Pedang Darah Bunga Iblis 21
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 21
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H "Agaknya kau ada urusan apa2 yang mengganjal hatimu?" "Adik Sian, jejak adikmu..." Berobah gelap air muka Phoa Kin sian, sahutnya lesu. "Belum ketemu!" Tanpa terasa tenggelam juga perasaan Suma Bing. Pedang darah dibawa lari oleh Phoa Cu giok ini benar2 mempengaruhi segala rencananya. Tapi orang itu adalah adik iparnya sendiri, dia hanya dapat mengeluh dalam hati, maka katanya apa boleh buat. "Cari saja pelan2, tak perlu tergesa2." "Tidak, engkoh Bing, aku harus terus mencarinya sampai ketemu." "Urusan ini biarlah serahkan saja kepadaku..." "Tidak mungkin..." "Kenapa tidak mungkin?" "Dia seorang kukuh yang senang membawa adatnya sendiri, aku tidak suka terjadi hal2 yang jelek akibatnya." "Kau tidak perlu kuatir, aku pasti..." "Sudah kukatakan tidak mungkin!" "Tapi keadaanmu saat ini tidak leluasa banyak bergerak!" "Kenapa?" "Sebab kau... sedang mengandung dan tak lama lagi bakal melahirkan!" Ucapan Suma Bing ini setengah benar, tujuan Suma Bing adalah supaya dia tidak berkelana seorang diri, karena dia kuatir ramalan Kangkun Lojin bisa menjadi kenyataan, itulah sangat menakutkan. Kata Phoa Kin sian tawar. "Itu tidak menjadi soal, toh bukan hendak bertempur mati2an." "Tapi aku tidak izinkan kau berbuat begitu!" Merah mata Phoa Kin sian, air mata sudah berlinang dikelopak matanya, ujarnya sedih. "Engkoh Bing, aku hanya punya seorang adik yang nakal dan tak genah ini, menurut pesan ayah dan bunda aku harus menjaga dan melindunginya. Mungkin ini kesalahanku, akulah yang terlalu memanjakan sehingga dia menyeleweng dan tersesat. Kalau aku tidak mencarinya kembali, pasti dia bakal melakukan sesuatu hal yang siapapun tidak berani membayangkan akibatnya..." "Mari kita pulang dulu menilik bibi Jui!" "Dia, kenapakah Suhu?" "Untuk menyembuhkan luka dalamku karena tersesat dalam latihan, saat ini masih dalam keadaan pingsan!" "Oh, lalu..." "Aku sudah dapat memohon sebutir Hoan hun tan, kau tidak perlu kuatir." "Syukurlah, mari cepat pulang!" Berbareng mereka berlarian melanjutkan perjalanan menuju kesolokan yang tidak bernama itu. Hati Suma Bing masih merasa was2 dan kuatir, dia tidak tahu apakah Hoan hun tan ini benar2 manjur atau tidak. Kalau tidak manjur, bukankah bibinya bakal tertidur untuk selama2nya. Hari itu, Suma Bing suami istri sudah tiba didepan solokan dimana sembilan hari yang lalu Suma Bing pergi mencari obat. Segera Suma Bing me-nekuk2 jari menghitung, lalu katanya. "Adik Sian, bahaya betul, hari ini kebetulan adalah tepat hari kesepuluh!" Baru saja selesai ucapannya, mendadak dari empat penjuru bermunculan beberapa bayangan manusia. Orang terdepan yang memimpin rombongan pendatang tidak diundang ini tak lain adalah ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan setengah umur yang cantik molek bersama Loh Cu gi itu. Kontan timbul nafsu membunuh Suma Bing, dia mereka dalam hati, kalau toh perempuan molek ini sudah mengunjuk diri, pasti Loh Cu gi sendiri juga turut hadir disini, dendam dan sakit hati mulai bergolak dalam darahnya yang mulai deras mengalir. Diam2 ia merogoh kantong dan mengeluarkan Hoan hun tan terus diserahkan kepada Phoa Kin sian, serta katanya. "Adik Sian, segera kau menyingkir, bibi rebah diatas pembaringan kamar dalam, lebih penting kau pergi menolong jiwanya!" "Lalu kau bagaimana?" "Hendak kubunuh semua para kurcaci rendah ini!" "Kita bersama ganyang mereka dulu baru masuk kedalam!" "Jangan, segala urusan susah diramalkan, jangan kau main kelakar dengan jiwa bibi. Hari ini adalah hari terakhir." "Apa kau cukup kuat menghadapi mereka?" "Mereka sudah mendesak tiba, lekas kau pergi. Jangan sampai diketahui rahasia dalam solokan dibawah sana." "Hm, kalau ada orang berani masuk kesolokan sana, berarti mereka mencari mati!" "Adik Sian lekas pergi!" Phoa Kin sian ulurkan tangan menyambuti Hoan hun tan terus melejit tinggi berlari keluar... "Lari kemana?" Ditengah suara bentakan yang riuh rendah, empat orang jagoan dari Bwe hwa hwe maju mencegat jalan larinya. "Cari mati!" Terdengar Suma Bing juga menghardik keras terus berkelebat maju. Belum sempat Suma Bing turun tangan empat jagoan Bwe hwa hwe yang mencegat jalan keluar Phoa Kin sian itu baru saja terpaut setombak didepan Phoa Kin sian, mendadak melolong tinggi terus roboh kelejetan, jiwanya lantas melayang. Tanpa terasa Suma Bing sendiri juga tertegun heran, cepat2 ia hentikan langkahnya. Maka terdengarlah seruan kejut dan kaget saling susul dari empat penjuru. "Ha racun!" "Awas sundel ini menebarkan racun!" Dalam keributan itulah sekejap mata saja Phoa Kin Sian sudah lolos keluar dari kepungan. Keadaan yang diluar dugaan ini, benar2 membuat ciut dan gentar nyali setiap jagoan dari Bwe hwa hwe. Mendadak Suma Bing memutar tubuh menghadap kearah Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dan perempuan cantik itu. Wajahnya membeku diliputi hawa membunuh. Musuh2nya yang mengepung diempat penjuru mulai mendesak maju, tiga orang satu kelompok, dua orang satu iringan. Tercekat hati Suma Bing, terang lawan agaknya tengah mengatur satu barisan untuk mengepung dirinya. Terdengar Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong tertawa menyeringai, ujarnya. "Suma Bing, kau menyerah saja untuk diringkus!" Suma Bing mendengus, jengeknya. "Chiu Thong, hari ini kau pasti mati!" Baru saja suaranya lenyap, tahu2 tubuhnya sudah berkelebat tiba didepan ketua Bwe hwa hwe itu, terus kirim sebuah pukulan mengarah dada... Gerak-geriknya ini adalah menggunakan ilmu Bu siang sin hoat, kecepatannya susah diikuti oleh pandangan mata, tapi begitu tangannya menyerang mendadak ia kehilangan bayangan musuhnya. Malah pada saat itu juga ia rasakan beberapa jalur angin pukulan melanda tiba dari berbagai jurusan menyerang dirinya, benar2 hebat angin pukulan gabungan ini, kontan Suma Bing terpental balik ketempat asalnya lagi. --ooo0dw0ooo-- 40. BWE HWA HWE KONTRA PERKAMPUNGAN BUMI. Sungguh kejut Suma Bing bukan kepalang, terang dirinya sudah terkepung dalam barisan, barisan apa yang diatur oleh musuhnya dia juga tidak tahu. Terdengar perempuan cantik itu tertawa genit, serunya. "Suma Bing, kau benar2 hebat dapat lolos dari kurungan penjara bawah tanah. Tapi hari ini seumpama kau tumbuh sayap juga jangan harap dapat terbang keluar." Suma Bing mengertak keras. "Siluman rase, aku ingin jiwamu!" Kiu yang sin kang dikerahkan sampai sepuluh bagian terus dihantamkan keluar. Sejak minum darah pusaka naga bumi. Lwekangnya sudah tambah berlipat ganda, maka diantara angin pukulannya itu samar2 sudah mengandung berkelebatnya sinar merah. Sedikit bergoyang badan perempuan cantik setengah umur itu tahu2 sudah menggeser kedudukan. Maka pukulan Suma Bing yang mengejutkan ini mengenai tempat kosong lagi. Kata ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong dengan nada mengancam. "Suma Bing, kalau kau ingin melawan itulah mimpi belaka, kau seorang laki2 harus tahu diri dan pasrah nasib saja, jikalau barisan ini kugerakkan, kau Sia sin kedua tidak lebih seperti anjing yang bergulingan diatas tanah saja." Hampir meledak dada Suma Bing, bukan saja karena diejek dan dihina, adalah kedua kali pukulannya yang mengenai tempat kosong tadi menurunkan semangat tempurnya. Disinilah baru ia sadari sebelum mengetahui seluk beluk barisan ini janganlah sembarangan bergerak, itu akan sia2 dan menghabiskan tenaga saja. Maka dia menahan gusar dan menekan perasaan, matanya tajam dan memasang kuping bersiaga mencari kesempatan untuk lolos. Perempuan cantik setengah umur itu berseri girang, katanya kepada Chiu Thong. "Thongji, gerakkan barisan, supaya tidak membawa buntut dikelak kemudian hari..." Ketua Bwe hwa hwe sedikit mengangguk terus angkat sebelah tangan memberi aba2... Dalam sekejap itu bayangan orang terus berkelebatan, angin pukulan juga terus bergulung dan menerjang tiba dari empat penjuru seperti angin lesus, suara benturan yang menggelegar tak henti2nya sehingga memekakkan telinga, angin pukulan yang dahsyat seumpama gugur gunung terus melanda bergantian menerjang ketengah dari berbagai penjuru terus menebar dan berputar balik lagi... Betapapun Suma Bing sudah menggunakan seluruh kekuatannya untuk melindungi tubuh, bagaimana juga susah mengendalikan badan sendiri, tubuhnya tergoyang gontai dan sempoyongan kekanan kiri terbawa arus angin pukulan yang mengekang dari luar. Kekuatan pukulan sendiri juga amblas ditelan gelombang pukulan gabungan para musuhnya tanpa meninggalkan jejak. Dalam keadaan demikian, betapa tinggi juga Lwekangnya, pasti takkan kuat bertahan selama sepeminuman teh, pada saat itu mau tak mau dia harus mandah menyerah dan diringkus saja. Sungguh dia sangat menyesal, sebetulnya dia sudah harus bergerak sebelum lawan sempat atau sempurna mengatur barisannya, tapi sekarang sudah terlambat, sesal kemudian tak berguna. Sang waktu sedetik menuju kesemenit terus berjalan tanpa menanti. Keadaan Suma Bing sudah semakin payah, karena tenaga tidak dapat mengimbangi kekerasan hatinya, tubuhnya terus bergulingan mengikuti arus angin pukulan yang keras ber-gulung2. Keadaan ini sangat berbahaya, sungguh dia tidak berani membayangkan kalau dirinya sudah kehabisan tenaga dan mandah diringkus oleh musuh. Loh Cu gi adalah musuh bebuyutannya, kalau dirinya terjatuh ditangan orang2 Bwe hwa hwe, kematian hanyalah bagiannya. Pada saat itulah, mendadak terdengar berbagai seruan kejut dan pekik kesakitan, barisan yang mengepung itu menjadi ribut dan kocar kacir, kekuatan angin pukulan yang mengekang dirinya juga susut sebagian besar. Suma Bing menenangkan pikiran dan menghimpun semangat, kini dengan gampang saja dia dapat menerjang keluar dari kepungan barisan musuh, waktu matanya menyapu kesekelilingnya, tampak dua orang berseragam hijau dan berpuluh orang hitam tengah bertempur seru melawan para jagoan Bwe hwa hwe. Terutama kedua orang seragam hijau itu, bagai banteng ketaton dan harimau kelaparan, cara bertempurnya hebat luar biasa, dimana terlihat tangan bergerak dan kaki menendang lantas terdengar seruan kesakitan. Maka dalam sekejap mata saja mayat bergelimpangan diatas tanah, jumlahnya tidak kurang dari duapuluh lebih. Sekali pandang Suma Bing sudah jelas bahwa mereka ini tak lain adalah anak buah dari Perkampungan bumi. Kedua orang seragam hijau itu tidak lain adalah Sim tong Tongcu Song Liep hong dan Bu tong Tongcu Pau Bing sam. Bahwa Sim dan Bu dua Tongcu datang tepat pada waktunya memecahkan barisan dan menolong jiwanya, hal ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Betapa gusar dan murka perempuan cantik setengah umur itu dan Chiu Thong kelihatan pada mimik wajahnya yang merah padam, susahlah dilukiskan betapa geram hati mereka. Maka terdengar Chiu Thong membentak keras. "Berhenti!" Gelanggang pertempuran seketika sunyi senyap. Menggunakan kesempatan ini, segera Sim dan Bu dua Tongcu maju menghadap Suma Bing sambil memberi hormat. "Sim tong Tongcu Song Liep hong menghadap Huma!" "Bu tong Tongcu Pau Bing san menghadap Huma!" Berkerut alis Suma Bing, katanya acuh tak acuh. "Sudahlah!" "Terima kasih kepada Huma!" "Kalian berdua sejak kini panggil saja namaku..." "Hamba tidak berani." Semua jagoan Bwe hwa hwe dari sang Ketua sampai anak buahnya sama pandang memandang, sungguh tidak nyana bahwa Sia sin kedua ternyata sudah menjadi Huma (menantu raja) hal ini sebelumnya tidak diketahui oleh mereka. Segera Bu tong Tongcu Pau Bing sam maju sambil membungkuk tubuh serta berseru. "Harap Huma memberi petunjuk bagaimana kita harus bertindak!" Sorot mata Suma Bing yang mengandung nyala kebencian menyapu keseluruh gelanggang lalu serunya. "Harap kalian pimpin semua anak buahmu menjaga empat penjuru, jangan lepaskan satu orangpun." "Terima perintah!" Tiba2 perempuan cantik setengah umur mendesak maju kearah Song Liep hong serta tanyanya. "Tuan ini dari aliran atau golongan mana?" Sebelum menjawab Song Liep hong memandang dulu Suma Bing... Segera Suma Bing yang menyanggah. "Jangan banyak mulut ladeni dia, jalankan perintah!" "Baik!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Begitu kedua Tongcu ini keluarkan perintahnya, semua anak buahnya yang berseragam hitam segera berpencar keempat penjuru mengepung diluar barisan. Jadi situasi dalam gelanggang kini berobah, pihak Bwe hwa hwe yang semula mengepung kini berganti dikepung. Sorot pandangan dingin Suma Bing menatap Ketua Bwe hwa hwe tajam2, desisnya. "Chiu Thong, biar kusempurnakan kau dulu!" Tanpa terasa Ketua Bwe hwa hwe mundur satu langkah. Segera lima jagoannya melejit tiba menghadang dihadapannya untuk melindungi sang Ketua. Pelan tapi pasti selangkah demi selangkah Suma Bing mendesak maju, mimik wajahnya semakin gelap dirundung kekejaman yang buas. Situasi sangat tegang mencekam hati. "Minggir!" Disertai gertakan nyaring ini, mendadak Suma Bing menggerakkan kedua tangannya, dengan kekuatan himpunan Lwekangnya sekarang, betapa dahsyat pukulannya ini susahlah diukur. Maka dimana angin pukulannya melanda, kontan terdengar jerit dan pekik kesakitan saling susul, tiga bayangan manusia terpental terbang sedang dua yang lain ter-guling2 dengan muntah darah. Bola mata Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong merah membara, sambil mengertak keras ia menerjang maju sambil menyerang dengan satu pukulan. Pukulannya ini sungguh hebat dan aneh sekali, jarang terlihat dalam dunia persilatan gaya serangan semacam ini. Tanpa berkelit atau menyingkir, Suma Bing malah memutar kedua tangannya terus memapak pukulan lawan secara kekerasan. Keruan kaget Ketua Bwe hwa hwe bukan kepalang, serta merta gerak geriknya menjadi lamban dan ragu-ragu. Sementara itu sambil tertawa ejek tangan kanan Suma Bing bergerak melintang terus menyelonong menjojoh dada musuh, baru saja serangannya ini sampai ditengah jalan disusul pula oleh serangan tangan kiri, kecepatannya bagai kilat berkelebat. Tersipu2 Ketua Bwe hwa hwe menjejakkan kaki melejit menyingkir. Dalam waktu yang bersamaan ini, dari sebelah belakang perempuan cantik setengah umur itu juga melancarkan serangan membokong punggung Suma Bing. Mendadak Suma Bing kembangkan ilmu gerak kelit dari ilmu Bu siang sin hoat, tubuhnya berputar dan menggeser kedudukan selicin belut, maka tahu2 bayangannya sudah menghilang, terus terdengar dua kali seruan kaget dan kesakitan. Perempuan cantik setengah umur bersama Ketua Bwe hwa hwe sama terhuyung mundur, wajah mereka pucat pias, terang mereka sudah terluka dalam yang bukan ringan oleh pukulan Suma Bing. "Chiu Thong, kau rebahlah!" Ditengah suara hardikan yang keras ini, terdengar pula lolong kesakitan, tampak ketua Bwe hwa hwe terhuyung limbung hampir roboh sambil muntah darah, tapi akhirnya meloso diatas tanah. Tujuh bayangan manusia serempak berkelebat merintang didepannya. "Kalian cari mati!" Kiu yang sin kang menerbitkan gelombang dahsyat seumpama lahar gunung berapi menerpa kearah tujuh musuhnya yang berani coba2 merintangi. Maka terdengar pula jerit dan pekik menyayatkan hati saling susul, ketujuh tubuh manusia itu juga lantas beterbangan sungsang sumbel keempat penjuru. Bertepatan dengan saat itulah, mendadak terlihat selarik sinar merah disertai suara mendesis langsung meluncur kearah Suma Bing. Se-konyong2 bayangan Suma Bing menghilang dan berputar secepat angin lesus, tahu2 dia sudah menggeser kedudukan tiga tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula. Sambil melambaikan angkin merahnya perempuan cantik setengah umur itu menatap kearah Suma Bing dengan pandangan ber-api2. Kiranya selarik sinar merah tadi bukan lain adalah kain ikat pinggangnya itu yang dibuat senjata untuk menyerang Suma Bing. Kalau tidak mengandalkan kesaktian Bu siang sin hoat, sungguh sulit bagi Suma Bing dapat lolos dari serangan senjata lemas ini. Maka sambil mengempit Ketua Bwe hwa hwe, berkatalah perempuan cantik setengah umur suaranya gemetar. "Suma Bing, selamat bertemu!" Keras2 Suma Bing menjengek hidung, ejeknya. "Kau masih hendak lari?" Sekali menjejakkan kaki perempuan setengah umur itu melejit jauh terus berlari keluar membobol kepungan... "Kembali!" Sekali berkelebat tahu2 Suma Bing sudah mencegat didepannya terus menghantam kearah musuhnya. Kontan dengan telak perempuan setengah umur itu terpental mundur bebeberapa langkah. Maka para jagoan Bwe hwa hwe lainnya beramai2 berlarian keluar hendak menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi mereka tercegat dan dirintangi oleh anak buah Perkampungan bumi yang sudah mengepung mereka. Dalam keadaan yang terpaksa dan terdesak ini, maka berkatalah perempuan cantik setengah umur itu. "Suma Bing, apa yang hendak kau perbuat?" "Aku ingin jiwa kalian!" Ancaman yang mengandung keanyiran darah ini benar2 menggiriskan semua pendengarnya. Terang Ketua Bwe hwa hwe sudah terluka parah, perempuan setengah umur ini juga tidak ringan lukanya, mana dia kuat bertahan, ditambah para anak buah Perkampungan bumi juga bukan sembarangan jagoan silat, pula mereka sudah berjaga diempat penjuru. Bagi Suma Bing untuk menyapu habis seluruh jagoan Bwe hwa hwe bukanlah suatu hal yang sukar seumpama membalik tangan saja gampangnya. Setelah menyapu pandang keseluruh gelanggang, berserulah Suma Bing. "Awas, aku hendak turun tangan." Peringatannya ini berarti dimulainya pembunuhan besar2- an, keruan semua jagoan Bwe hwa hwe bergidik ketakutan. Pada waktu itulah se-konyong2 sebuah bayangan orang meluncur tiba memasuki gelanggang. Waktu pandangan Suma Bing menatap kearah bayangan yang baru tiba ini, tanpa terasa tergetar hatinya. Ternyata pendatang baru ini bukan lain adalah gadis serba hitam yang pernah bersua didalam gedung kelenteng bobrok di Sengtoh tempo hari, yaitu murid Pek chio Lojin yang mengaku bernama Siau ling. Sambil mengerling tajam berkatalah gadis serba hitam itu dengan dingin. "Suma Bing, kita bertemu lagi?" Suma Bing manggut2, sahutnya. "Benar, kedatangan nona ini..." "Suma Bing, apa kau masih ingat janji kita tempo hari?" Suma Bing tertegun, sahutnya. "Tentu masih ingat!" "Kau masih utang satu syarat kepadaku, ya benar!" "Ya." "Kalau begitu, sekarang juga nonamu hendak menagih hutangmu itu!" "Sekarang?" "Ya, sekarang juga!" "Dapatkah nona memberi kelonggaran supaya aku dapat menyelesaikan urusanku disini dulu?" "Tidak bisa!" Suma Bing serba salah dan tak habis mengerti. Naga2nya kedatangan gadis seragam hitam yang tepat pada waktunya ini bukan secara kebetulan belaka. Tapi untuk memohon sebutir Hoan hun tan dirinya pernah melulusi satu syarat apapun juga sebagai penggantian, seorang laki2 harus menepati apa yang pernah diucapkan, mana boleh ingkar janji, maka katanya sambil kertak gigi. "Baik, katakanlah!" Gadis serba hitam menyeringai sinis, ujarnya. "Suma Bing sebelum kuajukan syaratku ini perlu kiranya aku memperkenalkan diri!" "Bukankah, kau murid Pek chio Lojin?" "Benar sih benar, tapi yang kumaksud adalah asal usulku!" "Cayhe tidak ingin mengetahui riwayat hidup nona, lebih baik..." "Kau perlu dan harus mengetahui!" "Mengapa?" "Supaya kau dapat mati dengan meram!" Suma Bing tertawa hambar ujarnya. "Kata2 seorang laki2 sejati pasti dapat dipercaya, berani bersumpah pasti berani mati, cayhe tidak akan menyesal." "Ya, nanti setelah aku memperkenalkan siapa diriku, kau takkan berani berkata demikian!" "Kalau begitu silahkan katakan!" "Aku bernama Loh Siau ling!" Suma Bing melengak tanyanya. "Kau she Loh?" "Benar, inilah ibuku bernama Ang siu li Ting Yan!" Sambil berkata ia menunjuk perempuan setengah umur itu. Keruan berobah airmuka Suma Bing, suaranya tergetar. "Dia adalah ibumu?" "Tidak salah!" "Jadi kau ini adalah putri Loh Cu gi?" "Tepat sekali!" Saking geram timbul nafsu membunuh Suma Bing, desisnya bengis. "Aku harus membunuhmu". Loh Siau ling mengekeh dingin, jengeknya. "Suma Bing, bayar dulu syarat yang kuajukan ini!" Mimpi juga Suma Bing tidak menyangka bahwa gadis serba hitam ini ternyata adalah putri Loh Cu gi musuh bebuyutannya, maka katanya lagi. "Aku harus membunuh kau!" "Suma Bing, kau ini seorang ksatria?" "Kenapa bukan?" "Apakah ucapanmu dapat dipercaya" "Tentu!" "Kalau begitu dengar dulu syarat yang harus kuajukan." Apa boleh buat, Suma Bing mengertak gigi serunya. "Katakan!" Kata Loh Siau ling mengulum senyum. "Syaratku ini sangat gampang, kau tutuk sendiri jalan darah mematikan!" Saking kaget Suma Bing terhuyung tiga langkah, serunya gusar. "Tidak mungkin!" Loh Siau ling menjengek dingin, umpatnya. "Suma Bing, jadi ucapanmu dulu itu adalah kentut belaka?" Bayangan kematian membuat seluruh tubuh Suma Bing merinding bergidik. Kalau dirinya harus menutuk sendiri jalan darah yang mencacatkan badan, bukankah berarti juga menghendaki jiwanya, malah mungkin akibatnya lebih mengenaskan dari kematian. Baru sekarang ia sadar telah tertipu dan masuk perangkap lawan, namun menyesal juga sudah kasep. Apakah dia harus menepati janjinya dengan syarat yang kejam ini? Bukankah menjadi makanan empuk dan enak bagi musuh besarnya ini? Sakit hati orang tua! Dendam perguruan, semua ini merangsang benaknya. Setelah di-pikir2, lalu dia berkata. "Janjiku pasti dapat kutepati, tapi setelah kamu sekalian sudah menjadi mayat baru bisa kulaksanakan!" Loh Siau ling membentak bengis. "Suma Bing, tidak malukah kau berkata demikian, jikalau aku tidak menjelaskan asal-usulku, jikalau waktu di Yok ong bio aku mengajukan syarat yang sama ini, apakah kau ragu2 dan bimbang? Apakah kau bakal mengeluarkan perkataanmu tadi?" Cep kelakep, Suma Bing bungkam seribu basa tidak dapat menjawab. Memang waktu di Yok ong bio dulu, kalau Loh Siau ling mengajukan syaratnya ini pasti tanpa ragu2 dia menerima syaratnya itu, sebab dia ingin sebutir Hoan hun tan untuk menolong jiwa bibinya Ong Fong jui, sebab dia tidak ingin bibinya mati karena dirinya. Tapi, hakikatnya adalah dia tidak rela mati begitu saja ditangan putri musuh besarnya! Namun ini adalah pilihan keputusan antara mati atau hidup, juga merupakan perbedaan batas antara sumpah dan ingkar janji. Keadaan gelanggang seketika sunyi hening, namun masih dilingkupi suasana tegang dan hawa pembunuhan. Terdengar Loh Siau ling berkata lagi. "Suma Bing, kalau kau hendak menjilat ludahmu sendiri, katakan saja, nonamu ini tidak akan peduli lagi!" Di b awah g e n c e t a n a n t a r a d e nd am k e s uma t d a n r a s a k e b e n c i a n y a ng me l u a p 2 , h amp i r s a j a S uma B i n g t e r t e k a n me ng g i l a , s e r u ny a g e r am s amb i l me n g e r t a k g i g i . " Su n g g u h me n g g e l i k a n , a k u S uma B i n g s e o r an g l a k i 2 ma s a h a r u s i ng k a r j a n j i t e r ha d ap s "Keaolarua bnegg itpue, rseegmerpaulaahn t!u"ru n tangan, tutuklah jalan darah pencacatmu!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Lagi2 Suma Bing terhuyung mundur satu langkah... Mendadak diantara kelompok jagoan Bwe hwa hwe terdengar seruan kaget dan ketakutan be-ramai2 mereka menyiak kedua samping, maka terbentang sebuah jalanan. Tampak seorang orang aneh yang seluruh tubuh berwarna hitam tengah melangkah memasuki gelanggang sambil berlenggang, dia tak lain tak bukan adalah Racun diracun. Serta merta Suma Bing menelan setengguk ludah. Lagi2 seorang musuh yang harus dia bunuh telah datang. Begitu memasuki gelanggang, dengan sorot pandangan dingin Racun diracun menyapu pandang keseluruh gelanggang, lalu berkata kepada Loh Siau ling. "Kau ini yang menginginkan Suma Bing menutuk sendiri jalan darah pencacat tubuhnya?" "Memang begitulah kejadiannya!" Sahut Loh Siau ling sambil manggut2. "Mengapa?" "Mengajukan syarat!" "Syarat apa?" "Ini bukan urusanmu tuan!" "Belum tentu!" "Jadi tuan juga ingin menangguk diair keruh?" "Harus kulihat dulu, ini urusan apa dan untuk kepentingan apa?" Sepasang bola mata Loh Siau ling yang bening cemerlang berputar, lalu katanya. "Ini aku boleh beritahu kepadamu. Suma Bing mohon sebutir Hoan hun tan kepadaku, dia sendiri yang minta supaya aku mengeluarkan syarat apapun untuk mengganti obatku itu..." "Maka syarat nona itu adalah menyuruh dia menutuk jalan darah sendiri supaya cacat tubuhnya?" "Tidak salah!" "Bukankah keinginanmu ini terlalu kejam?" "Suma Bing boleh mengingkari janji atau tidak setuju dengan syaratku yang kuajukan kalau dia merasa itu terlalu kejam, telengas atau keji!" Semprot Suma Bing dengan geramnya. "Kau jangan banyak mulut untuk mengekang aku, tidak nanti aku Suma Bing ingkar janji terhadap kau!" Lalu dia berpaling menghadapi Racun diracun, serunya. "Urusan cayhe ini harap tuan jangan turut campur!" Racun diracun menjengek dingin, ejeknya. "Suma Bing, benar2 kau ingin mati?" Sikap Suma Bing tetap angkuh dingin, sahutnya. "Urusanku tidak perlu tuan turut kuatir!" Racun diracun mengekeh panjang, katanya. "Suma Bing, sakit hati orang tuamu belum kau balas, dendam perguruan juga belum kau himpas. Kalau sekarang kau membawa adatmu sendiri, kau akan menjadi seorang berdosa sepanjang masa, seorang anak yang tidak berbakti dan tidak mengenal kebajikan!" Mendengar tegoran yang menusuk hati ini, tergetar seluruh tubuh Suma Bing, jidatnya basah oleh keringat, bukan dia tidak tahu, adalah karena terbawa oleh sifat angkuh dan keras kepalanya membuat dia malu untuk ingkar janji seumpama jiwa sendiri harus melayang juga harus dilakoni. Sementara itu perempuan cantik setengah umur itu tengah menghimpun tenaga dengan tekun untuk mengobati luka parah Chiu Thong. Semua jagoan Bwe hwa hwe tengah mengunjuk sorot mata yang penuh pengharapan menatap kearah Loh Siau ling. Tanpa menghiraukan Suma Bing lagi, Racun diracun membalik menghadapi Loh Siau ling, tanyanya. "Siapa namamu?" "Aku bernama Loh Siau ling!" "Ada permusuhan atau dendam sakit hati apa antara kau dengan Suma Bing?" Agaknya Racun diracun belum mengetahui bahwa Loh Siau ling ini adalah putrinya Loh Cu gi. Loh Siau ling merasa sebal, katanya tak sabar. "Tuan benar2 hendak turut campur?" "Boleh dikata demikian!" "Jadi tuan hendak membantu Suma Bing untuk mengingkari sumpahnya?" "Ini belum tentu, apa kau tahu akibatnya setelah kau mengajukan syaratmu itu?" "Akibat apa?" "Bwe hwa hwe akan hancur dalam sekejap mata!" "Huh, mengandal kau tuan, apa mampu?" "Kau tahu siapa2 yang menjaga diluar lingkungan itu?" "Siapa?" Balas tanya Loh Siau ling acuh tak acuh. "Sim dan Bu dua Tongcu serta anak buahnya dari Perkampungan bumi." Mendengar keterangan ini, semua anak buah dari Bwe hwa hwe terperanjat dan gentar sungguh tidak mereka sangka bahwa musuh yang mengepung diluar itu ternyata adalah anak buah Perkampungan bumi yang merupakan salah satu tempat keramat dan ditakuti oleh kaum persilatan itu. Demikian juga air muka Loh Siau ling berobah tegang, tanpa terasa dia mundur dua langkah, sorot matanya menyapu pandang kearah anak buah Perkampungan bumi serta serunya. "Apa benar?" Mulut Racun diracun ber-kecap2 mengejek, katanya. "Loh Siau ling, terus terang kuberitahu. Suma Bing adalah Huma dari Te po, juga menjadi calon utama dari majikan Te po yang akan datang, maka cobalah kau berbuat menurut keinginan hatimu." Wajah Loh Siau ling be-robah2 pucat dan kehijauan. Tujuannya hendak melenyapkan Suma Bing adalah untuk menghilangkan perintang jalan bagi tujuan besar ayahnya. Akan tetapi kekuatan Te po merupakan lawan ampuh yang susah diatasi bagi Bwe hwa hwe. Maka dalam keadaan yang mendesak ini pikirannya menjadi butek dan kehilangan pedoman arah tujuan. "Loh Siau ling," Kata Racun diracun pula. "Apa kau tahu tempat apakah ini?" Loh Siau ling tertegun, tanyanya. "Tempat apa?" "Daerah terlarang dalam kekuasaan Racun diracun!" "Daerah terlarang?" "Sedikitpun tidak salah!" Loh Siau ling tidak ambil peduli, sahutnya dingin. "Kalau daerah terlarang kau mau apa?" "Yang melanggar daerahku terlarang harus mati!" Kala itu Ang siu li Ting Yan sudah selesai mengobati luka parah ketua Bwe hwa hwe mereka sama2 bangkit berdiri. Air muka Loh Siau ling berobah membeku, tantangnya. "Tuan sangka dengan racunmu itu kau lantas dapat malang melintang tanpa tandingan?" Racun diracun mengakak tawa, serunya. "Aku tahu kau adalah murid tabib sakti Pek chio Lojin yang kenamaan itu. Tapi perlu kujelaskan, mengandal kemampuan obat pemunahnya Pek chio Lojin, pasti takkan dapat mengatasi bisaku yang bernama Racun dalam racun! Kalau kau tidak percaya boleh silahkan dicoba!" "Racun dalam racun?" Gemetar suara Loh Siau ling. "Tidak salah Racun didalam racun!" Suma Bing sendiri juga tidak ketinggalan berobah wajahnya, dia sendiri sudah pernah merasakan kelihayan bisa yang bernama Racun dalam racun itu. Jikalau Phoa Kin sian tidak menolongnya dengan obat Tan tiong tan, pasti dirinya sudah melayang jiwanya. "Lalu apa maksud tujuan tuan?" Bentak Loh Siau ling nekad. "Semua hadirin dalam gelanggang ini sudah terkena racun didalam racun termasuk kau sendiri, tidak percaya coba kau empos pernapasan!" Loh Siau ling adalah murid Pek chio Lojin seorang tabib kenamaan yang pandai dan paham pengobatan. Begitu dia mencoba bernapas terasa memang dirinya telah terkena racun berbisa, dilihatnya semua anak buahnya juga mengunjuk rasa kejut dan ketakutan, terang mereka juga sudah terkena bisa racun, nyata bahwa ancaman Racun diracun bukan main2 belaka. Ter-sipu2 dirogohnya keluar beberapa butir obat pemunah racun terus ditelannya, setelah sekian lama dia memeriksa, benar juga kiranya obatnya ini tidak mujarab dan tak berguna melawan bisa Racun dalam racun. Baru sekarang dia benar2 terperanjat dan takut, maka bentaknya dengan bengis. "Tuan apa maksudmu sebenarnya?" Pelan dan tegas berkatalah Racun diracun. "Semua orang yang memasuki daerahku terlarang harus dihukum mati, ini sudah merupakan undang2. Tapi hari ini baiklah aku melanggar kebiasaanku itu..." "Kalau tuan melanggar pantangan sendiri pasti disertai syarat bukan?" Tanya Ketua Bwe hwa hwe dengan perasaan haru. "Tidak salah, kau ini pintar juga!" "Syarat apa?" Racun diracun tetap menghadapi Loh Siau ling, ujarnya. "Gampang sekali, kau batalkan syarat yang kau ajukan kepada Suma Bing. Maka aku tidak akan menarik panjang urusan ini, segera kuberikan obat pemunahnya, maka kalian harus segera menggelinding pergi. "Tidak mungkin terjadi!" "Racunku itu dikolong langit ini tiada seorangpun yang mampu memunahkan. Maka semua yang telah terkena racunku ini dalam setengah jam saja bakal bergelimpangan mati." Kata2nya ini diucapkan dengan enteng dan seenaknya saja, tapi dalam pendengaran para jagoan Bwe hwa hwe, se-olah2 perintah dari Giam lo ong, semua pucat dan gemetar saking ketakutan. Terdengar Ang siu li Ting Yan ikut bicara. "Apa tuan berani bertanggung jawab kita semua dapat keluar semua dengan selamat?" "Sudah tentu!" "Kalau begitu, anak Ling, lulusilah!" Namun pada saat itulah mendadak Suma Bing menyelak dengan suara menggeledek. "Racun diracun, cayhe tidak sudi menerima budimu ini!" "Suma Bing, agaknya kau takut menghadapi kenyataan ini. Memang aku berhutang jiwa beberapa orang terhadap kau, tapi siang2 sudah kukatakan ini merupakan dua hal yang tersendiri jangan kau campur baurkan. Suma Bing jangan kau salah sangka bahwa aku bakal menanam budi untuk menebus dosa2ku yang tertunggak itu atau minta pengampunan kepadamu. Bukti menyatakan kalau aku ingin kau segera mati segampang membalikkan tangan. Akan tetapi, sudah kukatakan setengah tahun lagi aku akan memberikan pertanggungan jawabku kepada kau, mengapa tidak kau nantikan setengah tahun lagi, urusan hari ini adalah..." "Aku belum pernah melulusi kau menanti setengah tahun lamanya!" Demikian tiba2 tukas Suma Bing dengan angkuhnya. "Jadi kau sekarang juga hendak turun tangan?" "Ada kemungkinan!" "Suma Bing kau ini binatang berdarah dingin!" "Ketahuilah aku tidak sudi menerima kebaikanmu!" "Kau takut akan hati nuranimu sendiri yang bakal tidak tentram?" "Tidak peduli bagaimana juga aku tidak setuju!" "Jadi kau sudah bertekad hendak mati?" "Itu urusanku sendiri!" "Tapi saat ini kau berada didaerahku yang terlarang diinjak orang luar, akulah tuan rumah disini, apa yang senang kuperbuat pasti kulakukan, siapapun tiada hak merintangi, kau sudah mengerti?" Bukan main heran Suma Bing dibawah solokan didepan sana adalah tempat mengasingkan diri bibinya Ong Fong jui dan muridnya Phoa Kin sian. Tapi dengan tandas Racun diracun berulang2 mengatakan bahwa daerah sekitar sini adalah daerahnya yang terlarang. Tentu ada hal2 yang mencurigakan? Betapa kejam dan telengas sifat Racun diracun ini, tulang belulang kekasihnya Ting Hoan masih belum dingin. Mengapa pula dia mengambil resiko sedemikian besar untuk membantu dirinya? Menurut apa yang pernah dikatakan Goan Hi Taysu dari Siau lim si bahwa dia sealiran dengan Pek kut Hujin malah mungkin adalah muridnya. Sudah ber-ulang kali mereka guru dan murid ulurkan tangan menolong jiwanya dan menanam budi pada dirinya. Sekarang ini juga dalam saat2 dirinya menghadapi mara bahaya dia muncul lagi, Mengapa? Karena dia memperkosa dan membunuh Ting Hoan. Karena mempermainkan Thong Ping yang tidak berdosa dan membunuh ibundanya. Maka dia bersumpah hendak menumpas manusia laknat ini! Tapi berbagai kenyataan sudah membuktikan sudah beberapa kali dia menolong jiwanya. Ini juga kenyataan yang tidak mungkin disangkal lagi. Antara dendam kesumat dan budi kebajikan membuat dia tertekan dalam kepedihan, sanubarinya menjerit dan mengeluh. Sepak terjang Racun diracun ini benar2 hebat, apalagi kalau dipikirkan secara sehat agaknya sangat mustahil. --ooo0dw0ooo-- Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jilid 11 41 MASA DEPAN YANG HAMPA DAN SURAM. Setelah memikirkan timbal balik untung ruginya, segera Loh Siau ling berkata lantang dan tegas. "Racun diracun, baiklah aku menyetujui jual beli ini!" "Kita sudah saling tukar, maka antara kau dengan Suma Bing sudah tidak ada utang piutang lagi?" "Baiklah." "Ini adalah obat pemunah, ambillah, setelah tiga li dari sini baru kalian telan, bagikan setiap orang satu butir, jumlahnya tepat dan tidak kurang!" Lantas dilontarkan sebuah botol kecil kearah Loh Siau ling. Enteng sekali Loh Siau ling ulurkan tangan menyambuti terus berpaling kearah perempuan cantik setengah umur seraya berkata. "Mah, mari kita pergi!" Maka terlihat bayangan orang berkelebat dalam sekejap mata saja semua jagoan anak buah Bwe hwa hwe berloncatan menghilang dari pandangan mata... Tampak Sim tong Tongcu Song Liep hong, anak buah dari Perkampungan Bumi ter-sipu2 tampil kedepan menghadap Suma Bing serta berseru. "Harap Huma memberi petunjuk!" Suma Bing menghela napas panjang2, dan berkata. "Biarkan mereka pergi, setelah itu kalian juga boleh pulang!" "Hamba menerima perintah dari Te kun, untuk menyertai dan melindungi Huma!" "Tidak perlu lagi, kalian boleh pergi!" "Ini..." Melotot mata Suma Bing, semprotnya. "Aku ingin kalian pergi!" "Baik", sahut Song Liep hong sambil membungkuk tubuh mengundurkan diri. Tak lama kemudian semua orang sudah pergi, keadaan gelanggang menjadi sepi tinggal Racun diracun berhadapan dengan Suma Bing, mereka tenggelam dalam pikiran masing2 tanpa buka suara sekian lamanya. Akhirnya Racun diracun membuka kesunyian, katanya. "Suma Bing, kau anggap sepak terjangku tadi sangat menyinggung perasaan dan harga dirimu bukan?" Kata2 ini langsung menusuk kelubuk hati Suma Bing, semangatnya menjadi lesu, katanya masgul. "Mengapa tuan berbuat demikian?" "Aku tidak ingin melihat kau mati secara konyol dan penasaran!" "Mengapa?" "Kelak kau akan paham!" "Apa benar daerah ini adalah tempat terlarang tuan?" "Ini... hehe, hanya menggertak supaya mereka pergi!" "Silahkan tuan juga pergi!" "Kau tidak ingin bicara dengan aku?" Terlintas hawa membunuh pada air muka Suma Bing, desisnya dingin. "Pertemuan yang akan datang mungkin aku harus membunuhmu!" Tawar2 saja Racun diracun berkata. "Terserah apa yang hendak kau perbuat, asal kau mampu melakukan!" "Dan lagi, cayhe masih dapat membedakan antara budi dan dendam, memang hutangku terlalu banyak kepadamu, nanti setelah semua urusan pribadiku selesai kukerjakan, biarlah aku menebus hutangku itu dengan kematian jiwaku!" "Untuk ini rasanya tidak perlu!" "Silahkan, tuan boleh pergi!" Sambil bersuit melengking tinggi laksana jeritan setan, tiba2 tubuh Racun diracun melayang jauh terus menghilang. Suma Bing termangu memandangi bayangan manusia misterius yang menakutkan itu menghilang dari pandangan matanya, entah bagaimana perasaan hatinya. Kawankah? Musuhkah? Berbudi atau berdosa? Tak dapat dia membedakan dan menganalisa termasuk orang macam apakah Racun diracun ini. Tapi bagaimanapun juga, dasar keinginannya hendak membunuhnya takkan goyah atau berubah. Ia telah menerima budi dan kebaikan seorang lain, ingin benar dia membalas budi atau kebaikan orang itu. Tapi alasan lain yang lebih kuat, mau tak mau mengharuskan dia membunuh orang yang menanam budi ini, perasaan dan perang batin yang kontras ini, sungguh sangat menyedihkan dan menekan jiwanya. Apalagi bagi seorang yang jelas dapat membedakan antara budi dan dendam atau kejahatan, kekontrasan ini akan lebih mendalam. Begitu juga keadaan Suma Bing pada waktu itu, berada dalam kekontrasan yang mencekam sanubarinya. Mendadak ia tergugah dari lamunannya, teringat olehnya keadaan bibinya yang masih sangat kritis didalam solokan, dan istrinya Phoa Kin sian sedang pergi menolongnya. Entah Hoan hun tan yang diperolehnya itu ada manjur atau tidak? Dalam berpikir itu, kakinya segera ber-lari2 mengembangkan ilmu ringan tubuhnya terus melayang bagai terbang masuk kedalam solokan yang curam itu. Kira2 ratusan tombak kemudian, terdengar olehnya suara bentakan dan makian yang riuh rendah dari balik rimba sebelah depan sana. Tanpa terasa tergerak benak Suma Bing. Tempat ini tidak jauh dari solokan tak bernama itu, siapakah yang tengah bertempur disini. Sedikit merandek, terus dia putar haluan dan berlari kearah datangnya suara bentakan. Semakin dekat suara bentakan dan pertarungan semakin nyata dan jelas. Kiranya disebuah rimba yang membelakangi sebuah kaki bukit, samar2 terlihat berkelebatnya bayangan beberapa orang. Begitu mengencangkan kaki, seenteng burung walet tubuhnya terbang menerobos hutan terus hinggap dipinggir gelanggang pertempuran. Waktu melihat tegas siapa2 yang tengah bertempur itu, seketika mendidih darah panasnya. Tampak dua orang Rasul penembus dada tengah bertempur seru dan sengit melawan Phoa Kin sian kakak beradik, malah masih ada dua Rasul lainnya yang berdiri menonton dipinggiran. Phoa Kin sian kakak beradik tengah mati2an melawan seorang Rasul penembus dada, keadaannya sudah terdesak dibawah angin, tidak lama lagi pasti keduanya dapat dikalahkan oleh musuh2nya ini. Terdengar salah seorang Rasul yang menonton dipinggiran itu berseru mengancam. "Phoa Cu giok, serahkan Pedang darah kepada kami, supaya kuampuni jiwa anjingmu itu!" Seketika berkobar semangat Suma Bing, naga2nya Pedang darah masih berada ditangan Phoa Cu giok. Maka segera ia tampil kedepan seraya menghardik. "Berhenti!" Bentakan yang keras bagai geledek ini kontan menggetarkan perasaan mereka yang tengah bertempur. Serta merta mereka menghentikan pertempuran. Wajah Suma Bing membeku bagai es, sorot matanya memancarkan sinar kebuasan yang mengandung nafsu membunuh, selangkah demi selangkah kakinya bertindak maju memasuki gelanggang. "Sia Sin kedua!" Tercetus seruan kaget berbareng pada keempat Rasul penembus dada. Begitu memasuki gelanggang pertama2 yang diperhatikan oleh Suma Bing adalah Phoa Kin sian, tanyanya penuh kuatir. "Adik Sian bagaimana keadaanmu. Bagaimana pula keadaan bibi..." "Aku tidak apa2. Suhu sudah siuman, tapi keadaannya masih sangat lemah, saat ini tengah bersamadi memulihkan tenaga!" "O," Sahut Suma Bing terhibur lega. Lantas pandangannya menatap kearah Phoa Cu giok, katanya dengan nada rendah berat. "Cu giok, yang sudah lalu tidak perlu dipersoalkan lagi. Sekarang kembalikan Pedang darah itu kepadaku!" "Adik Giok." Sambung Phoa Kin sian, suaranya gemetar. "Keluarkanlah!" Dengan rasa kikuk dan malu sambil melirik kepada Suma Bing, akhirnya Phoa Cu giok merogoh keluar Pedang darah dari dalam kantongnya... Dimana terlihat bayangan berkelebatan, mendadak keempat Rasul penembus dada berbareng menubruk maju. Dua diantaranya menerjang kearah Suma Bing, sedang dua yang lain menyerang kepada Phoa Cu giok dan Phoa Kin sian. Maka angin pukulan bagai gelombang badai segera menerjang tiba dengan dahsyatnya. Timbul kemurkaan Suma Bing, sambil menggertak keras kedua tangannya bergerak sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyongsong serbuan musuh. Terdengar dentuman dahsyat yang memekakkan telinga. Kedua Rasul yang menerjang kearah Suma Bing terpental balik dengan jungkir balik, namun Suma Bing sendiri juga tidak dapat berdiri tegak, beruntun kakinya terhuyung lima tindak. "Pedang darah!" Tiba2 terdengar seruan kaget dan kuatir Phoa Cu giok. Maka terlihat sebuah bayangan orang melesat keluar dari gelanggang pertempuran terus berlari dengan kencang sekali. Tanpa banyak pikir lagi, segera Suma Bing kembangkan ilmu Bu siang sin hoat, bagai bayangan setan iblis, tahu2 dia sudah menghadang didepan bayangan yang lari tadi, begitu tangan kiri bergerak membabat, tangan kanan juga ikut membalik terus mencengkram kedepan. Berkelebat sambil menyerang sungguh kecepatannya susah diukur seumpama kilat menyambar. Terdengar seruan tertahan, lantas terlihat bayangan itu limbung sempoyongan beberapa langkah. Dari perawakannya dapat diketahui, bahwa yang merebut Pedang darah itu adalah pentolan dari keempat Rasul itu. Tiga bayangan yang lain lagi sudah menubruk tiba lagi dengan kecepatan bagai bintang meluncur. Pandangan Suma Bing menatap tajam Rasul yang berada dihadapannya, tiba2 kedua tangannya bergerak ber-putar2 terus disodokkan kedepan dengan kekuatan Kiu yang sin kang. Bau terbakar dan hawa panas segera merangsang kedepan bagai gelombang badai gurun sahara. Kontan ketiga bayangan orang itu berloncatan minggir menyelamatkan diri. "Serahkan!" Desis Suma Bing sambil mendesak maju dua langkah kearah Rasul penembus dada, wajahnya membesi diliputi hawa pembunuhan. Tiba2 selarik sinar terang yang menyilaukan mata meluncur memapak kedatangan Suma Bing, kiranya itulah cundrik Rasul penembus dada yang disambitkan langsung mengancam dadanya. Sambil menggeram gusar Suma Bing mengelak kesamping sambil mengirim sebuah pukulan. Ternyata kepandaian Rasul penembus dada juga bukan olah2 hebatnya, hanya dalam waktu sedetik itu saja tiba2 tubuhnya juga sudah berkelit sejauh lima tombak. "Seumpama tumbuh sayap juga jangan harap kau dapat lari!" Belum habis suara Suma Bing, tahu2 dia sudah berada dihadapan lawan lagi, terus beruntun kirim lima serangan berantai yang dahsyat. Maka terlihat Rasul penembus dada terhuyung mundur sambil mulutnya menguak, terlihat kerudung putihnya itu kini berobah berwarna merah. Pedang darah bagi Suma Bing adalah sangat penting, lebih penting dari jiwa sendiri, bagaimana juga harus direbut kembali, maka bentaknya bengis. "Kau mau serahkan tidak?" "Suma Bing," Seru Rasul penembus dada gemetar. "Kau akan mati tanpa tempat liang kubur yang layak." "Serahkan!" "Tidak bisa!" "Jadi kau ingin mati!" sambil membentak, Kiu yang sin kang sudah dilancarkan menyerang lagi. 'Blang!' terdengar Rasul penembus dada mengeluh tertahan, tubuhnya pelan2 jatuh terkulai. Disamping sana keadaan Phoa Kin sian dan adiknya juga dalam bahaya, mereka juga kewalahan menghadapi Rasul yang berkepandaian lihay diatas mereka, berulang kali mereka sudah terpukul dengan telak sehingga muntah darah, tinggal tunggu waktu saja mereka berdua bakal roboh tanpa nyawa lagi. Sementara itu Suma Bing sudah mengulur tangan hendak mencengkram pinggang Rasul yang telah roboh itu... Tiba2 sejalur angin kencang terasa menyerang punggung Suma Bing. Terpaksa Suma Bing harus miringkan tubuh sambil balas menyerang sekuatnya. Betapa cepat serangan bokongan ini maka Suma Bing juga harus melayani sama cepat, tapi toh tidak kuasa berkelit. 'Bum!' karena getaran yang kuat ini, Suma Bing sampai terpental sempoyongan. Menggunakan peluang ini, Rasul yang membokong ini gesit sekali melejit tiba terus meraup Pedang darah yang berada dipinggang kawannya terus loncat jauh hendak lari... Bola mata Suma Bing merah membara, kedua tangannya diayun bergantian, gelombang panas yang dahsyat segera mendera maju ditengah udara, dibarengi tubuhnya juga ikut melesat maju mencegat jalan lari musuh. Kontan Rasul yang lari itu terpukul balik oleh angin pukulannya itu. Dirangsang nafsu membunuh, serangan Suma Bing semakin deras dan dahsyat, lagi2 dua kali pukulan dilancarkan untuk merobohkan musuhnya. Maka terdengarlah lolong panjang yang menyayatkan hati memecah kesunyian dalam rimba raya. Tampak Rasul penembus dada itu terbang me-layang2 dan terbanting keras dua tombak jauhnya. Pedang darah yang dipegangnya juga terlempar jauh dari cekalan tangannya. Sebat sekali Suma Bing meraup Pedang darah itu terus dimasukkan kedalam kantong bajunya, baru sekarang dia dapat menghela napas panjang yang melegakan. Sekali lagi tubuhnya berkelebat, tahu2 dia sudah tiba ditempatnya semula dimana Rasul penembus dada yang lain rebah tak berkutik lagi, terus mencengkram mukanya... Begitu kedok dimuka Rasul penembus dada tertanggalkan, tanpa terasa Suma Bing berteriak kejut sambil mundur dua langkah. Kiranya Rasul penembus dada yang kenamaan dan sangat disegani diseluruh Kangouw itu ternyata adalah seorang gadis rupawan yang cantik jelita. Keruan hal ini benar2 sangat mengejutkan dan diluar dugaan Suma Bing. Dua pasangan lain yang tengah bertempur juga lantas berhenti sendirinya tanpa diminta, mereka maju mendekat. Pimpinan dari keempat Rasul itu kini sudah pelan2 merayap bangun, darah masih meleleh dari ujung bibirnya, katanya ber-api2 penuh kebencian. "Suma Bing, kalau kau mau segeralah bunuh aku. Kalau tidak akan datang satu hari aku membunuhmu!" Setelah Pedang darah dapat direbut kembali, lapang dan legalah hati Suma Bing, apalagi setelah diketahui kalau lawan ini ternyata seorang gadis rupawan, nafsu membunuhnya telah menghilang tanpa bekas. Mendengar ancaman orang ini, segera ia bergelak tertawa, ujarnya. "Mengandal ucapanmu ini, biarlah kulepaskan kalian pergi. Kalau ingin membalas dendam, se-waktu2 aku nantikan kedatangan kalian di kalangan Kangouw!" "Kau jangan menyesal?" "Omong kosong yang menggelikan!" Maka tiga Rasul yang lain memayang salah seorang Rasul yang terluka paling berat terus tinggal pergi tanpa banyak mulut lagi. Suma Bing berpaling kearah Phoa Kin sian kakak beradik, tanyanya. "Adik Sian, apa kau tahu perkumpulan apakah Jeng siong hwe itu?" "Aku tidak tahu. Tapi kekejaman dan banjir darah yang ditimbulkan oleh Jeng siong hwe kini benar2 telah menimbulkan gelombang kemarahan kaum persilatan!" "Diukur dari kepandaian keempat Rasul ini, dapatlah dipastikan pemimpin dari Jeng siong hwe itu pasti seorang misterius yang sangat menakutkan!" "Itu sudah dapat dibayangkan!" "Kenapa Cu giok bisa bersua dengan keempat Rasul penembus dada..." Phoa Cu giok tunduk ke-malu2an. Agaknya Phoa Kin sian sangat terhibur, juga sangat menderita, katanya. "Dengan membawa Pedang darah Cu giok merana di kalangan Kangouw, hampir saja dia dipukul mati oleh Kangkun Lojin. Untung dia mau bicara secara jujur, sehingga Kangkun Lojin mengampuni jiwanya dan memerintahkan dia mengembalikan Pedang darah itu. Tak terduga ditengah jalan bertemu dengan Rasul penembus dada, dengan kepandaian mereka yang aneh itu dilihatnya Cu giok menyimpan Pedang itu, maka mereka terus mengejar dan menguntit sampai disini. Kalau kebetulan kau tidak muncul, susahlah dibayangkan akibatnya!" Se-konyong2 Suma Bing ingat sesuatu, tanyanya. "Adik Sian, kuingat kau pintar menggunakan racun?" "Kenapa?" Balas tanya Phoa Kin sian, wajahnya berubah. "Kenapa kau tidak gunakan racunmu itu menghadapi Rasul penembus dada?" "Kejadian ini sungguh sangat ganjil. Ternyata kali ini para Rasul itu tidak takut lagi menghadapi racunku!" "Ada kejadian begitu?" "Kalau tidak buat apa kau memperingatkan!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Marilah kita kembali kedalam lembah solokan itu?" "Kau tidak perlu kesana lagi!" Suma Bing melengak, tanyanya. "Mengapa?" "Suhu yang menyuruh begitu!" "Tapi aku harus menilik keadaan bibi!" "Tidak perlu lagi, paling lama satu bulan dia sudah akan sembuh kembali!" "Kenapa dia tidak izinkan aku pergi melihatnya lagi?" "Mana aku tahu!" Suma Bing membatin dan menimbang, menurut kisikan Kangkun Lojin bahwa Phoa Kin sian bakal mengalami bencana, menurut niatnya ia hendak minta bantuan bibinya untuk menjaga istrinya ini. Tak terduga bibinya tidak ingin menemui dirinya lagi, urusan ini agaknya harus berlarut berkepanjangan... "Engkoh Bing." Kata Phoa Kin sian lembut. "Agaknya kau ada omongan yang hendak kau katakan." "Ya, memang kau menerka betul!" "Apa yang hendak kau katakan?" "Aku ada satu permintaan kepadamu!" "Katakanlah!" "Aku minta sukalah kau dalam jangka seratus hari ini tidak meninggalkan tempat tinggalmu ini barang selangkahpun juga?" Phoa Kin sian heran dan tak mengerti, tanyanya. "Mengapa?" "Kelak biar kuberitahu kepadamu!" Kata Phoa Kin sian berpaling kearah Phoa Cu giok. "Dik, kau kembalilah dulu!" Phoa Cu giok mengiakan terus memutar tubuh tinggal pergi. "Engkoh Bing," Kata Phoa Kin sian. "Katakanlah kenapa?" Suma Bing menjadi serba susah, tidak mungkin dia menutur apa yang bakal menimpa istrinya sehingga menambah beban penderitaan batinnya. Oleh karena pikiran ini maka ia menyahut putar haluan. "Sebab kau tak lama bakal menjadi ibu, jangan banyak bergerak sehingga melelahkan badanmu!" Phoa Kin sian mengulum senyum bahagia, tapi secepat itu tawanya lantas menghilang, tanyanya. "Mengapa harus dibatasi dalam seratus hari. Aku bakal... melahirkan... setelah seratus hari lagi?" "Sudah tentu ada alasannya, tidak peduli bagaimana nanti, dalam seratus hari ini aku pasti datang menjenguk kau!" "Baiklah, aku lulusi permintaanmu ini." "Nah, inilah baru istriku yang baik!" Phoa Kin sian tersenyum malu, tangannya mencubit sambil mencemooh. "Cerewet!" "Masa perkataanku tadi salah!" Mendadak Phoa Kin sian menutup kedua matanya, terus membentang kedua lengannya dan berkata. "Engkoh Bing, ciumlah aku!" Sikapnya ini benar2 diluar dugaan Suma Bing. Sifat Phoa Kin sian selamanya putih bersih dan dingin kaku. Pernikahan mereka juga terjadi dalam peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Tatkala itu kalau bukan karena terkena tutukan jari Hian bu cui yang ci dari si mawar beracun Ma Siok ceng, itu pelindung Bwe hwa hwe yang terkenal cabul, tentu Phoa Kin sian tidak bakal kehilangan kesuciannya, maka mereka tidak mungkin bisa menjadi suami istri. Walaupun sekarang dia sudah resmi menjadi istrinya. Tapi kehendak yang merangsang minta dicium ini benar2 baru pertama kali ini terjadi. Namun bagaimana juga mereka berdua adalah suami istri. Maka setelah tertegun sejenak, Suma Bing lantas memeluknya kencang2 sambil mencium dengan mesra. Phoa Kin sian tenggelam dalam rangsangan penuh nafsu, timbul suatu perasaan tak menentu dibenak mereka, tatkala itu, se-akan2 sang waktu sudah berhenti, selain terasa getaran jantung dan dengusan napas serta isapan yang menggelora, segalanya se-olah2 sudah tidak hidup dan berada lagi. Lama dan lama sekali baru kedua suami istri ini sadar dari kenyataan ini. Serta merta Suma Bing merasa sesuatu keanehan yang menakutkan sanubarinya. Peringatan Racun diracun serta kisikan Kangkun Lojin itu, laksana duri yang tidak berbekas me-nusuk2 hati kecilnya sehingga membuatnya tidak tenang berdiri dan tidak enak duduk. "Engkoh Bing," Ujar Phoa Kin sian penuh kasih mesra. "Kau merasa diluar dugaan bukan?" "Ini... ah, tidak!" "Kau mengelabui aku. Dari air mukamu dapat kulihat kau berbohong!" "Apa pikirmu mungkin demikian. Kau adalah istriku..." "Engkoh Bing, aku selalu merasa segala sesuatu didunia ini dapat terjadi diluar sangka, tiada yang abadi dan kekal. Terutama bagi kaum persilatan, yang hidup dan terjun dikilatan ujung senjata, dengan bekal permusuhan dan dendam sakit hati. Siapa akan tahu malapetaka apa bakal menimpa dirinya secara mendadak." Suma Bing bergidik, memang ini kenyataan, tapi juga pertanda alamat benih petaka. "Adik Sian, mengapa timbul pikiranmu yang tidak genah itu?" "Masa kau tidak mengakui akan kemungkinan ini?" "Memang harus kuakui, tapi pasti ini tercetus dalam perasaan batinmu!" "Benar, engkoh Bing. Pikiran semacam ini sudah lama timbul sejak perkawinan kita dulu, selalu berputar dan mengganjal dalam pikiranku." "Adik Sian, dapatkah kau tidak berpikiran begitu? Kenapa tidak kau pikirkan kelak dan masa depan kita, pikirkanlah tunas muda yang bakal lahirkan itu..." Mendadak kata2 Suma Bing terputus sampai disitu. 'Masa depan' kedua kata ini membuatnya bergidik, teringat olehnya akan janjinya kepada Racun diracun "...kelak bila bertemu lagi, aku pasti membunuhmu, tapi hutang budiku terlalu banyak, biarlah aku membayar budimu itu dengan kematianku..." Pertemuan yang bakal datang itu, betapa menakutkan. Kalau begitu dapatkah dirinya menanggung dan menyangkal akan pandangan Phoa Kin sian yang masuk akal itu. "Adik Sian, kita tidak perlu me-nerka2 kejadian apa yang bakal terjadi dimasa depan, paling perlu kita tinjau masa kini!" "Sekarang ini? Engkoh Bing, apa yang telah diberikan kepada kita sekarang? Namanya saja kita sebagai suami istri, tapi tiada waktu untuk kita hidup berdampingan secara kasih mesra, kau ketimur aku kebarat, masing2 berkelana demi kepentingan sendiri..." Suma Bing tertawa ewa, ujarnya. Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo