Ceritasilat Novel Online

Kesatria Baju Putih 2


Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Bagian 2


Kesatria Baju Putih Karya dari Chin Yung   Tanya Tio Cie Hiong.   "Kali ini engkau cukup berdiri diam di tempat,"   Sahut Ku Tek Cun sambil tersenyum sinis.   "Suheng! Jangan memperlakukannya begitu! Kenapa suheng begitu tega sering menyiksanya?"   Ujar Phang Ling Hiang dengan wajah muram.   "Sumoi!"   Ku Tek Cun mengerutkan kening.   "Kenapa engkau selalu membelanya?"   "Aku tidak membelanya, melainkan tidak sampai hati menyaksikannya disiksa olehmu! Suheng, mari kita berlatih berdua saja!"   "Setelah berlatih dengannya, aku pasti akan berlatih denganmu,"   Sahut Ku Tek Cun sambil memungut sebatang ranting.   "Suheng..."   Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.   "Sumoi! Diamlah kau!"   Ku Tek Cun menatap gadis itu dengan kening berkerut, kemudian mengarah pada Tio Cie Hiong seraya berkata.   "Hari ini aku tidak melatih ilmu pukulan, melainkan ilmu pedang."   Tio Cie Hiong cuma manggut-manggut. Ia berdiri diam di hadapan Ku Tek Cun, sedangkan Phang Ling Hiang memandangnya dengan iba.   "Hiyaaat!"   Teriak Ku Tek Cun sambil menggerakkan ranting yang dipegangnya, lalu menyerang Tio Cie Hiong dengan jurus Angin Halilintar menyapu Bumi.   Tampak ranting itu berkelebat ke arah pinggang Tio Cie Hiong.   Sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri diam di tempat.   Plaaak! Pinggang Tio Cie Hiong terpukul oleh ranting itu.   Sungguh di luar dugaan, ranting itu patah menjadi beberapa potong.   Itu membuat Ku Tek Cun tercengang.   Ia tentu saja mengira ranting itu sudah lapuk.   Phang Ling Hiang memandang dengan mata terbelalak.   "Hmm!"   Dengus Ku Tek Cun dingin, lalu memungut sebatang ranting yang lebih besar.   "Aku ingin tahu, apakah kepalamu kuat menahan ranting ini?"   "Jangan, Suheng!"   Seru Phang Ling Hiang.   "Kepalanya akan pecah terpukul oleh ranting itu!"   "Kenapa engkau kalut?"   Tanya Ku Tek Cun tidak senang.   "Kalau kepalanya pecah, bagaimana?"   Tanya Phang Ling Hiang dengan wajah pucat pasi.   "Aku yang bertanggungjawab, engkau diam saja!"   Sahut Ku Tek Cun. Ia menatap Tio Cie Hiong dingin. Akan tetapi ketika ia ingin menyerang Tio Cie Hiong, terdengarlah bentakan keras.   "Berhenti, Tuan muda!"   Tiba-tiba Paman Tan sudah muncul di situ.   "Oh, Paman Tan!"   Ku Tek Cun tersenyum.   "Aku sedang berlatih dengan Cie Hiong, dia kuat sekali." "Hmm!"   Dengus Paman Tan dingin, lalu mengajak Tio Cie Hiong pergi.   Ku Tek Cun menatap punggung Tio Cie Hiong dengan penuh kebencian, sedangkan Phang Ling Hiang dalam hati mengucap syukur.   Sudah setahun Tio Cie Hiong bekerja di Hong Lui Po (Puri Angin Halilintar) selama itu ia selalu melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang, sehingga membuat dirinya tanpa sadar telah memiliki Iweekang yang tinggi.   Keberhasilan itu sungguh menggirangkan Paman Tan.   Maka sore ini ia pergi menemui Tio Cie Hiong yang baru usai menyapu.   Kebetulan Tio Cie Hiong sedang duduk di bawah pohon di halaman belakang.   Paman Tan mendekatinya dengan wajah berseri-seri.   "Nak! Kenapa engkau duduk melamun di situ?"   Tanyanya sambil duduk di sisinya.   "Oh, Paman Tan!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Aku tidak melamun, melainkan duduk beristirahat di sini."   "Nak!"   Paman Tan menatapnya dalam-dalam.   "Aku girang sekali."   "Memangnya kenapa?"   Tanya Tio Cie Hiong.   "Sebab..."   Paman Tan merendahkan suaranya.   "Engkau sepertinya telah berhasil mempelajari ilmu Iweekang itu, maka engkau tidak perlu takut lagi dipukul Ku Tek Cun."   "Itu berkat jasa Paman yang memberikan kitab tipis itu padaku. Kalau tidak, mungkin aku telah mati terpukul,"   Ujar Tio Cie Hiong dengan suara rendah pula.   "Nak... Sudah setahun engkau bekerja di Hong Lui Po ini, bagaimana kesanmu di sini?"   "Cukup baik"   Jawab Tio Cie Hiong jujur.   "Paman Tan, Nona Phang dan para pelayan lain sangat baik terhadapku, hanya saja Tuan muda itu..."   "Itu kesalahan ayahnya."   Paman Tan menarik nafas panjang.   "Terlampau memanjakannya, karena dia adalah putra satu-satunya, sehingga membuat sifatnya semakin memburuk. Namun... Pocu sama sekali tidak mengetahuinya."   "Paman Tan, kenapa selama ini aku tidak melihat Pocu?"   Tanya Tio Cie Hiong heran.   "Bukankah selama ini engkau tidak pernah memasuki rumah besar itu? Jadi bagaimana mungkin engkau akan melihat Pocu? Lagi pula Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tidak gampang menemuinya."   "O000h!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut. Paman Tan bangkit berdiri.   "Aku mau masuk kedalam... Engkau beristirahatlah.. jangan terlampau lama diluar!"   Tio Cie Hiong hanya tersenyum, sedangkan Paman Tan berjalan perlahan menuju rumah besar itu.   Tio Cie Hiong masih tetap duduk di bawah pohon.   Tak lama kemudian hari mulai gelap.   Ia bangkit berdiri, tetapi ketika baru mau melangkah pergi, mendadak muncul Phang Ling Hiang.   Gadis itu memandangnya sambil tersenyum.   "Nona Phang..."   Tio Cie Hiong segera memberi hormat padanya. "Cie Hiong!"   Phang Ling Hiang menggelengkan kepala.   "Engkau tidak usah memberi hormat padaku! Anggaplah aku kakakmu!"   "Aku hanya seorang pelayan rendah di sini, maka tidak pantas menganggap Nona sebagai kakakku."   "Engkau jangan terlampau merendahkan diri. Aku tahu engkau sejak kecil telah belajar ilmu sastra. Sebetulnya tidak pantas engkau bekerja sebagai pelayan di sini."   "Nona..."   "Oh ya!"   Phang Ling Hiang menatapnya.   "Suhengku sering bertindak sewenang-wenang terhadapmu, aku mohon sudilah engkau memaafkannya!"   "Itu sudah pasti."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Terus terang, aku khawatir sekali..."   Phang Ling Hiang menarik nafas panjang.   "Apa yang Nona khawatirkan?"   Tanya Tio Cie Hiong heran.   "Sifat buruk suhengku itu, aku... aku khawatir kelak dia akan menjadi penjahat."   Phang Ling Hiang memberitahukan dengan wajah murung.   "Nona tak usah khawatir kelak ia pasti berubah baik."   Hibur Tio Cie Hiong.   "Percayalah!"   "Mudah-mudahan begitu!"   Phang Ling Hiang menarik nafas lagi.   Di saat mereka berdua sedang bercakap-cakap, ada sepasang mata mengintip dengan berapiapi.   Ternyata tanpa mereka ketahui, Ku Tek Cun bersembunyi di balik sebuah pohon sambil memandang mereka dengan wajah penuh diliputi kebencian.   "Nona..."   Tio Cie Hiong menatapnya.   "Tidak baik Nona datang menemuiku, sebab kalau Tuan muda tahu, repotlah aku."   "Engkau jangan khawatir!"   Phang Ling Hiang tersenyum.   "Dia tidak ada di dalam puri, sebab guruku menyuruhnya pergi untuk menemui seseorang."   "Justru lebih tidak baik Nona datang di sini, sebab akan menimbulkan kecurigaan orang, sehingga akan menimbulkan hal-hal yang tak diinginkan."   Ujar Tio Cie Hiong sambil menggelenggelengkan kepala.   "Aku menganggapmu adik, kenapa harus takut akan kecurigaan orang lain."   "Itu pikiran Nona, namun orang lain tak akan berpikir begitu. Jadi alangkah baiknya Nona segera meninggalkan tempat ini."   "Baiklah!"   Phang Ling Hiang mengangguk lalu pergi. Tio Cie Hiong menarik nafas lega, lalu masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya. Ketika is sedang membersihkan kamarnya, sekonyong-konyong seorang pelayan menerobos ke dalam.   "Cie Hiong..."   Wajah pelayan itu tampak pucat pias.   "Ada apa?"   Tanya Tio Cie Hiong.   "Pocu (Majikan Puri) memanggilmu."   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Pelayan itu memberitahukan. "Oh?"   Tio Cie Hiong kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka Pocu akan memanggilnya.   "Ada urusan apa Pocu memanggilku?"   "Entahlah!"   Pelayan itu menggelengkan kepala.   "Kelihatannya... Pocu sedang marah besar."   "Pocu sedang marah besar?"   Tio Cie Hiong terperangah.   "Pocu marah pada siapa?"   "Cepatlah engkau ke sana!"   Sahut pelayan itu.   "Pocu berada di ruang depan."   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk, dan pelayan itu langsung angkat kaki dari tempat itu.   Dengan perasaan heran Tio Cie Hiong menuju rumah besar itu.   Selama setahun ini, ia sama sekali tidak pernah memasuki rumah tersebut, namun malam ini ia justru memasukinya.   Setelah berada di ruang depan yang amat besar dan indah itu, ia melihat seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di atas kursi dengan wajah penuh kegusaran.   Lelaki itu Hong Lui Kiam Khek - Ku Tiok Beng, majikan Puri Angin Halilintar.   Tampak pula Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang duduk di sisi Ku Tiok Beng, Ku Tek Cun tersenyum dingin, sedangkan Phang Ling Hiang menundukkan kepala.   "Cie Hiong!"   Bentak Ku Tiok Beng sambil menudingnya.   "Kenapa engkau begitu berani berbuat kurang ajar di dalam Hong Lui Po?"   "Pocu..."   Tio Cie Hiong kebingungan.   "Aku tidak pernah berbuat kurang ajar di sini."   "Engkau masih berani menyangkal?"   Bentak Ku Tiok Beng mengguntur dengan wajah gusar.   "Pocu!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Sudah setahun aku bekerja di sini, tapi selama ini aku tidak pernah berbuat kurang ajar."   Ku Tiok Beng melotot.   "Engkau sungguh berani, secara diam-diam berjanji pada Liang Hiang untuk bertemu di halaman belakang, bukankah itu perbuatan kurang ajar?"   "Itu..."   Tio Cie Hiong tertegun, kemudian memandang Phang Ling Hiang, yang tetap menundukkan kepala.   "Hm!"   Dengus Ku Tek Cun dingin.   "Mereka berdua tampak begitu mesra di bawah pohon. Kalau aku tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, tentu aku pun tidak akan percaya."   "Tuan muda..."   Tio Cie Hiong mengerutkan kening.   "Aku tidak memfitnahmu kan?"   Sahut Ku Tek Cun sambil tertawa dingin.   "Bukankah engkau bermesra-mesraan dengan sumoiku di bawah pohon?"   "Kami memang bercakap-cakap di bawah pohon, tapi kami tidak bermesra-mesraan seperti Tuan muda katakan itu,"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Ayah, dia telah mengaku,"   Ujar Ku Tek Cun kepada Hong Lui Kiam Khek-Ku Tiok Beng.   "Cie Hiong!"   Ku Tiok Beng menudingnya.   "Engkau telah mengaku, maka aku harus menghukummu!"   "Pocu!"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Sebelum jelas persoalan itu, aku harap Pocu tidak sembarangan menghukumku!"   "Engkau berani berkata begitu padaku..!!!"   Ku Tiok Beng tampak bertambah gusar sehingga wajahnya berubah merah padam.   "Karena aku merasa tidak bersalah, maka aku berani mengatakan begitu,"   Sahut Tio Cie Hiong dan melanjutkan.   "Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, tentunya tidak akan melakukan sesuatu yang menjadi bahan tertawaan kaum Bu Lim."   "Engkau..."   Bukan main gusarnya Ku Tiok Beng.   "Engkau..."   "Perlu Pocu ketahui!"   Tambah Tio Cie Hiong.   "Tuan muda terlampau dimanjakan, sehingga menjadi sombong, dan sifatnya menjadi buruk sekali. Kalau Pocu tidak memperhatikan hal itu, kelak nama Pocu pasti tercemar."   "Apa?"   Ku Tiok Beng melotot dan langsung meloncat ke hadapan Tio Cie Hiong.   "Engkau berani bersikap demikian kurang ajar terhadapku?"   "Aku tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Pocu, hanya mengingatkan Pocu saja,"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Aku sudah begitu baik menerimamu bekerja di sini, tapi engkau malah..."   Perlahan-lahan Ku Tiok Beng mengangkat sebelah tangannya.   Kelihatannya ia sudah siap memukul kepala Tio Cie Hiong.   Anak itu tetap berdiri tegak di tempat, bahkan sepasang matanya terus menatap tangan Ku Tiok Beng yang telah terangkat ke atas itu.   Di saat Ku Tiok Beng ingin memukul kepalanya, mendadak terdengar suara bentakan keras.   "Berhenti, Pocu!"   Muncul Paman Tan mendekati mereka dengan langkah tergopoh-gopoh, dan wajahnya tampak gusar sekali.   "Paman Tan..."   Ku Tiok Beng tertegun menyaksikannya, sebab selama puluhan tahun, ia tidak pernah melihat orang tua itu begitu gusar.   "Kalau Pocu ingin membunuh anak itu, lebih baik Pocu bunuh aku dulu!"   Ujar Paman Tan dengan suara gemetar.   "Kenapa...?"   Ku Tiok Beng mengerutkan kening.   "Aku tahu jelas persoalan itu, maka aku harus membela Cie Hiong!"   Sahut Paman Tan.   "Kalau Pocu berkeras ingin membunuhnya, aku pun pasti membunuh diri di hadapan Pocu!"   Ku Tiok Beng memandang orang tua itu. Sejak ia masih kecil, Paman Tan sudah bekerja pada almarhum ayahnya dan sangat mengabdi pada keluarganya dan menjadi orang kepercayaan, maka biar bagaimana pun, ia tidak mungkin tidak harus menghormatinya.   "Aaaakh...!"   Ku Tiok Beng menarik nafas panjang.   "Sudahlah! Cepat bawa anak ini pergi, esok pagi dia harus meninggalkan Hong Lui Po!"   Paman Tan segera menarik Tio Cie Hiong pergi. Setelah berada di dalam kamar, barulah orang tua itu menarik nafas lega.   "Nak!"   Paman Tan menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau nyaris mati di tangan Pocu."   "Heran!"   Gumam Tio Cie Hiong. Padahal Pocu sangat terkenal dalam rimba persilatan, kenapa dia justru tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah?" "Nak!"   Paman Tan tersenyum getir.   "Ku Tek Cun adalah putra kesayangannya, maka biar bagaimana pun Pocu tetap membelanya. Lagi pula Ku Tek Cun pandai bermuka-muka di hadapan Pocu, maka Pocu mempercayai omongannya."   "Kalau begitu..."   Tio Cie Hiong memandang orang tua itu.   "Aku tidak bisa tinggal di Hong Lui Po ini lagi."   "Ya."   Paman Tan manggut-manggut dengan wajah muram.   "Esok pagi engkau harus meninggalkan tempat ini."   "Paman Tan, kita... kita akan berpisah."   Mata Tio Cie Hiong mulai berkaca-kaca.   "Hidup memang begitu, engkau tidak perlu berduka, Nak."   Paman Tan membelai-belai rambutnya.   "Kalau aku masih hidup, kelak kita pasti akan berjumpa kembali."   "Paman Tan..."   "Nak! Esok pagi aku akan menyediakan lima ratus tael perak dan seekor kuda untukmu, agar engkau bisa lekas sampai di gunung Heng San."   "Terima kasih, Paman!"   Ucap Tio Cie Hiong dengan air mata meleleh.   "Aku entah harus bagaimana membalas budi kebaikan Paman?"   "Nak!"   Sahut Paman Tan sungguh-sungguh.   "Kalau engkau bisa menjadi orang baik selamanya, itu berarti engkau telah membalas kebaikanku."   "Paman Tan!"   Ujar Tio Cie Hiong berjanji.   "Aku pasti menjadi orang baik selamanya."   "Bagus!"   Orang tua itu manggut-manggut dan tersenyum puas, kemudian menambahkan.   "Tidak sia-sialah aku menyuruhmu belajar ilmu Iweekang. Aku yakin, kelak engkau pasti menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran. Kalau aku belum mati, pasti senang sekali mendengarnya."   "Paman Tan!"   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Aku sama sekali tidak berniat belajar ilmu silat, bagaimana mungkin aku akan menjadi seorang pendekar?"   "Apa yang akan terjadi kelak sulit diramalkan. Siapa tahu pada suatu saat nanti engkau justru menjadi orang Bu Lim. Ya, kan?"   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Orang tua itu menatapnya dalam-dalam. Tio Cie Hiong diam saja. Sedangkan orang tua itu membelainya seraya berpesan.   "Nak! Janganlah engkau lupa melatih ilmu Iweekang itu!"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk, lalu berkata dengan mata bersimbah air.   "Setelah aku dewasa kelak, aku pasti datang menengok Paman."   "Mudah-mudahan pada waktu itu, engkau telah menjadi seorang pendekar gagah dan berhati bajik!"   Ucap orang tua itu dan terus menerus membelainya dengan penuh kasih sayang.   Tampak seekor kuda putih berlari kencang meninggalkan Hong Lui Po.   Penunggang kuda putih itu seorang anak remaja, yang tak lain Tio Cie Hiong.   Pagi ini ia telah meninggalkan Hong Lui Po.   Paman Tan dan para pelayan mengantarnya sampai di depan Puri Angin Halilintar tersebut.   Tidak tampak Ku Tek Cun maupun Phang Ling Hiang.   Ternyata Ku Tek Cun melarang adik seperguruannya itu mengantar Tio Cie Hiong.   Oleh karena itu, Phang Ling Hiang menangis sedih di dalam kamarnya.   Kuda putih itu terus berlari ke arah timur.   Sedangkan Tio Cie Hiong merasa berat sekali berpisah dengan Paman Tan.   Namun apa boleh buat, ia memang harus meninggalkan Hong Lui Po itu, sebab Ku Tiok Beng, majikan Puri itu telah mengusirnya dengan tuduhan berlaku kurang ajar terhadap Phang Ling Hiang.   Tio Cie Hiong tahu, itu ulah Ku Tek Cun.   Akan tetapi, ia sama sekali tidak membenci maupun mendendam pada pemuda tersebut.   Sebaliknya ia malah merasa kasihan padanya, karena dengan sifat buruknya itu, kelak pasti akan menimbulkan suatu bencana bagi dirinya sendiri, dan sekaligus akan mencemarkan nama baik Hong Lui Po.   Sebelum meninggalkan Hong Lui Po, Paman Tan memberi Tio Cie Hiong lima ratus tael perak.   Dengan adanya bekal itu, maka Tio Cie Hiong tidak usah khawatir akan kekurangan uang.   Namun Tio Cie Hiong adalah anak berhati bijak.   Dalam perjalanan menuju Gunung Heng San, ia sering menolong para pengemis dengan uangnya itu.   Sepuluh hari kemudian, ia sudah sampai di Gunung Heng San.   Ia bertanya kepada penduduk setempat di mana letaknya Lembah Kesepian.   Dengan menunggang kuda putih itu, Tio Cie Hiong terus mendaki.   Ketika hari mulai senja, ia melihat sebuah lembah yang amat indah.   Tio Cie Hiong yakin, itu pasti Lembah Kesepian.   Karena itu, ia segera memasuki lembah tersebut, sedangkan kudanya berjalan perlahan-lahan.   Tio Cie Hiong menengok ke sana ke mari dengan penuh perhatian maka beberapa saat kemudian, ia melihat sebuah taman bunga sangat indah, yang di dalamnya terdapat sebuah gubuk.   Bukan main girangnya Tio Cie Hiong.   Ia cepat-cepat menuju gubuk itu, dan setelah sampai di depannya, ia meloncat turun dari punggung kudanya.   Pintu gubuk itu tertutup rapat.   Tio Cie Hiong mengetuknya seraya berseru.   "Permisi! Apakah Ku Tok Lojin berada di dalam?"   Tiada sahutan, Tio Cie Hiong berseru lagi berulang kali, tapi tetap tiada sahutan. Karena itu, ia terpaksa mendorong pintu gubuk tersebut lalu melongok ke dalam, tetapi tak ada seorang pun di sana.   "Permisi!"   Serunya lagi sambil berjalan ke dalam.   Di dalam gubuk itu terdapat perabotan-perabotan yang sangat sederhana, tapi sudah kotor semua.   Di sana sini tampak sarang laba-laba, yang menandakan bahwa sudah lama gubuk itu, tak dihuni orang.   Tio Cie Hiong berdiri tertegun di dalamnya.   Ia telah bersusah payah datang di Lembah Kesepian itu, tapi tidak bertemu Ku Tok Lojin.   Benarkah ini gubuk Ku Tok Lojin? Kalau benar, kenapa tidak ada orangnya? Pikir Tio Cie Hiong.   Akhirnya ia bermalam di gubuk itu, kalau ia tidak bertemu Ku Tok Lojin berarti tidak tahu riwayat hidupnya, lalu harus ke mana mencari Ku Tok Lojin itu? Tio Cie Hiong terus berpikir, kemudian tertidur pulas.   Pagi-pagi sekali Tio Cie Hiong sudah bangun, lalu berjalan-jalan sejenak di taman bunga.   Mendadak ia melihat seorang tua sedang berjalan sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara parau.   Pakaian orang tua itu penuh tambalan.   Giranglah Tio Cie Hiong melihat ada orang.   Ia segera berlari menghampiri orang tua itu seraya berseru.   "Paman! Paman..."   Orang tua itu terbelalak ketika melihat kemunculan Tio Cie Hiong,sebab tidak menyangka ada seorang anak lelaki berada di tempat itu.   "Bocah! Siapa engkau dan kenapa berada di sini?"   Tanyanya dengan penuh keheranan.   "Aku Cie Hiong,"   Jawabnya.   "Apakah Paman tahu siapa yang pernah tinggal di gubuk ini.   "Ku Tok Lojin."   Orang tua itu memberitahukan.   "Tahukah Paman dia ke mana?"   "Entahlah."   Orang tua itu menggelengkan kepala dan menambahkan.   "Setahuku, sudah lima tahun dia meninggalkan gubuk ini."   "Yaaah!"   Keluh Tio Cie Hiong.   "Aku bersusah payah datang kemari, tapi dia malah tak ada."   "Kenapa engkau mencarinya?"   Tanya orang tua itu heran.   "Ingin menanyakan sesuatu padanya, tapi dia tidak ada. Entah harus ke mana aku harus mencarinya?"   Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Kalau tidak salah, Ku Tok Lojin itu seorang Bu Lim,"   Ujar orang tua itu memberitahukan.   "Kalau engkau ingin tahu ke mana dia pergi, bertanyalah kepada orang Bu Lim juga!"   "Terima kasih atas saran Paman!"   Ucap Tio Cie Hiong.   "Oh ya! Kenapa Paman berada di sini?"   "Aku tinggal di kaki gunung ini. Beberapa hari sekali aku pasti datang di tempat ini untuk mencari kayu."   Orang tua itu memberitahukan sambil menatapnya.   "Bocah, pakaianmu indah sekali."   "Oh?"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Belum pernah cucuku berpakain seindah itu."   Orang tua tersebut menarik nafas panjang.   "Kami orang miskin, sama sekali tidak mampu membeli pakaian..."   "Paman!"   Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Di dalam buntalanku masih ada beberapa stel pakaian, akan kuberikan pada Paman."   "Apa?"   Orang tua itu kelihatan tak percaya.   "Engkau ingin memberikan pakaianmu padaku?" "Benar."   Tio Cie Hiong mengangguk, lalu masuk ke gubuk. Tak lama ia sudah keluar lalu menghampiri orang tua itu.   "Paman, di dalam buntalanku ini, ada beberapa stel pakaian dan sepuluh tael perak, terimalah!"   "Apa? Ini..."   Mulut orang tua itu ternganga lebar sambil menerima buntalan.   "Te... terima kasih!"   "Sama-sama,"   Sahut Tio Cie Hiong, lalu mendekati kuda putihnya, dan sekaligus meloncat ke punggungnya.   Setelah Tio Cie Hiong memegang tali kendali kuda, meringkiklah kuda putih dan langsung berlari pergi.   Orang tua itu memegang buntalan tersebut dengan mulut masih ternganga lebar.   "Siapa anak lelaki itu? Kok hatinya begitu baik?"   Gumamnya kemudian.   Kini di dalam baju Tio Cie Hiong hanya tersisa beberapa tael perak.   Namun ia sama sekali tidak merasa cemas.   Kalau uangnya sudah habis, ia akan bekerja lagi.   Sementara kuda putih itu terus berlari, tapi tidak begitu kencang.   Tio Cie Hiong ke gunung Heng San dengan tujuan menemui Ku Tok Lojin untuk menanyakan riwayat hidup dirinya.   Akan tetapi, Ku Tok Lojin justru telah pergi beberapa tahun lalu, sehingga ia tetap tidak tahu siapa kedua orang tuanya.   Oleh karena itu, haruskah ia mengembara dalam rimba persilatan mencari Ku Tok Lojin? Lalu ia harus menuju ke mana? Itu sungguh memusingkan Tio Cie Hiong.   Akhirnya ia teringat akan daerah Kang Lam, yang sangat kesohor keindahan panoramanya.   Karena itu, ia lalu memacu kudanya ke arah selatan.   Dalam perjalan, Tio Cie Hiong sama sekali tidak lupa melatih Pan Yok Hian Thian Sin Kang, maka tanpa disadarinya, Iweekangnya menjadi semakin meningkat.   Ingatannya bertambah kuat, bahkan penglihatannya pun bertambah tajam.   Ketika masih berada di Hong Lui Po, ia sering melihat Ku Tek Cun dan Phang Ling Hiang berlatih ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat, dan kini semua gerakan ilmu pedang tersebut masih berada di dalam ingatannya.   Ada satu hal yang sangat mengherankan, yakni ia tidak pernah belajar ilmu silat, namun setelah menyaksikan ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat itu, ia pun tahu di mana letak keistimewaan ilmu pedang tersebut.   Kenapa bisa begitu? Tidak lain disebabkan Kecerdasan otak dan Pan Yok Hian Thian Sin Kang yang ternyata adalah Ilmu Iweekang yang sangat langka di dunia ini.   Beberapa hari kemudian, Tio Cie Hiong sudah kehabisan uang lagi.   Apa boleh buat, ia terpaksa menjual kudanya kepada seseorang pedagang kuda di sebuah kota.   Padahal kuda putih itu berharga ratusan tael perak, namun pedagang kuda itu hanya membayarnya lima puluh tael perak.   Tio Cie Hiong menerimanya dengan girang, karena tidak tahu harga kuda putih itu.   Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanannya menuju selatan.   Dasar ia berhati baik, lima puluh tael perak itu dibagi-bagikan kepada orang miskin, sehingga ia sendiri tak mempunyai uang sama sekali.   Oleh karena itu ia harus menahan lapar.   Hari ini Tio Cie Hiong telah tiba di suatu tempat yang penuh pohon-pohon rindang.   Ia berteduh di bawah sebuah pohon rindang untuk beristirahat sejenak.   Berselang beberapa saat kemudian ia bangkit berdiri dan meneruskan perjalanannya.   Betapa girangnya ketika ia melihat sebuah sungai, dan ia langsung berlari ke sungai itu.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Setibanya di tepi sungai, ia menengok ke sana ke mari.   Tak ada seorang pun berada di tempat itu, segeralah ia membuka pakaiannya, lalu terjun ke dalam sungai itu.   iapun mencuci pakaiannya lalu dijemur di atas rumput di tepi sungai.   Tio Cie Hiong tak berani naik ke atas, sebab ia dalam keadaan telanjang, maka terus berendam di sungai menunggu sampai pakaiannya kering.   Air sungai itu sangat dingin, maka membuatnya secara tidak langsung mengerahkan Pan Yok Hian Thian Sin Kang.   Setelah mengerahkan Iweekang tersebut, tubuhnya langsung hangat, sehingga sangat menggirangkannya.   Entah berapa lama kemudian, mendadak Tio Cie Hiong mengerutkan kening.   Ternyata ia mendengar suara langkah.   Namun ia tidak menoleh ke belakang, melainkan tetap berendam di dalam sungai.   Tampak seorang pengemis kecil dan dekil berjalan di situ.   Walau berjarak lima puluhan depa, Tio Cie Hiong sudah mendengar suara langkah itu.   Pengemis itu terus berjalan, tetapi tiba-tiba ia berhenti dengan mata terbelalak memandang ke sungai, karena ia melihat ada orang berendam di situ.   "Hei..."   Seru pengemis kecil.   "Siapa engkau, kenapa berendam di dalam sungai"   Perlahan-lahan Tio Cie Hiong menoleh.   Begitu melihat pengemis kecil, terbeliaklah ia seketika.   Ternyata pengemis kecil itu Lim Ceng Im, setahun lalu mereka pernah bertemu.   Pada waktu itu, Tio Cie Hiong juga sedang mandi di sungai dalam keadaan telanjang.   "Ceng Im...!"   Seru Tio Cie Hiong girang.   "Haaah? Engkau?"   Pengemis kecil tertegun lalu tertawa gembira sambil berlari ke tepi sungai.   "Cie Hiong! Cie Hiong..."   "Ceng Im!"   Saking girangnya Tio Cie Hiong lupa akan dirinya yang dalam keadaan telanjang bulat, ia naik ke atas.   "Auuuh!"   Jerit Lim Ceng Im. Ketika badan Tio Cie Hiong baru nongol separuh. Pengemis kecil itu langsung membalikkan badannya.   "Eeeh? Oh! Maaf!"   Tio Cie Hiong tersenyum karena baru ingat dirinya dalam keadaan telanjang.   "Cie Hiong, cepatlah engkau berpakaian!"   Seru Lim Ceng Im.   "Ya,"   Sahut Tio Cie Hiong sambil naik ke atas dan cepat-cepat berpakaian.   "Aku sudah berpakaian."   Perlahan-lahan Lim Ceng Im membalikkan badannya. la menarik nafas lega ketika melihat Tio Cie Hiong sudah berpakaian. Namun kemudian ia terbelalak sambil menatapnya.   "Eeeh?"   Tio Cie Hiong terheran-heran.   "Kenapa engkau menatapku dengan cara begitu?"   "Cie Hiong!'sahut Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan.   "Setahun lebih kita tidak bertemu, engkau tampak semakin tampan lho!"   "0.. ya?"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Sebaliknya engkau bertambah dekil."   "Engkau merasa jijik padaku?"   Tanya Lim Ceng Im cemberut.   "Engkau teman baikku, bagaimana mungkin aku merasa jijik padamu?"   Sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Benarkah?"   Lim Ceng Im tertawa gembira.   "Tentu saja benar."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Cie Hiong! Mari kita duduk di bawah pohon!"   Ajak Lim Ceng Im. Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mereka berdua menghampiri sebuah pohon dan duduk di bawahnya.   "Ceng Im!"   Tio Cie Hiong memandangnya.   "Kenapa engkau masih berpakaian pengemis dan masih begitu dekil? Apakah engkau tidak pernah mandi sama sekali?"   "Aku memang pengemis, mana ada pengemis yang bersih sih?"   Sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum.   "Oh ya, Cie Hiong!"   Bagaimana keadaanmu selama setahun ini?"   "Aku baik-baik saja."   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Aku bekerja di Hong Lui Po. setelah itu barulah berangkat ke gunung Heng San."   "Oooh!"   Lim Ceng Im manggut-manggut.   "Apakah engkau telah bertemu orang yang kau cari itu?"   "Aku sudah sampai di tempatnya, tapi dia tidak ada."   Tio Cie Hiong menarik nafas.   "Kata seseorang penduduk di sana, beberapa tahun lalu dia telah meninggalkan tempat itu. Aku tidak tahu harus ke mana lagi mencarinya."   "Sebetulnya siapa yang kau cari itu?"   Tanya Lim Ceng Im mendadak.   "Dia adalah Ku Tok Lojin."   "Ku Tok Lojin?"   Lim Ceng Im mengerutkan kening sambil berpikir, kemudian berkata.   "Aku tidak pernah mendengar tentang orang itu, akan kutanyakan pada ayah, mungkin ayah tahu itu."   "Terima kasih, Ceng Im!"   Ucap Tio Cie Hiong dan mendadak is tertawa geli.   "Eeeh?"   Lim Ceng Im tercengang.   "Kenapa engkau tertawa geli? Apa yang menggelikanmu?"   "Heran!"   Sahut Tio Cie Hiong dan masih tertawa geli.   "Setahun lalu engkau bertemu denganku dalam keadaan telanjang, kali ini pun begitu. Kita sungguh berjodoh sekali!"   "Jangan omong sembarangan!"   Lim Ceng Im cemberut.   "Nyatanya memang begitu,"   Sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa.   "Jangan-jangan engkau memang senang melihat aku telanjang.   "Eh? Jangan kurang ajar!"   Lim Ceng Im cemberut lagi dengan wajah memerah.   "Heran!"   Gumam Tio Cie Hiong sambil menatapnya.   "Engkau lelaki, tapi kenapa suka cemberut seperti gadis? Ceng Im, lelaki tidak boleh cemberut Iho!"   "Siapa suruh engkau tidak tahu malu?" "Aku tidak tahu malu?"   Tio Hui Hong menggaruk-garuk kepala.   "Aku tidak merasa itu."   "Kenapa engkau sering mandi telanjang di sungai"   "Karena pakaianku sudah kotor, harus dicuci. Kalau aku tidak telanjang, bagaimana pakaianku itu dicuci?"   "Engkau tidak punya pakaian lain?"   "Sebetulnya ada, tapi telah kuberikan pada orang,"   Ujar Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Bahkan uangku pun telah habis kubagi-bagikan pada orang miskin."   "Oh?"   Lim Ceng Im menatapnya penuh perhatian.   "Jadi sekarang engkau tidak punya uang?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Cie Hiong!"   Lim Ceng Im menundukkan kepala.   "Aku juga tidak punya uang, kalau aku punya, pasti kuberikan padamu."   "Terima kasih!"   Ucap Tio Cie Hiong, kemudian merogoh ke dalam bajunya mengeluarkan sesuatu.   "Lihatlah! Hingga saat ini aku masih menyimpannya, bahkan akan kusimpan selamalamanya."   Lim Ceng Im mendongakkan kepala melihat. Semula ia tampak tertegun tapi kemudian wajahnya berseri-seri.   "Itu... itu kantongku,"   Ujarnya gembira.   "Setahun yang lalu kuberikan kepadamu!"   "Benar."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Kantong yang dulu berisi uang perak. Engkau begitu baik hati terhadapku, maka aku harus menyimpan kantong ini selama-lamanya."   "Ng!"   Lim Ceng Im manggut-manggut dengan mata berbinar-binar.   "Oh ya, apa rencanamu sekarang?"   "Aku tidak punya rencana, namun mungkin akan berusaha mencari Ku Tok Lojin."   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Mencarinya ke mana?"   "Mungkin aku harus mengembara dalam rimba persilatan, sebab kaum rimba persilatan pasti tahu Ku Tok Lojin berada di mana."   "Tapi...."   Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau tidak punya uang, bagaimana mungkin bisa mengembara dalam rimba persilatan?"   "Aku akan kerja lagi."   "Cie Hiong!"   Mendadak Lim Ceng Im menatapnya serius.   "Maukah engkau belajar ilmu silat? Aku akan carikan engkau seorang guru yang berkepandaian tinggi. Bagaimana?"   "Ceng Im!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Terima kasih atas maksud baikmu, namun aku tidak berniat belajar ilmu silat."   "Engkau ingin mengembara dalam rimba persilatan, seharusnya engkau belajar ilmu silat untuk menjaga diri."   "Itu tidak perlu."   Ujar Tio Cie Hiong.   "Kalau aku tidak berbuat salah, tak mungkin akan diganggu orang."   "Heran!"   Lim Ceng Im menggeleng-gelengkan kepala.   "Kenapa engkau tidak tertarik untuk belajar ilmu silat?"   "Orang yang belajar ilmu silat, pasti tak lebih dari bunuh membunuh. Oleh karena itu, aku tidak mau belajar ilmu silat."   "Engkau memang aneh."   Lim Ceng Im menari nafas.   "Oh ya, kalau tidak salah engkau sudah berusia empat belas tahun bukan?"   "Benar?"   Memangnya kenapa?"   "Kalau begitu, bagaimana kalau mulai sekarang aku memanggilmu Kakak Hiong?"   "Boleh."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Jadi aku pun harus memanggilmu Adik Im, bukan?"   "Ya."   Lim Ceng Im tersenyum. Di saat mereka berdua sedang asyik mengobrol, mendadak terdengar suara siulan yang sangat nyaring.   "Aaaakh!"   Keluh Lim Ceng Im.   "Kakak Hiong, aku harus pergi."   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong menatapnya heran.   "Setahun yang lalu, ketika engkau mendengar suara siulan langsung pergi. Kali ini pun begitu. Memangnya kenapa?"   "Itu suara siulan ayahku, maka aku harus segera pergi menemuinya."   Lim Ceng Im memberitahukan sambil bangkit berdiri.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong juga berdiri.   "Kapan kita akan berjumpa lagi?"   "Kelak kita pasti berjumpa kembali,"   Bukankah engkau bilang... kita berjodoh? Nah, kita pasti berjumpa kembali,"   Ujar Lim Ceng Im dengan wajah agak kemerah-merahan.   "Kakak Hiong, sampai jumpa!"   Lim Ceng Im melesat pergi, sedangkan Tio Cie Hiong berdiri termangu-mangu di tempat. Sementara Lim Ceng Im telah sampai di suatu tempat, tampak seorang pengemis berusia lima puluhan berdiri di situ. Pengemis itu ayahnya yang bernama Lim Peng Hang.   "Ayah!"   Lim Ceng Im menghampiri pengemis itu dengan wajah tidak senang.   "Ayah sungguh keterlaluan!"   "Lho?"   Pengemis itu tertawa gelak.   "Kenapa ayah keterlaluan?"   "Ayah tidak boleh lihat orang senang. Aku baru bertemu dia, tapi ayah langsung memanggilku. Bukankah keterlaluan sekali?"   Sahut Lim Ceng Im cemberut.   "Bertemu dia? Siapa dia?"   Tanya pengemis itu sambil tersenyum.   "Ayah sudah tahu kok malah pura-pura bertanya?"   Wajah Lim Ceng Im kemarah-merahan.   "Maksudmu anak lelaki itu?"   "Ya."   "Nak!"   Lim Peng Hang menarik nafas panjang.   "Usiamu baru tiga belas, belum waktunya berkenalan dengan anak lelaki!"   "Memangnya kenapa?"   "Itu akan mengganggu pelajaran ilmu silatmu."   "Ayah!"   Lim Ceng Im menatapnya.   "Dia... dia anak baik, aku..." "Engkau suka padanya?"   Lim Peng Hang terbelalak.   "Ya."   Lim Ceng Im mengangguk perlahan.   "Yaaaa... ampun!"   Lim Peng Hang menepuk keningnya sendiri.   "Engkau masih kecil, kok sudah suka pada anak lelaki? Itu... itu..."   "Ayah! Bolehkah aku pergi menemuinya?"   Tanya Lim Ceng Im mendadak.   "Boleh."   Lim Peng Hang manggut-manggut.   "Terima kasih, Ayah!"   Lim Ceng Im girang bukan main.   "Sekarang aku akan pergi menemuinya."   "Jangan sekarang! Harus tunggu engkau dewasa dulu!"   Ujar Lim Peng Hang.   "Apa?"   Lim Ceng Im terbelalak.   "Harus tunggu aku dewasa? Jadi kapan aku baru boleh pergi menemuinya?"   "Harus beberapa tahun lagi,"   Sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.   "Ayah..."   Mata Lim Ceng Im bersimbah air.   "Nak! Belum waktunya engkau memikirkan lelaki. Engkau harus tekun belajar. Sebab kelak engkau harus menggantikan kedudukanku."   "Ayah, aku tidak mau jadi ketua partai pengemis,"   Sahut Lim Ceng Im.   "Setiap hari harus berpakaian rombeng, walau pun sudah bersih harus dikotor-kotorkan pula."   "Itu adalah peraturan partai Kay Pang, tapi setelah engkau dewasa, tentunya engkau boleh berpakaian indah."   Lim Peng Hang memberitahukan.   "Benarkah..?"   Wajah Lim Ceng Im berseri.   "Nak! Cepatlah engkau pulang ke markas pusat. Sebab kakekmu sedang menunggu di sana!"   "Kakek menungguku?"   Lim Ceng Im tersenyum gembira.   "Kakek mau mengajarku ilmu silat?"   "Ya."   Lim Peng Hang mengangguk.   "Ayoh, ikut ayah pulang!"   Lim Ceng Im mengangguk.   Mereka berdua lalu melesat pergi, namun pikiran pengemis kecil itu tetap menerawang membayangkan wajah Tio Cie Hiong yang tampan dan simpatik itu.   Kini Tio Cie Hiong telah sampai di Kota Po Teng.   Kota tersebut sangat ramai dan merupakan kota pusat perdagangan, maka tidak heran, kalau kaum pedagang dari berbagai kota mendatangi kota itu.   Karena Kota Po Teng sangat aman, bebas dari gangguan para perampok, sebab di Kota tersebut terdapat sebuah Ekspedisi Hui Houw (Harimau Terbang), yang amat terkenal dalam rimba persilatan.   Pemimpin ekspedisi itu adalah Cit Pou Tui Hun (Tujuh Langkah Pengejar Roh) Gouw Han Tiong.   Beberapa tahun yang lalu Tui Hun Lojin (Orang Tua Pengejar Roh), ayahnya telah cuci tangan, maka Cit Pou Tui.   Hun Gouw Han Tiong menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pemimpin ekspedisi itu.   Bagian 3 Selama puluhan tahun, barang kawalan ekspedisi Hui Houw tak pernah dirampok, karena Tui Hun Lojin dan putranya berkepandaian sangat tinggi.   Lagi pula mereka berjiwa besar dan selalu membantu kaum Bu Lim yang kepepet uang.   Oleh karena itu, para perampok dari daerah mana pun tidak berani mengganggu barang kawalan ekspedisi itu.   Tio Cie Hiong berdiri di depan gedung ekspedisi tersebut.   Ternyata ia ingin melamar pekerjaan di situ.   Namun is tidak berani lancang memasuki halaman bangunan yang sangat besar itu.   Kebetulan salah seorang piauwsu melihatnya.   "Saudara kecil!"   Piauwsu itu menghampirinya.   "Kenapa engkau dari tadi berdiri di situ?" "Aku... aku ingin mencari pekerjaan,"   Sahut Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Maksudmu ingin bekerja di sini?"   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Engkau tunggu sebentar, aku akan ke dalam untuk bertanya kepada pemimpin kami,"   Ujar piauwsu itu dan sekaligus berjalan ke dalam. Berselang beberapa saat kemudian, piauwsu itu sudah kembali.   "Saudara kecil, mari ikut aku ke dalam!"   Katanya sambil tersenyum.   "Terima kasih!"   Ucap Tio Cie Hiong dan mengikuti piauwsu itu ke dalam.   Begitu masuk ke dalam, Tio Cie Hiong terbelalak karena melihat halaman yang amat luas.   Setelah melewati halaman itu, Piauwsu tersebut mengajaknya memasuki bangunan besar itu.   Tampak seorang lelaki berusia lima puluhan duduk di ruang depan.   Lelaki itu adalah Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong, pemimpin Ekspedisi Harimau Terbang.   Di sisinya berdiri seorang anak perempuan berusia sekitar tiga belas tahun, yang wajahnya sungguh cantik sekali.   Piauwsu itu melapor pada Gouw Han Tiong, lalu meninggalkan ruang itu.   Sedangkan Gouw Han Tiong terus memandang Tio Cie Hiong yang berdiri di hadapannya.   Ternyata lelaki itu merasa heran, sebab sepasang mata Tio Cie Hiong bersinar begitu terang.   "Beritahukanlah namamu!"   Ujar Gouw Han Tiong.   "Namaku Tio Cie Hiong, Tuan."   "Engkau mau bekerja di sini?"   "Ya, Tuan."   "Tapi pekerjaan di sini berat sekali."   Gouw Han Tiong memberitahukan.   "Apakah engkau sanggup bekerja di sini?"   "Sanggup, Tuan,"   Jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Bangunan ini sangat besar. Setiap pagi dan sore engkau harus membersihkan seluruh bangunan ini, juga termasuk halaman depan, tengah dan halaman belakang. Apakah engkau tidak merasa berat akan pekerjaan itu?"   "Aku tetap sanggup mengerjakannya, Tuan."   Gouw Han Tiong manggut-manggut.   "Baiklah. Kuterima engkau bekerja di sini."   "Terima kasih, Tuan!"   Ucap Tio Cie Hiong.   "Cie Hiong!"   Gouw Han Tiong tersenyum.   "Engkau jangan memanggilku tuan, panggil saja paman!"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Paman."   "Sian Eng!"   Ujar Gouw Han Tiong pada anak gadis yang berdiri di sisinya.   "Ajak Cie Hiong ke dalam melihat kamarnya!"   "Ya, Ayah."   Gouw Sian Eng mengangguk, kemudian mengajak Tio Cie Hiong ke dalam.   Sungguh di luar dugaan, ternyata di dalam bangunan itu terdapat sebuah halaman amat indah, yang dihiasi dengan berbagai tumbuhan.   Setelah melewati halaman itu, Gouw Sian Eng mengajak Tio Cie Hiong memasuki sebuah bangunan lain.   "Ini kamarmu,"   Ujar Gouw Sian Eng sambil membuka pintu kamar itu.   "Lihatlah dulu! Kalau engkau merasa tidak cocok, aku akan menunjukkan kamar lain."   "Cocok,"   Sahut Tio Cie Hiong tanpa melongok ke dalam.   "Engkau belum melihat ke dalam, kok langsung mengatakan cocok?"   Gouw Sian Eng heran.   "Aku sudah merasa puas sekali dengan kamar ini,"   Ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. Gouw Sian Eng terbelalak ketika melihat senyumannya, kemudian wajahnya tampak memerah dan segera menundukkan kepala. Tio Cie Hiong tidak memperhatikan hal itu, karena ia telah melangkah ke dalam kamar.   "Ei!"   Seru Gouw Sian Eng.   "Di mana pakaianmu?"   "Pakaianku?"   Tio Cie Hiong tersenyum geli.   "Cuma yang kupakai ini."   Mulut Gouw Sian Eng ternganga lebar, lama sekali barulah berkata.   "Kalau begitu, akan kuambilkan pakaian untukmu."   "Terima kasih, Nona!"   Ucap Tio Cie Hiong.   "Jangan memanggilku nona, namaku Sian Eng, panggil saja namaku!"   Ujar gadis itu.   "Tapi... aku pembantu disini, jadi mana boleh aku memanggil namamu?"   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Kalau engkau memanggilku nona, aku akan marah."   Gouw Sian Eng kelihatan sungguhsungguh.   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Engkau tunggu sebentar!"   Gouw Sian Eng meninggalkan kamar itu, tetapi berselang sesaat ia sudah kembali dengan membawa sebuah buntalan.   "Ada beberapa stel pakaian, untukmu semua."   "Aku telah merepotkanmu, Nona... Eh, Sian Eng,"   Ucap Tio Cie Hiong. Gouw Sian Eng tersenyum.   "Hampir saja engkau lupa memanggil namaku."   "Aku..."   Tio Cie Hiong ingin mengatakan sesuatu, namun mendadak perutnya berbunyi.   "Kruuuk! Kruuuuk! "Eh?"   Gouw Sian Eng terheran-heran.   "Bunyi apa itu?"   "Perutku yang berbunyi."   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Oooh!"   Gouw Sian Eng manggut-manggut, lalu berlari pergi, sedangkan Tio Cie Hiong menaruh buntalan itu ke dalam lemari. Tak seberapa lama kemudian, Gouw Sian Eng muncul lagi dengan membawa sebuah bungkusan, cangkir dan sebuah teko yang berisi air teh.   "Bungkusan ini untukmu,"   Ujarnya sambil menaruh bungkusan itu dan teko berikut cangkir di atas meja.   "Terima kasih!"   Ucap Tio Cie Hiong.   "Bungkusan apa itu?"   Tanyanya.   "Bukalah! Engkau akan mengetahuinya,"   Sahut Gouw Sian Eng sambil tersenyum lembut. Tio Cie Hiong membuka bungkusan itu. Ternyata bungkusan itu berisi nasi putih dan beberapa potong ayam panggang.   "Haaah?"   Tio Cie Hiong terbelalak dan perutnya langsung berbunyi lagi.   "Ini untukku?"   "Ya."   Gouw Sian Eng mengangguk.   "Aku tahu, engkau pasti sudah lapar sekali. Kalau tidak, bagaimana mungkin perutmu berbunyi?"   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Makanlah!"   Ujar Gouw Sian Eng. Tio Cie Hiong langsung bersantap bagaikan macan kelaparan. Gouw Sian Eng tertawa geli menyaksikannya, lalu menuangkan secangkir air teh untuk Tio Cie Hiong.   "Sian Eng! Engkau sedemikian baik terhadapku, kalau ayahmu tahu, apakah engkau tidak dimarahinya?"   Tanya Tio Cie Hiong seusai bersantap.   "Tentu tidak,"   Jawab Gouw Sian Eng.   "Minumlah!"   Tio Cie Hiong meneguk air teh itu, kemudian memandangnya seraya berkata lagi. "Padahal aku akan bekerja sebagai pembantu di sini, namun engkau sedemikian baik terhadapku. Aku khawatir... ayahmu akan tidak senang."   "Jangan khawatir ayahku tidak akan begitu."   Gouw Sian Eng memberitahukan.   "Sebab ayahku selalu berpesan, tidak boleh menghina orang lain dan harus berbuat baik pula."   "Kakekku pun selalu berpesan begitu kepadaku, jadi engkau tidak usah khawatir!"   "Engkau masih punya kakek?"   "Ya."   Gouw Sian Eng mengangguk.   "Oh ya, di mana kedua orang tuamu?"   "Sudah lama meninggal. Aku pun tidak tahu siapa kedua orang tuaku,"   Ujar Tio Cie Hiong jujur.   "Kok begitu?"   Gouw Sian Eng heran.   "Aku dibesarkan paman. Sebelum meninggal is berpesan kepadaku harus pergi ke Gunung Heng San menemui Ku Tok Lojin."   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Engkau sudah pergi ke sana?"   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Sudah, tapi tidak bertemu Ku Tok Lojin, sebab dia telah meninggalkan tempat tinggalnya itu."   "Kenapa pamanmu menyuruhmu pergi menemui orang itu?"   "Kata Paman, Ku Tok Lojin akan memberitahukan riwayatku. Tapi Ku Tok Lojin tidak berada di tempat, dan aku tidak tahu harus ke mana mencarinya."   "Jadi hingga kini engkau masih belum tahu siapa kedua orang tuamu?"   Tanya Gouw Sian Eng sambil memandangnya iba.   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Cie Hiong! Sekarang engkau boleh beristirahat dulu, esok baru mulai kerja,"   Pesan Gouw Sian Eng.   "Terima kasih, Sian Eng!"   Ucap Tio Cie Hiong. Gouw Sian Eng tersenyum, lalu meninggalkan kamar itu. Tio Cie Hiong memandang punggungnya seraya bergumam.   "Sungguh baik hati anak gadis itu..."   Pagi-pagi buta Tio Cie Hiong sudah bangun. Ia langsung menyapu halaman belakang, halaman tengah dan halaman depan. Ketika is sedang menyapu di halaman depan, mendadak muncul Gouw Sian Eng, tangannya membawa dua buah bakpao.   "Cie Hiong!"   Panggilnya sambil tersenyum ceria.   "Oh, Sian Eng!"   Tio Cie Hiong berhenti menyapu.   "Selamat pagi!"   "Pagi!"   Sahut Gouw Sian Eng.   "Engkau pasti belum sarapan, bakpao ini untukmu."   "Terima kasih!"   Ucap Tio Cie Hiong sambil menerima bakpao itu.   "Ambillah dua-duanya! Kalau cuma satu, engkau tidak akan kenyang,"   Ujar Gouw Sian Eng.   "Kita seorang satu saja,"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Baiklah!"   Gouw Sian Eng mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah sebuah pohon sambil makan bakpao. Kemudian Gouw Sian Eng bertanya.   "Kenapa begitu pagi engkau sudah bangun?"   "Aku harus menyapu, maka harus bangun pagi."   "Engkau memang raiin."   "Kerja harus rajin. Kalau tidak, aku pasti dipecat oleh ayahmu."   "Ayahku tidak akan sembarangan memecat orang. Engkau tidak usah mengkhawatirkan itu!"   "Karena itu, aku harus rajin bekerja."   "Oh iya...!"   Gouw Sian Eng tiba-tiba memandangnya.   "Pernahkah engkau belajar ilmu silat?" "Tidak pernah."   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Kalau aku... sejak kecil sudah belajar ilmu silat, kakek yang mengajariku."   Gouw Sian Eng memberitahukan.   "Kok bukan ayahmu yang mengajarimu?"   "Ayahku sangat sibuk, maka tak ada waktu untuk mengajarku. Karena itu, kakek yang mengajarku. Lagi pula kepandaian kakek lebih tinggi dari pada kepandaian ayah."   "Cie Hiong! Apakah engkau berniat belajar ilmu silat? Kalau engkau berniat, akan kuminta kakek mengajarimu."   "Sian Eng!"   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Terus terang, aku sama sekali tidak berniat belajar ilmu silat."   "Kenapa?"   Gouw Sian Eng heran.   "Siapa yang memiliki ilmu silat, pasti akan bunuh membunuh dalam rimba persilatan. Karena itu, aku tidak mau belajar ilmu silat."   "Engkau keliru. Sebetulnya ilmu silat dipergunakan untuk menjaga diri, bukan untuk saling membunuh."   "Siapa yang memiliki ilmu silat, pasti mempunyai musuh. Maka akan terjadi pertarungan dan lain sebagainya. Sejak kecil aku belajar sastra, jadi tidak tertarik untuk belajar ilmu silat."   "Ooooh!"   Gouw Sian Eng manggut-manggut.   "Oh ya! Kenapa agak sepi di sini?"   Tanya Tio Cie Hiong mendadak.   "Para Piauwsu di sini telah berangkat mengantar barang ke kota lain, mungkin dua bulan kemudian mereka baru pulang, kini hanya tinggal beberapa Piauwsu di sini, maka kelihatan sepi."   "Oooh!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut lagi.   "Cie Hiong, berapa usiamu?"   Tanya Gouw Sian Eng mendadak.   "Empat belas."   "Usiaku tiga belas, maka engkau lebih tua setahun dariku. Nah, bolehkah aku panggilmu Kakak Hiong?"   "Tentu boleh."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Kalau begitu, aku pun harus memanggilmu Adik Eng, bukan?"   "Ya."   Gouw Sian Eng mengangguk sambil tersenyum.   "Adik Eng, maaf ya!"   Tio Cie Hiong bangkit berdiri.   "Aku harus menyapu lagi."   "Kakak Hiong! Aku akan membantumu menyapu,"   Ujar Gouw Sian Eng sambil tertawa gembira.   "Boleh kan?"   "Tentu boleh."   Tio Cie Hiong mengangguk.   Gouw Sian Eng segera mengambil sebuah sapu, lalu membantu Tio Cie Hiong menyapu dengan wajah berseri-seri.   Pagi berikutnya ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu di halaman depan, tampak Gouw Sian Eng muncul bersama seorang tua berjenggot panjang putih.   "Adik Eng!"   Seru Tio Cie Hiong girang.   "Selamat pagi!"   "Selamat pagi, kakak Hiong!"   Sahut Gouw Sian Eng sambil menarik orang tua itu ke hadapannya.   "Kakek, dia adalah kakak Hiong."   Orang tua itu menatap Tio Cie Hiong tajam, kemudian wajahnya tampak berseri-seri.   "Bakat yang bagus dan tulang yang kuat." "Selamat pagi, Tuan besar!"   Ucap Tio Cie Hiong.   "Apa?"   Orang tua itu tertawa gelak.   "Engkau memanggilku tuan besar?"   "Kakak Hiong!"   Sela Gouw Sian Eng.   "Engkau juga boleh memanggil kakek kepadanya."   "Betul! Betul!"   Orang tua itu tertawa terbahak-bahak.   "Engkau memang boleh memanggil kakek kepadaku."   "Ya, kakek."   "Bagus! Bagus!"   Orang tua itu tertawa lagi. Orang tua itu tidak lain ialah Tui Hun Lojin sendiri.   "Oh ya, namamu?"   "Dia bernama Tio Cie Hiong,"   Sahut Gouw Sian Eng.   "Kakek bertanya padanya, kenapa engkau yang menjawab?"   Tui Hun Lojin menatap cucunya tajam.   "Aku..."   Wajah Gouw Sian Eng memerah.   "Waaah!"   Tui Hun Lojin tertawa gelak.   "Wajahmu memerah, merasa malu ya?"   "Kakek jahat! Kakek jahat!"   Gouw Sian Eng membanting-banting kaki.   "Cucuku!"   Sahut Tui Hun Lojin, yang masih tertawa.   "Engkau masih kecil lho! Jangan..."   "Kakek!"   Gouw Sian Eng segera menarik jenggot Tui Hun Lojin.   "Aduuuh!"   Jerit Tui Hun Lojin kesakitan.   "Cie Hiong, cucuku ini sangat nakal, maka engkau harus hati-hati."   "Dia tidak nakal, melainkan amat sayang pada kakek,"   Sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Eh?"   Tui Hun Lojin terbelalak.   "Belum apa-apa, engkau sudah membelanya?"   "Aku membela yang benar,"   Ujar Tio Cie Hiong.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Sebab adik Eng memang benar menyayangi kakek."   Tui Hun Lojin manggut-manggut, kemudian wajahnya berubah serius seraya bertanya.   "Cie Hiong, engkau pernah belajar ilmu silat?"   "Tidak pernah."   "Maukah engkau menjadi muridku?"   "Maaf, kakek! Aku tidak mau belajar ilmu silat."   "Lho? Kenapa?"   Tui Hun Lojin menatapnya heran.   "Apa alasanmu tidak mau belajar ilmu silat?"   "Katanya..."   Sela Gouw Sian Eng.   "Siapa yang memiliki ilmu silat pasti saling membunuh, maka dia tidak mau belajar ilmu silat."   Tui Hun Lojin mengerutkan kening.   "Cie Hiong, benarkah engkau mengatakan begitu?"   "Ya, kakek!"   Tio Cie Hiong mengangguk dan menambahkan.   "Siapa yang memiliki ilmu silat tinggi, pasti mempunyai musuh sehingga akhirnya pasti saling membunuh. Karena itu, aku tidak mau belajar ilmu silat."   Tui Hun Lojin manggut-manggut sambil menatapnya. Mendadak hatinya tersentak, ternyata is melihat sepasang mata Tio Cie Hiong memancarkan sinar yang amat terang, otomatis membuat orang tua itu terheran-heran.   "Cie Hiong, pernah engkau belajar ilmu Iweekang?"   "Tidak pernah,"   Sahut Tio Cie Hiong cepat. Ia terpaksa berdusta karena sesuai dengan pesan Paman Tan bahwa ia harus merahasiakan hal itu.   "Heran!"   Gumam Tui Hun Lojin.   "Sungguh mengherankan!"   "Kenapa kakek?"   Tanya Gouw Sian Eng heran. "Tidak ada apa-apa,"   Sahut Tui Hun Lojin sambil tersenyum.   "Sian Eng, hari ini kakek akan mengajarmu Tui Hun Kiam Hoat."   "Terima kasih, kakek!"   Ucap Gouw Sian Eng girang. Ia cepat-cepat mengambil dua batang ranting, salah sebatang ranting itu diberikan kepada kakeknya. Tui Hun Lojin menerima ranting itu sambil tersenyum, lalu memandang Gouw Sian Eng tajam seraya berkata.   "Engkau harus memperhatikan dengan seksama, sebab Tui Hun Kiam Hoat sangat lihay, terdiri dari tujuh jurus, yang setiap jurusnya mempunyai tiga perubahan. Oleh karena itu, di saat kakek mengajarmu, haruslah diperhatikan dengan baik-baik."   "Ya, Kakek."   Gouw Sian Eng mengangguk.   "Kakek, aku melanjutkan pekerjaanku ya!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Kakak Hiong!"   Sahut Gouw Sian Eng cepat.   "Engkau tidak usah menyapu sekarang, nonton saja aku belajar ilmu pedang."   "Tapi..."   "Sudahlah... Nanti aku akan membantumu menyapu."   "Baiklah kalau begitu...!"   Tio Cie Hiong berdiri di situ, sedangkan Tui Hun Lojin tersenyumsenyum.   "Sian Eng! Perhatikan baik-baik!"   Tui Hun Lojin mulai memainkan Tui Hun Kiam Hoat dengan perlahan.   Gouw Sian Eng memperhatikan baik-baik sedangkan Tio Cie Hiong hanya menonton saja.   Tui Hun Lojin terus mengulang memainkan ilmu pedang tersebut.   Semula bergerak lamban, namun kian lama kian bertambah cepat lalu berhenti.   "Bagaimana?"   Tanya Tui Hun Lojin pada Gouw Sian Eng.   "Engkau ingat semua jurus-jurus itu?"   "Kakek!"   Gouw Sian Eng menggelengkan kepala.   "Bagaimana mungkin aku bisa mengingat semua jurus itu? Lebih baik kakek ajarkan sejurus demi sejurus saja!"   "Baiklah."   Tui Hun Lojin mengangguk, kemudian mengajar cucunya sejurus demi sejurus.   Ketika Tui Hun Lojin memainkan jurus-jurus ilmu pedang, Tio Cie Hiong sudah ingat semua jurus itu dalam otaknya, itu tidak diketahui Tui Hun Lojin.   Apabila orang tua itu tahu, tentunya tidak akan percaya.   Bagaimana mungkin hanya sekali pandang bisa mengingat semua jurus ilmu pedang itu? Sementara Gouw Sian Eng sudah mulai mengikuti gerakan Tui Hun Lojin sejurus demi sejurus.   Hampir setengah hari barulah gadis itu menghafal semuanya.   Ketika mulai berlatih, gerakannya masih tampak kaku.   "Sian Eng!"   Tui Hun Lojin tersenyum.   "Engkau harus berlatih dengan tekun, sebab ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat adalah ilmu andalan kakek dan ayahmu! ilmu pedang ini membuat kakek terkenal, begitu pula ayahmu."   "Ya, kek."   Gouw Sian Eng mengangguk dan terus berlatih.   Tui Hun Lojin menyaksikan latihan.cucunya dengan penuh perhatian.   Ia sekali-sekali memberi petunjuk apabila cucunya melakukan gerakan salah.   Tio Cie Hiong terus menonton, dan secara diam-diam membandingkan Hong Lui Kiam Hoat.   (llmu Pedang Angin Halilintar) dengan ilmu pedang tersebut.   Tanpa disadarinya ia bisa tahu, mana ilmu pedang yang lebih hebat diantara keduanya.   "Sian Eng, engkau berlatih sendiri saja, kakek mau ke dalam!"   Ujar Tui Hun Lojin, lalu meninggalkan halaman itu.   "Kakak Hiong, bagaimana gerakanku? Apakah sudah dapat menyamai gerakan kakekku?"   Tanya Gouw Sian Eng mendadak pada Tio Cie Hiong. "Adik Eng!"   Jawab Tio Cie Hiong sungguh-sungguh.   "Gerakan rantingmu masih kaku sekali, lagi pula banyak kesalahan yang kau lakukan ketika badanmu bergerak. Maka lain kali engkau harus memperhatikan baik-baik gerakan kakekmu, pikiranmu harus dipusatkan untuk memperhatikan, dan disaat memperhatikan, engkau tidak boleh memikirkan hal lain. Sebab akan memecahkan perhatianmu, sehingga akan menyulitkanmu mempelajari ilmu pedang itu."   "Ya, kakak Hiong."   Gouw Sian Eng mengangguk.   "Aku pasti menuruti nasihatmu. Terimakasih!"   Seusai berkata demikian, Gouw Sian Eng mulai berlatih lagi.   Bahkan Tio Cie Hiong yang memberi petunjuk padanya.   Gadis itu tidak merasa heran, karena is menganggap Tio Cie Hiong jauh lebih pintar dari pada dirinya.   Sore ini ketika Tio Cie Hiong sedang menyapu di halaman depan, mendadak terdengarlah suara tawa yang amat keras.   "Ha ha ha! Gouw Han Tiong, mana ayahmu? Aku pengemis tua ingin menemuinya, cepat suruh dia keluar!"   "Paman pengemis! Silakan masuk!"   Suara sahutan Gouw Han Tiong dari dalam.   "Kalau ayahmu tidak keluar, aku tidak akan masuk."   "Ha ha ha!"   Terdengar kemudian suara Tui Hun Lojin balas tertawa.   "Pengemis busuk, aku ada disini menyambutmu, silakan masuk!"   "Terima kasih!"   Tampak sosok bayangan berkelebat ke dalam, sungguh cepat laksana kilat. Namun Tio Cie Hiong yang sedang menyapu itu dapat melihat jelas orang yang berkelebat itu, ternyata seorang pengemis tua.   "Ha ha ha!"   Tui Hun Lojin tertawa terbahak-bahak.   "Pengemis busuk, kok engkau belum mampus?"   "Ha ha ha!"   Pengemis tua itu juga tertawa gelak.   "Setan tua, engkau belum mengejar rohku, bagaimana mungkin aku akan mampus?"   "Ha ha! Silakan duduk, pengemis busuk!"   Ucap Tui Hun Lojin.   "Terima kasih!"   Pengemis tua itu duduk.   "Pengemis busuk, angin apa yang membawamu datang kemari?"   Tanya Tui Hun Lojin sambil memandangnya.   "Tentunya bukan angin lalu"   Sahut pengemis tua itu.   "Aku datang ingin menanyakan satu hal padamu."   "Tentang hal apa?"   Tui Hun Lojin heran. Begitu pula Cit Pou Tui Hun Gouw Han Tiong yang duduk disisi ayahnya.   "Sepuluh tahun yang lampau, rimba persilatan telah digemparkan oleh Sebuah Kotak Pusaka..., Kabarnya Hui Kiam Bu Tek (Pedang Terbang Tanpa Tanding) Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka itu, tapi ia kemuadian bersama istrinya mati dikeroyok oleh orang Bu LIm termasuk kaum golongan hitam dan Tujuh Partai Besar. Aku dengar engkau pun ambil bagian dalam pengeroyokan itu, apakah benar?"   "Itu tidak benar. Tapi aku memang berada di Pek Yun Nia (Tebing Awan Putih) itu."   "Setan tua!"   Pengemis tua menatapnya tajam.   "Benarkah engkau tidak ikut mengeroyok Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng dan Sin Pian Bijin-Lie Hui Hong?"   "Pengemis busuk!"   Tui Hun Lojin menarik nafas panjang.   "Engkau tidak percaya padaku?"   "Baik!"   Pengemis tua itu manggut-manggut.   "Aku percaya. Maukah engkau menuturkan tentang kejadian itu?"   "Baiklah..."   Tui Hun Lojin mengangguk sambil menghela napas panjang.   "Pada waktu itu, aku mendapat kabar bahwa Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng memperoleh Kotak Pusaka, sampai akhirnya kemudian ia dikejar-kejar kaum golongan hitam dan tujuh partai besar. Karena itu, aku segera berangkat ke Tebing Awan Putih. Aku tidak mengajak putraku, kebetulan dia sedang mengantar barang. Ketika aku tiba di Tebing Awan Putih, aku menyaksikan pertempuran yang kacau balau. Beberapa ketua partai dan para murid mereka menyerang kaum golongan hitam, namun kadangkadang juga menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin. Tampak pula seorang gadis kecil berdiri di pinggir tebing itu sambil menangis. Banyak kaum golongan hitam mati di ujung pedang Hui Kiam Bu Tek, tapi ia sama sekali tidak membunuh para murid tujuh partai besar. Mendadak muncul tiga sosok bayangan menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin. Itu sungguh di luar dugaanku, karena tiga sosok bayangan itu adalah Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut Timur), Thian Mo (Iblis Kahyangan) dan Te Mo (Iblis Neraka). Dapat kau tahu keahlian mereka bertiga, sekali mereka menyerang Hui Kiam Bu Tek dan Sin Pian Bijin, dua orang itu langsung terdesak dan hanya sebentar saja telah mati di tangan Bu Lim Sam Mo (Tiga Iblis Rimba Persilatan) itu, sedangkan gadis kecil itu tergelincir ke dalam jurang. Setelah itu, Bu Lim Sam Mo melesat pergi entah kemana..."    Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini