. "Buyung, memang Lohu terluka parah, kau mau apa?" Hawa membunuh menyelubungi raut wajah Suma Bing desisnya dingin. "Aku ingin mencabut jiwamu!" Lagi2 tubuh Tang-mo terhuyung mundur, geramnya. "Buyung, kau tidak adil menggunakan kesempatan ini..." "Tutup-mulutmu, tidak peduli bagaimana kau hendak berkata, yang terang hari ini kau harus mati!" "Ada permusuhan apa Lohu dengan kau?" "Permusuhan! Hehehe, Tang-mo, ketahuilah dendam sedalam lautan setinggi gunung, tapi sebelum aku turun tangan, harap sukalah kau berlaku terus terang, jawablah beberapa pertanyaanku" "Buyung, kau..." "Dengar, peristiwa pengeroyokan dipuncak kepala harimau digunung Tiam-tjong-san dulu itu..." "Buk!" Suma Bing berjingkrak kaget. Ternyata Tang-mo sudah roboh binasa. Darah menyembur deras dari dadanya bagai mata air. Saking gugup hampir saja bibir Suma Bing tergigit putus oleh giginya sandiri, ter-sipu2 ia memburu maju membalikkan tubuh orang dan memeriksa dengan teliti, tampak sebuah lobang besar didepan dadanya menembus sampai dipunggungnya. Bahwa iblis laknat ini terluka dadanya tembus sampai kepunggung masih kuat menutup jalan darah dan berlarian sekian jauh sampai disitu, kekuatan Lwekangnya itu benar2 sangat mengejutkan. Tapi siapakah yang telah melukainya? Dengan kepandaian dan Lwekang Tang-mo yang lihay, orang yang mampu mengalahkan atau membunuhnya kiranya hanya beberapa tokoh lihay pada jaman itu. Bahwasanya luka Tang-mo itu bukan karena kena pukul atau sesuatu ilmu aneh yang mengejutkan, adalah dadanya itu tertembuskan oleh sebilah senjata tajam. Maka dapatlah dibayangkan bahwa sipembunuh itu pasti berkepandaian lebih tinggi dari Iblis timur sendiri. Saking gegetun dan menyesal Suma Bing mem-banting2 kaki. Tang-mo adalah salah seorang musuh besar yang ikut dalam peristiwa berdarah dipuncak kepala harimau di Tiam- tjong-san. Dari mulutnyalah dia bersiap mengejar musuh2 besar lainnya, sungguh tidak kira sumber yang terpercaya inipun putus. Siapakah yang telah membunuh Iblis Timur? Angkara murka hatinya beralih kepada manusia yang membunuh Iblis timur itu, karena kematian Iblis timur maka dia harus kehilangan sumber pengejaran kepada musuh2 besarnya. Mengawasi jenazah musuh besarnya yang tergolek mati ditangan orang lain ini, per-lahan2 semakin memuncak kegusarannya tangan diangkat hendak menghantam... "Orang mati dendam ludas, sangat keterlaluan kalau kau merusak jenazahnya!" Suma Bing mendengus keras sambil tarik kembali tangannya, terlihat olehnya si orang yang bicara ini bukan lain adalah si maling bintang Si Ban-tjwan. "Si-tjianpwe apa baik2 saja selama berpisah?" "Hehe, baik2 saja!" "Apakah Tjianpwe tahu Tang-mo terbunuh oleh siapa?" Seketika si maling bintang Si Ban-tjwan mengunjuk rasa heran dan terkejut. "Apa kau sendiri tidak bisa melihat?" Suma Bing menggeleng dengan hampa. "Menurut hematku dadanya tertembus oleh senjata tajam, tentang siapa yang turun tangan belum dapat kuketahui!" "Ha, peristiwa besar yang menggegerkan itu, masa kau masih belum dengar?" "Peristiwa besar?" "Pada saat ini dunia persilatan sudah menanjak pada akhir jaman, karena dimana2 tersebar keseraman dan kekejaman dengan bau anyir darah!" Suma Bing berkerut alis, tanyanya. "Wanpwe minta petunjuk?" Baru pertama kali inilah Suma Bing merendah diri mengaku sebagai Wanpwe (angkatan rendah) kepada Si maling bintang. Karena si maling bintang pernah memberitahukan kepadanya bahwa ibunya San-hoa-li Ong Fang-lan masih hidup, bersama itu dia juga menyanggupi untuk membantu mencari jejak ibunya itu, maka Suma Bing merasa sangat berterima kasih. Kata Si maling bintang Si Ban-tjwan serius. "Iblis timur mati ditangan Rasul penembus dada yang diutus oleh perkumpulan yang bernama Jeng-siong-hwe!" "Jeng-siong-hwe?" Seru Suma Bing terkejut. "Aneh benar nama itu, belum pernah kudengar dikalangan Kangouw?" "Rasul penembus dada muncul di Bulim baru beberapa bulan saja, dalam jangka waktu satu bulan, kaum persilatan dari aliran hitam atau putih yang mati tertembus dadanya oleh sebilah cundrik tidak kurang dari lima puluh orang. Malah para korban itu kalau bukan salah seorang pentolan daerah pasti tokoh kosen yang kenamaan..." "Bukankah kepandaian orang yang menampakkan diri sebagai Rasul penembus dada itu sangat hebat dan mengejutkan?" "Sudah tentu, Iblis laknat berkepandaian tinggi seperti Tang-mo saja tidak mampu membela diri, maka dapatlah kau bayangkan sendiri. Adalah yang paling mengejutkan bahwa Siau-lim-si yang terkenal sebagai pentolan yang merajai dunia persilatan juga tidak luput dikunjungi oleh Rasul penembus dada itu. Dibawah penjagaan ketat beratus murid lihay dalam kelenteng itu, masih dengan leluasa dia