Pedang Kayu Cendana 7
Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH Bagian 7
Pedang Kayu Cendana Karya dari Gan K H Lambat tapi pasti langkah Ni Ping-ji semakin dekat dan akhirnya berhenti tak jauh didepan Pakkiong Yau-Liong. Mengawasi Pak kiong Yau-Liong dibawah kakinya, sekali raih Pakkiong Yau-Liong yang tidak mampu melawan ini akan dijinjingnya dan diseret pulang, kembali Ni Ping-ji terkial-kiaL Tawanya lebih jelek dari pekik setan danjerit dedemit, nada suaranya seperti menusUk genderang kuping Pakkiong Yau-Liong. Entah darimana datangnya pikiran itu, mendadak Pakkiong Yau Liong mendapat ilham dari pada mati konyol dan tersiksa, lebih baik mati kenapa aku tidak mencari jalan kematian yang sempurna ? Serta merta kepalanya sedikit miring, matanya mengerling kebawah jurang yang gelap gulita tidak kelihatan dasarnya. Mendadak boIa mata Pakkiong Yau-Liong melotot sebesar jengkol, ditengah gema tawa Ni Ping-ji yang masih mengalun di dasar lembah tiba-tiba dia menarik napas dalam, entah dari mana datangnya kekuatan, dengan setaker sisa tenaganya dia menjatuhkan tubuhnya terus menggelundung kejurang. Kontan Pakkiong Yau-Liong merasa dirinya sepeti terombang-ambing di tengah angkasa, melayang ditengah kegelapan tanpa arah tujuan, mendadak kepalanya seperti di tumbuk sesuatu sehingga pusing dan pingsan tidak tahu apa-apa lagi. Ni Ping-ji masih menengadah dan tertawa kial-kial, tapi mendadak tenggorokannya seperti tersumbat apa-apa sehingga gelak tawanya terputus, mulutpun melongo dan mata mendelik heran. Buru-buru dia mendekati bibir jurang dengan mimik wajah yang aneh, dalam hati dia agak gegetun, batinnya. "Menguntungkan keparat itu." Masih sempat dilihatnya tubuh Pakkiong Yau liong jungkir balik dua kali diangkasa terus melayang makin cepat kebawah. Tapi tiba-tiba dilihatnya bayangan hitam berkelebat dari samping kiri, laksana kilat menyambar bayangan hitam ini berhasil meraih tubuh Pak kiong Yau-Liong terus dibawa melayang turun kedepan anjlok kedasar jurang, hanya beberapa kali lompatan bayangan yang menangkap Pak kiong Yau-Liong itu telah lenyap tak karuan paranny a . Heran dan kaget Ni Ping-ji dibuatnya, kulit mukanya yang kurus tepos tampak berkerimut beberapa kali, seringai sadis diujung mulutnyapun sirna seketika. Kini mimiknya bukan lagi menampilkan rasa kecewa, tapi menyesal, dia menyesali dirinya sendiri kenapa tadi ceroboh tidak bertindak tegas saja, sehingga Pakkiong Yau-Liong yang sudah mendekati jurang kematian menggelundung kebawah jurang dan seCara kebetulan ada orang dibawah telah menggondolnya pergi. Dengan perasaan heran, kaget bercampur gegetun pandangannya lanang mengawasi tabir kegelapan dibawah jurang, kemana bayangan hitam yang menggondol Pakkiong Yau-Liong tadi menghilang, akhirnya dia sadar sesal tak berguna, dengan menggeleng kepala kembali dia tertawa dingin, ujung mulutnya menyeringai sadis pula. Dengan penuh kebencian mulutnya menggumam. "Hari masih panjang, asal dia tetap hidup, kelak masih ada waktu untuk mencarinya. Ni Ping-ji tetap akan bisa menyiksamu lagi sehingga kau mati tak akan terkubur lagi. IHm demikian pula orang yang hari ini menolongnya, diapun tidak akan terlepas dari siksaanku." Begitu memutar tubuh dia sudah berniat tinggal pergi, tapi tiba-tiba dia mengerutalis, langkah kakinya yang sudah bergerak ditarik kembali. Pikirnya "Eh, bukankah aku sudah memberitahukan kepadanya bahwa Toh-bing-sik-mo sudah kembali ke Biau-kiang ? jikalau dia masih hidup suatu ketika pasti akan meluruk ke Biau-kiang menuntut balas pada Toh-bing-sik-mo. Hahaha.. kenapa tidak aku menunggunya saja di Biau-kiang." Tampak matanya terbeliak. sekali bergerak hanya beberapa kali tubuhnya berkelebat dengan lompatan berjangkit, bayangannya sudah lenyap ditelan kegelapan. ooo00dw00ooo Sekarang mari kita kembali ke ceng hun-kok. Ditengah kekeh tawa Toh-bing-sik mo yang aneh, Tio Swat- in yang putus asadan mendelik mengawasi gendewa merah ditangan Toh-bing sik-mo pelan-pelan akhirnya memejam mata. Untunglah di kala hatinya berputus asa itu suatu pikiran lain mendadak berkelebat didalam benaknya. Mata yang telah terpejam mendadak terpentang pula, seluruh kekuatan dia kerahkan dikedua tangan, mendadak menepuk dengan serangan dahsyat menyerang kepada Toh-bing-Mk-mo yang masih mengancam dirinya dengan ujung gendewa merahnya. Toh-bing-sik-mo agak lena karena terlalu riang bahwa Tio Swat- in telah dibuatnya tidak berkutik, sungguh tak pernah dia bayangkan bahwa Tio Swat-in bakal bertindak senekad ini, sedikit melenggong itulah, tepukan kedua telapak tangan Tio Swat in dengan deru angin kencang telah menerjang tiba. Dalam keadaan tidak siaga dan jiwa terancam begini, meski Toh-bing-sik-mo memiliki kepandaian lihay, juga susah meluputkan diri dari serangan Tio Swat- in. Dalam detik-detik yang berbahaya itu, demi menyelamatkan diri, tiada pilihan lain, terpaksa sigap sekali dia berkelit kesamping terus melompat mundur sejauh mungkin. Karena terlalu bernafsu dia kerahkan tenaga terlalu besar Tio Swat- in sampai tersuruk maju dua langkah baru berdiri tegak pula. walau usahanya tidak berhasil melukai Toh-bing-sik-mo, tapi ancaman gendewa lawan telah berhasil disingkirkan- Bola mata Toh-bing-sik-mo yang kelihatan dibalik perban yang membungkus tubuhnya tampak memancarkan cahaya dingin buas, mendadak dia terkekeh pula dengan nada tawa yang lebih seram, gelak tawanya kembali didalam lembah mega hijau. Ditengah kekeh tawanya itu, tubuh Toh-bing-sik-mo yang bergerak kaku itu tiba-tiba menerkam kearah Tio Swat- in- Dikala tubuh Toh-bing sik mo menerkad maju itulah, mendadak dari samping terdengarlah sebuah hardikan nyaring dengan volume suara mantap berisi, sesosok bayangan tampak berkelebat keluar dari balik batu besar tak jauh disamping Tio swat- in, menyongsong terkaman Toh-bing-sik mo. Dua bayangan orang sama cepat dan tangkasnya, keduanya bertemu dan berhantam ditengah udara "Pyar" Tampak keduanya terpental balik dan melayang jatuh setombak lebih. Mendengar hardikan dan melihat bayangan kelabu tadi, seketika Tio Swat-in terbeliak girang, hampir saja mulutnya berteriak mengawasi bayangan kelabu yang terdorong mundur, tapi suaranya urung keluar dari mulutnya setelah melihat dikhawatirkan tidak kurang suatu apa. Yang menyergap Toh-bing--ik-mo dari samping dan menyelamatkan Tio Swat-in, ternyata bukan lain adalah Hwi-khong sini, guru Tio Swat-in yang telah mengasuh, membimbing dan membesarkan dia selama sepuluhan tahun, baru sebulan dia berpisah dengan sang guru. Dikala Tio Swat-in terbeliak kesenangan sehinggi suaranya yang sudah serak tidak mampu bersorak girang itu, sesosok bayangan lain tiba-tiba tampak melesat pula dari arah datang nya Hwi- khong Sinni tadi, begitu cepat dan lincah gerakan bayangan orang ini, sebelum Tio Swat-in melihat jelas, tahu-tahu bayangan itu sudah hinggap di sampingnya. Baru kini dia melihat jelas pendatang ini adalah Tok-Liong sianli, sahabat kental gurunya. Pundak Tio Swat-in segera ditepuk-tepuk ringan sambil tersenyum ramah, pandangannya cukup menghibur perasaan Tio Swat-in yang sebelum ini sudah tidak karuan. Ternyata sejak Tio Swat-in turun gunung tanpa persiapan yang matang, Hwi-khong Sinni semakin kuatir, kebetulan teman baiknya Tok-Liong-sian-li berkunjung ketempatnya, setelah diperbincangkan mereka mengkhawatirkan keselamatan Tio Swat-in- Walau Tio Swat in sudah memperoleh warisan Hwi-khong Sinni, betapapun Lwekangnya masih cetek. pengalaman juga masih hijau, konon Toh-bing-sik-mo memiliki Lwekang tangguh dan berkepandaian tinggi dan keji, bukan mustahil bukan saja Tio Swat-in tidak berhasil menuntut balas, salah-salah jiwa sendiri ikut berkorban secara percuma, maka setelah dirundingkan akhirnya Hwi-khong Sinni berkeputusan mengajak Tok-Liong sian li turun gunung menyusul ke ceng-hun-kok. Waktu mereka tiba, tadi kebetulan Tio Swat-in tengah terancam gendewa merah Toh-bing-sik-mo, jiwa raganya boleh dikata sudah terbelenggu ditangan Toh-bing-sik-mo. Dalam keadaan segawat itu, terpaksa mereka sembunyi dibelakang batu tidak berani beraksi, khawatir sedikit gerakan yang mencurigakan, jiwa Tio Swat-in bisa menjadi korban oleh gendewa Toh-bing sik-mo, maklum gendewa yang telah mengancam dada itu cukup disodokkan sedikit, jiwa Tio Swat-in pasti melayang seketika. Mereka ikut tegang dan mengkhawatirkan keselamatan Tio swat-in sehingga berkeringat dingin. Terutama Hwi-khong Sinni, disamping khawatir diapun gugup setengah mati, namun apa yang dapat dia lakukan? Terpaksa mereka menunggu perkembangan selanjutnya, mereka sudah slap bertindak begitu memperoleh sedikit peluang, jiwa Tio Swat-in harus diselamatkan dari ancaman Toh-bing-sik-mo, meski bila terpaksa biar terluka parah sekalipun. Sungguh tak pernah mereka bayangkan bahwa dalam menghadapi detik-detik kematiannya itu, Tio Swat in berani bertindak senekad itu, entahlah bagaimana datangnya ilham, mendadak dia menyerang dengan Bik-khong-ciang kepada Toh-bing-sik-mo. Untuk menyelamatkan diri, ternyata Toh-bing-sik-mo berhasil dipukul mundur setombak jauhnya. Saking gusar ditengah kekeh tawanya kembali Toh-bing-sik-mo menubruk kearah Tio Swat-in- Namun Hwi-khong sinni tidak tinggal diam, sekali melejit dia melampaui kepala Tio Swat-in menyongsong tubrukan Toh-bing-sik-mo dengan pukulan telapak tangan. Betapapun perobahan dengan kedatangan gurunya membuat hati Tio Swat-in terhibur dan lega, akhirnya dia menarik napas lalu menghela panjang. Rasa tegangnya seketika pudar, sudah tentu kekuatan yang dikerahkanpun pelan-pelan buyar. Akan tetapi dendam kesumat masih membara dalam benaknya, tekadnya masih menyala untuk menuntut balas kematian orang tuanya. Kembali Toh-bing-sik-mo terpukul mundur oleh serangan telapak tangan Hwi-khong Sinni. Dengan kaku dia berdiri, matanya melotot gusar, perobahan yang mendadak ini membuatnya kaget dan heran, dengan seksama dia awasi dua wanita yang baru muncul serta menyelamatkan jiwa Tio Swat in ini. Tiba tiba Tio Swat-in melompat kepinggir sana meraih pedang mestikanya yang tadi terpukul jatuh oleh gendewa Toh-bing-sik-mo Dengan seluruh kekuatan yang masih tersisa, dia siap melabrak Toh-bing sik mo. Sayang diwaktu tubuhnya terbungkuk memungut pedang mestikanya itu mendadak pandangannya menjadi gelap. sekujur tubuhnya tiba-tlba seperti lunglai tak punya tenaga sedikitpun, malah tanpa kuasa tubuhnya menggigil dan sempoyongan dua langkah, untung telah mengerahkan hawa murni dan menarik napas sehingga pikirannya kembali jernih. Mau tidak mau Tio Swat-in membatin. "Apa sih yang terjadi atas diriku...? Kenapa mendadak kepalaku pening dan pandanganku gelap. belum pernah hal ini terjadi, mungkinkah aku..." Sepetti diketahui Tio swat in meluruk ke cenghun-kok dengan bekal dendamnya yang tak terlampias, setelah tak berhasil mengalahkan Pakkiong Yau Hong yang waktu itu masih menyamar sebagai Toh bing-sik-mo, akhirnya dia melabrak Toh-bing-sik-mo yang sesungguhnya dan kena dikalahkan total, dalam sedihnya, badan basah kuyup lagi oleh hujan, setelah bertempur mati-matian, kehabisan tenaga lagi. Luka hatinya belum lagi sembuh, ditambah rasa duka karena tidak berhasil menuntut balas, tanpa disadarinya dia sudah terserang angin dan badannya mulai demam, begitu kedatangan gurunya, rasa lega dan dada lapang, baru sekarang dia menyadari keadaan dirinya. Namun dasar bandel, sekuatnya dia pegang pedang mestika, sambil menenteng senjata dia menghampiri Toh-bing-sik-mo. Toh-bing-sik-mo terkekeh-kekeh pula dengan nada gila, matanya mendelik mengawasi Tio Swat-in- Agaknya Hwi-khong Sinni juga sudah menyadari keadaan Tio Swat-in yang agak ganjil, umpama dalam keadaan normal, dia jelas bukan tandingan Toh-bing-sik-mo, apalagi dalam keadaan sekarang, sudah tentu sang guru tidak bisa berdiam diri membiarkan muridnya mencari kematian ? Tapi diapun menyelami perasaan Tio Swat-in, tekadnya terlalu besar untuk menuntut talas, namun waktu masih panjang, keselamatan muridnya lebih di-utamakan, maka dia menghadang didepan Tio Swat-in sambil berkata sambil tertawa. "Serahkan kepadaku, setelah kurobehkan dia, boleh nanti kau turun tangan membunuhnya ... " Tlo Swat-in mengerling penuh haru dan terima kasih kepada Hwi-khong sinni (gurunya), memang dia insyaf bahwa dirinya sudah tak akan mampu berbuat apa-apa lagi, mengangkat pedang nya sendiripun dia sudah merasa payah, mana mungkin melabrak Toh-bing-sik mo yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari dirinya. Walau sekuatnya dia masih mampu berdiri dengan mengerahkan sisahawa murninya, tapi kepala berat kaki enteng, seluruh tubuh pegal linu dan lunglai... ... Ucapan Hwi-khong sini merupakan hiburan yang menentramkan gejolak hatinya. Hwi-khong sinni menggerakkan tangan memberi tanda pada Tok-Liong-sian-li supaya dia menjaga Tio Swat-in- Pelan-pelan dia membalik badan, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia mengeluarkan sebatang kebut panjang satu kaki, lalu menatap Toh-bing sik-mo yang berdiri tak jauh didepannya. Dari bentrokan dua kali tadi Hwi-khong Sinni tahu bahwa kepandaian Toh-bing-sik-mo yang tinggi, maka sedikitpun dia tidak berani memandang enteng, dia sudah siap menempurnya dengan seluruh kemampuannya untuk bantu sang murid menuntut balas kematian ayahnya. Sebelum reda kekeh tawa Toh-bing-sik-mo, sambil menghardik tiba-tiba Hwi khong Sinni berkelebat, secepat kilat dia sudah melancarkan serangan kepada Toh-bing-sik-mo, berbareng tangan kanan bekerja, dengan jurus jun-hong-tek-gi, kebutnya menaburkan bayangan kelabu, dengan segulung angin kencang mengeprak kepala Toh-bing-sik-mo. Lenyap kekeh tawa Toh-bing-sik-mo, tiba-tiba bayangan putih berkelebat, dengan mudah dia mengegos, berbareng gendewanya menukik dengan sasaran urat nadi Hwi-khong Sinni, sementara tangan kiri menjojoh keluar, ditengah jalan dua jari tengah dan telunjuknya yang terbungkus perban itu secepat kilat menutuk Jian-kin-hiat Hwi-khong sinni. Hwi-khong sinni memang tidak menganggap ringan musuh nya, jurus jun-hong-tek-gi (angin musim semi mendapat arti) memang hanya gerak pancingan, diwaktu Toh-bing-sik mo mengegos itu, dia sudah menekan tangan memiringkan tubuh, sekaligus diapun meluputkan diri dari serangan balasan Toh-bing--ik,-mo yang lihay. Disaat berkelit Hwi-khong Sinni sudah mengincar pertahanan didepan dada Toh-bing sik-mo yang terbuka, maka tidak mundur dia justru menyelinap maju, sekaligus dia gunakan jurus jui-tu-tan-ham (lengan mengebut hawa dingin), kebutnya mengencang runcing, secepat kilat menusuk ke Seng-kay-hiat ditengah lambung Toh-bing-sik-mo, gerakannya lincah serangannya telak dan tepat lagi. Begitu serangan luput tahu-tahu ujung kebut lawan sudah mengancam perutnya sendiri, Toh-bing-sik-mo menekuk ping gang sambil menarik gendewa, kelima jari tangan kiri bagai cakar menggunakan jurus siong-kian hwi-cwao (s umber air diselokan gunung), bayangan telapak tangan putih bertaburan membawa deru angin yang mengiris kulit. Laksana samberan kilat mencengkram keujung kabut Hwi-khong Sinni yang menutuk tiba. Setelah mengadu kekuatan ditengah udara dua kali tadi, Toh-bing-sik-mo yakin lwekangnya sendiri masih lebih tinggi dari Hwi-khong Sinni, maka kali ini dia berani tanpa berkelit tangannya mencengkram keujung kebut lawan yang menutuk tiba. jikalau lawan tetap mempertahankan serangan dan tidak merobah posisi, sementara dirinya tidak mampu membendung serangan lawan maka dirinya selanjutnya tidak akan mampu merenggut sukma orang pula. Tapi jikalau dia mampu menangkap kebut Hwi-khong Sinni, berarti mematahkan serangan lawan dan senjata Hwi-khong Sinni bakal terampas, ini berarti ancaman jiwa pula bagi Hwi-khong Sinni. Hwi-khong sinni mendengus sekali, pikirnya. "Buat apa aku mengadu jiwa denganmu?" Pikiran bekerja, tanganpun bergerak^ menarik kebut berbareng dia mengeluarkan tangan kiri menyerang dengan jurus Hun-gi-jiu-ting telapak tangannya menyelonong keluar dari dalam lengan bajunya, membawa kesiur angin yang membisingkan telinga membelah kelambung Toh- bing-sik- mo. Perobahan serangan Hwi-khong sinni bukan saja cepat juga aneh dan mendadak, tak pernah terpikir dalam benak Toh-bing-sik-mo bahwa Hwi-khong sinni mengabaikan kesempatan paling baik yang sukar diraihnya, mendadak menarik serangan merobah gerakannya malah, berbareng dikala cengkraman jarinya luput, lalu tiba-tiba membalik balas menyerang pula. Saking kejut Toh-bing sik mo tidak sempat mengerjakan kakinya lagi, lekas dia menekuk pinggang menjengkang badan ke belakang, berbareng kaki menutuk bumi dengan gerakan Ki- hong- loh- yap (angin lesus menyapu daon) tubuh nya bersalto dua kali mundur kebelakang setombak jauhnya, untung masih sempat dia meloloskan diri dari serangan maut Hwi-khong sinni yang lihay dan mendadak ini. Begitu kaki menginjak tanah, Toh-bing sik-mo naik darah, sebat sekali sambil meraung tiba-tiba tubuh nya melejit keatas tetus bersalto pula, tangan kanan terbalik gandewa merah ditangannya menjojoh dengan jurus Jiu-ltn sip-ciau (sinar surya didalam hutan), bayangan gendewa merahnya membawa sejalur kekuatan dahsyat menindih kearah Hwi-khong Sinni. Gerak-gerik Toh-bing-sik-mo meski kelihatan kaku ternyata gesit dan tangkas, maju mundurnya setangkas tupai saja, dikala Hwi-khong sinni merobah posisi mengganti serangan, dia sudah menggunakan ketangkasannya merangsak dengan hebat. Belum seluruh serangan Hwi-khong sinni ditarik balik, tahu-tahu Toh-bing-sik-mo sudah merangsak maju pula secepat meteor jatuh, dalam keadaan kepepet, jelas tidak mungkin bagi Hwi-khong Sinni untuk menangkis atau mematahkan setangan lawan, umpama di paksakan juga akibatnya pasti fatal. Tapi Hwi-khong sinni sudah bertekad untuk bertempur secara mantap dan tenang, setiap lobang kesempatan tidak akan diabaikan untuk menyergap musuh merebut kemenangan sudah tentu dia tidak mau mengadu kekuatan secara kekerasan, apalagi posisi sendiri lebih ringan, tujuh puluh prosen dirinya bakal dirugikan. Maka tanpa ayal lekas dia menggeser langkah berpindah kedudukan, seiringan kupu kupu menari dia menyelinap mundur setombak jauhnya. Berhasil mendesak musuhnya Toh-bing sik-mo terkekeh pula, nada tawanya kedengaran amat sombong dan takabur, suaranya mendengung di udara bergema dalam ceng hun-kok. Tio Swat-in yang sudah lemah kondisinya menjadi semakin payah mendengar kekeh tawa yang mengiriskan, hakikatnya dia tidak melihat apa yang telah terjadi diarena pertempuran, pandangannya terasa gelap dan memutih, berbagai bayangan seperti berkelebatan dipelupuk matanya. Akhirnya dia mendelong sambil berdiri limbung, bertopang pada pedang panjangnya. darah serasa mendidih dalam dadanya, kepalanya pusing tujuh keliling. Namun dasar bandel dan keras kepala dia tetap bertahan berdiri berusaha mengempos semangat dan mengumpulkan hawa murni, dia insyaf bila usahanya gagal maka dirinya akan ambruk dan jatuh sakit untuk jangka panjang. Dengan penuh perhatian Tok-liong-sianli menyaksikan pertempuran, dia heran bahwa Toh-bing-sik-mo ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa, khawatir Hwi-khong Sinni keCundang maka dia mempersiapkan diri memberi bantuan bila perlu. Begitu kaki menyentuh tanah kembali tubuh Toh-bingsik- mo bergerak kaku menubruk kearah Hwi-khong sini yang berkelit mundur. Hwi-khong menjengek dingin, sebelum lawan menubruk tiba, dia miringkan tubuh sambil menggeser langkah kedepan, berbareng pergelangan kanan berputar, kebutnya menyerang dengan jurus Hing hun-yu-kok (mega mengembang didasar lembah) dengan desing angin yang kencang menggulung kearah Toh- bing-sik- mo. Tubuh Toh-bing-sik-mo yang masih terapung itu ternyata bisa merandek dan membalik, gendewa merahnya diulur kedepan depan jurus Gwe-jui -san-ya (rembulan doyong di tegalan liar), bayangan merah berkelebat mengepruk batok kepala Hwi-kiong Sinni. Bersama dengan itu tangan kiri tegak membelah dengan jurus Gik,san-wan-ciau (rembulan menerangipucuk gunung) menabas keleher Hwi-khong Sinni. Hwi-khong Sinni memiringkan tubuhnya sambil doyong kebelakang meluput diri dari keprukan gendewa, sementara tangan kanannya setengah tergenggam balas menyerang dengan jurus Kong gi-beng-goat (sinar memancar kabut timbul) dari samping dia berusaha mencengkram urat nadi pergelangan tangan kiri Toh-bing-sik-mo. Kebut ditangan kanan sekaligus terayun dengan setangan Tiang-siu-biau-hiang (lengan panjang menyibak harum) dengan deru angin keras balas menampar muka Toh-bing-sik-mo, dua jurus serangan dilancarkan bersama. Lekas Toh bing-sik- mo menurunkan lengan membalik gendewa, dengan tangkas dia berkelit, lalu dengan jurus Jiu-khang-ce tiau (kehilangan biduk di muara luas), bayangan gendewanya berlapis- lapis, kembali Hwi-khong Sinni dirabunya dengan gencar. Maka Nikoh tua yang berjubah kelabu ini harus mengembangkan Ginkang dan ketangkasan gerak tubuhnya berhantam melawan Toh-bing-sik-mo yang digubat perban sekujur badannya. ceng-hun-kok masih guram dan beCek serta licin, tapi kedua orang ini memang memiliki ketangkasan luar biasa, gerak-gerik mereka tetap gesit dan lincah saling serang dan berkutet sengit. Betapapun kepandaian Toh- bing-sik mo memang setingkat lebih tinggi, namun dalam waktu singkat dia belum mampu meroboh kan Hwi-khong Sinni. Meski Hwi-khong sinni berpedoman dengan bertempur mantap dan tenang, lunak mengalahkan keras dan sikap diam melawan aksi lawan, setiap peluang pasti menyergap lawan, namun dia pun tidak mampu melukai apalagi merobohkan Toh-bing-sik-mo. Cepat sekali, enam puluh jurus telah lewat. Walau belum dapat merebut kemenangan, lama kelamaan Hwi-khong sinni semakin bingung dan gerak-geriknya agak lamban dan makan tenaga. Dengan tegang, tanpa sadar Tok-Liong-sianli selangkah demi selangkah maju mendekati arena. Dia khawatir bila Hwi-khong Sinni kalah cepat dan tertawan oleh musuh, sehingga seluruh perhatiannya dia curahkan atas keselamatan Hwi-khong Sinni, melupakan Tio Swat-in yang dipasrahkan kepadanya. Agaknya Toh-bing-sik-mo juga tahu bahwa Hwi-khong Sinni sudah kepayahan melawan dirinya, maka serangannya semakin gencar dan lihay, seperti hujan badai saja dia incar Hwi-khong Sinni dengan berbagai serangan gendewa dan telapak tangan. Tiba-tiba Toh-bing-sik-mo tampak membalik dengan putaran jungkir balik, kaki di atas kepala dibawah, tubuhnya lurus tegak^ tangan kanan berputar dengan jurus Lui-sin-tin ce (malaikat guntur menggetar bumi) gendewa merahnya membawa kesiur angin dan membisingkan telinga, laksana gugur gunung saja menindih kepala Hwi-khong Sinni. Bukan saja serangan keji, gerak-geriknya cepat dan aneh pula, maka dapat dibayangkan betapa berbahaya serangan ini. Hwi-khong Sinni terkesiap kaget, lekas dia melesat mundur, namun "Bet" Tak urung pakaian dipundaknya tergantol sobek oleh ujung gendewa lawan, goresan merah tampak diatas pundaknya. Baru kaki menyentuh tanah dan belum sempat memperbaiki posisi, kekeh tawa yang memekakkan telinga seperti hampir memecah genderang telinganya, tanpa memberi kesempatan Toh-bing-sik-mo telah menubruk tiba pula dengan rangsekan yang menggebu. Saking murka kali ini Hwi-khong Sinni tidak berkelit lagi, dilihatnya Toh-bing-sik-mo telah menubruk datang, kontan dia menyendal kebutnya, dengan jurus Ngo-Liong-pi-gi (lima naga membanting cakar), serangan yang mengejutkan, kebutnya menimbulkan lima jalur satu kekuatan angin kencang masing-masing melesat mengarah lima Hiat to besar di dada Toh-bing sik-mo, lima jalur angin laksana anak panah, bila tersambar pasti belong dan jiwapUn melayang. Inilah jurus serangan ilmU kebut ciptaan Hwi-khong Sinni yang dipelajarinya selama belassan tahun. Dengan Ngo-Liong-pi-gi yang dibanggakan ini, entah berapa jago-jago silat yang pernah dia kalahkan- Sebetulnya Toh-bing-sik-mo sudah merasakan kelihayan jurus serangan ini waktu melawan Tio Swat-in tadi, cuma tadi Tio Swat-in menyerang dengan pedang, kini Hwi-khong Sinni sendiri yang melancarkan pula dengan kebutnya. Lwekang nya lebih tinggi, latihan lebih matang pula, maka perbawa jurus ini sudah tentu lebih lihai dan menakjubkan- Tahu Ngo-Liong-pi-gi tak boleh dilawan, lekas Toh-bing-sik-mo melorot turun sambil miring tubuh terus berkelit mundur. Tapi deru angin pukulan telapak tangan yang dahsyat tahu-tahu telah memapak dari belakang Toh-bing-sik-mo. Penyerangnya adalah Tok-Liong sian li, sejak tadi dia memang sedang menunggu kesempatan baik untuk menyergap musuh dan membekuknya, maka dia tidak hiraukan lagi peraturan dunia persilatan atau menjaga gengsi segala, kebetulan Toh-bing sik-mo mencelat mundur membelakangi dirinya, maka dia yang sejak tadi sudah siap segera menggencet dari arah yang berlawanan dengan Hwi-khong Sinni. Toh-bing-sik-mo berusaha menyelamatkan diri, tapi begitu merasa dari belakang ada serangan pula, segera dia insyaf arah yang ditempuhnya salah, diam-diam dia mengeluh dalam hati. Dalam gugupnya lekas dia menjatuhkan diri kesamping berbareng gendewanya bekerja menangkis serangan gencar serta lihay Hwi-khong Sinni. Tapi dalam sedetik itu kebut Hwi-khong sinni yang berpencar menjadi lima jalur itu tiba-tiba bergabung pula menjadi satu, dengan gaya serangan sama tetap menutuk kearah Toh -bing-sik- mo. Kontan Toh-bing-sik-mo merasa lengan kanannya terserempet miring oleh tusukan kebut Hwi-khong sinni, sehingga perban yang membalut lengannya pecah dan berhamburan, gendewa yang dipegangnya hampir saja terlepas dari pegangan. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo -oo0dw0oo- 8 DENGAN meraung gusar mendadak Toh bing-sik- mo menjejak kaki menerjang keatas, setelah terluka dia tidak berani bertempur lebih lama lagi, secepat angin tubuhnya meluncur keluar dari ceng hun-kok. Sembari mengayun langkah sempat juga dia menoleh, bola matanya yang tidak terlindung perban tampak memancarkan sinar kebencian dan dendam. "Lari kemana." Hardik Hwi-khong Sinni, sudah siap dia mengudak- "Bluk" Tapi suara jatuh gedebukan membuat Hwi-khong Sinni mengerem gerakannya seketika, begitu dia menoleh tersirap darah Hwi-khong Sinni, dilihatnya Tio swat-in sudah terkapar di lumpur beCek, Tok-Liong sian-li berseru kaget, buru-buru mereka memapah Tio-Swat in tanpa menghiraukan Toh-bing-sik-mo pula. Wajah Tio Swat-in tampak merah, sebelah kiri kotor kena lumpur, matanya terpejam, badannya terasa panas. Hwi-khong Sinni saling pandang sekejap dengan Tok-Liong-sian-li, mereka tidak habis mengerti apa yang terjadi pada gadis belia ini. Lekas Tok-Liong sian li bopong Tio Swat-in terus memberi tanda kepada Hwi-khong Sinni. "Hayo pergi." Lalu dia mendahului lari keluar ceng hun kok, menempuh arah yang berlawanan dari Toh-bing-sik mo. Hwi-khong Sinni mengintil dibelakangnya dengan perasaan hambar dan bingung, lekas sekali mereka telah pergi jauh dan tidak kelihatan pula. C- hun- kok kembali tenang dan sepi, namun suasana tetap rawan dan mengerikan, dua mayat kuda dengan CeCeran darah yang memualkan. Sejak peristiwa ini, Toh-bing-sik-mo yang pernah menggetarkan dikalangan kang-ouw dan mengganas di ceng-hun-kok tidak pernah muncul dan ditemukan jejaknya lagi. Dalam sebuah bilik yang sederhana, Hwi-khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li tengah berdiri di depan ranjang, mereka mengawasi Tio Swat-in yang rebah tidak sadarkan diri dengan bingung dan resah, badan Tio Swat-in panas dingin, pingsan lagi. Tapi di samping mereka berdiri seorang laki-laki tua berusia hampir enam puluh, sambil membungkuk laki-laki ini sedang memeriksa nadi Tio Swat-in, dengan teliti dia memeriksa mata Tio Swat- in pula. Rambut dan jenggot laki-laki ini sudah beruban,jenggotnya panjang menyentuh dada, dia bukan lain adalah suami Tok-Liong-sianli, Ih-hiap (Tabib pendekar) Siangkoan Bu yang terkenal di kalangan Kangouw. Pelan-pelan Siangkoan Bu masukkan tangan Tio Swat-in ke dalam kemul, sambil menegakkan badan dia mengawasi Hwi khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li istrinya lalu menghela napas, katanya. "Dalam keadaan sedih dan haru dia terlalu banyak mengerahkan tenaga sehingga hawa murninya ludes, dalam kondisi lemah itu dia terserang demam lagi, keadaannya memang cukup prihatin, tapi tidak perlu dibuat khawatir, namun untuk menyembuhkan penyakitnya harus makan waktu panjang, malah..." Hwi-khong Sinni bingung, tanyanya. "Malah bagaimana, apakah ada persoalan pelik?" Hwi-khong Sinni dipandangnya lekat-lekat baru Siangkoan Bu berkata. "Sebagai tabib yang terkenal di Kangouw selama puluhan tahun. Swat-in muridmu terserang penyakit dan sudah kau serahkan kepadaku, maka aku akan berusaha menyembuhkan dia, yakinlah akan kukembalikan Swat-in yang segar- bugar kepadamu, tapi tentunya kau juga tahu, bagi kaum persilatan seperti kita,jarang jatuh sakit, tapi sekali sakit untuk menyembuhkan juga bukan soal sepele tapi bukan aku suka mengagulkan diriku, setelah pasien berada di tanganku, apa lagi jarang ada tabib lain yang bisa mengungkuli diriku di kalangan Kang ouw, percayalah dia akan segar - bugar dalam waktu sebulan." Setelah menghela nafas, Siangkoan Bu ber berkata pula. "Maksudku tadi yalah, untuk menyembuhkan Swat-in, sekarang aku masih memerlukan dua jenis obat yang lebih penting tapi tidak jadi soal, tiba saatnya aku akan pergi mencarinya." Mendengar penjelasan Siangkoan Bu, IHwi khong Sinni mengiakan sambil manggut-manggut, tiba tiba dari luar tampak berlari masuk seorang gadis berusia enam belasan. Begitu melihat Tok-Liong-sian li segera dia berteriak riang. "Ma, kau sudah pulang, aku minta ikut kau larang beberapa hari ini .." Sambil merengek dia menubruk kedalam pelukkan ibunya Tok-Liong-sian-li, tiba-tiba dia melihat Tio Swat-in yang rebah di kemul di-ranjang serta Hwi-khong Sinni disamping ibunya, sesaat dia mengawasi bingung bergantian lalu bertanya kepada ibunya. "Ma, bukankah ini cici swat-in? Kenapa dia?" Tok-Liong-sian-li menghela napas, katanya. "Cici Swat-in mendadak jatuh sakit. " Belum habis Tok-Liong-sian-li bicara, putrinya sudah menyela. "Cici Swat-in sakit, biar aku mengobatinya." Lalu dia mendekati ranjang. Lekas Tok-Liong sian li menariknya, katanya. "Jangan sembrono, anak Ceng, memang nya kau mampu menyembuhkan apa. Hayo beri hormat kepada Supek." Sekilas Siangkoan Ceng melirik ibunya, dengan cemberut perlahan-lahan dia berputar menghadap Hwi-khong Sinni yang tengah mengawasinya dengan tersenyum simpul, segera dia berlutut dan menyembah, serunya. "Kepada Supek. terimalah sembah sujud Ceng-ji." "Ah jangan, tidak usah menyembah..." Ujar Hwi-khong Sinni sambil memapah Siangkoan Ceng bangun, sejenak dia menatap Siangkoan Ceng lalu berkata. "Ceng-ji, dua tahun lebih aku tidak melihatmu, kini kau sudah besar, malah lebih cakap dan cantik lagi, aku jadi pangling kepadamu." Siangkoan Ceng tertunduk malu sambil menggoyang pundak. rengeknya aleman. "Supek. kenapa kau juga menggodaku.." Dengan tertawa Siangkoan Bu bangun dari pinggir ranjang, katanya. "Mari kita duduk di luar, biar yang sakit istirahat, aku akan meracik obat." Terpaksa Tio Swat-in merawat penyakitnya dirumah Siangkoan Bu. Di bawah pengob atan Siangkoan Bu yang ahli, dibantu oleh Hwi-khong Sinni dan Tok-Liong-sian-li yang selalu menjaga dan merawatnya, demikian pula Siangkoan Ceng yang selalu menghiburnya dengan cerita dan bernyanyi, lambat laun penyakit Tio Swat-in ada kemajuan. Setengah bulan kemudian, Tio swat-in masih merasa lemah tak punya tenaga, sukar mengerahkan hawa murni untuk samadhi, tapi dia sudah mampu duduk dan beberapa langkah, seminggu lagi keadaannya sudah seperti orang biasa. Cepat sekali sebulan telah berselang tanpa terasa. Hari itu mendadak Siangkoan Bu berkata. "Hampir tiba saatnya Swat-in harus ganti obat, hari ini juga aku akan berangkat mencari beberapa jenis obat yang tiada persediaan lagi padaku, sebelum aku pulang, Swat-in tetap minum obat yang kuracik itu, setelah aku pulang dan membuat racikan baru, tanggung dalam jangka sepuluh hari kesehatannya sudah akan pulih seperti sedia kala." Lalu dia berpaling kepada Tio swat-in . "Tetap pada nasehatku semula, jangan terlalu sedih, penyakitmu timbul karena kau tidak bisa mengekang emosi, ingat carilah kerja ringan yang membangkitkan semangat dan meriangkan hati. oh, ya, dua hari lagi mungkin kau akan merasa lebih segar, mungkin sudah bisa latihan samadi, sisa hawa dingin yang masih bersemayam dalam tubuhmu bisa kau usir keluar, tapi kau harus ingat,jangan gegabah dan mencoba secara serampangan, kau harus maklum, hawa murnimu memang sudah ludes, sebulan lebih kau tidak pernah samadi, bila di paksakan salah-salah bisa fatal akibatnya, bukan saja kau tidak berhasil mengusir hawa dingin itu, malah tenaga yang sudah pulih sedikit itu bisa buyar dan mendatangkan kesukaran lagi." Dengan pandangan haru dan terima kasih Tio Swat-in menatap kepada Siangkoan Bu, tabib yang welas asih, dan penuh kasih sayang ini, dia hanya mengangguk kepala, Siangkoan Bu segera keluar terus berangkat. Siangkoan Bu menjelajah pegunungan, dimana dia kira ada obat, kesitu dia mencari, dengan ketelitian dan ketekunannya dia mencari bahan-bahan obat yang diperlukan sudah tentu sekalian diapun memetik daon-daon obat-obatan yang kebetulan ditemukan. Lekas sekali beberapa hari telah berselang. Hari itu Siangkoan Bu memasuki sebuah lembah dipegucungan Ceng-king san, di tengah malam yang dingin baru dia berhasil menemukan bahan-bahan obat yang diperlukan, jadi bahan-bahan obat yang diperlukan sudah lengkap seluruhnya, dengan rasa senang segera dia berlompatan sambil lari mengembangkan Ginkang mau meninggalkan lembah dingin itu pulang kerumah. Tiba-tiba gelak tawa seram berkumandang dari atas jurang dan mengalun ditengah malam gelap ini bergema didalam lembah, kontan Siangkoan Bu menghentikan langkah sambil bersuara heran. Karena ketarik, dan ingin tahu apa yang terjadi, segera dia putar haluan, melesat terbang kearah datangnya suara. Tawa aneh itu masih berkumandang dari atas jurang. Di kala Siangkoan Bu mencapai suatu ketinggian dan hinggap di atas batu cadas yang menonjol, begitu dia mendongak, kebetulan dilihatnya sesosok bayangan orang jungkir balik melayang jatuh dari atas. Sebagai tabib tugas nya mendong jiwa orang, dalam keadaan gawat ini Siangkoan Bu tidak pikir panjang lagi, tanpa peduli siapa yang jatuh segera dia samber bayangan jatuh itu terus dibawa lompat jauh beberapa kali lenyap dibawah sana. Tanpa sengaja tabib pendekar Siangkoan Bu telah mendong jiwa Pakkiong Yau-Liong yang nekad menerjunkan diri kedalam jurang karena terancam oleh Tok-ni-kau-hun Ni Ping ji yang kejam dan telengas itu. Mungkin ajal Pakkiong Yau-Liong memang belum saatnya, setelah disiksa sedemikian rupa dan nekad ingin bunuh diri terjun kejurang, secara kebetulan dia justru ditolong oleh Siangkoan Bu. Setelah membawa lari Pakkiong Yau-Liong cukup jauh, dibawah sebuah pohon dia berhenti serta menurunkan Pakkiong Yau-Liong yang kurus tinggal kulit membungkus tulang, maklum setelah disiksa sedemikian rupa keadaannya memang amat mengenaskan, dia masih pingsan- Bau apek. amis yang memualkan merangsang hidung Siangkoan Bu, keadaan orang yang ditolongnya ini memang teramat menyedihkan, sesaat lamanya Siangkoan Bu menjublak kaget ditempatnya. Rambut Pakkiong Yau Liong terurai panjang, kusut masai, kulit mukanya membesi hijau, tulang dipundak sebelah kiri menongol keluar, luka-lukanya mumur, pakaiannya dekil dan sobek tak karuan, berlepotan darah, sepuluh jarinya melepuh besar berwarna biru, darah masih meleleh dari mulutnya, mata nya cekung, bibirnya pecah-pecah kering, keadaannya mirip mayat hidup, siapapun tidak tega melihat keadaannya. Bau yang kurang sedap merangsang hidung Siangkoan Bu dari badan Pakkiong Yau-Liong. Cinta kasih kepada sesamanya adalah sifat manusia, apalagi Siangkoan Bu sebagai Tabib pendekar yang sudah memperoleh nama harum di kalangan Kangouw. Lekas dia memeriksa keadaan Pakkiong Yau-Liong, luka-luka disepuluh jarinya, luka-luka dipundak dengan tulang nya yang parah, denyut nadinya yang sudah teramat lemah, seperti jantungnya akan berhenti berdetak sewaktu-waktu. Siangkoan Bu yakin bahwa orang yang tidak dikenalnya dengan keadaan tubuh yang mengenaskan inipasti mengalami siksaan yang luar biasa, malah kehilangan darah terlalu banyak sehingga keadaannya teramat lemah. Bertaut alis Siangkoan Bu, beberapa kali dia menghela napas sambil geleng-geleng mengingat nasib orang yang tersiksa sesadis ini, tak pernah terbayang dalam ingatannya bahwa di dunia ini ada juga manusia sekejam dan setelengas ini, menyiksanya begini rupa. Maka dia berkeputusan untuk menolong orang asing ini, malah dia sudah berjanji, untuk mencurahkan segenap kemahirannya, dengan tekun merawat dan mengobati sampai sembuh. Dari kantongnya dia keluarkan botol obat lalu menjejalkan dua butir Kui-goan-sia-tan kemulut Pakkiong Yau-Liong. Dengan hati-hati dia membopong Pakkiong Yau-Liong yang pingsan terus dibawa pulang. Layap-layap Pakkiong Yau liong mulai sadar, pelan-pelan setelah agak lama kemudian dia membuka pelupuk matanya. Samar-samar tampak olehnya sinar rembulan menyorot masuk dari jendela, didapatinya dirinya rebah diatas ranjang empuk di dalam kamar sederhana yang bersih, rasanya nyaman dan nikmat. Pakkiong Yau-Liong merasa dirinya dalam impian, maka dia menggumam. "Di manakah aku ini, tidak mirip diakhirat." Tiba-tiba dia mendengar cekikik tawa geli yang lirih tapi merdu. Lekas Pakkiong Yau-Liong berpaling, matanya yang masih redup dan samar-simar terbuka lebar, tampak diambang pintu berdiri seorang gadis belia berusia enam belasan, berwajah bundar telur, tubuh nan semampai dengan gaun panjang serta baju sari menjuntai pula, cantiknya seperti bidadari, gadis ayu ini sedang mengawasi dirinya dengan senyumnya yang manis. Gadis ini bukan lain adalah putri tunggal Siangkoan Bu dengan Tok-Liong-sian-li yaitu Siangkoan Ceng. begitu sorot matanya bentrok dengan pandangan Pakkiong Ytu-Liong, lekas dia melengos dengan wajah merah malu, maklum gadis pingitan yang belum pernah keluar rumah,jarang bergaul lagi, lekas ia berlari keluar. Pakkiong Yau-Liong makin bingung dan heran, batinnya. "Jelas disini bukan akhirat, lalu tempat apa?" Tengah berpikir, tiba-tiba terasa luka-luka di tubuhnya sudah dibalut dan diobati, rasa sakit telah lenyap. dengan haru hatinya berteriak. "Apakah aku belum mati..." Dia meronta hendak bangun, tapi sendi-sendi tulangnya terasa linu seperti ditusuk jarum, badanpun lunglai tak bertenaga, dia mendapatkan rambutnya yang tersisir rapi wajahnya tercuci bersih, pakaiannyapun telah diganti, Maka dia yakin bahwa dirinya telah ditolong orang. Pakkiong Yau-Liong bingung, tak tahu apakah perasaannya sekarang senang atau berduka? Hambar atau rawan? Pendek kata dia sudah yakin bahwa dirinya masih hidup, suatu ketika kelak dia masih mampu mencari Toh bing sik-mo untuk menuntut balas, demikian pula membalas siksaan Tok-ni-kau-hun Ni ping-ji, bukan melulu untuk dirinya, juga menuntut bagi perempuan tidak berdosa yang ajal karena berusaha menolong dirinya. Tiba-tiba di luar didengarnya langkah mendatangi, maka masuklah Tabib pendekar Siangkoan Bu sambil tersenyum ramah. begitu Siangkoan Bu tiba dipinggir ranjang, sebelum orang bersuara Pakkiong Yau-Liong sudah berusaha bangkit dan berkata. "Cianpwe ini tentu orang yang telah menolong jiwa Pakkiong Yau-Liong, budi pertolongan Cia npwe atas pertolongan kali ini, aku..." Sebelum Pakkiong Yau liong berkata habis Siangkoan Bu sudah menekan Pakkiong tidur lagi, sebelah tangannya digoyang mencegah dia banyak bicara. Katanya. "Tak usah rikuh atau sungkan, kondisi badanmu teramat lemah, kau harus banyak istirahat cukup lama." Pakkiong Yau-Liong ditekan tidur pula, mendengar perkataan orang, mulut yang sudah terbuka urung bicara, tak tahu bagaimana dia harus menghaturkan terima kasih. Dengan tertawa Siangkoan Bu berkata. "Kalau dibicarakan mungkin kau bukan terhitung orang luar, waktu aku menukar pakaianmu tadi, kutemukan ruyung lemas singa emas senjata tunggalmu itu, kukira kau punya hubungan erat dengan Biau-hu Suseng." Pakkiong Yau-liong manggut2, katanya. "Betul beliau adalah guru Wanpwe yang berbudi luhur." "Nah, betul dugaanku,jadi kau bukan orang luar lagi. Saat aku memanggilmu Hian-tit saja. Aku bernama Siangkoan Bu, waktu mudaku meski tidak kental hubunganku dengan gurumu, tapi gurumu pernah memberi bantuan berharga sehingga aku berhasil menyempurnakan diri, entah bagaimana keadaannya sekarang?" Pakkiong Yau-liong menghela napas, lalu katanya. "Sayang beliau sudah meninggal setahun yang lalu." Siangkoan Bu melengak, akhirnya menghela napas panjang. Tiga puluh tahun yang lampau, waktu itu Siangkoan Bu masih bujangan dan baru saja terjun diBulim, belum ada setahun dia sudah mendapat nama dan diagulkan para pengagumnya, masih muda mendapat kedudukan terhormat, adalah jamak kalau Siangkoan Bu menjadi tinggi hati. Dalam suatu pertemuan dengan kaum persilatan, mereka membicarakan Biau-hu Suseng, tokoh lihay yang mendapat julukan jago nomor satu di seluruh Bulim masa itu, sudah tentu Siangkoan Bu kurang senang bahwa seseorang lebih tinggi, lebih besar namanya dari dirinya, sejak hati itu diam-diam dia berupaya untuk menjajal kepandaian Biau-hu Suseng siapa lebih unggul di antara mereka. Maka kemana-mana dia pergi mencari jejak Biau-hu Suseng, karena usahanya tidak berhasil dia menyiarkan tekad hatinya di hadapan umum, bahwa dia ingin bertanding melawan Biau-hu Suseng. Malah dia menentukan waktu dan tempatnya. Sudah tentu aksinya menimbulkan kegemparan diBulim, kaum persilatan dari aliran putih atau golongan hitam sama memperbincangkan berita besar ini, orang banyak ingin tahu dan menyaksikan pertandingan besar dari dua jago pendekar yang sama sama mempunyai reputasi baik dan besar dikalangan persilatan, yang ditentukan Tabib pendekar Siangkoan Bu telah tiba. Eatah betapa banyak pendekar, orang-orang gagah dan gembong-gembong penjahat yang ternama datang kekota Pakkhia. Waktu yang ditentukan adalah tanggal sembilan bulan Sembilan malam menjelang hari raya cong yang, mereka akan bertanding di Koh-Siok bok dibiara pintu barat kota, Pakkhia. Siapa tidak ingin menyaksikan duel dua Harimau yang erkepandaian tinggi. Seorang adalah Tabib pendekar Siangkoan Bu yang belum genap setahun menggetar dunia persilatan, lawannya adalah Biau-hu Suseng yang diakui sebagai jago nomor satu diseluruh jagat oleh selapisan kaum persilatan. Tanggal 9 bulan sembilan malam, bulan sabit di atas largit menerangi Koh-jiok boh sepuluh li diluar pintu barat kota Pak khia, letaknya diujuug hutan bambu yang rimbun dan rungkut. Di tengah Koh-Siok-boh terdapat sebidang tanah lapang seluas tiga puluhan tombak, dimana penuh sesak manusia yang berjubel,jumlahnya ada ratusan orang. Mereka adalah kaum persilatan yang ingin menyaksikan pertandingan, suasana masih ribut oleh pembicaraan ramai dari hadirin yang masing-masing menjagoi orang yang diagulkan, tidak sedikit pula yang bertaruh dari nilai keCil sampai jumlah yang laksaan tail banyaknya. Tapi tunggu punya tunggu, tidak terasa hari sudah menjelang kentongan kedua, bukan saja Biau-hu Saseng tidak muncul, malahan Tabib Pendekar Siangkoan Bu yang menyiarkan berita tentang pertandingan inipun tidak kelihatan bayangannya. Ditengah keributan orang banyak. sang waktu terus berlalu, hadirin jadi menebak-nebak. apa yang bakal terjadi, bulan sabit sudah semakin doyong kebarat kentungan ketiga sudah jelang. Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang melesat terbang dengan kecepatan luar biasa, hanya sekejap bayangan itu sudah meluncur keatas Ko-tiok-boh, kecepatan geraknya dan gayanya yang gemulai indah mengejutkan seluruh hadirin, dengan pandangan mendelong mereka mengawasi pendatang ini. Yang berdiri ditengah gelanggang adalah seorapg pemuda berusia dua puluh tahunan, berwajah tampan, gagah, berpakaian ringkas, kancing putih berderet didepan dada, itulah pakaian yang peranti dibikin khusus bagi kaum pesilat, pemuda tampan ini menggendong pedang lima kaki dipunggungnya, gerak-geriknya begitu menarik sehingga perhatian seluruh hadirin ditujukan kepadanya, suara ribut sirap seketika. Yang datang ini bukan lain adalah Siang koan Bu. Pandangannya yang jumawa menyapu pandang keseluruh hadirin, dengan senyum lebar menghias wajahnya, segera dia merangkap kedua tangan menjura keempatpenjuru, dengan suaranya yang lantang berbicara. "cayhe (aku yang rendah) Siangkoan Bu, entah apa kemampuanku, sehingga tuan-tuan sekalian sudi datang dari tempat jauh, biarlah setelah pertandingan nanti usai, akan kuhaturkan banyak terima kasihku akan kehadiran tuan-tuan." Nada bicaranya terasa sombong, sikapnya juga jumawa, tidak sedikit yang menggeleng sambil menghela napas. Habis bicara Siangkoan Bu membusung dada, sorot matanya semakin Cemerlang, katanya lantang sambil berputar tubuh. "Kentongan ketiga sudah tiba, Biau-hu Suseng yang kutantang kemari seharusnya sudah datang,jikalau dia sudah berada di antara hadirin, silahkan keluar memberi petunjuk, supaya hadirin tidak terlalu lama menunggu." Tapi ratusan hadirin tiada Satupun yang bergerak. Pedang Kayu Cendana Karya Gan KH di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo tiada yang bersuara, SuaSana menjadi hening Siangkoan Bu menyapu hadirin pula dengan sorot tajam, ditunggu beberapa kejap tetap tiada sambutan, apa boleh buat, diba-wah tontonan orang banyak terpaksa Siangkoan Bu mundur kesamping. Bulan sabit sudah semakin doyong kebarat, hadirin mulai bisik-bisik lagi, kentongan ketiga sudah lewat. Siangkoan Bu yang menyingkir kepinggir makin tidak enak perasaannya, pikirnya. "Mungkinkah dia tidak mendengar atau menerima tantanganku yang kusebar luaskan dikalangan Kangouw? Ah tidak mungkin ? Sejak bulan empat sampai sekarang ada lima bulan lamanya, setiap kaum persilatan yang berkecimpung dikalangan Kangouw tiada yang tidak tahu akan tantanganku kepada Biau-hu Suseng, mana mungkin dia tidak tahu menahu tentang tantangan duelku itu ? Kalau dia mendengar, sebagai jago top yang disanjung puji, pesilat nomor satu dijagat ini, apapun yang terjadi, mana berani dia mengabaikan tantanganku dan tidak berani muncul didepan umum. Begitulah batin Siangkoan Bu dengan lamunannya, hadirin masih bisik-bisik, suasana seketika ribut, yang bertabiat kasar malah ada yang mengumpat caci, namun tidak sedikit pula yang diam-diam tinggal pergi. Kentongan keempat. Bagi mereka yang tidak punya kerja dan tertarik akan pertandingan masih menunggu dengan penuh harapan, padahal yang berlalu sudah setengah lebih. Hadirin tahu Biau-hu Suseng bukan orang yang takut menghadapi persoalan, dalam keadaan seperti ini, siapapun meski menyadari Kungfu sendiri bukan tandingan Siangkoan Bu juga pasti berani mempertaruhkan jiwa raga menempur Siangkoan Bu, apalagi Biau-hu Suseng yang diagulkan sebagai jago nomor satu di seluruh Bulim. Hembusan angin malam nan dingin menggontai hutan-hutan bambu sehingga mengeluarkan suara lirikan yang mengerikan, hadirin kedinginan dan mengkirik juga oleh suasana yang seram ini. Kalau hadirin masih ada yang sabar menunggu, adalah Tabib Pendekar Siangkoan Bu tidak betah lagi, dia tahu bahwa Biau-hu Suseng memperoleh julukan setinggi itu tentu memiliki kepandaian yang sejati. Kalau kenyataannya memang demikian, tidak mungkin dia jeri menghadapi dirinya, lalu kenapa dia tidak memenuhi tantanganku ? Pasti dia meremehkan diriku, dia tidak mau datang karena dla menghina dan mengecilkan arti tantanganku. Entah dari mana datangnya pikiran tidak sehat itu, yang jelas hati Siangkoan Bu sudah mulai dirundung pikiran yang kacau. Akhirnya dengan gusar dia membanting kaki. tiba-tiba dia berkelebat melompat ketengah arena pula serunya lantang sambil angkat kepalanya. "Biau-hu Suseng tidak mau datang memenuhi tantanganku, mungkin karena Kungfuku masih terlalu rendah, maka dia tak sudi memberi petunjuk kepadaku. Maaf kepada hadirin bahwa kedatangan kalian sia-sia, maka sudilah menerima maafku ini." Lalu dia menjura keempat penjuru, habis itu dia membusung dada pula, serunya. "Tapi mohon bantuan hadirin supaya menyampaikan kepada Biau-hu Suseng bila ketemu, katakan kepadanya sejak hari ini sebelum aku berduel dengan dia menentukan siapa hidup siapa mati dengan dia, aku bersumpah tak akan bercokol dibumi ini." Kata-katanya tandas dan tegas, agaknya tekadnya sudah teguh, habis bicara segera dia meninggalkan tempat itu. Diantara hadirin yang ikut kecewa dan siap-siap pergi, tiba-tiba seseorang menghela napas panjang, sekejap tampak sinar matanya memancar, tapi lekas sekali sudah sirna tak berbekas, sekali berkelebat tahu-tahu dia sudah melompat kesamping Siangkoan Bu, sambil menjura dia menyapa kepada Siangkoan Bu. "Siangkoan Siauhiap. sudah lama Lo-han mendengar Kungfumu lihay dan jiwamu yang pendekar, hari ini sudah ku bUktikan sendiri. Bahwa kau sudah berada di sini, maka Lo-han yang tidak berguna ini ingin mohon petunjukmu sejurus setelah hadirin pergi seluruhnya, entah Siauhiap (pendekat muda) sudi memberi petunjuk kepada Lo-han (aku orang tua)." Siangkoan Bu serba salah, tapi sikap dan cara orang tua dihadapannya ini begini tulus dan sungguh-sungguh, dia jadi bimbang dan ragu-ragu, sekilas dia melirik orang tua ini. Orang tua itu tidak sungkan lagi katanya lagi. "Siauhiap tidak usah bimbang aku sudah tua, kaki tanganku sudah tidak selincah masa muda dulu, tapi aku masih mampu berkelahi. Nah, sambutlah pukulanku." Tiba-tiba kedua tangan melintang didepan dada, tangan kanan berputar satu lingkar, tangan kiri menyodok keluar dari tengah menepuk dada Siangkoan Bu. Gayanya aneh, serangannya lucu, hakikatnya bukan serangan seorang pesilat yang mahir Kungfu, namun telapak tangan yang disodok maju perlahan ternyata mengandung tenaga berat dan besar. Masih ada belasan orang yang ketinggalan, jadi urung meninggalkan tempat itu, mereka membatalkan niat semula mau pergi, dari kejauhan mereka menonton dengan keheranan- Siangkoan Bu berpikir. "Kakek tua ini kenapa tidak tahu aturan ?" Sembari berpikir sudah timbul niatnya hendak balas menyerang tapi suatu pikiran lain berkelebat dalam benaknya. "Kalau Siangkoan Bu menanggapi tantanganmu, menangpun aku tetap malu, lebih celaka lagi kaum persilatan akan mentertawakan diriku, dikatakan aku hanya berani menganiaya seorang kakek belaka." Karena itu ketika tangan, yang bergerak dan terangkat itu lekas ditarik pula, berbareng kakinya bergerak secepat kilat dia meluputkan diri dari tepukan lawan- Ternyata kakek ini tidak tinggal diam, mendapat angin dia malahan mendesak lebih lanjut, tangan yang menepuk kedepan tetap menjulur lurus bergerak mengikuti gerak-gerik Siangkoan Bu, sementara telapak tangan yang lain ikut menepuk pula secara bergantian-Kali ini bukan saja serangannya aneh, jurus serangannya juga amat mengejutkan. Apapun Siangkoan Bu tidak pernah menyangka bahwa kakek tua ini bisa merobah permainan secepat dan selihay ini, yang diincarpun sasaran yang mematikan, saking kaget dan meraung gusar, sebat sekali dia memiringkan tubuh sambil menyingkir kesamping. Untung masih sempat meluputkan diri dari serangan kedua tangan sang kakek. Agaknya amarah Siangkoan Bu terbakar, kini dia tidak hiraukan akibatnya pula, tangan kanan segera bergerak dengan Thian-hing-kay-thay (langit terbentang membuka bukit) telapak tangannya menampar ke muka si kakek. Serangan balasannya ternyata tak kalah lihay tenaganya malah kuat dan besar. Sudah jelas kakek tua ini bakal pecah batok kepalanya oleh pukulan telapak tangan Siangkoan Bu. Tapi, tampak kakek tua itu seperti terlalu besar menggunakan tenaganya sehingga serangannya tak mampu ditarik balik langkahnya tersuruk maju sehingga dia jatuh terjerembab, secata kebetulan dia selamat dari tepukan telapak tangan Siangkoan Bu. Pelan-pelan kakek itu merangkak duduk lalu berbangku sambil menghela napas, katanya menjura kepada Siangkoan Bu . "Siauhiap memang lihay Kungfunya, aku orang tua amat kagum." Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Ilmu Golok Keramat Karya Chin Yung Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo