Ceritasilat Novel Online

Kesatria Baju Putih 5


Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung Bagian 5


Kesatria Baju Putih Karya dari Chin Yung   "Kakak Hiong!"   Pengemis muda yang dekil itu ternyata Lim Ceng Im. Ia memandang Tio Cie Hiong dengan mata tak berkedip.   "Engkau... engkau bertambah tampan."   "Engkau malah bertambah dekil dan bau,"   Sahut Tio Cie Hiong sambil tertawa-tawa.   "Adik Im, sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini, hanya saja....."   "Kenapa?"   "Aku tidak telanjang mandi di sungai."   "Dasar....."   Wajah Lim Ceng Im langsung memerah, kemudian menundukkan kepala dalamdalam.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong menatapnya heran.   "Kenapa setiap kali bertemu denganku engkau pasti bersikap malu-malu?"   "Aku...."   "Adik Im! Mari kita duduk di bawah pohon saja!"   Ajak Tio Cie Hiong. Lim Ceng Im mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di bawah pohon. Tio Cie Hiong tampak gembira sekali bertemu lagi dengan Lim Ceng Im. Ia mengeluarkan bakpaonya dan dibagikan kepadanya.   "Adik Im, mari kita makan bakpao dulu!"   "Terimakasih, Kakak Hiong!"   Lim Ceng Im menerima bakpao itu, kemudian memakannya sambil tersenyum-senyum.   "Adik Im, kok engkau berada di sini?"   Tanya Tio Cie Hiong.   "Aku tidak betah tinggal di rumah, maka aku keluar berjalan-jalan sejenak,"   Jawab Lim Ceng Im sambil meliriknya.   "Aku tak menduga sama sekali akan bertemu denganmu di sini."   "Kenapa engkau tidak betah tinggal di rumah?"   Tanya Tio Cie Hiong heran.   "Karena ayahku selalu menyuruhku belajar ilmu silat, sedangkan aku...."   Lim Ceng Im menundukkan kepala.   "Adik Im, engkau harus menuruti perkataan ayahmu, tidak baik sering berkeluyuran di luar."   Ujar Tio Cie Hiong sambil memandangnya.   "Eh? Kok kelihatannya engkau agak kurusan? Engkau sakit ya?"   "Tidak."   Lim Ceng Im menggelengkan kepala.   "Kakak Hiong, bagaimana keadaanmu selama ini?"   "Aku baik-baik saja,"   Jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Aku bekerja di Ekspedisi Harimau Terbang."   "Oooh!"   Lim Ceng Im manggut-manggut.   "Pemimpin Ekspedisi itu Cit Pou Tui Hun-Gouw Han Tiong kan?"   "Benar."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Kok engkau tahu?"   "Ekspedisi itu sangat terkenal, tentu saja aku tahu."   Tiba-tiba Lim Ceng Im menatapnya tajam.   "Ohya! Bukankah Gouw Han Tiong mempunyai seorang putri?"   "Betul. Namanya Gouw Sian Eng."   "Kalau tidak salah, dia merupakan anak gadis yang cantik sekali, bukan?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Dia memang cantik sekali, dan lemah lembut."   "Dia baik sekali terhadapmu?"   Tanya Lim Ceng Im dengan wajah agak berubah..   "Dia memang baik sekali terhadapku,"   Jawab Tio Cie Hiong jujur.   "Engkau pun sangat baik terhadapnya?"   Tanya Lim Ceng Im bernada agak tidak senang.   "Karena dia baik, aku pun baik terhadapnya."   "Kakak Hiong!"   Lim Ceng Im menatapnya tajam.   "Pernahkah engkau mandi telanjang di hadapannya?"   "Eeeh?"   Tio Cie Hiong terbelalak.   "Memangnya aku sudah gila?"   "Engkau kan hobby mandi telanjang...."   Mendadak wajah Lim Ceng Im berubah kemerahmerahan.   "Itu karena aku mandi di sungai, lagi pula engkau pun tidak sengaja memunculkan diri."   Ujar Tio Cie Hiong.   "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku mandi di dalam kamar mandi, tidak pernah mandi di sungai."   "Oooh!"   Lim Ceng Im manggut-manggut, kemudian bertanya dengan suara rendah.   "Engkau suka pada anak gadis itu?"   "Suka sekali."   Tio Cie Hiong mengangguk. Seketika juga wajah Lim Ceng Im berubah pucat.   "Ohya!"   Tio Cie Hiong mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya.   "Lihat apa ini?"   "Itu kantong pemberianku,"   Sahut Lim Ceng Im.   "Aku selalu menyimpannya baik-baik,"   Ujar Tio Cie Hiong, lalu memasukkan lagi kantong kain itu ke dalam bajunya.   "Kakak Hiong, apakah selama setahun ini, engkau sering memikirkan aku?"   Tanya Lim Ceng Im dengan suara rendah.   "Sering."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Aku pun sering memikirkanmu, bahkan siang malam...."   "Ha ha!"   Tio Cie Hiong tertawa mendadak.   "Pantas badanmu menjadi kurus, tidak tahunya garagara memikirkan aku siang malam!"   "Kakak Hiong...."   Lim Ceng Im cemberut.   "Tuh! Cemberut lagi!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Adik Im, engkau lebih pantas menjadi anak gadis."   "Kenapa?"   "Engkau sering bersikap malu-malu dan suka cemberut, itulah ciri khas anak gadis."   "Tapi aku...."   "Aku tahu engkau anak lelaki seperti aku,"   Potong Tio Cie Hiong. Tapi engkau justru...."   "Anak lelaki juga boleh bersikap malu-malu dan cemberut, tidak ada salahnya kan?"   Lim Ceng Im tersenyum.   "Memang tidak ada salahnya, namun itu sepertinya jadi sedikit aneh."   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Ohya, Kakak Hiong! Engkau mau ke mana?"   Tanya Lim Ceng Im mendadak mengalihkan percakapan.   "Aku mau pergi menemui Tok Pie Sin Wan,"   Jawab Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Dia berada di Goa Angin Puyuh di gunung Cing San."   "Siapa yang memberitahukanmu tentang Tok Pie Sin Wan?"   "Kim Siauw Suseng."   "Apa?"   Lim Ceng Im terbelalak.   "Engkau bertemu Kim Siauw Suseng itu?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Di Ekspedisi Harimau Terbang, aku pun bertemu kakek pengemis sakti."   "Kakek pengemis sakti? Maksudmu Sam Gan Sin Kay?"   "Ya,"   Sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan.   "Di lembah itu aku pun bertemu kakek pengemis sakti. Kemudian aku menyaksikan pertandingan yang sangat seru sekali."   "Sam Gan Sin Kay bertanding dengan Kim Siauw Suseng?"   "Ya."   "Mereka pasti bertanding seri lagi."   "Benar, tapi Sam Gan Sin Kay berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng dengan tongkat bambunya."   "Oh, ya?"   Lim Ceng Im tampak kurang percaya, sebab setahunya, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng selalu bertanding seri, bagaimana mungkin kali ini Sam Gan Sin Kay bisa berhasil melubangi lengan baju Kim Siauw Suseng? Namun ia tidak banyak bertanya lagi tentang itu, cuma menjelaskan.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Kakak Hiong, Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng sangat tersohor dalam rimba persilatan, mereka berdua adalah Bu Lim Ji Khie."   Tio Cie Hiong mendengarkan dengan penuh perhatian.   "Rimba persilatan masa kini terdapat It Ceng, Ji Khie dan Sam Mo."   Lanjut Lim Ceng Im memberitahukan.   "It Ceng adalah Lam Hai Sin Ceng (Padri Sakti Laut Selatan), Ji Khie adalah Sam Gan Sin Kay (Pengemis Sakti Mata Tiga) dan Kim Siauw Suseng (Sastrawan Suling Emas). Sam Mo (Tiga Iblis) adalah Tang Hai Lo Mo (Iblis Tua Laut Timur), Thian Mo (Iblis Langit) dan Te Mo (Iblis Neraka) yang sangat kejam."   "Siapa yang berkepandaian paling tinggi?"   Tanya Tio Cie Hiong mendadak.   "Selama puluhan tahun, Ji Khie dan Sam Mo tidak pernah bertanding lagi dengan Lam Hai Sin Ceng, sebab Lam Hai Sin Ceng selalu mengalah. Namun Ji Khie pernah bertanding dengan Sam Mo, kepandaian mereka boleh dikatakan seimbang."   "Kalau begitu, Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi?!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Kenapa engkau mengatakan begitu?"   Lim Ceng Im heran.   "Sebab Lam Hai Sin Ceng mau mengalah dan bersabar, maka aku yakin Lam Hai Sin Ceng berkepandaian paling tinggi."   Lim Ceng Im manggut-manggut.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong menatapnya seraya bertanya.   "Kenapa engkau mau jadi pengemis?"   "Aku memang pengemis,"   Sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum.   "Sebab ayahku ketua Partai Pengemis!" "Ayahmu ketua Kay Pang?"   Tio Cie Hiong terbelalak.   "Karena itu...."   Lim Ceng Im menghela nafas.   "Aku harus menjadi pengemis."   "Apakah tidak boleh berpakaian biasa?"   "Boleh. Tapi..... Lim Ceng Im menggelenggelengkan kepala.   "Belum waktunya aku berpakaian biasa."   "Kenapa?"   Tio Cie Hiong tercengang.   "Itu peraturan Kay Pang, maka aku harus menuruti peraturan itu,"   Sahut Lim Ceng Im, kemudian menatap Tio Cie Hiong dalam-dalam.   "Ohya, engkau... sering berduaan dengan anak gadis itu?"   "Maksudmu Gouw Sian Eng?"   "Ya."   "Tidak begitu sering, namun tiap malam hari, aku pasti mengajarinya ilmu sastra,"   Ujar Tio Cie Hiong jujur.   "Bahkan aku pun sering melihat dia berlatih."   "Wah! Asyik sekali dong!"   Wajah Lim Ceng Im tampak berubah.   "Asyik bagaimana?"   Tanya Tio Cie Hiong.   "Itu berarti kalian sering berduaan. Bukankah asyik sekali?"   Sahut Lim Ceng Im sambil mencibir.   "Ya, bisa dibilang begitu... lagi pula dia yang sering minta petunjuk padaku."   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Anak gadis itu sering minta petunjuk kepadamu?"   Lim Ceng Im mengerutkan kening.   "Petunjuk mengenai apa?"   "Ilmu pukulan dan ilmu pedang!"   "Apa?"   Lim Ceng Im terbeliak.   "Katanya engkau tidak pernah belajar ilmu silat, tapi bisa memberi petunjuk padanya. Itu sungguh membingungkan!"   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Terus terang, aku pernah belajar semacam Iweekang yang menyehatkan tubuh dari sebuah kitab tipis. Di dalam kitab tipis itu juga terdapat urai-uraian mengenai ilmu pukulan, pedang dan lain sebagainya."   Lim Ceng Im menatapnya dalam-dalam, kemudian tersenyum.   "Kakak Hiong, tentunya engkau juga tidak berkeberatan memberi petunjuk padaku kan?"   "Engkau anak ketua Kay Pang, bagaimana mungkin....   "   "Engkau sering memberi petunjuk kepada gadis itu, kenapa tidak mau memberi petunjuk kepadaku?"   Tanya Lim Ceng Im tidak senang sambil cemberut.   "Eh?"   Tio Cie Hiong tertawa kecil.   "Engkau mulai cemberut lagi!"   "Kenapa engkau tidak mau memberi petunjuk kepadaku?"   "Ayahmu ketua Kay Pang, sudah pasti berkepandaian tinggi, maka aku mana berani memberi petunjuk kepadamu?"   "Kakak Hiong, pokoknya engkau harus memberi petunjuk kepadaku."   Desak Lim Ceng Im, kemudian ia mengambil sebatang ranting.   "Kakak Hiong, aku akan memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Anjing). Ilmu tongkat itu sangat lihay dan hebat, merupakan ilmu tongkat andalan ayahku."   Tio Cie Hiong manggut-manggut sambil tersenyum, sedangkan Lim Ceng Im sudah mulai memperlihatkan Tah Kauw Kun Hoat. Berselang beberapa saat, Lim Ceng Im berhenti lalu memandang Tio Cie Hiong. "Bagaimana, Kakak Hiong?"   Tanyanya sambil tersenyum.   "Aku telah usai memperlihatkan tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat."   "Memang lihay sekali,"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat itu bersifat menyerang, tapi apabila bertarung dengan orang berkepandaian tinggi, engkau justru akan celaka."   "Oh? Apa sebabnya?"   "Sebab dalam jurus-jurus itu terdapat celah yang dapat diserang, dan engkau tidak bisa menangkis maupun berkelit, karena engkau terus menyerang,"   Tio Cie Hiong memberitahukan.   "Oh, ya?"   Lim Ceng Im kurang percaya.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Jurus pertama yang kau perlihatkan itu terdapat celah bagi pihak lawan Bagian 6 untuk balas menyerang secara mendadak. Anggaplah aku lawanmu, engkau menyerangku dengan jurus pertama, aku bergerak dengan cara demikian...."   Tio Cie Hiong menggerakkan kaki dan tangannya.   "Nah! Bukankah kaki kananmu yang di depan terkunci oleh kaki kananku, sedangkan tanganmu yang kanan terkunci oleh tangan kiriku? Kalau aku menjulurkan sepasang tanganku, bukankah dadamu akan terpukul?"   "Haaah?"   Mendengar itu, Lim Ceng Im terkejut bukan main, sebab gerakan Tio Cie Hiong itu dapat memecahkan jurus pertama Tah Kauw Kun Hoatnya.   "Jurus kedua... jurus ketujuh belas...."   Tio Cie Hiong terus menjelaskan, sekaligus memperlihatkan gerakannya. Lim Ceng Im mendengarkan dan menyaksikan gerakan-gerakan itu dengan mata terbelalak.   "Kakak Hiong...,"   Ujarnya kemudian sambil menatapnya kagum.   "Engkau kok begitu luar biasa? Padahal selama puluhan tahun ini, tiada seorang pun yang mampu memecahkan Tah Kauw Kun Hoat. KUrasa engkau dapat memperbaiki jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoatku."   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala.   "Itu merupakan ilmu tongkat andalan ayahmu, aku mana berani sembarangan memperbaikinya?"   "Itu urusan ayahku, ini urusanku,"   Sahut Lim Ceng Im.   "Kakak Hiong! Ayolah... Perbaiki jurusjurus Tah Kauw Kun Hoatku."   "Adik Im...."   Tio Cie Hiong memandangnya, lama sekali barulah ia mengangguk.   "Kakak Hiong, terimakasih!"   Ucap Lim Ceng Im dengan wajah berseri. Sedangkan Tio Cie Hiong mulai memberi petunjuk kepadanya dengan menambah beberapa gerakan dalam jurus-jurus Tah Kauw Kun Hoat.   "Adik Im!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Kini Tah Kauw Kun Hoatmu sudah lebih lihay lagi."   "Kakak Hiong...."   Lim Ceng Im menatapnya takjub.   "Kok engkau begitu luar biasa sih?"   Tio Cie Hiong tidak menyahut, melainkan cuma tersenyum-senyum. Berselang sesaat, barulah berkata sungguh-sungguh.   "Adik Im, janganlah engkau takabur karena ilmu tongkat bertambah lihay, sebab takabur akan membuatmu lupa daratan."   "Kakak Hiong, percayalah!"   Lim Ceng Im tertawa kecil.   "Aku tidak akan begitu."   "Syukurlah!"   Tio Cie Hiong manggut-manggut. "Ohya, Kakak Hiong!"   Lim Ceng Im menatapnya dengan penuh harap.   "Bolehkah aku mengikutimu ke gunung Cing San?"   "Tidak boleh."   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Kenapa?"   Lim Ceng Im cemberut.   "Tiada persetujuan dari ayahmu, engkau tidak boleh ikut aku ke gunung Cing San,"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Itu tidak apa-apa. Ayahku tidak akan tahu."   "Justru ayahmu tidak tahu, maka engkau tidak boleh ikut."   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Kakak Hiong...."   Lim Ceng Im membanting-bantingkan kaki. Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara dehem dari kejauhan di belakang mereka. Begitu mereka menoleh, tampak seorang pengemis telah berdiri di situ.   "Ayah...."   Wajah Lim Ceng Im langsung berubah.   "Bagus! Bagus!"   Sahut pengemis itu, yang tidak lain Lim Peng Hang, Si Tongkat Maut ketua Kay Pang.   "Engkau mau minggat ya?"   "Ayah, aku tidak minggat."   Ujar Lim Ceng Im dengan wajah memerah.   "Melainkan ingin ikut dia ke gunung Ciang San."   "Tidak boleh."   Lim Peng Hang menggelengkan kepala.   "Oooh!"   Tiba-tiba Tio Cie Hiong teringat akan pengemis itu.   "Ternyata Paman pengemis yang waktu itu ya, kebetulan sekali."   "Apa yang kebetulan?"   Tanya Lim Peng Hang heran.   "Aku sudah mempunyai uang, kita bagi dua saja, ya,"sahut Tio Cie Hiong.   "Jadi Paman tidak usah menahan lapar."   "Eeeh?"   Lim Peng Hang melotot.   "Engkau berani menghinaku?"   "Paman!"   Tio Cie Hiong tercengang.   "Bukankah dua tahun lalu Paman pernah minta uang kepadaku? Sekarang aku akan membagikan uangku kepada Paman, kok Paman malah berkata begitu?"   "Bagus! Bagus!"   Lim Peng Hang tertawa gelak.   "Mana uangmu?"   Tio Cie Hiong mengeluarkan uangnya, kemudian dibagikannya kepada Lim Peng Hang.   "Paman!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Tolong bagikan juga kepada pengemis lain, agar mereka pun tidak kelaparan."   "Kalau begitu...."   Lim Peng Hang tersenyum.   "Uangmu harus dibagikan kepadaku lagi separuh, sebab aku harus mewakilimu membagikan kepada pengemis lain."   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Ayah kok begitu serakah?"   Tegur Lim Ceng Im.   "Siapa bilang ayah serakah?"   Lim Peng Hang melotot.   "Bukankah ayah harus membagikan lagi kepada pengemis lain?"   "Tapi dia masih harus melanjutkan perjalanan,dan membutuhkan uang,"   Sahut Lim Ceng Im.   "Adik Im!"   Ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.   "Itu tidak apa-apa, sebab sisa uang ini masih cukup untukku."   "Benar! Benar!"   Lim Peng Hang tertawa gelak, kemudian menarik Lim Ceng Im.   "Terima kasih ya, Mari kita pergi!"   Tanpa basa-basi lagi. "Tidak mau!"   Lim Ceng Im tidak mau beranjak dari tempatnya.   "Adik Im!"   Ujar Tio Cie Hiong.   "Tidak baik melawan orang tua, ikutlah ayahmu pulang!"   "Tapi... kita akan berpisah lagi."   Wajah Lim Ceng Im tampak murung.   "Kita akan berjumpa kembali kelak, percayalah..."   Sahut Tio Cie Hiong.   "Kakak Hiong...."   Mata Lim Ceng Im bersimbah air.   "Sampai jumpa!"   "Sampai jumpa, Adik Im!"   Tio Cie Hiong memandangnya sambil tersenyum lembut.   Setelah Lim Ceng Im dan ketua Kay Pang itu lenyap dari pandangannya, barulah Tio Cie Hiong meninggalkan tempat itu melanjutkan perjalanannya ke gunung Cing San.   Begitu sampai di halaman markas, pusat Kay Pang.   Lim Ceng Im membanting-bantingkan kakinya, kemudian menggerutu.   "Ayah jahat! Setiap kali aku bertemu dia, ayah pasti menyuruhku pulang!"   "Nak!"   Lim Peng Hang menggeleng-gelengkan kepala.   "Engkau masih kecil, tunggulah beberapa tahun lagi, aku pasti melepaskanmu berkelana dalam rimba persilatan."   "Aku hanya mau ikut dia ke gunung Cing San, tapi ayah melarangku. Aku... benci ayah!"   "Nak!"   Lim Peng Hang menarik nafas.   "Ayah setuju engkau bergaul dengannya, tapi harus tunggu beberapa tahun lagi. Sekarang ini engkau harus giat belajar."   "Ayah!"   Mendadak sepasang mata Lim Ceng Im berbinar-binar.   "Kelak bolehkah aku selalu bersamanya?"   "Tentu boleh."   Lim Peng Hang mengangguk.   "Tapi sekarang engkau harus menyerahkan segenap perhatianmu belajar ilmu silat."   Wajah Lim Ceng Im berseri.   "Ohya! Apakah tujuh belas jurus Tah Kauw Kun Hoat yang kuajarkan kepadamu itu telah kau kuasai?"   Tanya Lim Peng Hang mendadak.   "Ayah!"   Lim Ceng Im tersenyum.   "Aku sudah dapat menguasai semua jurus itu."   "Kalau begitu, coba perlihatkan pada ayah!"   Ujar Lim Peng Hang sambil menyerahkan tongkat bambunya kepada Lim Ceng Im.   Lim Ceng Im mengangguk.   Setelah menerima tongkat bambu itu, ia pun mulai bergerak, dan seketika tongkat bambu itu berkelebatan laksana kilat.   Lim Peng Hang menyaksikannya dengan mata terbeliak lebar, sebab Tah Kauw Kun Hoat yang diperlihatkan Lim Ceng Im agak berbeda, jauh lebih lihay dari Tah Kauw Kun Hoat yang diajarkannya.   "Ceng Im!"   Lim Peng Hang menatapnya dengan mata tak berkedip.   "Tah Kauw Kun Hoat yang kau perlihatkan itu kok agak lain?"   "Bagaimana menurut Ayah?"   Tanya Lim Ceng Im sambil tersenyum.   "Bertambah lihay,"   Sahut Lim Peng Hang dan bertanya.   "Lo cianpwee mana yang menambahkan gerakan-gerakan itu?"   "Bukan lo cianpwee, melainkan siauw cianpwee,"   Sahut Lim Ceng Im sambil tersenyum geli.   "Maksudmu?"   Lim Peng Hang terheran-heran.   "Cianpwee kecil yang mana?"   "Itu... anak lelaki tuh!"   Lim Ceng Im memberitahukan.   "Apa?"   Mulut Lim Peng Hang ternganga lebar.   "Dia... dia yang menambahkan gerakan-gerakan itu dalam jurus Tah Kauw Kun Hoat?" "Ya."   Lim Ceng Im mengangguk.   "Memang dia. Aku sendiri pun tidak habis pikir, kenapa dia mampu menciptakan gerakan-gerakan untuk menyempurnakan Tah Kauw Kun Hoat itu."   "Ceng Im! Siapa dia?"   "Namanya Tio Cie Hiong."   "Dia... dia anak sakti yang dimaksudkan kakekmu!"   Ujar Lim Peng Hang sambil menarik nafas dalam-dalam.   "Dia pula yang menyempurnakan Sam Ciat Kun Hoat!"   "Oh?"   Mendengar ucapan itu, Lim Ceng Im semakin kagum pada Tio Cie Hiong.   "Dia memang sangat luar biasa sekali. Dia tidak mau belajar ilmu silat, tapi justru mampu menciptakan gerakan-gerakan ilmu silat yang begitu lihay. Dia juga memberitahukan, bahwa dia pernah belajar semacam ilmu lweekang dari sebuah kitab tipis. Dalam kitab tipis itu juga terdapat berbagai uraian tentang pukulan, pedang dan lain sebagainya."   "Nak!"   Mendadak Lim Peng Hang tertawa.   "Kenapa Ayah tertawa?"   Lim Ceng Im heran.   "Kakekmu bilang...."   Lim Peng Hang menatapnya lagi dan tertawa lagi.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Ayah kenapa sih?"   Lim Ceng Im cemberut.   "Misterius amat! Sebetulnya ada apa?"   "Kakekmu pernah bilang, dia akan menjodohkanmu dengan Tio Cie Hiong kelak."   Lim Peng Hang memberitahukan.   "Kakek jahat!"   Wajah Lim Ceng Im langsung memerah.   "Ooo... Jadi engkau tidak suka dijodohkan dengan Tio Cie Hiong? Baiklah! Ayah akan memberitahukan kepada kakekmu!"   "Ayah...."   Kalutlah Lim Ceng Im.   "Jangan begitu...."   "Maksudmu bersedia dijodohkan dengannya?"   Tanya Lim Peng Hang sambil tersenyum-senyum.   "Ayah...."   Lim Ceng Im langsung berlari ke dalam.   Lim Peng Hang, ketua Kay Pang itu tertawa gelak sambil memandang punggung Lim Ceng Im, lalu berjalan ke dalam dengan wajah berseri-seri.   Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil.   Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi.   Dia bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung Cing San.   "Apa?!"   Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut.   "Anak muda, engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Aku ingin menemui seseorang di sana."   "Anak muda!"   Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala.   "Lebih baik engkau jangan ke sana!"   Dua hari kemudian, Tio Cie Hiong telah tiba di sebuah desa kecil.   Dari desa kecil dia dapat melihat Gunung Cing San yang menjulang tinggi.   Dia bertanya kepada penduduk desa mengenai Suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) itu, agar tidak tersesat di Gunung Cing San.   "Apa?!"   Salah seorang penduduk desa yang berusia lanjut tampak terkejut.   "Anak muda, engkau mau ke Goa Angin Puyuh itu?" "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Aku ingin menemui seseorang di sana."   "Anak muda!"   Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala.   "Lebih baik engkau jangan ke sana!"   "Kenapa, Paman tua?"   Tio Cie Hiong tercengang.   "Sebab ada siluman di dalam goa itu. Tiga hari sekali kami harus membawa puluhan ekor ayam ke sana. Kalau tidak, siluman itu pasti membunuh kami."   Tio Cie Hiong mengerutkan kening.   "Paman tua, beritahukan saja kepadaku di mana goa itu!"   "Anak muda...."   Orang tua berusia lanjut itu menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya memberitahukan juga berada di mana Goa Angin Puyuh itu.   "Terimakasih, Paman tua!"   Ucap Tio Cie Hiong, lalu melanjutkan perjalanannya ke goa tersebut. Setelah hari mulai malam, barulah Tio Cie Hiong sampai di depan goa itu. Tak lama kemudian terdengar suara desiran di dalam goa.   "Cianpwee, aku ingin bertemu...!!"   Seru Tio Cie Hiong.   "Siapa engkau anak muda? Mau apa engkau ke mari?"   Terdengar suara sahutan dari dalam goa.   "Namaku Tio Cie Hiong. Apakah cianpwee Tok Pie Sin Wan?"   Tanya Tio Cie Hiong. Tiada suara sahutan, namun mendadak berkelebat sosok bayangan dari dalam goa. Seorang tua berlengan satu, rambutnya awut-awutan berdiri di hadapan Tio Cie Hiong, dan menatapnya tajam.   "Siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa aku Tok Pie Sin Wan?"   Tanya orang tua itu.   "Kim Siauw Suseng."   Jawab Tio Cie Hiong. Kening Tok Pie Sin Wan berkerut.   "Kenapa dia memberitahukan tentang diriku?"   "Sebab cianpwee teman baik Ku Tok Lojin. Aku ingin bertanya kepada cianpwee di manakah Ku Tok Lojin berada?"   "Ada hubungan apa engkau dengan Ku Tok Lojin?"   "Tiada hubungan apa-apa. Tapi..., Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuaku, maka aku harus bertanya kepadanya."   Tok Pie Sin Wan menatapnya, kemudian mengajak Tio Cie Hiong masuk ke goa.   "Mari ikut aku ke dalam!"   Tio Cie Hiong mengangguk, lalu mengikuti Tok Pie Sin Wan ke dalam goa. Ruangan goa itu cukup terang karena ada beberapa buah lampu minyak bergantung di dinding goa. Di sana tampak pula belasan ekor ayam di dalam kurungan.   "Duduklah!"   Ujar Tok Pie Sin Wan.   "Terimakasih!"   Ucap Tio Cie Hiong lalu duduk di hadapannya.   "Anak muda!"   Tok Pie Sin Wan menatapnya dalam-dalam.   "Jadi engkau tidak tahu siapa kedua orang tuamu?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Benarkah Ku Tok Lojin tahu siapa kedua orang tuamu?"   Tanya Tok Pie Sin Wan.   "Benar atau tidak, aku tidak tahu. Namun sebelum pamanku meninggal, dia berpesan kepadaku harus menemui Ku Tok Lojin, karena Ku Tok Lojin akan memberitahukan siapa kedua orang tuaku."   "Ooooh!"   Tok Pie Sin Wan manggut-manggut.   "Cianpwee, beritahukanlah padaku di mana Ku Tok Lojin berada?"   Ujar Tio Cie Hiong penuh harap. "Kalau begitu, engkau harus ke Gunung Heng San Lembah Kesepian, sebab dia tinggal di sana."   Tok Pie Lojin memberitahukan.   "Aku sudah ke sana, tapi Ku Tok Lojin telah meninggalkan lembah itu."   Ujar Tio Cie Hiong.   "Maka aku ke mari bertanya kepada Cianpwee."   Tok Pie Sin Wan menggeleng-gelengkan kepala.   "Kalau begitu, aku pun tidak tahu di mana dia berada."   "Bukankah Cianpwee teman baiknya?"   "Benar."   Tok Pie Sin Wan mengangguk.   "Maka aku tahu dia tinggal di lembah itu. Namun kalau dia telah meninggalkan lembah itu, aku pun tidak bisa tahu kemana dia pergi."   "Aaakh...!"   Keluh Tio Cie Hiong.   "Puluhan tahun lalu, kami memang merupakan teman akrab."   Tok Pie Sin Wan memberitahukan.   "Tapi sejak isterinya meninggalkannya, sifatnya berubah aneh dan Sering marah-marah, akhirnya kedua putrinya meninggalkannya. Sejak itulah dia hidup kesepian."   "Cianpwee, siapa kedua putrinya?"   "Lie Hui Hong dan Lie Mei Hong. Kemudian Lio Hui Hong menikah dengan Hui Kiam Bu Tek-Tio It Seng, namun Lie Mei Hong tiada kabar beritanya."   Ujar Tok Pie Sin Wan dan menambahkan.   "Sedangkan aku sudah hampir lima belas tahun tinggal di dalam goa ini. Aaaakh...!"   "Cianpwee!"   Tio Cie Hiong menatapnya heran.   "Kenapa cianpwee menarik nafas panjang?"   "Selama lima belas tahun, aku sama sekali tidak berani keluar pada siang hari."   "Kenapa?"   "Lima belas tahun lampau, aku telah salah mempelajari semacam ilmu Iweekang, sehingga membuat tubuhku tidak tahan akan sinar mata hari, rasanya seperti terbakar."   Tok Pie Sin Wan menghela nafas lagi.   "Dan juga dua tiga hari sekali aku pasti merasa dingin sekali, karena itu, aku sudah menghisap darah ayam, anjing dan kelinci agar tidak merasa dingin."   "Pantas penduduk di desa itu harus menyediakan ayam untuk cianpwee, ternyata begitu!"   Ujar Tio Cie Hiong dan menatapnya.   "Cianpwee, betulkah cianpwee akan membunuh mereka, kalau mereka tidak menyediakan ayam?"   "Tentu tidak."   Tok Pie Sin Wan menggelengkan kepala.   "Aku terpaksa mengancam mereka, agar mereka mau menyediakan ayam untukku."   Tio Cie Hiong menarik nafas lega.   "Anak muda! Apakah engkau murid Kim Siauw Suseng?"   Tanya Tok Pie Sin Wan mendadak.   "Bukan."   "Kalau begitu, engkau murid siapa?"   "Aku bukan murid siapa-siapa."   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Aku tidak tertarik akan ilmu silat. Kalau aku sudah berhasil mencari Ku Tok Lojin dan tahu siapa kedua orang tuaku, aku malah akan tinggal di tempat yang sepi, Cianpwee, maaf! Aku mohon berpamit!"   Ujar Tio Cie Hiong sambil bangkit berdiri. "Lebih baik engkau berangkat esok pagi saja. Sekarang hari sudah malam."   Ujar Tok Pie Sin Wan mengusulkan.   "Engkau boleh tinggal di dalam goa ini."   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Terimakasih, Cianpwee!"   Tio Cie Hiong duduk kembali.   "Anak muda, kalau engkau mau tidur sekarang, tidurlah di atas jerami itu agar engkau tidak kedinginan!"   Ujar Tok Pie Sin Wan.   "Terima kasih, Cianpwee!"   Tio Cie Hiong tersenyum.   "Aku cukup duduk bersemadi di sini saja!"   "Duduk bersemadi?"   Tok Pie Sin Wan tampak tercengang.   "Engkau bisa tidur dalam keadaan bersemadi?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk, lalu memejamkan matanya dan mulai bersemadi.   Tok Pie Sin Wan memandangnya dengan mulut ternganga lebar.   Tak seberapa lama kemudian, Tio Cie Hiong kelihatan telah pulas dalam keadaan bersemadi.   Tok Pie Sin Wan terkejut bukan main, sebab Tio Cie Hiong bisa menarik nafasnya begitu dalam, dan menghembuskannya begitu lama.   Itu pertanda Tio Cie Hiong telah memiliki semacam Iweekang yang amat tinggi.   Itu sungguh di luar dugaan Tok Pie Sin Wan.   Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil bangkit berdiri.   "Cianpwee mau ke mana?"   Tanya Tio Cie Hiong sambil membuka matanya.   "Hah...?"   Tok Pie Sin Wan tersentak, sebab tadi ia bangkit tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, tapi Tio Cie Hiong bisa mendengarnya walau dalam keadaan tidur. Itu sungguh mengejutkannya.   "Cianpwee mau pergi tidur ya?"   Tanya Tio Cie Hiong. Tok Pie Sin Wan tidak menjawab, namun malah balik bertanya sambil menatapnya dengan mata terbeliak lebar.   "Engkau bisa mendengar suaraku dalam keadaan tidur?"   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Kenapa bisa begitu?"   Tanya Top pie sin wan heran "Entahlah"   Jawab Tio Cie Hiong sambil tersenyum kemudian matanya kembali menutup dan tertidur lagi. Esok harinya Ketika hari sudah terang, Tio Cie Hiong berpamit.   "Cianpwee, aku mohon diri!"   "Anak muda! Hati-hatilah engkau menjaga diri!"   Pesan Tok Pie Sin Wan.   "Ya, Cianpwee!"   Tio Cie Hiong mengangguk, kemudian meninggalkan goa itu.   Tok Pie Sin Wan tidak berani mengantar keluar, karena takut akan sinar matahari.   Setelah meninggalkan Goa Angin Puyuh, Tio Cie Hiong melanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan.   Beberapa hari kemudian, ia memasuki sebuah rimba yang penuh pohon bambu.   Mendadak terdengar suara tawa yang sangat menyeramkan, maka Tio Cie Hiong segera berhenti.   Setelah suara tawa seram itu sirna, muncullah dua orang, yang masing-masing berwajah hitam dan putih.   "Bocah, kemarilah dan katakan siapa namamu?"   Tanya orang berwajah hitam. "Namaku Tio Cie Hiong,"   Jawabnya dan bertanya.   "Siapa Cianpwee berdua?"   "Kami adalah Hek Pek Siang Koay,"   Sahut Siluman Putih sambil tertawa seram melengking.   "Kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan kami."   "Maaf, Cianpwee!"   Sahut Tio Cie Hiong.   "Aku tidak mau menjadi pelayan kalian."   "Harus mau!"   Bentak Hek Pek Siang Koay (Sepasang Siluman Hitam Putih) serentak.   "Maaf, Cianpwee...."   "Siluman Hitam, mari kita tangkap dia!"   Ujar Siluman Putih.   "Baik!"   Siluman Hitam menangguk. Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman itu. Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.   "He he he!"   Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh.   "Bocah, engkau mau lari ke mana?"   Kedua siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie Hiong terhadang.   "Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!"   Ujar Siluman Hitam.   "Kalau engkau melawan, kami pasti membunuhmu!"   Kedua siluman itu langsung menangkap Tio Cie Hiong. Sepasang lengannya tercengkeram oleh kedua siluman itu. Akan tetapi, mendadak Tio Cie Hiong meronta, sehingga terlepas dari cengkeraman mereka, lalu berlari kabur.   "He he he!"   Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh.   "Bocah, engkau mau lari ke mana?"   Kedua siluman itu melesat ke hadapan Tio Cie Hiong, maka Tio Cie Hiong terhadang.   "Bocah! Lebih baik engkau menjadi pelayan kami!"   Ujar Siluman Hitam.   "Kalau engkau melawan, kami pasti membunuhmu!"   "Cianpwee! Kita tidak bermusuhan, kenapa Cianpwee berniat membunuhKu?"   Tanya Tio Cie Hiong dengan kening berkerut.   "Itu kalau engkau tidak mau menjadi pelayan kami!"   Sahut Siluman Putih.   "Bocah, kami memang membutuhkan seorang pelayan, kebetulan engkau ke mari, maka engkau harus menjadi pelayan kami! Apabila engkau menolak, kami pasti membunuhmu"   "Cianpwee...."   Tio Cie Hiong menggelengkan kepala.   "Engkau menolak?"   Bentak Siluman Hitam.   "Ya."   Tio Cie Hiong mengangguk.   "Siluman Putih! Dia tidak mau menurut, mari kita bunuh saja dia!"   Ujar Siluman Hitam.   "Ha ha ha!"   Siluman Putih tertawa.   "Itu sudah pasti!"   Tio Cie Hiong terkejut bukan main. Ia tidak tahu harus berbuat apa, sehingga berdiri mematung di tempat. Sedangkan Hek Pek Siang Koay telah mengayunkan tangan mereka. Buk! Buk! "Aaaakh...!"   Jerit Tio Cie Hiong. Dadanya telah terpukul dengan amat keras. Tio Cie Hiong terkapar dalam keadaan pingsan, sedangkan Hek Pek Siang Koay tertawa terkekeh-kekeh. "Hek Pek Slang Koay!"   Mendadak terdengar bentakan nyaring.   "Kalian berdua begitu kejam, maka hari ini kalian berdua harus mampus!"   Hek Pek Siang Koay terkejut. Sekonyong-konyong melayang turun sosok bayangan putih, yang ternyata Pek ih Mo Li. Siluman Hitam tertawa terkekeh-kekeh.   "Ada wanita cantik datang!"   "Siluman Hitam, kita sungguh beruntung hari ini!"   Sahut Siluman Putih sambil menatap Pek Ih Mo Li.   "Dia begitu cantik, mari kita tangkap dia, lalu kita telanjangi agar kita bisa menyaksikan tubuhnya yang indah itu!"   "Hek Pek Siang Koay"   Bentak Pek ih Mo Li gusar.   "Ajal kalian hampir tiba, tapi kalian masih berani berbicara kurang ajar!"   Siluman Hitam tertawa melengking.   "Jangan galak-galak! Ohya, bagaimana kalau engkau menjadi pelayan kami?"   "Hek Pek Siang Koay!"   Mata Pek Ih Mo Li berapi-api.   "Kalian berdua bersiap-siaplah untuk mampus!"   Siluman Hitam mengerutkan kening.   "Siapa engkau? berani omong besar di hadapan kami?"   "Aku Pek Ih Mo Li!"   Sahutnya sepatah demi sepatah sambil menghunus pedangnya.   "Pek Ih Mo Li?"   Hek Pek Siang Koay saling memandang. Ternyata mereka berdua tidak pernah mendengar nama itu.   "He he he!"   Siluman Putih tertawa terkekeh.   "Siluman Hitam, mari kita bunuh dia!"   Siluman Hitam mengangguk, lalu dengan mendadak kedua siluman itu menyerang Pek Ih Mo Li.   Pek Ih Mo Li tertawa dingin sambil berkelit, kemudian menggerakkan pedangnya membentuk beberapa buah lingkaran mengarah ke Hek Pek Siang Koay.   Bukan main terkejutnya Hek Pek Siang Koay.   Secepat kilat mereka mengelak, sekaligus balas menyerang lagi.   Sekonyong-konyong Pek Ih Mo Li melesat ke atas, dan berjungkir balik sambil menggerakkan pedangnya membentuk puluhan lingkaran kecil.   "Aaaakh...!"   Jerit Hek Pek Siang Koay. Ternyata bahu mereka telah terluka oleh pedang Pek Ih Mo Li sehingga mengucurkan darah. Pek Ih Mo Li sudah melayang turun. Ia memandang Hek Pek Siang Koay dengan wajah dingin.   "Satu jurus lagi kalian berdua pasti mati di ujung pedangku!"   Bentak Pek Ih Mo Li.   Hek Pek Siang Koay segera mengeluarkan senjata masing-masing.   Tadi mereka berdua terlampau meremehkan lawan, maka hanya cuma menggunakan sepasang tangan kosong saja.   Oleh karena itu, bahu mereka terluka oleh pedang Pek ih Mo Li.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Betapa gusarnya Hek Pek Siang Koay.   Setelah mengeluarkan senjata, mereka berdua langsung menyerang Pek Ih Mo Li.   Terjadilah pertempuran yang amat sengit dan dahsyat.   Tampak kedua senjata Hek Pek Siang Koay berkelebatan mengarah ke Pek Ih Mo Li.   Akan tetapi pedang Pek Ih Mo Li mulai membentuk lingkaran besar dan lingkaran kecil.   Beberapa jurus kemudian, terdengarlah suara jeritan Hek Pek Siang Koay yang menyayatkan hati.   "Aaaakh...! "Aaaakh...!"   Hek Pek Siang Koay terkapar dengan dada berlumuran darah.   Ternyata dada mereka telah tertembus pedang Pek Ih Mo Li, dan nyawa mereka pun melayang seketika.   Setelah membunuh Hek Pek Siang Koay, Pek Ih Mo Li mendekati Tio Cie Hiong yang dalam keadaan pingsan.   Pek Ih Mo Li tertegun.   Ia ingat pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang.   Betapa terkejutnya Pek Ih Mo Li ketika menyaksikan wajahnya yang pucat pias.   Ia segera membuka bajunya.   Tampak bekas dua telapak tangan kehijau-hijauan di dadanya.   "Ngo Tok Ciang...."   Ia telah tahu, Siapa yang terkena pukulan Ngo Tok Ciang, dalam waktu beberapa jam kemudian pasti mati.   Itu sungguh membuat Pek Ih Mo Li kacau dan resah, sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukannya.   Pada waktu bersamaan, terdengarlah suara yang sangat halus.   "Omitohud!"   Pek Ih Mo Li terkejut bukan main dan segera menoleh. Dilihatnya seorang padri tua berwajah pengasih dan berjenggot sebatas dada berdiri di situ. Begitu melihat padri tua itu, Pek Ih Mo Li tersentak.   "Apakah aku berhadapan dengan Lam Hai Sin Ceng?"   "Omitohud! Engkau tentu Pek Ih Mo Li,"   Sahut padri tua. Memang tidak salah, padri tua itu adalah Bu Lim It Ceng.   "Sin Ceng, tolonglah anak itu!"   Ujar Pek Ih Mo Li memohon.   "Engkau kenal dia?"   Tanya Lam Hai Sin Ceng.   "Aku pernah melihatnya di Ekspedisi Harimau Terbang."   Pek Ih Mo Li memberitahukan.   "Dia anak baik, maka aku mohon Sin Ceng sudi menolongnya!"   "Omitohud!"   Lam Hai Sin Ceng mendekati Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan. Ketika melihat bekas sepasang telapak tangan di dada Tio Cie Hiong, kening padri tua berkerut.   "Ngo Tok Ciang!"   Lam Hai Sin Ceng membungkukkan badannya, lalu menjulurkan tangannya untuk menotok jalan darah di dada Tio Cie Hiong, agar racun tidak menjalar ke jantung. Akan tetapi, ketika jari tangannya menyentuh dada Tio Cie Hiong, padri tua itu tampak tertegun.   "Sin Ceng! Bagaimana? Apakah dia masih bisa ditolong?"   Tanya Pek- Ih Mo Li tegang.   "Omitohud! Ini sungguh di luar dugaan dan luar biasa sekali."   Sahut Lam Hai Sin Ceng.   "Kenapa, Sin Ceng?"   Pek Ih Mo Li heran.   "Anak ini telah memiliki semacam Iweekang yang amat tinggi, maka jantungnya terlindung oleh Iweekang itu."   Lam Hai Sin Ceng memberitahukan.   "Tapi dia tetap harus diobati."   "Sin Ceng bisa mengobatinya?"   "Tidak bisa. Namun ada satu orang bisa mengobatinya."   "Siapa orang itu?"   "Sok Beng Yok Ong, Hanya dia yang bisa memusnahkan racun Ngo Tok itu."   "Yok Ong itu tinggal di mana?"   "Di kaki Gunung Wu San."   Lam Hai Sin Ceng memberitahukan.   "Lembah Persik, engkau harus segera membawa anak itu ke sana! Tapi...."   "Kenapa?"   "Sok Beng Yok Ong bersifat sangat aneh. Kalau dia tidak senang, jangan harap dia akan mengobati orang."   "Bolehkah aku bilang Sin Ceng yang menyuruhku ke sana?"   Tanya Pek Ih Mo Li mendadak.   "Tidak boleh."   Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala.   "Kenapa?"   Pek Ih Mo Li heran.   "Dia pasti tersinggung karena mengira engkau menggunakan namaku untuk menemukannya, maka urusan akan runyam karenanya."   "Kalau begitu...."   Pek Ih Mo Li mengerutkan kening. "Apabila engkau bersungguh hati ingin menolong anak itu, tentunya Sok Beng Yok Ong pun akan mengobatinya. Percayalah!"   Ujar Lam Hai Sin Ceng sambil tersenyum. Pek Ih Mo Li mengangguk, lalu menggendong Tio Cie Hiong di punggungnya.   "Pek Ih Mo Li!"   Lam Hai Sin Ceng menatapnya dalam-dalam seraya berkata.   "Segala sesuatu memang telah merupakan takdir, maka aku harap engkau berhati-hati dalam tiga tahun ini, sebab menyangkut keselamatanmu."   Pek Ih Mo Li tersenyum.   "Terimakasih atas pesan Sin Ceng. Kalau itu telah merupakan takdir, berhati-hati pun akan terjadi."   "Omitohud!"   Ucap Lam Hai Sin Ceng, kemudian menggeleng-gelengkan kepala.   "Sin Ceng, sampai jumpa!"   Ucap Pek Ih Mo Li lalu melesat pergi.   "Pek Ih Mo Li, siapa gurumu?"   Tanya Lam Hai Sin Ceng dengan menggunakan Iweekang.   "Sin Ceng, guruku adalah Ciat Lun Sin Ni,"   Sahut Pek Ih Mo Li.   "Omitohud!"   Ucap Lam Hai Sin Ceng lagi. Padri tua itu berdiri termangu-mangu di tempat, bahkan kemudian juga menghela nafas dan bergumam.   "Ciat Lun Sin Ni, ternyata Pek Ih Mo Li adalah muridnya. Ciat Lun Sin Ni...."   Lembah itu penuh batu curam.   Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat besar dan indah.   Para kaum Bu Lim mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong.   Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu.   Sebab siapa yang masuk ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.   Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek.   Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak putih yang bergemerlapan.   Sungguh indah kotak itu! Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu? Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.   "Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga selalu bertanding seri,"   Ujar Tang Hai Lo Mo "Itu berarti kita telah membuang waktu dengan sia-sia!"   "Tang Hai Lo Mo!"   Sahut Thian Mo.   "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya, untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga harus bertanding pula, siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."   "Tidak salah"   Sambung Te Mo dengan suara parau.   "Kita harus terus bertanding hingga ada yang menang!"   Lembah itu penuh batu curam.   Namun sungguh mengherankan, di dalamnya terdapat sebuah bangunan yang sangat besar dan indah.   Para kaum Bu Lim mengetahui bahwa itu Thian Mo Kiong.   Selama puluhan tahun, tiada seorang kaum Bu Lim pun yang berani mendatangi lembah itu.   Sebab siapa yang masuk ke lembah itu, pasti tidak bisa keluar dengan selamat.   Di ruang tengah Istana Thian Mo Kiong, tampak tiga orang tua duduk bersila mengelilingi meja pendek.   Di atas meja pendek itu terdapat sebuah kotak putih yang bergemerlapan.   Sungguh indah kotak itu! Siapa ketiga orang tua yang berwajah bengis dan kotak apa yang di atas meja pendek itu? Ketiga orang tua itu adalah Bu Lim Sam Mo, sedangkan kotak putih yang bergemerlapan itu adalah Kotak Pusaka yang diperebutkan pada kaum Bu Lim.   "Telah belasan tahun kita bertanding untuk memperoleh Kotak Pusaka ini, Namun selama itu kita bertiga selalu bertanding seri,"   Ujar Tang Hai Lo Mo "Itu berarti kita telah membuang waktu dengan sia-sia!"   "Tang Hai Lo Mo!"   Sahut Thian Mo.   "Kita bertiga membunuh Hui Kiam Bu Tek dan isterinya, untuk memperoleh Kotak Pusaka ini. Tentunya kita bertiga harus bertanding pula, siapa yang menang, dialah yang berhak memperoleh Kotak Pusaka ini."   "Tidak salah"   Sambung Te Mo dengan suara parau.   "Kita harus terus bertanding hingga ada yang menang!"   "Kalau begitu, selamanya tiada seorang pun diantara kita yang akan memperoleh Kotak Pusaka ini"   Ujar Tang Hai Lo Mo sambil menggeleng-geleng kepala.   "Kenapa?"   Tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.   "Karena kepandaian kita seimbang, maka selamanya kita bertiga pasti bertanding seri"   Jawab Tang Hai Lo Mo dan menambahkan.   "Kita bertiga beruntung telah memperoleh Kotak Pusaka peninggalan Pak Kek Siang Ong yang berisi kitab ilmu silatnya, tapi kita justru telah membuang-buang waktu belasan tahun."   "Ha ha ha!"   Thian Mo tertawa gelak.   "Pada waktu itu kita turun tangan duluan. Kalau tidak, It Ceng dan Ji Khie pasti menghalangi kita."   "It Ceng dan Ji Khie!"   Dengus Tang Hai Lo Mo dingin.   "Kita bertiga pasti dapat mengalahkan mereka."   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Benar."   Te Mo tertawa gelak.   "Tapi...."   Thian Mo menggeleng-gelengkan kepala.   "Kalau kita terus bertanding dan selalu seri, siapa diantara kita yang akan mempelajari ilmu silat peninggalan Pak Kek Siang Ong?"   Tang Hai Lo Mo manggut-manggut.   "Itulah yang kupikirkan dalam beberapa hari ini."   "Tang Hai Lo Mo! Bagaimana menurut pendapatmu setelah berpikir sekian lama?"   Tanya Thian Mo.   "Kita bertiga disebut Bu Lim Sam Mo, karena kita memiliki sifat yang sama. Oleh karena itu, alangkah baiknya....."   Tang Hai Lo Mo tidak melanjutkan, melainkan memandang Thian Mo dan Te Mo.   "Engkau punya usul?"   Tanya Thian Mo dan Te Mo serentak.   "Ya."   Tang Hai Lo Mo mengangguk.   "Kalau usulmu saling menguntungkan, tentu kami setuju,"   Ujar Thian Mo sungguh-sungguh.   "Menurut pendapatku, alangkah baiknya kita bersatu mempelajari ilmu silat itu. Jadi kita tidak usah menyia-nyiakan waktu lagi."   Tang Hai Lo Mo menatap mereka tajam. Thian Mo dan Te Mo saling memandang. Kelihatannya mereka berdua sedang memikirkan usul tersebut. Setelah itu barulah mereka mengangguk.   "Usul itu memang tepat, maka kami setuju,"   Ujar Thian Mo.   "Bagus."   Tang Hai Lo Mo tertawa gembira.   "Setelah kita bertiga berhasil mempelajari ilmu silat itu, kita bertiga pun harus tetap bergabung." "Betul."   Te Mo tertawa gelak.   "Pada waktu itu, Bu Lim Sam Mo sudah pasti diatas It Ceng dan Ji Khie."   "Tidak salah."   Te Mo tertawa terkekeh-kekeh.   "Kita pasti dapat menguasai rimba persilatan. Setelah kita merobohkan It Ceng dan Ji Khie, tujuh partai besar dalam rimba persilatan pun harus menuruti perintah kita. Partai mana yang berani membangkang, harus kita basmi."   "Itulah tujuanku, dan kini telah menjadi tujuan kita bersama."   Tang Hai Lo Mo tertawa keras, sehingga badannya bergoyang-goyang."Oleh karena itu, setelah berhasil mempelajari ilmu silat peninggalkan Pak Kek Siang Ong, kita harus mendirikan Sam Mo Kauw (Agama Tiga lblis).   Kita undang semua golongan hitam dan golongan sesat untuk bergabung, agar Sam Mo Kauw bertambah kuat.   Kalian berdua setuju?"   "Setuju"   Sahut Thian Mo dan Te Mo serentak sambil tertawa gembira.   "Nah! Sekarang mari kita buka Kotak Pusaka itu!"   Ujar Tang Hai Lo Mo. Thian Mo dan Te Mo segera mendekati Kotak Pusaka, tapi Tang Hai Lo Mo justru mencegah mereka.   "Jangan mendekati Kotak Pusaka itu!"   "Kenapa?"   Thian Mo dan Te Mo heran.   "Kita harus menjaga segala sesuatu!"   Tang Hai Lo Mo memberitahukan.   "Lebih baik kita buka dari jarak jauh"   "Betul."   Thian Mo dan Te Mo mengangguk. Mereka berdua segera melangkah ke belakang lalu duduk kembali.   "Kita menggunakan tenaga dalam membuka Kotak Pusaka itu, namun harus hati-hati,"   Pesan Tang Hai Lo Mo.   "Jangan sampai merusak kitab yang ada di dalamnya."   Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut. Mereka bertiga lalu menghimpun Iweekang masingmasing.   "Mulai!"   Seru Tang Hai Lo Mo.   Seketika juga telapak tangan mereka di arahkan ke Kotak Pusaka yang berada di atas meja, dan terdengarlah suara pletak.   Kotak Pusaka itu terbuka, dan sama sekali tidak ada senjata rahasia yang menyambar keluar.   Bu Lim Sam Mo menarik nafas lega, lalu bangkit berdiri sambil memandang ke dalam Kotak Pusaka itu.   Ternyata, Kotak Pusaka itu berisi tiga buah kitab.   Mereka bertiga segera melangkah maju, kemudian mengambil kitab-kitab tersebut.   "Pak Kek Sin Kang !"   Seru Tang Hai Lo Mo lalu tertawa gelak.   "Pak Kek Ciang Hoat !"   Thian Mo memberitahukan dengan wajah berseri-seri.   "Pak Kek Kiam Hoat !"   Seru Te Mo lalu tertawa girang.   "Pertama-tama, kita bertiga harus mempelajari Pak Kek Sin Kang."   Ujar Tang Hai Lo Mo sungguh-sungguh.   "Setelah itu, barulah kita mempelajari ilmu pukulan dan ilmu pedang."   "Benar."   Thian Mo dan Te Mo manggut-manggut.   "Luar biasa!"   Seru Tang Hai Lo Mo setelah membaca sejenak kitab yang di tangannya.   "Pak Kek Sin Kang mengandung hawa dingin, bisa memukul mati orang sekali pukul sampai beku !".   "Ha ha ha!"   Thian Mo tertawa terbahak-bahak.   "Kita bertiga pasti dapat merobohkan It Ceng dan Ji Khie dengan ilmu Pak Kek Sin Kang."   "Benar."   Tang Hai Lo Mo dan Te Mo juga tertawa gelak.   Lam Hai Sin Ceng duduk bersila di atas sebuah batu besar.   Berselang beberapa saat, berkelebat dua sosok bayangan ke hadapannya.   Siapakah dua sosok bayangan itu? Mereka ternyata Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng.   "Huaha ha ha!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.   "Hei! Padri keparat! Kenapa engkau mengundang kami berdua ke mari? Apakah engkau mau mengajak kami berunding?"   "Omitohud!"   Lam Hai Sin Ceng tersenyum.   "Pengemis tua, sifatmu masih belum berubah!"   "Sifatku memang begini, bagaimana mungkin berubah?"   Sahut Sam Gan Sin Kay dan tertawa gelak lagi.   "Padri tua! Ada urusan apa engkau mengundang kami berdua ke mari?"   Tanya Kim Siauw Suseng.   "Sastrawan awet muda!"   Sahut Lam Hai Sin Ceng.   "Tentunya ada sesuatu yang teramat penting."   "Padri tua!"   Kim Siauw Suseng menatapnya tajam.   "Bukankah engkau telah bersumpah tidak mau mencampuri urusan apa pun lagi? Kok sekarang malah bilang ada sesuatu yang teramat penting?"   "Omitohud!"   Lam Hai Sin Ceng menghela nafas.   "Kaum pertapa kalau tahu sesuatu yang menyangkut keselamatan umat manusia, namun tidak mau memberitahukan, itu adalah dosa!"   "Padri keparat! Apakah engkau mengetahui sesuatu yang menyangkut keselamatan rimba persilatan?"   Tanya Sam Gan Sin Kay sambil menatapnya.   "Omitohud! Itu hanya merupakan suatu firasat belaka."   Jawab Lam Hai Sin Ceng "Tapi.. sepertinya akan terjadi."   "Padri tua!"   Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.   "Engkau berfirasat apa?"   "Aku harap dalam tiga tahun ini kalian berdua harus memperdalam kepandaian masing-masing."   Jawab Lam Hai Sin Ceng. Sam Gan Sin Kay terbelalak.   "Apakah agar kita bertiga bisa bertanding?"   "Bukan."   Lam Hai Sin Ceng menggelengkan kepala "Aku menghendaki kalian berdua memperdalam kepandaian masing-masing, karena kemungkinan besar tiga tahun kemudian kalian berdua harus menghadapi Sam Mo."   "Apa?"   Sam Gan Sin Kay tampak terkejut.   "Tiga tahun kemudian aku dan Kim Siauw Suseng harus menghadapi Sam Mo?"   "Ya."   Lam Hai Sin Ceng mengangguk.   "Aku berfirasat, tiga atau empat tahun lagi Sam Mo akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, jadi kalian berdua harus menghadapinya."   "Hei! Padri keparat!"   Sam Gan Sin Kay melotot.   "Kami berdua menghadapi Sam Mo, lalu engkau cuma menonton saja ?"   "Omitohud! Aku sudah tidak mau mencampuri urusan persilatan lagi."   Lam Hai Sin Ceng menghela nafas. "Padri! Kenapa kami berdua harus memperdalam kepandaian kami?"   Tanya Kim Siauw Suseng mendadak.   "Karena...."   Lam Hai Sin Ceng menghela nafas lagi.   "Saat itu kalian berdua jika tidak memperdalam kepandaian kalian masing-masing, sudah pasti bukan lawan mereka."   Sam Gan Sin Kay dan Kim Siauw Suseng saling memandang, kemudian Sam Gan Sin Kay berkata.   "Sudah belasan tahun Sam Mo tiada kabar beritanya, belum tentu mereka bisa mengalahkan kita?"   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Karena mereka bertiga telah berhasil mempelajari ilmu silat yang ada di dalam Kotak Pusaka itu"   Ujar Lam Hai Sin Ceng.   "Kalau begitu...."   Kim Siauw Suseng mengerutkan kening.   "Semua itu telah merupakan takdir, namun kalian berdua tetap harus berusaha memperdalam kepandaian yang kalian miliki, agar masih dapat bertahan bahkan harus pula mencari kesempatan untuk kabur. Kalau tidak, kalian berdua pasti akan mati di tangan mereka."   "Padri keparat!"   Sam Gan Sin Kay tertawa gelak.   "Tidak apa aku mati ditangan mereka, asal tidak jadi seorang pengecut saja !"   Sindirnya "Omitohud!"   Lam Hai Sin Ceng tersenyum.   "Aku bukannya ingin jadi pengecut, melainkan percuma juga keberadaanku diantara kalian, sebab aku tidak bisa berbuat apa-apa. Namun berdasarkan firasat dan ramalan di saat kalian berdua dalam bahaya, pasti akan muncul dewa penolong."   "Muncul dewa penolong?"   Kim Siauw Suseng melongo.   "Tentunya penolong itu berkepandaian lebih tinggi dari Sam Mo!"   "Penolong itu masih mampu melawan Sam Mo."   Sahut Lam Hai Sin Ceng.   "Padri keparat!"   Sam Gan Sin Kay menatapnya.   "Engkau jangan ngawur! Dalam rimba persilatan sekarang ini, kepandaian siapa yang lebih tinggi dari kita bertiga?"   "Untuk sekarang ini memang tidak ada, tapi kelak akan muncul seseorang yang berkepandaian lebih tinggi dari kita."   Sahut Lam Hai Sin Ceng.   "Eeeh!"   Tiba-tiba Kim Siauw Suseng teringat sesuatu.   "Apakah dia?"   Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, keduanya saling menatap sambil tersenyum.   "Kalian berdua harus mencari suatu tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kalian, jangan melalaikan itu!"   Pesan Lam Hai Sin Ceng, kemudian mendadak melesat pergi.   "Padri keparat!"   Seru Sam Gan Sin Kay. Namun Lam Hai Sin Ceng sudah tidak kelihatan lagi. Pengemis sakti itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu memandang Kim Siauw Suseng.   "Sastrawan sialan! Kita harus bagaimana?"   "Aku yakin firasat padri tua itu tidak akan meleset, maka alangkah baiknya kita mencari tempat yang sepi untuk memperdalam kepandaian kita."   "Sastrawan sialan!"   Sam Gan Sin Kay tertawa.   "Bagaimana kalau kita ke markas pusat Kay Pang?"   "Bukankah akan merepotkan putramu?"   "Tidak menjadi masalah."   Sam Gan Sin Kay tertawa terbahak.   "Aku berani menjamin engkau pasti akan betah di sana." "Kalau begitu..."   Kim Siauw Suseng berpikir sejenak, kemudian mengangguk.   "Baiklah."   Bu Lim Ji Khie itu lalu melesat pergi menuju markas Kay Pang.   Selama puluhan tahun, mereka berdua bagaikan kucing dan anjing.   Kalau mereka bertemu pasti bertanding dan saling mencaci.   Akan tetapi, kali ini mereka berdua tampak begitu akrab.   Lim Peng Hang, si Tongkat Maut, ketua Kay Pang terbelalak menyambut kedatangan Sam Gan Sin Kay bersama Kim Siauw Suseng.   Biasanya mereka berdua pasti saling mencaci, namun kali ini keduanya malah muncul di markas Kay Pang sambil tertawatawa.   Hal itu tentunya sangat mencengangkan Lim Peng Hang.   "Ayah, Cianpwee!"   Panggil ketua Kay Pang.   "Lim Pangcu (Ketua Lim)!"   Kim Siauw Suseng tertawa gelak.   "Aku datang untuk makan dan tidur selama beberapa tahun. Apakah engkau tidak berkeberatan?"   "Tentu tidak,"   Sahut Lim Peng Hang sambil tersenyum.   "Sebaliknya aku malah merasa senang sekali."   "Bukankah engkau akan bersungut-sungut dalam hati?"   Ujar Kim Siauw Suseng sambil tertawa gelak.   "Sama sekali tidak, Cianpwee,"   Sahut Lim Peng Hang sungguh-sungguh.   "Bagus!"   Kim Siauw Suseng manggut-manggut.   "Silahkan duduk, Cianpwee!"   Ucap Lim Peng Hang.   "Peng Hang, cepat suruh seseorang menyediakan arak yang paling bagus!"   Ujar Sam Gan Sin Kay. Lim Peng Hang segera menyuruh seseorang untuk mengambil arak istimewa, lalu duduk dengan wajah penuh keheranan.   "Peng Hang!"   Sam Gan Sin Kay tertawa.   "Engkau merasa heran kenapa aku pulang bersama Kim Siauw Suseng kan?"   "Ya, Ayah."   Lim Peng Hang mengangguk.   "Kami berdua telah menemui Lam Hai Sin Ceng..."   Ujar Sam Gan Sin Kay memberitahukan tentang itu. Lim Peng Hang mengerutkan kening.   "Sin Ceng itu berfirasat bahwa Sam Mo akan muncul dalam rimba persilatan kelak?"   Kim Siauw Suseng mengangguk.   "Oleh karena itu, aku dan ayahmu harus memperdalam kepandaian masing-masing."   "Pengemis bau, kapan kita akan mulai memperdalam kepandaian kita?"   Tanya Kim Siauw Suseng serius.   "Mulai besok."   Sahut Sam Gan Sin Kay.   "Bagaimana?"   "Baik."Kim Siauw Suseng mengangguk.   "Besok kita harus mulai...."   Bagian 7 Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.   "Yok Ong! Yok Ong!"   Serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan.   Pintu gubuk itu terbuka.   Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh kegusaran.   "Hei! Gadis tak tahu diri! Kenapa engkau berteriak-teriak di depan gubukku?"   Bentaknya.   "Aku ingin menemui Sok Beng Yok Ong,"   Sahut Pek Ih Mo Li.   "Akulah Sok Beng Yok Ong!"   Orang tua itu melirik Tio Cie Hiong yang tergeletak di tanah.   "Ayoh, cepat pergi! Jangan menggangguku!"   "Yok Ong, tolonglah dia!"   Pek Ih Mo Li menunjuk Tio Cie Hiong.   "Dia terkena pukulan Ngo Tok Ciang."   "Ada urusan apa denganku?"   Dengus Sok Beng Yok Ong.   "Ayoh, cepat bawa dia pergi!"   "Yok Ong, tolong obati dia! Kalau tidak, dia akan mati,"   Ujar Pek Ih Mo Li memohon.   "Apakah dia adikmu?"   "Bukan."   "Familimu?"   "Juga bukan."   "Kalau begitu...."   Sok Beng Yok Ong tertawa.   "Kenapa kau bawa dia ke mari! Jangan-Jangan dia kekasihmu!"   "Yok Ong!"   Wajah Pek Ih Mo Li langsung berubah dingin.   "Jangan omong sembarangan!"   "He he he!"   Sok Beng Yok Ong tertawa terkekeh.   "Kalau dia bukan kekasihmu, kenapa engkau mau capek-capek membawa ke mari?"   "Aku kasihan padanya, maka kubawa dia ke mari,"   Sahut Pek Ih Mo Li.   "Yok Ong, tolonglah dia!"   "Adik bukan, famili bukan dan kekasih pun bukan! Sudahlahl Biar dia mati saja! Lagi pula aku pun tidak punya waktu untuk menolongnya!"   Ujar Sok Beng Yok Ong sambil membalikkan badannya.   "Yok Ong!"   Bentak Pek Ih Mo Li sambil melesat ke hadapannya.   "Mau tidak menolongnya?"   "Tidak ada urusan denganku!"   Sahut Sok Beng Yok Ong sambil tersenyum dingin.   Kesatria Baju Putih Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Yok Ong, aku Pek Ih Mo Li. Kalau engkau tidak mau menolongnya...."   Pek Ih Mo Li mulai menghunus pedangnya.   "Yok Ong...."   Mendadak Pek Ih Mo Li menghela nafas, kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sok Beng Yok Ong."Aku mohon, tolonglah dia!"   "Pek Ih Mo Li, engkau tiada hubungan apa-apa dengannya, kenapa engkau mau berlutut di hadapanku bermohon agar aku bersedia menolongnya?"   Tanya Sok Beng Yok Ong.   "Yok Ong! Entah apa sebabnya aku merasa sangat kasihan kepadanya, dan merasa tidak tega menyaksikan kematiannya,"   Sahut Pek lh Mo Li dan melanjutkan.   "Yok Ong, tolonglah dia!"   "Baik!"   Sok Beng Yok Ong manggut-manggut.   "Tapi engkau harus memenuhi satu syaratku!"   "Apa syarat itu?"   Pek Ih Mo Li yang menggendong Tio Cie Hiong telah tiba di lembah Persik di Gunung Wu San.   "Yok Ong! Yok Ong!"   Serunya di depan gubuk Sok Beng Yok Ong, lalu menaruh Tio Cie Hiong yang masih dalam keadaan pingsan. Pintu gubuk itu terbuka. Tampak seorang tua berusia tujuh puluhan berjalan ke luar dengan wajah penuh kegusaran.    Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Patung Emas Karya Qing Hong

Cari Blog Ini