Kesatria Baju Putih 38
Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Bagian 38
Kesatria Baju Putih Karya dari Chin Yung "Sebab apabila kalian tidak menurut, yang akan menghajar kalian bukanlah aku, melainkan monyetku ini." "oh?" Komandan itu tertawa gelak. "Monyet jelek itu mampu melawanku?" "Bagaimana kalau kita bertaruh?" Caranya?" "Monyetku akan melawanmu." Tio Cie Hiong memberitahukan. " Kalau engkau menang, aku tidak akan turut campur urusan ini. Tapi kalau engkau kalah, engkau harus meninggalkan gadisgadis yang tidak rela ikut ke ibukota. Bagaimana?" "Baik" Komandan itu mengangguk. "Tapi...." "Kenapa?" "Aku sudah biasa menggunakan pedang" "Tidak apa-apa. silakan menggunakan pedangmu bertarung dengan monyetku." "Kalau begitu, suruh monyetmu turun" Ujar komandan itu sambil menghunuskan pedangnya. "Kauw heng, turunlah bertarung dengan orang itu Tapi engkau tidak boleh melukainya," Pesan Tio Cie Hiong. Monyet bulu putih bercuit-cuit sambil manggut-manggut, lalu meloncat turun sekaligus bertolak pinggang menantang komandan itu. "Dasar monyet jelek" Caci komandan itu sambil mengayunkan pedangnya ke arah monyet bulu putih. Pada saat bersamaan, monyet bulu putih bergerak cepat laksana kilat, tahu-tahu pedang komandan itu telah berpindah ke tangan monyet bulu putih. "Haah?" Komandan itu terkejut bukan main. la berdiri mematung sambil menatap monyet bulu putih dengan mata terbelalak lebar. "Engkau sudah kalah" Ujar Tio cie Hiong. "Yaah" Komandan itu menghela nafas. "Monyetmu sungguh lihay Aku... aku memang telah dipecundangnya. " "Kalau begitu, engkau harus menepati janji" "Ya." Komandan itu mengangguk lalu berseru. "Bagi yang tidak rela ikut kami ke ibukota, boleh pulang ke rumah masing-masing" Para gadis yang tidak rela ikut langsung bersorak kegirangan. sedangkan komandan itu memberi hormat kepada Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, ketika mereka baru mau berangkat, mendadak muncul puluhan orang sambil berteriak-teriak. "Mari kita habiskan anjing-anjing kerajaan itu Habiskan mereka" Mereka ternyata para pemberontak, dan langsung mengurung pasukan kerajaan itu. "Hmm" Dengus komandan pasukan. "Pemberontak, cepatlah kalian menyerah" "Ha ha ha" Salah seorang melangkah ke depan. orang tersebut ternyata pemimpin pemberontak. "Anjing-anjing kerajaan, kalian harus mampus hari ini" Suasana mulai mencekam, kelihatannya pertempuran besar-besaran akan segera terjadi. "Serang " Teriak pemimpin pemberontak. Para pemberontak mulai menyerang pasukan kerajaan, dan seketika terjadilah pertempuran yang kacau balau. Para gadis-gadis terus-menerus menjerit ketakutan. "Berhenti" Bentak Tio cie Hiong mengguntur. Pertempuran itu langsung berhenti. Ternyata Tio Cie Hiong mengerahkan tenaga dalamnya ketika membentak. sehingga membuat para pemberontak dan pasukan kerajaan terkejut bukan main, dan berhentilah mereka bertempur. "Siapa Anda?" Pemimpin pemberontak menatap Tio Cie Hiong dengan tajam sekali. "Apakah Anda teman anjing-anjing kerajaan ini?" "Bukan," Sahut Tio Cie Hiong memberitahukan. "Aku kebetulan lewat, sekalian membebaskan para gadis yang tidak rela dibawa ke ibukota." Pemimpin pemberontak itu kurang percaya. "Betulkah apa yang dikatakan orang itu?" Tanyanya. "Betul," Sahut para gadis itu. "Kalau begitu...." Pemimpin pemberontak menatap Tio Cie Hiong lagi. "Kenapa Anda menyuruh kami berhenti bertempur?" "Untuk apa kalian harus bertempur?" Tio Cie Hiong balik bertanya. "Kami ingin membebaskan penderitaan rakyat," Sahut pemimpin pemberontak itu sungguhsungguh. "sebab banyak pembesar yang korupsi, sedangkan kaisar cuma tahu bersenang-senang" "Tujuan kalian sangat mulia." Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Tapi kenapa kalian ingin membunuh pasukan kerajaan ini?" "Mereka telah memaksa para gadis untuk dijadikan selir atau dayang di istana, karena itu kami terpaksa membunuh mereka" Sahut pemimpin pemberontak dengan mata berapi-api. "Engkau harus tahu, bahwa mereka hanya melaksanakan perintah." Tio Cie Hiong menjelaskan. "Lagipula urusan ini telah kuselesaikan dengan damai. Diantara gadis-gadis itu ternyata ada pula yang secara rela mau ikut ke ibukota.Jadi kuharap kalian jangan bertempur dengan mereka Biar mereka membawa pergi gadis-gadis yang rela ikut ke ibukota, tidak perlu bertempur" "Eh?" Pemimpin pemberontak itu melotot. "Anda berpihak pada mereka?" "Aku tidak berpihak pada siapa pun. Aku berdiri di atas keadilan dan mencegah pertumpahan darah yang tak perlu," Ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Karena itu, lebih baik kalian antar para gadis yang tak rela ikut ke ibukota itu kembali ke rumah masing-masing " "Tidak bisa" Pemimpin pemberontak menggelengkan kepala. "Pokoknya mereka harus kami bunuh" "Sobat" Tio Cie Hiong mengerutkan kening. "Engkau tidak sudi mendengar nasehatku?" "Maaf" Sahut pemimpin pemberontak. "Kami membela rakyat yang tertindas, lagi pula pasukan kerajaan telah banyak membunuh rakyat yang tak berdosa, maka kami harus membunuh mereka" "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan dan urusan pemberontak. namun kutegaskan di sini, perbolehkanlah pasukan kerajaan kembali ke ibukota" "Jadi...." Pemimpin pemberontak tampak gusar sekali. "Engkau ingin melawan kami?" "Aku hanya ingin mencegah pertumpahan darah yang tiada artinya," Sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Terus terang, walau kalian berjumlah puluhan orang, aku masih sanggup merobohkan kalian semua." "Omong besar" Bentak pemimpin pemberontak. "Kalau begitu, mari kita bertanding Kalau engkau kalah, jangan mencampuri urusan ini sebaliknya kalau aku kalah, aku pasti menuruti perkataanmu." "Baik." Tio Cie Hiong mengangguk. "silakan menyerang" "Aku menggunakan pedang, engkaupun harus menggunakan senjata" Ujar pemimpin pemberontak. "Aku cukup dengan tangan kosong," Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Kalau begitu... baiklah Hati-hati" Pemimpin pemberontak itu langsung menyerang Tio Cie Hiong dengan pedang. Tio Cie Hiong tetap berdiri di tempat, namun kemudian mendadak ia mengibaskan lengan bajunya ke arah pedang lawan. Trang Trang Pedang itu patah menjadi beberapa potong. "Haaah?" Pemimpin pemberontak itu terbelalak, bahkan mulutnya ternganga lebar. "Sobat" Tio cie Hiong tersenyum. "Engkau telah kalah" "Kepandaianmu memang tinggi Aku mengaku kalah dan akan menuruti perkataanmu" Pemimpin pemberontak itu menundukkan kepala. "Ngmm" Tio Cie Hiong manggut-manggut "Nah, sekarang kalian boleh membawa gadis-gadis itu pergi, ingat, jangan sembarangan membunuh pasukan kerajaan Belum tentu mereka jahat semua, mungkin di antara mereka ada pula yang berhati baik." "Ya." Pemimpin pemberontak itu mengangguk. kemudian mengajak teman-temannya dan para gadis yang tidak mau ke ibukota meninggalkan tempat itu. "Sekarang kalian juga boleh meneruskan perjalanan ke ibukota," Ujar Tio Cie Hiong kepada komandan pasukan kerajaan. "Ya." Komandan itu memberi hormat. Terima kasih atas bantuan Anda, mudah-mudahan kita akan berjumpa lagi kelak" "Ingat" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Pesan Tio Cie Hiong. "Jangan sembarangan membunuh rakyat, dan laksanakan tugas sesuai dengan keadilan" Usai berpesan begitu, Tio Cie Hiong pun melesat pergi. Dalam waktu sekejap bayangannya telah lenyap dari pandangan komandan. sudah barang tentu komandan itu terbelalak saking kagumnya. Namun, kemudian ia berkeluh. "Aaakh Kalau aku tidak mencapai target mengumpulkan para gadis, aku pula yang akan dihukum. Sungguh celaka" "Komandan" Ujar salah seorang anak buah-nya. "Kalau atasan tahu kejadian ini, kita semua pasti dihukum." "Mungkin...," Sela yang lain dengan wajah agak pucat. "Kita akan dihukum mati. sebab kita telah melepaskan sebagian besar para gadis itu, bahkan telah melepaskan pemberontak-pemberontak. " "Bagaimana menurut kalian?" Tanya komandan yang tidak menemukan jalan keluarnya. "Menurut kami, lebih baik kita melepaskan seragam pasukan kerajaan." Sahut salah seorang anak buahnya. "Maksudmu kita kabur saja?" "Ya. Daripada kita dihukum mati." "Kalau begitu,..." Komandan itu berpikir lama sekali, kemudian mengangguk seraya berkata. "Baiklah. Mari kita lepaskan seragam pasukan kerajaan, lalu kita kabur ke hutan" "Horeee" Sorak para anak buahnya. "Kita akan bebas Kita akan bebas" Ketika hari mulai gelap, Tio Cie Hiong memasuki sebuah rimba, mendadak ia mendengar suara desiran. la langsung meloncat ke atas pohon. Tak lama kemudian tampak beberapa sosok bayangan berkelebatan menuju depan. Tio Cie Hiong mengerutkan kening karena melihat mereka berpakaian merah dengan ikat kepala kain merah pula. "Siapa mereka itu?" Tanyanya dalam hati. Ka-rena ingin tahu, maka ia menguntit mereka. Berselang sesaat sampailah ia di suatu tempat. Tampak puluhan orang berkumpul di situ, semuanya berpakaian merah dan berikat kepala kain merah. Tio Cie Hiong meloncat ke atas pohon, lalu memandang ke tempat itu. Terlihat seorang berjubah merah, namun mukanya memakai topeng yang dibuat dari tembaga. orang tersebut berdiri di atas sebuah batu besar, dan semua orang-orang berpakaian merah itu memberi hormat kepadanya sambil berseru. "Hidup Hwecu (Ketua Perkumpulan) Hidup Hwecu" "Ha ha ha" Hwecu itu tertawa gelak. "Bagus, bagus Kalian telah berkumpul di sini semua malam ini Ha ha ha" "Ada perintah apa, Hwecu?" "sudah hampir setengah tahun aku membimbing kalian, tentunya kalian tahu apa tujuan Hiat Ih Hwe (Perkumpulan Baju Berdarah) yang kudirikan ini. oleh karena itu, kuharap kalian harus melaksanakan setiap perintah ku" "Ya, Hwecu." "Ingat siapa berani berkhianat, pasti kubunuh dengan cara yang mengerikan sekali Maka janganlah kalian coba-coba mengkhianatiku" "Kami pasti setia kepada Hwecu." "Tahukah kalian, mengapa perkumpulanku ini disebut Hiat Ih Hwe?" "Sebab di mana kami muncul, di situ pasti banjir darah." "Bagus, bagus" Hwecu itu manggut-manggut sambil tertawa cuas. "Ha ha ha Tidak percuma aku membimbing kalian Nah, kini kalian boleh menyaksikan kepandaianku" Hwecu itu mengerahkan lweekangnya, kemudian mengangkat sepasang tangannya perlahanlahan, sekaligus membentak keras. seketika terdengar suara gemuruh, ternyata beberapa pohon yang ada di situ tumbang langsung, dan daun-daunnya pun rontok semua. Betapa terkejutnya Tio Cie Hiong melihat kedahsyatan lweekang Hwecu itu. "Kini kalian telah menyaksikan kepandaianku, maka kalian jangan coba-coba mengkhianatiku" "Kami tidak berani berkhianat, pasti setia selama-lamanya kepada Hwecu." "Bagus, bagus" Hwecu itu manggut-manggut, kemudian menunjuk sepuluh orang berpakaian merah seraya berkata. " Kalian yang kutunjuk.. harus segera pergi membunuh Jenderal Wan Kebetulan hari ini dia sedang menjenguk ibunya yang sakit. Bunuhlah dia di tengah jalan" "Ya," Sahut sepuluh orang itu serentak. "Yang lain boleh kembali ke tempat masing-masing," Ujar Hwecu itu dan menambahkan. "Besok malam kita berkumpul di sini lagi" Usai berkata begitu, Hwecu itu melesat pergi, begitu pula dengan yang lain. Sedangkan Tio Cie Hiong termangu-mangu di atas pohon, sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu, akhirnya menguntit sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu. Sesungguhnya Tio Cie Hiong tidak habis pikir. siapa Hwecu tersebut dan kenapa ingin membunuh Jenderal Wan? Lagi pula ia pun tidak tahu jelas perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu. Karena pernah mendengar nama Jenderal Wan dari Yo Huai An, maka ia mengambil keputusan untuk menolong Jenderal tersebut. Tampak belasan ekor kuda berlari agak kencang di sebuah jalan, ternyata rombongan Jenderal Wan, yang sedang menuju suatu tempat Jenderal Wan berusia lima puluhan, gagah dan berwibawa. Dua ekor kuda mendamping Jenderal Wan. Tampak pula dua lelaki berusia tiga puluhan duduk di punggung kuda-kuda itu. Mereka berdua adalah pengawal pribadi Jenderal wan. "Berhenti" Seru salah seorang pengawal itu. Semuanya langsung berhenti. Hal itu mencengangkan Jenderal Wan, yang juga menghentikan kudanya. "Ada apa, Ek Liong?" Tanya Jenderal Wan dengan kening berkerut. "Jenderal Wan, barusan aku melihat beberapa sosok bayangan merah berkelebatan di depan. Maka, lebih baik kita berhenti di sini dulu" Jawab Ek Liong memberitahukan. "Aku khawatir...." "oh? " Jenderal Wan memandang ke depan, kemudian tertawa gelak. "Mungkinkah mereka ingin membunuhku?" "Kita harus berhati-hati," Ujar Ek Liong lalu berseru. "Kalian semua harus siap menghadapi segala kemungkinan" "Ya," Sahut para pengawal lain lalu meloncat turun untuk melindungi Jenderal Wan. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara seruan lantang kemudian muncul sepuluh orang berpakaian merah. "Hiat Ih Hwe muncul, harus banjir darah" "Siapa kalian? Kenapa menghadang perjalanan kami?" Tanya Ek Liong sambil menghunus pedangnya. Ek Houw, adiknya juga ikut menghunus pedangnya. "Kami ke mari untuk membunuh Jenderal Wan" Sahut mereka serentak. "Siapa yang menyuruh kalian?" Tanya Jenderal Wan sambil menatap mereka dengan tajam. "Jenderal Wan tidak perlu tahu, yang jelas hari ini engkau harus mati" Sahut mereka dan mulai menyerang. Seketika terjadilah pertarungan sengit, dan tak seberapa lama kemudian para pengawal itu roboh dengan tubuh berlumuran darah. "Jenderal Wan," Ujar Ek Liong cemas. "Mereka rata-rata berkepandaian tinggi. Kalau aku dan adikku tidak dapat melawan mereka, lebih baik Jenderal Wan kabur saja." "Ha ha ha Pernahkah aku gentar menghadapi bahaya?" Sahut Jenderal Wan sambil tertawa terbahak-bahak. "Tapi..." Ucapan Ek Liong terputus, karena orang-orang berpakaian merah itu telah menyerangnya . Ek Liong dan Ek Houw bertarung mati-matian melindungi Jenderal Wan. Belasan jurus kemudian, mereka berdua mulai kewalahan, bahkan bahu Ek Houw telah terluka. "Jenderal Wan, cepat kabur" Seru Ek Liong cemas. Akan tetapi Jenderal wan tetap duduk di punggung kudanya kelihatannya tidak mau kabur. "Jenderal Wan... aaaakh" Jerit Ek Liong. Ternyata bahunya tersabet pedang lawan. "Berhenti" Mendadak terdengar suara bentakan yang mengguntur, kemudian tampak sosok bayangan putih melayang turun di depan Jenderal Wan. Orang-orang Hiat Ih Hwe terkejut bukan main, karena suara bentakan itu membuat telinga mereka seakan mau pecah. "Siapa engkau?" Tanya salah seorang Hiat Ih Hwe. "Hwecukah yang menyuruh kalian ke mari untuk membunuh Jenderal Wan, kan?" Tanya orang itu, yang tidak lain adalah Tio Cie Hiong bersama monyet bulu putih yang duduk di bahunya. "Engkau... engkau...." Mereka tersentak. "Hm" Dengus Tio Cie Hiong. "Cepatlah kalian enyah, jangan cari penyakit di sini" "Kami sudah ke mari, biar bagaimana pun harus membunuh Jenderal Wan" Sahut salah seorang Hiat Ih Hwe. "Kalau engkau menghadang, kami pun akan membunuhmu" "oh?" Tio Cie Hiong tertawa dingin sambil melangkah maju. "Kalau begitu, cepatlah kalian turun tangan" "Baik" Orang itu manggut-manggut sambil memberi isyarat kepada teman-temannya. "Mari serang dia" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seketika juga mereka menyerang Tio cie Hiong dengan pedang. Tio cie Hiong bersiul panjang, dan mendadak bergerak sambil mengibas-ngibaskan lengan bajunya. Trang Trang Traaaang Semua pedang yang di tangan mereka patah berpotong-potong, lalu terdengar suara jeritan mereka. "Aaaakh Aaaakh Aaaaakh..." Sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu terhuyung-huyung dengan mulut mengeluarkan darah. Mereka semua telah terluka dalam bahkan musnah pula kepandaian mereka. Sementara Jenderal Wan dan kedua pengawal pribadinya menyaksikan kejadian itu dengan mata terbeliak lebar, sepertinya tidak percaya akan apa yang mereka saksikan itu. "Siapa engkau? Beritahukanlah agar kami bisa melaporkan kepada Hwecu" Ujar salah seorang dari mereka. "Kalian tidak perlu tahu aku siapa, begitu pula Hwecu kalian" Sahut Tio Cie Hiong dingin. "Lebih baik kalian jangan kembali ke tempat itu, sebab kepandaian kalian telah kumusnahkan" "Sampai jumpa" Ucap orang itu. Mereka lalu berjalan pergi dengan langkah sempoyongan. "Ha ha h a" Jenderal Wan tertawa terbahak-bahak. "Terimakasih Tayhiap, engkau telah menyelamatkan nyawaku" "Jangan sungkan-sungkan, Jenderal" Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Bukankah Jenderal mau pergi menjenguk orang tua?" "Kok Tayhiap tahu" Jenderal Wan tercengang. "Kebetulan aku mendengar Hwecu Hiat Ih Hwe memberi perintah kepada orang-orang itu," Jawab Tio cie Hiong dan memberitahukan tentang itu. "oooh" Jenderal Wan manggut-manggut. "Ternyata begitu Kalau Tayhiap tidak muncul, nyawa kedua pengawal pribadiku dan nyawaku sendiri pun pasti melayang." "Tapi aku tetap terlambat selangkah, sehingga tidak dapat menyelamatkan yang lain." Tio Cie Hiong menghela nafas. "Aku mohon maaf Jenderal Wan" "Jangan berkata begitu, Tayhiap" Jenderal Wan menggeleng-gelengkan kepala. "Tayhiap" Ek Liong dan Ek Houw memberi hormat. "Terima kasih" "sama-sama" Sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Jangan berlaku sungkan-sungkan" "Kepandaian Tayhiap sungguh tinggi, sehingga kami kagum sekali," Ujar Ek Liong sambil memandang Tio Cie Hiong dengan penuh kekaguman. "Kepandaianku tidak begitu tinggi, biasa saja," Sahut Tio Cie Hiong merendah. "ohya, mari bantu aku mengubur mayat-mayat itu" "Ya." Ek Liong dan Ek Houw mengangguk. Mereka bertiga lalu menggali sebuah lubang besar, kemudian menguburkan semua mayat itu di dalamnya. sementara Jenderal Wan manggut-manggut menyaksikannya. la tidak menyangka bahwa penolongnya itu berhati begitu baik, mau mengubur mayat-mayat para pengawalnya. "Tayhiap" Ujarnya memuji. "Engkau sungguh berhati baik, bagaimana kalau kita mengangkat saudara?" "Maaf, Jenderal Wan" Tlo cie Hiong menggelengkan kepala. "Kita tidak bisa mengangkat saudara." "Lho? " Jenderal Wan heran. "Kenapa?" "Sebab aku masih muda, maka tidak pantas mengangkat saudara dengan Jenderal,"jawab Tio Cie Hiong jujur. "Ha ha ha Jenderal Wan tertawa gelak. " Usia ku lima puluhan, usiamu empat puluhan. Pantas bagi kita untuk menjadi saudara angkat" "Jenderal Wan, aku... aku memakai kedok kulit." Tio cie Hiong memberitahukan. "sesungguhnya usiaku baru dua puluhan, maka lebih baik aku memanggil Jenderal, paman saja." "Apa?" Jenderal Wan terbelalak. "Engkau memakai kedok kulit?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "ohya Bolehkah aku tahu namamu?" Tanya Jenderal Wan mendadak sambil menatapnya dalamdalam. "Namaku Tio Cie Hiong." Kemudian menambahkan. "Aku telah bertemu Paman Yo Huai An...." "Apa? Jenderal Wan menatapnya tajam. "Engkau telah bertemu kawan akrabku itu? Bagaimana keadaannya?" "Beliau baik-baik saja." "Bagaimana engkau bertemu dia?" "Malam itu...." Tutur Tio Cie Hiong. "secara tidak langsung aku telah menyelamatkan mereka." "oooh" Jenderal Wan manggut-manggut. "Ia memang tahu aturan, karena tidak menyuruh Tio cie Hiong melepaskan kedok kulitnya. "Maaf, Jenderal Wan" Ucap Tio Cie Hiong. "Aku mohon diri" "Tayhiap...." Jenderal Wan ingin menahannya, namun merasa tidak enak. "Mudah-mudahan kita akan berjumpa kembali" "sampai jumpa, Jenderal Wan" "Tunggu" Seru Ek Liong sambil menggenggam tangannya. "Tayhiap mau ke mana?" "Aku mau pergi ke Gunung Hong Lay san," Sahut Tio Cie Hiong jujur. "Sungguh kebetulan" Ujar Ek Liong girang. "Kita menuju arah yang sama, maka bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama?" "Bukankah aku akan mengganggu perjalanan kalian?" Ujar Tio Cie Hiong. "Tentu tidak." Sahut Jenderal Wan sambil tertawa. "Kami akan merasa gembira sekali apabila Tayhiap bersedia melakukan perjalanan bersama kami" "Baiklah." Tio Cie Hiong mengangguk. Betapa girangnya Ek Liong dan Ek Houw. Ternyata mereka mempunyai pikiran yang sama, yakni ingin mohon petunjuk kepada Tio Cie Hiong mengenai ilmu silat. Ek Liong segera menuntun kudanya ke hadapan Tio Cie Hiong, sedangkan ia satu kuda dengan Ek Houw. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama. Kettka hari sudah gelap. mereka terpaksa menginap di rumah seorang petani. Ek Liong dan Ek Houw tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka berterus terang kepada Tio Cie Hiong ingin mohon petunjuk. "Tugas kalian berdua memang berat sekali, karena harus melindungi Jenderal Wan," Ujar Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Kalau hanya mengandalkan kepandaian yang kalian miliki sekarang, memang sulit menghadapi orang-orang Hiat Ih Hwe itu." "Ha ha h a Jenderal Wan tertawa. "Kalian berdua ingin mohon petunjuk, tapi kenapa tidak segera berlutut di hadapannya?" "Ya, ya." Ek Liong dan Ek Houw mengangguk. Namun ketika mereka berdua baru mau berlutut, mendadak Tio cie Hiong mengangkat sebelah tangannya, sehingga membuat kedua orang itu tidak jadi berlutut, lantaran tertahan oleh tenaga yang sangat kuat. "Kalian berdua tidak usah berlutut, aku tidak berani menerimanya" Ujar Tio cie Hiong sambil tersenyum. "Tayhiap...." Ek Liong dan Ek Houw semakin kagum. "Kami ingin mohon petunjuk mengenai ilniu silat, harap Tayhiap terima hormat kami" "Aku pasti memberi petunjuk kepada kalian, namun kalian jangan berlutut Kalau kalian tetap berkeras ingin berlutut, aku malah tidak akan memberi petunjuk kepada kalian, lho" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tayhiap...." Ek Liong dan Ek Houw saling memandang, lalu mengangguk seraya berkata. "Kami menurut perkataan Tayhiap." "Tayhiap," Sela Jenderal Wan sambil tertawa. "Akupun ingin mohon petunjuk. agar bisa menjaga diri pula." "Maaf" Ucap Tio Cie Hiong. "Bagaimana mungkin aku berani memberi petunjuk kepada Jenderal?" "Kenapa tidak? Jenderal Wan tertawa lagi. "Pokoknya Tayhiap juga harus memberi petunjuk kepadaku" "Baiklah." Tio cie Hiong mengangguk. "Kebetulan bulan purnama, mari kita ke pekarangan saja" Mereka berempat menuju pekarangan rumah. Tio Cie Hiong berdiri di tengah-tengah pekarangan itu, kemudian menyuruh monyet bulu putih turun. Monyet bulu putih itu segera meloncat turun dari bahunya. "Nah sekarang kalian berdua boleh menyerangku dengan pedang," Ujar Tio cie Hiong sungguhsungguh . "Baik," Ek Liong dan Ek Houw mengangguk. Mereka berdua segera menyerang Tio Cie Hiong dengan ilmu pedang andalan mereka. Akan tetapi, Tio cie Hiong langsung berkelit, sehingga kedua bilah pedang Ek Liong dan Ek Houw menyerang tempat kosong. Plak Plak Lengan mereka tertepuk oleh telapak tangan Tlo Cie Hiong, membuat pedang mereka terlepas. "Hebat Hebat" Seru Jenderal Wan memuji. "Baru satu jurus pedang kalian telah terlepas Bukan main tingginya kepandaian Tayhiap" "Tayhiap." Ujar Ek Liong bermohon. "sudikah Tayhiap mengajar kami semacam ilmu pedang?" "Aku justru sedang memikirkan tentang ini. Ilmu pedang apa yang cocok bagi kalian berdua," Sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Tapi kuharap kalian jangan memanggilku tayhiap. panggil saja aku saudara Tio" "Itu...." Ek Liong dan adiknya tampak ragu. "Kalau kalian tidak memanggilku saudara Tio, aku pun tidak akan mengajar kalian ilmu pedang." Tegas Tio cie Hiong. "Baiklah, saudara Tio." Ek Liong dan adiknya mengangguk. "Aku akan mengajar kalian Tui Hun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh). Ilmu pedang tersebut sangat lihay dan ganas. Terdiri dari tujuh jurus, dan setiap jurusnya terdapat tiga perubahan. Kalau tidak dalam keadaan bahaya, janganlah kalian mengeluarkan ilmu pedang tersebut Karena setiap jurus pasti mematikan orang, maka disebut Tui Hun Kiam Hoat." Tio Cie Hiong memberitahukan, lalu mulai mengajar mereka berdua. Ek Liong dan Ek Houw belajar dengan tekun. sekali. Sedangkan Jenderal Wan terus memperhatikan, dan diam-diam mengakui kehebatan ilmu pedang tersebut. Setelah hari mulai terang, barulah Ek Liong dan Ek Houw berhasil menghafal semua jurus-jurus tersebut, dan mereka terus berlatih. "Bukan main hebatnya ilmu pedang itu" Puji Jenderal Wan. Ternyata Jenderal itu terus berdiri di tempat menyaksikan kedua pengawal pribadinya berlatih. "Jenderal Wan" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kok tidak beristirahat sama sekali? Tidak merasa lelah atau ngantuk?" "Ha ha ha Jenderal Wan tertawa gelak. "Tiga hari tiga malam aku tidak tidur pun tidak apa-apa. Lagi pula... aku sedang menunggu.." "Jenderai Wan menunggu apa?" "Lupa ya? Bukankah engkau telah berjanji akan memberi petunjuk kepadaku? Mungkin sekarang sudah waktunya." "Jenderai wan...." "Tayhiap Jangan ingkar janji lho" "Baiklah. Tapi Jenderal Wan jangan memanggilku tayhiap. cukup panggil saja namaku" "Ha ha ha" Jenderai Wan tertawa gelak. "Baiklah. Aku akan memanggilmu saudara Tio juga." "Jangan" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Panggil saja namaku" "Eh? saudara Tio...." Jenderai Wan mengerutkan kening. "Jenderai Wan, semalam aku sudah bilang, bahwa usiaku masih muda," Ujar Tio Cie Hiong sambil melepaskan kedok kulitnya. "Haaah? "Jenderai Wan terbelalak. "Ternyata benar engkau masih begitu muda dan tampan sekali Sungguh di luar dugaan" "Maafkan aku, Paman" Ucap Tio Cie Hiong. "Ek Liong, Ek Houw" Seru Jenderai Wan. " Cepat kalian melihat ke mari" Kedua orang itu segera berhenti berlatih, lalu memandang ke arah mereka. Ketika melihat Tio Cie Hiong yang telah melepaskan kedok kulit, Ek Liong dan adiknya pun terbelalak. "Eh? saudara Tio...." "Jenderai Wan, inilah sebabnya kenapa aku menolak mengangkat saudara dengan jenderal, sebab aku memang masih muda," Ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Ha ha ha" Jenderai Wan tertawa gembira. "Mulai sekarang engkau tidak boleh memanggilku jenderal, dan harus memanggilku paman" "Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. kemudian memakai kembali kedok kulitnya. "cie Hiong Jenderai Wan menatapnya heran. "Kenapa engkau harus memakai kedok kulit itu?" "Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," Jawab Tio cie Hiong dan melanjutkan. "sebab aku sedang melacak jejak musuh besarku, jadi aku harus memakai kedok kulit ini." "oooh" Jenderal Wan manggut-manggut. "saudara Tio...." Ek Liong dan adiknya mendekati Tio cie Hiong. "Aku tidak menyangka, bahwa engkau masih begitu muda, namun kepandaianmu sungguh tinggi sekali" "Terus terang ilmu pedang yang kuajarkan kepada kalian itu adalah ilmu pedang andalan Tui Hun Lojin. Maka kalian jangan sembarangan membunuh orang dengan ilmu pedang itu" Ujar Tio Cie Hiong. "Apa?" Ek Liong terperanjat. "Itu... itu adalah ilmu pedang andalan Tui Hun Lojin?" "Benar." Tio cie Hiong mengangguk. "saudara Tio murid beliau?" Tanya Ek Liong. "Bukan, tapi aku kenal baik dengan Locianpwee itu," Jawab Tio cie Hiong dan menambahkan. "Aku berani mengajar kalian ilmu pedang itu, karena aku mempunyai alasan tertentu." "oooh" Ek Liong dan Ek Houw manggut-manggut. "cie Hiong Bagaimana paman nih?" Tanya Jenderai Wan sambil tertawa. "Terus terang, paman pun ingin belajar semacam ilmu pedang." "Maaf, Paman" Ucap Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Sebelumnya aku ingin menyaksikan kepandaian Paman dulu, setelah itu barulah kuajarkan semacam ilmu pedang." "Baik. Jenderal Wan mengangguk. sekaligus menghunus pedangnya dan mulailah memperlihatkan ilmu pedangnya . Tio Cie Hiong menyaksikannya sambil manggut-manggut. Berselang sesaat barulah Jenderai Wan menghentikan gerakannya. "cie Hiong, bagaimana ilmu pedangku?" "Hebat dan lihay," Sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Hanya saja masih terdapat beberapa kekurangan." Bagian 47 "Nah, engkau harus memberiku petunjuk" Ujar Jenderal Wan sambil tersenyum. "Begini saja" Tio cie Hiong memberitahukan setelah berpikir. "Aku akan mengajar Paman semacam ilmu pedang, yang sesungguhnya ilmu tongkat, tapi kuubah menjadi ilmu pedang." "Oh? Ilmu tongkat apa itu?" "San ciat Kun Hoat (Tiga Jurus Tongkat Maut), yaitu ilmu tongkat andalan Sam Gan Sin Kay, Tetua Kay Pang." Tio cie Hiong menjelaskan. "Namun kini akan kuubah menjadi Sam ciat Kiam Hoat" "Apa?" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Jenderal Wan terkejut. "Engkau kenal Pengemis sakti?" "Kenal baik dan kami pun akrab sekali," Ujar Tio cie Hiong, yang kemudian berjalan ke tengahtengah pekarangan. "Aku akan perlihatkan ilmu pedang itu." Tio cie Hiong mulai mempertunjukkan ilmu pedang tersebut, dan seketika tampak pedangnya berkelebatan. la tidak menggunakan suling pualam, melainkan menggunakan pedang yang dipinjamnya dari Ek Liong tadi. Dapat dibayangkan betapa dahsyat dan lihaynya ilmu pedang itu, sebab diubahnya berdasarkan ilmu Tongkat Maut andalan Sam Gan Sin Kay. Jenderal Wan, Ek Liong dan Ek Houw menyaksikan ilmu pedang itu dengan penuh kekaguman, karena sekujur badan Tio cie Hiong tertutup oleh bayangan pedang, sehingga badannya tak kelihatan sama sekali. Berselang sesaat, barulah Tio Cie Hiong berhenti. Tak henti-hentinya Jenderal Wan memuji keiihayan ilmu pedang tersebut, begitu pula Ek Liong dan Ek Houw. "Bukan main sungguh hebat dan lihay ilmu pedang itu" Ujar Jenderal Wan sambil menghela nafas panjang, kemudian menambahkan. "Cie Hiong, hanya engkau yang dapat melawan Lu Thay Kam itu." "Paman" Tio cie Hiong tersenyum. "Perhatikan baik-baik, aku akan mulai mengajar ilmu pedang ini" "Ya ." Jenderal Wan mengangguk dan mulai mencurahkan perhatiannya. Sedangkan Tio cie Hiong mulai mengajar Jenderal Wan ilmu pedang tersebut sejurus demi sejurus. Setelah hari mulai petang, barulah Jenderal Wan berhasil menguasai sam Ciat Kiam Hoat Jenderal Wan terus berlatih. Berselang beberapa saat kemudian, mereka berpamit kepada petani yang baik hati itu, lalu melanjutkan perjalanan. "Cie Hiong...." Jenderal Wan menatapnya ketika mereka berhenti di persimpangan jalan. "Paman tahu engkau tidak berniat bekerja untukku, namun apabila engkau ke ibukota kelak. mampirlah di rumahku" "Ya, Paman." Tio cie Hiong mengangguk. "Sesungguhnya...," Ujar Jenderal Wan sambil menghela nafas panjang. "Dinasti Beng dalam kekacauan, tetapi kalau engkau bersedia menyumbangkan sedikit tenagamu, aku yakin Dinasti Beng tidak akan mengalami keruntuhan." "Paman" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan, sebab aku ingin bisa hidup tenang dan damai." "Yaaah Aku tidak bisa memaksamu, tapi... seandainya.... Aaak sudahlah" Jenderal Wan menghela nafas lagi. "Aku tidak akan memaksamu, namun aku tetap akan berjuang demi Kerajaan Beng. Aku akan berusaha menasehati kaisar agar memperhatikan rakyat, karena kini rakyat mulai bangkit untuk memberontak. sedangkan Lu Thay Kam mulai bersekongkol dengan bangsa Manchuria. Kemungkinan besar Lu Thay Kam itu ingin mengambil alih kekuasaan." "Paman Apakah tiada seorang pun di istana, yang mampu melawannya?" Tanya Tio Cie Hiong. "Memang tidak ada. siapa yang berani menentangnya pasti mati," Jawab Jenderal Wan. "Butinya telah muncul orang-orang Hiat Ih Hwe ingin membunuhku. Aku yakin, mereka adalah para anak buah Lu Thay Kam." "Paman" Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepata. "sayang sekali, aku tidak berniat sama sekali mencampuri urusan kerajaan" "Itu yang kusayangkan." "Ohya" Mendadak Tio Cie Hiong berpesan. "Paman, apabila perlu sesuatu, suruh saja Ek Liong atau Ek Houw ke markas Kay Pang" "Baiklah ." Jenderal Wan mengangguk, kemudian tersenyum getir. "Cie Hiong, setelah kita berpisah di sini, entah kapan kita akan berjumpa lagi?" "Mudah-mudahan kita akan berjumpa kembali" Sahut Tio Cie Hiong. "Aku mohon pamit Paman, saudara Ek Liong dan Ek Houw sampai jumpa" "saudara Tio" Ek Liong dan Ek Houw menatapnya dengan mata basah. "selamat jalan" "sampai jumpa" Ucap Tio Cie Hiong dan sekaligus melesat pergi. Jenderal Wan, Ek Liong dan Ek Houw saling memandang dengan wajah mura kemudian mereka bertiga pun melanjutkan perjalanan. Bab 83 Utusan Bu Lim sam Mo Tampak sosok bayangan putih berkelebat ke puncak Gunung Hong Lay san. Dalam waktu singkat Bu Lim Ji Khie muncul seraya membentak. "siapa?" "Aku, Cie Hiong." Ternyata sosok bayangan putih itu adalah Tio Cie Hiong, yang telah tiba di Gunung Hong Lay san. "oh, engkau" Sam Gan sin Kay menarik nafas lega. "Mari kita ke goa itu" "Kakek Pengemis, lebih baik kita berkumpul di biara nenekku saja," Ujar Tio cie Hiong. "Baiklah." Sam Gan sin Kay mengangguk. "Aku akan memberitahukan yang lain, engkau dan Kim siauw suseng ke biara itu dulu" Sam Gan sin Kay melesat pergi, sedangkan Tio Cie Hiong dan Kim siauw suseng menuju biara tersebut. Mereka berdua duduk di ruang depan. Tak lama kemudian muncullah sam Gan sin Kay, Tui Hun Lojin, Tio Tay seng dan lainnya. "Paman" Panggil Tio Cie Hiong. "Cie Hiong...." Tio Tay seng menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana? Engkau sudah menemukan jejak Bu Lim sam Mo?" Tio cie Hiong menggelengkan kepala. "Paman, belum ada utusan Bu Lim sam Mo yang ke mari?" Tanyanya kemudian. "Tidak ada sama sekali," Sahut Tio Tay seng sambil menghela nafas panjang. "sungguh mengherankan" "Cie Hiong" Tanya Lim Peng Hang. "Adakah sesuatu yang engkau atami selama mencari jejak Bu Lim sam Mo?" "Banyak yang kualami...," Jawab Tio Cie Hiong sekaligus menutur. "Kini telah muncul Hiat Ih Hwe, namun aku tidak tahu siapa ketua perkumpulan itu. Yang jelas dia memiliki kepandaian yang sangat tinggi sekali." "Kalau begitu...." Sam Gan sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan bertambah kacau." "Menurutku tidak," Sahut Kim siauw suseng. "Karena sasaran Hiat Ih Hwe adalah para menteri dan Jenderal yang setia. Buktinya Jenderal Wan mau dibunuh. Kalau Cie Hiong tidak mengetahuinya Jenderal Wan yang setia itu pasti sudah mati." "Benar." Tio Tay seng manggut-manggut. "Jangan-jangan ketua Hiat Ih Hwe itu adalah Lu Thay Kam" "Tidak mungkin," Ujar Tui Hun Lojin. "sebab Lu Thay Kam tidak akan meninggalkan istana. Mungkin orang itu adalah wakilnya." "Masuk akal." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, kemudian memandang Tio Cie Hiong seraya bertanya. "Engkau mengajarkan ilmu pedang kepada Yosuan Hiang Jenderal Wan, Ek Liong dan adiknya?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku mengajar Yosuan Hiang ilmu pedang Hong Lui Kiam Hoat, mengajar Jenderal Wan ilmu pedang sam Ciat Kiam Hoat dan mengajarkan ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat kepada Ek Liong bersaudara. Apakah Kakek Pengemis dan kakek Tui Hun berkeberatan?" "Tentu tidak," Sahut sam Gan sin Kay dan Tui Hun Lojin serentak. "sebaliknya kami malah merasa bangga sekali." "oh?" Tio Cie Hiong berlega hati. "Cie Hiong" Sam Gan sin Kay menatapnya. "Jenderal Wan adalah Jenderal yang sangat setia dan baik, lagi pula engkau telah mengubah sam Ciat Kun Hoat menjadi sam Ciat Kiam Hoat, tentunya tidak masalah." "Terimakasih Kakek Pengemis" Ucap Tio cie Hiong. "Ek Liong dan Ek Houw adalah pengawal pribadi Jenderal Wan, maka tidak ada salahnya engkau mengajar mereka ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat, karena mereka berdua harus melindungi Jenderal Wan," Ujar Tui Hun Lojin sung-guh-sungguh. "oleh karena itu, aku pun merasa bangga sekali." "Kalau begitu..." Tio Cie Hiong tersenyum. "Legalah hatiku Aku pun memberitahukan kepada mereka mengenai sumber kedua macam ilmu pedang itu." "Bagus Ha ha ha" Sam Gan sin Kay tertawa gelak. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tapi...." "Kenapa?" Tanya Tio Cie Hiong heran karena air muka Sam Gan Sin Kay tampak agak berubah. "Yang kukhawatirkan adalah mantan Menteri Yo," Sahut sam Gan sin Kay sambil menghela nafas. "sebab dia tidak mengerti ilmu silat, hanya mengandalkan putrinya saja. Aku yakin para pembunuh itu tidak akan tinggal diam." "Aku sudah berpesan kepada mereka, apabila ada sesuatu harus segera ke markas pusat Kay pang." Tio cie Hiong memberitahukan. "Eh?" Sam Gan sin Kay mengerutkan kening. "Kini markas pusat kita masih porak poranda, bahkan masih kosong" "Maksudku kalau dalam beberapa hari ini tiada utusan Bu Lim sam Mo ke mari, kita kembali ke markas pusat saja," Ujar Tio Cie Hiong. "cie Hiong," Sela Tio Tay seng. "Lebih baik kita tunggu di sini saja. Karena pihak Bu Tek Pay tahu kita berada di sini, aku yakin tidak lama lagi akan muncul utusan Bu Lim sam Mo ke mari." "Tapi tetap mengherankan...." Sam Gan sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Bu Lim sam Mo tidak segera mengutus seseorang ke mari, melainkan harus menunggu sampai sekian lama?" "Mereka ingin membuat kita bingung dan cemas, mungkin juga mereka sedang menyelidiki identitas lelaki yang membawa monyet," Sahut Kim siauw suseng. "Karena itu, sasaran mereka adalah Tio Cie Hiong." "Kalau begitu..." Sam Gan sin Kay menghela nafas. "Bukankah kejadian dua tahun lampau itu akan terulang lagi?" "Itu tidak jadi masalah," Ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum getir. "Yang penting nenek, Adik Im dan lainnya bisa selamat." "cie Hiong...." Tio Tay seng menatapnya dan menghela nafas panjang. "setelah utusan Bu Lim sam Mo ke mari, barulah kita rundingkan bersama." "Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. kemudian membelai-belai monyet bulu putih yang duduk di bahunya. "Kauw heng, aku bingung sekali...." Sementara itu, di dalam markas Bu Tek Pay terdengar suara tawa yang penuh kegembiraan. Ternyata Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, LEk Kui dan Ang Bin sat sin sedang minum-minum sambil tertawa-tawa. Mereka tampak gembira sekali. "Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo terus tertawa gelak. "Aku yakin pihak Kay Pang, yang berada di Gunung Hong Lay san sedang kebingungan." "Tidak salah," Sahut Thian Mo sambil meneguk minumannya. "Terutama pengemis bau dan ketua Kay Pang itu, dalam dua bulan ini mereka pasti tidak bisa makan dan tidur." "ohya" Te Mo teringat sesuatu. "Bagaimana cara kita menghadapi lelaki yang punya monyet itu?" "Gunakan cara lama" Sahut Tang Hai Lo Mo. "Maksudmu kita mengancam tawanan-tawanan kita untuk memaksa lelaki itu menyerah?" Tanya Te Mo. "Betul." Tang Hai Lo Mo manggut-manggut. "sebab telah terbukti dia mempunyai hubungan dengan pihak Kay Pang." "Jadi kita memusnahkan kepandaiannya?" Tanya Thian Mo. "Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa. "Kita harus membunuhnya, setelah itu barulah kita habiskan yang lain jadi selanjutnya tiada gangguan apa-apa lagi bagi kita." "Bagaimana kalau orang itu tidak mau menyerah?" Tanya siluman Kurus mendadak. "Apakah kita harus membunuh tawanan-tawanan itu?" "Itu sudah pasti," Sahut Tang Hai Lo Mo. "Seandainya orang itu mau menyerah, kita pun harus membunuh para tawanan itu?" Tanya siluman Gemuk. "Tentu," Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Bahkan yang lainpun harus kita habiskan semua. Ha ha ha..." "Kalau begitu...." Siluman Gemuk mengerutkan kening. "Kita akan melanggar janji?" "Mereka semua merupakan duri dalam mata kita. Kalau kita tidak membunuh mereka semua, berarti kita meninggalkan penyakit bagi diri kita sendiri" Tang Hai Lo Mo menjelaskan. "oleh karena itu, kita harus membunuh mereka." Kwan Gwa siang Koay diam, sedangkan Lak Kui terus menerus meneguk minuman masingmasing . "Lo Mo, kapan kita mengutus seseorang pergi menemui mereka?" Tanya Ang Bin sat sin mendadak. "Besok pagi," Sahut Tang Hai Lo Mo. "Lo Mo ingin mengutus siapa ke sana?" Tanya Ang Bin sat sin lagi. Tang Hai Lo Mo berpikir sejenak. lalu menjawab sambil memandang Ang Bin sat sin. "Engkau." "Baik," Ang Bin sat sin mengangguk. "Besok pagi aku akan berangkat ke Gunung Hong Lay san menemui mereka. Lalu apa yang harus kukatakan pada mereka?" "Suruh mereka dan orang itu ke Lembah seribu Bunga tada tanggal lima belas" Sahut Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "orang itu harus menyerah. Kalau tidak, para tawanan pasti dibunuh." "Ya." Ang Bin sat sin mengangguk. "Kwan Gwa siang Koay dan Luk Kui, di saat kita sampai di Lembah seribu Bunga, kalian harus menjaga para tawanan. Apabila orang itu berani melawan, bunuhlah para tawanan itu" Pesan Tang Hai Lo Mo. "Ya," Sahut Kwan Gwa siang Koay dan Luk Kui serentak. Tawanan-tawanan itu telah kita beri minum racun pelemah badan, jadi mereka tidak bisa kabur maupun melawan." Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Gampang sekali membunuh mereka. oh ya, kalau kami bertiga telah berhasil memusnahkan kepandaian orang itu, kalian pun harus turun tangan membunuh para tawanan itu." "Baik." Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui mengangguk. "Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "setelah kita membunuh mereka semua, rimba persilatan betul-betul akan jadi milik kita Ha ha ha..." Bu Lim Ji Khie, Tio Tay seng, Tio Cie Hiong dan lainnya duduk termangu-mangu di ruang depan. Kelihatannya mereka sedang memikirkan sesuatu "Ayah, kenapa Bu Lim sam Mo masih belum mengutus seseorang ke mari?" Tanya Tio Hong Hoa heran. "Mungkin mereka sedang mengatur suatu rencana busuk," Sahut Tio Tay seng. "Paman, kalau Bu Lim sam Mo tidak mengutus seseorang ke mari, lalu kita harus bagaimana?" Tanya Lie Man chiu murid Tayli Lo Ceng. "Aku pun tidak tahu apa yang harus kita lakukan," Sahut Tio Tay seng sambil menggelenggelengkan kepala. "Hm" Dengus sam Gan sin Kay. "Bu Lim sam Mo pasti mengutus orang ke mari, hanya saja mereka sedang mengatur suatu siasat untuk menghadapi Cie Hiong." "Tapi...," Ujar Tio Cie Hiong. "Bu Lim sam Mo masih mengira bahwa aku telah mati. Ba-gaimana mungkin...." "Maksudku lelaki yang membawa monyet," Sahut sam Gan sin Kay memberitahukan. "Yang mereka takuti adalah engkau yang menyamar, maka sasaran mereka adalah dirimu..." "Ada orang ke mari" Seru Tio Cie Hiong mendadak. "Mungkin utusan Bu Lim sam Mo" "Bagus" Sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Kita memang sedang menunggu kedatangannya." "Ha ha ha" Terdengar suara tawa dan tampak sosok bayangan melesat masuk seraya berkata. "selamat bertemu Ha ha ha..." "Ang Bin sat sin" Bentak sam Gan sin Kay. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Bagus engkau ke mari Bu Lim sam Mo yang mengutusmu ke mari, bukan?" "Tidak salah," Sahut Ang Bin sat sin yang telah berdiri di hadapan mereka. "Tepat sekali dugaanmu, Pengemis bau" "Apa pesan Bu Lim sam Mo?" Sam Gan sin Kay menatapnya tajam. "It sim sin Ni, Lim Ceng Im dan lainnya berada di tangan kami." Sahut Ang Bin sat sin sambil memandang Tio Cie Hiong. "Mereka baik-baik saja. Tapi...." "Kenapa?" Tanya Lim Peng Hang. "Bu Lim sam Mo akan melepaskan mereka, asal kalian memenuhi sebuah syarat." Ang Bin sat sin memberitahukan. "Apa syarat itu?" Tanya sam Gan sin Kay. "Karena kalian mempunyai hubungan dengan orang itu." Ang Bin sat sin menunjuk Tio Cie Hiong yang memakai kedok kulit. "Maka kalian harus menyerahkannya kepada Bu Lim sam Mo, jadi It sim sin Ni dan lainnya akan dibebaskan" "Ang Bin sat sin" Bentak sam Gan sin Kay. "orang ini tamu kami, bagaimana mungkin kami menyerahkannya kepada Bu Lim sam Mo?" "Kalau tidak...." Ang Bin sat sin tertawa dingin. "Keselamatan It sim sin Ni dan lainnya tidak terjamin." "Kalian memang licik" Caci sam Gan sin Kay. "Ha ha ha" Ang Bin sat sin tertawa. "Kalau kami tidak licik, tentunya sulit bagi kami menguasai rimba persilatan." "Bagaimana cara kami menyerahkan orang ini kepada Bu Lim sam Mo?" Tanya Tio Tay seng dingin. "Engkau siapa? Kenapa turut bicara?" Bentak Ang Bin sat sin. "Kurang ajar" Hardik Tio Tay seng mengguntur. "Lihatlah apa ini?" Tio Tay seng melempar sesuatu ke arah Ang Bin sat sin, cepatnya laksana kilat sehingga Ang Bin sat sin tidak sempat berkelit. Plaak sebuah benda melekat di dada Ang Bin sat sin. Benda itu ternyata Hong Hoang Leng. "Haaah?" Ang Bin sat sin terkejut bukan main ketika melihat benda itu, bahkan dadanya terasa sakit sekali. "Hong Hoang Leng...." "Kalau engkau bukan utusan Bu Lim sam Mo, pasti sudah kubunuh" Ujar Tio Tay seng dingin. "Engkau... engkau pemilik Hong Hoang Leng?" Tanya Ang Bin sat sin dengan air muka berubah. "Ya." Tio Tay seng mengangguk. "juga pemilik pulau Hong Hoang To." "Bagus, bagus Kini kalian berkumpul semua" Ang Bin sat sin tertawa dan melanjutkan. "Pada tanggal lima belas nanti, kalian harus mengantar orang itu ke Lembah seribu Bunga. Kalau tidak, It sim sin Ni dan lainnya pasti tak bernyawa lagi." "Ang Bin sat sin" Bentak Tio Cie Hiong dengan suara parau. "Jadi aku harus menyerahkan diri kepada Bu Lim sam Mo?" "Betul. Bu Lim sam Mo akan memusnahkan kepandaianmu, setelah itu barulah melepaskan It sim sin Ni dan lainnya," Sahut Ang Bin sat sin memberitahukan. "Baik" Tio Cie Hiong mengangguk. "sam-paikan kepada Bu Lim sam Mo, bahwa pada tanggal lima belas nanti, kami pasti ke sana. Aku pasti menyerahkan diri di Lembah seribu Bunga" " Kalau begitu, aku mohon diri" Ucap Ang Bin sat sin lalu melesat pergi seraya tertawa gelak. "Ha ha ha sampai jumpai di Lembah seribu Bunga" Monyet bulu putih mau bergerak. tapi Tio eie Hiong cepat-cepat mencegahnya. "Kauw heng, biar orang itu pergi" Katanya. Monyet bulu putih langsung diam, namun bercuit-cuit seakan bersungut-sungut. "cie Hiong," Tanya sam Gansin Kay. "Bagaimana menurut pendapatmu?" "Yah, apa boleh buat" Jawab Tio Cie Hiong sambil menghela nafas panjang. "Aku akan menyerahkan diri kepada Bu Lim sam Mo." "Tapi...." Kim siauw suseng menggeleng-gelengkan kemala. "Bu Lim sam Mo aka memusnahkan kepandaianmu." "Itu tidak jadi masalah," Ujar Tio Cie Hiong telah mengambil keputusan. "Yang penting nenek, Adik Im dan lainnya selamat, aku kehilangan kepandaian tidak apa-apa." "Belum tentu Bu Lim sam Mo cuma memusnahkan kepandaianmu, mungkin... mereka ingin membunuhmu," Ujar Tui Hun Lojin. "Kalaupun begitu, aku tetap pasrah," Sahut Tio Cie Hiong sambil membelai monyet bulu putih yang duduk di bahunya. "Cie Hiong," Sela TioTay seng. "Bagaimana kalau engkau pura-pura menyerahkan diri, tapi di saat Bu Lim sam Mo turun tangan memusnahkan kepandaianmu, di saat itu pula engkau menyerang mereka?" "Paman" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, sebab Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin pasti akan membunuh nenek. Adik Im dan lainnya, apabila aku menyerang Bu Lim sam Mo." "Kami akan menyerang mereka dengan serentak." Ujar sam Gan sin Kay. "Agar mereka tidak bisa turun tangan." "Itu tidak mungkin." Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Karena tidak keburu." "Apa yang dikatakan cie Hiong memang benar," Ujar Kim siauw suseng. "Kita tidak mempunyai peluang itu. " "Lalu kita harus bagaimana?" Tanya sam Gan sin Kay dan berkeluh. "Aaakh..." "Biar Bu Lim sam Mo memusnahkan kepandaianku" Ujar Tio Cie Hiong. "urusan jadi beres" "Tidak akan beres segampang itu." Tio Tay seng menghela nafas panjang dan melanjutkan. "Aku yakin Bu Lim sam Mo mempunyai rencana busuk lain." "Apa rencana busuknya?" Tanya sam Gan sin Kay. "Menurutku...," Sahut Tio Tay seng dengan kening berkerut. "Bu Lim sam Mo pasti berniat membunuh kita semua." "Kalau begitu...." Wajah sam Gan sin Kay tampak cemas sekali. "Kita harus bagaimana?" "Tiada jalan lain, kecuali pasrah dan melihat bagaimana keadaan di Lembah seribu Bunga nanti," Sahut Kim siauw suseng. "Sekarang kita tidak bisa berbuat apa-apa." "Adik Hiong," Ujar Tio Hong Hoa mendadak. "Bagaimana kalau engkau minta bantuan kauw heng?" "Tidak mungkin." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Sebab Bu Lim Sam Mo bukan orang bodoh. Mereka pasti tidak mengijinkan kauw heng mendekati Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin." "Tadi kita telah salah," Ujar Kim siauw suseng. "seharusnya kauw heng menguntit Ang Bin sat sin." "Percuma," Ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Kalau kauw heng pergi menguntitnya, malah akan membuat nenek. Adik Im dan lainnya bertambah cepat celaka." "Kalau begitu...." Kim siauw suseng menghela nafas panjang. "Bagaimana nanti saja." Tio Cie Hiong tampakpasrah. "Tiada artinya kita membicarakannya sekarang. Paling terulang lagi kejadian dua tahun yang lampau itu, mungkin sudah merupakan takdirku." "ohya" Mendadak Kim siauw suseng teringat sesuatu "Ketika Tayli Lo Ceng mau pergi, bukankah pernah bilang bahwa semua itu pasti beres? Mungkinkah ini yang dimaksudkannya?" "Iya." Sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Lo Ceng itu memang pernah bilang begitu. Yah, mudah-mudahah benar apa yang dikatakannya" Ang Bin sat sin telah kembali ke markas Bu Tek Pay melalui terowongan rahasia. setelah duduk ia langsung memberitahukan. "Telah kusampaikan kepada mereka. Kebetulan orang itu pun berada di sana" "oh? Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Ternyata benar orang itu mempunyai hubungan dengan pihak Kay Pang" "Tapi...." Thian Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Sebetulnya siapa orang itu?" "Kita tidak perlu tahu siapa orang itu," Sahut Tang Hai Lo Mo. "Yang penting dia harus menyerahkan diri kepada kita. Beres, kan?" "Betul." Te Mo manggut-manggut dan menambahkan. "Setelah kita membunuhnya dan menghabiskan yang lain, barulah Bu Tek Pay berkuasa penuh di rimba persilatan. Ha ha ha..." "Ohya" Ang Bin Sat Sin memperiihatkan Hong Hoang Leng. "Pemilik Hong Hoang Leng juga berada di sana." "Kami pernah bertarung dengan dia," Sahut Kwan Ga Lak Kui sambil tertawa. "Bahkan kami pun berhasil melukainya." "Tapi...." Ang Bin sat Sin mengerutkan kening. "orang itu juga pemilik Hong Hoang To, mungkin...." "Maksudmu yang bertarung dengan kami itu bukan pemilik Hong Hoang Leng, yang asli?" Tanya Tiau Am Kui dengan kening berkerut. "Ya." Ang Bin Sat Sin mengangguk "Eeeh?" Seru Tang Hai Lo Mo mendadak. "Jangan-jangan orang yang kita suruh menyerahkan diri itu adalah pemilik Hong Hoang Leng yang asli, sedangkan yang lain hanya mengaku-aku saja" "Mungkin." Thian Mo manggut-manggut. "Siapa pun dia, tanggal lima belas nanti harus menyerahkan diri kepada kita," Sahut Te Mo sambil tertawa. "Kita bunuh saja dia, habis perkara Ha ha ha...." "siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin," Ujar Tang Hai Lo Mo dengan wajah serius. "Nanti kalian tidak boleh bergeser sedikit pun dari It sim sin Ni dan lainnya. Apabila orang itu bergerak, kalian harus segera membunuh mereka." "Baik." Siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin mengangguk. "Setelah itu.. ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Kita habiskan yang lain. Nah, rimba persilatan pasti akan menjadi milik kita. Ha ha ha..." Bab 84 Penolong yang tak diduga Suasana di Lembah seribu Bunga hening mencekam. Tampak dua kelompok orang berdiri berhadapan dengan jarak puluhan depa, yaitu kelompok Bu Lim sam Mo dan kelompok Bu Lim Ji Khie. It sim sin Ni, Lim Ceng Im, Tan Li Cu dan kedua murid It sim sin Ni duduk di bawah dijaga ketat oleh Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin. It sim sin Ni dan lainnya tampak lemas, tak bertenaga. sedangkan Lim Ceng Im telah terisak-isak dengan air mata bercucuran. Wajah pucat pias dan kurusan pula. "Bu Lim sam Mo" Seru sam Gan sin Kay. "Orang yang kalian hendaki telah berada di sini Bagaimana kemauan kalian sekarang?" "Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Kami ingin memusnahkan kepandaiannya" "Bu Lim sam Mo" Ujar Tio Cie Hiong, yang memakai kedok kulit. "Aku tidak berkeberatan tentang itu, tapi... benarkah kalian akan melepaskan mereka?" "Tentu" Sahut Tang Hai LoMo. "Setelah kami memusnahkan kepandaianmu, kami pasti melepaskan mereka" "Tidak akan ingkar janji?" Tanya Tio Cie Hiong dengan suara parau. "Tentu tidak" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Tapi... di saat kami memusnahkan kepandaianmu, tidak boleh engkau melawan atau menangkis Apabila engkau berbuat begitu, Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin pasti membunuh mereka tanpa ampun" "Baik" Tio Cie Hiong mengangguk. "Engkau harus ke tengah dan duduk di situ, kami bertiga akan mendekatimu" Ujar Tang Hai Lo Mo dan menambahkan. "Monyet itu tidak boleh kau bawa" "Ya" Tio Cie Hiong mengangguk lagi, kemudian berkata kepada monyet bulu putih. "Kauw heng, turunlah" Monyet bulu putih kelihatan tidak mau turun, melainkan terus menatap Bu Lim sam Mo. "Kauw heng, demi keselamatan mereka, engkau turunlah" Ujar Tio Cie Hiong lembut. Monyet bulu putih bercuit perlahan seakan mengeluh, lalu meloncat turun. "Nah sekarang engkau boleh maju ke tengah" Seru Tang Hai Lo Mo. Tio cie Hiong mulai melangkah ke tengah. Langkahnya bagaikan sebuah martil memukul hati pihak Bu Lim Ji Khie. Mereka semua memandang Tio Cie Hiong dengan mata basah, namun tiada seorang pun mengeluarkan suara. Begitu pula Lim Ceng Im. sesungguhnya ia ingin berseru memanggil Tio Cie Hiong. Tapi melihat Tio Cie Hiong masih memakai kedok kulit itu, maka ia terus bertahan untuk tidak mengeluarkan suara. Setelah berada di tengah-tengah, Tio cie Hiong lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya. Bulim sam Mo mulai melangkah mendekatinya sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka bertiga kelihatan gembira sekali. Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa yang sangat nyaring menusuk telinga. Begitu mendengar suara tawa itu, semua orang yang berada di situ pun menjadi tertegun karena mengenali suara tawa tersebut, yang tidak lain suara tawa Kou Hun Bijin. "Hi hi hi Hi hi hi" Menyusul melayang turun sosok bayangan di hadapan Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin. "Haah? Bijin?" Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui tersentak. sedangkan wajah Ang Bin sat sin pun berubah. Sementara Bu Lim sam Mo juga berdiri di tempat. Tio Cie Hiong pun membuka sepasang matanya memandang ke arah Kou Hun Bijin. "Hi hi Hi" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Ada apa nih? Kok begitu ramai?" "Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin" Seru Tang Hai Lo Mo dengan suara lantang. "Jangan membiarkan Bijin mendekati mereka" "Ya," Sahut siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin serentak. "siang Koay, Lak Kui" Bentak Kou Hun Bijin. "Kalian tidak boleh membunuh It sim sin Ni, Ceng Im dan lainnya" "Bijin Kami...." Siang Koay dan Lak Kui tampak serba salah. "Kami...." "Hm" Dengus Kou Huh Bijin dingin. "Kalian berani membantah?" "Kami... kami telah bekerja sama dengan Bu Lim sam Mo, kami tidak boleh...." "Diam" Bentak Kou Hun Bijin gusar. "Kalian berani melawanku?" "Siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin" Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seru Tang Hai Lo Mo. "Cepat serang dia" Siang Koay Lak Kui tampak ragu. "Hi hi Hi" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "siang Koay, Lak Kui Kalian berani menyerangku? Lihat apa ini" Mendadak Kou Hun Bijin mengeluarkan dua buah medali, lalu diangkatnya tinggi-tinggi. "Haah?" Siang Koay Lak Kui tampak terkejut sekali, lalu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kou Hun Bijin. "Hamba memberi hormat kepada Yang Agung Ada perintah apa, Yang Agung?" "Kalian semua harus menjaga keselamatan It sim sin Ni, Ceng Im dan lainnya Ini perintahku" "Hamba semua terima perintahmu." "Sekarang kalian boleh bangun" "Terima kasih Yang Agung" Siang Koay Lak Kui segera bangkit berdiri "Siang Koay" Kou Hun Bijin memberi perintah. "Ang Bir sat sin terlampau jahat, kalian berdua harus membunuhnya " "Hamba terima perintah," Sahut siang Koay dan langsung menyerang Ang Bin sat sin. "Siang Koay Kalian...." Ang Bin sat sin berusaha berkelit. Akan tetapi, belasan jurus kemudian, Ang Bin sat sin mulai terdesak. Berselang sesaat, terdengariah suara jeritannya. "Aaaakh..." Tubuh Ang Bin Sat Sin terpental belasan depa, lalujatuh terkapar dan nyawa pun melayang seketika. "Siang Koay" Bentak Tang Hai Lo Mo gusar. "Kalian berdua berani mengkhianati kami? Baik Kami bertiga terpaksa membunuh kalian" Bu Lim Sam Mo langsung melesat ke arah Kwan Gwa Siang Koay, sekaligus menyerang mereka dengan Pak Kek Sin Ciang. Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo