Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti Suling Pualam 36


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Bagian 36


Pendekar Sakti Suling Pualam Karya dari Chin Yung   "Goat Nio...." "Adik Bun Yang...."   Bu Ceng Sianli memeluknya erat-erat, ia pun menangis terisak-isak.   "Jangan begini, aku... aku tak tahan melihatmu jadi begini! Adik Bun Yang, tenanglah!"   "Goat Nio sudah mati dibunuh. Aku...."   Tio Bun Yang terus menangis gerung-gerungan.   "Goat Nio, di mana engkau? Aku... aku rindu sekali kepadamu."   "Adik Bun Yang!"   Bu Ceng Sianli membela nya.   "Jangan menangis...."   Di saat bersamaan, mendadak muncul seorang tua pincang, yang tidak lain guru Sie Keng Hauw.   "Eeeh?"   Orang tua pincang itu terbelalak.   "Bun Yang? Kalian berdua...."   Bu Ceng Sianli sama sekali tidak menghiraukan orang tua pincang itu, melainkan terus membelai Tio Bun Yang sekaligus menghiburnya.   "Engkau harus tenang, Adik Bun Yang! Percayalah! Goat Nio tidak mati."   "Ha ha ha."   Orang tua pincang itu tertawa gelak.   "Lucu sekali! Kalian berdua sedang berpacaran atau sedang main sandiwara?"   "Hei, orang tua tak tahu diri!"   Bentak Bu Ceng Sianli.   "Kami berdua sedang dirundung duka. engkau malah tertawa di hadapan kami! Hm! Sekali lagi engkau tertawa, pipimu pasti bengkak!"   "Galak amat!"   Orang tua pincang itu melotot.   "Bun Yang kekasihmu ya? Kenapa engkau memeluknya?"   "Ini urusan kami, engkau tidak perlu campur!"   Sahut Bu Ceng Sianli tidak senang.   "Aku justru perlu campur,"   Ujar orang tua pincang.   "Hei, Nona galak, aku kenal baik Bun Yang lho!" "Oh?"   Bu Ceng Sianli tertegun.   "Siapa engkau?"   "Bukankah engkau sudah lihat? Aku adalah... Si Pincang,"   Sahut orang tua pincang dan bertanya.   "Nona galak, siapa engkau?"   "Aku adalah Bu Ceng Sianli."   "Bu Ceng Sianli?"   Orang tua pincang itu terbelalak.   "Engkau terus-menerus memeluk dan membelai Bun Yang, kok masih bilang Bu Ceng (Tanpa Perasaan)? Seharusnya Toh Ceng (Kelebihan Perasaan) lho!"   "Diam!"   Bentak Bu Ceng Sianli kesal.   "Bun Yang!"   Panggil orang tua pincang sambil mendekatinya, kemudian memandangnya dengan penuh perhatian seraya bertanya.   "Bun Yang, kenapa engkau?"   "Aku...."   Tio Bun Yang menolehkan kepalanya.   "Paman tua...."   "Syukurlah engkau masih kenal aku!"   Orang tua pincang itu menarik nafas lega lalu berkata.   "Tadi engkau menangis gerung-gerungan, apa yang telah terjadi atas dirimu?"   "Aku...."   Tio Bun Yang menggeleng-gelengkan kepala.   "Oh ya!"   Orang tua pincang menatapnya.   "Bun Yang, apakah engkau sudah tahu siapa ketua Kui Bin Pang itu?"   "Ketua Kui Bin Pang?"   Tio Bun Yang terkejut.   "Paman tua pernah melihat ketua Kui Bin Pang itu?"   "Pernah."   Orang tua pincang mengangguki "Oh ya! Gadis ini memang cantik, tapi kelihatan galak sekali. Apakah dia kekasihmu?"   "Bukan."   Tio Bun Yang menggelengkan kepala, kemudian berkata kepada Bu Ceng Sianli.   "Kakak, dia adalah guru Sie Keng Hauw. Juga adalah...." "Ayahku adalah Tetua Kui Bin Pang,"   Sambung orang tua pincang memberitahukan.   "Sudah cukup lama aku kenal Bun Yang, tapi...."   "Kenapa?"   Tanya Bu Ceng Sianli ketus.   "Dulu Bun Yang tidak begini, kenapa sekarang jadi agak linglung?"   Sahut orang tua pincang sambil mengerutkan kening.   "Heran? Kok bisa jadi begini?"   "Itu...."   Bu Ceng Sianli tidak mau menceritakan tentang kejadian itu, sebab khawatir akan menimbulkan kedukaan hati Tio Bun Yang. Namun, Tio Bun Yang justru memberitahukannya.   "Kekasihku mati dibunuh ketua Kui Bin Pang, sedangkan ketua Kui Bin Pang itu mati di tanganku."   "Apa?"   Orang tua pincang terbelalak.   "Ketua Kui Bin Pang mati di tanganmu?"   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   "Maksudmu...."   Orang tua pincang menatap lio Bun Yang dengan mata tak berkedip.   "Engkau mampu membunuhnya?"   "Ketua Kui Bin Pang memang mati di tanganku,"   Sahut Tio Bun Yang dan menambahkan.   "Sebetulnya aku tidak ingin membunuhnya."   "Ketua Kui Bin Pang itu memang harus mampus!"   Ujar orang tua pincang dan kemudian bertanya.   "Oh ya! Siapa kekasihmu itu?"   "Siang Koan Goat Nio."   "Siang Koan Goat Nio?"   Gumam orang tua pincang.   "Apakah gadis yang cantik jelita itu?"   "Paman tua!"   Tio Bun Yang tersentak.   "Apakah Paman tua pernah melihat Goat Nio?" "Aku memergoki ketua Kui Bin Pang itu sedang merayu seorang gadis, tapi gadis itu tidak menghiraukannya."   Orang tua pincang memberitahukan.   "Di saat itulah aku muncul menggodai mereka, karena aku kira mereka berdua sepasangl kekasih. Akan tetapi, begitu aku muncul...."   "Lalu bagaimana?"   "Semula aku tidak tahu pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang,"   Jawab orang tua pincang melanjutkan.   "Dia kurang ajar sekali terhadapku, akhirnya dia bilang mau membunuhku dengan ilmu Pek Kut Im Sal Kang. Barulah aku tahu di"   Adalah ketua Kui Bin Pang, sebab hanya ketua Kui Bin Pang yang memiliki ilmu itu."   "Setelah itu bagaimana?"   "Aku langsung kabur, tapi kemudian kembali lagi ke situ dan bersembunyi di belakang pohon Aku melihat ketua Kui Bin Pang itu menggunakan ilmu sesat untuk mempengaruhi gadis itu. Namun sungguh mengherankan, gadis itu cuma terpengaruh sedikit. Ketua Kui Bin Pang itu... kelihatan ingin memperkosanya, tapi gadis itu terus melangkah mundur dan tidak menyadari sama sekali, kalau di belakangnya terdapat sebuah jurang."   "Bagaimana' gadis itu?"   "Mendadak ketua Kui Bin Pang ingin memeluknya, namun gadis itu meloncat ke belakang, dan akhirnya jatuh ke jurang itu."   Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.   "Setelah itu. aku mendengar suara teriakan ketua Kui Bin Pang itu."   "Dan teriakan apa?"   Wajah Tio Bun Yang mulai pucat pias.   "Dia berteriak apa?"   "Dia berteriak memanggil nama seorang gadis, yakni Goat Nio."   Orang tua pincang memberitahukan. "Paman tua!"   Tio Bun Yang memegang tangannya.   "Di mana jurang itu?"   Wajah orang tua pincang meringis-ringis, ternyata Tio Bun Yang memegang tangannya kencang sekali.   "Aduuuh...!"   "Paman tua!"   Tio Bun Yang segera melepaskan tangannya.   "Cepat katakan di mana jurang itu!"   "Di... di Tebing Selaksa Bunga."   "Tebing Selaksa Bunga? Berada di mana letung itu?"   Tanya Tio Bun Yang.   "Engkau ingin ke sana?"   Orang tua pincang lialik bertanya sambil menatapnya.   "Ya."   Tio Bun Yang mengangguk.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Paman tua, tolong antar aku ke sana!"   "Tapi...."   Orang tua pincang tampak ragu.   "Paman tua,"   Desak Tio Bun Yang.   "Tolong antar aku ke Tebing itu!"   "Baiklah."   Orang tua pincang mengangguk.   "Adik Bun Yang,"   Sela Bu Ceng Sianli mendadak.   "Jangan mempercayai omongan Si Pincang itu! Mungkin dia membohongimu!"   "Ei! Gadis sialan! Aku berkata sesungguhnya, lagi pula aku tidak pernah membohongi siapa pun,"   Sahut orang tua pincang tidak senang.   "Kakak..."   Ujar Tio Bun Yang.   "Paman tua ini tidak mungkin membohongiku, dia pasti melihat Goat Nio."   "Betul."   Orang tua pincang manggut-manggut.   "Aku memang melihat gadis itu, sama sekali tidak bohong."   "Engkau...."   Bu Ceng Sianli melototi orang tua pincang itu.   Tadi ia mengatakan begitu hanya untuk mencegah agar Tio Bun Yang tidak ke Tebing Selaksa Bunga, karena khawatir akan terjadi sesuatu atas diri Tio Bun Yang, namun orang tua pincang justru tidak tahu maksudnya.   "Dasar pincang...!"   "Kok marah-marah kepadaku? Kalau aku ti dak memandang Bun Yang, sudah kutampar mulutmu!"   Plaaak! Justru sebuah tamparan keras mendarat di pipi orang tua pincang tersebut.   "Aduuuh!"   Orang tua pincang itu menjerit kesakitan, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dengan gusar sekali.   "Hi hi hi!"   Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan.   "Rasakan! Makanya jangan kurang ajar terhadapku?"   "Engkau...."   Orang tua pincang menudingnya.   "Engkau... kok berani kurang ajar terhadapku?"   "Hi hi hi!"   Bu Ceng Sianli tertawa cekikikan, kemudian berkata dengan nada dingin.   "Kalau engkau bukan kawan Adik Bun Yang, saat ini sudah tergeletak di sini!"   "Engkau...."   Orang tua pincang kelihatan sudah bersiap untuk bertarung dengan Bu Ceng Sianli.   "Sudahlah!"   Ujar Tio Bun Yang.   "Aku sedang kacau, kalian berdua malah terus ribut!"   "Gadis itu berani kurang ajar terhadapku." 'Paman tua...."   Tio Bun Yang mengerutkan kening.   "Paman lebih muda daripada dia. maka tidak boleh kurang ajar terhadapnya."   "Apa?"   Orang tua pincang terbelalak, kemudian menatap Tio Bun Yang dengan mata mendelik-delik.   "Bun Yang, betulkah engkau sudah begitu linglung, sehingga tidak bisa membedakan siapa yang lebih muda dan siapa yang lebih tua?" "Paman tua, Bu Ceng Sianli sudah berusia hampir sembilan puluh."   Tio Bun Yang memberitahukan.   "Ha ha ha!"   Orang tua pincang tertawa gelak.   "Kalau begitu, usiaku tentunya sudah mencapai tiga ratus tahun."   "Paman tua, aku berkata sesunggunhya, sama sekali tidak bergurau. Kalau Paman tua tidak percaya, terserah. Tapi sekarang Paman tua harus mengantarku ke Tebing Selaksa Bunga."   "Baik."   Orang tua pincang mengangguk.   "Mari kita berangkat sekarang!"   "Kakak mau ikut?"   Tanya Tio Bun Yang kepada Bu Ceng Sianli.   "Tentu mau,"   Sahut Bu Ceng Sianli.   Mereka bertiga lalu meleset ke arah Tebing Selaftsa Bunga menggunakan ginkang.   -oo0dw0oo- Tio Bun Yang berdiri di tepi jurang di Tebing Selaksa Bunga.   Ia terus memandang ke bawahi jurang sambil bergumam dengan air mata berderai-derai.   "Goat Nio! Goat Nio...."   "Bun Yang!"   Orang tua pincang memperingat kannya.   "Hati-hati, jangan sampai terpeleset ke dalam jurang!"   "Paman tua,"   Tanya Tio Bun Yang.   "Betulkah Goat Nio jatuh di dalam jurang ini?"   "Betul."   Orang tua pincang mengangguk.   "Aaakh!"   Keluh Tio Bun Yang.   "Goat Nio, kenapa engkau begitu tega meninggalkan aku? Goat Nio...." "Adik Bun Yang, ayoh kita kembali ke markas pusat Kay Pang!"   Seru Bu Ceng Sianli. Tio Bun Yang tetap berdiri mematung di tepi pirang. Air matanya terus berlinang-linang dan wajahnya pucat pias seperti kertas.   "Goat Nio! Goat Nio! Aku tahu engkau sedang menungguku engkau sangat kesepian di sana. Goat Nio! Tunggu aku!"   Mendadak Tio Bun Yang menerjunkan dirinya ke jurang itu. Betapa terkejutnya Bu Ceng Sianli.   "Adik Bun Yang! Adik Bun Yang!"   Serunya sambil meleset ke tepi jurang. Ia masih sempat melihat tubuh Tio Bun Yang meluncur ke bawah, kemudian hilang di telan kabut.   "Adik Bun Yang! Aclik Bun Yang...!"   Bu Ceng Sianli juga ingin terjun ke jurang iiu. tapi sekonyong-konyang orang tua pincang merangkulnya dari belakang, sekaligus menariknya.   "Lepaskan!"   Teriak Bu Ceng Sianli sambil meronta.   "Nona...."   Orang tua pincang melepaskannya seraya berkata.   "Jangan kau lakukan itu!"   "Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!"   Teriak Bu Ceng Sianli, lalu mendadak menatap orand tua pincang dengan penuh kegusaran.   "Engkau., gara-gara engkau! Aaaah...!"   "Tenanglah Nona!"   Orang tua pincang meng gelenggelengkan kepala.   "Aku...."   "Engkau...."   Bu Ceng Sianli menudingnya, ke mudian dengan tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika juga terdengar suara tamparan keras. Plak! Plok! Plaaak! "Aduuuh!"   Jerit orang tua pincang kesakitan Kedua belah pipinya telah bertanda bekas telapal tangan Bu Ceng Sianli. "Adik Bun Yang terjun ke jurang gara-gara engkau, maka secara tidak langsung engkau telah membunuhnya!"   Ujar Bu Ceng Sianli sambil me natapnya dengan mata berapi-api.   "Aku...."   Orang tua pincang menundukku kepala.   "Adik Bun Yang...."   Bu Ceng Sianli duduk di pinggir jurang sambil menangis sedih dengan air mata berderai-derai.   "Adik Bun Yang...."   "Aaaah...!"   Orang tua pincang menghela nafas panjang, la'u duduk di sisi Bu Ceng Sianli.   "Aku., aku yang bersalah dalam hal ini, maafkanlah aku! "Sesungguhnya engkau pun tidak bersalah dalam hal ini,"   Sahut Bu Ceng Sianli, yang wajah nya tampak pucat pias.   "Engkau memberitahukan nya, tapi dia...."   "Kita harus tenang,"   Ujar orang tua pincang.   "Sebab... aku pun harus bertanggung jawab mengenai kejadian ini."   "Aku tidak berani membayangkan, bagaimana kedua orang tuanya dan kakeknya serta penghuni Hong Hoang To?"   "Ya."   Bu Ceng Sianli mengangguk.   "Lim Peng liang, ketua Kay Pang adalah kakeknya."   "Celaka!"   Keluh orang tua pincang.   "Aku... aku harus bagaimana?"   "Kita harus segera ke markas pusat Kay Pang memberitahukan tentang kejadian ini,"   Sahut Bu Ceng Sianli.   "Ya."   Orang tua pincang mengangguk.   "Oh ya, engkau kelihatan begitu sayang kepada Tio Hun Yang. Apakah...."   "Aku memang mencintainya, namun itu tidak mungkin,"   Sahut Bu Ceng Sianli sambil menghela nafas panjang.   "Kenapa tidak mungkin?"   Orang tua pincang heran.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Engkau masih muda dan cantik sekali, kalian berdua merupakan pasangan yang serasi lho!" "Aaah...!"   Bu Ceng Sianli tersenyum getir.   "Adik Bun Yang tidak bohong, usiaku memang hampit sembilan puluh."   "Engkau...."   Orang tua pincang terbelalak.   "Engkau awet muda?"   "Bukan awet muda, melainkan kembali muda seperti berusia dua puluhan."   Bu Ceng Sianli memberitahukan.   "Sebab aku mengalami suatu kemujizatan alam, lagi pula kebetulan aku me-miliki Hian Goan Sin Kang."   "Oh?"   Orang tua pincang menatap Bu Ceng Sianli dengan mata tak berkedip, kemudian ujarnya sambil tersenyum.   "Kalau begitu, bersediakahl engkau mengantarku ke goa itu? Sebab... aku pun ingin muda kembali...."   "Engkau...."   Bu Ceng Sianli melotot.   "Aku sedang sedih, sebaliknya engkau malah bergurau? Hati-Hati! Aku bisa mencabut nyawamu!"   "Maaf, maaf...!"   Ucap orang tua pincang cepat.   "Ayolah! Mari kita berangkat sekarang, jangan membuang waktu di sini!" -oo0dw0oo- Kedatangan Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang tentunya sangat mengherankan Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong, sebab mereka tidak, kenal kedua orang tersebut.   "Maaf, kedatangn kami menganggu Lim Pangcu!"   Ujar Bu Ceng Sianli tanpa memberi hormat.   "Tidak apa-apa,"   Sahut Lim Peng Hang sambil! tersenyum.   "Silakan duduk!"   Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang duduk, kemudian orang tua pincang memandang Lim Peng Hang seraya berkata. "Lim Pangcu! Aku dan dia kenal Tio Bun Yang, dia memanggil Bun Yang adik. Kami ke mari ingin menyampaikan sesuatu...."   "Maaf!"   Ucap Lim Peng Hang dan bertanya.   "Boleh kami tahu siapa kalian berdua?"   "Aku adalah Si Pincang, guru Sie Keng Hauw."   Orang tua pincang memberitahukan.   "Dia adalah Bu Ceng Sianli."   "Haah...?"   Lim Peng Hang Gouw Han Tiong terbelalak.   "Nona... engkau adalah Bu Ceng Sianli?"   "Betul."   Bu Ceng Sianli mengangguk.   "Lim Pangcu,"   Tanya orang tua pincang.   "Engkau sudah tahu tentang Bu Ceng Sianli ini?"   "Bun Yang pernah menceritakan kepadaku, jadi aku sudah tahu."   Lim Peng Hang tersenyum.   "Memang sungguh di luar dugaan!"   "Lim Pangcu, kita harus memanggilnya apa?"   Tanya orang tua pincang lagi.   "Panggil Sianli saja,"   Sahut Gouw Han Tiong.   "Betul, betul."   Orang tua pincang manggut-manggut.   "Memang lebih baik kita memanggilnya Sianli."   "Oh ya!"   Lim Peng Hang menatap mereka seraya bertanya.   "Kalian ingin menyampaikan apa?"   "Bun Yang...."   "Biar aku yang memberitahukan,"   Potong Bu Ceng Sianli, lalu menutur.   "Setelah aku berpisah dengan Adik Bun Yang di markas Lie Tsu Seng, aku mulai menyelidiki ketua Kui Bin Pang yang tidak lain adalah Kwee Teng An. Akhirnya aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang itu berada di Tibet, maka aku segera ke Tibet." "Bun Yang pun sudah berangkat ke Tibet bersama dua Dhalai Lhama."   Lim Peng Hang memberitahukan.   "Ngmm!"   Bu Ceng Sianli manggut-manggut dan melanjutkan.   "Ternyata benar ketua Kui Bin Pang itu berada di Tibet, bahkan telah menguasai kuil Dhalai Lhama. Aku langsung ke kuil itu...."   "Sianli bertarung dengan ketua Kui Bin Pang itu?"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Ya."   Bu Ceng Sianli mengangguk.   "Di saat kami baru mau mengerahkan ilmu andalan, mendadak terdengar suara suling."   "Pasti Bun Yang yang muncul,"   Ujar Lim Peng Hang.   "Tidak salah."   Sahut Bu Ceng Sianli.   "Suara suling itu menyadai kan para Dhalai Lhama yang terkena ilmu sesat, dan setelah itu barulah Adik Bun Yang mendekati ketua Kui Bin Pang."   "Mereka bertarung?"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Adik Bun Yang menyuruhnya memberitahukan di mana Goat Nio, namun ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An itu malah tertawa, sama sekali tidak mau beritahukan."   "Lalu bagaimana?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Kwee Teng An terus tertawa, kemudian memberitahukan kepada Adik Bun Yang, bahwa Adik bun Yang pernah memusnahkan kepandaiannya beberapa tahun lalu,"   Jawab Bu Ceng Sianli dan melanjutkan.   "Ternyata Kwee Teng An adalah mantan Penjahat Pemetik Bunga."   "Oooh!"   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Setelah itu mereka bertarung?"   "Ya."   Bu Ceng Sianli mengangguk dan menambahkan.   "Seandainya Kwee Teng An memberitahukan berada di mana Goat Nio, Adik Bun Yang pasti melepaskannya." "Jadi Bun Yang membunuh Kwee Teng An?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Kwee Teng An mati oleh ilmu pukulannya sendiri."   Bu Ceng Sianli memberitahukan.   "Aku sama sekali tidak menduga Adik Bun Yang berkepandaian begitu tinggi."   "Setelah itu bagaimana?"   Tanya Gouw Han I iong.   "Sebelum tubuhnya berubah menjadi tulang, Kwee Teng An sempat mengatakan kepada Adik Hun Yang, bahwa dia telah membunuh Goat Nio."   Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang.   "Itu membuat Adik Bun Yang langsung muntah darah lalu pingsan. Aku segera menyalurkan Hian Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya, dan tak lama dia pun tersadar pingsannya. Namun...."   "Kenapa?"   Tanya Lim Peng Hang tegang dan cemas.   "Dia... dia berubah linglung,"   Jawab Bu Ceng Sianli.   "Aku terus menghiburnya, bahkan juga mengatakan bahwa Goat Nio belum mati."   "Betul."   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Sianli memang harus mengatakan begitu agar dia tidak linglung. Terimakasih Sianli!"   "Tapi...."   Bu Ceng Sianli menghela nafas panjang, kemudian menuding orang tua pincang seraya berkata sengit.   "Gara-gara dia!"   "Yaah!"   Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku lagi yang disalahkan! Padahal...."   "Beritahukanlah apa yang terjadi atas diri Bun Yang!"   Ujar Lim Peng Hang dengan wajah pucat pias, sebab ia telah berfirasat buruk.   "Mendadak muncul Si Pincang ini."   Bu Ceng Sianli memberitahukan.   "Tak disangka dia pun kepal Bun Yang. Dia pun mengatakan bahwa dia pernah melihat seorang pemuda bersama scorangl gadis cantik, pemuda itu adalah ketua Kui Bin Pang."   "Kalau begitu...."   Lim Peng Hang mengerutkan kening.   "Gadis itu pasti Siang Koan Goatl Nio."   "Benar,"   Sahut orang tua pincang.   "Pemuda! itu ingin memperkosa gadis itu namun gadis itu meloncat ke belakang."   "Pemuda itu. berhasil memperkosa Goat Nio?"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Gadis itu meloncat ke belakang justru jatuh ke jurang yang ribuan kaki dalamnya."   Orang tua pincang memberitahukan.   "Di saat itulah pemuda tersebut berteriakteriak memanggil nama gadis itu, barulah kuketahui gadis itu bernama Goat Nio. Kemudian pemuda itu tertawa gelak lalu melesat pergi, barulah aku keluar dari balik pohon. Aku memandang ke bawah, tak tampak dasar jurang karena tertutup oleh kabut. Jurang itu dalamnya ribuan kaki, bagaimana mungkin gadis itu bisa hidup?"   "Sungguh kasihan Goat Nio!"   Lim Peng Hang menghela nafas panjang, kemudian bertanya kepada orang tua pincang.   "Engkau memberitahukan tentang itu kepada Bun Yang?"   "Ya."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Orang tua pincang mengangguk.   "Bagaimana Bun Yang setelah mendengar itu?"   Tanya Lim Peng Hang cemas. 'Dia terus mendesakku agar mengantarkannya ke tempat itu, dan akhirnya kami berangkat ke Tebing Selaksa Bunga."   "Bun Yang...."   Wajah Lim Peng Hang makin pucat.   "Dia... dia...."   "Dia berdiri di pinggir jurang itu."   Bu Ceng Sianli memberitahukan dengan mata basah.   "Dia lerus-menerus memanggil Goat Nio, setelah itu mendadak...." "Apa yang terjadi?"   Tanya Lim Peng Hang dengan suara bergemetar.   "Apa yang terjadi?"   "Mendadak...."   Bu Ceng Sianli mulai menangis sedih.   "Adik Bun Yang terjun ke jurang itu."   "Haaah?"   Lim Peng Hang langsung pingsan seketika.   "Lim Pangcu!"   Seru Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang serentak, mereka berdua terkejut bukan main. Begitu pula Gouw Han Tiong, ia segera mengurut urat di leher Lim Peng Hang. Berselang! sesaat, barulah ketua Kay Pang itu tersadar dari pingsannya.   "Bun Yang, cucuku...."   Gumam Lim Peng Hang dengan air mata bercucuran.   "Bun Yang...."   "Tenang, Saudara Lim!"   Hibur Gouw Hanl Tiong.   "Bun Yang berkepandaian begitu tinggi! tidak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu.   "Aaaah...!"   Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.   "Kalian berdua turun ke dasar jurang itu?"   "Tidak."   Bu Ceng Sianli menggelengkan kepala.   "Tebing jurang itu sangat licin sekali, sulil untuk dituruni. Lagi pula kami harus segera km mari."   "Kalau begitu,"   Ujar Lim Peng Hang.   "Kita harus segera berangkat ke tempat itu, aku akan turun ke jurang itu mencari mayat Bun Yang."   "Jurang itu dalamnya ribuan kaki, maka kita harus membawa tali ke sana."   Bu Ceng Sianli memberitahukan.   "Kalau tidak, sulit bagi kita turun kedasar jurang itu."   "Baik."   Lim Peng Hang mengangguk dengan air mata bercucuran.   "Kita semua harus membawa tali secukupcukupnya." -oo0dw0oo      Tiraikasih Websitehttp.//kangzusi.com   / Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang berdiri di pinggir pirang. Ketua Kay Pang terusmenerus memandang ke bawah, kemudian bergumam dengan air mata berderai-derai.   "Sedemikian dalam! Walau Bun Yang berkepandaian tinggi, namun bagaimana mungkin hisa lolos dari kemataian?"   "Kita harus segera turun ke bawah,"   Ujar Gouw Han Tiong.   "Kalau dia terluka di dasar pirang, kita masih sempat menolongnya."   "Betul."   Lim Peng Hang manggut-manggut. Mereka berempat mulai menyambung tali-tali vang mereka bawa itu, kemudian ujungnya di lempar ke dalam jurang. Setelah tersambung semua, ujung tali yang satu lagi diikatkan pada sebuah pohon.   "Siapa yang turun duluan?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Biar aku yang turun duluan,"   Sahut Bu Ceng Sianli.   Kemudian dipegangnya tali itu sekaligus meloncat ke bawah menggunakan ginkang.   Dalam waktu sekejap ia telah hilang di telan kabut.   Kemudian orang tua pincang, Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong menyusulnya.   Begitu sampai di dasar jurang, mereka melongo karena melihat sebuah telaga yang cukup besar, dan bukan main indahnya penorama di tempat itu.   "Tidak tampak mayat Tio Bun Yang."   Ujar Bui Ceng Sianli sambil menggeleng-gelengkan kepala "Dasar jurang ini sangat luas, maka tak mungkii kita mencarinya ke seluruh dasar jurang."   "Heran?"   Gumam Lim Peng Hang.   "Kenapa tidak tampak mayatnya? Mungkinkah... dia jatuh ke dalam telaga?" "Kalau dia jatuh ke dalam telaga, mayatnya pasti akan terapung,"   Sahut Gouw Han Tiong "Tapi tidak kelihatan mayat di permukaan ai. maka dia tidak mungkin jatuh ke telaga."   "Kalau begitu...."   Lim Peng Hang mengerut kan kening, namun sepasang matanya telah basah "Kemungkinan besar mayatnya telah di bawa bi natang buas."   "Menurut aku..."   Sela orang tua pincang.   "mungkin dia tersangkut di pohon yang tumbuh di dinding jurang."   "Memang mungkin juga."   Lim Peng Hang manggutmanggut sambil mendongakkan kepala memandang ke atas.   "Begitu banyak pohon, tak mungkin kita memeriksanya."   "Mungkinkah binatang buas menyeret mayatnya ke dalam salah sebuah goa yang ada di dasar jurang ini?"   Ujar Gouw Han Tiong sambil menengok ke sana ke mari.   "Aaaah...!"   Keluh Lim Peng Hang.   "Aku tidak menyangka, Bun Yang akan mati tanpa kuburan."   "Adik Bun Yang! Adik Bun Yang...!"   Mendadak Bu Ceng Sianli berteriak-teriak memanggil Bun Yang, ia berharap ada sahutan darinya.   "Bun Yang! Bun Yang...!"   Yang lain juga ikut berteriakteriak memanggil pemuda tersebut. Akan tetapi sama sekali tiada suara sahutan lio Bun Yang, hanya terdengar suara mereka yang berkumandang di dasar jurang itu.   "Aaah...!"   Keluh Lim Peng Hang.   "Kita harus bagaimana?" ' "Kita naik ke atas lagi,"   Sahut Gouw Han Tiong.   "Ng!"   Lim Peng Hang mengangguk. Lim Peng Hang naik duluan, kemudian Gouw Han Tiong dan setelah itu orang, tua pincang, terakhir Bu Ceng Sianli, yang kelihatan sangat penasaran karena tidak melihat mayat Tio Bun Yang.   "Sekarang apa langkah kita?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Kita pulang ke markas dulu,"   Gouw Han Tiong menambahkan.   "Kita berunding di sana saja."   "Baik."   Lim Peng Hang manggut-manggut, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang seraya bertanya.   "Bagaimana kalian?"   "Bagaimana engkau, Sianli?"   Orang tua pincang bertanya kepada Bu Ceng Sianli.   "Tentunya harus ke markas pusat Kay Pang,"   Sahut Bu Ceng Sianli.   "Kalau begitu,"   Ujar Lim Peng Hang dan melanjutkan.   "Mari kita berangkat sekarang!" -oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh tiga Suasana duka Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua telah tiba di markas pusat Kay Pang. Tampak mereka berempat di ruang depan markas itu dengan wajah murung sekali.   "Aaaah...!"   Lim Peng Hang menghela nafas panjang.   "Aku tidak habis pikir, apa jadinya kalau Cie Hiong dan Ceng Im mengetahui kabar duka Ini? Aku khawatir mereka...."   "Cie Hiong masih bisa tabah, tapi Ceng Im...."   Gouw Han Tiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku mengkhawatirkan putriku." "Lalu kita harus bagaimana?"   Mata Lim Peng Hang mulai basah lagi.   "Aku yakin mayat Bun Yang telah digondol binatang buas."   "Aaaah...!"   Keluh Bu Ceng Sianli.   "Aku sama sekali tidak menyangka, nasib Adik Bun Yang akan berakhir dengan begitu mengenaskan! Padahal dia adalah pemuda baik dan berhati bajik."   "Bun Yang cucuku...."   Air mata Lim Peng llang mulai meleleh.   "Bun Yang...."   "Saudara Lim!"   Gouw Han Tiong menatapnya seraya berkata.   "Kita tidak boleh diam saja di sini.."   "Lalu kita harus bagaimana?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Aku akan berangkat ke Tayli mengabarkan kepada mereka tentang, kejadian ini, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoan To!"   Sahut Gouw Han Tiong.   "Pihak Pulau Hong Hoang To harus kita diberilahu."   "Tapi...."   Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.   "Aku tak sampai hati memberitahukan kepada meraka."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Tak sampai hati pun harus memberitahukan,"   Hi.n Gouw Han Tiong.   "Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, engkau berangkat ke Pulau Hong Hoang To!"   "Baiklah."   Lim Peng Hang mengangguk, kemudian bertanya kepada Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.   "Bagaimana kalian? Mau ikut ke Pulau Hong Hoang To?"   "Kami yang menyaksikan kejadian itu, tentunya harus ikut untuk memberitahukannya,"   Sal hut Bu Ceng Sianli.   "Ya, ya."   Orang tua pincang manggut-mang-gut.   "Kami memang harus ikut."   "Hm!"   Dengus Bu Ceng Sianli.   "Semua itu gara-gara engkau. Padahal waktu itu aku sudah memberi isyarat agar engkau tidak melanjutkan penuturan. Namun... engkau masih terus menyerocos. Akhirnya jadi begini. Seharusnya kubunuh engkau!"   "Yaah!"   Orang tua pincang menghela nafas panjang.   "Aku menutur apa yang kusaksikan, lagi pula Bun Yang berhak mengetahuinya. Dia adalah pemuda gagah, siapa sangka tidak bisa tabah? Itu di luar dugaanku!"   "Sudahlah, Sianli."   Ujar Lim Peng Hang dengan wajah murung.   "Kita tidak bisa terus-menerus mempersalahkan Si Pincang. Seandainya kita menjadi dia, tentunya juga akan menceritakan tentang itu kepada Bun Yang."   "Adik Bun Yang...."   Gumam Bu Ceng Sianli berduka sekali.   "Apa yang terjadi itu, sungguh diluar dugaan!"   "Aku yang bersalah,"   Ujar orang tua pincang sambil menundukkan kepala.   "Pada waktu itu Bu Ceng Sianli mengerdipkan matanya, aku kira matanya kemasukan debu, tidak tahunya memberi isyarat kepadaku, maka aku terus menceritakan tentang gadis cantik itu, bahkan menyebutkan namanya pula. Aaaah...!"   "Sudahlah!"   Tandas Lim Peng Hang.   "Jangan diungkit-ungkit lagi, membuat hati terasa pedih sekali."   "Besok pagi aku akan berangkat ke Tayli, kapan kalian akan berangkat ke Pulau Hong Hoang To?"   Tanya Gouw Han Tiong.   "Juga besok pagi,"   Sahut Lim Peng Hang.   keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gouw Han Peng berangkat ke Tayli, sedangkan Lim Peng Hang.   Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang berangkat ke Pulau Hong Hoang To.   -oo0dw0oo- Seng Kie Hauw, Lie Ai Ling, Kan Hay Thian dan Lui Hui San duduk di halaman sambil bercakap-cakap, kemudian Lie Ai Ling menghela nafas panjang.   "Aaaah...!"   "Adik Ai Ling,"   Tanya Sie Keng Hau.   "Kenapa engkau menghela nafas panjang barusan? Apakah ada sesuatu terganjel dalam hatimu?"   "Mendadak aku teringat Kakak Bun Yang,"   Sahut Lie Ai Ling dengan wajah muram.   "Entah bagaimana dia, sudah bertemu dengan Goat Nio atau belum?"   "Kita semua berada di sini, bagaimana mungkin mengetahuinya?"   Ujar Kam Hay Thian sambi menggelenggelengkan kepala.   "Kita pun tidak tahu bagaimana keadaan Yo Kiam Heng dan Kwan Tiat Him,"   Sambung Li Hui San.   "Apakah mereka berhasil menyelamat kan Goat Nio."   Di saat itulah melayang turun tiga orang, yaitu Lim Peng Hang, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.   "Haaah?"   Sie Keng Hauw dan lainnya terkejut girang menyaksikan kemunculan mereka, Sie Ken Hauw langsung bersujud di hadapan orang tua pincang.   "Guru...."   "Guru setengah mati mencarimu ternyata enkau berpacaran di pulau ini!"   Sahut orang tua pincang setengah mengomel.   "Dasar murid yang cuma mau senang sendiri!"   "Guru...."   "Bangunlah!"   Ujar orang tua pincang. Sie Keng Hauw segera bangkit berdiri, kemudian berkata kepada Lie Ai Ling.   "Adik Ai Ling, ini adalah guruku!"   "Paman tual"   Lie Ai Ling memberi hormat dengan wajah agak kemerah-merahan karena tersipu.   "Ha ha!"   Orang tua pincang tertawa.   "Bagus, bagus!" "Diam!"   Bentak Bu Ceng Sianli.   "Jangan terus tertawa!"   Orang tua pincang langsung diam, sedangkan Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Lie Ai Ling dan Lu Hui San cepat-cepat memberi hormat kepada Lim Peng Hang dan Bu Ceng Sianli.   "Kakak Lim, Kakak Siao Cui...."   Mereka berempat tampak girang sekali, namun ketika menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu murung, tersentaklah hati mereka.   "Di mana Tio Tocu dan lainnya?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Kebetulan sekali mereka semua berada di ruang tengah."   Jawab Lie Ai Ling.   "Mari masuk!"   Ajaknya. Mereka menuju ke dalam, tentunya sangat mencengangkan Tio Tay Seng, Sam Gan Sin Kay, Kini Siauw Suseng, Kou Hun Bijing, Tio Cie Hiong, Lim Ceng Im, Lie Man Chiu dan Tio Hong llna.   "Ayah!"   Seru Lim Ceng Im girang, tapi ketika menyaksikan wajah Lim Peng Hang yang begitu muram, tersentaklah hatinya.   "Ayah...?"   "Ceng Im...."   Lim Peng Hang menghela nafas panjang, kemudian memperkenalkan.   "Si Pincang ini adalah guru Sie Keng Hauw. Ayahnya adalah Tetua Kui Bin Pang. Wanita yang muda cantik jelita ini adalah Bu Ceng Sianli."   "Hah?"   Seketika juga Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin dan lainnya terbelalak. Mereka memang pernah mendengar penuturan Tio Bun Yang tentang wanita itu, tapi tidak menyangka Bu Ceng Sianli begitu cantik mempesonakan.   "Hi hi hi!"   Kou Hun Bijin tertawa gelak.   "Aku terkenal awet muda, tapi engkau jauh lebih muda. Betulkah engkau sudah berusia hampir sembilan puluh?"   "Betul,"   Sahut Bu Ceng Sianli yang kemudian tertawa cekikikan.   "Hi hi hi! Aku bukan awet muda, melainkan kembali muda!" "Engkau tampak seperti gadis berusia dua puluhan."   Kou Hun Bijin menatapnya dalam-dalam.   "Bun Yang sering menceritakan dirimu, kalian berdua sangat baik sekali?"   "Memang baik sekali,"   Ujar Bu Ceng Sianli.   "Sebelum bertemu Adik Bun Yang, aku sudah bertemu Goat Nio. Tapi dalam waktu itu aku tidak tahu bahwa dia adalah kekasih Adik But Yang. Sesudah bertemu Adik Bun Yang. barulah aku tahu. Aku pun menganggap Adik Bun Yang sebagai Adikku sendiri."   "Oh?"   Kou Hun Bijin manggut-manggut.   "Goat Nio adalah putri kami, engkau sudah bertemu mereka?"   "Itu...."   Bu Ceng Sianli memandang Lim Peng Hang.   "Kami ke mari justru ingin memberitahukan tentang Bun Yang dan Goat Nio,"   Ujar Lim Peng Hang dengan mata basah.   "Ayah! Apa yang telah terjadi atas diri Bun Yang?"   Tanya Lim Ceng Im dengan wajah pucat pias.   "Itu harus dimulai dari Goat Nio,"   Sahut Lim Peng Hang.   "Sianli!"   Kou Hun Bijin segera memandang Bu Ceng Sianli.   "Beritahukanlah pada kami apa yang telah terjadi atas diri Goat Nio?"   "Yang tahu jelas adalah Si Pincang ini,"   Sahut Bu Ceng Sianli.   "Pincang!"   Hardik Kou Hun Bijin.   "Cepat beritahukan! Cepaaat!"   "Aku melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik jelita di Tebing Selaksa Bunga...."   Orang tua pincang menutur tentang kejadian itu.   "Hah? Apa?"   Kou Hun Bijin langsung meloncat bangun.   "Goat Nio jatuh ke dalam jurang itu?"   "Ya."   Orang tua pincang mengangguk, "kenapa engkau tidak menolongnya?"   Tanya Kou Hun Bijin dengan wajah kehijau-hijauan.   "Mereka berdua...."   Tutur Lim Peng Hang tentang itu.   "Beberapa hari kemudian Bun Yang pun pulang, kemudian mereka bertiga berangkat ke Tibet."   "Lalu bagaimana?"   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Tanya Lim Ceng Im.   "Sepuluh hari lalu, Si Pincang dan Bu Ceng Sianli ke markas pusat Kay Pang menemui ayah untuk menyampaikan suatu kabar."   "Kabar buruk?"   Wajah Lim Ceng Im makin pucat, sementara Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian dan keningnya tampak berkerut-kerut.   "Memang kabar buruk."   Lim Peng Hang mengangguk kemudian memandang Bu Ceng Sianli.   "Sianli, beritahukanlah kepada putriku!"   "Ceng Im...."   Bu Ceng Sianli menghela nafas dengan mata bersimbah air.   "Aku memperoleh informasi bahwa ketua Kui Bin Pang bernama Kwee Teng An berangkat ke Tibet, maka aku pun segera berangkat ke sana."   Bu Ceng Sianli menutur tentang pertarungan di kuil Dhalai Lhama, kemudian muncul Tio Bun Yang dan lain sebagainya.   "Kwee Teng An bilang telah membunuh Goat Nio?"   Tanya Lim Ceng Im.   "Itu berarti dia bohong. Ya, kan?"   "Ya."   Bu Ceng Sianli mengangguk.   "Karena itu, Adik Bun Yang berubah seperti kehilangan sukma. Aku terus menghiburnya agar dia bisa tenang dan tabah. Akan tetapi setelah kami berada di Tionggoan, mendadak muncul Si Pincang yang harus mampus ini, ternyata dia kenal Adik bun Yang."   "Betul,"   Sahut orang tua pincang sambil menghela nafas panjang.   "Aku yang bersalah, karena tidak tahu Goat Nio adalah kekasih Bun Yang. Aku menceritakan tentang ketua Kui Bin Pang bersama seorang gadis cantik."   "Engkau memberitahukannya nama gadis itu?"   Tanya Sam Gan Sin Kay mendadak.   "Ya."   Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.   "Itulah kesalahanku. Setelah mengetahui gadis itu bernama Goat Nio, maka Bun Yang terus-menerus mendesakku untuk meng-unlarnya ke Tebing Selaksa Bunga."   "Engkau mengantarnya ke sana?"   Tanya Sam Gan Sin Kay dengan kening berkerut-kerut.   "Ya."   Orang tua pincang mengangguk.   "Bu Ceng Sianli juga ikut."   "Lalu apa yang terjadi?"   Tanya Tio Tay Seng dengan wajah mulai memucat.   "Adik Bun Yang terus berdiri mematung di pinggir jurang. Aku memperingatkannya agar hati-hati, dan dia pun manggutmanggut. Namun kemudian dia bergumam memanggil Goat Nio, dan setelah itu mendadak...."   "Mendadak apa?"   Tanya Lim Ceng Im dengan tubuh menggigil.   "Adik Bun Yang...!"   Bu Ceng Sianli terisak isak.   "Dia terjun ke jurang itu."   "Hah? Bun Yang...!"   Lim Ceng Im langsung pingsan, sedangkan Tio Cie Hiong duduk di tempat dengan wajah pucat pias.   "Ceng Im!"   Teriak Lim Peng Hang.   "Tenang!"   Ujar Bu Ceng Sianli, lalu menhampiri Lim Ceng Im, dan menyalurkan Hia Goan Sin Kang ke dalam tubuhnya. Berselang beberapa saat kemudian, tersadarlah Lim Ceng Im, dan seketika juga menangis gerung-gerungan. "Bun Yang! Bun Yang...!"   "Goat Nio! Goat Nio...!"   Kou Hun Bijin masih berteriakteriak memanggil nama putrinya.   "Kakak Bun Yang! Kakak Bun Yang...!"   Teriak Lie Ai Ling sambil menangis meraung-raung.   "Kakak Bun Yang...!"   Kacaulah suasana di ruang itu.   Bu Ceng Sianli berusaha menghibur Lim Ceng Im, sedangka Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin masih saling berpeluk-pelukan sambil menangis sedih, dan orang tua pincang tampak serba salah, karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.   Sam Gan Sin Kay mendekati Tio Cie Hiong dan bersiap-siap kalau Tio Cie Hiong terjadi sesuatu.   Lui Hui San juga sedih menangis sepasang matanya membengkak.   Kam Hay Thian menghiburnya sambil terisakisak- Sie Keng Hauw juga terus menghibur Lie Ai Ling.   Berselang beberapa saat kemudian, begitu suara tangisan itu mulai reda, tiba-tiba terdengarlah suara Tio Cie Hiong.   "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja."   "Kami pun tidak percaya,"   Ujar Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.   "Mereka berdua tiada tampang pendek umur."   "Ayah,"   Tanya Lim Ceng Im.   "Apakah Ayah sudah ke Tebing Selaksa Bunga itu?"   "Kami berempat sudah ke Tebing itu,"   Jawab Lim Peng Hang dan menambahkan.   "Bahkan sudah turun ke dasar jurang."   "Ayah menemukan mayat Bun Yang?"   Tanya Lim Ceng Im sambil menangis sedih. "Kami tidak menemukan mayatnya."   Lim Peng Uang menggeleng-gelengkan kepala.   "Mungkin sudah digondol binatang buas."   "Ayah, kenapa Paman Gouw tidak ikut ke sini?"   "Dia ke Tayli memberitahukan kepada mereka tentang kejadian ini."   "Aku tetap tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio mati begitu saja,"   Ujar Tio Cie Hiong lagi sambil mengerutkan kening.   "Sebab tidak ditemukan mayatnya maupun mayat Goat Nio. Tidak mungkin mayat mereka akan digondol binatang, itu tidak mungkin."   "Kalau begitu,"   Ujar Lie Man Chiu yang terdiam dari tadi.   "Kita harus pergi memeriksa dassr jurang itu."   "Betul."   Tio Tay Seng manggut-manggut.   "Kita berangkat besok pagi."   Keesokan paginya, berangkatlah mereka ke Tionggoan menuju markas pusat Kay Pang, sebab mereka ingin menunggu kedatangan pihak Tayli.   -ooo0dw0ooo- Kini mereka telah tiba di markas pusat Kay Pang.   Dua hari kemudian muncullah pihak Tayli yakni Toan Wie Kie, Gouw Sian Eng, Lam Kioi Be Liong, Toan Pit Lian dan lainnya.   "Ceng Im...."   Gouw Sian Eng langsung memeluknya sambil menangis.   "Kami sedih sekali"   "Sian Eng! Bun Yang...."   Air mata Lim Ce Im berderai-derai.   "Itu bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin?"   Ujar Gouw Sian Eng terisak-isak.   "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio akan mati begitu saja. Aku tidak percaya!"   Sementara Lim Peng Hang, Gouw Han Tio dan lainnya juga sedang berunding dengan serius sekali, ternyata mereka bersepakat untuk pergi memeriksa dasar jurang itu, bahkan juga pohon-pohon yang tumbuh di dinding jurang.   Oleh karena itu, Lim Peng Hang memerintahkan puluhan anggota Kay Pang untuk mencari tali sebanyak-banyaknya.   Sie Keng Hauw, Kam Hay Thian, Yo Kiam Neng, Toan Beng Kiat dan lainnya juga sedang bercakap-cakap dengan wajah murung.   "Aku tidak percaya kalau Bun Yang dan Goat Nio mati di dasar jurang itu,"   Ujar Toan Beng kiat "Aku pun kurang percaya,"   Sambung Bokyong Sian Hoa.   "Kalau benar mereka berdua mati di dasar jurang itu. Thian (Tuhan) sungguh tidak adil!"   "Aaaah...!"   Lam Kiong Soat Lan menghela nafas panjang.   "Kini ketua Kui Bin Pang itu telah tewas. Seharusnya Bun Yang dan Goat Nio melangsungkan pernikahan, namun malah...."   "Kakak Bun Yang begitu baik, berhati bajik dan sering menolong orang. Mungkinkah dia dan Goat Nio akan mati begitu saja?"   Ujar Lie Ai Ling lalu menambahkan.   "Sebelum menyaksikan mayat mereka, aku tidak percaya kalau mereka dikata-kan sudah mati."   "Bun Yang berkepandaian begitu tinggi, tak mungkin dia akan mati di dasar jurang itu,"   Sahut Bokyong Sian Hoa.   "Aku yakin dia masih hidup...."   Hal 80-81 ga ada sudah tiada, apa artinya aku hidup lagi?" "Tenang!"   Bu Ceng Sianli menepuk bahunya dan terus menghiburnya. Sementara Sam Gan Sin Kay hanya duduk termenung, sama sekali tidak mengucurkan air mata, namun wajahnya tampak pucat pias.   "Ayah...."   Lim Peng Hang mendekatinya.   "Jagadiri baikbaik!"   "Aaah...!"   Sam Gan Sin Kay menghela nafas panjang.   "Yang tua tidak mati, yang muda malah begitu cepat mati! Thian (Tuhan) sungguh tidak adil! Bukankah lebih baik mencabut nyawaku daripada nyawa Bun Yang? Aaaah...!"   "Ayah...."   Lim Peng Hang menggeleng-gelenkan kepala.   "Peng Hang,"   Pesan Sam Gan sin Kay.   "Engkau harus baikbaik menjaga Lim Ceng Im, sebab dia akan berlaku nekad! Jangan sampai dirinnya terjadi apa-apa, sebab kalau dirinya terjadi apa-apa Cie Hong akan menjadi gila!"   "Ya, Ayah."   Lim Peng Hang mengangguk Keesokan harinya, berangkatlah mereka semua menuju Tebing Selaksa Bunga dengan perasaan tercekam.   -oo0dw0oo- Mereka semua memandang ke bawah jurang itu dengan wajah pucat pias sebab jurang itu begitu dalam, bagaimana mungkin bisa hidup bagi yang jatuh kedalamnya? Itu membuat Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin langsung menangis meraung-raung.   "Bun Yang! Bun Yang...!"   "Goat Nio! Goat Nio...!"   Sementara yang lainnya sibuk menyambung tali tali, dan setelah tersambung semuanya barulah diikatkan pada sebuah pohon.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Siapa yang turun duluan?"   Tanya Sam Gan Sin Kay.   "Aku,"   Sahut Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin serentak.   "Kalian tidak boleh turun, cukup menunggu disini saja!"   Ujar Sam Gan Sin Kay sungguh-sungguh.   "Tidak."   Lim Ceng Im menggelengkan kepala.   "Kalau aku tidak diperbolehkan turun, aku pasti akan meloncat ke bawah."   "Ceng Im...."   Bukan main terkejutnya Tio Cie Hiong.   "Aku pun akan meloncat ke bawah,"   Ujar Kou Hun Bijin.   "Biar bagaimanapun aku harus turun."   "Isteriku...."   Kim Siauw Suseng menghela nafas panjang.   "Baiklah, engkau boleh ikut turun."   "Aku sudah pernah turun, biar aku turun duluan!"   Ujar Bu Ceng Sianli, lalu memegang tali itu sekaligus merosot ke bawah. Menyusul adalah orang tua pincang, kemudian Lim Peng Hang dan lainnya. Berselang beberapa saat, mereka semua sudah berada di dasar jurang itu.   "Kita berpencar mencari Bun Yang dan Goat Nio,"   Ujar Tio Tay Seng dan menambahkan.   "Tapi sebelum hari gelap, kita semua harus kembali ke sini."   Mulailah mereka berpencar.   Tio Cie Hiong bersama Lim Ceng Im, begitu pula Kim Siauw Suseng dan Kou Hun Bijin.   Mereka mencari ke sana ke mari, juga memasuki goa-goa yang terdapat di sana.   Setelah hari mulai gelap, mereka semua berkumpul kembali di tempat semula.   Mereka menggeleng-gelengkan kepala, namun tiada seorang pun yang membuka mulut.   "Bun Yang...."   Lim Ceng Im mulai menangis lagi.   "Mayatnya pasti telah digondol binatan buas."   "Goat Nio...."   Kou Hun Bijin juga mulai menangis sedih.   "Kemana mayatnya... aaah...!"   "Heran?"   Gumam Sam Gan Sin Kay.   "Kalau mereka mati di dasar jurang ini, mayat mereka seharusnya berada di sini. Tapi...."   "Mungkinkah mereka jatuh ke dalam telaga ini?"   Tanya Tio Tay Seng.   "Seandainya mereka jatuh ke dalam telaga ini tentunya akan timbul lagi,"   Sahut Sam Gan Sin Kay.   "Aku telah mencari di pinggir telaga, namun tidak menemukan mayat mereka."   "Kalau begitu...."   Ujar Kim Siauw Suseng.   "Mayat mereka pasti telah digondol binatang buas."   "Tapi...."   Tio Cie Hiong mengerutkan kening.   "Di dasar jurang ini tiada jejak binatang buas."   "Kalau begitu, kemana mayat mereka?"   Tanya Kim Siauw Suseng.   "Itulah yang membingungkan."   Sahut Tio Cie hiong dan melanjutkan.   "Mungkinkah mereka masih hidup dan berhasil memanjat ke atas?"   "Itu tipis kemungkinannya,"   Ujar Lim Peng liang sambil menggeleng-gelengkan kepala.   "Apabila mereka belum mati dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke markas pusat Kay Pang.   "Mungkin mereka terluka parah, maka mengobati luka mereka di suatu tempat, sehingga belum ke markas pusat Kay Pang,"   Ujar Kim Siauw Suseng seakan menghibur dirinya sendiri. "Itu memang mungkin."   Sam Gan Sin Kay manggutmanggut.   "Dan juga itu yang kita harap-kan "   "Mumpung belum begitu gelap, lebih baik kita segera naik!"   Usul Tio Tay Seng.   "Sebab kabut putih makin menebal."   "Baik."   Sam Gan Sin Kay mengangguk.   "Mari kita naik, tapi harus hati-hati!"   Mereka mulai naik satu persatu. Beberapa saat kemudian, mereka semua sudah berada di atas.   "Bun Yang! Bun Yang...!"   Jerit Lim Ceng Im sambil memandang ke bawah. Tio Cie Hiong terus menjaga di sisinya.   "Goat Nio! Goat Nio...!"   Kou Hun Bijin juga berteriak-teriak memanggil putrinya.   "Goat Nio...!"   Tio Tay Seng cuma menggeleng-gelengkan kepala, dan setelah itu ia pun berseru.   "Mari kita kembali ke markas pusat Kay Pang!"   Mereka semua segera meninggalkan Tebing Selaksa Bunga itu.   karena malam sudah larut.   -oo0dw0oo- Bagian ke tujuh puluh empat Mengadakan upacara sembayang Mereka semua telah tiba di markas pusat Kay Pang.   Seketika Lim Ceng Im dan Kou Hun Bijin menangis sedih lagi, Tio Cie Hiong dan Kim Siauw Suseng cuma menghela nafas panjang.   "Aku tidak habis pikir,"   Ujar Sam Gan Si Kay.   "Goat Nio jatuh ke jurang itu, sedangkal Bun Yang yang terjun ke dalam. Tapi tidak terdapat mayat mereka di dasar jurang itu. Itu... sungguh mengherankan!"   "Memang."   Orang tua pincang manggut-manggut.   "Aku yang menyaksikan gadis itu jatuh ke jurang itu, namun kita tidak menemukan mayatnya."   "Bun Yang juga terjun ke dalam jurang itu. tapi...."   Bu Ceng Sianli mengerutkan kening.   "Kenapa kita tidak berhasil menemukan mayatnya?"   "Hanya ada dua kemungkinan,"   Ujar Lim Peng Hang setelah berpikir lama sekali.   "Pertama mereka tidak mati dan berhasil naik ke atas lalu pergi. Kedua mereka tenggelam ke dasar telaga ttu, maka kita tidak berhasil menemukan mayat mereka."   "Biasanya orang tenggelam ke dalam air, beberapa hari kemudian pasti timbul dipermukaan lagi tapi...,"   Ujar Sam Gan Sin Kay.   "Aku telah memeriksa pinggir telaga itu, tapi tidak menemu-kan mayat mereka. Karena itu, aku berkesimpulan bahwa mereka masih hidup."   "Kalau mereka masih hidup, kenapa tidak ke mari?"   Tanya Lim Ceng Im.   "Mungkin luka mereka belum sembuh, maka belum ke mari,"   Sahut Sam Gan Sin Kay.   "Kita tunggu beberapa hari,"   Ujar Kim Siauw niseiig.   "Kalau mereka tetap tidak ke mari, berarti mereka telah mati."   "Goat Nio! Goat Nio...!"   Kou Hun Bijin langsung menangis.   "Aaakh...!"   Beberapa hari kemudian, memang ada yang muncul.   Tapi bukan Tio Bun Yang dan Siangi Koan Goat Nio, melainkan para ketua tujuh partai.   Mereka bertujuh melangkah ke dalam dengan wajah murung.   Lim Peng Hang dan Gouw Han Tiong segera menyambut kedatangan mereka.   "Selamat datang, para ketua!"   "Kami ke mari turut berduka cita,"   Ucap Hui Khong Taysu, ketua partai Siauw Lim.   "Omitohud Tidak disangka Bun Yang dan Goat Nio akan mengalami nasib begitu!"   "Dari mana Taysu tahu tentang itu?"   Tanya Lim Peng Hang.   "Lim Pangcu!"   Hui Khong Taysu tersenyum getir.   "Berita itu mulai tersiar dalam rimba persilatan. Setelah menerima berita tersebut, kami segera ke mari."   "Terimakasih!"   Ucap Lim Peng Hang dengan wajah murung.   "Terus terang,"   Ujar It Hian Tojin, ketua partai Butong.   "Aku sama sekali tidak percaya Bun Yang dan Goat Nio bernasib begitu, tidak mungkin mereka berumur pendek."   "Bun Yang berhati baik,"   Ujar Hui Khol Taysu.   "Walau dia pusing memikirkan Goat Nio namun dia masih menolong orang lain. Omitohud Semoga Sang Budda melindunginya!"   "Lim Pangcu,"   Tanya It Hian Tojin.   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Bagaimana kejadian itu?"   "Aaaah...!"   Lim Peng Hang menghela nafas panjang, lalu menutur tentang kejadian itu.   Para ketua tujuh partai besar itu mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian memandang Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang dengan mata agak terbelalak.   Mereka kelihatan tidak begitu percaya akan usia Bu Ceng Sianli \ang hampir sembilan puluh.   Namun karena dalam suasana duka, maka para ketua tujuh partai besar itu sama sekali tidak bertanya mengenai Bu Ceng Sianli.   "Jadi kalian semua sudah mencari di dasar jurang itu?"   Tanya It Hian Tojin. "Ya."   Lim Peng Hang mengangguk.   "Tapi tidak menemukan mayat Bun Yang maupun mayat Goat Nio."   "Kalau begitu...."   Ujar It Hian Tojin penuh harapan.   "Mereka pasti masih hidup."   "Kami pun menduga begitu...,"   Ujar Gouw Han lnmg.   "Tapi... seandainya mereka tidak mati di dasar jurang dan berhasil naik ke atas, tentunya mereka sudah ke mari."   "Omitohud!"   Ucap Hui Khong Taysu.   "Mungkinkah mereka terluka parah, sehingga harus mengobati luka mereka di suatu tempat. Jadi... mereka belum ke mari?"   "Kami pun berpikir begitu dan menunggui telah beberapa hari, tapi...."   Gouw Han Tion menggeleng-gelengkan kepala.   "Bun Yang dai Goat Nio tetap belum ke mari, itu membuat harapan kami jadi kandas."   "Kalau begitu, kita harus menunggu lagi,"   Ujai It Hian Tojin dan menambahkan dengan sungguh sungguh.   "Kami pun mau tinggal di sini untu turut menunggu Bun Yang dan Goat Nio."   "Terimakasih!"   Ucap Gouw Han Tiong dan Lim Peng Hang.   Tak terasa dua puluh hari telah berlalu, namun Tio Bun Yang dan Siang Koan Goat Nio tetap tidak muncul, itu betulbetul membuat mereka putus asa.   Lim Ceng Im dan Kou Hun Biji pun mulai menangis sedih lagi, yang lain terus menerus menghela nafas panjang.   "Omitohud!"   Ucap Hui Khong Taysu.   "Bagai mana kalau aku mengadakan upacara sembahyang?"   "Maksud Taysu upacara sembahyang arwah?"   Tanya Kou Hun Bijin.   "Ya."   Hui Khong Taysu mengangguk.   "Jadi Taysu menganggap putriku telah mati?"   Kou Hun Bijin menatap Hui Khong Taysu dengan penuh kegusaran..   "Omitohud!"   Sahut Hui Khong Taysu menegaskan.   "Upacara sembahyang yang akan kulakukan itu, sungguh berarti dan berguna bagi yang mati maupun yang hidup. Percayalah!"   "Terimakasih, Taysu!"   Ucap Lim Peng Hang.   "Silakan Taysu mengadakan ucapara sembahyang."   "Omitohud!"   Hui Khong Taysu manggut-manggut, lalu mulai mempersiapkan semua keperluan upacara sembahyang.   Kaum muda menyalakan lilin dan memasang hio, dan para ketua tujuh partai besar serta para tingkatan tua duduk bersila.   Setelah lilin dinyalakan dan asap hio mulai mengepul kaum muda itu pun ikut duduk bersila.   Tak lama kemudian, mulailah Hui Khong Taysu membaca doa dengan hidmat sekali.   Entah berapa saat kemudian, barulah Hui Khong Taysu berenti membaca doa lalu bangkit berdiri, yang lain pun mengikutinya.   "Omitohud!"   Ucap Hui Khong Taysu.   "Kalau Bun Yang dan Goat Nio sudah mati, arwah mereka pasti akan tenang. Seandainya mereka belum mati. mereka pasti akan segera ke mari!"   "Terimakasih, Taysu!"   Ucap Lim Peng Hang.   "Omitohud!"   Sahut Hui Khong Taysu.   "Lim pangu. kami mau mohon pamit."   "Baiklah."   Lim Peng Hang manggut-manggut lalu bersama Gouw Han Tiong dan Tio Cie Hiong mengantar para ketua itu sampai di luar markas! Setelah para ketua itu pergi, barulah mereka kembali masuk, sedangkan Lim Ceng Im dan Kom Hun Bijin mulai menangis lagi.   "Aaaah...!"   Tio Cie Hiong menghela nafas panjang sambil mendekati Lim Ceng Im.   "Adik Im, jangan terus menangis! Aku... aku makin tidak tahan! Aku...."   Wajah Tio Cie Hiong makin pucat pias. San Gan Sin Kay terperanjat menyaksikannya dan cepat-cepat mendekatinya sekaligus memegang tangannya erat-erat dan berkata.   "Cie Hiong, engkau harus tenang dan tabah"   "Yaaa."   Tio Cie Hiong mengangguk, namun mendadak mulutnya menyemburkan darah segar "Uaaakh! Uaaaakh...!"   "Kakak Cie Hiong...!"   Panggil Lim Ceng Im "Tenanglah Ceng Im!"   Lim Peng Hang menghampirinya dan berbisik.   "Engkau jangan terus menerus menangis! Cie Hiong terus menekan rasa sedihnya dalam hati, karena engkau menangis lagi itu membuat kesedihannya meledak, sehingga langsung memuntahkan darah segar. Kalau dia tidak bisa tenang, pasti terluka dalam."   "Kakak Cie Hiong...."   Air mata Lim Ceng Im berderai-derai, ia terus menahan isak tangisnya "Cie Hiong!"   Ujar Sam Gan Sin Kay.   "Cepatlah engkau duduk dan menghimpunlah lweekangmu!"   Tio Cie Hiong mengangguk perlahan, lalu duduk bersila dan sekaligus menghimpun Pan Yok Ilian Thian Sin.Kang. Berselang beberapa saat kemudian, wajahnya mulai tampak agak kemerah-merahan. Itu membuat Sam Gan Sin Kay dan lainnya menghela nafas lega.   "Kakak Cie Hiong...."   Lim Ceng Im langsung memeluknya erat-erat.   "Aku... aku tidak akan menangis lagi. Sungguh!"   Walau Lim Ceng Im berkata demikian, namun air matanya terus berlinang-linang.   "Adik Im...."   Tio Cie Hiong membelainya.   "Aku tidak tahan melihat engkau terus menangis."   "Aku berjanji, mulai sekarang tidak akan menangis lagi!"   Ujar Lim Ceng Im sambil menahan isak tangisnya. "Adik Im,"   Ujar Tio Cie Hiong dengan mata basah.   "Kita harus tabah menghadapi kenyataan im."   "Kakak Cie Hiong,"   Tanya Lim Ceng Im mendadak.   "Sungguhkah Bun Yang telah mati?"   "Mudah-mudahan dia masih hidup!"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Itu adalah harapan kita. Lagi pula kita tidak menemukan mayatnya, maka kemung-hnan besar dia masih hidup."   "Kalau dia sudah mati, kita...."   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong membelainya.   "Biar bagaimanapun, kita harus tabah menghadapinya."   "Ya, Kakak Cie Hiong."   Lim Ceng Im manggut-manggut sambil menahan isak tangisnya.   -oo0dw0oo- Sebulan kemudian, Toan Wie Kie dan lainnya berpamit untuk pulang ke Tayli.   Namun Toan Beng Kiat, Bokyong Sian Hoa, Yo Kiam Hend dan Lam Kiong Soat Lan belum mau pulang ka Tayli, karena mereka ingin ikut ke pulau Hong Hoang To.   "Jadi kalian ingin ke pulau Hong Hoang To?"   Tanya Toan Wie Kie.   "Ya, Ayah."   Toan Beng Kiat mengangguk.   "Itu...."   Toan Wie Kie memandang Gouw Sian Eng seraya bertanya.   "Bagaimana menurutmu?"   "Kini ketua Kui Bin Pang telah tewas, berarti rimba persilatan telah aman,"   Sahut Gouw Sian Eng.   "Maka biarlah mereka ke pulau Hong Hoari To, mungkin hati kakak Cie Hiong dan Ceng Im akan terhibur." "Ngmm!"   Toang Beng Kiat manggut-mangguj kemudian berpesan kepada putranya.   "Tapi kalian tidak boleh nakal di sana."   "Ya, Ayah."   Toan Beng Kiat menganggii sambil tersenyum.   "Kami sudah bukan anak kecil, bagaimana mungkin nakal?"   Toan Wie Kie tersenyum, lalu bersama yang lain berpamit kepada Sam Gan Sin Kay Kim Siauw Suseng, Kou Hun Bijin, Tio Tay Seng, Lim Peng Uang dan lainnya.   Setelah itu, berangkatlah mereka kembali ke Tayli.   Beberapa hari kemudian, pihak pulau Hong Hoaang To juga berpamit kepada Lim Peng Hang, Gouw Han Tiong, Bu Ceng Sianli dan orang tua pincang.   "Ayah,"   Ujar Lim Ceng Im.   "Kami mau pulang ke pulau Hong Hoang To!"   "Ng!"   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Ceng Im, jangan terus berduka, sebab kalau engkau terus berduka, akan mempengaruhi Cie Hiong!"   "Ya, Ayah."   Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Lim Ceng Im mengangguk.   "Peng Hang,"   Pesan Sam Gan Sin Kay.   "Kalau engkau sudah merasa tua, lebih baik pilih sekarang untuk menggantimu dan engkau boleh tinggal di pulau Hong Hoang to."   "Ya, Ayah."   Lim Peng Hang mengangguk sambil tersenyum.   "Tunggu beberapa tahun lagi, aku pasti akan mengundurkan diri dari jabatanku."   "Baiklah."   Sam Gan Sin Kay manggut-manggut Sementara Tio Cie Hiong memandang Bu Ceng Sianli, lalu mendekatinya sambil memberi pesan.   "Maaf, Sianli! Sejak kita bertemu, aku samai sekali tidak mengucapkan terimakasih kepada Sianli,"   Ujar Tio Cie Hiong. "Sekarang aku mengucapkan terimakasih kepada Sianli, karena Sianli begitu baik terhadap Bun Yang."   "Tidak usah berterimakasih,"   Sahut Bu Cengli Sianli sambil menghela nafas panjang.   "Aku sangat menyayanginya, tentunya harus baik terhadapnya! Tapi kini dia sudah tiada...."   "Sianli,"   Ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Selama ini aku terus berpikir, dan semakin tidak yakin Bun Yang serta Goat Nio telah mati. Oleh karena itu, aku masih berharap dia kembali ke pulau Hong Hoang To."   "Mudah-mudahan!"   Sahut Bu Ceng Sianli.   "Aku pun berharap begitu."   Sementara orang tua pincang terus-menerus memandang Sie Keng Hauw, setelah itu ia pula mendekati mereka.   "Keng Hauw!"   Panggilnya dengan suara rendah.   "Ada apa, Guru?"   Tanya Sie Keng Hauw heran "Engkau mau ikut ke pulau Hong Hoang To?' Orang tua pincang balik bertanya sambil menatapnya dalam-dalam.    Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini