Pedang Darah Bunga Iblis 26
Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 26
Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H Angin badai saling tumbuk dan saling terjang dengan dahsyatnya menimbulkan dentuman keras yang menggetarkan seluruh langit dan bumi. Seketika Suma Bing merasa darah dan pernapasannya sesak dan mengembang, tapi tubuhnya masih kuat berdiri tegak tanpa bergeming. Sebaliknya Tio Keh siok terhuyung mundur lima langkah, wajahnya berobah pucat. Yang benar2 terkejut sebenarnya adalah Suma Bing sendiri. Pernah secara gampang saja dalam dua jurus dia mengalahkan Hudco dari Siau lim si Hui Kong Taysu, tapi nona jelita yang masih muda dan berusia tidak lebih dari dua puluh tahun ini ternyata kuat dan mampu menahan jurus serangannya tanpa kurang suatu apa, ini benar2 luar biasa. Setelah melancarkan pernapasannya kembali Tio Keh siok melompat maju lagi, wajah membesi, kedua tangannya bergerak bergantian terus dikebutkan keluar. Jangan kira hanya gerak kebutan saja kelihatannya enteng dan biasa saja, namun sebenarnya mengandung kekuatan dalam yang tidak kentara, betapa besar kekuatannya ini benar2 sangat mengejutkan. Suma Bing merasa tiba2 dirinya dilingkupi gelombang kekuatan bagai gugur gunung yang meluruk semua kearah tubuhnya. Maka pikirnya, biar kucoba betapa besar kemampuanmu. Karena pikiran siaganya ini, Giok ci sinkang terkerahkan sampai sepuluh bagian tenaganya terus menyelubungi seluruh tubuhnya. Melihat sikap lawannya yang acuh tak acuh dan ogah2an se-akan2 tak terjadi apa2 semakin geram hati Tiok Keh siok, kekuatan tenaga pukulannya ditambah dan dipergencar terus diberondong semakin dahsyat. Dentuman yang menggelegar membuat hawa udara lima tombak sekelilingnya pepat dan berputar membumbung tinggi seperti angin lesus. Para hadirin yang menonton termasuk Bu khek chiu sendiri sampai tidak kuat berdiri lagi, mereka terdesak mundur sempoyongan, malah ada yang jungkir balik terguling. Suma Bing masih berhadapan dengan Tio Keh siok tanpa bergerak, hati masing2 maklum, salah satu pihak menyerang dengan seluruh himpunan tenaganya, sedang yang lain mandah diserang secara kekerasan, kalau dibandingkan anak kecil juga segera dapat membedakan siapa kuat siapa asor. "Nona sudah saatnya kau menghentikan sepak terjangmu ini?" "Suma Bing," Teriak Tio Keh siok beringas "Kecuali kau memberikan keadilan!" "Apa keadilan?" "Apakah kematian kedua Susiokcoku itu lantas sia2 belaka?" "Memang setimpal kematian mereka." "Tutup mulut, kalau nonamu ini tidak membunuhmu, aku bersumpah tidak menjadi manusia." "Apakah kau mampu?" "Serahkan jiwamu!" Seiring dengan gertakan nyaring ini, untuk ketiga kalinya Tio Keh siok lancarkan serangan jurus ketiga, jari dan telapak tangan bergerak berbareng, sedemikian aneh dan hebatnya cara geraknya ini sehingga semua tempat2 vital yang mematikan ditubuh lawan semua dalam ancaman renggutannya. Sedemikian jauh Suma Bing terus mengalah, tapi dalam keadaan yang terdesak ini akhirnya hatinya berpikir, kalau aku tetap mengalah terus kapan akhir urusan disini. Maka dia juga membarengi membentak keras. "Rebahlah!" Jurus kedua dari Giok ci sinkang yaitu Bintang berpindah jumpalitan dilancarkan. Benar juga seperti apa yang diteriakkan Suma Bing, terdengar keluhan tertahan seperti orang hampir muntah, kontan Tio Keh siok terpental jatuh dan rebah diatas tanah, mulutnya terpentang dan muntahlah darah segar. Semua kerabat dari perguruan Bu khek bun menjerit kaget. "Anak Siok!" Pekik Tio Leng wa sambil memburu maju. Pada saat itu juga Tio Keh siok meronta dan merangkak bangun berdiri, dengan nadanya yang menggiriskan ia berkata. "Suma Bing, bunuhlah aku?" "Aku tidak ingin membunuh kau." "Kelak kau akan menyesal!" "Selamanya aku tidak kenal menyesal." "Ingat, akan datang suatu hari pasti aku akan membunuhmu." Nada ancaman ini penuh rasa kebencian yang meluap2. Tanpa terasa Suma Bing sampai bergidik seram, tapi dimulut dia masih bersikap congkak. "Selalu cayhe nantikan saat itu!" Kakinya menjejak tanah, tubuhnya terus terbang berlari keluar dari Bu khek po. Sejak berhasil dan mencapai sukses dalam mempelajari Giok ci sinkang. Dalam satu jurus saja Loh Cu gi kena dikalahkan dan ngacir terbirit-birit membawa luka. Hui Kong Taysu pendeta agung dari Siau lim si dalam dua jurus kemudian mengaku kalah. Sebaliknya Tio Keh siok seorang gadis muda belia yang belum cukup berusia dua puluh ternyata kuat bertahan sebanyak tiga jurus serangannya, betapa tidak mengejutkan. Siapa dan tokoh macam apakah yang mampu memberi pelajaran sedemikian hebat kepada seorang gadis kecil? Setelah tiba diluar perbentengan musuh, Suma Bing menghela napas panjang. Baru pertama kali ini dia secara terang atas namanya sendiri menuntut balas, yang digunakan juga cundrik yang dulu pernah digunakan ibunya untuk melepaskan penderitaan dirinya maka ditusuknyalah ulu hatinya. Terkenang akan penderitaan selama ini. Sekarang terasalah enteng beban dirinya, hatinya berseri girang. Sekarang tujuannya yang utama adalah markas besar Bwe hwa hwe. Barisan pohon Bwe yang aneh itulah merupakan ganjalan paling berat dalam batinnya, sampai saat itu, masih belum terpikirkan cara2 pemecahannya untuk memasuki barisan aneh itu. Tapi bagaimanapun juga keinginan hendak menuntut balas selalu merangsang jiwanya sehingga mendorongnya segera harus tiba dimarkas besar Bwe hwa hwe. Betapa banyak para jagoan silat dari Bwe hwa hwe, namun demikian dalam anggapannya mereka tidak lebih hanya kaum keroco yang tidak perlu diambil perhatian, membunuh mereka segampang membalikkan tangan baginya. Mencuci bersih seluruh Bwe hwa hwe dengan darah mereka sendiri, ingatan yang seram dan menakutkan ini selalu merasuk dan merangsang benaknya. Untuk mempercepat tiba ditempat tujuan, Suma Bing kerahkan seluruh tenaga untuk berlari bagai terbang. Tengah mengayun langkah itulah tiba2 dilihat sebuah bayangan hitam tengah mendatangi dari arah depan sana dengan tidak kalah cepatnya. Ketajaman pandangan Suma Bing sekarang luar biasa, sekilas pandang saja dia sudah mengenal siapakah yang tengah mendatangi itu. Segera ia hentikan langkahnya dan mencegat ditengah jalan gertaknya keras. "Berhenti!" Sambil berseru kaget bayangan hitam itu segera berhenti. Mata Suma Bing mencorongkan sorot kebuasan, menyapu pandang kearah musuh, berkatalah dingin. "Racun diracun, tak duga kita bertemu disini!" Memang benar yang baru datang ini adalah Racun diracun, tampak matanya yang banyak putih dari hitamnya itu berjelalatan, serta sahutnya angkuh. "Suma Bing, kau hendak apa?" "Kukira kau masih belum lupa perkataanku sebelum kita berpisah dulu bukan?" "Coba kau katakan sekali lagi?" "Aku hendak membunuhmu!" "Suma Bing," Desis Racun diracun gemetar. "Sudah kukatakan setengah tahun lagi akan kubereskan sendiri pertikaian kita itu!" "Aku sudah tidak sabar lagi!" "Jadi kau hendak turun tangan sekarang juga?" "Memang begitulah yang kuinginkan." "Suma Bing sebenarnya aku juga bisa melenyapkan jiwamu dalam sekejap mata." "Menggunakan racunmu?" "Memang itulah bekal dan modalku, lebih baik kalau kau sudah tahu!" Berkelebat cepat pikiran Suma Bing, jikalau dia lancarkan sekuat tenaga salah satu dari jurus kepandaian Giok ci sinkang, sudah pasti Racun diracun tiada kesempatan untuk bertahan apalagi balas menyerang. "Racun diracun," Kata Suma Bing dengan nada berat. "Dendam dan budi masih dapat kubedakan, hutang budiku kepadamu, biarlah kubalas dengan jiwa ragaku, mengenai kau tak dapat tidak kau harus kulenyapkan dari bumi ini." "Suma Bing sedemikian kukuh dan besar tekadmu sampai tidak memberi sedikit kelonggaran?" Suaranya tergetar sedih. Suma Bing menggigit gigi. Kedua tangannya mulai bergerak terangkat naik, Giok ci sinkang sudah terkerahkan sampai puncaknya yaitu dua belas bagian hawa murninya. Pada saat kritis itulah mendadak terdengar sebuah suara yang sudah agak dikenalnya. "Suma Bing, kau tidak boleh membunuhnya!" Suma Bing menoleh kearah datangnya suara, seketika tubuhnya merinding seram, tampak samar2 diatas puncak sebuah pohon besar dipinggir sana terlihat seperangkat kerangka memutih yang terbungkus kain sutera putih pula me-lambai2 ditiup angin. Serta merta Suma Bing membatin. "Pek Kut Hujin." Maka segera ia hentikan tindakan selanjutnya terus memberi hormat sembari berkata. "Cianpwe ada pengajaran apa?" Berkatalah Pek Kut Hujin dengan irama yang menusuk telinga. "Kau tidak boleh melukainya." Berkerut alis Suma Bing, tanyanya. "Apakah Cianpwe sudah tahu sepak terjang muridmu yang laknat ini?" 50. SESAL KEMUDIAN TAK BERGUNA. "Aku sudah tahu!" Mendadak Racun diracun berlutut diatas tanah serta menyembah berulang2, serta mengeluh menyedihkan. "Suhu!" Suara panggilan ini seakan bukan keluar dari mulut Racun diracun, hal ini membuat Suma Bing tertegun, namun sudah tiada tempo untuknya banyak berpikir panjang. "Kalau Cianpwe sudah tahu perbuatan jahat diluar perikemanusiaan muridmu ini, mengapa..." "Jadi maksudmu kau anggap aku sengaja hendak melindungi dan mengeloni muridku?" "Memang begitulah pikiran wanpwe sebenarnya!" "Lalu kau hendak berbuat apa?" "Aku hendak menuntut balas bagi yang sudah mati dan melampiaskan dendam yang masih hidup." "Sesuatu keluarga mempunyai peraturan keluarga sendiri demikian juga suatu aliran mempunyai aturannya sendiri, aku orang tua sudah pasti mempunyai caraku sendiri untuk membereskan persoalan ini?" "Cara bagaimana Locianpwe hendak membereskan persoalan ini?" "Dalam persoalan ini kau sudah tidak boleh turut campur." "Maaf kalau wanpwe berlaku kurangajar..." "Kenapa?" "Agaknya Locianpwe sudah terlambat untuk bertindak!" Nada ucapan Pek Kut Hujin terdengar marah, serunya. "Masa kau berani dihadapanku membunuh dia?" Suma Bing menggigit gigi, sahutnya lantang. "Cayhe terpaksa harus melakukan!" Dingin dan menusuk benar suara tawa Pek Kut Hujin, katanya. "Suma Bing, dalam masa sekarang ini, tiada seorang tokoh silat siapapun yang berani berkata demikian kepadaku." Ini memang kenyataan, nama Pek Kut Hujin sudah menggetarkan dan menggoncangkan seluruh Kangouw pada ratusan tahun yang lalu, sampai pendeta agung dari Siau lim Hui Kong Taysu sendiri juga mesti mengalah dan memberi muka padanya, apalagi tokoh2 lainnya. Tapi, sifat pembawaannya yang angkuh dan keras kepala pula turunan dari sifat2 Lam sia yang agak sesat menjadikan wataknya semakin ugal2an tidak mengenal apa artinya takut dan mundur, semprotnya menantang. "Wanpwe tidak gentar diancam!" "Suma Bing kau jangan berlagak dan banyak tingkah karena ilmu saktimu itu!" "Bukan wanpwe hendak memamerkan ilmu saktiku, aku hanya melakukan apa yang harus kuperbuat." "Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, jikalau kau melukainya, kau akan menyesal seumur hidup!" "Apa Cianpwe bertekad hendak merintangi?" "Sudah tentu!" "Aku tidak perdulikan akan segala akibatnya!" Sementara itu Racun diracun sudah bangkit dan berteriak gemetar. "Suhu, tecu sudah berkeputusan rela untuk mengorbankan segala apa yang perlu kukorbankan!" "Apakah kau sudah bayangkan akibatnya?" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sudah tecu pikirkan!" "Tapi aku tidak mengizinkan!" Suma Bing tidak paham maksud percakapan mereka guru dan murid. Pada saat itu yang ia pikir adalah rangsangan darah panasnya untuk melenyapkan makhluk aneh dihadapannya ini. Kalau tidak bagaimana ia harus memberikan pertanggungan jawab kepada Thong Ping dan Ting Hoan yang sudah berada dialam baka. Sekonyong2 sebuah bayangan bayangan langsing terbang mendatangi dengan gesitnya tanpa mengeluarkan suara terus menubruk kearah Racun diracun. Kejadian ini benar2 diluar dugaan, seketika Suma Bing tertegun mematung. 'Blang!' disertai keluhan kesakitan sangat tampak Racun diracun terhuyung beberapa langkah, hampir saja roboh terkapar. Setelah melihat orang yang baru mendatangi ini tercetuslah seruan kaget dari mulut Suma Bing. "Adik Hun, kaukah itu." Memang bayangan langsing yang baru mendatangi ini adalah kekasih pertama Suma Bing yaitu Siang Siau Hun adanya. Wajah Siang Siau Hun diliputi rasa kebencian yang meluap2, mendengar panggilan Suma Bing dia hanya mendehem sekali, kedua matanya dengan nanar mengawasi Racun diracun. Berkelebat sebuah bayangan putih yang melayang tiba didepan matanya. Suma Bing berteriak kaget, kontan jurus Mayapada remang2 dilancarkan sekuatnya. Ditengah gelombang badai yang bergulung2 itu, tampak bayangan putih itu kena terpental sampai tiga tombak jauhnya. Jurus serangannya merupakan gerakan reflek dan kesigapannya. Karena begitu bayangan putih berkelebat tahulah dia bahwa Pek Kut Hujin sudah bertindak memasuki gelanggang. Untuk membela diri dan untuk melindungi Siang Siau Hun, maka tanpa pikir lagi kontan dia lancarkan serangannya. "Auh..." Terdengar pekik yang menyayatkan hati, Racun diracun sempoyongan lagi, akhirnya tak kuat berdiri dan roboh telentang diatas tanah. Hal ini malah membuat Siang Siau Hun tertegun bengong. Mengapa Racun diracun tidak membela diri atau balas menyerang, tidak mengerahkan tenaga murninya, juga tidak menyebar racunnya? Jelas dia mengetahui bahwa kepandaian dan lwekang Racun diracun jauh berada diatas kemampuannya. Dirangsang nafsu untuk menuntut balas tanpa banyak pikir akan segala akibatnya, mati2an dia turun tangan, sebenarnya kecil harapannya dapat berhasil, namun kenyataan tidak seperti perhitungan semula, ternyata sedemikian gampang dirinya berhasil melukai musuh. Karena kesima sampai lupa untuk bertindak lagi... Suma Bing sendiri juga bukan main heran dan kagetnya, sikap Racun diracun kali ini benar2 sangat ganjil. Sementara itu Pek Kut Hujin sudah melayang tiba pula disisi tubuh Racun diracun, suaranya hampir menjerit sedih. "Muridku, tidak setimpal kau mengeluarkan pengorbanan sedemikian besar. Kau... kau..." Mendadak tubuh Racun diracun berkelejetan dua kali. Terjadilah suatu keanehan, kulit seluruh tubuh yang semula warna hitam itu kini perlahan2 berobah. Menjadi kuning dan berobah pula menjadi putih... "Ah...!" Suma Bing menjerit keras, dan sempoyongan mundur puluhan langkah, kedua matanya melotot hampir mencelat keluar. Phoa Kin sian. Itulah istrinya Phoa Kin sian. Mimpi juga dia tidak mengira bahwa Racun diracun ternyata adalah duplikatnya Phoa Kin sian. Pucat pias wajah Siang Siau hun, tubuhnya menggigil keras sekali. Sementara itu. Pek Kut Hujin itu juga mulai berobah, bentuk wajah yang seram menakutkan tadi seolah2 kena sihir telah berobah menjadi bentuk asalnya. Dia bukan lain adalah Ong Fong jui, bibinya. Suma Bing menggigil semakin keras sehingga tubuhnya terasa dingin membeku. Hampir2 dia tidak mempercayai kenyataan yang dihadapinya ini. Dengan wajah diliputi kesedihan dan suaranya yang pilu berkatalah Ong Fong jui. "Keponakanku, kau harus bertanggung jawab akan tragedi ini, dua jiwa manusia telah dikorbankan. Seorang adalah istrimu sedang yang lain adalah anakmu yang bakal lahir." Hitam gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya limbung hampir roboh. Keringat dingin deras mengalir dari atas jidatnya. Sesaat terasa seperti dunia kiamat sudah tiba diambang pintu, juga seperti pesakitan yang mendadak mendengar keputusan hukum mati baginya, otaknya terasa kosong melompong. Siang Siau hun membanting2 kaki sambil menggenggam kedua tangan erat2, teriaknya mengeluh. "Oh Tuhan. Apakah yang telah kuperbuat?" Wajah Ong Fong jui sudah basah oleh airmata, katanya sesenggukkan. "Nona Siang, ini bukan salahmu sudah sepatutnya kau menuntut balas bagi adikmu. Durjana yang meracun dan membunuh adikmu serta Li Bun siang sebenarnya adalah adik Kin sian sendiri. Karena pesan ayah bundanya sebelum ajal, dia mewakili adiknya mengorbankan dirinya..." Berkatalah Siang Siau hun menghadap Suma Bing. "Engkoh Bing, selamanya aku akan menyesal terhadap kau... aku..." Kala itu Suma Bing berdiri kesima seperti patung, biji matanya tidak bergerak. Apa yang dikatakan Siang Siau hun ini sudah tentu dia tidak mendengar. Siang Siau hun menjerit sesenggukkan terus berlari pergi sambil menutup mukanya. Suasana menjadi hening sekian lamanya diliputi kesedihan dan kepiluan hati. Lama dan lama kemudian baru Suma Bing dapat membuka mulut bertanya. "Bibi dia... masihkah dapat ditolong?" Ong Fong jui menggeleng kepala penuh putus asa, sahutnya sedih. "Tak bisa ditolong lagi" "Tak bisa ditolong? Oh Tuhan...!" "Dia tengah mengandung tua dan hampir melahirkan, terkena pukulan berat dan terluka parah masihkah ada harapan untuk tetap hidup" Suma Bing menjerit sambil menubruk maju, kedua kakinya menjadi lemas dan terus jatuh berlutut diatas tanah. Muka Phoa Kin sian memutih seperti kertas, jubah panjang dan celananya sudah basah kuyup tergenang air darah. Gugur! Kandungannya telah gugur! Semangatnya semakin runtuh, hatinya terasa juga tengah meneteskan darah. Apakah dosa istrinya? Kini dia telah meninggal! Apapula dosa anak yang belum lahir itu, dia juga ikut menemui ajalnya! Dia berteriak2 dan menggumam entah apa yang terucapkan yang terdengar hanya samar2 saja. "Akulah pembunuhnya, aku adalah... pembunuh... aku..." "Keponakanku," Bujuk Ong Fong jui pilu. "Tak berguna kau salahkan diri sendiri, kita berada dipinggir jalan raya, marilah dipindah kesuatu tempat lain!" Suma Bing manggut2 seperti patung, tanpa hiraukan noda2 darah, dipayangnya tubuh Phoa Kin sian terus dibawa kedalam sebuah hutan dan mencari sebuah tempat yang rindang dibawah sebuah pohon besar terus dibaringkan kembali. Jarak yang dekat tidak lebih dari puluhan tombak ini baginya terasa seperti dibebani ribuan kati beratnya. Kesedihan yang berkelebihan membuat hatinya lemah, semangatnya runtuh, langkahnya sedemikian berat, dan perlahan. Melihat lakunya ini Ong Fong jui menggeleng kepala tanpa bersuara. Bagai sadar impiannya, berkatalah Suma Bing. "Bibi, dia masih dapat ditolong?" "Apa, dapat ditolong?" "Seumpama tenaga murniku akan terkuras habis biarlah dengan Kiu yang sinkang..." "Ai... keponakanku, isi dalam perutnya sudah jungkir balik, kandungannya juga sudah gugur, seumpama tabib dewa juga takkan kuasa menolongnya" "Tapi... dia tidak boleh mati, jangan, aku harus membuatnya hidup kembali..." "Keponakanku, tenangkanlah pikiranmu." Setelah menyeka airmatanya, secepat kilat Ong Fong jui ulurkan telunjuknya beruntun jarinya menutuk duapuluh lebih jalan darah besar, lalu dengan sebuah gaplokan yang keras dia memukul jalan darah Khi hay, lalu dengan telapak tangannya menekan dijalan darah Thian toh, mulailah hawa murninya sendiri disalurkan gelombang demi gelombang. Sebentar saja wajah Phoa Kin sian mulai bersemu merah, dadanya juga mulai bergerak naik turun secara teratur, tak lama kemudian tiba2 ia membuka mata. Baru sekarang airmata Suma Bing membanjir keluar suaranya sedih dan tersenggak. "Adik Sian, kau... Mengapa kau berbuat demikian?" Agaknya Phoa Kin sian tengah meronta menahan sakit bibirnya bergerak2 sekian lama baru terdengar suaranya yang lirih seperti bunyi nyamuk. "Engkoh Bing, aku... tidak salahkan kau..." "Tidak, adik Sian, kau harus membenci dan mengutukku... katakanlah kau benci padaku..." "Engkoh Bing, sungguh aku menyesal... tidak melahirkan... anak untuk kau..." "Oh aku... akulah algojonya, akulah yang membunuh anakku, membunuh istriku...!" "Engkoh Bing, ... jangan kau salahkan diri dan mereras diri, inilah takdir!" "Takdir? Tidak, inilah tragedi buatan manusia!" Suma Bing mengelus2 rambut istrinya, airmata terus mengalir dengan deras. Kata Ong Fong jui dengan suara serak. "Kin sian, kau sudah lakukan perbuatan yang paling goblok dikolong langit ini, mengapa kau tidak mau dengar nasehatku..." Sepasang mata Phoa Kin sian yang redup dan guram berkedip2, ujarnya sedih. "Suhu, kau... pandang aku sebagai putrimu sendiri, budimu yang luhur setinggi gunung dan setebal bumi ini terpaksa dalam penitisan yang akan datang baru dapat kubalas!" "Adik Sian." Tanya Suma Bing. "Mengapa kau... tidak siang2 terangkan asal-usulmu?" "Aku... tidak boleh..." "Mengapa?" "Pertama; peraturan... perguruan. Kedua. ... sebelum ayah bunda meninggal, mereka serahkan Cu giok kepadaku... dia melakukan kejahatan diluar perikemanusiaan... semua ini adalah kesalahanku, aku... harus menebus dosanya itu, dengan pengharapan dia... merobah diri dan kembali kejalan yang benar..." "Phoa Cu giok!!" Gumam Suma Bing sambil kertak gigi. Seumpama saat itu Phoa Cu giok berada dihadapannya pasti tanpa pikir lagi dia akan dibunuhnya. Agak lama Phoa Kin sian pejamkan matanya, lalu dengan susah payah dipentangkan lagi, serta katanya semakin lemah. "Engkoh Bing... kuharap kau meluluskan satu permintaanku..." "Coba katakanlah?" "Apakah kau dapat mengampuni... Cu giok?" "Ini...!" Terbayang nafsu membunuh yang tebal diwajah Suma Bing. Kata Phoa Kin sian pula dengan sekuat tenaga. "Engkoh Bing, tiada... lain permintaanku hanya... inilah satu2nya pengharapanku, lulusilah... mengampuni jiwanya... bantu dan bimbinglah dia kearah jalan yang benar, meskipun mati..." "Tidak adik Sian... aku tidak bisa membiarkan kau... tidak, seumpama mesti mengorbankan jiwaku aku juga harus berusaha..." Airmuka Phoa Kin sian berobah merah, napasnya mendadak memburu dan batuk2. Tangan Ong Fong jui yang menempel dijalan darah Thian toh itu juga kelihatan gemetar, keringat membanjir dengan derasnya membasahi tubuh. "Engkoh Bing," Kata Phoa Kin sian pula suaranya lirih hampir tak terdengar. "Lu... lusilah permintaanku!" Suma Bing merenggut rambut sambil kertak gigi, sahutnya terpaksa. "Baiklah, aku penuhi permintaanmu yang terakhir ini..." Warna merah dimuka Phoa Kin sian menghilang dan kembali pucat pasi, tapi ujung bibirnya tersungging senyum dikulum, kepalanya tekluk kesamping mangkatlah arwahnya kealam baka. Dengan lesu dan perih Ong Fong jui menarik pulang tangannya. "Dia sudah meninggal!" Suma Bing berteriak menggila. "Adik Sian!" Terus menubruk jenazah Phoa Kin sian. Seketika terasa pandangannya gelap dan bumi berputar jungkir balik, pikirannya kosong melompong. Mendadak Suma Bing meloncat bangun, sesaat ia pandang wajah pucat jenasah Phoa Kin sian, tiba2 angkat sebelah tangannya terus mengepruk keatas batok kepalanya sendiri. "Gila kau!" Hardik Ong Fong jui keras, secepat kilat ia bergerak mencengkram kencang pergelangan tangannya terus berkata lagi. "Suma Bing, apa kau ingin membuatnya mati tidak meram. Apa yang hendak kau lakukan? Tugas berat menuntut balas belum terlaksana, pesan terakhir gurumu hendak kau ingkari. Beginilah kelakuan seorang gagah!" "Bibi," Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Gumam Suma Bing. "Betapa aku dapat mengampuni diriku sendiri?" "Keponakanku yang baik. Hubunganku dengan Kin sian sebagai guru dan murid, tapi hakikatnya seperti anak kandungku sendiri. Perih dan kesedihan hatiku rasanya tidak kalah beratnya dari kau. Tapi semua ini dapatlah ditarik kembali oleh kekuatan manusia. Semua ini sudah menjadi suratan takdir!" "Ya bibi, aku akan menyesal dan merana sepanjang hidupku ini!" Sebuah gundukan tanah dari sebuah kuburan baru muncul diantara alingan pohon2 lebat dalam rimba itu. Dimana diatas sebuah batu nisan yang sederhana tertuliskan beberapa huruf yang berbunyi. "Kuburan Kin sian istri Suma Bing yang tercinta" Dibawah sebelah kiri tertanda nama Suma Bing. Tampak Suma Bing berendeng bersama Ong Fong jui didepan kuburan, mereka berdiri mematung tanpa bergerak dan mengheningkan cipta. Agak lama kemudian baru Ong Fong jui buka suara memilukan. "Keponakanku yang sudah pergi biarlah pergi, yang mati takkan dapat hidup kembali. Marilah kita tinggal pergi!" "Tidak!" "Kau..." "Aku hendak mendampingi kuburan Kin sian selama seratus hari, sebagai curahan rasa cinta kasih sebagai suami istri!" "Kau mempunyai maksud yang suci dan mulia itu sudah cukup. Janganlah kau memeras diri merusak kesehatanmu sendiri." "Bibi, kurasa dengan berbuat begitu dapatlah memperingan beban tekanan batinku!" "Ai, apa boleh buat, baiklah. Aku harus segera mencari durjana Phoa Cu giok itu, harus cepat2 kucegah supaya dia tidak memperbanyak melakukan kejahatannya." "Bi, silahkan aku tidak bisa mengantar!" "Ada yang masih harus kuberitahu kepadamu. Pek Kut Hujin adalah guruku, dia sudah meninggal dunia pada duapuluh tahun yang lalu, akulah yang menjadi murid ahli warisnya." "O!" "Kau sudah paham?" "Ya, bibi, tentang ibunda..." "Ibumu bagaimana?" "Aku sudah dapat menemukan dia!" "Ha! Apa benar?" Teriak Ong Fong jui kegirangan dan haru. Kata Suma Bing lagi. "Dia menjadi ketua dari Jeng siong hwe yang menggetarkan kalangan Kangouw itu. Tapi sebenarnya dia adalah majikan dari Panggung berdarah!" Saking kaget Ong Fong jui undur selangkah, suaranya gemetar. "Sungguh diluar dugaan, lalu dimana sekarang cici berada?" Secara ringkas jelas Suma Bing menuturkan dimana letak daripada Panggung berdarah itu. Ong Fong jui manggut2, katanya. "Tuhan sungguh maha pengasih, keponakanku tentang para musuh besarmu...!" "Aku sudah mempunyai catatan nama2 mereka, Loh Cu gi adalah biangkeladinya!" Menyinggung nama Loh Cu gi seketika timbul nafsu kekejaman Suma Bing. "Keponakanku apa kau masih ingat pada Pek chio Lojin?" "Ya, dengan tanganku sendiri telah kubunuh dia!" "Apakah kau pernah dengar tentang Pek bin mo ong (raja iblis seratus muka)?" "Raja iblis seratus muka?" "Benar, gembong aliran hitam yang kejam dan telengas, ilmu kepandaian riasnya tiada keduanya di kolong langit ini. Kepandaian Lwekangnya juga malang melintang dalam dunia persilatan. Dia adalah Suheng dari Pek chio Lojin!" "Memangnya kenapa?" "Konon kabarnya Bwe hwa hwe baru2 ini mengundang dan mengangkat seorang Maha pelindung. Orang itu mungkin adalah raja iblis ini." "Masa betul?" "Sudah sekian lama raja iblis ini tidak muncul dikalangan Kangouw, belakangan ini katanya ada orang yang melihat jejaknya!" "Kalau dia secara terang berani membantu kejahatan menyebar maut, pasti keponakan takkan melepas dia." "Raja iblis ini sangat cerdik dan licik serta licin sekali, kau harus waspada hati2 menjaga diri." "Terima kasih akan petunjuk bibi ini!" "Lalu tentang barisan pohon bunga Bwe yang aneh diluar markas besar Bwe hwa hwe itu apakah kau sudah..." "Justru hal inilah yang membuat keponakan serba susah!" "Ini... coba kau pergi menemui Si gwa sianjin dan minta petunjuk padanya mungkin dia bisa membantu kau!" Terbangun semangat Suma Bing, katanya. "Si gwa sianjin juga mahir tentang ilmu barisan yang aneh2 itu?" "Diantara tokoh2 Bulim sekarang ini termasuk dia yang paling kuat dan pandai!" "Apa selain dia tiada lain orang lagi?" "Ada, tapi..." "Mengapa?" "Mungkin dia sudah meninggal dunia. Jikalau ada dia persoalan ini pasti dapat dipecahkan seumpama membalik tangan gampangnya." "Siapakah dia?" "Ih lwe siu ki khek Li It sim!" "Li It sim?" "Benar, apa, kau..." "Aku pernah dengar Kang Kun Lojin menyinggung tentang namanya." "Apakah orang tua itu masih dalam dunia fana ini?" "Entahlah" "Lebih baik kau khusus mencari dan menemui Si gwa sianjin saja." "Baiklah." "Aku hendak pergi, jagalah dirimu baik2!" Setelah menghela napas panjang Ong Fong jui melayang pergi dan menghilang. Berdamping batu nisan Suma Bing duduk terpekur tenggelam dalam kenangan lama yang menyedihkan. Begitulah tanpa terasa sang surya muncul dari peraduannya, dan tahu2 sang surya sudah tenggelam lagi kearah barat, hari berganti hari dengan cepatnya tanpa terasa. -oo0dw0oo- Pada suatu tengah hari kira2 satu bulan kemudian. Suma Bing baru saja kembali dari kota yang berdekatan untuk membeli ransum kering. Waktu mendekati kuburan dari hembusan angin yang sepoi2 tercium olehnya bau harum wangi dari terpasangnya dupa dan terbakarnya kertas sembahyang. Siapa yang datang dipusara Phoa Kin sian untuk sembahyang dan membakar kertas. Tergerak hati Suma Bing mengempos semangat mengerahkan tenaga maka dengan enteng sekali tanpa bersuara ia berputar memasuki hutan. Tampak didepan kuburan seorang tengah berlutut dan menyembah dia bukan lain adalah Phoa Cu giok manusia berhati serigala. Seketika timbul amarah Suma Bing, saking menahan gusar napasnya sampai memburu. Setindak demi setindak ia menghampiri maju, matanya melotot merah buas... Phoa Cu giok tetap berlutut dan tubuhnya tampak gemetar kiranya dia tengah menangis menghadapi kuburan cicinya. Kira2 sejauh satu tombak Suma Bing hentikan langkahnya. "Phoa Cu giok!" Hardiknya lantang dan dingin. Phoa Cu giok bangun berdiri terus memutar menghadap Suma Bing sinar matanya redup dan semangatnya layu, sekian lama baru keluar suaranya. "Cihu!" "Phoa Cu giok, kau tahu kenapa cicimu sampai mati?" "Karena perbuatanku yang durjanalah sebabnya?" "Kau sudah tahu, baik sekali. Sekarang gunakanlah racun atau jurus2 keji apapun juga terserah kau, mari kau serang aku, jikalau tidak kau tidak akan mempunyai kesempatan. Lekas turun tangan, seranglah aku...!" "Cihu..." "Phoa Cu giok hendak kuhancur leburkan tubuhmu yang kotor itu!" Sikap Phoa Cu giok tetap lesu dan menelaah saja kekasaran sikap Suma Bing, kedua matanya tampak membengkak merah, berkatalah ia dengan tenang. "Cihu, aku insaf bahwa dosaku besar dan harus dihukum mati, silahkan kau saja yang turun tangan, tiada apa2 yang perlu kukatakan lagi" Suma Bing malah tertegun dibuatnya menghadapi sikap orang yang aneh dan pasrah nasib ini, tapi hawa amarahnya masih merangsang dengan hebatnya, desisnya, mengertak gigi. "Phoa Cu giok, dengan Racun tanpa bayangan kau meracuni Siang Siau moay dan Li Bun siang, sebaliknya kakakmulah yang menjadi kambing hitamnya. Kau ngapusi dan memperkosa Thong Ping gadis suci yang tak berdosa malah setelah kedokmu terbongkar kau meracun dan membunuh ibunya juga. Sekarang dia sudah melahirkan seorang anak perempuan, tapi dia mohon kepadaku untuk membunuh kau..." Wajah Phoa Cu giok berkerut2 gemetar, agaknya tengah menahan gejolak hatinya. Sejenak berhenti lalu Suma Bing melanjutkan lagi. "Kau juga memperkosa dan membunuh murid Pek hoat Sian nio Ting Hoan, dia adalah sahabat karibku..." "Cihu..." "Kau manusia berhati binatang, cicimulah yang menjadi kambing hitamnya untuk menebus semua kejahatan dan dosa2mu!" "Cihu, biarlah aku mati ditanganmu sendiri, gunakanlah cara kejam yang paling telengas..." Habis berkata dia, menundukkan kepala, sekarang dia, benar2 sudah insaf dan bertobat namun semua ini sudah terlambat. "Pandanglah aku!" Hardik Suma Bing keras, kedua matanya melotot besar hampir meneteskan air darah. Terpaksa Phoa Cu giok angkat kepalanya pula, wajahnya penuh diliputi kekesalan sedikitpun tak terbayang rasa takut akan bayangan kematian, airmata mengalir tanpa hentinya membasahi kedua pipinya. Ini bukan sikap atau tingkah laku yang dibuat2, inilah jiwa tersesat yang hidup kembali kejalan terang dan lurus. Dengan beringas Suma Bing ayun kepalannya terus menghantam mengarah batok kepala Phoa Cu giok. Pada saat kepalannya terpaut setengah kaki diatas kepala Phoa Cu giok, tiba2 Suma Bing menghentikan gerakannya, dia tak bisa turun tangan terhadapnya. Teringat dia akan pesan Phoa Kin sian sebelum ajal. "...Ampuni dia... tuntunlah kejalan benar menjadi manusia kembali..." Apakah tindakannya ini tidak membuat istrinya putus harapan dan kecewa di alam baka? Memang ingin dan rasanya harus dia membunuh manusia laknat ini menjadi hancur lebur, tapi pesan istrinya sebelum ajal membuat dia tak kuasa turun tangan. Akhirnya sambil mendengus keras2 dia tarik kembali tangannya. Phoa Cu giok tetap bersikap tak acuh, katanya agak diluar dugaan. "Kenapa cihu tidak jadi turun tangan?" "Aku sudah melulusi cicimu untuk tidak membunuh kau." Ujar Suma Bing gegetun. "Phoa Cu giok, dia menjadi korban demi menebus dosa2 mu, sebelum ajal dia masih selalu ingat pada kau, dia mintakan ampun bagi kau, kau... inikah manusia?" Mendadak Phoa Cu giok menubruk kedepan batu nisan dan berlutut sambil menangis meng-gerung2, kepalanya diadu dengan tanah, serunya sesambatan. "Cici, memang dosaku besar, aku tidak memohon pengampunanmu, hanya kuminta kau tahu bahwa adikmu yang jahat dan rendah melebihi binatang ini sekarang sudah insaf, aku bertobat... cici... apa kau dengar?... Oh, semua ini sudah terlambat!" Jari tangannya yang gemetar mendadak menusuk mengarah jalan darah Thay yang hiat dipelipis sebelah kanannya. "Berhenti!" Suma Bing menggertak keras, secepat kilat jarinya menutuk dari kejauhan, sejalur angin kencang tepat sekali menutuk jalan darah Ji ti, seketika tangan Phoa Cu giok itu lemas semampai. "Kau ingin mati juga sudah terlambat, seharusnya kau mati sebelum cicimu menemui ajalnya. Sekarang dia sudah mati, dia ingin kau tetap hidup untuk menyambung keturunan keluargamu." Pelan2 Phoa Cu giok berdiri, pelipisnya merembes air darah karena tusukan jarinya tadi, keadaannya sungguh sangat mengerikan, mulutnya mendesis seperti orang menggumam. "Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati malah mati. Masih adakah derajatku untuk tetap hidup?" Amarah Suma Bing yang membara mulai mereda dan hampir padam, dia sudah mau kembali kejalan yang benar dan lurus, apalagi yang dapat dikatakan? "Phoa Cu giok, untuk kau Thong Ping sudah melahirkan seorang orok mungil, itulah keturunan keluarga Phoa kalian. Dan lagi terhadap Thong Ping kau harus memberikan ketertiban hidup selanjutnya!" Phoa Cu giok manggut2 tanpa bersuara. Katanya kepada Phoa Cu giok lagi. "Kau boleh pergi, kuharap kau jangan membuat cicimu mengandung penasaran dialam baka, baik2lah menelaah nasihat2 baik untuk petunjuk hidup yang benar dan lapang!" "Cihu, aku pasti menurut segala nasehatmu!" "Baiklah kau boleh pergi!" Sekali lagi Phoa Cu giok berlutut dan menyembah didepan pusara cicinya, sekian lama dia mengheningkan cipta lalu berdiri dan tinggal pergi sambil berlenggot. Memandang bayangan punggung orang, Suma Bing menghela napas panjang, entah bagaimana perasaan hatinya. Tanpa terasa ia mengulangi kata2 yang diucapkan oleh Phoa Cu giok tadi 'Yang harus mati tidak mati, yang tidak seharusnya mati, malah mati.' Sekonyong-konyong sebuah suara yang bernada dingin sebagai ejekan menyambung perkataannya. "Ya, memang kau seharusnya mampus!" Suma Bing terkejut sigap sekali ia memutar tubuh memandang kearah datangnya suara, tampak seorang buntak tua berjenggot panjang sebatas dada dan beruban tahu2 sudah mendatangi didepannya sejauh tiga tombak. Dia bukan lain adalah si maling bintang Si Ban cwan. Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Cepat2 Suma Bing angkat tangan memberi hormat, serta sapanya. "Cianpwe baik2 saja selama berpisah ini!" Mulut si maling bintang Si Ban cwan ber-kecek2 dingin, dengusnya. "Buyung, sungguh tidak kira ternyata begitulah pribadimu, hm, aku si maling tua agaknya sudah picak..." Suma Bing melengak heran, tanyanya. "Apa maksud ucapan Cianpwe ini?" Mata si maling bintang memancarkan sorot ber-api2, semprotnya beringas. "Buyung, ternyata setelah dapat mempelajari ilmu sakti, kau gunakan untuk kejahatan diluar perikemanusiaan." Tahu2 dimaki, dicercah dan dituduh sebagai manusia durjana, keruan Suma Bing berjingkrak kaget dan terheran2, tanyanya pula. "Tuduhan Cianpwe ini mengenai hal apa?" "Buyung, diseluruh jagad ini tiada kepandaian yang tiada tandingannya, se-tinggi2 gunung ada yang lebih tinggi, sepandai2 orang ada orang lain yang lebih pandai, bukan karena mempunyai sebuah kepandaian sakti lantas tiada lawan diseluruh penjuru angin. Berbuat jahat dan malang melintang menyebar elmaut, memang manusia punya bisa tapi Tuhanlah yang berkuasa, kelak kau pasti akan menerima pembalasan yang setimpal." "Cianpwe, kenapa kau bicara ngelantur, aku kurang jelas?" "Aku si maling tua inginkan jiwamu, apa ini belum jelas?" Saking kaget Suma Bing tersurut dua langkah, hampir2 dia tidak percaya akan pendengaran kupingnya, suaranya gelagapan. "Cianpwe hendak membunuh aku?" "Ya, aku tahu si maling tua ini bukan lawanmu, tapi untuk membalas sakit hati kawan tuaku, terpaksa aku harus jual jiwaku ini." Habis berkata langkahnya berat beranjak maju, rambut dan jenggotnya yang memutih berdiri tegak dan beterbangan dihembus angin, wajah tuanya merah padam diselubungi hawa membunuh. "Apa ini bukan kelakar belaka?" "Hm, kelakar..." "Sedikitnya Cianpwe harus mengemukakan alasanmu bukan?" 51. ULAR SAKTI PENGHISAP DARAH. "Alasan? Bu khek bun adalah aliran putih yang menjunjung tinggi keadilan, siapa duga dengan cara keji demikian kau menumpas seluruh penghuni Bu khek po, buyung masihkah kau berperikemanusiaan?" Baru sekarang Suma Bing paham duduk perkaranya, kiranya tentang perihal dirinya menuntut balas di Bu Khek po tempo hari, maka si maling bintang ini meluruk datang membuat perhitungan kepada dirinya. Entah ada hubungan apakah antara mereka. Tapi kan secara terang gamblang dirinya menuntut balas kepada Bu khek sianglo... Maka sahutnya dengan tenang. "Cianpwe, terpaksa wanpwe harus berbuat begitu!" "Jadi menurut hematmu kau harus berbuat begitu?" "Ya, tak perlu banyak mulut lagi, selama hidup ini meskipun si maling tua ini belum pernah melakukan kejahatan dan berbuat dosa, tapi juga belum pernah menyebar kebajikan, sekarang diambang kematian karena usia tua ini, baik juga melakukan pembasmian demi kesejahteraan kaum persilatan!" Kata2 membasmi sangat menusuk telinga dan perasaan Suma Bing, jikalau tidak memandang hubungan yang terdahulu, siang2 dia sudah turun tangan menampar mulut orang. Si maling bintang Si Ban cwan maju lagi semakin dekat, kini jarak kedua belah pihak kurang dari dua tombak. Apa boleh buat karena didesak sedemikian rupa, akhirnya Suma Bing nekad. "Tegasnya Cianpwe benar-benar hendak turun tangan!" "Sudah tentu!" "Kuharap Cianpwe suka berpikir dua kali sebelum bertindak?" "Sudah lama si maling tua ini memikirkan secara masak akan segala akibatnya!" "Tapi aku tidak ingin melukai Cianpwe!" "Buyung, sebaliknya bagi aku si maling tua, hari ini bagaimana juga kau harus kulenyapkan." Membaralah sifat pembawaan Suma Bing, saking dongkol keluar juga jengekannya. "Mungkin tujuan tuan takkan dapat terlaksana!" "Kurcaci, marilah coba ini!" Demikian gertak si maling tua Si Ban cwan sambil menubruk maju, habis suaranya serangannyapun sudah merangsang tiba. Suma Bing tetap tenang dan diam saja berdiri tegak tanpa bergerak, mengandal kekebalan ilmu pelindung badannya, si maling tua ini takkan mampu melukai seujung rambutnya. Tak terduga begitu melesat tiba dihadapan Suma Bing si maling tua membatalkan serangannya, sedemikian dekat jarak mereka sekali ulur tangan saja cukup meranggeh lawannya. Mendadak si maling tua malah bergelak tawa gila2an, tapi suara tawanya tidak seperti suara tawa umumnya, agaknya si maling tua ini sudah terbawa oleh perasaan hatinya, rasa sedih dan jengkel dilampiaskan dengan tawanya ini... Tanpa terasa giris perasaan Suma Bing, susah diterka apakah yang tengah dimainkan oleh si maling tua yang terkenal susah dilayani dan diajak berembuk ini. Mendadak sebuah bentakan keras terdengar dari sebelah samping sana. "Maling tua jangan!" Disusul bayangan beberapa orang berdatangan memasuki gelanggang. Heran dan kaget Suma Bing dibuatnya, yang muncul ini adalah istrinya Pit Yau ang beserta semua kerabat dari Perkampungan bumi, diantaranya terdapat juga Coh yu Hu pit serta Teng Tiong cwan dan lain2. Sedang yang membentak merintangi tadi adalah Coh hu Si Kong teng. Dengan pandangan rasa kuatir dan takut2 Pit Yau ang berempat mengawasi si maling bintang. Suma Bing semakin tidak mengerti... "Maling tua." Kata Si Kong teng tertekan. "Apa faedahnya kau berbuat begitu?" Si maling bintang hentikan tawanya, setelah menyapu pandang kearah mereka berempat jengeknya dingin. "Keputusan si maling tua ini selamanya harus terlaksana!" "Jadi kau si maling tua ini bersedia gugur bersama?" Tanya Yu pit Ciu Eng tiong. "Benar!" "Kau ini..." "Untuk melenyapkan bencana di kalangan persilatan!" Tergerak hati Suma Bing, apa artinya dengan ucapan gugur bersama tadi, apa... belum lenyap pikirannya, mendadak dilihatnya si maling tua menggenggam sesuatu benda ditangan kanannya, entah barang apa yang disembunyikan itu. Kini dia paham, mengenai ilmu silat sudah pasti si maling tua takkan mampu melukai dirinya, sedemikian lantang dia sesumbar hendak melenyapkan dirinya pasti ada apa2nya dibelakang perkataannya ini. Turun tangan atau tidak? Dia menjadi ragu2. Kalau saat itu mendadak dia menyerang pasti si maling tua takkan luput dari kematian, tapi agaknya hatinya kurang tega. Agaknya si maling tua dapat mengerti isi hati Suma Bing, jengeknya sambil menyeringai. "Buyung, kau turun tangan atau tidak sama saja pasti mati. Jiwa tua si maling tua ini sudah kutaruhkan. Kau tahu apa yang kugenggam ditanganku ini? Ketahuilah, sekali aku lepas tangan Sip hiat leng kong (ular sakti penghisap darah) ini, seumpama kau tumbuh sayap juga takkan dapat lolos. Buyung meski kau ada kesempatan membunuh aku, tapi kau tiada kesempatan lagi untuk terhindar dari kejaran ular sakti penghisap darah ini..." Berdiri bulu kuduk Suma Bing, sungguh diluar sangkanya bahwa si maling tua menggunakan binatang aneh yang dikabarkan sebagai penghisap darah itu untuk menghadapi dirinya. Selama ratusan tahun sukar dicari seekor saja ular sakti penghisap darah ini. Ular semacam ini merupakan raja ular diantara ular, badannya kebal senjata tajam, besarnya hanya sebesar jari manis, ditengah tubuhnya tumbuh sepasang sayap sehingga dia dapat terbang dengan pesat sekali, begitu membaui darah manusia, segera dia memecah kulit terus mengerong kedalam tubuh orang dan masuk kedalam jalan darah, sambil menyedot darah sembari dimuntahkan kembali sampai orang itu darahnya dihisap habis dan mati. Wajah Pit Yau ang pucat ketakutan bersemu kehijauan, takut dan gugup merangsang benaknya, teriaknya tersendat. "Si cianpwe, aku adalah istrinya..." "Lohu sudah tahu!" "Bolehkah Siau li bicara beberapa patah kata dulu?" "Silahkan!" "Cianpwe menggunakan cara sedemikian keji untuk menghadapi dia, pasti mempunyai alasan yang kuat?" "Sudah tentu!" "Wanpwe minta penjelasan?" "Menggunakan cundrik penembus dada dia membunuh Bu Khek sianglo, ini demi menuntut balas, hal itu dapat dimaklumi. Tapi tidak semestinya dia membanjirkan darah dan membabat seluruh Bu khek po seakar2nya sampai ayam dan itik juga tidak ketinggalan telah dibunuhnya semua. Malah yang paling keterlaluan dengan kekerasan dia merebut Kipas batu pualam." Keterangan ini membuat Suma Bing melonjak kaget, darimana soal ini harus dijelaskan, serunya menegasi. "Apa membanjirkan darah di Bu khek po?" "Masa kau berani menyangkal?" Bentak si maling bintang beringas. "Memang, aku menyangkal!" "Bu khek Ciangbun sendiri yang mengatakan kepadaku sebelum ajal, ini bukti yang paling kuat kau takkan luput dari tuntutan keadilan ini!" "Ingin kutanya, kapan peristiwa itu terjadi?" "Setengah bulan yang lalu!" "Setengah bulan yang lalu?" Si maling bintang membenarkan dan menegaskan sekali lagi. Legalah hati Suma Bing, ujarnya. "Aku mendampingi pusara disini sudah satu bulan lebih, setindak juga belum pernah tinggal pergi." "Siapa yang menjadi saksi bahwa kau belum pernah tinggal pergi setindakpun?" Desak si maling bintang. "Ini..." "Buyung, mungkin dijagad ini ada dua Suma Bing?" Sebuah bayangan berkelebat mendatangi pula, itulah seorang perempuan pertengahan umur yang bersolek berkelebihan, dia bukan lain adalah Ong Fong jui bibinya Suma Bing. Semua hadirin tertegun dibuatnya. "Bibi!" Seru Suma Bing kegirangan. Napas Ong Fong jui agak memburu, wajahnya agak kumal dan sedikit pucat, sekilas ia menyapu pandang keseluruh hadirin lalu matanya melotot kearah Suma Bing dan berkata. "Anak Bing, apakah kau sudah gila?" Berobah airmuka Suma Bing, sahutnya. "Aku..." "Secara kekerasan kau merebut Ce giok pe yap benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay malah kau lukai dan bunuh Ong Tionglo salah satu dari ketiga pelindung mereka." Suma Bing merasa adanya sesuatu keganjilan dalam urusan ini, sangkalnya gemetar. "Bibi, aku belum pernah berbuat demikian!" "Kau tidak" Desak Ong Fong jui mengangkat alis. "Ya, selama sebulan lebih, setindakpun aku belum pernah pergi dari sini!" "Apa benar?" "Tiada perlunya keponakan berbohong, apa kau juga berpendapat keponakanmu bisa berbuat hal2 yang demikian itu?" "Engkoh Bing." Sela Pit Yau ang dengan wajah berobah, suaranya juga gugup. "Katamu selama satu bulan kau tidak meninggalkan tempat ini?" Dirangsang berbagai pertanyaan ini Suma Bing menjadi pusing tujuh keliling, sahutnya keras saking jengkel. "Tidak salah!" "Kau... benarkah..." "Adik Ang, apa artinya ini?" "Duapuluh hari yang lalu bukankah kau kembali ke Perkampungan..." Pit Yau ang menyangka karena untuk menghindari tuntutan yang mendesak ini baru dia mengeluarkan kata2 seperti diatas tadi, maka perkataannya hanya diucapkan setengah2 saja untuk mengawasi reaksinya. Lain halnya dengan Suma Bing, memang hatinya putih bersih dan tiada ganjalan apa2, begitu mendengar perkataan Pit Yau ang yang diucapkan setengah2 ini, lantas dia merasakan kalau persoalan ini pasti ada latar belakangnya. Kejadian ini terjadi mendadak dan semua menimpa keatas bahunya, ini pasti bukan terjadi secara kebetulan saja. Maka dengan mendelikkan mata ia bertanya. "Adik Ang, apa yang kau katakan?" "Aku..." "Katakan!" "Duapuluh hari yang lalu, bukankah kau pernah kembali ke Perkampungan secara ter-gesa2 untuk mengambil Kiu im cinkeng..." "Kiu im cinkeng?" "Ha, kau..." "Demi Allah setindakpun aku belum pernah meninggalkan tempat ini!" Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Semua hadirin berobah airmukanya. Si maling bintang Si Ban cwan mundur beberapa langkah serunya terheran2. "Buyung, jadi bukan kau yang membabat habis seluruh penghuni Bu khek po?" "Cianpwe, masa kau tidak percaya kepadaku?" "Aneh..." "Pasti ada seseorang yang menyamar seperti bentukku untuk menyebar kejahatan ini." "Ya, selain ini tiada keterangan lain yang dapat menjelaskan. Tapi siapakah dia? Dan apa maksud tujuannya?" Mendadak Ong Fong jui membentak keras. "Siapa itu main sembunyi2!" Tubuhnya juga lantas melenting dengan kecepatan bagai kilat keluar hutan. "Bujung," Ujar si maling bintang penuh penyesalan. "aku si maling tua terlalu sembrono." Suma Bing tertawa, sahutnya. "Cianpwe tak usah gelisah dan jangan pikirkan lagi hal ini, yang sudah lalu tak perlu dipersoalkan lagi." Pit Yau ang tampil kehadapan Suma Bing, suaranya gugup, gelisah. "Engkoh Bing, buku Kiu im cin keng itu adalah kepunyaan ayah..." Kata Suma Bing dengan gemas. "Adik Ang, aku akan mencarinya kembali sekuat tenaga, orang yang menyaru sebagai aku itu, aku bersumpah akan menghancur leburkan!" "Eh, engkoh Bing, pusara ini..." "Phoa Kin sian telah meninggal," Kata Suma Bing pilu. "sebab kematiannya biarlah kelak kuceritakan kepadamu!" Meskipun pernikahan Pit Yau ang dengan Suma Bing dirayakan dengan peraturan adat istiadat yang resmi, tapi kalau diselami secara mendalam hakikatnya Phoa Kin sian adalah istri pertama yang sah, jadi mau tak mau Pit Yau ang hanya sebagai istri kedua. Setelah mengetahui saingannya itu telah meninggal, entah bagaimana perasaan hatinya susahlah diutarakan. Maka ter-sipu2 ia maju kedepan kuburan dan berlutut memberi penghormatan terachir serta mengheningkan cipta sekian lamanya baru berdiri lagi. Suma Bing berpikir bolak-balik, serunya tegas. "Sebetulnya aku hendak mendampingi pusara ini selama seratus hari, dengan adanya kejadian diluar dugaan ini, terpaksa kubatalkan janjiku kepada almarhum!" "Engkoh Bing, aku..." "Adik Ang, lebih baik kau kembali saja ke Perkampungan!" "Aku ingin ikut kau..." "Adik Ang, untuk mencegah kejadian yang terjadi seperti ini, lebih baik kau pulang saja." Perkataan ini membuat tergetar perasaan Pit Yau ang, terpaksa dia manggut2. Mendadak Suma Bing teringat sesuatu, sikapnya serius. "Adik Ang, letak Perkampungan kita sedemikian rahasia, orang yang menyamar sebagai aku itu bagaimana bisa masuk?" Komisaris luar Teng Tiong cwan tiba2 bertekuk lutut dan menyahut tersenggak. "Lapor Huma, karena kesalahan hamba yang ceroboh tanpa penelitian yang seksama, maka kusuruh seorang Hiangcu untuk mengundang serigala itu masuk kedalam rumah..." "Coba kau tuturkan secara jelas!" "Anak buah hamba Toan Bu jiang Hiangcu bergilir piket untuk memeriksa daerah sekitar seratusan li, secara tiba2 dia ketemu dengan orang yang menyamar sebagai Huma itu, kita tak dapat menduga antara tulen dan palsu, maka diundang masuk..." "Aku sudah paham!" Kata Suma Bing terus berputar menghadap Pit Yau ang katanya pula. "Adik Ang, selanjutnya bagaimana?" Kata Pit Yau ang penasaran. "Bajingan itu pura2 sedang sakit selesma, hingga suaranya berobah serak. Karena tak menduga sehingga aku kurang periksa dan terjebak kedalam tipu dayanya. Begitu ketemu dia lantas menanyakan Kiu im cinkeng katanya ada keperluan yang sangat mendesak. Lalu cepat2 dia pergi lagi membawa Kiu im cinkeng, setelah kejadian itu aku baru sadar dan merasa adanya hal2 yang ganjil, maka buru2 aku keluar menyusul kau untuk menanyakan kebenaran ini!" Komisaris luar Teng Tiong cwan tampil kedepan lagi dan berkata. "Anak buah hamba Toan Hiangcu bertugas secara lalai, nanti setelah kembali pasti akan dihukum secara setimpal sesuai dengan peraturan dan undang2 kita. Tentang hamba sendiri harap Huma suka jatuhi hukuman yang setimpal juga." Suma Bing mengulap tangan, katanya. "Teng congkoan silahkan bangun, kejadian ini terjadi diluar dugaan, kesalahan bukan terletak pada kau seorang, sejak kini tidak perlu dipersoalkan lagi, hanya untuk selanjutnya kalian harus hati2 dan waspada!" "Terima kasih akan kemurahan hati Huma!" "Adik Ang, kau dan mereka bertiga segeralah pulang!" "Tapi kau hanya seorang diri mana bisa aku lega hati..." "Kau tidak perlu banyak kuatir tentang diriku." "Biar kutugaskan Sim tong serta tiga orang Hiangcu untuk menjadi pengawalmu..." "Ini juga tidak perlu!" "Aku hanya tugaskan mereka mengikuti secara diam2, kalau perlu mereka bisa memberi kabar kepada kita" Tak enak Suma Bing selalu menolak kebaikan istrinya, terpaksa dia manggut2. "Begitu juga baik." "Engkoh Bing jagalah dirimu baik2, setelah segalanya selesai segeralah kembali." "Aku pasti kembali, Adik Ang kau juga hati2!" "Hamba beramai menghaturkan selamat berpisah!" Coh yu hu pit dan Teng Tiong cwan berbareng membungkuk memberi hormat. Suma Bing sedikit membungkuk sebagai balasan serta katanya. "kalian tak perlu banyak peradatan!" Dengan rasa berat yang menekan, Pit Yau ang ambil berpisah. Dengan nada berat si maling bintang Si Ban cwan berkata kepada Suma Bing. "Buyung, menghadapi tipu muslihat yang rendah ini kau mempunyai perhitungan yang bagaimana?" "Terutama harus menangkap pentolannya dulu." "Menurut anggapanmu siapakah orangnya yang telah berbuat semua ini?" "Saat ini susah dikatakan!" "Eh, kenapa bibimu pergi lantas tidak kembali lagi?" Sejenak Suma Bing melengak, lantas sahutnya. "Mungkin mengejar musuh!" Dimulut dia berkata demikian, namun dalam batin ia berpikir. bibi sudah mewarisi seluruh kepandaian Pek kut Hujin, betapa tinggi kepandaiannya, susah dicari tandingan didalam Bulim, keselamatannya tak perlu dikuatirkan. Kata si maling bintang lagi. "Ciangbunjin Bu khek bun yang terdahulu adalah sahabat karibku yang paling kental, perguruannya tertimpa bencana sedemikian mengenaskan, dapatlah atau tegakah aku menggendong tangan menonton saja..." Baru sekarang Suma Bing paham mengapa si maling tua tadi mentang2 dan sesumbar hendak menuntut balas tanpa memikirkan resikonya malah rela untuk gugur bersama. Mendadak teringat olehnya waktu dirinya membunuh Bu khek Sianglo tempo hari, gadis remaja bernama Tio Keh siok itu, kepandaiannya jarang dicari tandingannya diBulim. Masa orang yang menyamar sebagai dirinya itu berkepandaian sampai puncak yang tertinggi, kalau tidak masa sedemikian gampang dia membabat habis seluruh Bu khek po? Sebelum dirinya datang, pihak Bwe hwa hwe juga telah meluruk kesana dan sesumbar hendak menumpas habis seluruh Bu khek po, tujuannya yang utama adalah Kipas batu pualam itu. Sedang si durjana yang menyamar sebagai dirinya itu, telah merebut Kipas pualam itu juga, kedua belah pihak ini bertujuan sama, semua untuk mendapatkan Kipas pualam itu. Apakah bukan perbuatan orang yang diutus oleh pihak Bwe hwa hwe? Tapi darimana datang tokoh silat sedemikian lihay dari Bwe hwa hwe? Seumpama Loh Cu gi sendiri Lwekangnya juga tidak unggul banyak dibanding Tio Keh siok. Dalam jangka satu bulan, Perkampungan bumi kehilangan Kiu im cinkeng, Ce giok pe yap benda pusaka pelindung perguruan Ngo bi pay juga direbut orang, ini benar2 suatu berita yang menggemparkan, juga merupakan suatu tipu daya yang menakutkan. Untuk memecahkan tabir rahasia ini, pertama2 harus menemukan dulu orang yang menyamar sebagai dirinya itu. Siapakah dia? Karena pikirannya dengan gelisah ia pandang si maling bintang serta tanyanya. "Cianpwe, ada beberapa pertanyaan aku minta petunjukmu?" "Coba kau katakan!" "Kipas pualam dan daon giok ungu itu dikatakan sebagai mestika pelindung perguruan mereka, dimanakah letak kemujijatannya?" "Konon kabarnya. Kipas pualam dari Bu khek po dan daon Giok ungu dari Ngo bi pay itu adalah benda2 mestika yang jarang didapat didunia ini, Kipas itu dibuat dari batu pualam yang sudah berusia laksaan tahun, sedang daon giok ungu itu dibuat dari batu giok hangat yang diukir berusia laksaan tahun juga. Jikalau kedua kipas dan daon ini digabung timbullah antara hawa negatif dan positip lalu dua hawa ini dapat membantu seseorang tokoh silat untuk menembus jalan darah mati dan hidup, sehingga bisa mencapai titik paling sempurna!" Suma Bing manggut2 paham. Walet Besi Karya Cu Yi Si Rase Hitam Karya Chin Yung Badik Buntung Karya Gkh