menembuskan senjatanya didada Liau Khong Hwesio kepala pengawas dari Lo-han-tong dan dua muridnya." "Benar2 ada peristiwa besar ini?" "Seluruh dunia persilatan sudah geger dan gempar, sayang mata kupingmu kurang jeli." "Perkumpulan macam apakah Jeng-siong-hwe itu?" "Teka-teki!" "Siapakah pemimpinnya?" "Tiada yang tahu!" Dingin perasaan Suma Bing, bahwa Bwe-hwa-hwe sudah merupakan perkumpulan rahasia dikalangan Kangouw, kini muncul lagi sebuah Jeng-siong-hwe yang serba misterius dan menakutkan. "Apakah tujuan Jeng-siong-hwe menimbulkan kancah pembunuhan berdarah itu?" "Masih merupakan teka-teki!" "Jeng-siong-hwe membunuh Tang-mo sehingga aku kehilangan sumber penyelidikanku untuk menuntut balas, perhitungan ini..." "Apa kau hendak menagih pada mereka?" "Sudah tentu!" "Buyung sudahi saja. Saat ini yang terpenting adalah mencari jejak ibundamu, kalau ibumu masih sehat waalfiat kupercaya takkan ada seorangpun musuh besarmu dapat lolos" Sikap Suma Bing menjadi lesu dan bersedih. "Harapan ibu masih hidup agaknya sangat kecil." "Mengapa?" "Kalau dia orang tua masih hidup, selama puluhan tahun ini mengapa tidak kelihatan jejaknya. Mungkin setelah meninggalkan Tiam-tjong-san masih tidak luput dari tangan kejam para musuh2..." "Itu juga mungkin, tapi bagaimana juga harus diselidiki sampai seterang2nya!" Kata si maling bintang. "Sudah banyak tempat kujajaki, sampai sekarang masih belum dapat kuperoleh..." Dengan penuh perasaan haru Suma Bing memberi hormat kepada si maling bintang, ujarnya. "Kebaikan Tjianpwe, selamanya akan kuingat dalam lubuk hatiku!" "Buyung tidak perlu. Untuk menentramkan sanubari maling tua inilah aku berbuat begitu. Dulu kalau aku tidak terluka parah dan belum pulih lagi tenagaku, mungkin perkembangan selanjutnya bisa berobah. Hehe, yang lalu tidak perlu diperbincangkan lagi! Mari kekota didepan sana mencari warung dan minum arak untuk menghilangkan kesal!" Tanpa menanti jawaban Suma Bing lagi segera ia berlari kedepan. Sekilas Suma Bing melirik kejenazah Tang-mo terus mengikuti dibelakangnya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah kota besar yang ramai. Kedua tua muda itu bersama memasuki sebuah rumah makan Jui-lay-ki, mereka mencari sebuah tempat duduk disamping jendela dipojok sebelah sana, tak lama kemudian arak dan hidangan sudah memenuhi meja dihadapan mereka dengan lahapnya tanpa bicara mereka gegares semua makanan yang lezat dan nikmat. Suasana dalam rumah arak itu sangat ramai dan penuh dengan para pengunjung rata2 mereka tengah memperbincangkan sepak terjang Jeng-siong-hwe, wajah mereka rada2 mengunjuk rasa takut2 dan seram. Se-konyong2 suara keributan dalam ruang makan yang gaduh itu sirap seketika keheningan seram mencekam sanubari setiap hadirin, sedemikian sunyi senyap seumpama jarum jatuhpun dapat terdengar. Suara si maling bintang Si Ban-tjwan berbisik gemetar. "Sudah datang!" Tanpa terasa tergerak dan berdetak hati Suma Bing pandangannya menyapu seluruh ruang tampak wajah semua hadirin pucat ketakutan matanya nanap memandang kearah tangga loteng. Eh, diujung tangga sana berdiri tegap dengan angkernya seorang seragam putih dengan mengenakan kedok putih pula. Bagi kaum persilatan kalau kepandaiannya tidak sangat tinggi diandalkan jarang ada orang yang suka mengenakan pakaian serba putih. Sebab warna putih sangat menyolok mata disiang maupun dimalam hari. Jubah panjang didepan dada orang aneh ini tersulam cundrik berwarna merah darah. "Rasul penembus dada!" Tanpa terasa Suma Bing membatin dalam hati. Bahwa Rasul penembus dada terang2an muncul diatas rumah makan itu benar2 diluar dugaan semua orang. Serta merta Suma Bing merasakan ketegangan hati. Perlahan dan pasti Rasul penembus dada melangkah mantap diantara meja2 makan yang penuh diduduki para tamu, bagai dewa kematian yang tengah mencari sasarannya, dimana ia lewat orang2 itu menunduk kepala tidak berani beradu pandang. Semua orang ber-tanya2 dalam hati elmaut kematian bakal menimpa kepada siapa. Dua lobang bundar diatas kedok putihnya itu memancarkan sinar mata dingin ber-kilat2 bagai tajamnya pedang yang menciutkan nyali orang. Kedua bola mata Suma Bing membelalak bundar dan bergerak mengikuti gerak tubuh Rasul penembus dada. Tiba2 ia merasa dua sinar dingin dari sorot matanya itu tengah bentrok, merinding dan berdiri bulu kuduknya. Batinnya. Apa aku yang dituju? Belum lenyap pikirannya ini sorot mata orang sudah beralih ketempat lain. Setiap hadirin se-olah2 tengah menanti hari kiamat yang menakutkan. Suara derap kakinya yang seperti disengaja berkeresekan diatas papan loteng, seakan irama kesedihan yang mengantar arwah kematian mendetam dihati setiap hadirin. Suasana mencekam hati serasa membeku! Dasar sifat Suma Bing memang congkak dan angkuh, tak kuat ia menahan suasana yang mencekam hatinya ini, bergegas ia bangkit dari tempat duduknya, baru saja... Ter-sipu2 si maling bintang menekan pundaknya dan menyuruhnya duduk kembali. Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ Akhirnya suara derap langkahnya berhenti. Rasul penembus dada berhenti disamping sebuah meja besar disebelah timur sana. Sekeliling meja besar ini sudah padat diduduki orang, yang berduduk ditengah adalah seorang berpakaian perlente dari kain sutera yang mengkilap berusia lanjut, kedua sisinya duduk dua perempuan muda yang memulas mukanya dengan pupur tebal. Dihadapan si orang tua berduduk dua orang Tosu, dibaris belakang mereka berdiri jajar empat laki2 yang berpakaian sebagai centeng. -oo0dw0oo- Jilid 6 21. SI-T IAUKHE K = EMP AT MAY AT GAN TUN G "Siapakah orang tua berpakaian perlente itu?" Tercetus satu pertanyaan dari mulut Suma Bing kepada si maling bintang. "Dialah Ang Bong-cun, iblis cabul yang paling kenamaan didunia persilatan." "Jadi si tua perlente inilah yang telah dipilihnya!" Ditengah suara pekik kaget dan ketakutan, dua perempuan dan kedua Tosu itu bergegas bangkit dan berlari mengumpat dibelakang si tua perlente itu, wajah mereka pucat pasi. Perlahan si tua perlente berdiri gemetar se-akan2 semangatnya tersedot hilang, matanya termangu, mulut terbuka lebar tanpa mampu mengeluarkan suara. "Kau ini yang bernama Ang Bong-cun?" Suara Rasul penembus dada melengking dingin menusuk hati. "Ya, itulah Lohu adanya, entah tuan ada petunjuk apa?" Sahut Ang Bong-cun gemetar. Bibir Rasul penembus dada tampak ber-gerak2, agaknya ia tengah menggunakan ilmu Gi-i-coan-seng (suara semut menimbulkan gelombang) untuk bicara dengan orang, orang lain tidak akan mendengar percakapan mereka ini. Tampak wajah Ang Bong-cun semakin pucat, tubuhnya gemetar dan terhuyung hampir roboh, keringat dingin sebesar kacang menetes deras, bentaknya bengis. "Siapa kau?" "Rasul penembus dada menerima perintah ketua kami untuk melaksanakan kematianmu!" Suaranya dingin bagai es membuat semua pendengarnya bergidik seram. Mendadak Ang Bong-cun menggerung keras, kedua tangan disodokkan keras kedepan, langsung ia menggenjot kedada Rasul penembus dada, naga2nya ia sudah nekad untuk gugur bersama. Se-olah2 tidak merasakan ada serangan dahsyat ini, lincah dan seenaknya saja Rasul penembus dada menggerakkan sebelah tangan mengebut, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, tapi tiba2 tubuh Ang Bong cun terpental mundur bagai diterjang kekuatan dahsyat yang tidak terlihat pandangan mata. Diam2 Suma Bing memuji dan mengurut dada, kepandaian Rasul penembus dada ini benar2 hebat dan mengejutkan. "Ang Bong-cun,kau tidak akan menyesal menghadapi ajalmu." Agaknya Ang Bong-cun sudah panik dan nekad, lagi2 kedua tangannya sudah diangkat dan menyerang lagi... Terlihat sebuah bayangan putih berkelebat cepat dan terus mental balik ketempat asalnya lagi. Lantas disusul terdengar suara jeritan yang mengerikan hati. Tampak dada dan punggung Ang Bong-cun tahu2 sudah berlobang besar, darah segar bagai air mancur menyembur keluar dari lobang lukanya itu. 'Blang!' tubuhnya roboh menumbuk meja. Adegan pembunuhan yang seram secara terang2an ini benar2 membuat hadirin terhenyak ketakutan ditempat duduk masing2, tubuh mereka gemetar tak henti2nya. Dimana terlihat bayangan putih berkelebat bagai seekor burung bangau meluncur keluar melalui jendela terus menghilang dikejauhan dalam sekejap mata. Suma Bing menggerung keras terus mengejar keluar melalui jendela itu. "Hai Suma Bing gila kau!" Seru si maling bintang Si Ban- tjwan. Belum sirap suaranya bayangan Suma Bing sudah menghilang diluar sana. Maka buncah dan gegerlah seluruh keadaan rumah arak yang tadi begitu sunyi senyap. Ber-ulang2 si maling bintang mem-banting2 kaki, setelah melontarkan sekeping perak dimeja segera iapun mengejar keluar melewati jendela itu. Sementara itu, begitu tubuh Suma Bing sampai diluar jendela, terlihat setitik putih bagai terbang tengah berloncatan diatas atap rumah dikejauhan sana, jaraknya tidak kurang dari ratusan tombak. Suma Bing me-nyumpah2 dalam hati sampai keujung langit juga akan kukejar sampai dapat! Dalam berpikir itu dengan kecepatan anak panah ia kerahkan seluruh tenaganya mengembangkan ilmu ringan tubuh terus mengejar kedepan seenteng burung walet. Tiba diujung kota diluar sana adalah sebuah hutan lebat. Titik putih itu dalam sekejap sudah menghilang dari jarak pandangannya didalam hutan itu. Tanpa banyak pikir lagi Suma Bing langsung terbang memasuki hutan lebat, terasa cuaca sekelilingnya sangat gelap. Selama berlarian sepeminuman teh itu kira2 ia sudah menempuh sejauh puluhan li, tapi bayangan putih itu tetap menghilang tanpa meninggalkan jejak. Akhirnya bosan juga ia ubek2kan dalam hutan, baru saja ia berniat putar tubuh tinggal pergi. Se-konyong2 sejalur angin dingin menghembus ditengkuknya, sungguh kejutnya bukan olah2, gesit sekali ia menggeser tubuhnya lima kaki kesamping lalu secepat kilat membalik tubuh, eh aneh bin ajaib, apapun tidak terlihat olehnya. Dan baru saja ia hendak memutar tubuh, sejalur angin dingin menyerbu datang lagi dari arah belakang. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, batinnya. apa aku ketemu setan? Kali ini ia tidak ter-gesa2 memutar tubuh, setelah menenangkan hatinya per-lahan2 ia memutar tubuh, sepasang matanya yang bersinar tajam, jeli dalam sekejap itu sudah menyapu pandang keempat penjuru. Begitu melihat apa yang dipandang seketika darah tersirap diatas kepalanya, tubuhnya gemetar dan merinding. Kiranya diatas sebuah pohon berjarak setombak lebih dibelakangnya sana tergantung sebuah mayat manusia. Mayat itu agaknya sudah lama meninggal, tubuhnya kurus kering tinggal kulit membungkus tulang, tubuhnya bergoyang gontai dihembus angin lalu. Tapi keadaan ini sangat janggal dan mengherankan. Masa didunia ini benar2 ada setan kalau tidak sebuah mayat masa bisa menghembuskan angin? Mendadak ia melihat kiranya mayat gantung itu bukan hanya satu tapi semua ada empat yang tergantung diempat penjuru, keempat mayat gantung ini serupa benar kurus kering, lehernya terikat kencang diatas seutas tali yang tergantung didahan pohon. Dimana dirinya berada kebetulan tepat ditengah2 diantara keempat mayat gantung itu. Hampir meledak jantung Suma Bing saking ketakutan kuncup nyalinya, bulu seluruh tubuhnya berdiri tegak, keringat dingin membasahi tubuh. Masa didunia ini bisa terjadi keanehan ini, empat orang menggantung diri bersama. Jantung Suma Bing berdetak keras dengan mendelong bergantian mengawasi keempat mayat gantung itu. Benar2 bunuh diri secara massal atau mati digantung orangkah? Tiba2 salah sebuah mata mayat itu ber-putar2 mulutnya mengeluarkan pekik tawa melengking menusuk telinga, dan belum lenyap suaranya ini tiga yang lain juga berbareng mengeluarkan lengking tawa dingin saling bersautan, suara tawanya sedemikian mengerikan bagai tawa setan dineraka yang mendirikan bulu roma dan menyedot semangat orang. Akhirnya Suma Bing dibikin paham dan mengerti juga akan apa yang tengah dihadapi, dari ngeri dan seram hatinya menjadi gusar bukan buatan hardiknya keras. "Tutup mulut!" Karena bentakan nyaring laksana geledek menggelegar ini seketika siraplah suara tawa bersahutan dari keempat setan gantung yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang itu. Terdengar Suma Bing melanjutkan makiannya. "Menyamar setan menakuti orang, permainan rendah dari aliran manakah ini?" Salah seorang aneh segera, menyahut dingin. "Bujung, kau inikah murid Kho-lo-sia yang bernama Suma Bing?" Diam2 terkejut hati Suma Bing, agaknya dirinya menjadi sasaran pencarian mereka maka dengan angkuh dan dinginnya ia mengiakan. "Apa kau sudah pernah dengar nama Si-tiau-khek?" "Si tiau-khek? Belum pernah dengar!" "Huh, biar hari ini kau berkenalan!" ditengah suara lengking tawanya berbareng Si-tiau-khek melayang turun keatas tanah, kedudukan mereka masih tetap berpencar diempat penjuru mengepung Suma Bing di-tengah2. Lehernya masih terhias tali gantung itu, sikap raganya benar2 seperti mayat hidup, pemandangan ini benar2 membuat seram dan takut orang yang melihatnya. Segera salah seorang yang berperawakan paling tinggi membuka kata. "Buyung, ingatlah biar betul. Jangan sesudah kau menghadap Giam-lo-ong masih tidak mampu menyebut nama orang yang menyempurnakan jiwamu. Toayamu ini adalah pentolan dari Si-tiau-khek bernama Heng-si-khek." Lalu berturut2 ia menunjuk dan menyebut. Bou-bong-khek, Hui- bing-khek dan teh-tjiam-khek. Sekilas Suma Bing menyapu pandang keempat mayat gantung itu lalu serunya dengan nada mengejek. "Aku juga bisa sempurnakan kalian menurut cara nama gelaran kamu masing2. Tapi sebelum turun tangan aku ingin mengetahui apa tujuan kedatangan kalian?" "Buyung." Jengek Heng-si-khek sinis. "Kematianmu sudah didepan mata, tidak perlu kau membual percuma, mau tahu tujuan kita?... kita ingin jiwamu!" Sontak membara hawa amarah Suma Bing, serunya dengan nada berat. "Kalian tidak mau mengatakan tujuan kamu, terpaksa aku yang rendah berlaku kurang hormat..." "Buyung kau masih terpaut terlalu jauh!" Tukas Bou bong- khek dengan suara melengking. "Silahkan kau mencoba lebih dulu!" Sambil membentak keras Suma Bing lancarkan sebuah hantaman menyerang kearah Bou-bong-khek. Dimana gelombang angin badai melanda tampak Bou-bong-khek angkat sebuah tangannya yang kurus kering berputar satu lingkar... Seketika angin pukulan Suma Bing yang dahsyat itu hilang sirna karena putaran tangan Bou-bong-khek ini. Malah bersamaan dengan itu sejalur angin dingin menerjang tiba merangsang dirinya, betapa hebat kekuatan hawa dingin ini benar2 susah dibayangkan, seketika Suma Bing terbentur mundur tiga langkah. Baru sekarang Suma Bing benar2 merasa sangat terkejut. Bahwa Lwekang musuh kiranya lebih tinggi dan lihay dari dugaannya semula. Salah seorang dari musuh ini saja sudah sedemikian lihay apalagi kalau berempat bergerak serentak mengeroyok dirinya, sudah pasti dirinya bukan tandingan mereka. Akan tetapi dasar sifat pembawaan Suma Bing memang keras angkuh dan tak mengenal takut. Begitu tubuhnya berdiri tegak lagi sambil menggerung keras ia lancarkan lagi sebuah hantaman yang menggunakan seluruh kekuatan Kiu-yang-sin-kang, gelombang panas ber-gulung2 bagai badai ombak dan gugur gunung menerpa kearah musuh. Agaknya Bau-bong-khek dapat melihat gelagat akan kehebatan pukulan ini, tanpa berayal tubuhnya maju selangkah kedua kaki sedikit ditekuk lantas kedua tangannya disurung kedepan... Setelah suara menggelegar bagai bumi meledak, tanah pasir bergulung dan beterbangan Suma Bing sempoyongan mundur lima langkah, darah bergolak hampir menyembur keluar dari mulutnya. Sebaliknya Bau-bong-khek hanya tergeliat dua kali tanpa berkisar dari tempatnya semula. Jengeknya. "Bagaimana bocah busuk. Satu diantara kita sudah cukup mencabut nyawamu bukan?" Sekarang baru Suma Bing benar2 merasa bergidik merinding, sejak dirinya menelan Kiu-tjoan-koan-yang-tjau-ko, Lwekangnya sudah maju berlipat ganda, sungguh diluar sangkanya bahwa dirinya masih tidak kuat melawan satu diantara Setan gantung ini. Lwekang Ketua Bwe-hwa-hwe agaknya lebih unggul dari Bu-lim-su-ih, sebaliknya keempat setan gantung ini naga2-nya masih lebih unggul sedikit lagi dari ketua Bwe hwa-hwe. Tapi untuk tujuan apakah para setan gantung ini mencari dirinya? Bahwa kepandaian empat setan gantung ini memang bukan olah2 hebatnya, namun sebelum ini dirinya belum pernah dengar akan nama si-tiau-khek! Dua kali terpental mundur tanpa terasa Suma Bing sampai dihadapan Hui-bing-khek sejauh jangkauan sebuah tangan, tahu2 sebuah jari tangan sudah menekan jalan darah besar Bing-bun-hiat Suma Bing, lalu disusul sebuah suara dingin menggiriskan mengancam. "Buyung, jangan bergerak!" Tergetar perasaan Suma Bing, seketika membara hawa amarahnya. "Membokong melukai orang terhitung orang gagah macam apa?" "Bocah busuk!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Semprot Heng-si-khek segera. "Waktu tidak menunggu orang, dengan cara begini lebih gampang dan cepat, jadi tak usah lagi kita berempat susah payah. Seumpama benar2 mau berkelahi, hehehe, sekali kita turun tangan serempak, kutanggung tubuhmu pasti hancur lebur jadi perkedel!" Saking murka Suma Bing mengertak gigi, desisnya penuh kebencian. "Si-tiau-khek, ingatlah akan penghinaan begini, akan datang suatu hari aku Suma Bing pasti membunuh kalian berempat!" "Buyung, kudoakan kau mendapat kesempatan itu. Hanya sayang ucapanmu ini bagai kentut yang tak berguna." Mendadak Teh-tjiam-khek menjerit keras melengking seperti pekikkan setan. Sebuah bayangan orang segera melesat tiba memasuki hutan. Segera Si-tiau-khek berseru lantang bersama. "Lapor pada Ketua, kita sudah bekerja menurut perintah" "Kalian berempat tak perlu banyak peradatan." Waktu Suma Bing memandang, hampir saja dadanya meledak saking gusar, karena bayangan yang baru muncul ini ternyata bukan lain adalah Ketua Bwe-hwa-hwe. Sungguh diluar tahunya bahwa Si-tiau-khek yang lihay ini kiranya adalah begundal Bwe-hwa-hwe? Juga dia tak habis mengerti mengapa Ketua Bwe-hwa-hwa ini sedemikian besar hasratnya hendak melenyapkan dirinya? Tidak lama kemudian beruntun berdatangan lagi beberapa orang berseragam hitam dari empat penjuru, baju didepan dada mereka bersulam sekuntum bunga Bwe besar. Segera Heng-si-khek maju minta petundjuk. "Lapor Ketua, bagaimana bocah ini harus kubereskan?" Tanpa ragu2 segera Ketua Bwe-hwa-hwe menyahut. "Gusur pulang kemarkas besar." "Wah ini agak berabe, kalau terjadi sesuatu hal ditengah jalan." Tapi dia orang tua ingin dia hidup, dan hendak mengompresnya sendiri..." "Apakah Hwe-tiang masih ingat tentang peristiwa Pek kut-ji yang sudah muncul dua kali?" Tercekat hati Suma Bing, timbul pertanyaan dan rasa curiga dalam benaknya, entah siapakah 'dia orang tua' yang dimaksud oleh Ketua Bwe-hwa-hwe ini? Naga2-nya Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri juga mendapat perintah lagi dari orang lain. Terdengar Ketua Bwe-hwa-hwe berkata dengan nada berat. "Hal itu sudah diatur dengan rapi sekali. Tutuklah jalan darah bocah ini, begitu lebih gampang kalian menggusur pergi. Lalu silahkan kalian berempat masing-masing mengendarai sebuah kereta berpencar dari empat jurusan langsung kembali kemarkas besar!" "Kalau begitu hamba sekalian sudah paham," Sahut Hengsi- khek. "Setiap kereta memuat seorang yang berwajah sama dan pakaian yang sama pula, berpencar dari empat penjuru." Segera terdengar suara ringkik kuda dan roda kereta berkeletak-keletok mendatangi, empat kereta kecil lambat2 memasuki gelanggang. Kedua mata Suma Bing mendelik merah membara, sungguh diluar dugaannya bahwa dirinya bakal begitu gampang terjatuh dalam cengkeraman iblis para musuh2nya ini. Segera ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi. "Pakaian kalian berempat juga harus diganti supaya tidak menimbulkan kecurigaan atau perhatian orang!" "Hamba terima perintah." "Bocah ini harap Lo-toa yang mengantar?" "Baik!" Diam2 Suma Bing tidak habis mengerti, didengar dari cara Ketua Bwe-hwa-hwe bicara kepada Si-tiau-khek benar2 membuat orang susah menebak atau mengambil kesimpulan apa dan betapa tinggi kedudukan Si-tiau-khek ini didalam Bwe-hwa-hwe mereka. Apalagi kepandaian Si-tiau-khek agaknya masih lebih unggul dari Ketua Bwe-hwa-hwe sendiri? "Mulai berangkat!" Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuh tergetar hebat, beberapa jalan darah besar ditubuhnya beruntun ditutuk. "Buk", kontan tubuhnya terkapar diatas tanah, seluruh tubuh terasa lemas lunglai, mulut tak kuasa bicara, sia2 saja matanya melotot merah gusar sisa2 tenaga untuk melawan saja tidak mampu. Seorang laki2 segar segera maju mendekati sigap sekali orang ini mengenakan sebuah kedok kemuka Suma Bing, lalu mengganti juga pakaian Suma Bing dengan sebuah jubah warna hitam yang bersulam sekuntum bunga Bwe didepan dada. Hampir meledak dada Suma Bing, dan jatuh pingsan saking gusar. Bersama itu Si-tiau-khek juga telah mengeluarkan kedok masing2 terus dikenakan dimukanya untuk menutupi wajahnya yang beringas menakutkan. Sorot mata ketua Bwe-hwa-hwe mencorong tajam dari dalam kedoknya, sekilas ia menyapu pandang kearah Heng-si- khek dan berkata. "Lo-toa, hati2lah sepanjang jalan!" "Hamba sudah paham." "Kalau terjadi sesuatu hal dan terpaksa, kuberi ijin untuk melenyapkan jiwanya. Dan juga, kalau kebentur lagi dengan Pek-kut-ji atau Rasul penembus dada, kau harus hati2 layanilah dengan hormat, jangan menggunakan kekerasan, inilah perintahku!" "Hamba terima perintah!" "Sekarang boleh berangkat, naik kereta kedua!" Bau-bong-khek, Hui-bing-khek dan Teh-tjiam-khek segera melesat naik keatas kereta kesatu, kedua dan ketiga. Sedang Heng-si-khek segera menjinjing tubuh Suma Bing langsung menuju kekereta kedua... Pada saat itulah mendadak kerai kereta tersingkap sebuah bayangan putih mulus keluar dari dalam kereta melayang enteng bagai roh halus didepan kereta. Pakaian sepan serba putih dan mengenakan kedok putih pula, didepan dadanya bergambar sebilah cundrik berwarna merah darah. Seketika terdengarlah suara pekik terkejut dan ributlah suasana... "Rasul penembus dada!" -- "Rasul penembus dada!" Bahwa Rasul penembus dada bisa keluar dari kereta kedua ini benar2 merupakan hal yang sangat mustahil dan susah dibayangkan. Seketika Si-tiau-khek terhenyak kaget ditempat masing2. Tidak ketinggalan Ketua Bwe-hwa-hwe juga terkejut mundur tiga langkah, tubuhnya gemetar menahan perasaan hatinya. Begitu suara ribut2 itu sirap suasana menjadi sedemikian hening lelap menegangkan, keseraman seketika meliputi lubuk hati setiap hadirin. Kurang lebih baru satu bulan Rasul penembus dada muncul didunia persilatan, tapi sepak terjangnya benar2 sangat menggemparkan kaum persilatan se-akan2 dunia persilatan sudah mendekati masa2 akhirnya entah dia dari aliran hitam atau putih begitu mendengar nama dan melihat ujudnya segera lari lintang pukang menyelamatkan diri. Sudah tahu namun Ketua Bwe-hwa-hwe sengaja mengajukan pertanyaan. "Tuan orang kosen darimana?" "Rasul penembus dada!" Kata2 ini keluar dari mulut tokoh misterius yang menakutkan ini, tekanan nada dan irama suaranya benar2 menyedot semangat semua anggota Bwehwa- hwe yang hadir. Merandek sejenak lantas Ketua Bwe-hwa-hwe berkata lagi. "Tuan datang kemari ada petunjuk apakah?" "Kau inikah Ketua Bwe-hwa-hwe?" "Tidak salah!" "Sebutkan namamu?" Lagi2 Ketua Bwe-hwa-hwe tergetar mundur satu langkah, suaranya gemetar. "Ini... maaf tak dapat kukabulkan." Rasul penembus dada mengekeh tawa dingin, ancamnya. "Kau berani membangkang?" Walaupun jalan darah Suma Bing tertutuk, mulut tak dapat bicara, namun kupingnya masih bisa mendengar. Dengan jelas ia menyaksikan dan dengar segala perobahan yang terjadi. Hatinya turut terkejut dan heran bahwa Rasul penembus dada bisa mendadak muncul disitu. "Blang", tubuh Suma Bing dilontarkan sejauh tiga tombak dan rebah tak berkutik diatas tanah. Sebat luar biasa keempat Setan gantung itu lantas berpencar keempat penjuru mengepung Rasul penembus dada. Dengan pandangan dingin Rasul penembus dada mendengus hina, tanpa melirik sekejappun kearah Keempat Setan gantung. Suasana seram ini semakin memperuncing ketegangan lubuk hati setiap hadirin. Sejenak menenangkan hatinya, lantas Ketua Bwe-hwa-hwe bertanya. "Tuan ingin mengetahui nama besarku, apakah tujuan tuan?" "Ingin kuketahui wajah aslimu, mudah bukan?" "Apa tidak keterlaluan keinginan tuan ini?" "Sekarang lebih baik kau segera tanggalkan kedokmu itu!" Nada kata2nya seakan memerintah dan tidak memberi kelonggaran sedikitpun. Bahwasanya Bu-lim-su-ih yang kenamaan juga tidak masuk dalam pandangan Ketua Bwe-hwa-hwe ini. Sebaliknya menghadapi ketemberangan Rasul penembus dada ini sikapnya agak takut2. Tapi dihadapan sekian banyak anak buahnya, demi menjaga gengsi tak dapat tidak ia harus memberanikan diri supaya tidak memperlihatkan kelemahannya. Maka segera ia menyahut lantang. "Maaf tak dapat kuturuti keinginan tuan!" "Selamanya kata2 Rasul penembus dada sekokoh gunung tidak mengenal apa yang dinamakan 'tidak bisa'. Ketahuilah, diseluruh kolong langit ini tidak akan kubiarkan seseorang menyembunyikan wajahnya dihadapanku!" "Memangnya kenapa?" "Itu bukan urusan yang harus kau tanyakan!" "Baiklah kutandaskan sekali lagi, tidak bisa!" "Apa kau sudah membayangkan akibatnya?" "Sebagai Ketua selamanya aku belum pernah diancam." "Hehehehehe... obrolan impian!" "Tuan terlalu menghina orang!" - disertai suara bentakan menggeledek, keempat Setan gantung serempak mengirim pukulan menyerang Rasul penembus dada. Bersamaan dengan itu Ketua Bwe-hwa-hwe malah melejit jauh menyingkir tiga tombak diluar gelanggang. Maka terdengarlah suara dentuman yang dahsyat memekakkan telinga, kontan keempat Setan gantung mundur terhuyung beberapa langkah. Hanya gebrak pertama kali ini cukup membuat kuncup dan ciut nyali setiap anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir. Betapa hebat gabungan tenaga keempat Setan gantung ternyata masih tidak kuat melawan seorang malah terpental balik sendiri. Lwekang sedemikian hebat benar2 sangat mengejutkan dan menggetarkan. Pada saat keempat Setan gantung terhuyung mundur dan belum sempat berdiri tegak itulah tiba2 terlihat sebuah bayangan putih berkelebat secepat kilat, tahu2 Rasul penembus dada sudah melejit tiba dihadapan Ketua Bwe-hwa- hwe sejarak uluran tangan. Serta-merta Ketua Bwe-hwa-hwe tersurut mundur ketakutan. "Tanggalkan kedokmu?" Suara dingin Rasul penembus dada memerintahkan! "Tidak bisa!" "Manusia sombong!" Tiba2 terdengar sebuah lengking suara aneh, Hui-bing khek salah satu dari keempat Setan gantung dengan kecepatan kilat mendadak menubruk kearah Rasul penembus dada. Belum tubuhnya tiba, rangsangan angin pukulannya sudah melanda lebih dulu. "Kembali!" dimana sebuah tangan Rasul penembus dada diayun, kontan tubuh Hui bing khek terpental balik ditengah udara. Maka pada saat yang bersamaan itu terdengar pula suara bentakan yang riuh rendah, ketiga Setan gantung yang lain serentak ikut merabu datang dengan pukulan2 dahsyat yang mematikan. Rasul penembus dada menggeram gusar, topan angin pukulannya sekokoh gunung kontan menerjang keluar memapak maju mengiringi suara geramannya itu. Kontan terdengar suara mendehem keras seperti hendak muntah diselingi suara lolong maut yang mengerikan. Bau- bing-khek dan Heng-si-khek terpental terbang delapan kaki jauhnya. Adalah Teh-tjiam khek yang paling mengenaskan, badannya terbawa terbang tergulung topan angin pukulan hingga jungkir balik seperti layang2 putus benangnya, hujan darahpun terjadi ditengah udara. Hampir dalam waktu yang sama. Ketua Bwe-hwa-hwe juga telah lancarkan sebuah hantaman dahsyat dari seluruh kekuatannya membokong punggung Rasul penembus dada. Pukulannya ini bukan saja keras juga cepat laksana kilat menyambar. Se-olah2 punggung Rasul penembus dada tumbuh mata, tanpa berpaling lagi tiba2 tubuhnya bergerak melingkar laksana seekor belut dan dimana kakinya menginjak tanah lagi, tahu2 tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Ketua Bwe- hwa-hwe sejauh tidak lebih dari tujuh kaki. Melihat pukulan yang paling diandalkan ternyata mengenai tempat kosong, tanpa terasa terbang semangat Ketua Bwe- hwa-hwe, belum sempat lagi otaknya berpikir, tahu2 ia merasakan pergelangan tangannya kesakitan, kiranya tangan kanannya telah digenggam kencang oleh Rasul penembus dada. Sementara itu, Suma Bing sudah melupakan dimana dirinya berada, kedua matanya dengan mendelong mengawasi gelanggang pertempuran. Bahwasanya dia sendiri sangat ingin melihat dan mengetahui bagaimana sebenarnya wajah asli dari Ketua Bwe hwa hwe ini, besar harapannya hendak membuka kedok musuhnya ini yang selalu memburu dirinya dan hendak membunuhnya malah. Teka-teki ini agaknya segera akan terpecahkan. Buncah dan ributlah para anggota Bwe-hwa-hwe yang hadir, pucat dan gemetar tubuh mereka melihat Ketuanya diringkus musuh, namun mereka insaf dan tak berani menampilkan diri untuk menolong. "Jangan lukai majikan kami!" Terdengar ketiga Setan gantung itu berteriak beringas ditengah suara pekik gusar mereka itulah berbareng mereka menubruk maju lagi sambil menyerang kalap. Sekali jinjing dengan enteng sekali Rasul penembus dada angkat tubuh Ketua Bwe hwa hwe dibuat sebagai tameng untuk menangkis pukulan tiga setan gantung yang meluncur tiba dari tengah udara. Terpaksa ter-sipu2 ketiga Setan gantung menarik balik serangannya kalau tidak pasti Ketua mereka sendiri bakal mati konyol. Dengan nada hina dan muak Rasul penembus dada mengancam. "Setan gentayangan, berdirilah yang agak jauh!" Setelah saling berpandangan, benar2 juga tanpa berani banyak putar bacot tiga Setan gantung itu segera mundur beberapa langkah. Tampak tubuh Ketua Bwe-hwa-hwe gemetar keras, mungkin baru sekarang dia merasakan betapa nikmat sebagai orang yang ditawan oleh musuh. "Lekas kau turun tangan sendiri!" suara ini se-olah2 mengandung daya perintah yang tak dapat dibantah dan diabaikan. Maka dilain saat kedok kain muka telah ditanggalkan, terlihat sebuah wajah cakap ganteng dari seorang pemuda yang mengandung kebengisan, pancaran matanya buas dan dugal. Tergetar perasaan Suma Bing sungguh diluar prasangkanya bahwa Ketua Bwe-hwa-hwe yang menggetarkan itu ternyata adalah seorang pemuda yang sepadan dengan dirinya. Ada permusuhan dendam apakah pemuda ini terhadap dirinya? Ya, benar, masih ada seorang lain dibelakang layar yang mereka sebut sebagai 'dia orang tua' itu. Lalu siapa pula orang tua itu? Para jagoan Bwe-hwa-hwe rata2 mengunjuk rasa terkejut tercengang dan penuh kecurigaan, baru pertama kali ini mereka melihat jelas wajah asli Ketua mereka selama mereka mengabdi diri dibawah perintahnya. "Tuan sudah puas belum?" Tanya Ketua Bwe-hwa-hwe sambil mengertak gigi. Agaknya Rasul penembus dada juga merasa diluar dugaan, sejenak ia tertegun lalu sahutnya. "Masih ada satu hal..." 22. RACUN DIRACUN DIPERAS OLEH RASUL PENEMBUS DADA. "Cepat katakan!" "Siapa namamu?" "Tjhiu Thong!" Rasul penembus dada melepas tangannya lalu mundur satu tindak katanya. "Sampai sekian saja kalian boleh pergi!" Kata Tjhiu Thong Ketua Bwe-hwa-hwe dengan penuh kebencian. "Tuan harus ingat perhitungan hari ini." "Hehehehehe, kutunggu pembalasanmu!" Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan tangannya kearah tertua dari keempat Setan gantung yaitu Heng-si-khek sambil berseru. "Bawa pergi!" Sekali berkelebat Heng-si-khek melejit kesamping Suma Bing... "Jangan sentuh dia!" cegah Rasul penembus dada sambil angkat sebelah tangannya. Seketika Heng-si-khek terhenyak ditempatnya. Gigi Ketua Bwe-hwa-hwe gemeretak menahan amarah yang tak terkendalikan, geramnya. "Apa maksud tuan sebenarnya?" "Tidak apa2, lekas kalian pergi!" Ketua Bwe-hwa-hwe membanting kaki dengan gemas dan dongkol, serunya. "Tuan gunung tetap menghijau air selalu mengalir, kelak kita bertemu lagi!" habis berkata ia ulapkan tangan memberi perintah untuk mundur. Maka bayangan orang berkelebatan suara roda kereta berkeletokan menjauh dalam sekejap mata semua sudah pergi bersih. Dipihak lain Suma Bing merasa kejut2 heran dan tak habis mengerti, masa kedatangan Rasul penembus dada ini adalah khusus hendak menolong dirinya? Sepasang mata Rasul penembus dada ber-kilat2 menyedot semangat menatapi wajah Suma Bing, tiba2 jari2nya ber- gerak2 dari kejauhan beruntun ia menutuk. Seketika bebas tutukan jalan darahnya, Suma Bing bergegas melompat bangun terus merangkap tangan sambil berseru. "Atas pertolongan tuan..." "Kau jangan salah sangka," Tukas Rasul penembus dada dengan suara dingin kaku tak berperasaan. "Kedatanganku ini bukan hendak menolong kau!" Suma Bing tertegun, tanyanya. "Lalu apa maksud kedatangan tuan ini?" "Mengejar jejak Ketua Bwe-hwa-hwe. Kebetulan ketemu kau disini ini memudahkan pekerjaanku." Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego Karya Can Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo