Pedang Darah Bunga Iblis 23
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 23
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Loh Siau ling mundur ketakutan, tanyanya. "Engkoh Giok, untuk apa kau berkata demikian? Kau masih menyangsikan cintaku kepadamu?" "Tidak, aku tahu kau sangat mencintai aku!" "Lalu kau..." "Mendadak aku sadar bahwa aku tidak mungkin mencintai kau lagi!" Pucat wajah jelita Loh Siau ling, desisnya gemetar. "Kau tidak cinta aku lagi?" "Benar, bukan tidak cinta, tapi tidak mungkin mencintai kau!" "Engkoh Giok, aku..." Dua butir airmata meleleh membasahi pipinya yang putih halus ke-merah2an, agaknya cintanya terhadap Phoa Cu giok memang sangat dalam. Phoa Cu giok masih tetap tenang tanpa berobah nada ia berkata lagi. "Adik Ling, kau jangan salahkah aku?" "Aku... engkoh Giok, aku cinta kepadamu! Perbuatan ayah yang durhaka itu jangan kau timpahkan kepadaku..." "Siapa menyuruh kau menjadi putrinya?" "Kau... apa yang hendak kau lakukan?" Membesi raut muka Phoa Cu giok, geramnya. "Aku harus membunuhmu!" Ucapan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, terus teriaknya. "Cu giok, jangan sembrono..." Tapi sudah terlambat, belum lenyap seruan Suma Bing, sudah terdengar jeritan panjang yang mengerikan memecah kesunyian udara. Phoa Cu giok benar2 tega membunuh kekasihnya sendiri, ini benar2 kejadian yang susah dapat dipercaya. Sedemian cakap dan ganteng pemuda ini, tidak nyana berhati kejam telengas dan buas melebihi binatang, sedemikian tega dia turun tangan jahat kepada kekasihnya. Suma Bing sendiri sampai merinding dan berdiri bulu kuduknya, serunya gemetar. "Phoa Cu giok, kau betul2 membunuhnya?" Phoa Cu giok tenang2 seperti tak terjadi apa2, sahutnya acuh tak acuh. "Aku Phoa Cu giok pasti membalas setiap perbuatan orang yang menyakiti hatiku. Kejadian ini harus kau salahkan ayahnya!" "Tapi dia adalah kekasihmu?" "Kekasih lantas terhitung apa, sedemikian besar dunia ini dimana2 aku dapat memetik bunga yang harum!" Bergidik dan merinding seluruh tubuh Suma Bing. Baru pertama kali ini ditemuinya seorang yang kejam tidak mengenal kasihan ini, apalagi seorang pemuda yang cakap dan belum berusia dua puluh. "Phoa Cu giok, kau terlalu kejam!" "Suma Bing, terpaksa kau kuakui sebagai cihu, harap bicaralah sungkan sedikit!" Keruan timbul kemurkaan Suma Bing, bukan karena menyayangi kematian Loh Siau ling, sebab Loh Siau ling adalah putri musuh besarnya, adalah karena sepak terjang dan perbuatan Phoa Cu giok yang keji tidak mengenal peri kemanusiaan itulah menimbulkan rasa tidak puasnya, maka sahutnya dingin. "Kau tidak mau mengakui bahwa perbuatanmu ini mendekati perbuatan yang sadis?" "Hal itu memang belum pernah kupikirkan, aku hanya memikirkan keselamatan cici dan Suhu saja!" "Tapi kan belum tentu mereka benar2 sudah meninggal bukan?" "Tidak peduli bagaimana, pendeknya dia memang setimpal menerima kematiannya!" "Phoa Cu giok, perbuatanmu inilah yang setimpal harus dibunuh!" Phoa Cu giok menyeringai sinis, ujarnya. "Suma Bing jangan kau takabur akan kepandaianmu, jikalau tidak kupandang muka cici..." "Kau mau apa?" "Kau juga harus kubunuh!" Hampir meledak dada Suma Bing, saking marah dia malah tertawa, serunya. "Cobalah kau turun tangan." "Kau sangka aku tidak berani?" Sambil menggerang langsung ia menggenjot kedada Suma Bing, baru sampai ditengah jalan pukulannya mendadak bergetar menjadi bayangan beberapa buah kepelan seakan bunga salju yang me-layang2 ditengah udara terus mengurung dua belas jalan darah penting bagian atas tubuh Suma Bing. Pukulan ini boleh dikata sangat aneh dan ganas sekali. Sungguh gusar Suma Bing bukan kepalang, tanpa berayal iapun himpun kekuatan Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian untuk menyongsong pukulan musuh. Maka terdengarlah gerungan tertahan, tampak Phoa Cu giok tergentak terbang dua tombak lebih, ujung bibirnya meleleh darah segar. Suma Bing menjadi tertegun, pikirnya, agaknya pukulanku terlalu berat? Wajah Phoa Cu giok penuh diliputi rasa kebencian yang ber-api2, sorot matanya buas, hardiknya bengis. "Suma Bing, jangan kau sesalkan aku turun tangan kejam..." Pada waktu yang tepat itulah mendadak terdengar sebuah bentakan nyaring. "Cu giok, berani kau kurangajar kepada cihumu!" Begitu lenyap suara itu, meluncurlah sebuah bayangan dihadapan mereka. Pendatang ini bukan lain adalah bibi Suma Bing Ong Fong jui adanya. Dengan kejut dan rasa takut2 Phoa Cu giok mundur dua langkah terus bertekuk lutut, sapanya. "Suhu terimalah hormatku!" Dingin2 saja Ong Fong jui melotot kearahnya, ujarnya. "Cu giok, lagi2 kau berani lari keluar. Inilah yang terakhir kuperingatkan kepadamu, jikalau kau berani berbuat jahat menyebar bencana dimana2, pasti kuhukum menurut peraturan perguruan nomor satu!" "Ampun Suhu, anak Giok sudah insaf akan dosanya!" Baru sekarang Suma Bing berkesempatan maju memberi hormat serta sapanya. "Bibi kau baik2 saja!" "Bing tit, apakah yang telah terjadi?" Segera Suma Bing menceritakan secara ringkas jelas. Sehingga Ong Fong jui gusar bukan kepalang, semprotnya kepada Phoa Cu giok. "Cu giok, memang kau setimpal untuk dibunuh. Mengingat pesan terakhir ayah ibumu maka cicimu sangat menyayang dan mengeloni kau. Akan datang suatu hari pasti cicimu akan celaka ditanganmu sendiri." Phoa Cu giok tunduk diam saja tanpa berani bergerak. Kata Suma Bing. "Bibi, apakah Kin sian selamat?" "Dia baik2 saja, kenapakah kau tanyakan dia?" "Ini... tidak apa2 hanya bertanya saja, dimanakah dia sekarang?" "Ubek2an kemana2 mencari bocah durhaka ini, ai, dia sungguh kasihan... dia seorang yang welas asih!" "Waktu Titji kembali kedalam lembah, kutemui..." "Karena curiga kau sembunyi didalam lembah, maka Bwe hwa hwe melepas api membakar lembah untuk memaksa kau keluar!" "O!" Demikian seru Suma Bing, baru sekarang ia tahu duduk perkara sebenarnya. "Bing tit, agaknya Lwekangmu..." "Titji sudah mencapai hasil mempelajari ilmu yang tertera didalam Pedang darah dan Bunga iblis!" "Ah, apa benar, sungguh menggirangkan dan kuberi selamat kepadamu. Bagaimana jejak ibumu dan musuh besarmu?" "Ini... masih belum ketemu!" "Kau harus berusaha sekuat tenaga untuk menyirapi keadaan ibumu, kalau tidak para musuh yang turut dalam pengeroyokan di puncak kepala harimau itu susah dapat kau selidiki!" "Benar!" "Aku juga akan membantu sekuat tenaga mencari." "Terima kasih akan bantuan bibi!" "Sekarang kemana kau hendak pergi?" "Aku diutus seorang Cianpwe untuk menyelesaikan pertikaian ratusan tahun yang lalu digereja Siau lim!" "Pertikaian apakah itu?" "Untuk mengembalikan Bu siang po liok kepunyaan Siau lim yang hilang pada ratusan tahun yang lalu!" "O, kalau begitu kau harus segera berangkat!" Setelah berpisah dengan bibinya, Suma Bing menyusuri jalan raya terus melanjutkan perjalanan menuju ke Siau lim si. Hari itu, pagi2 benar sebelum sang surya mengunjukkan diri dari peraduannya. Didepan pesanggrahan gereja Siau lim muncullah seorang pemuda yang bertubuh tegap garang dengan sikap kaku dingin dan angkuh. Dia bukan lain adalah Suma Bing. Terbayang olehnya peristiwa yang terdahulu waktu dirinya teringkus dan dikurung didalam gereja agung ini. Maka tersimpullah dalam benaknya suatu tekad yang melebihi batas... "Tuan darimanakah itu sepagi ini sudah berkunjung ke biara kita, silahkan berhenti." Disusul muncul dua pendeta yang beralis tebal ditengah jalan yang menuju keatas gunung. "Cayhe Suma Bing, berkunjung untuk kedua kalinya." Setelah melihat tegas siapa yang datang ini, kedua pendeta itu mundur ketakutan, salah seorang pendeta memberanikan diri bertanya. "Ada keperluan apa Sicu berkunjung?" Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ "Laporkan kepada Ciangbun kalian bahwa aku Suma Bing ada urusan penting mohon bertemu!" "Harap Sicu suka menanti sebentar!" Kedua pendeta itu terus berlari bagai terbang. Tak lama kemudian seorang pendeta tua yang berwajah bersih dan angker melayang tiba diluar pintu pesanggrahan luar itu. Sekali pandang tahulah Suma Bing, pendeta yang mendatangi ini bukan lain adalah Liau Ngo Hwesio, segera ia angkat tangan menyapa. "Selamat bertemu Taysu!" 44. SUM A BIN G MEN GAL AHK AN HUI KON G TAYS U Liau Ngo bersabda Buddha, lalu berkata dengan suara gemerantang. "Suma sicu berkunjung pula kebiara kita, tentu ada keperluan bukan?" "Kalau tiada urusan takkan berkunjung ketempat suci, sudah tentu cayhe ada urusan sangat penting!" "Harap tanya..." "Setelah bertemu dengan Ciangbun kalian pasti akan cayhe terangkan!" Pelajaran dan pengalaman yang terdahulu membuat Liau Ngo serba salah mengambil keputusan, setelah bimbang sekian lamanya akhirnya dia berkata. "Kenapa sicu tidak terangkan sekalian maksud kedatanganmu, supaya Pinceng ada alasan memberi laporan!" Sahut Suma Bing dingin. "Sebelum bertemu dengan Ciangbun kalian, maaf aku tidak akan menerangkan!" "Kalau begitu terpaksa pinceng menolak permintaan sicu, harap sicu..." "Cayhe minta bertemu secara hormat, lebih baik Taysu jangan mempersukar, kalau tidak..." Nada Suma Bing mengancam. "Kau mau apa?" "Aku bisa langsung pergi menemui Ciangbun kalian tak usah Taysu pergi melapor." Berobah airmuka Liau Ngo, sabdanya. "Omitohud. sicu terlalu memandang rendah Siau lim kita..." "Kau sendiri yang mengatakan begitu!" "Biara kita adalah tempat suci yang agung, harap sicu berpikir sebelum bertindak!" "Sudah kukatakan ada urusan penting baru aku datang kemari!" "Silahkan terangkan maksudmu itu?" "Belum tiba saatnya!" "Kalau begitu Pinceng tak dapat menyetujui!" "Maka jangan kau salahkan aku berlaku kurang hormat, awas aku akan menerjang masuk!" Dari belakang Liau Ngo serempak muncul delapan pendeta yang rata2 berusia pertengahan membekal pentungan, berdiri jajar diluar pintu pesanggrahan. Suma Bing mendengus dingin, katanya menegasi. "Taysu aku tiada minat turun tangan. Kalau kalian masih tidak mengalah dan memaksa cayhe turun tangan, segala akibatnya harus kalian sendiri yang bertanggung jawab?" Liau Ngo si penyambut tamu bergetar hatinya, ujarnya tersendat. "Sicu tidak mengingat pelajaran yang terdahulu?" Maksud ucapan Liau Ngo ini hendak memperingati Suma Bing, bahwa dia dulu sudah pernah diringkus oleh Hui Kong Taysu dalam satu gebrakan, dan dikurung dikamar Ceng sim sek, peristiwa itu merupakan noda hitam bagi Suma Bing. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Justru ini sangat menusuk perasaan dan gengsi Suma Bing, timbullah sifat ugal2annya, serunya sambil bergelak tertawa. "Taysu, setiap waktu aku juga selalu ingat peristiwa yang memalukan itu!" Liau Ngo tertegun, tanyanya. "Jadi maksud kedatangan sicu ini adalah untuk..." Suma Bing menukas kata2 orang. "Aku tidak sabar menanti lagi?" "Kalau sicu tidak mau menerangkan maksud kedatanganmu, maka Pinceng tidak akan menyambut secara hormat!" "Kalau begitu silahkan kalian minggir!" Wajah Liau Ngo berobah tegang, matanya melotot gusar dan bersiaga, serempak kedelapan pendeta berpentung itu juga mengayunkan senjatanya. Agaknya bila Suma Bing benar2 hendak menerjang dengan kekerasan, pasti mereka akan turun tangan mengeroyok. Suma Bing ganda mendengus ejek, tantangnya. "Kalian menantang berkelahi?" Bentak Liau Ngo dengan bengisnya. "Ditempat yang kramat dan agung ini jangan kau main lagak dan bertingkah!" Memang Suma Bing sengaja hendak menuntut balas kekalahannya tempo hari untuk menjunjung pulang gengsinya, tapi tiada maksudnya hendak melukai orang. Maka diam2 ia kerahkan kekuatan Giok ci sin kang untuk melindungi badan, mulutnya berejek menghina. "Aku tidak percaya akan obrolanmu!" Sambil berkata bergegas ia angkat langkah terus menerjang maju. Sambil bersabda Buddha Liau Ngo angkat sebelah tangannya terus mengepruk. Tanpa berkelit atau menyingkir Suma Bing seakan2 tidak merasa dan melihat serangan lawan ini. 'Blang,' dentuman yang keras ini malah membuat tubuh Liau Ngo membal balik menumbuk pintu pesanggrahan, tangannya seperti memukul diatas besi baja yang keras luar biasa sehingga telapak tangannya kesakitan sendiri. Menggunakan peluang inilah tiba2 Suma Bing berkelebat menghilang terus berlenggang menuju keatas gunung. Terdengar bentakan dan makian yang riuh rendah, delapan senjata pentungan berbareng meluruk mengepruk keatas kepalanya. Betapa hebat serangan gabungan ini sampai menerbitkan angin badai yang menderu2. Diiringi jerit dan pekik kesakitan terlihat beberapa bayangan orang jumpalitan terbang keempat penjuru, kiranya kedelapan pendeta Siau lim itu semuanya terpental sungsang sumbel bergelindingan diatas tanah. Tanpa pedulikan lawan2nya lagi, Suma Bing terus berlenggang menuju kebiara besar. Mendengung suara sabda Buddha, tahu2 lima pendeta tua beralis putih sudah mencegat diluar pintu biara. Mereka bukan lain adalah Siau lim ngo lo. Ter-sipu2 Suma Bing angkat tangan sambil sapanya. "Taysu sekalian apa baik2 saja selama berpisah?" Kelima Tianglo mengunjuk kejut2 gusar, sahut Hi Bu Taysu tertua diantara mereka. "Apa sicu hendak memainkan peranan cerita yang sudah lalu itu?" "Cerita seperti dulu itu tidak bakal terulang lagi!" Sahut Suma Bing dengan ketus. "Harap kau terangkan maksud kedatanganmu?" "Mohon bertemu dengan Ciangbun kalian Liau Sian Taysu ada keperluan penting!" "Terangkan sejelasnya?" "Ini sudah cukup terang!" Pada saat itulah Liau Ngo dengan delapan muridnya, menyusul tiba dengan napas ngos2an, mukanya penuh keringat dan kotoran. Hi Bu Taysu mengerut alis, semprotnya. "Sicu menggunakan kekerasan melukai orang" "Cayhe belum turun tangan, Taysu boleh tanyakan kepada mereka?" Mata Hi Bu Taysu menatap tajam kearah Liau Ngo. Liau Ngo menunduk malu dan berkata. "Tecu tergetar oleh ilmu pelindung badan, tapi tidak terluka." "Kalian boleh mundur!" Liau Ngo bersama delapan muridnya merangkap tangan terus mengundurkan diri. Air muka kelima Tianglo semakin mengelam mengunjuk kekuatiran, setelah memandang pada keempat kawannya segera Hi Bu Taysu maju berkata. "Kalau Sicu tidak terangkan maksud kedatanganmu, Lolap sekalian tidak akan memberi izin." "Cayhe tidak boleh masuk kedalam biara?" "Ya, begitulah!" "Apa kalian mampu merintangi cayhe?" "Sicu keterlaluan memandang rendah kita!" Memang Suma Bing mempunyai maksud tertentu, sengaja dia memancing kemarahan kelima Tianglo ini untuk mencari gara2, maka serunya sambil tertawa dingin. "Baiklah aku akan menerjang masuk!" Dulu Suma Bing sudah pernah membuat ribut di Siau lim si sampai dimana kepandaian dan Lwekang Suma Bing kelima Tianglo sudah dapat menjajaki. Sudah tentu, mereka tidak bakal menyangka dalam jangka yang tidak lama ini ternyata Suma Bing sudah berganti rupa dengan berbagai pengalaman yang menguntungkan dirinya. Betapa tinggi Lwekangnya sekarang mungkin dalam jaman ini sudah tiada tandingannya. Pada saat Suma Bing melangkah maju itulah, kelima Tianglo berbareng bersabda terus masing2 mendorong sebelah tangannya. Gabungan tenaga pukulan kelima Tianglo ini sudah tentu bukan olah2 hebat dan dahsyatnya. Suma Bing juga tidak berani ayal2an, kedua tangan diputar terus disodokkan kedepan untuk menyambut secara keras, yang digunakan adalah tenaga Kiu yang sin kang sampai sepuluh bagian kekuatannya. Bersamaan dengan terdengar geledek mengguntur, terlihat kelima Tianglo tersurut mundur beberapa langkah. Menggunakan peluang inilah bagai bayangan setan saja, tubuh Suma Bing menyelinap segesit belut memasuki ruangan Tay hiong po tian, dalam sekejap mata tibalah dia dipelataran depan Tay hiong po tian itu. Suara genta ber-talu2, sekali lagi Siau lim si berkancah didalam kegemparan yang menegangkan hati. Semua anak murid Siau lim si menjadi ribut dan keluar merubung disekitar pelataran yang luas itu. Semua mengunjuk kaget dan rasa ketakutan. Wajah Suma Bing membeku dingin, raganya tegak sekokoh pohon besar sikapnya garang, dengan pandangan menantang kearah Tay hiong po tian. Ditengah bertalunya suara genta itulah dari dalam Tay hiong po tian beriring berjalan keluar Liau Sian Taysu Cianbun Hong tiang dari Siau lim si. Dibelakangnya mengikuti Liau Seng pengawas kelenteng dan Liau Ngo si penerima tamu, dan yang paling akhir adalah delapanbelas murid pelindung. Bertepatan dengan itu, kelima Tianglo juga kebetulan telah menyusul tiba dan berdiri jajar dipinggiran sebelah kanan. Suma Bing maju beberapa langkah serta memberi hormat dan sapanya. "Ciangbunjin selamat bertemu." Ciangbun Liau Sian merangkap tangan dan bersabda, katanya. "Untuk kedua kalinya Sicu membikin onar dikelenteng kami, apakah tujuanmu?" "Cayhe minta bertemu secara hormat, darimana bisa dikatakan membikin onar!" "Silahkan kau terangkan maksud kedatanganmu!" "Cayhe ada tiga urusan penting yang harus diselesaikan!" "Silahkan terangkan satu persatu!" "Yang pertama. setelah memperoleh budi kebaikan Hui Kong Taysu dari kuil kalian tempo hari, setiap saat tidak cayhe lupakan barang sedetikpun jua, sekarang aku datang untuk minta pengajaran lagi!" Ucapan Suma Bing yang menantang secara terang2an ini membuat seluruh hadirin kaget dan berobah air mukanya. Maklum bahwa Hui Kong Taysu adalah Hudco (kakek guru) dari Ciangbun Hongtiang yang sekarang. Dipandang sebagai pendeta sakti yang tidak boleh dibuat permainan oleh semua generasi tua dan muda. Sungguh tidak nyana Sia sin kedua Suma Bing ternyata berani terang gamblang menantang untuk berkelahi. Berobah gusar air muka Ciangbun Liau Sian, serunya lantang. "Sicu kau terlalu takabur, Pun hong tiang (aku) tidak dapat mengabulkan permintaan ini?" Suma Bing kerahkan tenaga didalam pusatnya terus menggunakan suara gelombang panjang berserulah lantang kearah dalam sana. "Suma Bing kaum keroco Bulim tengah menunggu dan minta pengajaran dari Hui Kong Taysu!" Keruan semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa gusar yang berlimpah2 karena sikap Suma Bing yang congkak ini, entah berapa banyak sorot mata yang melotot murka menatap kearah dirinya. Sampai Ciangbun Hongtiang dan para pendeta seangkatannya juga tidak ketinggalan merasa gusar bukan kepalang. Tiba2 terdengar seruan yang kumandang dari ruang sebelah sana. "Hudco tiba!" Meskipun sebetulnya Suma Bing bertekad dan penuh kepercayaan pada diri sendiri, tapi tak urung juga merasa kebat-kebit. Dia sendiri belum berani memastikan, apakah dengan bekal Lwekangnya sekarang sudah dapat menandingi Pendeta sakti ini. Jikalau kena terkalahkan lagi, maka ketenarannya bakal lenyap tanpa berbekas lagi. Sebetulnya ini hanya pandangan sepihak saja Tokoh sakti siapa lagi dalam Bulim ini yang dapat atau ada harganya bisa mengukur kepandaian dengan Hui Kong Taysu, seumpama terkalahkan juga tidak perlu diambil malu. Suasana menjadi sedemikian hening walaupun beratus orang turut hadir. Semua berdiri hikmat sambil meluruskan kedua tangannya. Serempak Ciangbun Hongtiang menyingkir kesamping sambil merangkap tangan serta bersabda Buddha. Tampak seorang pendeta tua yang bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang sambil pejamkan mata pelan2 beranjak keluar dari ruang sebelah dalam sana. Walaupun sikap Suma Bing angkuh dan congkak, tapi masih tidak berani berlaku kurang hormat, segera ia membungkuk dalam serta serunya. "Wanpwe Suma Bing menghadap kepada Taysu yang mulia." "Jangan banyak peradatan!" Seru Hui Kong, kedua matanya tiba2 dipentang, sorot matanya yang dingin tajam menatap Suma Bing. Serta merta Suma Bing bergidik mundur satu tindak. "Tempo hari Lolap terbawa oleh nafsu sehingga menanam akibat ini. Kuharap sukalah Siau sicu menghapus bersih sebab dan akibat ini!" "Tidak berani, wanpwe memberanikan diri untuk minta pengajaran sebanyak tiga jurus kepada Taysu!" Timbul keributan diantara hadirin. Tempo hari sekali gebrak dengan mudah saja Hui Kong Taysu lantas meringkus Suma Bing. Tapi ternyata sekarang Suma Bing berani minta bertanding sebanyak tiga jurus, ini benar2 sangat mengejutkan dan hampir susah dipercaya. Kelopak mata Hui Kong dipejamkan lalu dipentang lagi, ujarnya. "Pasti Siau sicu telah melatih suatu ilmu yang digdaya?" "Tidak berani, hanya sedikit hasil saja!" "Siau sicu, silahkan mulai!" "Silahkan Taysu!" "Mana bisa Lolap turun tangan dulu?" "Kalau begitu maaf wanpwe berlaku kurang hormat." Seluruh gelanggang sunyi senyap seumpama jarum jatuh juga pasti terdengar, semua anak murid Siau lim se-olah2 sudah berhenti bernapas. Suma Bing mulai menggerakkan tangan membuat bundaran, jurus pertama dari Giok ci sin kang yaitu Mayapada remang2 mulai dilancarkan. Hui Kong Taysu merupakan ahli dalam gelanggang silat yang sakti luar biasa sudah tentu dia juga tahu baik buruknya sesuatu ilmu, maka cepat2 ia kerahkan Sian thian sin kang untuk balas menyerang. Dua ilmu sakti yang tiada taranya kontan saling gempur sehingga menimbulkan benturan menggeledek bagai gunung longsor, sehingga seluruh gelanggang diliputi kabut hitam gelap, genteng dan atap rumah sekelilingnya juga tergetar pecah, malah para pendeta yang berdiri didepan juga sempoyongan jatuh bangun kemana-mana. Gebrakan pertama yang mengejutkan ini baru pertama kali ini terjadi dalam lembaran sejarah Siau lim si. Waktu kabut menghilang dan keadaan menjadi terang, tampak jarak antara Suma Bing dengan Hu Kong Taysu kini semakin jauh kira2 enam tombak. Semua anak2 murid Siau lim terlongong2 heran, seakan2 mereka berdiri mematung tanpa semangat. Setelah istirahat dan menormalkan jalan darahnya berkata pula Suma Bing. "Taysu harap sambutlah jurus kedua!" sambil berkata kakinya dijejakkan melompat maju empat tombak memperpendek jarak antara mereka. Wajah tirus Hui Kong yang kurus kering itu mendadak mengunjuk mimik yang aneh, mendengar seruan Suma Bing ini hanya manggut2 saja. Mulailah Suma Bing lancarkan jurus kedua yaitu Ih che to cwan (bintang berpindah jungkir balik). Tampaklah berbagai bayangan pukulan berkelebatan, susah diraba mana pukulan asli atau pukulan gertakan, semua bergerak dari segala jurusan yang diarah juga tempat2 vital yang tidak menentu. Hui Kong Taysu juga mulai menggerakkan kedua jubah tangannya, sehingga timbullah kekuatan hebat tidak kentara yang melindungi seluruh tubuh... 'Blang!' tampak tubuh Hui Kong tergetar mundur selangkah lebar, mimik aneh pada wajahnya itu seketika buyar. Ternyata jurus Ih che to cwan ini dapat menembus pertahanan kekuatan dinding tak kentara dari ilmu sakti Hui Kong dan malah mengenainya. Hui Kong Taysu dijunjung sebagai Hudco merupakan lambang tertinggi bagi tingkatan perguruan Siau lim si, adalah satu2nya, tokoh silat nomor wahid bagi Siau lim selama dua ratusan tahun terakhir ini. Sungguh tidak nyana dalam dua gebrak saja sedemikian mudah dapat dikalahkan oleh seorang angkatan muda yang berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini benar2 merupakan tamparan pedas bagi semua anak murid Siau lim sehingga mereka berdiri terlongong dengan sedih, memang betapa pedih dan duka hati mereka susahlah dilukiskan dengan kata2. Meskipun watak dan sifat pembawaan Suma Bing sangat angkuh dan keras kepala, tapi lubuk hatinya sangat bijaksana dan jujur. Setelah mengandal Giok ci sin kang dapat mengalahkan pendeta sakti nomor wahid dari seluruh jagad ini, hati kecilnya malah merasa rikuh dan kurang tentram. Maka segera ia membungkuk hormat serta berkata. "Harap Taysu suka memaafkan kekurang ajaran wanpwe ini!" Sungguh tidak malu Hui Kong Taysu dipandang Pendeta teragung dan sakti, lahirnya tetap tenang dan wajar, setelah bersabda berkatalah ia. "Bagi umat Buddhis paling mempercaya akan adanya sebab dan akibat, atau hukum karma. Orang yang menanam kacang akan memperoleh kacang, demikian juga orang yang menanam semangka dia juga akan memperoleh semangka. Siau sicu adalah tunas harapan bagi kaum persilatan, harap kembangkanlah kebijaksanaan dan cinta kasih, bertakwa kepada Tuhan berdharma bakti kepada sesama umatnya, ini akan membawa bahagia dan keberuntungan bagi kaum persilatan!" Sahut Suma Bing dengan hikmatnya. "Wanpwe pasti akan patuh akan petuah berharga dari Taysu tadi!" Tanpa bicara lagi, segera Hui Kong memutar tubuh terus tinggal pergi dan menghilang diruangan dalam sana. Rona wajah Siau lim Ciangbun Liau Sian Taysu berobah tak menentu, dengan tindakan lebar ia melangkah ketengah pelataran dan serunya. "Siau sicu, harap katakanlah urusanmu kedua?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Airmuka Suma Bing berubah serius, katanya. "Aku ingin tahu siapakah perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu?" "Ini... Pinceng tidak bisa menjawab!" "Kuharap Ciangbunjin suka menghindari kesukaran, terangkan saja secara jelas!" "Urusan ini menyangkut peristiwa rahasia perguruan kita, harap Siau sicu jangan memaksa kesukaran orang lain!" Wajah Suma Bing semakin mengelam, katanya. "Cayhe sudah bertekad, harus mengetahui!" "Mengapa Siau sicu harus mengetahui?" "Untuk membuktikan apakah benar perempuan itu adalah orang yang tengah kucari!" "Siapakah yang tengah Siau sicu cari?" "Seorang perempuan!" "Perempuan?" "Tidak salah!" "Perempuan macam apakah?" Setelah ditimang2, akhirnya berkatalah Suma Bing. "San hoa li Ong Fang lan yang telah menghilang pada lima belas tahun yang lalu!" Wajah Siau lim Ciangbun berobah lega, katanya. "Omitohud, biarlah Pinceng beritahu kepada Sicu, bahwa perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu bukan orang yang kau cari." Dingin perasaan Suma Bing, katanya menegasi. "Dapatkah cayhe percaya?" "Omitohud, sebagai kepala dari suatu perguruan, masa Pinceng mengobral omongan." Timbul perasaan duka yang susah dibendung dalam benak Suma Bing, satu2nya harapan yang dinantikan sekian lama ternyata buyar dalam sekejap ini. Sedemikian besar dunia ini kemana pula ia harus mencari jejak ibundanya? Kalau jejak dan keadaan ibundanya masih merupakan teka- teki, sebagai seorang putranya betapa dapat tenang dan lega hatinya, apalagi para musuh besarnya selain Iblis timur yang telah mati, Loh Cu gi beruntung dapat meloloskan diri. Dan selain mereka berdua dirinya tidak tahu apa2! Selain ibunya sendiri tiada orang kedua yang dapat menyebut siapa2 lagi musuh2nya yang turut dalam peristiwa berdarah dulu itu. Terdengar Siau lim Ciangbun berkata lagi. "Siau sicu masih ada urusan ketiga bukan?" Suma Bing menenangkan pikiran, lalu katanya. "Tentang peristiwa ratusan tahun yang ter-katung2 itu!" Kata2nya ini membuat seluruh hadirin dari Ciangbunjin sampai anak muridnya yang terkecil tidak ketinggalan tergetar kaget, mereka memasang kuping penuh perhatian. "Maksud Siau sicu adalah..." "Aku diutus untuk mewakili menyelesaikan peristiwa ratusan tahun yang terjadi didalam kuil kalian itu!" Mata Siau lim Ciangbun berkedip2 penuh keharuan, tanyanya. "Mewakili siapa??" "Pesan terakhir dari Bu siang Hujin!" "0, bagaimana cara penyelesaiannya?" "Cayhe mengantar pulang Bu siang po liok. Bersama itu kami nyatakan bahwa Bu siang sin hoat sejak saat ini tidak akan berkembang lagi dikalangan Kangouw!" setelah berkata dirogohnya keluar buntalan merah itu dari dalam bajunya. Berulang kali Siau lim Ciangbun bersabda sambil merangkap tangan dan menunduk meram, lalu dengan kedua tangannya yang tampak gemetar menyambuti buntalan merah itu terus dibukanya untuk diperiksa sekian lamanya, katanya. "Pinceng mewakili perguruan Siau lim menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Sicu." "Terima kasih kembali!" Siau lim Ciangbun berpaling kearah Liau Seng dan berkata. "Harap Sute pergi melepas perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu!" "Terima tugas!" Seru Liau Seng sambil merangkap tangan, lalu mengundurkan diri. Tergerak hati Suma Bing, selalu Siau lim Ciangbun menandaskan bahwa perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu menyangkut peristiwa rahasia perguruan mereka. Lantas mengapa sekarang mendadak diperintahkan untuk dilepas, ini benar2 susah dimengerti. Agaknya Siau lim Ciangbun sudah mengetahui isi hati Suma Bing, katanya. "Siau sicu, perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu bernama Li Hui..." Tergetar hebat perasaan Suma Bing, serunya keras. "Li Hui?" "Benar." "Putri Bu siang sin li?" "Tidak salah, untuk mencari kembali Po liok yang hilang itu, terpaksa kita kurung dia sekian lama." Suma Bing menghela napas panjang yang melegakan, katanya. "Bukankah tindakan ini terlalu tidak bijaksana?" Merah wajah Siau lim Ciangbun, katanya. "Menurut undang2 kelenteng kita, perempuan tidak diperbolehkan menginjak pintu biara ini. Harap Siau sicu suka menanti didepan pintu pesanggrahan sana saja!" "Kalau begitu baiklah cayhe minta diri." Setelah memberi hormat Suma Bing terus mengundurkan diri. Setelah tiba diluar pintu pesanggrahan Suma Bing berdiri tenang menanti kedatangan Li Hui orang yang ditugaskan oleh Giok li Lo Ci harus diketemukan. Terhitung perjalanannya kali ini tidak sia2, dapat menyelesaikan tiga urusan sekaligus. Tidak lama ia berdiam diri tampak sebuah bayangan terbang mendatangi dengan cepat sekali, begitu tiba terlihat itulah seorang nenek yang berambut uban. Cepat2 Suma Bing berseru lantang. "Apakah yang mendatangi ini adalah Li Hui Cianpwe?" Nenek tua itu menghentikan langkahnya, sinar matanya tajam mengawasi Suma Bing, lalu tanyanya. "Kau ini Sia sin kedua Suma Bing?" "Itulah wanpwe adanya!" "Ibuku yang mengutus kau untuk menyelesaikan pertikaian ini!" Berpikir Suma Bing, Li Hui sudah terkurung selama duapuluh tahun, dia masih belum tahu kalau Bu siang sin li sudah wafat, ada lebih baik minta dia pulang kelembah biarlah Giok li Lo Ci yang menceritakan secara langsung kepada dia. Oleh karena pikirannya ini secara samar2 saja ia menyahut. "Benar!" Kata Li Hui gemes. "Begitu tega ibu membiarkan aku terkurung disini selama duapuluh tahun lamanya." "Ini... wanpwe tidak tahu menahu!" "Lalu darimana pula kau ketahui bahwa akulah yang terkurung dibelakang puncak itu" "Wanpwe disuruh mengembalikan buku yang hilang itu, adalah pihak Siau lim sendiri yang memberitahu kepada wanpwe!" "Jadi kau bukan khusus datang untuk menolong aku?" "Begitulah, hitung2 secara kebetulan saja, tapi..." "Tapi apa?" "Wanpwe sudah melulusi kepada Lo Ci Cianpwe untuk menyirapi dan menyelidiki jejak Li Cianpwe..." "Apakah sumoayku itu baik2 saja?" "Dalam keadaan sehat waalfiat!" "Lembah kematian adalah tempat buntu, selamanya belum ada orang pernah keluar masuk, darimana kau dapat..." "Ini juga terjadi secara kebetulan, kelak pasti Locianpwe dapat menceritakan kepada Li Cianpwe!" Li Hui manggut, katanya. "Kau pergilah!" lalu dia beranjak dulu menuju kedalam pesanggrahan. Keruan Suma Bing melengak heran. Menurut aturan Siau lim perempuan dilarang masuk ke biara suci itu. Kalau dia benar2 menerjang masuk tentu akan menimbulkan keonaran yang berkepanjangan. Betapa hebat kepandaian Hui Kong Taysu, kalau sampai dia tertawan dan dikurung lagi, susahlah dibayangkan akibatnya, maka segera ia maju merintangi serta katanya. "Cianpwe hendak menuju kemana?" Li Hui mendengus dingin, katanya. "Selama duapuluh tahun aku disekap dalam gua yang gelap, perhitungan ini harus kuhimpas!" "Pihak Siau lim sendiri juga terpaksa melakukan tindakan yang kurang bijaksana ini!" "Kau pergilah!" "Wanpwe tidak bisa pergi!" "Kenapa?" "Wanpwe pernah berkata setelah menemukan Li Cianpwe, aku harus segera membawa Cianpwe pulang kembali kedalam lembah!" "Kalau aku tidak mau kembali?" Suma Bing tersenyum kikuk, ujarnya. "Pertikaian antara Siau lim dengan Lembah kematian sudah hapus. Ada lebih baik Cianpwe segera, kembali kelembah saja!" "Kau hendak merintangi aku?" "Tidak berani aku merintangi, hanya membujuk saja!" "Kau tidak terima perintah untuk mengekang gerak gerikku bukan?" Apa boleh buat, terpaksa Suma Bing berlaku terus terang. "Memang tidak!" Mengelam wajah keriput Li Hui, semprotnya. "Kalau tidak kupandang kau bekerja demi kepentingan ibu, pasti tidak kuampuni kau!" Suma Bing berpikir. meskipun usianya sudah lanjut tapi tabiatnya tetap kasar dan suka membawa adatnya sendiri, maka sahutnya dingin. "Wanpwe menerima pesan dari orang, bagaimana juga..." "Suma Bing, kau ini cerewet, jangan salahkan aku berlaku kejam nanti?" "Wanpwe tidak peduli!" "Sungguh katamu ini?" "Sudah tentu sungguh2" Sambil menggeram gusar Li Hui mengayun sebelah tangan terus menggenjot kedada Suma Bing. Serangan ini bukan saja secepat kilat, juga perbawanya sangat hebat serta mengandung banyak perobahan. Dari gebrak pertama ini dapatlah dinilai bahwa kepandaian ini masih setingkat lebih atas dari kepandaian kelima Tianglo Siau lim. Suma Bing kerahkan Giok ci sin kang untuk melindungi badan, dengan tenang ia berdiri tanpa menyingkir atau berkelit. 'Blang.' dada Suma Bing kena digenjot dengan keras, badannya tergoyang gontai. Wajahnya sedikit berobah. Sebaliknya Li Hui terpental mundur ber-ulang2 karena tolakan tenaga pukulannya sendiri. Sungguh kejutnya bukan kepalang. Kehebatan Lwekang bocah tunas muda ini benar2 diluar persangkaannya. Suma Bing berkata tawar. "Harap Cianpwe segera pulang kelembah!" Lama dan lama sekali Li Hui terlongong memandangi Suma Bing, mulutnya mengerang lirih terus berkelebat menghilang dari pandangan mata. Suma Bing menghela napas lega, terhitung ia sudah menunaikan tugas yang dipasrahi oleh Giok li Lo Ci. Tapi disamping itu hatinya juga duka dan masgul, bahwa ternyata perempuan yang terkurung dibelakang puncak itu kiranya adalah Li Hui dan bukan ibunya yaitu San hoa li Ong Fang lan yang sangat diharapkan itu. Pikirnya, ibunya adalah perempuan yang paling merana dan harus dikasihani. Bukan saja suami sudah meninggal, kehilangan anak dan mendapat malu lagi, malapetaka yang sukar dapat tertahan bagi orang lain ini, semua menumpuk keatas tubuhnya. Berpikir dan berpikir, lama kelamaan ia tenggelam dalam kedukaan yang merawan hati tanpa terasa airmata meleleh deras dikedua pipinya. Se-konyong2 terdengar sebuah suara serak yang sudah sangat dikenalnya. "Buyung, kaki si maling tua ini sudah hampir patah, tapi kiranya tidak sia2 menemukan kau disini!" Yang datang ini bukan lain adalah si maling bintang Si Ban cwan. Sejenak Suma Bing tertegun, lantas serunya. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Cianpwe tengah mencari aku?" "Buat apa aku jauh2 kemari kalau tidak mencari kau?" "Darimana Cianpwe mengetahui kalau wanpwe berada di Siau lim si?" "Diberitahu oleh bibimu!" "0, ada urusan apakah?" "Sudah tentu ada soal penting!" "Urusan apa?" "Bapak mertuamu dikabarkan sudah terkuburkan di Telaga air hitam." Keruan kejut Suma Bing bukan buatan tanyanya gemetar. "Majikan perkampungan bumi?" "Apa kau masih mempunyai bapak mertua lain?" "Dia... bagaimana ini bisa terjadi?" "Seorang diri dia pergi menepati janji undangan Majikan Menara iblis dan disana dia mendapat kecelakaan!" "Betapa hebat kepandaian Te kun itu masa tidak dapat meloloskan diri?" "Buyung aku si maling tua hanya memberi kabar kepadamu. Sebagai Huma atau calon majikan Perkampungan bumi yang akan datang ini. Kalau Te kun sudah mati, jadi kaulah sekarang yang menjadi penggantinya. Dalam jangka sepuluh hari ini, seluruh kekuatan Perkampungan bumi hendak diboyong keluar untuk membalas dendam bagi Te kun mereka. Selama empat hari empat malam aku mengencangkan kaki berlari kesini. Sekarang tinggal enam hari lagi, kau harus mengejar waktu menyusul ke Telaga air hitam yang terletak diperbatasan Sucwan. Pertempuran kali ini menyangkut jaya atau runtuhnya Perkampungan bumi, kau... apakah kau tidak menyusul kesana?" -oo0dw0oo- Jilid 12 45. SUMA BING MENYONGSONG BAHAYA. "Sudah pasti wanpwe harus segera berangkat untuk menyelesaikan persoalan ini!" "Kalau begitu segeralah berangkat, supaya secepatnya kau tiba disana. Aku si maling tua masih banyak urusan lain, kelak kita bertemu lagi!" Habis bicara terus tinggal pergi. Hati Suma Bing menjadi gundah dan kurang tentram, sungguh diluar sangkanya bahwa Te kun bisa terjungkal ditangan majikan Menara iblis. Sebenarnya dia ketarik menjadi warga Perkampungan bumi bukan atas kehendaknya sendiri. Tapi nasi sudah menjadi bubur, malah bibi dan istrinya Phoa Kin sian juga tidak banyak cakap dalam persoalan ini, sudah tentu ia menyerah saja kepada nasib yang sudah menjadi suratan takdir. Sebagai menantu dan calon penggantinya memang seharusnya dia menuntut balas bagi kematian Te kun. Disamping itu, menurut undang2 Te po, dia adalah majikan dari perkampungan bumi yang akan datang, sudah tentu menjadi kewajibannya pula untuk menunaikan tugas mulia ini. Kepandaian Te kun sudah sedemikian tinggi dan hebat, namun toh masih terkalahkan dan tertimpa bencana di Menara iblis. Jikalau istrinya Pit Yau ang sendiri yang memimpin anak buahnya pergi menuntut balas, dapatlah dibayangkan akan akibatnya. Sambil berpikir itu kakinya terus tancap gas beranjak dengan cepatnya turun dari puncak Siau sit hong langsung kejalan raya yang menuju keselatan. Telaga air hitam terletak diperbatasan antara Sucwan dengan Kui ciu, luas telaga ini kira2 seratusan li, memang serasi nama dan kenyataannya, air telaga ini hitam legam bagai arang, malah mengandung racun lagi, tak peduli manusia atau binatang begitu tersentuh oleh air telaga ini pasti akan mati keracunan. Karena itulah maka dipandang sebagai salah satu tempat kiamat yang disegani didunia persilatan. Sepuluh li sekitar telaga ini tiada jejak manusia atau binatang. Menara iblis, itulah sebuah bangunan tinggi yang bersusun dua belas tingkat berwarna cat hitam pula, berdiri dengan megah dan angkernya ditengah danau. Pada suatu hari, ditepi telaga air hitam yang sangat ditakuti sebagai tempat bertuah bagi kaum persilatan itu, muncullah sebuah bayangan orang, dia bukan lain adalah Suma Bing yang telah menyusul tiba dari Siauw lim si. Menghadapi telaga dan menara serba aneh dan seram ini tanpa terasa timbul perasaan mengkirik dan merinding. Memang Menara iblis, nama ini sesuai dan cocok benar dengan keadaannya, bagi siapa saja yang melihat pasti timbul perasaan seram dan takutnya. Sungguh mengherankan jejak para kerabat dari Perkampungan bumi kok tidak kelihatan. Menurut berita yang dibawa oleh si maling tua, kedatangannya ini justru tepat pada waktunya, namun sepanjang jalan bayangan atau jejak orang2 dari Perkampungan bumi sedikitpun tidak terlihat, ini betul2 membuat orang tidak mengerti. Apakah semua orang2 Perkampungan bumi sudah tertumpas habis, tapi sekitar sini tiada gejala2 yang mencurigakan yang dapat membuktikan akan rekaan hatinya ini. Atau mungkin orang2 Perkampungan bumi itu sudah mengundurkan waktu untuk meluruk datang. Tapi bagaimanapun juga kini dirinya sudah tiba disini, biarlah seorang diri aku tandangi mereka untuk menuntut balas bagi kematian Te kun. Baru saja ia berpikir sampai disitu, tiba2 terdengar sebuah lengking tinggi bagai jeritan setan, belum lenyap suara lengking jeritan ini lantas disusul empat penjuru sekelilingnya terdengar pula suitan panjang yang saling bersahutan. Sungguh keadaan ini sangat mencekam hati dan mendirikan bulu roma. Suma Bing celingukan kian kemari, namun tak terlihat adanya bayangan orang. Mendadak terdengar gelombang air tersiak, dimana ombak telaga bergulung2, terlihat muncul sebuah benda putih yang lonjong, waktu ditegasi kiranya itulah sebuah peti mati berwarna putih bersih. Tanpa terasa berdiri bulu kuduk Suma Bing, bagaimana mungkin dari tengah telaga muncul sebuah peti mati? Ombak air hitam itu terus bergulung2 satu demi satu bermunculan peti mati yang serupa bentuk dan warnanya, jumlahnya tidak kurang dari duapuluh buah. Semua peti mati itu seumpama sampan kecil yang melaju pesat, tengah meluncur kearah tepian. Suma Bing ber-pikir2, naga2nya anak buah Menara iblis semua, sembunyi didalam peti mati itu. Dan peti mati ini pasti peralatan untuk mereka keluar masuk dari dalam air. Benar juga, kenyataan memang seperti dugaannya. Begitu peti2 mati itu menepi ke pantai tutup2 peti lantas menjeplak dan duapuluh lebih bayangan manusia serempak berloncatan keluar terus berlari kehadapan Suma Bing. Suma Bing berdiri tegak dengan angkuhnya sekokoh gunung, sikapnya tenang dan garang menunggu perobahan apa yang bakal terjadi. Setelah jaraknya agak dekat dengan Suma Bing, mereka berdiri berkeliling membentuk sebuah lingkaran dihadapan Suma Bing. Satu diantaranya yang terdepan adalah seorang tua yang bermuka tirus bermulut monyong dan berdagu panjang, dengan kedua matanya yang berjelalatan seperti mata tikus itu, mengamat2i Suma Bing sekian lamanya, lalu serunya. "Buyung kau inikah Sia sin kedua Suma Bing yang kenamaan didaerah dataran tengah itu?" Dingin Suma Bing menyapu pandang kearah mereka, lalu sahutnya. "Tidak salah!" "Kau ini pula yang menjadi Huma dari Te po?" "Tepat sekali!" "Untuk apa kau datang kemari?" "Untuk melihat tampang majikan dari Menara iblis." "Hehehehe, buyung, kau belum berharga untuk itu!" Suma Bing mendengus keras, jengeknya. "Majikan menara iblis itu terhitung barang apa?" Semua anak buah Menara iblis tersentak kaget dan berubah air muka mereka mendengar hinaan Suma Bing ini. Si orang tua pemimpin itu perdengarkan kekeh tawanya yang menusuk telinga, katanya. "Buyung, agaknya kau datang untuk mencari kematian?" "Dengar!" Hardik Suma Bing dingin. "Suruh majikan kalian keluar menemui aku?" "Tidak sudi!" "Sekali lagi kau berani menolak, kubunuh kau?" "Buyung, kau tidak berharga menemui majikan kami. Beringas wajah Suma Bing, ancamnya sambil maju setindak. "Kaulah orang pertama dari Menara iblis yang harus mampus!" Seiring dengan ancamannya ini Suma Bing pelan2 angkat kedua tangannya terus didorong kemuka. Kontan terlihat si orang tua pemimpin itu melolong tinggi, tubuhnya melayang jauh kecebur kedalam danau. Berbareng dengan serangan Suma Bing itu, berpuluh jalur angin pukulan juga telah melanda tiba kearah Suma Bing, sedemikian dahsyat pukulan2 ini disertai bunyi guntur yang menggetarkan bumi. Memang kedatangan Suma Bing untuk menuntut balas sudah tentu cara turun tangannya juga tidak mengenal kasihan lagi, begitu jurus Mayapada remang2 dilancarkan, terbitlah angin badai, bumi terguncang dan alam sekelilingnya menjadi gelap remang2. Ditengah gemuruhnya angin badai itu terdengar jerit dan pekik yang menyayatkan hati. Duapuluh lebih anak buah Menara iblis semua melayang jiwanya dalam satu gebrak saja. Mayat2 bergelimpangan dimana2 dengan tubuh yang tidak lengkap lagi. Keadaan ini benar2 sangat seram menakutkan. Pada saat itulah sebuah suara dingin yang serak gemetar terdengar berkata. "Suma Bing, kejam benar perbuatanmu ini!" Terkejut Suma Bing, waktu berpaling dilihatnya tiga tombak disebelah sana sudah berdiri tiga orang. Yang ditengah adalah seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek dan tidak kalah cantik dari gadis2 muda yang rupawan. Kedua sampingnya masing2 berdiri dua orang tua berjubah hitam dan yang lain berjubah merah. Yang berjubah merah itu bukan lain adalah Gandarwa merah Ngo Tang. Pastilah sudah yang berjubah hitam itu adalah Gandarwa hitam adanya. Lalu siapakah perempuan ditengah itu? Enam sorot mata yang berapi2 mendelik menatap Suma Bing. Gandarwa merah tampil kedepan serta katanya sinis. "Suma Bing, tidak peduli apa maksud kedatanganmu, berani semena2 kau turun tangan membunuh para jagoan anak buahku, maka jangan harap kau dapat meninggalkan Telaga air hitam ini dengan tetap bernyawa." Suma Bing ganda tertawa ejek. "Legakan hatimu, sebelum tujuanku terkabul, aku pasti takkan pergi!" "Apa tujuanmu?" "Bagaimana cara kematian Pit Gi majikan dari Perkampungan bumi?" "Mati? Siapa yang mengatakan?" Suma Bing melengak, tanyanya menegas. "Masa dia belum meninggal?" Tiba2 perempuan ditengah itu membuka suara, senggaknya dingin. "Benar, dia belum mati, tapi dia juga tidak boleh hidup bebas." "Apa2an ucapanmu ini?" "Dia hanya boleh hidup ditempat ini, sekali berani beranjak keluar kematianlah bagiannya!" "Dimana dia sekarang?" "Dimana dia kau tidak perlu tahu!" Suma Bing mendesak maju, desisnya. "Jikalau sampai terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan majikan Perkampungan bumi, hm..." "Kau mau apa?" "Akan kuratakan Menara Iblis!" "Hahahahaha, buyung hijau yang tidak tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, besar mulut dan takabur!" "Tuankah yang menjadi majikan Menara iblis?" "Benar!" "Bagus sekali, kuharap segera kau lepaskan majikan Perkampungan bumi!" "Buyung enak benar kau berkata?" "Lalu apa maksud kalian sebenarnya?" "Pit Gi pantas untuk dihukum mati, tapi aku tidak tega turun tangan, hanya kukurungnya saja seumur hidup!" Sejenak Suma Bing berpikir, lantas serunya. "Mohon tanya ada permusuhan apakah antara majikan Perkampungan bumi dengan kau?" "Anak muda seperti kau belum berharga menanyakan soal ini!" "Apakah urusan rahasia yang tidak boleh diketahui orang lain?" Berobah rona wajah majikan Menara iblis, bentaknya lirih. "Mulutmu kotor dan kurang ajar, ringkus dia!" "Terima perintah!" Demikian Gandarwa merah mengiakan. Memang jarak mereka terpaut paling dekat, begitu lenyap suaranya tahu2 cakar setannya sudah mencengkram tiba menyerang Suma Bing, cara dan kecepatan serangan ini benar2 menakjupkan. Begitu mendengar perintah lawan, pikiran Suma Bing lantas bersiaga, serta merta Giok ci sin kang lantas timbul melindungi badannya. Cengkraman Gandarwa merah meraih pundak kiri Suma Bing, begitu jarinya dikerahkan mencengkram seketika ia rasakan sesuatu yang ganjil... "Pergilah kau!" Tiba2 Suma Bing menggertak sambil menyodok dengan sikutnya. 'Buk' sambil mengerang dan menguak menyemprotkan darah segar Gandarwa merah terhuyung puluhan langkah, tubuhnya juga limbung hampir roboh. Sungguh mimpi juga Gandarwa merah tidak menyangka, dalam jangka tiga bulan saja musuh kecilnya ini sudah berganti orang dengan Lwekangnya yang luar biasa. Hampir dalam waktu yang bersamaan ketika Gandarwa merah terhuyung mundur sambil muntah darah itu. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gandarwa hitam juga sudah bergerak secepat kilat sambil lancarkan pukulannya, kecepatannya juga tidak kalah hebat, sungguh mengejutkan. Karena sudah tidak mungkin lagi berkelit. Suma Bing menjadi nekad, dan mandah saja menerima pukulan keras ini. Benturan keras membuat tubuh Suma Bing tersurut tiga langkah, sedang Gandarwa hitam sendiri juga terpental mundur dua langkah lebar, wajahnya membesi hitam dan mengunjuk kekejutan yang tak terperikan. Gandarwa merah hitam sudah sangat tenar dan kenamaan dikalangan Kangouw, susah dicari tandingan yang kuat melawan mereka berdua, siapa nyana bagi Suma Bing mereka tidak lebih laksana kutu yang menyambar api mencari gebuk sendiri. Segera majikan Menara iblis mengulapkan tangan serta perintahnya. "Kalian mundur!" Dengan wajah merah jengah Gandarwa hitam segera mengundurkan diri. Sementara itu Gandarwa merah tengah duduk samadi mengerahkan tenaga untuk berobat diri. Setelah menyuruh Gandarwa hitam mundur, berkatalah majikan Menara iblis dingin. "Suma Bing, hebat juga kepandaianmu, tapi jikalau kau berpikir untuk pergi dengan nyawa tetap hidup, kau tengah bermimpi!" Suma Bing menjengek hina, sahutnya acuh tak acuh. "Aku percaya kepada kemampuanku sendiri bahwa tiada seorang juga yang mampu merintangi aku. Tapi, maksud kedatanganku ini hanya ingin mengetahui apakah majikan Perkampungan bumi benar2 mati atau masih hidup. Sebelum terlaksana keinginanku, takkan kutinggalkan tempat ini!" "Kau akan susah menjaga diri!" "Belum tentu!" "Jadi kau tidak percaya?" "Sudah tentu tidak percaya?" "Baiklah kau coba ini!" Seiring dengan lenyap suaranya tahu2 tubuhnya sudah melejit tiba dihadapan Suma Bing langsung mengirim sebuah serangan. Seketika Suma Bing merasa seluruh tubuhnya tergetar hebat, dalam waktu yang bersamaan terasa ada empat tempat ditubuhnya yang sekaligus kena terserang sehingga darah bergolak dirongga dadanya sampai badannya terhuyung hampir roboh. Belum dia dapat berdiri tegak dan berganti napas, jurus serangan kedua musuh sudah merangsang tiba pula, sungguh kecepatannya luar biasa. Jurus kedua ini telah mengenai enam jalan darah mematikan didepan dada Suma Bing. Jikalau tidak mengandal keampuhan Giok ci sin kang yang melindungi badan, pasti saat itu tubuhnya sudah terkapar menggeletak tanpa bernyawa diatas tanah. Kepandaian semacam ini, baru pertama kali ini Suma Bing merasakan. Sambil menggerung tertahan Suma Bing tersurut lagi beberapa langkah, darah segar sudah menerjang ketenggorokkannya hampir saja tersemprot keluar. Dilain pihak Majikan Menara iblis sendiri juga bukan kepalang kejutnya. Dia percaya dengan dua jurus serangannya ini takkan ada seorang tokoh silat siapapun yang kuat bertahan. Tapi sekarang kenyataan Suma Bing bukan saja kuat bertahan malah agaknya tidak kurang suatu apa. Keruan ia terlongong. Dalam detik2 inilah mendadak Suma Bing menghardik keras. "Diberi tidak membalas, itulah kurang hormat!" Secepat kilat jurus Mayapada remang2 dilancarkan. Dimana gelombang badai menerjang tiba lima tombak sekitarnya menjadi gelap dan menggetar. Majikan Menara iblis ternyata tidak kuasa bertahan diterpa angin kencang yang membadai ini, beruntun terhuyung empat tombak jauhnya wajahnya mengunjuk rasa kejut dan heran tidak percaya. Begitu mendapat angin, Suma Bing tidak sia2kan kesempatan ini, jurus Ih sing to cwan lantas diberondong keluar juga. Agaknya Majikan Menara iblis gentar menghadapi serangan dahsyat ini, tubuhnya melejit tinggi dan hinggap diatas sebuah peti mati yang terapung diatas air. Saat mana Gandarwa merah juga sudah berdiri dan melompat menyingkir bersama Gandarwa hitam. Suma Bing bertengger dipinggir danau, airmukanya merah diliputi nafsu membunuh katanya menegasi. "Aku tekankan sekali lagi, harap kau suka melepas orang?" Majikan Menara iblis mengejek dingin. "Tidak bisa!" "Apa kau tidak bayangkan akibatnya?" "Coba kau lihat dulu!" Waktu Suma Bing berpaling, tanpa terasa ia menyedot hawa dingin, tampak berpuluh2 orang pemanah yang sudah siap dengan senjatanya mengepung bundar dibelakangnya, busur sudah ditarik tinggal tunggu perintah saja. Waktu ia menoleh lagi. Majikan Menara iblis dan Gandarwa merah hitam sudah menyingkir jauh ketengah telaga sejauh puluhan tombak. Bahwasanya kalau ilmu ringan tubuh sudah dilatih sempurna dapat terbang atau berjalan diatas gelombang air, tapi jikalau disuruh berhenti tanpa bergerak dipermukaan air, ini sangat ganjil dan tak mungkin terjadi. Tapi kenyataan didepan matanya ini betul2 membuat jantungnya berdetak keras. Suara majikan Menara iblis terdengar dari permukaan telaga sana. "Suma Bing, sekali kuberi aba2, sekejap saja kau akan mati dengan tubuh penuh ditaburi anak panah!" "Itu berarti kau juga membawa keruntuhan hebat luar biasa bagi Menara iblis!" Demikian balas ancam Suma Bing. "Kematian sudah didepan mata masih berani keras mulut?" "Silahkan tuan memberi perintah!" Dimulut Suma Bing berkata demikian, sebenarnya hatinya gugup setengah mati tengah mencari akal untuk mengatasi. Sudah tentu dengan keampuhan Lwekangnya sekarang, hanya anak2 panah saja tidak akan dapat mengapakan dia. Tanpa berayal lagi majikan Menara iblis mengayun lengan bajunya yang melambai2 dibawa angin lalu. Kontan anak panah bersuitan bagai hujan derasnya, semua meluncur kearah Suma Bing. Perbawa serangan ini benar2 mengejutkan dan menyedot semangat orang. Suma Bing kerahkan seluruh kekuatan Giok ci sin kang untuk melindungi badan, semua anak panah begitu mendekat ketubuhnya semua terpental balik tanpa melukai seujung rambut. Tiba2 tubuh Suma Bing melejit terus menubruk ketengah2 para pemanah itu. Pembunuhan besar2an seperti membabat rumput saja terbentang dihadapan sang majikan. Suara jerit dan pekik kesakitan yang menyayat hati terdengar saling susul, sungguh ngeri dan mendirikan bulu roma. "Stop!" Terdengar majikan Menara iblis membentak keras sambil melompat kedaratan lagi. Tanpa terasa Suma Bing menghentikan perbuatannya. Hanya dalam sekejap itu mayat sudah bertumpuk dan bergelimpangan dimana2, jumlahnya tidak kurang dari limapuluh orang jiwa mereka melayang semua. Gigi majikan Menara iblis gemeretak saking murka, gerungnya. "Suma Bing, benar2 kau ingin menjual jiwamu untuk kepentingan Pit Gi?" "Dianggap begitu juga boleh!" "Kalau begitu baiklah kuberi tahu, sekarang Pit Gi terkurung dipuncak tertinggi dari Menara iblis itu, kalau kau punya kepandaian silahkan naik kesana untuk menolongnya." "Alah, apa sukarnya?" Jengek Suma Bing dengan sombongnya. "Ya, silahkan coba!" Habis berkata bagai terbang berloncatan menginjak gelombang majikan Menara iblis menghilang didalam menara hitam itu. Para pemanah yang masih ketinggalan hidup juga secara diam2 tanpa bersuara sudah lenyap tanpa meninggalkan jejak. Tak lama kemudian semua peti mati yang terapung diatas air itu juga lenyap menghilang. Menghadapi air telaga yang hitam legam dan memandang jauh Menara iblis yang berdiri tegak bagai jin ditengah danau itu, Suma Bing tenggelam dalam pikirannya. Walaupun air danau mengandung bisa jahat, tapi dia tidak perlu kuatir karena dirinya pernah menelan rumput ular. Meskipun permukaan danau ini sangat luas, namun mengandal kepandaiannya saat itu, untuk terbang beranjak diatas permukaan air bukanlah soal sukar baginya. Justru yang tengah diragukan adalah karena Menara iblis itu dijajarkan sebagai salah satu tempat kramat yang bertuah bagi kaum persilatan, sudah pasti didalam menara itu dipasang berbagai jebakan yang dapat mengancam jiwanya. Dilain pihak seumpama bapak mertuanya dapat lolos dari menara iblis itu, dapatkah selamat tiba diatas daratan. Karena mungkin ditengah perjalanan diatas air itu mereka bakal dicegat dan diserang mati2an oleh musuh, akibat dari kenekadan musuh inilah yang harus dipertimbangkan. Tapi dalam situasi yang sekarang ini, selain maju tiada alasan untuk mundur. Tentang kenapa orang2 Perkampungan bumi sampai saat itu masih belum terlihat bayangannya ini juga membuat hatinya risau. Si Bungkuk Pendekar Aneh Karya Boe Beng Giok Darah Daging Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Karya Chin Yung