Kesatria Baju Putih 37
Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Bagian 37
Kesatria Baju Putih Karya dari Chin Yung "Hanya mereka yang mampu mengalahkan It sim sin Ni." "Tapi... kenapa belum ada yang ke mari?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Menurutku...," Sahut TUi Hun Lojin. "Mereka sengaja membuat kita kebingungan, sekaligus memancing keluar Cie Hiong." "Kalau begitu, lebih baik aku pergi mencari mereka," Ujar Tio Cie Hiong, yang sudah tidak sabaran menunggu. "Tunggu lagi beberapa hari, apabila tetap tiada orang ke mari, barulah engkau pergi mencari mereka." Tio Tay seng menatapnya. "Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk dengan wajah muram. Tak terasa sudah lewat beberapa hari, tapi tetap tiada seorang pun muncul menemui mereka. Itu sungguh mencemaskan Tio Cie Hiong Tio Tay Seng, sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang. "Aku harus berangkat sekarang," Ujar Tio Cie Hiong setelah mengambil keputusan. "Tidak bisa menunggu lagi." "Engkau berangkat besok pagi saja," Ujar Tio Tay seng dan menambahkan. "aku akan berangkat bersamamu." "Paman, lebih baik aku pergi seorang diri," Sahut Tio Cie Hiong. "sebab Paman dan yang lain tidak boleh berpencar. Aku khawatir di saat aku pergi, mereka akan ke mari." "Benar." Kim siauw suseng manggul-manggut. "Biar Tio Cie Hiong pergi seorang diri saja. Kita tetap berada di sini, dan tidak boleh berpencar, agar tidak mengurangi kekuatan kita." "Terus terang...," Ujar Tio Tay Seng dengan kening berkerut. "Tempat ini sudah tidak aman, lagi pula kita juga tidak mampu melawan mereka." "Lalu kita harus bagaimana?" Tanya sam Gan sin Kay. "Ibu pernah memberitahukan, tak jauh dari sini terdapat sebuah goa rahasia .Jadi untuk sementara kita tinggal di goa itu menunggu cie Hiong culang ," Jawab Tio Tay seng. "Tio Tocu" Mendadak sam Gan sin Kay menudingnya. "Kenapa tempo hari engkau tidak memberitahukan tentang goa itu? Bukankah It sim sin Ni dan lainnya bisa tinggal di goa itu?" "Pengemis bau" Tegur Kim siauw suseng. "siapa akan menduga Bu Lim sam Mo punya siasat itu? Kalau perlu tinggal di goa ilu, tentunya It sim sin Ni sudah membawa yang lain ke sana. Maka percuma Tio Tocu memberitahukan tentang goa itu kepada kita." "Iya." Sam Gan sin Kay mengangguk. kemudian menjura kepada Tio Tay seng. "Tocu, aku minta maaf" "Aku memang bersalah, tidak berpikir sampai ke situ," Sahut Tio Tay seng sambil menggelenggelengkan kepala. "Tocu" Sela Kim siauw suseng. "Kita semua yang bersalah, sebab tidak menduga Bu Lim sam Mo begitu licik." "sudahlah" Ujar Tio cie Hiong sambil menghela nafas. "jangan saling mempersalahkan Yang penting aku akan pergi mencari mereka besok pagi bersama kauw heng." Monyet bulu putih langsung manggut-manggut. sejak It sim sin Ni dan lainnya hilang tak berbekas, monyet bulu putih itu juga tampak murung sekali. "Kauw heng" Ucap Tio cie Hiong sambil membelainya. "Mudah-mudahan kita dapat mencari mereka" Sementara itu. di markas Bu Tek Pay yang di dalam goa terdengar alunan suata musik yang diselingi tawa terbahak-bahak. tampak pula beberapa wanita muda menari lemah gemulai sambil tersenyum-scnyum. "Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo terus tertawa terbahak-bahak. "Kini merupakan hari-hari yang penuh kegembiraan" "Tidak salah," Sahut Thian Mo. "Namun dipihak lain pasti kebingungan. Ha ha ha..." "Mereka pasti tidak menduga, kalau kita berada di dalam markas ini," Sela Te Mo sambil meneguk minumannya. "Mereka pasti kelabakan, terutama sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang." "Siasat kalian bertiga memang hebat sekali" Kwan Gwa siang Koay tertawa gelak. "Bagaimana mungkin mereka akan menduga, kita akan kembali di tempat ini? Mereka pasti berpikir, kita bersembunyi di suatu tempat yang rahasia." "Kita pun tidak menyangka...," Ujar Tiau Am Kui sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Di dalam biara itu terdapat seorang biarawati yang begitu tinggi kepandaiannya. Kalau sam Mo tidak turun tangan, mungkin agak sulit membekuknya." "Benar." Kwan Gwa Siang Koay mengangguk. "Kita bisa membunuhnya, namun sulit sekali menangkapnya hidup, hidup." "Heran" Thian Mo menghela nafas. "Biarawati tua itu begitu tinggi kepandaiannya, namun kami sama sekali tidak kenal dia." "Yang kita kenal hanyalah Lim Ceng Im," Ujar Te Mo. "Tempo hari kita menangkapnya, tapi kemudian muncul Kou Hun Bijin." "Eeeeh?" Tang Hai Lo Mo teringat sesuatu. "Bukankah Kou Hun Bijin bilang mau menerimanya sebagai murid? Tapi kenapa gadis itu malah berada di biara itu? Mungkin Kou Hun Bijin berpihak kepada mereka?" "Kukira tidak." Sahut siluman Gemuk. "Kou Hun Bijin tahu bahwa gadis itu putri Lim Peng Hang, maka membawanya ke Gunung Hong Lay san. Namun ketua Kay Pang itu tidak mengijinkan putrinya berguru kepada Kou Hun Bijin, karena itu Kou Hun Bijin mengembalikan gadis tersebut kepadanya. setelah itu, Kou Hun Bijin langsung pergi jadi aku yakin Kou Hun Bijin tidak berpihak kepada mereka." "Mungkin begitu." Tang Hai Lo Mo manggut-manggut dan menambahkan. "Kini kita sudah tahu orang yang membawa monyet itu punya hubungan dengan Kay Pang. Kita harus menggunakan Lim Ceng Im dan lainnya untuk memaksa orang itu menyerah, seperti halnya dengan Tio Cie Hiong. Ha ha ha..." "Sesungguhnya kita tidak perlu takut kepada orang itu Kami akan bertarung dengan dia," Ujar Kwan Gwa siang Koay. "Benar." Thian Mo mengangguk. "Tapi itu agak merepotkan, lebih baik kita paksa dia menyerah." "Seandainya dia tidak mau menyerah?" Tanya Bu Ceng Kui. "Kita harus bertindak bagaimana?" "Bunuh saja Ceng Im dan lainnya," Sahut Tang Hai Lo Mo dan melanjutkan. "setelah itu, barulah kila bertarung dengan mereka." "Benar." Bu Ceng Kui tertawa gelak. "Kapan kila akan mengutus seseorang untuk pergi menemui mereka?" Tanya siluman Kurus mendadak. "Satu dua bulan kemudian," Sahut Tang Hai Lo Mo. "Kita membuat mental mereka turun dan kebingungan, sedangkan kita tetap bersenang-senang di sini. Ha ha" "Kita akan berada di dalam markas ini selama satu dua bulan, tentu tidak akan tahu bagaimana keadaan di luar," Ujar siluman Kurus. "Seandainya pada waktu itu mereka tidak berada di Gunung Hong Lay san, kita harus bagaimana?" "Aku sudah memikirkan tentang itu," Sahut Tang Hai Lo Mo. "Tentunya kita akan memerintahkan para ketua tujuh partai besar untuk mencari mereka. Nah, bereskan?" "Benar, benar." Siluman Kurus tertawa sambil mengacungkan jempolnya ke hadapan Tang Hai Lo Mo. "Engkau sungguh cerdik, kami kagum dan salut kepadamu." "Ha ha ha..." Tang Hai Lo Mo tertawa bangga. "Tapi...." Siluman Gemuk menghela nafas. "Banyak anggota kita yang menjadi korban." "Itu tidak menjadi masalah," Sahut Thian Mo. "Yang penting kita sudah menangkap Ceng Im dan lainnya, lagi pula berapa harga nyawa para anggota kita itu?" "Memang. Tapi...." Toa Thau Kui menggeleng-gelengkan kepala. "otomatis Bu Tek Pay pun bubar." "Itu hanya sementara waktu, namun kelak Bu Tek Pay akan menguasai seluruh Tionggoan," Ujar Tang Hai Lo Mo sambil tertawa. "Ha ha ha Pada waklu itu, kaisarpun akan takut terhadap kita." Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Benar, benar." Thian Mo dan Te Mo juga tertawa gelak. "Nah, mari kita bersulang lagi" Mereka lalu bersulang sambil tertawa terbahak-bahak. Para penari pun terus menari lemah gemulai sambil tersenyum-senyum. Akan tetapi, sesungguhnya itu hanya merupakan senyuman paksa. Kalau mereka tidak tersenyum, nyawa mereka pasti melayang. Bab 80 Bertemu pemuda Manchuria Mengenai penyerangan Bu Tek Pay ke markas pusat Kay Pang, kemudian pihak Kay Pang menyerang ke markas Bu Tek Pay kejadian-kejadian itu telah masuk ke telinga para ketua tujuh partai. oleh karena itu, Hui Khong Taysu ketua partai Siauw Lim pun segera mengutus beberapa muridnya pergi mengundang para ketua Butong Pay, Hoa san Pay, Kun Lun Pay, Khong Tong Pay, Go Bie Pay dan swat San Pay, dan itu dilaksanakan secara rahasia sekali. Kini di ruang tengah biara siauw Lim telah dipenuhi para ketua tujuh partai. Mereka saling memberi hormat lalu duduk. "Maaf" Ucap Hui Khong Taysu. "Aku mengundang kalian ke mari, sesungguhnya untuk merundingkan sesuatu." "Apa yang akan kita rundingkan, Taysu?" Tanya It Hian Tojin, ketua partai Butong. "Tentang kejadian-kejadian yang belum lama ini, yang tentunya kalian semua pun telah mendengarnya. "jawab Hui Khong Taysu. "Itu berkaitan dengan partai-partai kita. selama ini kita cuma diam saja, namun Kay Pang yang berani menentang Bu Tek Pay." "Benar." It Hian Tojin mengangguk. " Karena itu, kita semua harus merasa malu terhadap Kay Pang." "Lalu kita harus berbuat apa?" Tanya Wie Hian Cinjin, ketua partai Kun Lun. "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu. "sudah waktunya kita bergabung kembali dengan Kay Pang, untuk membasmi Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin." "Taysu sudah berpikir secara matang?" Tanya It Hian Tojin sambil mengerutkan kening. "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu. "Aku telah berpikir secara matang. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku mengundang kalian ke mari untuk berunding?" "Tapi...." Ceng sim suthay menggeleng-gelengkan kepala. "Itu sungguh membahayakan kita, sebab kita bertujuh bergabung pun belum tentu dapat mengalahkan kedua siluman itu. oleh karena itu, kita tidak boleh bertindak ceroboh." "Benar." Hui Khong Taysu manggut-manggut. "sesungguhnya partai siauw Lim sudah tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan, namun mengingat akan pengorbanan Tio Cie Hiong, maka kita harus membantu Kay Pang." "Itu tidak salah, tapi kekuatan kita terbatas sekali." Hui Liong sin Kiam, ketua partai Hoa san menghela nafas panjang. "Bagaimana mungkin kita membantu Kay Pang?" "ohya" Ujar It Hian Tojin dengan wajah serius. "Apakah kalian tahu, bahwa belum lama ini dalam rimba persilatan telah muncul Tui Beng Li, Thian Liong Kiam Khek dan Hong Hoang Leng?" "Tentunya kami sudah tahu," Sahut Pek Bie Lojin, ketua swat san Pay. "Mereka justru menentang Bu Tek Pay." "Kemunculan Hong Hoang Leng memang sangat mengejutkan, sebab tujuh puluh lima tahun lampau, Hong Hoang Leng pernah muncul." Ujar wie Hian cinjin ketua Kun Lun Pay. "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu. "Hong Hoang Leng pun menentang Bu Tek Pay, itu sungguh membingungkan" "Jadi bagaimana keputusan kita?" Tanya It Hian Tojin mendadak. "Perlukah kita bergabung kembali dengan Kay Pang?" "Begini saja." Usul Hui Liong sin Kiam. "Kita pergi menemui Sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang, kita coba berunding dengan mereka." "omitohud Memang lebih baik begitu," Ucap Hui Khong Taysu. "Tapi kita tidak tahu mereka berada di mana sekarang." "Mereka berada di Gunung Hong Lay san," Sahut It Hian Tojin. "salah seorang muridku bertemu anggota Bu Tek Pay yang kabur dari markas, dia memberitahukan bahwa pihak Kay Pang berada di Gunung Hong Lay san." "Kalau begitu, mari kita berangkat ke Gunung Hong Lay san Bagaimana?" Tanya Wie Hian Cinjin, ketua Kun Lun Pay. "omitohud Mari kita berangkat sekarang" Ucap Hui Khong Taysu. Kenapa hweeshio tua ini ingin sekali menemui sam Gan sin Kay? Ternyata pengemis sakti itu pernah berbisik kepadanya, bahwa Tio Cie Hiong belum mati, maka ia ingin tahu jelas tentang itu Lagi pula ia juga memperoleh suatu informasi mengenai munculnya seorang lelaki berkepandaian tinggi yang selalu membawa seekor monyet putih. Hui Khong Taysu yakin bahwa sam Gan sin Kay pasti tahu siapa lelaki tersebut. Para ketua tujuh partai besar telah tiba di Gunung Hong Lay san. Di saat mereka sedang mencari ke sana ke mari, mendadak muncul seorang tua sambil membentak mereka. " "Siapa kalian? Kenapa memasuki Gunung Hong Lay san ini?" "Omitohud Maaf" Sahut Hui Khong Taysu. "Aku ketua partai siauw Lim. Kami ke mari ingin menemui Bu Lim Ji Khie dan ketua Kay Pang." "Ha ha ha" Terdengar suara tawa, lalu muncul sam Gan sin Kay dan Kim siauw suseng. sam Gan sin Kay menatap Hui Khong Taysu seraya bertanya. "Kepala gundul, ada urusan apa kalian ke mari?" "omitohud" Hui Khong Taysu tersenyum. "sin Kay, sudah sekian lama kita tidak bertemu. Engkau tetap sehat, omitohud" "Taysu" Kim siauw suseng menatapnya sambil mengerutkan kening. "Jelaskanlah, ada urusan apa kalian ke mari?" "Kami ke mari ingin berunding dengan kalian." Jawab Hui Khong Taysu dan menambahkan. "sebab kami sudah tahu pihak Bu Tek Pay menyerang markas pusat Kay Pang, setelah itu kalian pun balas menyerang Bu Tek Pay. oleh karena itu, kami ke mari ingin berunding." "Baiklah." Sam Gan sin Kay manggut-mang-gut. "Mari ikut kami ke goa" Bu Lim Ji Khie dan orang tua yang muncul duluan itu segera melesat pergi. Para ketua tujuh partai besar pun segera melesat mengikuti mereka. Tak seberapa lama kemudian, Bu Lim Ji Khie dan orang tua itu berhenti di depan sebuah goa. "Mari kuperkenalkan" Ujar sam Gan sin Kay. "orang ini pembantu setia Tio Tocu." "Pemilik pulau?" Hui Khong Taysu tersentak. "Pulau apa?" "Hong Hoang Te," Sahut sam Gan sin Kay memberitahukan. "Ayoh, mari kita ke dalam goa" "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu lalu mengikuti mereka memasuki goa tersebut. Setelah berada di dalam goa, sam Gan sin Kay juga memperkenalkan mereka satu persatu. Mereka lalu saling memberi hormat. Para ketua tujuh partai besar terkejut bukan main setelah mengetahui Tio Tay seng adalah pemilik pulau Hong Hoang Te. "omitohud Kalau begitu, Tio Tecu adalah pemilik Hong Hoang Leng?" Tanya Hui Khong Taysu. "Ya." Tio Tay seng mengangguk dan menambahkan. "Tujuh puluh lima tahun lalu, yang muncul di Tionggoan adalah ayahku." "oooh" Hui Khong Taysu manggut-manggut dan bertanya. "Kenapa Tio Tocu menentang Bu Tek Pay?" "Karena Bu Lim sam Mo membunuh adikku, maka kami pihak Hong Hoang Te harus menuntut balas," Sahut Tio Tay seng. "siapa adik Tio Tecu?" Tanya It Hian Tojin. "Adikku adalah Tio It seng." "Haaah...?" Mulut para tujuh partai besar ternganga lebar. "Tak disangka Tio It seng adalah keturunan pemilik Hong Hoang Leng Kalau begitu, Tio Cie Hiong...." "Tentunya dia keponakanku, dan Tio Hong Hoa adalah putriku." Tio Tay seng menjelaskan. "It sim sin Ni adalah ibuku." Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "It sim sin Ni... It sim sin Ni..." Gumam Hui Khong Taysu sambil berpikir keras. "Taysu kenal ibuku?" Tanya Tio Tay seng. "Tidak kenal, namun aku pernah mendengar dari guruku," Jawab Hui Khong Taysu dan melanjutkan. " Hanya tidak begitu jelas, yang di luar dugaan It sim sin Ni ternyata ibumu." "Itu memang benar." Tio Tay seng tersenyum getir, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu, lalu memandang sam Gan sin Kay seraya bertanya. "sin Kay, bagaimana Tio Cie Hiong?" "Eh? Kok...?" Sam Gan sin Kay terbelalak. "Kepala gundu...." "omitohud" Hui Khong Taysu tersenyum. "Jangan pura-pura lupa Bukankah sin Kay pernah berbisik kepadaku...." "oh Aku ingat." Sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Kalau begitu, aku akan menjelaskannya. sesungguhnya dua tahun yang lalu, Tio Cie Hiong tidak mati, melainkan dia dibawa pergi oleh Tayli Lo Ceng." Tutur sam Gan sin Kay dan melanjutkan dengan suara rendah. " Lelaki yang membawa monyet putih adalah Tio Cie Hiong." "omitohud syukurlah" Ucap Hui Khong Taysu. sedangkan para ketua partai lain terbelalak. "Lalu di mana Cie Hiong sekarang?" Tanya It Hian Tojin. "Dia pergi kemarin pagi...," Jawab sam Gan sin Kay sekaligus memberitahukan tentang hilangnya It sim sin Ni, cucunya, Tan Li cu dan kedua murid It sim sin Ni. "Jadi...." Wajah It Hian Tojin berubah agak pucat. "Mereka ditangkap oleh Bu Lim sam Mo?" "Ya." Sam Gan sin Kay mengangguk. "Hampir sepuluh hari kami menunggu munculnya Bu Lim sam Mo, namun tidak muncul sehingga Cie Hiong pergi mencari mereka." "omitohud" Hui Khong Taysu menggeleng-gelengkan kepala. "Kami sama sekali tidak tahu tentang kejadian itu." "Sin Kay" Sela It Hian Tojin. "sebetulnya kami ke mari untuk bergabung, namun...." "Terima kasih atas kesediaan kalian bergabung dengan kami, tapi kami terpaksa menolak." Ujar sam Gan sin Kay sungguh-sungguh. "sebab akan menyusahkan kalian semua." "Begini saja," It Hian Tojin tampak serius. "Kami akan berusaha mencari jejak Bu Lim sam Mo. Apabila kami tahu jejak mereka, kami pasti ke mari memberitahukan." "Terima kasih Terima kasih" Ucap sam Gan sin Kay. "omitohud" Ucap Hui Khong Taysu. "Kalau begitu, kami mohon pamit" "Baiklah." Sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Kalian harus hati-hati, jangan sampai terlihat oleh anggota Bu Tek Pay" "Ya." Hui Khong Taysu mengangguk. "omitohud, sampai jumpa" Sementara itu, Tio Cie Hiong langsung menuju markas Bu Tek Pay, Ia masih penasaran akan tempat itu, maka timbul niatnya untuk menyelidiki lagi tempat tersebut. Pintu goa tetap tertutup rapat. cukup lama Tio cie Hiong berdiri di situ, lalu menyelidiki sekitar tempat itu. Akan tetapi, sama sekali tidak menemukan suatu tempat yang mencurigakan. Akhirnya ia meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan agak kacau, sebab ia tidak tahu harus ke mana mencari Bu Lim sam Mo. Oleh karena itu, ia mencari mereka ke sana ke mari tanpa arah tujuan. Dua hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba. Mendadak ia mendengar suara kecapi yang sangat merdu. Lantaran hatinya tertarik. maka ia meloncat ke atas sebuah pohon, sekaligus memandang ke arah suara kecapi itu. Tampak seorang pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun duduk di bawah pohon, sedang memainkan alat musik itu. Di sisi kiri kanannya berdiri dua orang lelaki berbadan kekar. Sungguh merdu suara kecapi itu, sehingga membuat Tio Cie Hiong tanpa sadar mengeluarkan suling kumalanya, lalu meniupnya mengiringi suara kecapi tersebut. Semula pemuda itu tampak terkejut, tapi kemudian malah tersenyum dan terus memainkan kecapinya. Berselang beberapa saat, barulah ia berhenti seraya berseru. "Siapa yang meniup suling, silakan memperlihatkan diri" Suara pemuda itu cukup berwibawa. Tio Cie Hiong memandang ke arah pemuda tersebut, kelihatannya bukan orang Tionggoan, sebab pakaiannya agak aneh tapi indah sekali, sedangkan kedua lelaki yang berdiri mematung di sisinya berpakaian ringkas. Setelah berpikir cukup lama, Tio cie Hiong melesat ke hadapan pemuda itu. seketika kedua lelaki tersebut menghadang di depannya. "Jangan kurang ajar" Bentak pemuda itu. "Kalian berdua cepat mundur" Kedua lelaki itu mengangguk. lalu mundur ke sisi pemuda tersebut. Tio cie Hiong menatap pemuda itu sambil tersenyum dan menjura. "Maaf, aku telah mengganggu ketenangan Anda" "Tidak apa-apa." Pemuda itu tersenyum ramah. "silakan duduk.. Tuan" "Terimakasih" Ucap Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapan pemuda itu. "sungguh mahir Anda memainkan alat musik itu" "Tuan pun pandai meniup suling," Sahut pemuda itu. "ohya, bolehkah aku tahu nama Tuan?" "Aku bermarga Tio." Tio Cie Hiong memberitahukan marganya tanpa menyebut namanya. "Anda siapa? Tentunya bukan orang Tionggoan, kan?" "Aku memang bukan orang Tionggoan." Pemuda itu tersenyum. "Aku datang dari Manchuria, namaku Patoho." "Manchuria?" Tio Cie Hiong mengerutkan kening, la tahu suku Manchuria tergolong suku liar, tapi pemuda itu justru begitu ramah. "saudara Patoho, setahuku suku Manchuria jarang memasuki daerah Tionggoan, namun saudara Patoho...." "Terus terang, aku mau ke ibukota." Patoho memberitahukan secara jujur, kemudian menatapnya seraya bertanya. "saudara Tio, kenapa engkau tidak bersedia memperkenalkan namamu? Apakah engkau kurang percaya kepadaku?" "Saudara Patoho...," Tio Cie Hiong menarik nafas dalam-dalam, setelah itu barulah memberitahukan namanya. "Namaku Cie Hiong." "Nama yang bagus" Puji Patoho dan tersenyum lagi. "Engkau membawa monyet, maka aku yakin bahwa engkau kaum rimba persilatan, dan tentu berkepandaian tinggi, bukan?" "Tidak juga." Tio cie Hiong tersenyum. "sebaliknya saudara Patoho yang berkepandaian tinggi, aku yakin itu." "Ha ha" Patoho tertawa. "Sejak kecil aku memang menyukai ilmu silat dan seni musik, namun belum tentu ilmu silatku bisa lebih tinggi dari engkau." "Engkau terlampau merendah." "Aku berkata sesungguhnya," Ujar Patoho sambil menatapnya. "ohya, karena aku sangat gemar ilmu silat, maka aku harap engkau tidak akan mengecewakanku" "Memangnya kenapa?" Tio Cie Hiong heran. "Terus terang, kedua pengawalku ini berkepandaian cukup tinggi. Bagaimana kalau kalian bertanding untuk mempererat hubungan kita?" Ujar Patoho sambil tersenyum. "Kepandaianku sangat rendah, aku tidak berani bertanding dengan kedua pengawalmu," Ujar Tio Cie Hiong. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Nah, engkau telah mengecewakanku." Patoho menggeleng-gelengkan kepala dan menambahkan. "Aku dengar, di rimba persilatan Tionggoan terdapat kaum pesilat yang gagah berani. Namun kenapa engkau begitu pengecut?" "Aku bukan pengecut." Tio Cie Hiong tersenyum. "Melainkan tidak mau bertanding dengan kedua pengawalmu, sebab akan merusak rasa persahabatan kita." "Itu tidak akan terjadi, karena kami Bangsa Manchuria selalu menjunjung tinggi kegagahan orang jadi kuharap engkau jangan menolak. layanilah kedua pengawalku beberapa jurus" Desak Patoho. "Kalau begitu...." Tio cie Hiong mengangguk. "Baiklah." "Terimakasih" Patoho tertawa gembira, kemudian berbicara dengan kedua pengawalnya menggunakan Bahasa Manchuria. Kedua pengawalnya manggut-manggul, lalu melangkah ke depan. Tio Cie Hiong menggelenggelengkan kepala. sesungguhnya ia tidak mau bertanding, namun tidak mau juga dikatakan pengecut. Karena itu, ia terpaksa melayani kedua pengawal itu. "Kauw heng, turunlah dulu" Monyet bulu putih langsung meloncat turun, kemudian Tio Cie Hiong berjalan ke hadapan kedua pengawal ilu. "Silakan kalian menyerang dulu" Ujar Tio Cie Hiong. Kedua pengawal itu saling memandang, kemudian menyerang Tio Cie Hiong sambil membentakbentak keras. Tio cie Hiong hanya tersenyum. Mendadak badannya bergerak ke sana ke mari, tahu-tahu kedua pengawal itu telah berdiri seperti patung. Ternyata Tio cie Hiong telah menotok jalan darah mereka, sehingga mereka tak bisa bergerak. "Haah...?" Mulut Patoho ternganga lebar, karena tidak menyangka kalau Tio Cie Hiong begitu gampang melumpuhkan kedua pengawalnya. la segera mendekati mereka sekaligus membebaskan totokan itu, akan tetapi ia pun terbelalak seketika, sebab tidak mampu membebaskan totokan tersebut. "Eeeeh...?" "Saudara Patoho" Tio Cie Hiong tersenyum. "Itu adalah totokan istimewa, tidak gampang dibebaskan." "oh? Ha ha ha" Patoho tertawa. "Engkau memang berkepandaian tinggi. Hanya dalam satu jurus engkau sudah dapat melumpuhkan kedua pengawalku. Aku kagum kepadamu." Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian mengibaskan lengan bajunya ke arah kedua pengawal itu, dan seketika mereka berdua pun bisa bergerak. Kedua pengawal itu memandang Tio Cie Hiong dengan mala terbelalak. kemudian memberi hormat sambil mengucapkan kata-kata yang tidak dimengerti oleh Tio Cie Hiong. Tio Cie Hiong balas memberi hormat kepada kedua pengawal, namun memandang ke arah Patoho. "Kedua pengawalku mengucapkan kata-kata pujian kepadamu." Patoho memberitahukan. "Mereka sangat kagum akan kepandaianmu, begitu pula aku." Tio Cie Hiong hanya tersenyum, sedangkan Patoho menatapnya dalam-dalam, lalu berkata sambil tersenyum. "Kalau aku bertanding denganmu, tentu aku kalah. oleh karena itu, aku ingin mempertunjukkan kepandaianku, sudilah engkau memberi petunjuk padaku apabila terdapat gerakan yang salah" "Saudara Patoho...." Tio Cie Hiong ingin menolak, tapi Patoho sudah mulai mempertunjukkan ilmu pedangnya. Karena itu, Tio Cie Hiong mau tidak mau harus memperhatikannya . Ilmu pedang Patoho memang hebat dan lihay, kepandaiannya setingkat dengan Lam Kiong Bie Liong. Akan tetapi, terdapat pula kelemahannya. "Bagaimana ilmu pedangku?" Lanya Patoho seusai mempertunjukkannya. "Apakah terdapat kekurangan atau kelemahannya?" "Maaf" Sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. " Ilmu pedangmu memang terdapat sedikit kelemahan. Apabila engkau bertemu lawan tangguh, pasti bisa melihat kelemahan itu." "Oh?" Patoho kurang percaya. "Benarkah?" "Benar." Tio Cie Hiong mengangguk, setelah itu ia mulai bergerak. "Haah...?" Mulut Patoho ternganga lebar, karena Tio Cie Hiong mempertunjukkan ilmu pedangnya itu. "Nah" Ujar Tio cie Hiong sekaligus berhenti bergerak. "Jurus ini terdapat kelemahan. Kalau aku menyerang dengan cara demikian, tentu dadamu akan tertusuk pedang ku, bukan?" Patoho memperhatikan dengan seksama, kemudian manggut-manggut seraya berkata. "Benar. Lalu aku harus bagaimana?" "Engkau harus bergerak begini..." Tio cie Hiong memberi penjelasan sekaligus memberi petunjuk. Patoho mendengarkan dengan penuh perhatian, berselang beberapa saat Tio Cie Hiong bertanya. "Engkau sudah mengerti?" "Sudah." Patoho memegang bahunya. "Engkau sungguh hebat, aku senang sekali jadi sahabatmu." "Kita sudah menjadi sahabat," Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Mari kita duduk" Ajak Patoho. Mereka berdua duduk di bawah sebuah pohon, sedangkan monyet bulu putih langsung meloncat ke bahu Tio Cie Hiong. "ohya" Patoho menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam dan bertanya serius sekali. "Benarkah kita sudah menjadi sahabat?" "Tentu." Tio Cie Hiong mengangguk. "Tidak perlu diragukan." "Kalau begitu...," Ujar Patoho setelah berpikir sejenak. "Aku harus berterus terang kepadamu." "Mengenai apa?" "Sebetulnya aku ke ibukota menemui seorang Thay Kam (Sida-sida), guna membicarakan suatu kerja sama." "oh?" Tio Cie Hiong tercengang. "Aku Putra Mahkota Manchuria." Patoho memberitahukan dengan suara rendah. "Ayah yang mengutusku menemui Thay Kam itu." "Jadi...." Tio Cie Hiong tersentak. "Pihak Manchuria akan bekerja sama dengan Thay Kam itu untuk menggulingkan kerajaan Beng?" "Kira-kira begitulah." Patoho menghela nafas panjang. "saudara Tio, itu bukan atas kemauanku, melainkan atas kemauan ayahku." "Kalau begitu...." Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Jangan khawatir, saudara Tio" Patoho tersenyum. "Sebab aku akan mengajukan beberapa syarat berat, agar Thay Kam itu menolak. otomatis akan batal kerja sama itu. Lagi pula aku masih bisa menasehati ayah, hanya saja...." "Kenapa?" "Adikku itu...." Patoho menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa adikmu?" "Adikku sangat berambisi, selalu berupaya menggeserku." Patoho menghela nafas panjang. "Kalau aku bisa menggantikan ayahku kelak. tentunya tidak ada masalah. Tapi... kalau adikku menjadi raja...." "Dia ingin menyerang Tionggoan?" "Menyerang secara diam-diam." "Maksudmu?" "Dia akan bersekongkol dengan Thay Kam, sedangkan Thay Kam itu akan mempengaruhi Kaisar Beng, agar Kaisar Beng berada dalam tangannya." "saudara Patoho" Tio Cie Hiong tersenyum. "Terima kasih atas penjelasanmu, namun aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan." "Engkau orang gagah, kalau tanah airmu diserang pihak lain, apakah engkau akan tetap diam?" "Tentu. Aku tidak mau memusingkan urusan kerajaan, sebab itu urusan para jenderal." "Baik." Patoho memegang bahunya. "Kita sebagai sahabat, kalau aku menjadi raja Manchuria kelak. aku pasti tidak akan bekerja sama dengan Thay Kam untuk menggulingkan kerajaan Beng." "Terima kasih, saudara Patoho Engkau benar-benar sahabatku. Karena itu, aku pun harus berterus terang." "Oh?" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Sesungguhnya aku memakai kedok." Tio Cie Hiong melepaskan kedoknya perlahan-lahan. "Haah?" Patoho terbelalak. "Ternyala engkau lebih muda dariku, bahkan sangat tampan" Tio cie Hiong tersenyum, kemudian memakai kedok itu. "Saudara Tio, kenapa engkau harus memakai kedok?" Tanya Patoho heran. "Apakah engkau dalam kesulitan?" "Menghindari hal-hal yang tak diinginkan" Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "oooh" Patoho manggut-manggut. "Aku tidak menyangka, engkau masih muda tapi begitu tinggi kepandaianmu. Aku kagum sekali kepadamu." "Saudara Patoho" Tio Cie Hiong menatapnya dalam-dalam. "Janganlah menciptakan peperangan, sebab rakyat yang akan menderita" "Jangan khawatir, saudara Tio" Patoho tersenyum. "Kalau aku menjadi raja Manchuria kelak. tentu tidak akan menyerang Tionggoan. Percayalah kepadaku" "Saudara Patoho" Tio Cie Hiong memegang bahunya. "Aku percaya kepadamu, selamanya kita sebagai sahabat" "Benar. Ha ha" Patoho tertawa gembira. "Selamanya kita sebagai sahabat" "Baiklah." Tio cie Hiong bangkit berdiri "Saudara Patoho, aku mau mohon pamit" "Tunggu" Cegah Patoho, kemudian ia melepaskan kalungnya yang berbandulkan sebuah medali emas. "Kalung ini kuhadiahkan kepadamu, simpan baik-baik" "Saudara Patoho...." Tio cie Hiong menggelengkan kepala. "Saudara Tio" Patoho tersenyum. "Terimalah Kalau tidak, berarti engkau tidak menganggapku sebagai sahabatmu." "Saudara Patoho...." Tio Cie Hiong terpaksa menerimanya. "Terima kasih Terima kasih" "Ohya Kalau engkau punya anak kelak. kalung ini berikan kepadanya" Pesan Patoho. "Baik" Tio Cie Hiong mengangguk sekaligus memakai kalung itu di lehernya. "Saudara Patoho, sampaijumpa" "Saudara Tio..." Seru Patoho, namum Tio Cie Hiong telah melesat pergi laksana kilat. "Sungguh tinggi ginkangnya" Gumam Patoho kagum, kemudian menghela nafas panjang sambil bergumam. "Apabila adikku yang menjadi raja kelak. itu..." Bab 81 Menyelamatkan nyawa seorang Menteri Pensiunan Tio Cie Hiong terus mencari kabar berita tentang Bu Lim Sam Mo. akan tetapi, Bu Lim sam Mo dan lainnya seakan tenggelam ke dasar laut, sama sekali tiada kabar berita maupun jejak mereka. Itu sungguh mencemaskan Tio Cie Hiong, namun ia tetap berusaha untuk tenang dan tabah. Malam ini ketika Tio Cie Hiong memasuki sebuah kota, mendadak ia melihat beberapa sosok bayangan berkelebatan, membuat keningnya berkerut. Sebetulnya ia tidak mau mencampuri urusan orang lain, tapi bayangan-bayangan itu sangat mencurigakan, sehingga ia menguntit mereka. Beberapa sosok bayangan itu berhenti di depan sebuah rumah tua tapi besar sekali. Mereka tampak berkasak-kusuk, setelah itu barulah mereka beriompatan ke dalam. Berselang beberapa saat, terdengariah suara bentrokan senjata di halaman rumah itu. Tio cie Hiong segera melesat ke atas sebuah pohon di halaman itu, lalu memandang ke bawah. Tampak seorang pemuda tampan sedang bertarung dengan tamu-tamu tak diundang itu. Di depan pintu berdiri seorang lelaki berusia enam puluhan, tampak tenang dan berwibawa. "Siapa kalian?" Bentak pemuda tampan itu "Mau apa kalian ke mari malam-malam?" Tio Cie Hiong tercengang, karena suara pemuda itu sangat merdu. sementara salah seorang dari mereka menyahut, kemudian tertawa gelak. "Kami ke mari untuk membunuh kalian ayah dan anak Ha ha ha..." "oh?" Pemuda tampan itu mengerutkan kening. "Siapa yang menyuruh kalian ke mari?" "Engkau tidak usah tahu, pokoknya malam ini kalian harus mampus" Bentak orang itu sambil memberi isyarat kepada dua temannya. Itu tidak terlepas dari mata Tio Cie Hiong, dan ia tahu bahwa orang itu memberi isyarat agar kedua temannya segera membunuh orang tua yang berdiri di depan pintu. Karena itu, Tio cie Hiong segera melesat laksana kilat ke hadapan orang tua tersebut. Di saat bersamaan, kedua orang itu juga sudah sampai di hadapan orang tua tersebut, sekaligus mengayunkan pedang masing-masing. "Ayah..." Jerit pemuda tampan itu dengan wajah pucat pias. Trang Mendadak pedang mereka patah menjadi beberapa potong, kemudian terdengar pula suara jeritan. "Aaakh..." Kedua orang itu menjerit dan terpental beberapa depa dengan mulut mengeluarkan darah. "Siapa engkau?" Bentak salah seorang dari mereka yang menyerang pemuda tampan itu. " Kenapa engkau mencampuri urusan kami?" "Hm" Dengus Tio cie Hiong dingin. "Cepatlah kalian enyah, kalau tidak...." Sementara pemuda tampan itu telah berlari menghampiri ayahnya, kemudian memandang Tio cie Hiong dengan mata terbelalak. "Ini urusan kerajaan, kami harap engkau tidak turut campur" Sahut orang itu. "Aku memang tidak mau mencampuri urusan kerajaan, namun berkewajiban menyelamatkan nyawa orang Kalau kalian masih tidak mau pergi, berarti kalian cari penyakit" "Hm" Dengus orang itu, lalu berseru. "serang dia" Orang itu dan kedua temannya langsung menyerang Tio Cle Hiong. "Tuan, hati-hati" Seru si pemuda tampan. Tio Cie Hiong tersenyum, lalu mendadak mengibaskan lengan bajunya. seketika ketiga orang itu terpental beberapa depa, dengan mulut mengeluarkan darah. "Kalian harus mampus" Bentak sipemuda tampan, yang sudah siap menghabiskan nyawa mereka. "Jangan bunuh mereka" Cegah Tio Cie Hiong. "Biar mereka pergi" "Tapi...." "Hiang ji Turutilah perkataan tayhiap itu" Ujar orang tua tersebut. "Ya, Ayah." Pemuda tampan itu mengangguk. "Kalian cepatlah pergi" Bentak Tio Cie Hiong dingin. Mereka berlima menatap Tio Cie Hiong, lalu berjalan pergi dengan sempoyongan. "Ha ha ha" Orang tua itu tertawa gembira. "Terimakasih Tayhiap" "Maaf" Sahut Tio Cie Hiong. "Aku mohon pamit" "Tunggu" Seru orang tua itu berwibawa. "Mari kita masuk untuk bercakap-cakap sejenak Aku sangat kagum padamu." "Tapi...." Tio Cie Hiong tampak ragu-ragu. "Tayhiap" Orang tua itu tersenyum lembut. "Mari kita masuk. jangan menolak" Orang tua itu melangkah masuk rumah, sedangkan Tio Cie Hiong masih berdiri di tempat. "Tuan, jangan mengecewakan ayahku" Ujar pemuda tampan itu. "Ayolah, mari kita masuk" Pemuda tampan itu menarik Tio Cie Hiong untuk diajak masuk. menghampiri ayahnya yang sudah duduk. "Tayhiap. silakan duduk" Ucap orang tua itu ramah. "Terimakasih, Tuan besar" Sahut Tio Cie Hiong sambil duduk. "Ha ha ha" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Orang tua itu tertawa gelak. "Jangan memanggilku tuan besar, panggil saja aku paman" "Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. "Hiang ji, ambilkan arak istimewa" Ujar orang tua itu. "Ayah ingin minum bersama dengan. Tay hiap" "Ya, Ayah." Pemuda tampan itu segera menyuguhkan arak istimewa, dan menaruh dua buah cangkir ke atas meja. Bagian 46 Orang tua itu segera menuang arak ke dalam cangkir, kemudian disodorkan ke hadapan Tio cie Hiong. "Tayhiap mari kita bersulang" Ajak orang tua itu. "Mari" Tio cie Hiong meneguk. Namun monyet bulu putih yang duduk di bahunya bercuit-cuit maka segeralah Tio cie Hiong menyodorkan cangkir itu kepada monyet itu. "Eh?" Orang tua itu terbelalak. "Monyet itu bisa minum arak?" "Ya." Tio cie Hiong mengangguk. "Hiang ji cepat ambilkan sebuah cangkir lagi" Seru orang tua itu sambil tersenyum. Si pemuda tampan cepat-cepat mengambil sebuah cangkir lalu ditaruhnya di atas meja. Orang tua itu segera menuang arak ke dalam cangkir tersebut, lalu disodorkan ke hadapan Tio cie Hiong. "Terimakasih" Ucap Tio cie Hiong, lalu mengangkat cangkir itu untuk monyet bulu putih. "Monyet putih Mari kita bersulang" Ucap orang tua itu sambil tertawa gembira. Monyet bulu putih bercuit-cuit lalu meneguk habis arak itu. "Ha ha ha" Orang tua itu tertawa lagi. "Monyet putih, mari kita tambah lagi" "Kauw heng, cukup Jangan minum lagi Engkau akan mabuk nanti." Ujar Tio cie Hiong. Monyet bulu putih manggut-manggut. Sudah barang tentu membuat orang tua dan pemuda tampan itu terbelalak. "Tay hiap Monyet putih itu mengerti bahasa manusia?" Tanya orang tua itu heran. "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "ohya" Orang tua itu memperkenalkan diri "Aku bernama Yo Huai An, dia putriku, bernama Yo suan Hiang." "oh?" Tio Cie Hiong memandang pemuda tampan itu "Jadi... dia anak gadis?," "Ya." Yo Huai An tertawa gelak. "Hiang ji, cepatlah engkau ganti pakaian" "Ya, Ayah." Yo suan Hiang mengangguk. lalu melangkah ke dalam. Tak lama kemudian ia sudah kembali dengan mengenakan pakaian wanita. "Ha ha ha" Yo Huai An tertawa gembira. "Bagaimana Tayhiap? Putriku cukup cantik, kan?" "Cantik sekali," Sahut Tio Cie Hiong. "Tapi kenapa dia suka berpakaian lelaki?" "Agar tidak diganggu orang," Ujar Yo Huai An sambil menatap Tio Cie Hiong. "Tayhiap berkepandaian begitu tinggi, bagaimana kalau Tayhiap menerima putriku sebagai murid?" "Maaf, tidak bisa" Ucap Tio Cie Hiong. "Tayhiap" Yo Huai An tampak kecewa. "Apakah putriku kurang berbakat, maka Tayhiap menolak" "Sesungguhnya putri Paman cukup berbakat, tapi... aku tidak bisa menerimanya sebagai murid." "Kenapa?" "sebab aku masih muda. "Apa?" Yo Huai An tertegun. "Tayhiap sudah berusia empat puluhan, kok masih bilang muda?" "Paman, sebenarnya usiaku baru dua puluhan." "Tayhiap" Yo Huai An menggeleng-gelengkan kepala. "Jangan membohongi orang tua, itu tidak baik" "Tuan" Sela Yo suan Hiang mendadak. "Aku ingin menjadi murid Tuan." "Tidak bisa. Tidak bisa...." Tio Cie Hiong menggoyang-goyangkan sepasang tangannya. "Aku tidak bisa menjadi gurumu, tidak bisa...." "Apa alasan Tuan?" Yo suan Hiang penasaran. "Karena aku masih muda." "Usia Tuan sudah empat puluhan, kok masih bilang muda?" Yosuan Hiang tertawa geli. "Kalau begitu, Tuan keburu tua." "Aku...." Tio Cie Hiong menghela nafas panjang, kemudian melepaskan kedoknya perlahanlahan. "Haah...?" Yo Huai An dan putrinya terbelalak. "Engkau...." "Paman aku masih muda, kan? Nah, bagaimana mungkin aku menerima putri Paman sebagai murid?" Ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Tayhiap... eh siauwhiap...." "Paman namaku Tio Cie Hiong. panggil saja namaku" "cie Hiong, aku... aku tidak menyangka kalau engkau masih sedemikian muda dan amat tampan. Ha ha ha" Yo Huai An tertawa gelak. Sedangkan wajah Yo suan Hiang kemerah-merahan. Hatinya pun kebat-kebit ketika menyaksikan ketampanan wajah Tio Cie Hiong. "Tuan...." "Jangan panggil Tuan, panggil saja...." "Hiang ji" Sela Yo Huai An. "Engkau harus panggil dia Kakak Cie Hiong." "Ya." Yo suan Hiang mengangguk. kemudian memanggil Tio Cie Hiong sambil menundukkan kepala. "Kakak Cie Hiong...." "Adik Hiang" Tio Cie Hiong tersenyum. "Bagus, bagus Ha ha ha" Yo Huai An tertawa gembira. "ohya, kok engkau bisa begitu kebetulan menyelamatkan nyawaku?" "Aku baru memasuki kota ini, tiba-tiba melihat beberapa sosok bayangan yang mencurigakan, maka aku menguntit mereka." Tio Cie Hiong memberitahukan dan bertanya. "Paman, siapa mereka?" "Aku tidak kenal mereka, tapi yakin mereka para anak buah Lu Kong Kong," Jawab Yo Huai An sambil menghela nafas panjang. "Lu Kong Kong? siapa Lu Kong Kong?" "Dia Lu Thay Kam (sida-sida), biasanya dipanggil Lu Kong Kong." Yo Huai An menjelaskan. "Dia sangat berkuasa di dalam istana, bahkan kaisar pun sangat menuruti perkataannya . " "oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Pantas mereka mengatakan ini adalah urusan kerajaan" "Aaakh..." Keluh Yo Huai An. "Sesungguhnya aku seorang menteri. Karena menasehati kaisar agar memperhatikan kesejahteraan rakyat, akhirnya aku malah dipensiunkan." "Kenapa bisa begitu?" "Semula kaisar masih mau mendengar nasehatku, tapi...." Yo Huai An menggeleng-gelengkan kepala. "Kemudian terpengaruh oleh Lu Thay Kam, sehingga kaisar mengeluarkan surat perintah mempensiunkan aku. Karena itu, kami pulang ke rumah ini. Tak disangka, Lu Thay Kam masih menyuruh anak buahnya untuk membunuhku." "Kenapa Lu Thay Kam ingin membunuh Paman?" "Karena aku sering menentangnya." "Sudah berapa lama Paman dipensiunkan?" "Sudah dua tahun." Yo Huai An, memberitahukan. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lu Thay Kam punya rencana bersekongkol dengan Bangsa Manchuria untuk menggulingkan Dinasti Beng. setelah itu, dia ingin jadi kaisar." "oh?" Tio Cie Hiong teringat pada Patoho yang berangkat ke ibukota untuk menemui Thay Kam itu. "Paman, apakah pihak Manchuria akan bekerja sama dengan Lu Thay Kam?" "Betum dapat dipastikan. Kalau pihak Manchuria mengajukan syarat yang memberatkan, mungkin Lu Thay Kam tidak akan bekerja sama. Tapi Lu Thay Kam sangat licik, kemungkinan besardia akan memperalat pasukan Manchuria untuk menyerang ibukota. Apabila pasukan itu berhasil, dia pun akan membunuh pasukan tersebut." "oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "cie Hiong" Yo Huai An menatapnya tajam. "Wan Gwan swee (Jenderal) adalah kawan baikku, bagaimana engkau bekerja padanya?" "Maaf, Paman" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan." "Sayang sekali" Yo Huai An menghela nafas. "Padahal saat ini kerajaan sangat membutuhkan orang seperti engkau, tapi...." "Kakak cie Hiong, engkau berkepandaian begitu tinggi, seharusnya engkau ikut membela tanah air," Ujar Yo suan Hiang mendadak. "Adik Hiang" Tio Cie Hiong tersenyum getir. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan, karena aku tidak mau pusing." "Bagaimana kalau sejarah Han terulang lagi?" "Maksudmu?" "Negeri kita ini pernah dijajah oleh Bangsa Mongol. sejak itu berdirilah Dinasti Goan. setelah Dinasti Goan diruntuhkan oleh Beng Kauw, maka berdirilah Dinasti Beng hingga kini. Akan tetapi, kini Dinasti Beng telah bobrok, Bangsa Manchuria pun menyorot kemari. Celakanya, Lu Thay Kam berniat bekerja sama dengan mangsa Manchuria, itu pertanda Dinasti Beng berada di ambang keruntuhan." "Benar," Sambung Yo Huai An. "Kini kaisar cuma merupakan sebuah boneka, yang berkuasa Lu Thay Kam. Belum lama ini, Lu Thay Kam mengeluarkan surat perintah atas nama kaisar untuk menangkap kaum gadis untuk dijadikan selir atau dayang. Coba bayangkan, betapa cemasnya rakyat jelata Yang punya uang masih bisa menyogok agar putri mereka tidak dibawa. Namun bagaimana yang miskin? Tentunya tidak bisa berbuat apa-apa. oleh karena itu, rakyat pun mulai bersatu untuk memberontak." "Bahkan...." Tambah Yo suan Hiang. "Para menteri dan Jenderal yang setia, mulai disingkirkan oleh Lu Thay Kam. Kelihatannya Dinasti Beng tidak akan tertolong lagi, sebab harus menghadapi para pemberontak. bahkan mungkin tidak lama lagi harus menghadapi serbuan pasukan Manchuria pula." "Maaf" Ucap Tio Cie Hiong sambil menghela nafas panjang. "Aku sama sekali tidak mengerti persoalan kerajaan, lagi pula aku pun tidak mau turut campur" "Sayang sekali? Yo, Huai An menggeleng-gelengkan kepala. "ohya, Kakak Cie Hiong" Yo suan Hiang menatapnya. "Kenapa tadi engkau melarangku membunuh para pembunuh itu?" "Sebah aku telah memusnahkan kepandaian mereka, maka mereka telah berubah menjadi orang biasa." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Kakak Hiong" Yo suan Hiang menatapnya penuh harap. "Sudikah engkau mengajarku ilmu silat?" "Itu tidak menjadi masalah. Tapi...." Tio cie Hiong. menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak bisa lama-lama di sini." "Cie Hiong" Yo Huai An tersenyum. "Biar bagaimana pun engkau harus tinggal di sini beberapa hari" "Itu...." "Jangan menolak. Kakak Cie Hiong" Ujar Yo suan Hiang. "Sebab engkau juga boleh mengajarku ilmu silat." Tio cie Hiong berpikir sejenak. kemudian mengangguk. "Baiklah." "Terima kasih, Kakak Cie Hiong" Yo suan Hiang girang bukan main. "Terimakasih..." "ohya Adik Hiang, di mana ibumu?" "Sudah lama ibuku meninggal." "Oh" "Hiang ji sudah larut malam," Ujar Yo Huai An. "Ajak Cie Hiong ke kamar tamu itu" "Ya, Ayah." Yo suan Hiang mengangguk. "Kakak Cie Hiong, mari ikut aku ke dalam" Tio Cie Hiong mengangguk. lalu mengikuti gadis itu ke dalam. Yo Huai An memandang punggung Tio Cie Hiong sambil manggut-manggut, namun kemudian menghela nafas panjang. Kenapa Yo Huai An menghela nafas panjang? Ternyata sejak kecil putrinya telah ditunangkan dengan putra seorang Jenderal. Kalau tidak, kemungkinan besar Yo Huai An akan menjodohkan putrinya dengan Tio Cie Hiong, karena ia sangat kagum dan suka padanya. Sementara Yo suan Hiang telah mengantar Tio Cie Hiong sampai di depan kamar tamu, sekaligus membukakan pintu kamar itu. "Engkau tidur di kamar ini Kalau merasa tidak cocok, akan kutunjukkan kamar lain," Katanya. "Terima kasih," Sahut Tio Cie Hiong "Aku merasa cocok dengan kamar ini." "Kalau begitu, sampai jumpa esok" Ucap Yo suan Hiang lalu melangkah pergi dengan wajah cerah ceria. Tio Cie Hiong melangkah memasuki kamar itu, kemudian membaringkan dirinya ke tempat tidur. Namun sampai larut malam dia tidak dapat tidur karena dalam pikirannya terus terbayang wajah Lim Ceng Im. Pagi harinya, Tio Cie Hiong pergi ke halaman belakang untuk menghirup udara segar. Di situ ia melihat Yo suan Hiang sedang melatih ilmu pedang. Begitu melihat kemunculan Tio cie Hiong, gadis itu segera berhenti berlatih. "Selamat pagi, Kak" Ucapnya. "Selamat pagi" Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Sedang melatih ilmu pedang?" "Ya." Yo suan Hiang mengangguk. "Ohya, bukankah engkau telah berjanji...." "Aku ingat." Tio Cie Hiong tersenyum lagi. "Maka pagi ini aku akan mulai mengajarmu ilmu pedang." "oh?" Wajah Yo suan Hiang berseri. "Terima-kasih, Kak" "Aku akan mengajarkan Ilmu Pedang Hong Li Kiam Hoat." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Ilmu pedang andalan Paman Ku Tiok Beng, namun beliau telah meninggal, bahkan Hong Lui Po pun telah musnah." "oh?" Yosuan Hiang menatapnya. "Ilmu pedang itu hebat sekali?" "Cukup hebat dan lihay." Sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "setelah itu, akupun akan mengajarkan Kiu Kiong San Tian Pou." "Terima kasih, Kak" Ucap Yo suan Hiang. Tio Cie Hiong tersenyum, kemudian menyuruh monyet bulu putih turun dari bahunya. setelah monyet itu turun, dia lalu berjalan ke tengah-tengah halaman. "Adik Hiang, perhatikanlah" Tio Cie Hiong mulai memainkan Hong Lui Kiam Hoat. Yo suan Hiang menyaksikannya dengan mata terbelalak. Berselang beberapa saat barulah Tio cie Hiong berhenti. "Kakak Cie Hiong" Seru Yo suan Hiang. "Hebat sekali Hong Li Kiam Hoat itu, tapi... bagaimana mungkin aku belajar...." "Aku akan mengajarmu sejurus demi sejurus," Sahut Tio Cie Hiong lalu mulai mengajarkan ilmu pedang tersebut. Yo suan Hiang terus belajar hingga lupa makan. Maka, Yo Huai An menyuruh pelayan untuk menyiapkan makanan di atas meja di dekat halaman itu. "Hiang ji" Seru Yo Huai An sambil tersenyum. "Cie Hiong, kalian makanlah dulu" "Ayah" Sahut Yo suan Hiang. "Aku belum lapar." "Makan dulu, Hiang ji" Seru Yo Huai An lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Seusai makan, barulah berlatih lagi." "Aku belum lapar, Ayah," Sahut Yo suan Hiang dan terus berlatih. "Adik Hiang" Ujar Tio Cie Hiong lembut. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Lebih baik makan dulu, jangan melawan orang tua" "Ya." Yo suan Hiang mengangguk. "Kakak Cie Hiong, mari kita makan bersama" Tio cie Hiong tersenyum. Kemudian mereka berdua mendekati meja itu dan duduk. Yo Huai An memandang mereka, kemudian menegur putrinya seraya tersenyum. "Dua kali ayah menyuruhmu makan, tetapi engkau menyahut belum lapar. Begitu Cie Hiong yang menyuruh, engkau langsung mengangguk. Dasar...." "Eh?" Wajah Yo suan Hiang langsung memerah. "Ayah..." "Ha ha ha" Yo Huai An tertawa gelak dan menambahkan. "Kalau engkau belum ditunangkan dengan putra Jenderal itu, pasti Ayah jodohkan dengan cie Hiong." "Ayah..." Wajah Yo suan Hiang bertambah merah. "Kok Ayah mulai bicara ngawur sih?" "Paman" Ujar Tio Cie Hiong sambil menarik nafas lega. "Jadi Adik Hiang sudah ditunangkan dengan putra seorang Jenderal?" "Ya." Yo Huai An mengangguk. "sejak kecil mereka telah ditunangkan Jenderal dan putranya itu tinggal di ibukota." "oooh" Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Sayang sekali putriku telah ditunangkan" Yo Huai An menggeleng-gelengkan kepala. "Kalau tidak...." "Paman" Potong Tio Cie Hiong sekaligus memberitahukan. "Aku pun sudah punya tunangan." "oh?" Yo Huai An menatapnya "Siapa tunanganmu?" "Lim Ceng Im." Tio Cie Hiong memberitahukan. "Putri Lim Peng Hang, ketua Kay Pang" "oooh" Yo Huai An manggut-manggut. "Kay Pang memang sangat tersohor dalam rimba persilatan, tidak berada di bawah siauw Lim Pay." "Paman tahu juga mengenai tujuh partai besar di rimba persilatan?" Tanya Tio Cie Hiong heran. "Padahal paman adalah mantan menteri di ibukota." "Tentu tahu." Yo Huai An menghela nafas panjang. "Banyak sekali pengawal istana berasal dari rimba persilatan, namun mereka telah dikuasai oleh Lu Thay Kam. oleh karena itu, tiada seorang menteri pun berani menentangnya. Aaakh Kelihatannya Dinasti Beng sudah berada di ambang keruntuhan" "Ayah," Ujar Yo suan Hiang mendadak. "Bukankah Wan Goan swee masih berani menentang Lu Thay Kam?" "Benar .Justru itu.." Yo Huai An menghela nafas. "Dia pun dalam bahaya, sebab Lu Thay Kam tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan mencari akal busuk untuk memfitnahnya di hadapan kaisar." "Kalau begitu..." Yo suan Hiang mengerutkan kening. "cie Hiong" Yo Huai An menatapnya. "Alangkah baiknya engkau pergi bergabung dengan Jenderal Wan" "Maaf, Paman" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan." "Sayang sayang sekali," Yo Huai An menghela nafas panjang. "Padahal saat ini...." "Ayah," Ujar Yo suan Hiang. "Kakak Cie Hiong tidak mau mencampuri urusan kerajaan, percuma Ayah mendesaknya." "Yaah" Yo Huai An menghela nafas panjang lagi, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit sambil bergumam. "Apakah Dinasti Beng akan berakhir dengan begini saja? Aaaakh..." "Ayah, sudahlah, jangan terus memikirkan itu Lagi pula Ayah telah dipensiunkan oleh kaisar." "Itu gara-gara Lu Thay Kam," Sahut Yo Huai An dan menambahkan. "Lu Thay Kam memiliki kepandaian sangat tinggi, berasal dari sebuah kitab." "Kitab apa?" Tanya Tio Cie Hiong tertarik. "Di dalam istana terdapat sebuah perpustakaan," Jawab Yo Huai An memberitahukan. "Suatu hari, Lu Thay Kam memeriksa perpustakaan, tanpa sengaja ia melihat sebuah kitab Ie Hoa Ciap Bok Cin Keng (Kitab Memindahkan Bunga Dan Menyambung Pohon). Karena tertarik. maka Lu Thay Kam membacanya. Ternyata kitab itu merupakan kitab pelajaran ilmu silat yang sangat tinggi dan dahsyat. oleh karena itu, Lu Thay Kam pun mengambilnya dan mempelajarinya secara diam-diam." "Ie Hoa CiapBok?" Gumam Tio Cie Hiong. "Ie Hoa CiapBok? Rasanya aku pernah mendengar itu, tapi lupa." "Ayah, apakah kaisar tidak tahu bahwa Lu Thay Kam mengambil kitab itu?" Tanya Yo suan Hiang. "Kaisar tahu, namun langsung menghadiahkan kitab itu kepada Lu Thay Kam," Sahut Yo Huai An. "Paman Lu Thay Kam telah berhasil mempelajari kitab itu?" Tanya Tio Cie Hiong. "Dia memang telah berhasil, maka kepandaiannya bertambah tinggi," Sahut Yo Huai An sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia boleh dibilang tiada tanding di dalam istana, bahkan warga di ibukota pun sangat takut kepadanya." "Ayah Aku yakin Kakak Cie Hiong pasti dapat mengalahkannya" Ujar Yo suan Hiang mendadak. "Kalaupun Cie Hiong dapat mengalahkannya, juga percuma." Yo Huai An tersenyum getir. "Sebab Cie Hiong tidak mau mencampuri urusan kerajaan." "Benar." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku memang tidak mau mencampuri urusan kerajaan. setelah mengajarkan Km Kiong san Tian Pou kepada Adik Hiang, aku pun mau mohon pamit." "Kakak Cie Hiong Apa kegunaan Kiu Kiong san Tian Pou itu?" "Apabila menghadapi lawan tangguh, engkau bisa berkelit sekaligus kabur dengan ilmu itu" "Oooh" Yo suan Hiang manggut-manggut. "Kapan engkau akan mengajarkan ilmu itu?" "Setelah engkau dapat menguasai Hong Lui Kiam Hoat," Jawab Tio Cie Hiong. "Terima kasih, Kak" Ucap Yo suan Hiang. Seusai makan, Yo suan Hiang mulai berlatih lagi. Tio Cie Hiong menyaksikannya dengan penuh perhatian. Kalau gadis itu melakukan gerakan yang salah, Tio Cie Hiong pasti segera memberi petunjuk. sementara Yo Huai An tersenyum-senyum dan mengurut-ngurut jenggotnya pula sambil manggut-manggut. Beberapa hari kemudian, Yo suan Hiang telah menguasai ilmu tersebut, maka Tio Cie Hiong mulai mengajarnya Kiu Kiong san Tian Pou. Ketika mempelajari ilmu langkah kilat itu, gadis tersebut memang mengalami kesulitan, namun Tio Cie Hiong mengajarnya dengan penuh kesabaran. Setelah Yo suan Hiang berhasil mempelajari Kiu Kiong san Tian Pou, Tio Cie Hiong berpamit kepada mereka. "Nak" Yo Huai An memegang bahunya seraya berkata sungguh-sungguh. "Pintu rumah ini selalu terbuka untukmu, ingat, engkau tidak boleh melupakan kami" "Aku pasti ingat selalu, Paman" Tio Cie Hiong tersenyum dan berpesan. "ohya, kalau ada sesuatu, langsung saja ke markas pusat Kay Pang" "Baik," Yo Huai An mengangguk. "Paman, Adik Hiang sampai jumpa" Ucap Tio Cie Hiong lalu melesat pergi laksana kilat. "Kakak Cie Hiong" Seru Yo suan Hiang dengan mata berkaca-kaca. "Kakak Cie Hiong..." Namun Tio Cie Hiong telah lenyap dari pandangannya. seketika itu juga Yo suan Hiang terisakisak. "Hiang ji, jangan berduka" Yo Huai An membelainya. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalian pasti berjumpa lagi kelak." "Aku... aku telah menganggapnya sebagai kakak sendiri, tapi dia..." Air mata Yo suan Hiang berderai-derai. "Dia begitu cepat pergi." "Yaaaah" Yo Huai An menghela nafas panjang. "seandainya dia mau bekerja pada Jenderal Wan, mungkin Dinasti Beng masih dapat diselamatkan. Namun dia...." Bab 82 Hiat Ih Hwe (Perkumpulan Baju Berdarah) Sudah satu bulan lebih Tio Cie Hiong mencari jejak Bu Lim sam Mo, tapi tiada hasilnya sama sekali. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk kembali ke Gunung Hong Lay san. Dalam perjalanan kembali ke Gunung Hong Lay san, Tio Cie Hiong melihat pasukan kerajaan menggiring puluhan kaum gadis. Sebetulnya ia tidak mau turut campur urusan itu, tapi merasa tidak tega ketika mendengar suara jerit tangis para gadis tersebut. "Berhenti" Bentak Tio Cie Hiong sambil melayang turun di hadapan pasukan kerajaan itu. Pasukan kerajaan langsung berhenti saking terkejut, sebab suara bentakan Tio Cie Hiong bagaikan bunyi guntur membelah bumi. Komandan pasukan kerajaan terbelalak ketika melihat seorang lelaki berusia empat puluhan, yang di bahunya terdapat seekor monyet bulu putih melayang turun di situ. "Siapa engkau? sungguh berani engkau menghadang pasukan kerajaan" Bentak komandan "Maaf" Ucap Tio Cie Hiong sambil memberi hormat. "Harap Anda jangan memaksa gadis-gadis itu ke ibukota, sebab mereka masih mempunyai orang tua" "Sobat" Ujar komandan itu dengan kening berkerut. "Lebih baik engkau jangan turut campur urusan ini" "Kenapa?" Tanya Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Ini perintah kaisar, aku hanya melaksanakan perintah" Sahut komandan itu memberitahukan, la berlaku sabar karena tahu bahwa orang yang berdiri di hadapannya memiliki kepandaian tinggi. "Kalau engkau berani menghalangi berarti engkau pemberontak" "oh?" Tio Cie Hiong tertawa. "Terus terang, kalian semua bukan lawanku" "Sobat Engkau ingin menyulitkan kami?" "Tentu tidak. hanya saja...." Tio Cie Hiong memandang ke arah para gadis itu seraya bertanya. "Apakah kalian secara rela ikut ke ibukota, untuk dijadikan selir atau dayang di istana?" "Tidak" "Rela" Tio Cie Hiong manggut-manggut, kemudian berseru lantang. "Yang tidak rela harap berdiri di sebelah kanan, dan yang rela di sebelah kiri" Seketika para gadis itu terbagi menjadi dua kelompok. Mereka yang tidak rela berjumlah dua puluh lima, yang rela berjumlah lima belas. "Ngmm" Tio Cie Hiong manggut-manggut, lalu berkata kepada komandan pasukan. "Engkau boleh membawa pergi mereka yang rela ikut, namun mereka yang tidak rela ikut harus ditinggalkan di sini" "Sobat" Komandan itu mengerutkan kening. "Betulkah engkau ingin menjadi pemberontak?" "Tentu tidak," Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo Raja Silat Karya Chin Hung