Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 19


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 19


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   "Kangkun Lojin mendapat pesan dari Te kun, untuk merembukkan tentang persoalanmu masuk warga dalam perkampungan bumi, aku sudah melulusi mereka."   Suma Bing melengak.   "Bibi sudah melulusi!"   "Kayu sudah menjadi perahu, apalagi Kangkun Lojin sendiri yang ikut campur, terpaksa aku harus setuju!"   "Tapi bagaimana adik Sian..."   "Kin sian paham dan maklum akan keadaanmu, ini tiada persoalan baginya!" "Tapi aku... selalu merasa tidak tentram bibi Jui, aku..."   "Kenapa?"   "Aku berkeputusan untuk tidak kembali lagi ke Te po!"   "Tidak bisa, cara memilih menantu sudah merupakan tradisi bagi mereka, peraturan ini sudah menjadikan undang2 tetap dikalangan Kangouw. Apalagi kau dengan Pit Yau ang sudah melangsungkan upacara pernikahan secara resmi, bagaimana rasa tanggung jawabmu kepadanya?"   Sampai sekarang Suma Bing masih rada dongkol dan jengkel, sahutnya.   "Mereka menipu aku!"   "Nak, kau tidak bisa berkata demikian!"   "Lalu adik Sian?"   "Sudah tentu dia ikut kau ke Te po!"   "Ini..."   "Kin sian sendiri sudah setuju!"   Suma Bing memandang istrinya dengan penuh penyesalan yang tak terhingga, betapa resah perasaan hatinya susah dikatakan.   Sebenarnya cinta itu sangat egois, adalah sebaliknya bagi Phoa Kin sian waktu mengetahui suaminya terjatuh kedalam pelukan perempuan lain, bukan saja tidak mengunjuk perasaan cemburu, malah sinar wajahnya mengunjuk rasa girang berseri, ini benar2 susah dimengerti.   Ong Fong jui mengalihkan pokok pembicaraan.   "Nak, kau masih belum menceritakan bagaimana kau bisa tiba ditempat selokan yang tersembunyi ini."   Lagi2 Suma Bing harus dipaksa mengenang kenyataan yang menyedihkan itu, katanya penuh kebencian.   "Tit ji (keponakan) diberi minum tiga cangkir darah pusaka naga bumi. Aku ingin melebur tenaga baru ini kedalam ilmu Kiu yang sin kang, maka akhirnya kupilih tempat selokan yang tersembunyi ini untuk berlatih, sungguh tak terduga ditengah jalan aku mendapat gangguan..."   "Siapakah yang mengganggu kau?"   Tanya Phoa Kin Sian terharu. Sebaliknya Ong Fong jui segera mendengus dingin.   "Tiada orang lain pasti dia."   Suma Bing menjadi keheranan, naga2nya si pemuda yang mengaku bernama Phoa Cu giok ada hubungan erat dengan Ong Fong jui guru dan murid.   Kalau tidak sebelum pergi Phoa Cu giok juga tidak bakal mengatakan satu jam kemudian pasti ada orang datang, maka pura2 tidak tahu dia bertanya.   "Bibi Jui, siapakah dia?"   Mendadak tubuh Phoa Kin sian menggigil gemetar. Suma Bing terbaring dalam pangkuannya sudah tentu dia merasa akan hal ini, tanpa terasa tergerak hatinya. Sejenak Ong Fong jui ragu2, lantas balas bertanya.   "Apa kau tahu siapa dia?"   "Dia mengaku dirinya bernama Phoa Cu giok!"   "Hm, dia adalah adik kandung Kin sian, juga adik iparmu!"   Keruan Suma Bing terperanjat, tidak diketahuinya bahwa Cu giok ternyata adalah adik istrinya, bagaimana dia harus membalas perhitungan ini? Pada saat itu mendadak Phoa Kin sian melelehkan airmata dengan derasnya.   Panjang2 Suma Bing menghela napas katanya.   "Adik Sian, jangan kau berduka karena peristiwa ini, mungkin dia tidak sengaja, aku... tidak salahkan dia."   "Engkoh Bing kau tidak tahu, kelak... ai, mungkin pada suatu hari akan kuberitahukan kepada kau!"   "Apa?" "Sekarang tidak bisa kukatakan!"   "Sebenarnya apakah yang telah terjadi?"   "Ai? Mungkin aku berbuat salah, tapi sudah terlambat!"   Wajah Ong Fong jui berubah serius, katanya.   "Kin sian harus cari dia kembali."   Tercetus ucapan Suma Bing.   "Dia juga membawa Pedang d a r a h k u ! "   P h o a K i n s i a n me r e b a h k a n S uma B i n g d i a t a s t a n a h , t e r u s berjingkrak bangun serunya gemetar.   "Apa dia membawa Pedang darah?"   Suma Bing mengiakan. Airmuka Ong Fong jui juga berobah marah, serunya geram.   "Ada kejadian begitu, anak itu sudah tidak dapat ditolong lagi!"   Wajah Phoa Kin sian penuh airmata, katanya penuh duka.   "Suhu, engkoh Bing kuserahkan kepadamu, aku..."   "Kau kenapa?"   "Bagaimanapun aku harus mencarinya kembali, sedikitnya Pedang darah itu harus diminta pulang!"   Habis berkata tubuhnya terus melejit terbang menghilang.   "Adik Sian!"   "Kin sian!"   Ong Fong jui dan Suma Bing berseru berbareng, tapi Phoa Kin sian bagai tidak mendengar, pada lain kejap bayangannya sudah menghilang dikejauhan sana.   Terang kalau keadaannya saat itu sangat berduka dan sedih luar biasa...   Suma Bing menyesal dan menghela napas, katanya.   "Hm, kejadian ini benar2 diluar dugaan"   Wajah Ong Fong jui membesi kehijauan, suaranya mengandung kebencian.   "Phoa Cu giok banyak berbuat jahat dan bertabiat rendah, akan datang suatu hari dia termakan akan buah perbuatannya ini, malah mungkin bisa mencelakai cicinya sekalian!"   "Bibi Jui, Phoa Cu giok juga menjadi muridmu?"   "Ya, kupandang muka Phoa Kin sian maka kuterima dia menjadi murid. Siapa tahu diluar bagus tapi busuk didalam kalau dia tidak bisa merubah tabiatnya ini, tidak dapat tidak aku harus menghukumnya menurut undang2 perguruan!"   "O, bibi Jui, bagaimana kau bersama Kin Sian bisa datang diselokan yang tersembunyi ini?"   "Disinilah tempat aku menetap."   "Tempat sepi ditengah alas pegunungan ini?"   "Tak lama lagi kau pasti dapat tahu, sekarang lebih baik kita kembali ketempat kediamanku dulu!"   Sambil berkata ia jinjing tubuh Suma Bing terus berlari bagai terbang kearah selokan yang lebih dalam sana, sekejap saja mereka tiba didepan sebuah gua.   Tanpa banyak pikir langsung Ong Fong jui terus menerobos masuk.   Gua ini sedemikian bersih dan nyaman sedikitpun tak terlihat ada kotoran, ruangan dalam gua itu selebar tiga tombak persegi, meskipun kecil namun dihias sedemikian rupa bagai kamar seorang putri raja.   Langsung Ong Fong jui membaringkan Suma Bing diatas sebuah dipan yang lengkap dengan kasur dan bantal guling.   Menyapu pandang keadaan ruangan ini berkatalah Suma Bing.   "Bibi Jui, disinikah tempat kediamanmu?"   "Bukan, ini hanya tempatku bersemadi."   "Bibi Jui, mengenai kabar ibunda..."   Rona wajah Ong Fong jui berubah tak menentu, katanya.   "Nak, sejak kuketahui riwayat hidupmu, setiap saat setiap Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ waktu selalu aku berusaha mencari... Sekarang jangan kita perbincangkan soal itu, biar kuperiksa dulu lukamu itu."   "Dapatkah badanku sembuh kembali?"   "Sekarang belum bisa ditentukan, tapi, nak, aku akan berusaha sekuat tenaga!"   Sambil berkata tangannya diulur menekan dan memeriksa nadi jalan darah Suma Bing yang sebelah tubuhnya sudah tak dapat bergerak lagi. Lama dan lama sekali tanpa bersuara. Suma Bing menjadi risau dan tak sabar.   "Bagaimana bibi Jui, masih dapat ditolong?"   Ong Fong jui terpekur dalam se-olah2 tengah memikirkan persoalan besar yang susah dipecahkan, begitulah dia berdiam diri tanpa menyahuti pertanyaan Suma Bing.   Kira2 setengah harian kemudian baru dia menepuk dipinggir ranjang, dan berkata seperti menggumam.   "Terpaksa begitulah!"   Suma Bing tertegun, tanyanya.   "Bibi Jui, lebih baik bagaimana?"   "Biar aku menempuh bahaya!"   "Menempuh bahaya?"   "Benar, menggunakan tenaga murniku diaduk bersama dengan Kan goan kay hiat sip meh tay hoat, untuk menjebol jalan darahmu yang buntu karena latihanmu yang tersesat itu. Selain dengan cara ini tiada cara lain yang lebih sempurna. Ingat, setelah tenagamu pulih kembali, kalau melihat keadaanku sangat janggal jangan kau gugup dan takut, kau harus tenang dan pindahkan saja aku dikamar dalam disebelah gua ini..." 36. TABI B KEN AMA AN PEK CHI "Terletak dimanakah kamar dalam itu?"   Tanya Suma Bing penuh was2.   "Kau geser dipan ini tiga senti kekanan, pintu kamar dalam itu akan membuka sendiri, kalau digeser lima senti kekiri dia akan menutup sendiri pula..."   "Kenapa ini..."   "Dengar, setelah kau pindahkan aku dikamar sebelah, kau harus segera keluar dari selokan ini pergilah ke Yok ong bio di Seng toh. kepada Pek Chio Lojin kepala dari biara itu, mintalah sebutir Hoan hun tan. Dalam jangka waktu sepuluh hari kau sudah harus kembali disini, masukkan Hoan hun tan itu kedalam mulutku, lalu dengan Kiu yang sin kang kau bantu bekerjanya obat itu, mungkin aku bisa selamat tanpa kurang suatu apa..."   Suma Bing berkuatir.   "Untuk aku bibi Jui hendak menempuh bahaya?"   "Mana bisa aku melihat kau mati setelah cacat begini?"   "Masa tiada jalan lain?"   "Tidak ada!"   "Biarpun mati aku juga tidak setuju!"   "Omong kosong, kau sudah lupa dendam dan, sakit hatimu, masih berapa banyak kebahagiaan orang lain tergantung diatas tubuhmu, mana boleh kau pandang kematian begitu ringan!"   Suma Bing semakin berduka, airmata mulai meleleh keluar, katanya.   "Tapi kau bibi Jui..."   "Asal dalam sepuluh hari kau bisa mendapatkan Hoan hun tan, aku tidak bakal mati."   "Kalau terjadi sesuatu..."   "Serahkan saja nasib kita kepada Tuhan!" "Tidak!"   Wajah Ong Fong jui berobah kaku membengis.   "Jangan kau membawa adatmu sendiri."   "Bibi, jangan, jangan kau..."   "Jangan bergerak, sekarang mulai!"   Beruntun Ong Fong jui memukul se-keras2nya diduabelas jalan darah suma Bing, lalu duduk bersila disamping Suma Bing, kedua tangannya menekan jalan darah Bing bun dan Thian leng, maka arus hawa hangat mulai disalurkan.   Bagaimana juga Suma Bing tidak rela Ong Fong jui menempuh bahaya demi jiwanya namun dia tak kuasa melawan dan mendebat, terpaksa dia mandah saja menerima pengobatan.   Sedemikian keras dan derasnya arus hawa hangat itu mengalir bagai banjir air bah terus menerjang dan menjebol segala apa saja yang merintang didepannya demikian juga semua jalan darah Suma Bing yang buntu bobol pertahanannya.   Setelah menjebol tiga jalan darah besar, karena benturan hawa hangat ini terlalu keras tak tahan lagi Suma Bing jatuh pingsan.   Waktu dia siuman kembali terasa jalan darahnya sudah normal dan berjalan seperti biasa, hawa murninya penuh sesak bergairah, ternyata semua tenaga murninya sudah terbaur didalam Kiu yang sin kang, dalam berpikir2 itu gelombang panas masih mengalir deras dalam tubuhnya.   Waktu pandang bibinya disamping, tampak wajahnya pucat pias, tubuhnya rebah kaku tanpa bergerak, waktu diraba pernapasannya sudah berhenti, kaki tangan juga sudah dingin, tinggal jantungnya saja yang masih sedikit berdetak.   Betapa perih perasaan Suma Bing kala itu, sungguh dia tidak berani membayangkan, kalau bibinya meninggal karena dirinya...   Mematuhi pesan bibinya dia geser dipan itu kekanan, mendadak dinding sebelah kiri terbuka sebuah pintu, dimana terlihat sebuah kamar lagi lebih besar dan lebih mentereng, tanpa banyak pikir segera ia pindah tubuh bibinya kekamar dalam ini dan direbahkan diatas ranjang lalu mulutnya menggumam.   "Bibi, dalam sepuluh hari, seumpama harus mengorbankan jiwa juga obat itu pasti dapat kubawa kembali!"   Memandang awan yang terapung bebas ditengah udara hatinya terasa kecut dan sedih.   Sejak dirinya berkelana semua tugas yang harus dikerjakan satupun belum ada yang membawa hasil.   Entah kapan tugas suci dan angan2nya bisa terkabul.   Perjalanan kali ini sebetulnya hendak menuju ke Lembah kematian, dengan Pedang darah minta Bunga lblis, besar harapannya dapat melatih ilmu sakti yang tiada taranya, supaya leluasa dia menuntut balas, untuk menyumbangkan tenaganya juga bagi kepentingan dan kesejahteraan kaum persilatan.   Akan tetapi, kenyataan semua berlawanan dengan kekendaknya, selalu terjadi rintangan2 yang menjengkelkan ini, bukan saja dia kehilangan Pedang darah, malah jiwa sendiri juga hampir melayang.   Saking marah istri tercinta lari mengejar adiknya yang tidak berbakti dan banyak melakukan kejahatan, entah bagaimana keadaannya sekarang? Sekian lama dia terpekur mengenangkan pengalamannya yang pahit getir itu, baru akhirnya dia tersadar akan tugas barunya ini, menuju ke Seng toh minta sebutir Hoan hun tan di Yok ong bio.   Begitu Bu siang sin hoat dikembangkan seenteng burung dia terbang keluar dari solokan terus menuju jalan raya langsung menuju ke Seng toh.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tidak jauh diluar kota Seng toh terdapat sebuah bukit kecil, diatas bukit ini, dibangun sebuah biara yang kini sudah rusak dan bobrok tidak terurus.   Ditengah belandar diatas pintu terpancang sebuah papan besar yang bercat merah dan sudah luntur, samar2 diatas papan ini tertulis 'Yok ong bio' tiga huruf besar warna kuning.   Waktu matahari sudah doyong kebarat, burung gagak mulai cecowetan kembali kesarangnya, didepan Yok ong bio ini mendatangi seorang pemuda berwajah dingin kaku.   Dia bukan lain adalah Suma Bing yang datang hendak minta sebutir obat.   Berdiri diluar biara Suma Bing termangu dan ber-tanya2 dalam hati, biara ini sudah bobrok tidak terurus masa ada orang yang mau datang bersembahyang disini, mungkinkah ada orang mau mengurus biara bobrok ini? Tapi ucapan bibinya pasti tidak salah, kedatangannya ini adalah minta bantuan orang tidak boleh berlaku sembrono dan kurang adat, maka dari tempatnya dia berseru kearah dalam.   "Apakah ada orang didalam, aku Suma Bing minta bertemu!"   Beruntun tigakali ia berseru tanpa ada penyahutan.   Dingin perasaan Suma Bing, setelah bimbang segera ia berkelebat memasuki pintu biara.   Biara ini tidak begitu besar, hanya terdapat sebuah ruang sembahyang dan dua emperan samping yang memanjang kebelakang.   Rumput alang2 dipekarangan sudah setinggi pinggang orang, malah undakan batu juga sudah berlumut, suara burung gagak yang riuh rendah menambah keseraman keadaan sekelilingnya.   Hati Suma Bing kebat-kebit dan berdetak keras, naga2nya perjalanannya ini menemui kegagalan lagi, sebab agaknya biara ini tanpa penghuni.   Kalau perjalanannya ini benar2 gagal tamatlah riwayat hidup bibinya.   Tengah berpikir itu tubuhnya melesat menuju ruang tengah tempat sembahyang, begitu tiba melihat apa yang terpancang didepan matanya, seketika dia menyedot hawa dingin, tanpa terasa dia mundur satu langkah besar, badannya gemetar dan merinding.   Ditengah ruang sembahyang ini terletak sebuah peti mati warna merah, didepan meja peti mati ini tersulut sebuah pelita minyak, sinar pelita yang redup ber-goyang2 hampir padam terhembus angin lalu, beberapa batang hio masih tersumat.   Waktu pandangannya menjelajah keringat dingin membanjir keluar, ternyata didepan peti mati itu menjulai kertas putih yang bertuliskan.   Layon ketua biara Pek chio Lojin.   Habis sudah segala pengharapannya.   Ternyata bahwa Pek chio Lojin sudah mati.   Menghadapi layon Pek chio Lojin ini Suma Bing berdiri mematung seperti orang linglung yang sakit ingatan, terpikir olehnya akibat yang menakutkan, bibinya bakal tertidur terus untuk se-lama2nya.   Se-konyong2 timbul sepercik harapan dalam keputus- asaannya, dilihat dari pelita dan hio yang terpasang itu, ini membuktikan bahwa masih ada orang lain dalam biara ini, mungkin anak murid Pek chio Lojin, meskipun Pek chio Lojin sudah meninggal, obat2annya tentu masih tersimpan dan masih ada harapan dirinya bisa memperolehnya.   "Adakah orang didalam?"   Dia berteriak lantang.   "Siapa itu?"   Sebuah suara dingin mendadak terdengar dari samping sebelah sana.   Girang hati Suma Bing, dimana pandangannya menyapu, terlihat dipintu samping pojok sana pelan2 berjalan seorang gadis jelita berpakaian serba hitam.   Suma Bing tertegun, gadis ini berpakaian sedemikian mentereng, wajahnya ayu jelita, keadaan ini sangat kontras dengan situasi yang tengah dihadapinya ini.   Mata gadis baju hitam itu dipentang lebar menatap kearah Suma Bing, tiba2 berobah airmukanya, serunya kaget.   "Tuan adalah Sia sin kedua?"   Suma Bing melengak, sebat sekali ia melesat masuk keruang tengah, diam2 ia heran darimana dia bisa mengetahui dirinya, terdengar mulutnya menyahut.   "Benar, itulah cayhe harap tanya nama nona yang harum?"   Nona serba hitam ini mengerut alis, biji matanya berputar2, jawabnya.   "Aku bernama Siau ling!"   "Siau ling!"   "Ya, kenapa?"   "Apa nona tidak punya she?"   "Siapa bilang aku tidak punya she?"   "Minta, bertanya..."   "Aku tidak ingin memberitahu!"   Suma Bing tertawa kecut, sikapnya rada risi entah apa yang harus dikatakan. Nona serba hitam itu berkata lagi.   "Untuk apa tuan datang kemari?"   "Mengunjungi seorang Cianpwe."   "Siapa?"   "Pek chio Lojin!"   "Apa kau tidak melihat peti mati ini?"   "Sudah lihat, harap tanya apa hubungan nona dengan Pek chio Lojin?"   "Mendiang guruku."   Berjingkrak girang hati Suma Bing, namun lahirnya tetap bersikap dingin, katanya.   "Sungguh tidak terduga gurumu sudah mangkat?"   Sepasang mata jeli nona serba hitam ini ber-putar2 menatap kepada Suma Bing, tanyanya.   "Maksud kedatangan tuan..."   "Cayhe ingin minta sebutir Hoan hun tan kepada Pek chio Cianpwe!"   "Hoan hun tan?"   Suma Bing mengiakan.   "Darimana kau tahu kalau mendiang suhu ada membikin Hoan hun tan?"   "Ini... cayhe hanya menerima pesan orang lain."   "Pesan dari siapa?"   "Bibiku Ong Fong jui!"   "Untuk apa?"   Mau tak mau Suma Bing harus berpikir, sudah tentu dia tidak bisa memberi penjelasan se-terang2nya, maka samar2 saja dia menjawab.   "Untuk menolong orang!"   "Tapi suhu sudah meninggal!"   "Dapatkah kiranya nona memberi satu butir saja?"   "Setelah mengalami jerih payah selama hidup suhu hanya membuat tiga butir Hoan hun tan, obat ini dipandang barang berharga dalam Bu lim..."   "Maksud nona..."   "Selamanya kita belum berkenalan, mengandal ucapanmu dapatkah aku lantas memberikan Hoan hun tan peninggalan suhu yang sangat berharga itu?"   Sikap Suma Bing berobah sungguh2.   "Tiada halangannya Nona mengajukan syarat penggantian!"   "Syarat?" "Begitulah!"   "Dapatkah syarat yang kuajukan kau kerjakan?"   "Coba saja nona sebutkan?"   "Diganti dengan batok kepalamu, bagaimana syarat ini?"   "Dengan batok kepalaku untuk mengganti sebutir Hoan hun tan?"   "Kau sendiri mengatakan aku boleh mengajukan syarat sesuka hatiku."   Sekian lama Suma Bing bimbang dan serba salah, namun demi menolong jiwa bibinya, akhirnya dia menjadi nekad, katanya.   "Apakah nona sedang bergurau?"   "Suma Bing, kau ingin minta Hoan hun tan, ini juga berkelakar bukan?"   Suma Bing benar2 nekad, sahutnya.   "Baik, aku setuju!"   Sedikit berobah rona wajah gadis serba hitam ini, agaknya jawaban tegas Suma Bing ini benar2 diluar sangkanya, tanpa terasa tercetus seruannya.   "Kau setuju?"   "Aku setuju, tapi..."   "Tapi apa?"   "Kusertai sebuah permintaan!"   "Permintaan ana?"   "Kepala cayhe ini setengah tahun kemudian baru bisa kupersembahkan!"   "Mengapa?"   "Masih banyak urusan yang harus cayhe selesaikan!"   Nona serba hitam mendengus, katanya dingin.   "Kalau aku tidak setuju!"   Suma Bing tertegun dan mundur selangkah, katanya terharu.   "Tabib pandai harus mengobati, obat mujarab untuk menolong orang, bukan untuk membunuh orang?"   "Hm, jadi kau menyesal dan menarik balik ucapanmu?"   "Cayhe tidak bermaksud demikian!"   "Kalau begitu ketahuilah, begitu aku sudah serahkan Hoan hun tan itu kau harus segera serahkan kepalamu."   "Nona memaksa keterlaluan!"   "Kalau kau beranggapan syarat ini terlalu kejam. Kau tidak perlu adakan jual-beli ini?"   "Cayhe sudah bertekad harus mendapatkan Hoan hun tan itu!"   "Bagaimana tuan harus mendapatkan?"   Sejenak ragu2, lantas Suma Bing berkata dengan nada tegas.   "Aku minta dengan hormat, kalau terpaksa yah apa boleh buat!"   "Itu berarti tuan hendak menggunakan kekerasan?"   "Bila memang terpaksa apapun akibatnya akan kulakoni!"   Tatkala itu sang surya sudah silam kebarat, sang malam sudah mulai mendatang, keadaan sekelilingnya sudah mulai gelap remang2.   Mendadak terlihat si gadis baju hitam berubah air mukanya tubuhnya menggeser maju mendekati layon, matanya mendelong mengawasi keluar dengan ketakutan.   Suma Bing heran dan tak mengerti dibuatnya menurut arah pandangan si gadis baju hitam dia melihat seketika bergejolak darahnya seakan jantungnya hampir pecah, hawa membunuh menyelubungi wajahnya.   Kiranya diatas belandar sebelah barat sana berdiri seorang berpakaian serba putih dengan kedok kepala putih pula, sebilah cundrik merah darah tergambar didepan dadanya, dia bukan lain adalah Rasul penembus dada.   Mata Rasul penembus dada bersinar tajam menyapu keadaan ruang sembahyang lalu perdengarkan suara lengkingnya yang menyedot sukma orang.   "Pek chio anjing tua, keluarlah serahkan jiwamu!"   "Tuan orang kosen darimana?"   Tanya gadis baju hitam itu gemetar.   "Akulah Rasul penembus dada!"   "Ada permusuhan apakah kau dengan mendiang guruku?"   "Kau tiada harganya bertanya, suruh anjing tua itu menggelinding keluar!"   "Suhu sudah meninggal dunia!"   "Apa anjing tua sudah mati?"   "Tuan bicaralah kenal sopan santun!"   "Cara bagaimana dia mati?"   "Sakit keras!"   "Hahahaha... Mati sakit? Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan yang pandai pengobatan, mana bisa dia mati karena sakit?"   "Kalau memang sudah ajal, betapapun mustajap obat dewa juga tidak mungkin dapat menyembuhkan orang sakit. Seumpama Hoa toh (tabib kenamaan pada jaman Sam kok) sendiri juga tidak bisa hidup sepanjang masa."   "Kau ini muridnya!"   "Benar, akulah muridnya!"   "Jenazahnya berada didalam peti mati itu?"   "Ya." "Bongkar kembali!"   "Tidak mungkin!"   Seru gadis baju hitam beringas.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Terpaksa aku sendiri turun tangan!"   Hilang suaranya tiba pula tubuhnya, bagai bayangan malaikat secepat kilat dia melayang tiba didalam ruang sembahyang.   Sementara itu Suma Bing sendiri sudah tidak kuat menahan sabar, serta mendengar ucapan orang, pikirnya, 'aku sendiri malah tidak berpikir sampai disitu, mungkin Pek chio Lojin memang pura2 mati, mengapa aku tidak menonton saja mengikuti suasana.' Karena pikirannya ini segera ia melejit mundur menyingkir lima kaki.   Sekilas Rasul penembus dada pandang Suma Bing dengan sorot mata yang me-nyala2, lalu mengalihkan pandangannya kepeti mati itu.   Tiba2 sebelah tangannya diangkat mengarah kepeti mati itu dan berseru dingin.   "Lebih baik kau tahu diri dan buka peti mati itu?"   Gadis berbaju hitam menggigit gigi sambil mendengus.   "Orang mati dendamnya himpas, apa kau hendak merusak jenazahnya?"   "Sedikitpun tidak salah!"   "Kau berani?"   Rasul penembus dada menyeringai seram.   "Kau tidak akan mampu merintangi aku!"   Dibarengi sebuah bentakan nyaring tangannya diayun memukul kearah gadis baju hitam, pukulannya ini betul2 hebat dan menakjubkan, diam2 Suma Bing melelet lidah melihat kelihayan serangan ini.   Kontan gadis baju hitam itu terpental mundur terdesak sampai mepet dinding.   'Blang!' dimana terlihat kayu hancur ber-keping2 begitu peti itu hancur terlihat sesosok mayat rebah didalam peti mati itu, itulah seorang tua ubanan yang berbadan kurus kering bagai kayu.   "Iblis laknat, biar nonamu adu jiwa dengan kau!"   Gadis baju hitam menubruk maju sambil melancarkan sembilan kali pukulan berantai yang menggila.   Sekaligus sembilan pukulan ini dilancarkan perbawanya bagai gelombang badai dan kilat menyambar.   Dibawah serangan lawan yang nekad ini Rasul penembus dada terdesak mundur lima langkah.   "Kau cari mati!"   Bentak Rasul penembus dada.   Sambil membentak beruntun ia balas menyerang tiga hantaman.   Memangnya kepandaian gadis baju hitam ini kalah jauh, lagi2 ia terdesak mundur ber-ulang2.   Dimana terlihat sinar putih berkelebat, tahu2 Rasul penembus dada sudah mencekal sebilah cundrik yang kemilau bersinar dingin.   Tampak kedua tangan gadis baju hitam bergantian diayun, seketika berhamburan kabut warna hitam melayang tiba mengurung Rasul penembus dada.   Tapi sebelum kedua tangan gadis baju hitam berhenti bergerak terdengar dia berpekik kesakitan terus roboh terkapar tanpa bergerak lagi.   Kiranya kabut hitam itu adalah pasir beracun yang disambitkan.   Sungguh bukan olah2 hebat kepandaian Rasul penembus dada, sebelum pasir2 beracun itu mengenai tubuhnya, sebat sekali tubuhnya berkelebat keluar dari kurungan taburan pasir beracun lawan lalu sekaligus dia kirim sebuah tutukan menutuk jalan darah gadis baju hitam.   Kepandaian, seperti ini benar2 sangat mengejutkan.   Suma Bing ter-longong2 memandangi peti mati yang sudah pecah berantakan itu.   Terbayang olehnya sewaktu dirinya untuk pertama kali terjun didunia persilatan.   Mendapat perintah gurunya untuk membunuh Bu lim sip yu.   Keadaan waktu berada di Ngo ou pang persis benar seperti hari ini.   Kala itu dirinya juga tidak percaya kalau Ngo ou pangcu Coh Pin sudah mati dengan kukuh dia minta peti mati dibuka kembali untuk diperiksa.   Sekarang bukan saja Rasul penembus dada sudah memecah peti mati juga akan merusak jenazah itu.   Bersamaan waktu gadis baju hitam roboh terkapar.   Rasul penembus dada langsung berkelebat tiba dipinggir peti mati, dimana cundriknya yang kemilauan sudah terangkat.   Benak Suma Bing berputar cepat, tak peduli Pek chio Lojin benar2 mati atau pura2 mati.   Yang benar dirinya hendak minta obat kepada orang, Rasul penembus dada ini juga merupakan musuh besarnya, mana bisa dibiarkan saja...   Karena pikirannya ini gesit sekali tubuhnya mendesak maju mendekati Rasul penembus dada, bentaknya sinis.   "Letakkan cundrik itu!"   Rasul penembus dada melotot gusar kearah Suma Bing sambil membanting kaki, tanpa terasa dia turunkan cundrik yang sudah terangkat tinggi itu, katanya.   "Suma Bing, kau hendak berbuat apa?"   "Membuat perhitungan!"   "Nanti setelah kerjaanku selesai, seumpama kau tidak mencari aku, malah aku akan mencarimu!"   "Tidak kuizinkan kau menyentuh jenazah itu."   "Tidak boleh? Apa kau bisa?"   "Silahkan kau coba2."   Rasul penembus dada mendesis geram, sinar tajam berkelebat cundrik ditangannya itu tahu2 sudah menyelonong mengarah ulu hati Suma Bing.   Cara tusukan ini benar secepat kilat dan aneh sekali.   Suma Bing insaf dirinya tak bakal dapat melawan tusukan maut ini, gesit sekali badannya melayang berkelit, kalau tidak mengandal kehebatan Bu siang sin hoat, sudah siang2 cundrik musuh itu sudah bersarang didadanya.   Memang sudah terhindar dan selamat dari serangan maut itu.   Tapi tak urung jantungnya berdetak keras, keringat dingin membasahi jidatnya.   Baru saja Suma Bing berkelebat menyingkir.   Mendadak Rasul penembus dada membalik tubuh, cundriknya lagi2 menusuk kearah peti mati! "Cari mati!"   Suma Bing membentak sengit, segulung angin pukulan bagai gugur gunung langsung menerjang tiba, sejak dia minum Darah pusaka naga bumi, betapa tinggi dan dalam kekuatan tenaga dalamnya, sukar dicari tandingan di Bu lim.   Rasul penembus dada membalik sebuah tangan untuk menangkis.   Ternyata kali ini dia tidak kuat bertahan, beruntun mundur lima tindak.   Mendapat peluang ini cepat2 Suma Bing mendesak maju merintang didepan peti mati.   Pada saat itulah kebetulan gadis baju hitam kebetulan berdiri, tanpa buka suara tangannya diangkat terus menghantam kepunggung Rasul penembus dada.   "Menyingkir!"   Lalu disusul seruan kejut yang ketakutan.   Dengan kecepatan bagai kilat Rasul penembus dada membalik tangan menangkis lalu disusul cundriknya berkelebat menusuk.   Gadis baju hitam itu tak mampu lagi menyingkir.   Baju didepan dadanya seketika dedel dowel, buah dadanya yang putih montok itu membal keluar, sambil berseru kaget cepat2 kedua tangan disilangkan didepan dada untuk menutup sambil mundur sampai dipojokan.   Kontan merah jengah wajah Suma Bing melihat adegan yang lucu menggelikan ini.   "Cundrik penembus dada hanya khusus untuk membunuh para durjana, kau tidak tercatat dalam daftar, maka kuampuni jiwamu!"   Gadis baju hitam tidak berani banyak tingkah dan bercuit lagi.   Tanpa terasa tergerak hati Suma Bing, apa maksud dengan daftar yang tercatat itu? Naga2nya Jeng siong hwe mengutus Rasul penembus dada membunuh dan menimbulkan banjir darah dikalangan Kangouw merupakan kejadian yang sudah direncanakan terlebih dulu.   Mungkin mereka membunuh karena menuntut balas, atau mungkin juga ada latar belakang lainnya.   Tapi tak peduli bagaimana, hari ini dirinya harus merintangi perbuatan keji Rasul penembus dada.   Kalau tidak jikalau Hoan hun tan tidak bisa diperoleh bukanlah berarti jiwa bibinya Ong Fong jui akan melayang.   Maka hardiknya keras.   "Rasul penembus dada, perhitungan kita selesaikan dalam pertemuan selanjutnya. Sekarang silahkan kau menggelinding pergi!"   Rasul penembus dada ganda mendengus ejek.   "Suma Bing, kau sedang bermimpi!"   "Kau enyah tidak?"   "Kau hendak menjual jiwamu untuk Pek chio Lojin?"   "Kalau benar kau mau apa?"   "Apa hubunganmu dengan setan tua itu?"   "Kau tidak perlu tahu!"   "O, mungkin kau ketarik dengan muridnya ini?"   "Kau kentut apa?"   "Suma Bing, jiwamu hanya sementara saja kutitipkan diatas badanmu. Cundrik penembus dada setiap saat bisa melobangi dadamu. Ketahuilah diatas daftar pencabutan jiwa namamu masih tercantum dan belum kucoret!"   Suma Bing menggerung gusar, semprotnya.   "Meski cundrikmu itu tajam, takkan mempan menusuk dadaku!"   "Boleh kau tunggu saja!"   "Sekarang aku ingin kau enyah!"   "Suma Bing, jiwamu sendiri belum tentu bisa selamat, masih banyak lagak menjual jiwa bagi kepentingan orang lain?"   "Belum tentu!"   "Coba kau berpaling!"   Suma Bing agak terkejut, waktu ia berpaling seketika merinding bulu tengkuknya, diarah dekat pintu biara sebelah luar berjajar berdiri empat orang serba putih dan berkedok putih pula, jubah didepan dada mereka bergambarkan sebuah cundrik merah darah.   Benar2 Suma Bing merinding dibuatnya, sungguh diluar sangkanya dalam waktu bersamaan ini sekaligus muncul lima Rasul penembus dada.   Jikalau kepandaian dan Lwekang kelima Rasul penembus dada ini sama tinggi dan lihaynya, hari ini mungkin dirinya susah menang, kalau untuk merat saja tidak menjadi soal, tapi untuk melindungi Pek chio Lojin guru dan murid agaknya tidak gampang.   Tapi pembawaan wataknya yang keras dan sifat2 sesat gurunya yang sudah menular dan berdarah daging itu membuat dia tidak tahu apa artinya mundur, sekilas ia menyapu pandang para musuhnya, wajahnya membeku dingin tanpa mengunjuk reaksi, jengeknya dingin.   "Mengandal kekuatan kalian berlima?"   "Masa belum cukup untuk mengantar kematianmu?"   "Mari segera dimulai!"   Rasul penembus dada yang berhadapan dengan Suma Bing itu ulapkan tangan, segera empat rasul lainnya yang berdiri diambang pintu serentak menubruk kearah Suma Bing sambil kirim serangan gabungan, empat gelombang badai pukulan menerpa mengurung seluruh tubuh Suma Bing.   Suma Bing insaf kalau dirinya berkelit menyingkir meninggalkan peti mati ini, pasti Rasul yang seorang itu menggunakan peluang ini untuk turun tangan.   Maka terpaksa dia tetap berdiri ditempatnya dan kerahkan tenaga dikedua belah tangan untuk menyambut serangan tenaga gabungan empat musuhnya secara keras.   Dar...   ditengah benturan yang menggeledek ini, terjadilah hujan abu dan pecahan genteng berhamburan, seluruh bangunan kelenteng itu tergetar ber-goyang2 hampir ambruk.   Kalau Suma Bing masih berdiri tanpa bergeming dengan muka pucat, sebaliknya keempat musuhnya itu tergetar mundur sempoyongan.   Sementara itu gadis baju hitam sudah membetulkan letak pakaiannya, dengan sorot mata yang susah dijajaki dia tengah mengawasi Suma Bing.   Begitu dapat berdiri tegak lagi keempat Rasul itu segera merangsang maju lagi lebih hebat dari jurusan yang berlainan, masing2 lancarkan sebuah pukulan lagi.   Seketika terlihat bayangan pukulan berkelebat bagai bentuk gunung, perbawanya bagai gelombang lautan yang tidak kenal putus.   Sedemikian keras dan deras samberan angin pukulan itu seumpama keserempet saja pasti kulit manusia bisa terkupas, bukan saja perlawanan Suma Bing ini sangat aneh dan ajaib kecepatan bergerak juga bagai kilat.   Seluruh tokoh silat pada masa itu yang kuat bertahan dari kepungan empat Rasul sekaligus mungkin dapat dihitung dengan jari.   Pertempuran para tokoh silat yang berkepandaian sempurna, kalah menang hanya tergantung dalam waktu sedetik saja, hampir boleh dikata tiada kesempatan untuk berpikir.   Tanpa sadar terpaksa Suma Bing gunakan gerak kelit dari ilmu Bu siang sin hoat berkelebat keluar dari kepungan para musuhnya, dan hampir dalam waktu yang bersamaan Rasul penembus dada yang membekal cundrik terhunus itu dengan kecepatan kilat terus menubruk maju kearah peti mati.   Suma Bing berpekik kalap.   "Berani kau!"   Seluruh kekuatan dihimpun untuk melancarkan pukulan Kiu yang sin kang yang dahsyat.   Sejak minum darah pusaka naga bumi, dan sudah membaurkan kekuatan tambahan ini kedalam Kiu yang sin kang, perbawa kekuatan pukulan Kiu yang sin kangnya sekarang sudah berlipat ganda lebih hebat dari sebelumnya.   Meskipun belum bisa mencapai tingkatan Loh Cu gi yang dapat sekali pukul membumi hanguskan benda tapi juga sudah sangat mengejutkan.   Gelombang panas bagai lahar gunung berapi segera menggulung tiba, kecepatannya juga sangat mengejutkan.   Terdengar jerit panjang yang mengerikan, tampak Rasul penembus dada terbang sejauh satu tombak lebih, kedok putih yang menutup mukanya berobah warna darah.   Belum lenyap suara jeritan pertama disusul lagi jeritan kedua, kini Suma Bing sendiri yang terpental terbang kebelakang menumbuk dinding, dan 'Bum' tubuhnya melorot jatuh lagi dikaki tembok.   Yang turun tangan membokong Suma Bing ini bukan lain adalah keempat Rasul lainnya itu.   Sambil menggigit bibir Suma Bing merangkak bangun, ujung bibirnya berlepotan darah segar, baju depan dadanya juga basah kuyup oleh darah.   Melihat keadaan Suma Bing ini, keempat Rasul itu agak gugup dan kesima, mereka mundur ketakutan.   Wajah Suma Bing sedemikian pucat menakutkan, sorot matanya memancar buas menggiriskan bulu roma, dengan langkah lebar dia menghampiri kearah peti mati, lalu berputar menghadapi keempat Rasul itu lagi.   Agaknya keempat Rasul itu sesaat terpengaruh oleh sorot mata dan sikap gagah Suma Bing, mereka berdiri terlongong tanpa bergerak lagi.   Rasul yang terpukul oleh hantaman Suma Bing saat itu juga sudah terhuyung bangun, tangannya masih tetap menggenggam cundriknya itu, sorot matanya menembus keluar dari balik kedoknya menatap wajah Suma Bing, keadaan ini benar2 membuat merinding bagi yang menyaksikan.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Walaupun malam semakin larut, keadaan sekelilingnya hitam pekat, tapi bagi mereka tokoh2 silat kelas tinggi, kegelapan malam tidak menjadi halangan, mereka masih tetap dapat melihat seperti disiang hari.   Sementara gelanggang pertempuran hening senyap, tapi mengandung nafsu membunuh yang me-luap2 dan setiap saat dapat meledak.   Agaknya Rasul yang mencekal cundrik itu adalah kepala dari kawanan Rasul itu, sedang empat yang lain hanya pembantunya saja.   "Maju!"   Rasul yang mencekal cundrik itu memberi aba2, keempat Rasul lainnya bagai tersadar dari lamunannya, serempak mereka maju mendesak.   Saat mana Suma Bing juga menghimpun kekuatannya pada kedua lengannya siap menghadapi setiap serangan.   Setelah maju beberapa langkah, berbareng keempat Rasul itu lancarkan sebuah pukulan.   -oo0dw0oo-   Jilid 10 37.   LIMA RASUL DIBIKIN KEOK SEKALIGUS.   Bagai bayangan setan tubuh Suma Bing berkelebat memutar kebelakang keempat Rasul itu, kedua tangan tiba2 diayun berbareng.   'Blang', disertai sebuah seruan tertahan, satu diantara keempat Rasul itu terbang jauh keluar pintu kelenteng.   Bertepatan dengan itu sebilah cundrik yang berkilau dingin tahu2 sudah mengancam didepan dada Suma Bing.   Keruan kaget Suma Bing bukan alang kepalang, begitu tangan digentakkan, Cincin iblis yang dikenakan ditengah jari kontan memancarkan sinar mencorong 'Creng' kontan Suma Bing tergetar sempoyongan, Rasul yang membekal senjata itu juga terhuyung beberapa langkah.   Ketiga Rasul yang lain juga pada saat itu menyerang tiba pula.   Bu siang sin hoat benar2 sakti mandraguna, begitu tubuhnya limbung karena benturan keras tadi, kakinya lantas menggeser selicin belut berganti tempat, dimana kekuatan tenaga dipusatkan ditangan kanan, lagi2 cahaya sinar Cincin iblis mencorong lebih tajam terus disapukan kearah ketiga Rasul yang menyerang tiba.   Kaget ketiga Rasul itu bukan alang kepalang serasa arwah mereka terbang meninggalkan badan, cepat2 mereka menjejakkan kaki melejit jauh menyingkir.   Kini Suma Bing kembali berdiri tegak didepan peti mati lagi, sikapnya garang dan siap siaga.   Pada saat itulah Rasul yang terpental keluar pintu kelenteng itu agaknya lukanya tidak terlalu berat, kini melangkah masuk lagi kedalam ruangan ini.   Kelima Rasul berdiri dalam posisi lima penjuru, Suma Bing terkepung ditengah.   Sekian lama kedua belah pihak sama berdiri mematung siap siaga menunggu serangan musuhnya.   Setengah jam telah berlalu, keadaan tetap sunyi tanpa seorang jua bersuara.   Akhirnya Suma Bing sendiri berlaku kurang sabar.   Dimana sinar Cincin iblisnya menyapu datang.   Dua Rasul yang berdiri dihadapannya segera melejit menyingkir kebelakang.   Tapi sebelum cahaya Cincinnya mengenai sasarannya mendadak tubuh Suma Bing membalik terus kirim sebuah hantaman dahsyat kebelakang dengan kekuatan Kiu yang sin kang, gerak kecepatan tubuhnya benar2 mempesonakan sampai susah diikuti oleh pandangan mata.   Betapapun tinggi kepandaian Rasul penembus dada, juga susah menghadapi rangsangan yang datang secara mendadak ini.   Kontan terdengar dua lolong jeritan panjang, satu diantara Rasul yang menerjang tiba lebih dulu kontan roboh terkapar, sedang yang lain terpental jungkir balik setombak lebih, kedok dimukanya basah oleh air darah, agaknya lukanya tidak ringan.   Bentakan2 nyaring memekak telinga, tiga Rasul lainnya menubruk maju berbareng sambil lancarkan serangan berantai, jurus dan tipu serangannya sangat aneh menakjubkan se-akan2 air sungai mengalir deras tanpa putus- putus.   Keruan Suma Bing kebingungan dan gugup mencak2, beruntun empat kali tubuhnya berputar sambil menangkis, baru tubuhnya dapat berdiri tegak lagi.   Cara turun tangan ketiga Rasul itu adalah menggunakan gerak cepat, jurus dan tipu serangannya sedemikian gencar dan rapat bagai hujan derasnya.   Sehingga tiada sempat Suma Bing menggunakan Cincin iblis dan melancarkan pukulan Kiu yang sinkang.   Dalam sekejap mata tiga puluh jurus telah berlalu.   Tadi berulangkali Suma Bing lancarkan Kiu yang sinkang dan Cincin iblis tenaga murninya banyak terkuras keluar, meskipun jalan darah mati hidupnya sudah tembus, tenaga dalamnya tidak mengenal putus.   Tapi bagaimana juga musuh terlalu tangguh untuk menghadapinya ia harus kerahkan setaker tenaganya, maka dengan cepat tenaga murninya semakin susut, keadaannya semakin payah dan terdesak dibawah angin.   Sebaliknya ketiga Rasul penembus dada itu lebih gencar lagi menyerang secara mati2an, ditengah berkesiurnya angin pukulan diselingi juga sinar berkeredep dari cahaya cundrik yang menciutkan nyali orang, perbawa dan kekuatan gabungan mereka bertiga ini benar2 mengagumkan.   Memangnya kelenteng itu sudah tua dan reyot, apalagi angin pukulan sedemikian deras sehingga atapnya bergetar, genteng dan debu berterbangan tak henti2nya.   Agaknya kalau kedua belah pihak yang bertempur tiada seorangpun yang mau menghentikan pertempuran ini, tanggung tak lama lagi kelenteng reyot ini pasti ambruk sama sekali.   Bagi Suma Bing yang kedatangannya memang ada maksud tertentu, sudah tentu tidak bakal mau mundur atau mengalah.   Terdengar sebuah bentakan menggeledek, kontan terlihat salah satu dari ketiga Rasul itu terjengkang mundur sambil muntah darah.   Dalam waktu yang bersamaan, cundrik Rasul penembus dada juga menyobek kulit lengan Suma Bing sehingga terluka panjang, darah membanjir keluar dengan derasnya.   Maka wajahnya yang semula sudah tegang penuh nafsu membunuh kini tambah pucat menakutkan, napasnya juga mulai memburu.   Suma Bing insaf mara bahaya selalu mengancamnya, dia harus secepat mungkin mengakhiri pertempuran ini, kalau tidak entah bagaimana akhirnya susah dibayangkan.   Karena ketetapan hatinya ini, tenaganya dikerahkan seluruh sambil kertak gigi beruntun dia lancarkan sembilan kali pukulan berantai.   Begitu sembilan pukulan ini dilancarkan habis tepat sekali satu diantara Rasul pengeroyok itu dengan telak kena terpukul roboh terjungkal tak bisa bergerak lagi.   Karena pengerahan tenaga yang ber-lebih2an ini, seketika Suma Bing rasakan pandangannya ber-kunang2, kepala terasa berat sebaliknya tubuhnya enteng bagai terapung ditengah udara.   Demikian juga keadaan Rasul penembus dada yang membekal cundrik itu, napasnya juga ngos2an, dadanya turun naik dengan keras.   Sekarang tinggal Suma Bing dengan Rasul penembus dada yang pegang cundrik saja masih berhadapan seperti dua ayam jago yang sudah kehabisan tenaga saling pentelengan tanpa bergerak lagi.   Agak lama kemudian baru Suma Bing membuka mulut dengan suara gemetar.   "Hari ini akan kubuat kalian berlima menggeletak tak bernyawa lagi dalam kelenteng bobrok ini."   Rasul penembus dada menyeringai sinis.   "Suma Bing, cundrikku ini juga dapat menembus ulu hatimu!"   Lantas terdengar pula suara bentakan dan teriakan yang simpang siur mereka berkutet dan bertempur lagi dengan sengitnya.   Tapi sudah tidak sehebat tadi sebab kedua belah pihak sudah sama2 kehabisan tenaga, mereka hanya bergerak dan meronta demi kemenangan terakhir saja.   Bukti dan kenyataan sudah jelas, akhirnya mereka berdua pasti akan sama2 gugur dan tamat riwayatnya.   Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring.   "Berhenti!"   Tanpa diminta kedua kalinya serta merta mereka berhenti bertempur.   Masing2 mundur dua langkah sambil pentelengan dengan mata membara gusar.   Ternyata gadis baju hitam itu kini tampil lagi kedepan, alisnya dikerutkan dalam2, matanya mendelik buas penuh nafsu membunuh.   Baru sekarang Suma Bing berkesempatan menghela napas lega.   Dia maklum dengan terluka berat pasti kelima Rasul penembus dada tidak bakal berani mengumbar keganasannya lagi.   Pasti gadis baju hitam ini berkecukupan untuk menghadapi mereka.   Maka segera ia mengundurkan diri kesamping, diam2 ia kerahkan tenaga untuk berobat diri.   Sorot mata gadis baju hitam menyapu pandang kepada empat Rasul yang terluka berat, lalu beralih menatap kearah Rasul penembus dada yang mencekal cundrik itu katanya.   "Kalian mendapat perintah dari siapa untuk mengambil jiwa suhuku?"   "Dari ketua Jeng siong hwe!"   Sahut Rasul penembus dada.   "Siapakah ketua kalian?"   "Kau tidak perlu tahu!"   "Ada permusuhan dan dendam apa dengan guruku?"   "Tidak perlu kujelaskan."   Gadis baju hitam mengacungkan sebelah tangannya, ancamnya.   "Ini segenggam pasir beracun yang dinamakan Cui hun soa. Segenggam ini kukira cukup untuk menamatkan riwayat kalian berlima bukan?" "Mungkin, tapi kau sendiri juga tidak akan tetap hidup!"   Gadis baju hitam menurunkan tangan, ujarnya.   "Sekarang ini aku tidak akan berbuat begitu. Sebab suhu memang benar sudah meninggal, orangnya mati permusuhan himpas. Hanya aku ada sedikit permohonan, jangan kalian merusak jenazahnya!"   "Tidak mungkin!"   Seringai Rasul penembus dada dingin. Gadis baju hitam naik pitam teriaknya.   "Orangnya sudah mati, jenazahnya juga tidak kau lepaskan!"   "Ya, cundrik ini harus menembusi dadanya dulu!"   "Kujelaskan sekali lagi, suhuku betul2 sudah meninggal!"   "Mati atau hidup sama saja!"   "Kalau begitu jangan kalian sesalkan cara turun tanganku terlalu kejam!"   "Silahkan sesuka hatimu kau turun tangan, tapi kau sudah tiada kesempatan lagi!"   "Omong kosong!"   Tiba2 badan gadis baju hitam melejit mundur setombak lebih, tangannya sudah terangkat tinggi, siang2 tangannya sudah menggenggam pasir beracun tinggal menaburkan saja...   Rasul penembus dada ganda mendengus dingin tanpa bergerak dan membuka suara.   Namun mendadak gadis baju hitam menurunkan tangannya pula, ujarnya.   "Kalian pergilah!"   Rasul penembus dada juga masukkan cundrik kedalam balik bajunya, suaranya sedingin es.   "Inilah kesempatan, kenapa tidak kau turun tangan, untuk selanjutnya, selamanya kau takkan ada kesempatan lagi?"   Rona wajah gadis baju hitam berobah bergantian, timbul lagi nafsunya membunuh, namun secepat itu pula terus menghilang, katanya dengan suara tawar.   "Silahkan kalian pergi!"   Sekilas Rasul penembus dada melirik kearah Suma Bing yang tengah bersemedi, lalu berkata kepada gadis baju hitam.   "Beritahu kepada gurumu, soal cundrik ini menembusi dada tinggal tunggu waktu saja, dia tidak akan dapat lolos!"   Berobah hebat air muka gadis baju hitam, serunya gemetar.   "Dia sudah mati!"   "Mati? Pek chio Lojin pandai meramu obat yang aneh2, pura2 mati hanya dapat mengelabui orang saja!"   Habis berkata beruntun ia menutuk dan menepuk beberapa jalan darah ditubuh keempat Rasul lainnya, satu persatu mereka berdiri terus beriring berjalan keluar.   Kaki gadis baju hitam maju selangkah agaknya hendak merintangi kepergian mereka, tapi dia urung bersuara.   Dia maklum seumpama membunuh kelima Rasul ini juga tidak bakal dapat membereskan persoalan ini.   Mereka hanyalah petugas yang menjalankan perintah orang lain saja.   Orang dibelakang layar itulah yang lebih kejam menakutkan, bersama itu dia juga insaf bahwa Lwekang Rasul penembus dada, meskipun sudah terluka berat, mungkin dirinya masih bukan tandingannya, maka akhirnya dia ambil kepastian untuk tidak turun tangan.   Bayangan kelima Rasul itu akhirnya menghilang ditengah kabut malam.   Gadis baju hitam menyumat sisa lilin didepan meja sembahyang.   Air muka Suma Bing pelan2 mulai bersemu merah, itulah pertanda bahwa tenaganya sudah mulai pulih kembali.   Diam2 gadis baju hitam menggeremet kebelakang Suma Bing, sebuah tangannya sudah menekan jalan darah besar Thian leng hiat.   Mimpi juga Suma Bing tidak menduga bahwa bayangan kematian sudah mengulur tangan kepadanya.   Rona wajah gadis baju hitam ini be-robah2 susah diraba, entah apa yang tengah diterawangi.   Dia tengah berpikir haruskah dia turun tangan membunuhnya.   Tangannya agak gemetar, hatinya bimbang untuk mengerahkan tenaga.   Pada saat itulah mendadak Suma Bing membuka matanya, melihat suasana yang sepi ini tanpa terasa dia berseru heran.   "Eh!"   Cepat2 gadis baju hitam menarik tangannya. Suma Bing juga sudah merasa, badannya berkelebat terus membalik, serunya kejut.   "Ternyata kau, dimana mereka?"   "Sudah pergi!"   "Sebenarnya gurumu..."   "Lebih baik tuan jangan menanyakan hal itu lagi!"   "Baik kita kembali pada persoalan pertama, aku mohon diberi sebutir Hoan hun tan!"   "Karena kau mati2an melindungi jenazah guruku, biarlah kuberi sebutir, tapi..."   "Bagaimana?"   Bola mata gadis baju hitam ber-putar2, memancarkan cahaya aneh, lama kemudian baru dia bersuara.   "Ada syaratnya!"   "Syarat apa? Syarat yang tadi kau ajukan..."   "Bukan!"   "Syarat apa?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Suma Bing menegas. Agaknya gadis baju hitam ingat sesuatu, maka sambil manggut2 dia berkata.   "Aku berhak menunda dulu syarat yang bakal kuajukan itu!"   "Menunda?"   "Benar, asal kau ingat bahwa kau masih hutang satu syarat kepadaku sudah cukup. Mungkin suatu waktu kelak bisa kuajukan, tapi... juga mungkin tidak kuajukan..."   "Ini! Mengapa begitu?"   "Sudah tentu ada alasanku!"   Suma Bing tak habis mengerti, orang hendak menunda hak pengajuan syarat yang hendak diajukan, kemana tujuannya susah diraba.   Tapi bila diingat waktu dirinya pertama kali memasuki biara ini, orang mengajukan penggantian dengan kepalanya, dengan tegas dirinya sudah setuju, mati saja tidak ditakuti, apalagi syarat lainnya.   Maka segera ia mengangguk.   "Baik aku setuju!"   "Tapi perlu kutandaskan, bila kelak syarat itu kuajukan, lalu tuan tidak menepati janji..."   "Nona terlalu berkuatir, aku yang rendah bukan manusia macam itu!"   "Aku percaya kau, ambillah!"   Lalu dari balik bajunya dikeluarkan sebuah botol kecil yang terbuat dari porselin terus diangsurkan kepada Suma Bing.   Tangan Suma Bing gemetar menyambuti botol kecil itu.   Legalah hatinya, kalau obat ini sudah ditangannya maka jiwa bibinya Ong Fong jui tidak perlu dikuatirkan lagi.   "Cayhe minta diri!"   "Silahkan!"   Begitu keluar dari Yok ong bio malam itu juga Suma Bing berlarian kencang, ingin rasanya tumbuh sayap dan segera tiba diselokan yang belum diketahui namanya itu untuk menolong bibinya.   Hari kedua tengah hari, Suma Bing sudah menempuh sejauh lima ratusan li, karena perut terlalu lapar terpaksa dia memasuki sebuah kota hendak menangsel perut.   Baru saja sampai diujung jalanan, sebuah bayangan dengan cepat memapak datang terdengar pula suara yang sangat dikenalnya.   "Buyung, sudah lama benar kucari kau!"   Cepat2 Suma Bing menghentikan larinya, waktu angkat kepala kiranya yang mendatangi ini adalah si maling bintang Si Ban cwan, cepat2 ia memberi hormat.   "Cianpwe apa baik2 saja selama berpisah?"   "Masih baik, belum mati. Buyung, sungguh tak duga kau bisa lolos dari Bwe hwa hwe dengan tetap masih bernyawa."   "Cianpwe, musuh besar sudah kutemukan jejaknya!"   "Siapa?"   "Loh Cu gi!"   "Loh Cu gi?"   Seru si maling bintang penuh keharuan.   "Benar!"   "Kau sudah menuntut balas?"   "Belum, hampir saja jiwaku melayang ditangannya!"   "Dimana dia berada?"   "Bwe hwa hwe!"   "Dia juga..."   "Dia adalah sesepuh atau tulang punggung dari Bwe hwa hwe. Chiu Thong ketua mereka itu adalah muridnya."   "O, dia kenal kau tidak?"   "Aku sendiri yang memperkenalkan asal-usulku!" "Masa dia mau melepasmu begitu saja?"   "Tidak, dalam penjara bawah tanah, kebetulan aku bertemu dengan Tiang un Suseng Poh Jiang, dialah yang membantu aku lolos dari kurungan!"   "Lalu bagaimana dengan Tiang un Suseng?"   Mengelam air muka Suma Bing, ujarnya sedih.   "Dia sudah mati, bersama suciku Sim giok sia!"   "Benar2 terjadi demikian?"   "Suci Sim Giok sia meninggal karena diperas, sedang Tiang un Suseng hanya mengikuti jejaknya saja. Kalau tidak dengan gampang dia dapat lolos dari penjara itu. Hm, hutang darah itu kelak biar kubalaskan secara total!"   "Loh Cu gi pernah merebut kedudukan jago silat kelas satu, Lwekangnya tentu..."   "Yang lain aku tidak tahu, yang jelas Kiu yang sinkang telah dilatihnya sampai sempurna, lebih tinggi dari dugaan suhu semula. Sekali pukul dia dapat membumi hanguskan benda sasarannya!"   Berobah wajah keriput si maling tua, katanya.   "Sekali pukul membumi hanguskan benda sasarannya, siapa pula tokoh yang kuat melawannya, buyung, selain..."   "Selain apa?"   "Dapat kau mempelajari ilmu sakti yang tersembunyi didalam Pedang darah dan Bunga iblis itu!"   "Tapi..."   "Bagaimana?"   "Pedang darah telah hilang!"   "Apa, Pedang darah kau hilangkan?"   "Ya, tapi masih ada harapan dapat diminta kembali!" "Siapakah orang yang mengambil?"   "Phoa Cu giok!"   "Belum pernah kudengar nama itu!"   "Ai, dia adalah adik kandung Phoa Kin sian!"   Maka berceritalah Suma Bing akan pengalamannya dalam latihannya yang sesat karena terganggu, dan kini tengah menjalankan tugas minta obat di Yok ong bio.   Si maling tua Si Ban cwan meng-geleng2 sambil menghela napas panjang.   Suma Bing tertawa kikuk, katanya.   "Cianpwe, mari kita tangsel perut dulu baru bicara lagi bagaimana?"   "Bagus sekali, buyung, memang ada omongan yang perlu kuberitahukan kepadamu, untuk tidak mengurangi selera makan kita, setelah perut kenyang baru kita perbincangkan lagi."   Begitulah mereka memasuki kota terus mencari rumah makan, kebetulan tak jauh disebelah depan sana ada sebuah rumah arak Tiau yu kip, langsung mereka masuk dan mencari tempat duduk terus pesan makanan dan minuman.   Saat itu kebetulan tiba tengah hari para pengunjung sangat banyak yang makan minum suasana menjadi ramai dan gaduh.   Tengah makan minum, tak kuat Suma Bing menahan sabar lagi, tanyanya.   "Cianpwe, nona Siang Siau hun..."   Si maling tua membalik mata, ujarnya.   "Dia pulang kerumahnya. Dia salahkan aku tidak mencegah kau menepati janjimu ke Bwe hwa hwe!"   "Ada lebih baik dia pulang kerumah, betapa berbahayanya berkelana di Kangouw."   "Siapa tahu apa benar dia pulang kerumah."   Suma Bing terkejut, serunya.   "Mengapa?" "Ada kemungkinan dia pergi mencari kau!"   "Mencari aku? Wah celaka, markas Bwe hwa hwe bagai sarang naga dan gua harimau."   "Ini hanya dugaan saja, aku sudah mencari tahu susah payah, tapi tiada kabar beritanya."   Tanpa terasa tenggelam dan berat perasaan Suma Bing, hatinya risau dan gundah. Siang Siau hun adalah perempuan yang berhati kukuh dan berpendirian teguh, mungkin dia bisa melakukan hal2 yang bodoh, maka katanya.   "Jadi untuk persoalan ini maka Cianpwe mencari wanpwe?"   "Tidak, masih ada urusan lain."   "Urusan apa?"   "Mari kita bicara diluar."   Bergegas mereka tinggalkan rumah arak itu terus berlarian keluar kota, setelah ditempat yang agak sepi baru si maling tua bicara dengan nada berat tertekan.   "Buyung, kau kenal seorang gadis yang bernama Ting Hoan?"   Sebuah wajah ayu dan jelita segera terbayang dalam benak Suma Bing.   "Ya, aku kenal dia."   Sahut Suma Bing.   "Dia minta aku si maling tua menyampaikan berita kepadamu."   "Berita apa?"   "Dia minta aku si maling tua membawa kabar untuk kau!"   "Kabar apa?"   "Dia ingin melihatmu untuk yang terakhir."   Suma Bing berjingkrak kaget, tanyanya gemetar.   "Yang terakhir, apakah maksudnya?" "Dia sudah hampir mati, tapi sebelum ajal ini dia ingin benar bertemu dengan kau!"   "Dia, sudah hampir mati?"   "Benar, sudah kempas-kempis tinggal menunggu waktu saja!"   "Kenapa terjadi demikian?"   "Setelah bertemu kau akan tahu segala2nya."   "Dimana dia sekarang berada?"   "Kira2 limapuluh li dari sini ada sebuah kampung bernama Sam keh cheng. Didalam gubuk reyot disamping jembatan batu merah itulah dia berada"   "Baik, segera aku berangkat..."   "Nanti dulu!"   "Cianpwe masih ada pesan apa?"   "Tadi kau berkata kau tersesat waktu berlatih. Apakah bibimu yang menembusi jalan darah setengah tubuhmu yang terbuntu itu?"   "Begitulah!"   "Apa kau tahu asal usul perguruannya?"   "Ini... aku tidak begitu jelas."   "Aneh!"   "Apakah Cianpwe ada menemukan sesuatu?"   "Dalam dunia persilatan, entah sudah berapa tokoh2 silat kosen yang mati atau cacat karena tersesat dalam latihannya itu. Maka kalau tersesat dalam latihan dipandang sebagai jalan buntu yang membawa maut. Dia dapat dan kuat menggunakan tenaga murni dalam tubuhnya untuk menjebol dan menembusi jalan darahmu yang tertutup. Bukan saja Lwekangnya itu sangat tinggi juga sangat ajaib. Aku si maling tua curiga pasti dia adalah satu murid gembong persilatan yang kenamaan pada ratusan tahun yang lalu."   "Siapa?"   "Yang mengenal ilmu Kan guan kay hiat sip meh tay hoat, boleh dikata hanya satu aliran ini saja tiada keduanya!"    Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini