Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 7


Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH Bagian 7


Pedang Darah Bunga Iblis Karya dari G K H   "Tuan ini siapa?" "Aku yang rendah Racun diracun!"   "Racun diracun!"   Seru Sian nio sambil manggut2 berarti diapun ikut berminat.   "Masih ada kawan siapa lagi yang ingin ikut?"   Seru Racun diracun lantang dengan angkuh dan congkaknya. Semua diam tiada yang memberi reaksi atas tantangan itu. Gesit sekali bagai terbang Racun diracun berlari memutari Pedang darah satu lingkaran terus tertawa menyeringai seram sembari berkata.   "Biar aku terus terang, bahwa disekeliling Pedang darah itu sudah kutaburi racun Sam pou to (roboh tiga tindak), sedikit saja kalian terkena racun dalam tiga tindak saja pasti kalian akan roboh binasa, siapa diantara kalian yang tidak percaya ingin mencoba? marilah kupersilahkan..."   Belum habis ucapannya sebuah bayangan manusia secepat kilat menubruk tiba didalam arena, si pendatang baru ini kiranya adalah seorang pemuda berusia 20-an berwajah cakap ganteng.   Berbareng Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe berseru heran pandangan mata mereka penuh selidik dan tanda tanya kearah pemuda yang datang tanpa diundang ini.   Kedatangan si pemuda inipun diluar dugaan Racun diracun, tanyanya mendelik.   "Siaucu, siapa kau?"   "Akulah Suma Bing!"   "Murid Lam sia?"   "Ada apa kau datang kemari?"   "Mengambil pedang!"   "Kalau kau sudah bosan hidup silakan coba."   Sejak menelan rumput ular serta buahnya sekalian tubuh Suma Bing sudah kebal akan segala bisa, maka dengan congkak dan dinginnya ia menyahut.   "Hm, hanya racun mainan dapat mengapakan aku!"   Sembari berkata dengan langkah lebar ia menghampiri kearah Pedang darah.   Seketika semua sorot mata dengan nanap kesima mengawasi gerak gerik Suma Bing, masa benar2 dia tidak takut racun? Setindak, dua tindak, tiga tindak; segera ia membungkuk menjemput Pedang darah itu...   Tiga bayangan secepat burung terbang melesat keluar dari kalangan para penonton terus menubruk kearah Suma Bing...   Baru saja kaki mereka menutul tanah dan hendak melompat lagi mendadak mereka pentang mulut lebar dan berteriak panjang mengerikan, tubuhnya juga lantas roboh terbanting diatas tanah tanpa bergerak lagi mati! 'Tiga tindak roboh' kiranya bukan omong kosong belaka, benar2 boleh dianggap racun berbisa paling lihay dan berbahaya diseluruh kolong langit.   Sementara itu, sepasang bola mata Racun diracun yang banyak putih dari hitamnya menyorongkan sinar berkilat menatap Suma Bing, sungguh dia tidak habis mengerti dalam mimpipun dia takkan menduga bahwa Suma Bing ternyata kebal terhadap racun bisanya.   Terutama Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe juga tidak kalah besar rasa kejutnya bahwa Suma Bing kiranya sudah sedemikian lihay dan ampuh.   Mengelus2 Pedang darah perasaan Suma Bing haru dan penuh kepedihan, inilah benda dari warisan ayahnya, hari ini ia dapat merebutnya kembali.   Tang mo sudah minggat meninggalkan pedang ini, jadi tiada kesempatan lagi untuk dirinya mencari keterangan siapa2 saja gerangan yang menjadi musuh keluarganya.   Dalam pada itu si orang berkedok sendiripun terpaksa harus muncul juga dari tempat persembunyiannya dan berdiri diantara kelompok penonton.   Sudah tentu saat mana tiada orang yang memperhatikan kehadirannya sebab sorot mata semua orang tengah tersedot oleh perbuatan Suma Bing yang menegangkan urat syaraf itu.   Suma Bing sendiri juga insaf bahwa untuk membawa Pedang darah itu meninggalkan bukit pegunungan itu pasti sangat sukar.   Kepandaian salah satu dari Racun diracun, Pek hoat sian nio dan ketua Bwe hwa hwe sudah melampaui kemampuannya sendiri.   Apalagi diantara Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe seumpama bukan karena Pedang darahpun pasti akan meringkus atau membinasakan dirinya.   Racun diracun mendongak keatas memandang langit, agaknya dia tengah memikirkan persoalan yang susah dipecahkan.   Adalah Pek hoat sian nio dan Bwe hwa hwe tiang dengan tatapan mendelong tanpa berkedip selalu mengawasi gerak gerik Suma Bing, setindak saja Suma Bing meninggalkan lingkungan beracun yang disebar Racun diracun tadi pasti mereka akan melancarkan serangan untuk membunuh atau meringkusnya.   Tiga sosok mayat yang memasuki lingkungan beracun ini sudah berobah lapuk dan hitam seperti tiga batang balok yang habis terbakar.   Sudah tentu siapapun tiada yang berani mencoba2 lagi, sebab racun tidak mungkin dapat diatasi dengan kepandaian yang betapa tinggipun jua.   Lama dan lama kemudian baru Racun diracun tersentak dari lamunannya, matanya menyapu pandang kearah Pek hoat sian nio dan Bwe hwa hwe tiang serta tanyanya.   "Bagaimana menurut pendapat kalian berdua?"   "Saat ini aku hanya ingin meringkus bocah ini saja."   Sahut Pek hoat sian nio tanpa banyak pikir. Racun diracun mengekek tawa, serunya.   "Bagus sekali pendapat kita berdua tidak berselisih!" - lalu ia berpaling dan bertanya kepada Bwe hwa hwe tiang.   "Tuan ketua bagaimana?"   Sejenak Bwe hwa hwe tiang menatap kearah Suma Bing lalu berputar dan menjawab pertanyaan Racun diracun.   "Tuan silahkan kau jelaskan maksudmu sendiri."   "Tujuanku pada Pedang darah itu!"   "Bagaimana kalau pendapatku sama dengan tuan?"   "Kita tentukan dulu urusan ini."   "Bagaimana cara penyelesaiannya?"   "Masing2 bergulat menunjukkan kepandaiannya."   "Yang tuan maksudkan kepandaian ditentukan dalam ilmu silat atau termasuk juga keahlian tuan sendiri?"   "Hehehehehe, kalau julukanku menamakan Racun didalam racun, menggunakan racun adalah sudah pasti."   "Kalau begitu"   Seru Bwe hwa hwe tiang menyeringai.   "Sementara aku ingin orangnya."   "Sementara."   Jengek Racun diracun.   "Itu berarti kelak tuan juga akan merebut pedang darah ini lagi bukan?"   "Tidak salah,"   "Baik, paling penting sekarang kita selesaikan persoalan ini dulu. Kalau begitu setelah kuperoleh Pedang darah itu biar kudesak dia keluar dari lingkungan bisa Sam pou to, hitung2 sebagai tanda rasa terima kasihku kepada kalian berdua yang sudi mengalah kepadaku."   Pada lain saat Racun diracun sudah melangkah maju mendekati Suma Bing, ketegangan mulai meruncing lagi disekitar gelanggang perebutan ini.   Ter-sipu2 Suma Bing menyelipkan Pedang darah itu kedalam ikat pinggangnya lalu bersiap siaga menjaga segala kemungkinan.   Tok tiong ci tok menghentikan langkahnya sejauh satu tombak didepan Suma Bing, jengeknya dingin.   "Suma Bing, tidak kuduga kaupun cukup hebat dalam permainan racun, sedikitpun kau tidak gentar terkena racun 'tiga tindak roboh' itu!"   "Racunmu ini terhitung barang apa?"   Ejek Suma Bing.   "Siaucu jangan kau takabur, kukira kau pernah dengar tentang Racun tanpa bayangan bukan?"   "Hm apa kau hendak menggunakan racun itu untuk menghadapi aku? Kiranya, perlu juga kuperingatkan kepadamu. Karena sebatang jinsom, sepasang muda mudi tewas karena perbuatanmu menggunakan racun tanpa bayangan itu?"   "Benar, lalu kenapa?"   "Hutang darah ini sudah kucatat dalam hatiku!"   "Sudah jangan omong kosong, serahkan saja Pedang darah itu?"   "Apa kau mampu?"   "Marilah kau coba2."   Dibarengi dengan habis ucapannya sepasang cakar hitamnya secepat kilat sudah merangsang tiba, yang satu meraup muka sedang yang lain mencengkram kearah Pedang darah, kecepatan dan kehebatannya turun tangan ini sungguh sangat menakjubkan dan mengejutkan.   Siang2 Suma Bing sudah siap siaga, disaat serangan belum merangsang tiba kedua tangannyapun sudah bergerak tidak kalah cepatnya menepuk kedepan, serangannya ini mengerahkan seluruh himpunan tenaga Kiu yang sin kang dalam tubuhnya.   Damparan gelombang panas bagai lahar gunung berapi membuat Racun diracun mau tak mau harus menyingkir mundur delapan kaki sambil mengurungkan serangannya sendiri, tak urung mulutnyapun tercetus seruan.   "Kiu yang sin kang!"   Seruan ini benar2 membuat semua hadirin tergetar kaget, sebab Kiu yang sin kang merupakan pelajaran tunggal dari Lam sia yang paling ampuh, hebat dan menjagoi didunia persilatan dimasa silam.   Namun mereka hanya pernah dengar namanya dan belum menyaksikan sendiri kehebatan ilmu yang dibanggakan itu.   Sejenak Racun diracun merandek lalu serunya lagi.   "Walaupun ilmu saktimu hebat perbawanya, sayang latihanmu belum sempurna betul" 'Wut"   Lagi sebuah jotosan keras yang dapat menghancurkan batu dan menggugurkan gunung merangsang kearah Suma Bing.   Tanpa berkelit atau menghindar Suma Bing angkat tangannya untuk menangkis.   Begitu benturan mengguntur terdengar, tubuh Racun diracun ber-goyang2 tersurut mundur setapak, sedang Suma Bing terpental mundur tiga langkah darah bergolak dirongga dadanya.   Dan dilain saat Suma Bing terhuyung mundur itu belum sempat pula pertahankan diri lagi2 Racun diracun sudah kirim dua kali jotosan pula.   Kali ini Suma Bing miringkan sedikit tubuh untuk menghindar namun tidak urung tubuhnya sempoyongan juga terdampar oleh angin pukulan.   Gerak-gerik Racun diracun sungguh sebat luar biasa seperti bayangan setan tahu2 dia melejit tiba mendekat dan sekali raup Pedang darah sudah berada ditangannya.   Gemparlah suasana gelanggang pertempuran dengan sorak sorai para hadirin, Suma Bing berseru beringas.   "Racun diracun, pada suatu hari tentu Siauyamu akan menelanmu bulat2"   Racun diracun bergelak menggila kepuasan, serunya.   "Jikalau malam ini kau tidak mati, tentu aku akan mnunggu kedatanganmu." 'Wut' tahu2 ia mengirim lagi sebuah hantaman dahsyat karena tidak menduga tubuh Suma Bing tergetar sempoyongan kebelakang dan keluarlah dia dari lingkaran berbisa itu... Begitu memutar tubuh Racun diracun melejit tinggi, sebentar saja bayangannya menghilang dikegelapan malam. Kini Pedang darah berpindah ketangan lain orang lagi, tapi ketegangan dalam arena masih sedemikian tegang mencekik leher. Maka dalam waktu yang bersamaan segera Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe berbareng mendesak dan menubruk kearah Suma Bing. Kedua mata Suma Bing melotot hampir keluar menatap kearah Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio, sampai pada detik itu ia masih belum jelas akan sebab musabab mengapa kedua orang ini berkukuh hendak menamatkan riwayatnya. Tanpa banyak mulut lagi Ketua Bwe hwa hwe segera mengayun kedua tangannya dilancarkannya pukulan jarak jauh yang dahsyat sekali. Bersamaan itu Pek hoat sian nio pun tidak mau ketinggalan, cepat2 tangannyapun diayun mengirim serangannya yang tidak kalah pula kehebatannya. Dua gembong persilatan kelas wahid bersama melancarkan pukulannya betapa kuat dan hebat perbawanya seumpama gunungpun bisa gugur. Dasar sifat Suma Bing memang keras kepala dan angkuh sekali, tanpa mau berkelit iapun menggerakkan tangannya menangkis. Letak kedudukan Pek hoat sian nio dan Ketua Bwe hwa hwe kebetulan berlawanan, maka kedua kekuatan pukulan mereka menjadi saling hantam dan saling bentur dengan dahsyatnya, suara mengguntur menggetarkan seluruh gelanggang, saking keras benturan angin pukulan ini Suma Bing tergulung sungsang sumbel dan terpental setombak lebih, darah bagai air mancur menyemprot dari mulutnya. Sungguh sangat kebetulan karena getaran kekuatan benturan itu tubuh Suma Bing terpental balik lagi kedalam lingkaran berbisa itu malah. Ketua Bwe hwa hwe dan Pek hoat sian nio melengak. Bahwa racun 'tiga tindak roboh' merupakan salah satu bisa paling lihay dikolong langit, sudah tentu mereka tidak berani memandang enteng, namun garis tengah lingkaran berbisa itu tidak kurang dari tiga tombak, kalau kirim serangan jarak jauh dari luar lingkaran Suma Bing masih dapat dipukul mampus. Sebaliknya kalau mau menawannya hidup2, rasanya tidaklah begitu gampang. Sejenak berpikir, berobah pikiran Ketua Bwe hwa hwe, katanya kepada Pek hoat sian nio.   "Sian nio, aku merobah pendirianku, kubatalkan maksudku semula"   "Jadi kau hendak mengundurkan diri?"   "Tidak, aku ingin membunuhnya."   Mau tak mau Pek hoat sian niopun harus berpikir, lantas sahutnya.   "Kalau begitu aku pun hanya ingin bertanya beberapa patah kata saja!"   "Kalau begitu silahkan lebih dulu."   Sinar mata Pek hoat sian nio setajam ujung gunting menatap kearah Suma Bing, desisnya.   "Suma Bing, kau ini murid atau cucu murid Lam sia?"   "Tidak perlu kau tahu."   Jengek Suma Bing.   "Jawablah pertanyaanku sebenarnya, aku tidak akan..."   "Tidak bisa."   Berobah kelam air muka Pek hoat sian nio, hardiknya gusar.   "Suma Bing, dulu beruntung kau masih hidup, tapi hari ini jangan harap kau dapat hidup. Dengar, hanya dua jari tanganku saja jarak sejauh tiga tombak masih dapat meremukkan batok kepalamu."   "Mengapa tidak kau coba turun tangan?"   Jengek Suma Bing sambil mengertak gigi.   "Kau sangka aku tidak mampu membunuhmu, hehehe..." diiringi, suara tawanya dua jari tengah dirangkapkan terus menutuk lempang kedepan, seketika mendesis angin tutukan jarinya melesat bagai anak panah kearah Suma Bing. Sedikit menggeser kaki dan miringkan tubuh tanpa banyak mengeluarkan tenaga Suma Bing menghindarkan serangan hebat ini. Melihat serangannya gagal Pek hoat sian nio mendesis geram, kedua tangannya bergerak cepat mempergencar serangannya, dirabu serangan bertubi2 ini, Suma Bing gertakan gigi sambil angkat tangannya untuk menangkis. 'Blang' Suma Bing tersurut mundur terhuyung. Dan sebelum ia berdiri tegak secepat itu pula Pek hoat sian nio telah lancarkan lagi serangan serupa tadi, sepuluh jari tangannya bergantian menyelentik, lengking pantulan angin jarinya berseliweran bagai kilat melesat me-nyamber2. Terpaksa Suma Bing harus berputar jumpalitan untuk selamatkan diri walaupun tempat penting tidak terserang tak urung pundaknya tertembus juga berlobang hingga darah membanjir keluar membasahi tubuh, sakitnya sampai meresap ketulang sumsum. Tengah Pek hoat sian nio menarik kembali tangannya dan sebelum melancarkan lagi serangannya. Sambil menggereng keras Suma Bing melejit keluar dari lingkaran berbisa langsung menubruk kearah Pek hoat sian nio, dimana kedua tangannya bergerak bergantian sekaligus ia lancarkan dua belas kali pukulan balasan. Perbuatannya ini boleh dikata sudah nekat beringas seperti orang gila, setiap kali pukulannya mengandung tenaga yang dapat menghancurkan batu. Pek hoat sian nio kena terdesak mundur tiga langkah. Agaknya Suma Bing sudah kelewat membenci lawannya tidak kepalang tanggung tipu Liu kim hoat ciok dilancarkan. Pek hoat sian nio terdesak lagi mundur selangkah dan balas memukul tiga kali, dimana angin ribut bergulung membumbung tinggi keangkasa Suma Bing tersurut mundur tergetar oleh pukulan balasan lawan. Kini agaknya Pek hoat sian nio sudah marah besar, mulutnya menggeram lirih, dimana kedua tangannya bergerak dan diayun bayangan tangan ber-lapis2 seakan ribuan banyaknya semua menungkrup kearah tubuh Suma Bing, ditengah gemuruhnya angin pukulannya samar2 terdengar suara geledek yang mengguntur. Kedua mata Suma Bing melotot merah membara, merabu kedalam bayangan pukulan lawan berkali2 ia lancarkan serangan dahsyat tanpa hiraukan lagi keselamatan diri sendiri. Cara bertempur yang nekad ini mau tak mau membuat Pek hoat sian nio gentar dan kecut hati. Tapi hakikatnya kepandaian Suma Bing memang masih kalah jauh, pada benturan pukulan kedelapan Suma Bing terpekik seram darah menyembur keras dari mulutnya dan tepat menyemprot deras kemuka Pek hoat sian nio, tubuhnya lantas roboh terkapar diatas tanah. Pek hoat sian nio menyeka noda darah dimukanya terus angkat tangan hendak menepuk kepala Suma Bing...   "Berhenti!"   Tiba2 menggelegar sebuah suara bentakan. Serta merta Pek hoat sian nio menghentikan tangannya dan undur selangkah, seorang berkedok mengenakan pakaian warna hijau tahu2 sudah menghadang didepan Suma Bing.   "Siapa kau?"   "Kaum keroco dari Bu lim, tidak perlu aku memperkenalkan diri, akulah kawan karib Suma Bing."   "Hm, kau hendak apa?"   "Ada dendam atau permusuhan apa antara Sian nio dengan Suma Bing, kenapa kau pasti harus membunuhnya?"   "Kau jangan turut campur, tidak akan kuberitahu padamu."   "Bukankah tujuanmu hanya ingin bertanya sepatah kata saja kepadanya? Baik, aku akan mewakilinya menjawab." "Kau... kau bisa menjawab pertanyaanku tadi?"   "Benar, dia murid Lam sia dan si Sesat tua itu sekarang sudah meninggal..."   Saat itulah Ketua Bwe hwa hwe sudah perdengarkan suaranya tawanya.   "Sian nio, kini urusanmu sudah selesai bukan?"   Keras2 Pek hoat sian nio mendengus hina terus putar tubuh tinggal pergi, si gadis baju putih Ting Hoan segera ikut dibelakangnya, sebentar saja bayangan mereka sudah menghilang. Si orang berkedok memutar tubuh menghadapi Bwe hwa hwe tiang, katanya.   "Apa benar2 Hwe tiang menginginkan jiwanya?"   "Termasuk jiwamu juga, keajaiban tidak akan terulang kembali, keberuntungan hanya didapat sekali, peristiwa di Sam ceng koan tidak akan kelakon lagi disini, kuberitahu kau, kau tiada kesempatan lagi barang sedetikpun."   Si orang berkedok bergelak tertawa, serunya.   "Aku tahu kepandaianku rendah, tapi aku tidak mengharapkan keberuntungan itu lagi."   Pada saat itulah Suma Bing sudah merangkak bangun sempoyongan suaranya gemetar.   "Bong bian heng, kau menyingkirlah"   "Saudara kecil tidak nanti aku berbuat sebodoh itu, agaknya memang kita berjodoh, nasib kita berdua naga2nya sudah terikat menjadi satu."   "Kalian berdua masih ada pesan apa tidak?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kata Ketua Bwe hwa hwe sembari mendesak maju. -oo0dw0oo   Jilid 4 13. PEK-KUT-JI = PANJI TULANG PUTIH. Bola mata Suma Bing melotot besar se-akan2 hampir melompat keluar bagaikan dua butir kelereng, katanya tajam.   "Aku menyesal karena tidak dapat membongkar kedok aslimu, lebih besar pula rasa kesalku karena belum bisa membunuh kau!"   "Hehehe, Suma Bing, sebelum ajalmu, Pun-hwe-tiang (aku ketua) boleh membantu melaksanakan keinginanmu yang pertama, begitu kau mengetahui siapakah aku ini, ku percaya kau akan mati dengan tentram."   Si orang berkedok menyapu pandang kesekitar gelanggang, dilihatnya yang hadir diluar gelanggang itu kebanyakan adalah anak buah Bwe-hwa-hwe, tahu dia bahwa harapan lolos untuk hidup sudah tak mungkin lagi, dalam saat2 keputusan harapan ini, semangat dan pikirannya malah semakin tenang dan tentram.   Ketua Bwe-hwa-hwe beralih pandang kearah siorang berkedok, katanya.   "Tuan lebih baik kau bunuh diri saja."   "Tutup mulut..!"   Hardik Suma Bing geram, namun baru dua patah kata saja mulutnya yang terpentang lebar malah menyemburkan darah segar lagi, tubuhnyapun lantas terhuyung hampir roboh.   Sementara itu si orang berkedok sudah menyahut lantang dengan gagahnya.   "Kalau aku tidak beruntung mati ditanganmu, harus kusesalkan karena kepandaianku tidak becus.   Kau ingin aku bunuh diri jangan kau sangka semudah itu."   "Ya, apa boleh buat, biar Pun-hwe-tiang menamatkan kau sekalian"   Secepat habis kata2nya tahu2 lima cakar jarinya sudah menyelonong tiba mencengkeram kearah dada si orang berkedok, cara turun tangannya boleh dikata sangat cepat dan aneh sekali.   Tidak kalah sebatnya si orang berkedok menjejakkan kakinya melejit mundur lima kaki, berbareng ia kirim sebuah pukulan mendesak lawan juga, nyata kekuatan pukulannya juga bukan olah2 kuat dan derasnya.   Ketua Bwe-hwa-hwe ganda menggerakkan tangan kiri berputar satu lingkaran mudah sekali ia punahkan kekuatan pukulan musuh, sementara tangan kananpun sudah diayun keluar...   'plak', terdengar benturan keras, si orang berkedok tergetar mundur dua langkah.   Sementara itu Suma Bing sendiripun telah menghimpun seluruh tenaganya, sambil menggeram keras ia hantam sisi punggung Ketua Bwe-hwa-hwe dari samping.   Ketua Bwe-hwa- hwe tidak menoleh dan tidak bergerak, seakan tidak merasakan sedikitpun pukulan keras itu.   "Plok"   Karena mandah diserang dengan kekerasan ini tubuh Ketua Bwe-hwa-hwe ber-goyang2, adalah Suma Bing sendiri malah terpental balik oleh tenaga pantulan yang diritul oleh kekuatan tenaga pukulannya sendiri, tubuhnya meliuk jatuh duduk dan muntah darah.   Sementara itu si orang berkedok juga telah membentak keras sambil menyerang dengan sekuat tenaga, kedua tangannya terbagi dua merangsang kedada dan perut ketua Bwe-hwa-hwe, kedahsyatan dan kelihayan tipu serangannya ini benar2 mengejutkan orang.   Dirabu pukulan sedemikian dahsyat Ketua Bwe-hwa-hwe masih tetap tenang ganda mendengus dan angkat tangan menangkis.   Begitu kedua pukulan saling beradu menggeledek si orang berkedok terpental setombak lebih, baru saja badannya berdiri tegak dan belum sempat menghela napas lega, tubuhnya sudah melayang tinggi terdampar gelombang angin pukulan musuh, disertai teriakan panjang yang bergema ditengah udara tubuhnya melambung setinggi dua tombak terus melayang jatuh kedalam jurang.   Suma Bing memekik kalap darah berhamburan lagi dari mulutnya.   Terpaksa dia saksikan si orang berkedok dipukul terbang masuk jurang oleh Ketua Bwe-hwa-hwe sedang dia sendiri tidak mampu menolong kawan yang sudah berulangkali menolong jiwanya.   Sudah tentu karena dipukul terjungkal kedalam jurang ini pasti badannya terbanting mampus hancur lebur.   Boleh dikata sang kawan mati karena dirinya.   Segera Ketua Bwe-hwa-hwe ulapkan tangannya serta berseru.   "Bawa pergi!"   Dua orang laki2 berpakaian sepan warna hitam segera mengiakan sambil melompat keluar terus menubruk kearah Suma Bing yang sudah tele2 tak mampu bergerak itu.   Sedetik sebelum kedua anak buah Bwe-hwa-hwe menyentuh tubuh Suma Bing itulah mendadak terdengar sebuah bentakan halus nyaring berkata.   "Cari mati!"   Disusul kedua laki2 seragam hitam itu memekik keras dan tubuhpun terus roboh binasa.   Keruan bukan kepalang gusar Ketua Bwe-hwa-hwe, sedemikian besar nyali orang berani membunuh anak buahnya terang2an didepan matanya, matanya ber-kilat2 menyapu pandang keempat penjuru namun jejak musuh tidak kelihatan, tanpa tertahan lagi segera ia membentak murka.   "Siapa itu?"   "Kau tidak berharga bertanya!"   Betapa congkak dan tinggi hati nada ucapannya ini, boleh dikata sangat berkelebihan, masa sebagai Ketua Bwe-hwa- hwe sebuah perkumpulan besar dikalangan Kangouw masih tidak sembabat mengetahui nama besar musuh, hal ini benar2 membuat semua hadirin heran dan hampir tidak percaya atas pendengarannya.   Saking murka Ketua Bwe-hwa-hwe berbalik bergelak tertawa.   "Takabur dan congkak benar ucapanmu tuan, kenapa tidak lekas kau unjukkan diri. Apa malu bertemu dengan orang?"   Seruan nyaring merdu tadi terdengar lagi, kali ini mengandung ancaman seram yang susah dijajaki.   "Minta aku muncul boleh, namun apakah semua hadirin rela meninggalkan semua tulang belulangnya diatas puncak bukit ini?"   Mendengar ancaman ini, dingin perasaan Ketua Bwe-hwa- hwe, ter-sipu2 ia maju menghampiri mayat kedua anak buahnya, begitu ia melihat tegas semangatnya bagai terbang ke-awang2, badannyapun sempoyongan mundur tiga tindak, suara perintahnya gemetar dan ketakutan.   "Semua. Mundur!"   Begitu perintah diserukan semua anak buahnya berserabutan lari jungkir balik turun gunung bagai dikejar setan, dalam sekejap mata saja semua sudah menghilang dikegelapan malam.   Suma Bing sendiripun tidak kurang kejut dan herannya, entah orang kosen macam apa yang sudi mengulurkan tangan menyelamatkan jiwanya.   Sampai Ketua Bwe-hwa-hwe yang bukan olah2 lihay kepandaian dan tinggi kedudukannyapun lari ketakutan.   Tengah ia me-nebak2 itu serta merta pandangan matanya lantas tertuju kearah kedua mayat yang rebah tidak berapa jauh dari dirinya itu.   Begitu melihat apa yang menggeletak disampingnya itu arwahnya se-olah2 melayang pergi dari badan kasarnya, tubuhnya bergidik merinding.   Kiranya dalam sekejap mata ini kedua mayat itu kini hanya tinggal tulang belulangnya saja yang memutih jelas ditengah kegelapan malam, diatas kedua tulang2 itu tertancap masing2 sebuah panji kecil terbuat dari sutera, ditengah panji itu tersulam gambar sebuah tengkorak dengan dua batang tulang bersilang.   Lantas teringatlah ia akan cerita suhunya mengenai asal- usul panji tengkorak bersilang ini.   Kiranja panji itu bernama Pek-kut-ji (panji tulang putih), pertanda khas dari Pek-kut Hujin seorang momok wanita yang menggetarkan dunia persilatan pada enam puluhan tahun yang lalu.   Setiap kali dimana panji serupa itu muncul, meski betapa lihay atau tinggi ilmu silatnya, begitu terkena panji keramat ini dalam sekejap mata saja, pasti badannya hancur menjadi cairan air darah dan tinggal kerangka tulangnya saja.   Maka begitu melihat panji sakti ini tiada seorang pun kaum persilatan yang tidak segera lari lintang-pukang menyelamatkan diri.   Bahwa sekarang Pek-kut Hujin mendadak muncul disini, hal ini benar2 diluar dugaan siapapun.   Apa mungkin gembong iblis wanita itu sekarang masih hidup? Kenapa pula dia mau menolong jiwanya? Suma Bing tidak habis mengerti, lama dan lama sekali suasana tetap tenang tanpa ada reaksi apa-apa.   Akhirnya hilang kesabaran Suma Bing, segera ia berseru keras.   "Apakah Pek-kut Hujin Tjianpwe yang kesudian menolong jiwaku yang rendah ini?"   Baru kali inilah Suma Bing menyebut orang dengan panggilan "Tjianpwe"   Selama ini. Beruntun tiga kali ia berseru bertanya tanpa penyahutan atau reaksi apapun jua, heran dan curigalah hatinya, batinnya.   "Aneh, mengapa dia membantu diriku? Belum lama ini aku berkelana di Kangouw, tiada seorang juga yang mengetahui tentang asal-usulku. Mungkin karena memandang muka Suhu maka dia sudi menolong aku, namun mengapa dia tidak unjukkan dirinya, sampai setengah patah katapun tidak diucapkan, munculnja secara misterius perginyapun sangat aneh..."   Luka dalam tubuh Suma Bing sangat parah, setelah terluka berat dia terlalu banyak menggunakan tenaganya pula, boleh dikata tenaga murninya sudah ludas sama sekali, untung dia melatih Kiu-yang-sin-kang yang khusus sangat berguna untuk melindungi urat nadi, kalau tidak mungkin sejak tadi ia sudah tewas.   Begitulah setelah ter-longong2 sekian lamanya ia coba kerahkan tenaga untuk berobat diri, siapa tahu begitu tenaga murninya berkembang seketika ia merasakan diantara ketigapuluh enam jalan darah besarnya, tujuh diantaranya bumpet(tertutup) tak tertembuskan, bagaimanapun ia sudah susah payah kerahkan tenaganya untuk menjebol rintangan itu tetap nihil hasilnya, keruan dalam hati ia mengeluh dan putus asa.   Kalau tiada obat mujarab dan tenaga luar yang membantunya, tentu tenaga sendiri takkan mampu membobol jalan darahnya yang buntu itu.   Kalau jalan darah buntu terlalu lama tidak matipun pasti dirinya menjadi tanpa daksa alias cacat seumur hidup.   Selang berapa lama setelah beristirahat ia coba kerahkan lagi tenaganya, seketika ia rasakan seluruh tubuh tergetar hebat, tenaga murni yang terkerahkan menerjang balik dengan kerasnya kontan ia jatuh pingsan tubuhnyapun terus roboh terlentang.   Sang malam dengan cepat telah berlalu, suasana dalam puncak bukit itu masih sedemikian sunyi, alam sekelilingnya masih diliputi kabut tebal, tak lama kemudian puncak bukit itu sudah bermandikan sinar sang surya yang memancar terang benderang, hawa cerah menyejukkan badan.   Per-lahan2 Suma Bing siuman dari pingsannya, perasaan pertama yang dirasakan saat itu ialah bahwa rasa kesakitan seluruh tubuh semalam kini sudah hilang sama sekali, sebaliknya semangat me-nyala2 tenaga penuh gairah, sejenak ia meng-ucek2 matanya lalu merenungkan apa yang telah dialaminya semalam.   Kedua kerangka tulang disampingnya masih ada hanya panji kecil itu yang telah lenyap.   Bergegas ia melompat bangun sambil berseru kejut dan heran.   Siapakah yang telah menolong dirinya? Bau semerbak wangi terbawa angin merangsang hidungnya membuat ia sadar dari rasa kejutnya dengan penuh kewaspadaan matanya menyapu pandang keempat penjuru.   Seketika ia melonjak kaget lagi, terlihat terpaut lima kaki dibelakangnya berduduk wanita cantik molek bagai bidadari yang seluruh tubuhnya penuh bersolek dengan berbagai perhiasan yang tak ternilai harganya, kedua matanya tengah terpejam, kedua pipinya juga bersemu kemerahan, kiranya orang tengah istirahat memulihkan tenaga.   Teringat olehnya waktu semalam ia menonton pertempuran bersama si orang berkedok dibelakang batu besar itu, wanita cantik ini yang pernah mendadak membuka suara kepada mereka.   Siapakah dia? Tak perlu disangkal lagi, ia inilah yang telah menolong jiwanya dengan tenaga dalamnya, karena pengerahan tenaga yang ber-limpah2 untuk menyembuhkan lukanya, maka kini orang tengah bersamadi untuk memulihkan tenaga sendiri.   Wanita ini boleh dikata secantik bidadari dari kahyangan namun dari kecantikannya itu mengandung juga sikapnya yang dingin dan angkuh, dari keangkuhan ini timbul perbawanya yang agung membuat orang yang melihatnya merasa tunduk dan keder.   Siapakah dia? Tak putus2 benak Suma Bing ber-tanya2.   Lantas dia teringat akan nama Pek-kut Hujin yang kedengaran suaranya dan tidak kelihatan wujudnya semalam, hanya dengan dua panji kecil kiranya cukup untuk menggebah pergi ketua Bwe-hwa-hwe yang terkenal kejam dan besar pengaruhnya itu lari lintang pukang.   Mungkin dia inilah...   bergidik seram bila ia teringat akan nama itu.   Tapi akhirnya ia geli sendiri akan kekuatirannya sendiri, karena pikiran demikian agaknya sangat ganjil dan jenaka.   Pek-kut Hujin sudah tenar pada enampuluh tahun yang lalu, tingkat kedudukan dan ketenaran namanya jauh lebih unggul dari Bu-lim-su-ih, apalagi wanita dihadapannya ini dilihatnja kira2 baru berusia 20-an lebih.   Tengah pikirannya me-layang2 itulah, wanita itu sudah berdiri lemah gemulai, mengunjuk senyum manis kearah Suma Bing, syur, jantung Suma Bing melonjak keras bagai kesetrum aliran listrik matanya kesima melihat senyuman yang mempesonakan itu.   Sejenak Suma Bing menenangkan gejolak hatinya terus membungkuk memberi sapa hormat.   "Terima kasih atas bantuan nona tadi."   "Ah bantuan tak berarti, tak perlu dirisaukan"   Sahut wanita itu sambil ulapkan tangannya.   "Cayhe harus membedakan antara rasa kebencian dan kebaikan budi, aku tidak sudi menerima kebaikan orang secara gratis!"   "Lalu kau mau apa?"   "Harap sebutkan nama besarmu, biar kelak kubalas kebaikan hatimu ini."   "Cara bagaimana kau hendak membalas kebaikan budiku?" "Ini... mungkin aku bisa berbuat sesuatu untukmu... atau..."   "Tapi aku tidak mengharap balas budimu itu?"   "Kebebasan terletak padaku!"   Wanita itu sedikit menggeleng kepala, katanya.   "Aku tiada sesuatu apa buat kau kerjakan, seumpama ada..."   "Bagaimana?"   "Kau tidak akan mampu melakukan?"   Suma Bing bersikap sungguh2.   "Coba kau katakan?"   "Coba kutanya dulu, apa kedatanganmu ini khusus hendak merebut Pedang darah itu?"   "Hanya kebetulan saja kepergok disini, tapi cayhe me mang pasti harus mendapatkan pedang darah itu!"   "Jadi maksud tujuanmu sama dengan mereka kaum persilatan itu?"   "Tidak!"   "Itulah aneh..."   "Sebab... sebab..."   Suma Bing ragu2 untuk menerangkan asal usul dirinya.   "Sebab apa?"   Desak wanita ayu itu. Sekian lama Suma Bing bimbang dan ragu, akhirnya ia berkata juga.   "Sebab Pedang darah itu seharusnya menjadi hak milikku."   "Bagaimana maksud ucapanmu itu?" "Karena ayah-bundaku tewas setelah memiliki Pedang darah itu."   Berobah pucat wajah wanita cantik itu, badannya mundur satu tindak, katanya penuh perasaan.   "Apa, jadi kau inilah putra Su-hay-yu-hiat Suma Hong?"   Suma Bing mengiakan sambil mengangguk serta menggertak gigi.   Tubuh wanita cantik itu gemetar karena menahan perasaan hatinya, lama dan lama sekali ia terlongo memandang wajah Suma Bing.   Suma Bing sendiripun tengah keheranan melihat perobahan sikap wanita misterius ini entah mengapa orang mendadak berobah sedemikian serius dan terbawa oleh perasaan hatinya.   Apa mungkin dia salah seorang sahabat kental ayah semasa masih hidup, atau...   Lagi2 airmuka si wanita berobah dan bertanya.   "Konon kalian bertiga sudah ketimpa bahaya semua..."   "Cayhe tersapu jatuh kedalam jurang dan kebetulan tertolong oleh In-su Sia-sin Kho Jiang!"   "Oh, untung keluarga Suma masih ada keturunan, kau tahu siapa aku?"   Suma Bing melengak, sahutnya gagap.   "Ini... harap suka kau perkenalkan diri..."   "Akulah bibimu Ong Fong-jui!"   Saking kejut Suma Bing berdiri melongo tertegun hampir saja dia tidak percaya pada pendengarannya, bahwa wanita ayu bersolek ini ternyata adalah bibinya, benar2 mimpi juga takkan terduga sebelumnya.   Kelopak mata Ong Fong-jui merah ber-kedip2, katanya.   "Suma Bing, apa kau sudah tahu siapa2 saja para musuhmu itu?"   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Sejak kecil mengalami bencana dan hidup dalam penderitaan, sekali bertemu dengan salah seorang famili yang terdekat, tanpa merasa airmata Suma Bing meleleh deras sahutnya.   "Saat ini baru kuketahui Tang-mo seorang, entahlah yang lain, apa Bibi Jui..."   "Akupun tidak tahu, setelah peristiwa itu terjadi baru aku dengar tentang kabar jelek itu. Sekarang untuk mengetahui jelas duduk perkara peristiwa dipuncak kepala harimau itu, hanya Tang-mo seoranglah yang dapat memberi keterangan."   "Pikiran Tit-ji (keponakan) juga begitu, sayang kemaren Tang-mo dapat melarikan diri."   "Saat ini kau masih bukan tandingan Tang-mo, akupun datang terlambat, kalau tidak takkan mungkin dia dapat lolos!"   Suma Bing menghela napas sedih katanya.   "Kalau bukan karena pertolongan Bibi, mungkin aku sekarang sudah tewas!"   "Urusan sudah berlalu, sudahlah tak perlu diungkit lagi."   "Tidak dapat tidak aku harus merebut kembali Pedang darah itu dari tangan Racun diracun"   "Itu urusan kecil. Yang penting kau harus segera mengerjakan urusan besar, hanya... mungkin terlalu sukar!"   Suma Bing melengak.   "Urusan kecil? Lalu urusan besar apakah itu?"   "Kalau kau bisa mendapatkan Mo-hoa (bunga iblis), tidak sukar kau menjadi tokoh paling kosen dijagad ini." "Memang Tit-ji sudah ada maksud itu,"   Sahut Suma Bing penuh perasaan.   "Pesan Suhu juga begitu, tapi entah dimanakah Mo-hoa itu..."   "Menurut apa yang kutahu,"   Sambung Ong Fong-ju.   "Mo- hoa berada ditangan seorang Tjianpwe gembong Iblis wanita."   "Siapa dia?"   "Bu-siang-sin-li!"   "Bu-siang-sin-li?"   "Benar, usia Bu-siang-sin-li sudah seabad lebih, betapa tinggi kepandaiannya, benar2 susah dibayangkan. Seumpama Bu-lim-su-ih bergabung mengeroyoknyapun belum tentu dapat selamat dari kehebatannya."   Tergetar hati Suma Bing, tanyanya.   "Bagaimana kalau dibanding Pek-kut Hujin?"   Berobah wajah Ong-Fong-jui.   "Kau tahu tentang Pek-kut Hujin?"   "Bibi Jui."   Ujar Suma Bing sambil menunjuk dua kerangka tulang tidak jauh itu.   "Masa kau tidak melihat inilah buah karya Pek-kut Hujin itu."   Ong Fong-jui tersurut mundur, katanya.   "Aku pernah pergi beberapa saat lamanya, waktu kembali lagi keadaan disini sudah sepi tanpa seorangpun, kulihat kau jatuh pingsan dan terluka parah, maka buru2 kumengobatimu, maka tidak sempat aku memperhatikan segalanya"   "Sebelumnya Bibi Jui belum tahu siapa aku, mengapa kau menolong aku?"   "Mungkin inilah jodoh aku tidak tega melihat seorang berbakat seperti kau harus mati secara konyol."   "Tentang kepandaian Bu-siang-sin-li..." "0h, Pek-kut Hujin juga bukan tandingan Bu-siang-sin-li."   "Kalau begitu berarti Bu-siang-sin-li sudah tanpa tandingan diseluruh kolong langit?"   "Selama seratus tahun belakangan ini tiada seorangpun yang berkepandaian sejajar dengan Bu-siang-sin-li. Tapi apakah Bu-siang-sin-li masih hidup, ada tidak muridnya, ini merupakan teka-teki."   Mencelos perasaan Suma Bing.   "Jadi Bunga iblis itupun hanya merupakan dongeng saja?"   "Belum tentu, kejadian dijagad ini mengutamakan jodoh, tiada halangan kau men-coba2 keberuntungan itu."   "Cara bagaimana mencobanya?"   "Konon Bu-siang-sin-li mengasingkan diri digunung Bukong- san, tentang alamatnya yang pasti tiada seorangpun yang tahu, boleh kau pergi ke Bu-kong-san mencoba keberuntunganmu, siapa tahu kau berjodoh..."   "Lalu bagaimana dengan Pedang darah itu?"   "Ini... sudah pernah kukatakan itu urusan kecil kalau kau bisa mendapatkan Bunga iblis itu, Pedang darah pasti dikembalikan kepadamu!"   "Maksud Bibi hendak..."   "Saat ini terlalu pagi mempersoalkan itu."   "Aku masih ada hal2 yang belum kumengerti."   "Soal apakah itu?"   "Pek-kut Hujin itulah. Mengapa dia turun tangan menolong aku? Dan lagi, dengan kepandaiannya yang tinggi, kalau toh dia sudah datang, mengapa mandah saja. membiarkan Racun diracun seenaknya membawa lari Pedang darah itu?" "Mungkin ada latar belakang yang susah dimengerti orang luar."   Se-konyong2 terdengar sebuah suitan panjang berkumandang ditengah udara. Ong Fong-jui berkerut kening, katanya.   "Bing-tit, aku harus pergi, jagalah dirimu baik2..."   Entah cara bagaimana bergerak tubuh yang lemah semampai itu mendadak berkelebat hilang dalam sekejap mata, gerak tubuhnya itu benar2 membuat Suma Bing melongo heran melelet lidah.   Terang dia pergi karena tertarik oleh suitan panjang tadi, lalu siapakah orang yang bersuit panjang itu? Dari wajah dan bentuk tubuh Ong Fong-jui yang agung menggiurkan itu, lantas teringat ia akan kecantikan ibunya San-hoa-li Ong Fong-lan tentu tidak kalah ayu dan rupawan, meski dalam ingatannya tiada setitikpun bayangan ibunya, namun dapatlah dibayangkan dari Bibinya jni, karena mereka adalah saudara sekandung tentu tidak banyak bedanya.   "Buyung, tak duga kau inilah keturunan Suma Hong!"   Sebuah suara mengejutkan Suma Bing dari lamunannya, ter-sipu2 ia berpaling dilihatnya seorang tua pendek buntak dengan rambut beruban tengah berlenggong menghampiri kearahnya.   Kiranja itulah To-sing-tau-gwat Si Ban-tjwan simaling bintang.   Jelas bahwa si maling tua ini agaknya sudah lama sembunyi disini.   Suma Bing merangkap tangan memberi hormat, ujarnya.   "Tuan, tak duga kita bertemu lagi disini."   "Hehehihi, benar sembarang waktu pasti dapat bertemu lagi."   "Tuan sudah lama datang bukan?" "Dikata lama tidak lama, kira2 sepeminuman teh, hanya aku si maling tua ini paling sayang akan jiwaku, tidak berani sembrono unjukkan diri!"   "Mengapa?"   Tanya Suma Bing tidak mengerti. Bola mata si maling bintang Si Ban-tjwan jelalatan menyapu pandang kesekelilingnya, sambil menggeleng ia menyahut.   "Tidak mengapa, si maling tua ini ada satu persoalan hendak kusampaikan kepadamu."   "Coba katakan."   "Apa kau benar2 putra Suma Hong?"   "Masa aku bohong, apa perlunya aku meng-aku2 menjadi anak orang?"   "Kalau begitu baik, kukasih tahu, bahwa ibundamu San hoa-li Ong Fong-lan sebenarnya belum mati."   Tiba2 seluruh tubuh Suma Bing gemetar hebat, tanyanya.   "Tuan bilang apa?"   "Ibumu masih hidup!"   "Ah!"   Suma Bing tersurut tiga langkah, kedua matanya terbelalak bagai dua biji kelengkeng, saking haru dan menahan perasaan jidatnya basah oleh keringat. Sungguh diluar dugaannya bahwa ibunya ternyata masih hidup.   "Benarkah ucapan tuan?"   "Masa orang setua aku ini masih main guyon dan membual kepadamu!"   "Dia... dia... dimanakah ibu sekarang?"   "Hal ini aku tidak tahu!"   Suma Bing menarik muka keren, katanya.   "Tuan berani bicara apakah ada buktinya?"   "Bukti, aku si maling tua sendiri yang melihatnya, seluruh kolong langit ini yang tahu bahwa ibumu masih hidup mungkin hanya dua orang, satu adalah aku, dan yang lain adalah suhengmu..."   "Loh Tju-gi?"   "Benar."   "Coba tuan tuturkan secara jelas."   Sambil mengurut jenggot putihnya mulailah si maling bintang berkisah per-lahan2.   "Limabelas tahun yang lalu, karena memperebutkan Pedang darah terjadilah penyembelihan besar2an kaum persilatan dipuncak Hou-thau-hong digunung Tiam tjong san. Waktu Lohu mendengar berita, dan memburu tiba, suasana sudah sunyi pertempuran sudah bubar. Tapi, suatu tragedi yang mengenaskan diluar batas tengah terjadi... Seorang wanita memeluk putranya yang terluka parah empas empis tengah menyembah dan memohon kepada seorang laki2 supaya dia suka menolong putranya, sebab jalan darah pengantar anak itu sudah putus, dijagad ini hanya Kiu yang sin kanglah yang dapat menolong jiwa kecil itu, sedang laki2 itu justru melatih ilmu sakti semacam itu..."   "Diakah Suhengku Loh Tju-gi?"   "Dengar ceritaku. Laki2 itu melulusi untuk menolong anak itu dengan suatu syarat, syarat kejam diluar prikemanusiaan, demi hidup anaknya terpaksa wanita itu melulusi..."   "Syarat apakah itu?"   Tanya Suma Bing gemetar.   "Dia minta tubuh si wanita itu."   Gelap pandangan Suma Bing, tubuhnya sempoyongan hampir roboh. Sambung si maling tua lagi.   "Setelah menodai tubuh si wanita itu, laki2 itu mengingkari janjinya, dia tidak mau mengobati anak itu. Melihat jiwa anaknya semakin meregang dan dia sendiri tak mampu berbuat apa2, tidak tega pula melihat penderitaan anaknya sebelum ajal itu, segera ia mencabut sebuah cundrik dan menusuk sekali didada anak itu, lalu berlari turun gunung sambil tertawa menggila, dia bersumpah hendak menuntut balas..."   "Bangsat rendah!"   Teriak Suma Bing, darahpun berhamburan dari mulutnya. Setelah merandek sejenak si maling tua melanjutkan lagi penuturannya.   "Buyung, mungkin kau mencaci aku karena tidak berusaha memberi pertolongan, ai, kalau dikatakan aku sangat menyesal. Waktu itu baru saja aku terkalahkan oleh Pak-tok, Hian-in-kang membuat seluruh kepandaian Lohu amblas sama sekali, maka... untuk selanjutnya kuharap dapat membantu kau membalas sakit hatimu, untuk menebus penyesalanku dulu."   Suma Bing membelalak geram, hatinya mendelu dan pedih seperti di-iris2.   Loh Tju-gi menipu dan memperkosa ibunya, salah seorang pembunuh ayahnya juga dalam perebutan Pedang darah.   Loh Tju-gi dengan tipu muslihat keji mencelakai jiwa suhunya pula, menurut pesan suhunya murid murtad ini harus dibunuh dan dihancur leburkan.   Demi nama perguruan dia harus dibunuh, demi dendam kesumat keluarganya lebih2 dia harus dihancurkan.   Jelas para musuh besar yang telah diketahui yaitu Tang-mo dan Loh Tju-gi berkepandaian lebih tinggi dari dirinya, maka lebih besar lagi niat dan tekadnya untuk dapat melatih kepandaian tertinggi Tiraik asih Websi tehttp.// kangz usi.co m/ tiada taranya diseluruh jagad raya.   Sekarang tujuan utamanya harus merebut kembali Pedang darah, lalu mencari Bunga iblis.   Bersama itu diapun ingin segera dapat menemukan jejak ibunya, asal ibunya sudah ketemu, seluruh musuh2nya pasti dapat diketahui dan tak usah mesti me-raba2.   Lantas terbayang juga olehnya bahwa ibunya adalah wanita paling tak beruntung dan paling menderita didunia ini.   Suatu pikiran yang seram menakutkan mulai bersemi dalam hati kecilnya.   Bunuh! Semua manusia tamak, licik, rendah dan jahat serta telengas diluar peribudi kaum persilatan harus dibunuh dan dihancurkan.   Menghela napas panjang si maling bintang berkata lagi.   "Buyung, kau harus mencari dulu ibumu, baru setelah itu memperhitungkan cara2 untuk menuntut balas."   Suma Bing menggertak gigi, sahutnya.   "Terima kasih atas petunjuk tuan."   Tubuhnya melejit dengan kecepatan terbang ia berlari turun gunung.   Mengawasi bayangan Suma Bing To-sing-tau-gwat Si Bantjwan menghela napas panjang.   Kini kita ikuti perjalanan Suma Bing, sambil menyandang hati yang penuh gelora kemarahan dan keperihan, ia berlarian cepat turun gunung.   Mendadak teringat olehnya akan nasib si orang berkedok yang terpukul jatuh kedalam jurang oleh Ketua Bwe-hwa-hwe itu.   14.   SETAN BARAT DJEBUL ADALAH KEKASIH SI SESAT DARI SELATAN.   Boleh dikata si orang berkedok mati lantaran dirinya, paling tidak ia harus mencari jenazahnya dan dikubur selayaknya.   Maka segera ia putar balik dan berlari menuju kekaki jurang terus memasuki sebuah selat sempit, selama kurang lebih beberapa jam lamanya ia sudah obrak-abrik seluruh lembah itu, jejak jenazah si orang berkedok belum juga diketemukannya, dia heran dan tak habis mengerti, batinnja.   "Apa mungkin dia belum mati? Tapi jatuh dari puncak beratus meter tingginya, mustahil kalau tubuhnya tidak terbanting hancur lebur, namun kenyataan ini benar2 sukar dipercaya. Setelah direnungkan sekian lamanya, akhirnya dia ambil keputusan tak peduli si orang berkedok sudah meninggal atau belum, dia wajib menuntut balas kepada Ketua Bwe-hwa-hwe. Dan yang harus disesalkan bahwa sampai pada detik itu sedikitpun dia belum mengetahui tentang asal-usul si orang berkedok. Siapakah namanya dan bagaimana riwayat hidup si orang berkedok, entahlah dia tak tahu apa2, terutama yang lebih mengherankan adalah si orang berkedok ternyata rela menjual jiwanya untuk kepentingannya. Kalau seandainya si orang berkedok benar2 mati maka teka-teki ini takkan mungkin dapat dipecahkan untuk selamanya."   Tahu2 sebuah bayangan hitam muncul kira2 tiga tombak dihadapannya.   Rambutnya terurai panjang, pakaiannya serba hitam, kepalanya tertutup rapat oleh rambutnya yang terurai panjang.   Dialah wanita misterius yang membongkar Kuburan Tiang-un Suseng itu.   Bahwa wanita serba hitam dengan rambut terurai panjang ini bisa muncul ditempat semacam itu benar2 diluar dugaan Suma Bing.   Maka segera terlintaslah akan pesan suhunya dulu bahwa dia dilarang menghadapi orang yang pandai menggunakan ilmu Pek-pian-kui-djiau, sejenak ia ragu2 pikirnya.   "Apa lebih baik aku menyingkir saja."   Maka dia lantas memutar tubuh hendak tinggal pergi.   Sebelum ia bergerak mendadak pandangannya terasa kabur, tahu2 si wanita serba hitam itu telah menghadang didepannya.   Pedang Darah Bunga Iblis Karya GKH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tanpa merasa Suma Bing mengerut kening, naga2nya dia memang tengah mencari dirinya.   Demi mematuhi pesan suhunya dia takkan bergebrak dengan orang, maka sesaat sikapnya menjadi kikuk dan risi sekali.   Si wanita serba hitam sudah membuka suara.   "Suma Bing, sungguh tak tersangka kau inilah kiranya murid Lam-si itu..."   Suma Bing melengak heran, tanyanya.   "Memangnya kenapa?"   "Kalau sejak dulu kuketahui, aku sudah harus membunuhmu!"   Terperanjat Suma Bing, serunya.   "Membunuh aku? Kenapa?"   Sahut wanita serba hitam penuh rasa kebencian.   "Karena aku telah mengecap penderitaan selama tigapuluh tahun dalam penjara!"   Suma Bing garuk2 kepala ter-heran2, bahwa orang telah dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, sedang dirinya sejak lahir dari kandungan ibunya belum cukup dua puluh tahun umurnya, bagaimana hal itu harus dijelaskan.   Betul, tentu hal ini menyangkut akan sepak terjang Suhunya semasa masih hidup.   Tapi justru Suhunya berpesan supaya dirinya tidak turun tangan berkelahi dengan lawannya ini, ini benar2 lucu dan susah dimengerti, maka dia lantas menyahut dingin.   "Apakah karena Suhuku itu?" "Benar!"   Suma Bing membatin.   "Kalau bukan karena pesan suhu yang harus dipatuhi itu, mungkin kau sudah kubunuh lebih dulu."   Maka sambil mendengus ia berkata lagi.   "Kau dipenjarakan selama tigapuluh tahun ada sangkutpaut apa dengan aku?"   "Soal ini menyangkut suhumu itu, sedang kau adalah muridnya!"   "Karena alasan itu lantas kau hendak membunuhku?"   "Kenapa tidak?"   "Apa kau mampu?"   "Kau boleh coba2."   "Kukasih tahu dulu karena aku tidak ingin melanggar pantangan suhu maka aku tidak sungguh2 melayani kau, memangnya kau sangka aku takut padamu."   "Pantangan apakah itu?"   "Tidak perlu kuberitahu kepadamu."   "Huh, Suma Bing, akupun tidak mengharap kau memberitahu, sekarang kau ikut aku!"   "Ikut kau, mengapa?"   "Kaupun tidak perlu bertanya, sampai saatnya kau akan tahu sendiri."   "Kalau begitu maaf aku tidak ada minat."   Tiba2 wanita serba hitam itu mendesak maju dua tindak, suaranya bengis mengancam.   "Kau mau ikut tidak?"   Naga2nya kalau Suma Bing berani menjawab "tidak"   Pasti segera ia turun tangan menyerangnya.   "Kalau kau tidak jelaskan alasanmu,"   Jengek Suma Bing dengan angkuhnya.   "Kenapa aku harus ikut kau pergi?"   Apa boleh buat terpaksa si wanita serba hitam berkata.   "Suhuku ingin bertemu dengan kau."   "Siapakah suhumu?"   "Mengapa kau begitu cerewet."   Berputar otak Suma Bing, batinnya.   "Suhu berpesan supayaku tidak bergebrak dengan orang yang pandai menggunakan ilmu Cakar setan beratus perobahan, tentu ada sebabnya. Apalagi wanita aneh seperti setan gentayangan inipun mengatakan karena urusan itulah maka dia dipenjarakan selama tigapuluh tahun lamanya, tidak perlu disangsikan lagi bahwa hal itu pasti tersembunyi suatu latar belakang yang panjang ceritanya, kenapa aku tidak ikut saja untuk menyingkap tabir rahasia ini. Maka segera sahutnya.   "Baiklah, aku ikut kau."   Tanpa membuka kata lagi segera wanita serba hitam itu berlari kearah mulut lembah, betapa cepat gerak tubuhnya benar2 membuat orang melelet lidah kagum.   Suma Bing harus mengerahkan seluruh tenaganya baru dapat mengimbangi kecepatan lari wanita itu.   Begitu tiba dimulut lembah sebuah bukit tinggi melintang didepan mereka, tanpa menghentikan langkah si wanita serba hitam segesit kera terus berloncatan keatas sekaligus ia melampaui berpuluh bukit tinggi.   Pikiran Suma Bing semakin pepat dan ber-tanya2, entah orang kosen macam apakah suhunya itu! Dimana ia bersemayam? Bukit2 habis dilalui lantas terbentanglah sebuah danau tak berujung pangkal dihadapan mereka, dipinggir danau penuh ditumbuhi semak belukar, bergegas si wanita itu menuju ketepi danau, dari rumpun alang2 ia menyeret keluar sebuah sampan kecil terus berseru.   "Naiklah kemari!"   Sekilas Suma Bing melirik hatinya membatin.   'aku sudah terlanjur tiba buat apa gentar', sekali melejit tibalah dia diatas sampan kecil itu.   Wanita serba hitam duduk diburitan, begitu kedua tangannya menepuk kebelakang, sampan kecil itu segera meluncur dipermukaan air seperti anak panah cepatnya langsung menuju ketengah danau.   Tidak henti2nya kedua tangannya menepuk kebelakang, sungguh ajaib dan lucu gerak geriknya, tanpa menggunakan gayuh sampan kecil itu ternyata berlaju semakin cepat.   Sampan kecil itu berlaju cepat dialunan gelombang air, tak lama kemudian dikejauhan sana terlihat sebuah pulau kecil yang menghijau ditengah danau, setelah semakin dekat terlihat lebih jelas diatas pulau itu tumbuh bermacam pohon dengan suburnya, samar2 terlihat juga ada beberapa bangunan rumah-rumah gubuk.   Wanita serba hitam merapatkan sampannya ketepi pantai serta serunya.   "Sudah sampai naiklah!"   Sekali loncat Suma Bing menginjakkan kaki diatas pulau itu, segera wanita serba hitam mendahului berjalan didepan, serunya.   "Mari ikut aku."   Suma Bing menjadi was2, pikirnya tempat ini tiada jalan darat, kalau tiada perahu betapapun tinggi kepandaiannya tak mungkin dapat kabur dari pulau ini.   Beberapa tombak kemudian setelah membelok dua tiga kali terlihat didepan sana berdiri tegak beberapa batang pohon Siong yang tinggi besar mengelilingi sekitar beberapa bangunan rumah, diatas setiap batang pohon tergantung sebuah tengkorak, selayang pandang keadaan ini sangat seram menakutkan, selain itu tiada pandangan lain yang menggiriskan.   "Suma Bing,"   Seru wanita serba hitam dingin.   "Inilah barisan Le-kui-tjui-kun-tin, diseluruh kolong langit orang yang dapat keluar masuk dari barisan jeritan setan pengejar sukma ini mungkin tiada ketiganya"   Tercekat hati Suma Bing, namun lahirnya tetap tenang ujarnya.   "Aku datang karena undanganmu, kedudukanku sebagai tamu ada sangkut paut apa barisan ini dengan aku?"   Melewati barisan pohon siong ini didepan sana mereka harus menerobos jalanan kecil diantara himpitan pohon2 bambu hijau lantas terbentanglah sebuah pekarangan besar didepan beberapa bangunan gubuk, mungkin orang luar akan menyangka bahwa tempat yang sepi dan nyaman ini adalah tempat pengasingan seorang tokoh kosen yang menyendiri seandainya tengkorak putih yang tergantung diatas pohon Siong itu dilenyapkan.   Wanita serba hitam itu menyurung pintu sebuah gubuk, lalu tiba2 menggape tangan dan serunya.   "   K a u t u n g g u s a j a d i s i n i .   "   L a l u i a t e k a n s u a r a n y a b e r k a t a l a g i .   "   B a g a i m a n a j e j a k T i a n g - u n S Suma Bing mengguesleengn gke pPaloa,h la nDtajsi taernbgay?a"ng lah kejadian didepan kuburan kosong Tiang-un Suseng itu, menurut katanya karena Tiang-un Suseng hingga ia menderita dalam penjara selama tiga puluh tahun, ah, cinta itu benar2 buta! Tengah pikirannya me-layang2, mendadak wanita itu muncul lagi dan menggape padanya serta serunya.   "Suma Bing, kau boleh masuk!"   Suma Bing mengiakan terus melangkah maju sampai diluar pintu, waktu pandangannya bentrok dengan apa yang dilihatnya itu hatinya melonjak kaget, bulu roma berdiri perasaanpun dingin.   Kiranya, rumah gubuk yang terletak ditengah ini hanya merupakan sebuah ruang besar tanpa segala peralatan atau perabot seperti umumnya, yang lebih mengherankan bahwa ditengah ruangan besar menghadap kepintu terdapat sebuah peti mati yang besar warna merah marong.   Terasa suasana seram mencekam keadaan sekelilingnya, sesaat ia berdiri melongo tak tahu apa yang harus diperbuatnya, waktu ia melirik kearah wanita hitam, tampak rambutnya terurai menutupi seluruh wajahnya keadaannya ini lebih menambah keseraman dan menakutkan keadaan waktu itu.   "Kau ini yang bernama Suma Bing?"   Sebuah suara tiba2 bertanya.   Suma Bing melonjak kaget, kiranya suara itu keluar dari dalam peti besar itu, agaknya penghuni peti besar itu bukan jenazah tapi adalah seorang hidup.   Tapi mengapa baik2 menjadi seorang hidup kok sembunyi didalam peti mati, hal inilah yang susah dimengerti.   "Kau dengar pertanyaanku tidak?"   Suma Bing menenangkan hatinya lalu menyahut.   "Memang aku yang rendah Suma Bing adanya"   "Kau menjadi murid Sia-sin Kho Djiang?"   "Benar, kau mengundang aku yang rendah kemari ada pengajaran apakah?"   "Sudah tentu ada urusan!"   "Kau masih hidup mengapa menyamar jadi setan menakuti orang?" "Hahahahaha..."   Lengking suara tawa bergema panjang berat dan menyayatkan hati, seakan bukan keluar dari mulut manusia, hingga timbul prasangka orang yang mendengar akan ringkikkan iblis ditengah malam.   Dasar sifatnya memang keras, Suma Bing menjadi gusar karena merasa dicemoohkan oleh suara tawa itu, segera ia membentak keras.   "Ada apa yang lucu hingga kau tertawa seperti setan gila?"   Seketika suara tawa itu sirap lantas terdengar pula suara itu berkata.   "Sudah terang aku ini setan, tapi kau mengatakan aku menyamar jadi setan, bukankah sangat menggelikan?"   "Huh, setan apa segala adalah cerita badut yang melucu mana ada setan didunia?"    Pendekar Dari Hoasan Karya Kho Ping Hoo Si Rase Hitam Karya Chin Yung Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini