Bukit Pemakan Manusia 1
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 1
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Bukit Pemakan Manusia Karya : Khu Lung Saduran : Tjan ID Jilid 1 BAB KESATU Bukit ini merupakan salah satu antara "Sip ban-toa-san" Sepuluh laksa buah bukit yang ada di daratan Tionggoan. Konon bukit ini jauh lebih berbahaya dan lebih tinggi serta lebih curam jika dibandingkan dengan bukit Kau-leu-san yang merupakan puncak paling berbahaya diantara Sip-ban-toa san, tapi berita ini susah untuk dibuktikan. Masalahnya sukar dibuktikan adalah belum pernah ada orang yang bisa mencapai puncak bukit itu. Bukit ini tidak bernama tapi penduduk disekitarnya memberikan suatu nama yang mengerikan sekali bahkan turun temurun melarang anak cucunya untuk mendekati bukit itu. Bukit tersebut mereka namakan ....Bukit pemakan manusia ! Bukit bisa makan manusia ? kedengarannya memang agak janggal. Tapi kenyataannya bukit pemakan manusia ini benar-benar bisa makan manusia, tidak percaya ? Terserah ! Konon pada dua puluh tahun belakangan ini, sudah ada beratusratus orang dalam dunia persilatan yang tidak percaya dengan tahayul atau mereka yang tidak puas dengan cerita burung atau mereka yang tidak merasa ilmu silatnya sudah "top" Berbondong- bondong mendatangi bukit ini. Tapi kenyataannya, beratus-ratus orang jago persilatan itu ibaratnya "batu yang kecemplung ditengah samudra" Begitu masuk kedalam bukit itu jejaknya lantas lenyap tak berbekas bahkan mayat merekapun tak pernah berhasil ditemukan. Itulah sebabnya nama bukit pemakan manusia kian lama kian bertambah termashur di kolong langit. Selain pemakan manusia kebaikan apakah yang dimiliki bukit pemakam manusia itu ? Ada ! Disana terdapat tiga jenis benda yang langka sekali. Pertama adalah pasir emas yang berada dibawah jurang, kedua adalah semacam buah aneh dan ketiga adalah sejenis rotan yang berbentuk sangat aneh pula. Buah aneh tersebut mempunyai manfaat bisa menambah kekuatan kelelakian seseorang tentu saja benda itu merupakan bahan yang tak boleh ketinggalan untuk membuat obat kuat penambah birahi nilainya tak terhitung oleh jari tangan, apalagi setelah dikeringkan harganya bisa mencapai ribuan tahil emas murni ? Ya. dimaksudkan Rotan aneh adalah sejenis tumbuh-tumbuhan yang amat beracun bila dibakar akan menerbitkan asap merah yang tebal, siapa saja yang mengendus bau tersebut segera akan roboh tak sadarkan diri, racun ini jauh lebih hebat dari pada bahan racun apapun yang dimiliki para jago Liok-lim. Bukan begitu saja rotan aneh ini masih memiliki manpaat serta kegunaan lainnya lagi. Sedangkan kegunaan dari pasir emas sudah barang tentu diketahui setiap orang siapa yang tidak hijau matanya melihat pasir menggunung yang ternyata terdiri dari emas murni. Justru karena didalam bukit pemakan manusia terdapat tiga macam mustika yang amat merangsang keinginan orang maka walaupun amat berbahaya dan tak pernah ada yang pulang dengan selamat, orang persilatan masih saja berusaha untuk menyelundup masuk. Hingga tiga tahun berselang dapat terbukti dengan jelas bahwa memang tak ada manusia yang bisa pulang dengan selamat dari bukit tersebut, semenjak itulah rasa ingin tahu orang-orang persilatan mulai dapat dicegah. Hari ini ketika lewat tengah hari tiba2 diatas jalanan menuju kearah bukit pemakan manusia muncul seorang penunggang kuda, tampaknya orang inipun seorang dunia persilatan yang tidak percaya dengan keangkeran bukit tersebut. Kuda tunggangan orang itu amat kurus dan amat mengenaskan sekali, bulu-bulunya yang semula indah sekarang sudah menggumpal disana sini bahkan susah untuk membedakan warna apakah kuda itu. Dari sini bisa diketahui kalau kuda itu sudah lama tak pernah dimandikan. Keempat buah kakinya kasar dan bengkak dengan bulu yang kotor, begitu kurus kuda tersebut sehingga ibaratnya kulit pembungkus tulang... Ketika melihat kearah penunggangnya ternyata jauh lebih mengenaskan lagi ketimbang kuda tersebut. Jubah panjang yang dikenakan itu sudah kotor dengan debu, sebenarnya baju itu berwarna biru muda tapi lantaran terlalu sering terhembus angin dan tertimpa hujan warna dasarnya sudak luntur sehingga tinggal sejenis warna yang sukar dilukiskan dengan kata2. Ikat pinggangnya tidak terbuat dari kain melainkan berupa suatu tali yang aneh sekali bentuknya, sepasang sepatunya mana dekil sol sepatunya sudah robek lagi, sepantasnya kalau masuk ke tong sampah ! Kaos kaki warna putih itu sudah berwarna abu2 rambut kusut dan kotor, pokoknya keadaan orang itu mengenaskan sekali. Dia umur 20 tahun mukanya tampak segar merah dadu dan tidak tampak berpenyakitan. Pemuda itu tampaknya memang sangat aneh padahal ia tidak mirip dengan seorang jago persilatan kalau dibilang sesungguhnya maka dia lebih mirip dengan seorang sasrawan rudin yang sedang melakukan perjalanan jauh. Kalau bukan orang persilatan mau apa dia jauh-jauh datang ke bukit pemakam manusia yang berbahaya itu ? Apakah dia sudah bosan hidup ? Atau ingin menghantar jalan kematiannya sendiri ? Jawabnya belum ada yang tahu ! Akhirnya kuda kurus itu semakin mendekati mulut masuk bukit pemakam manusia itu. Pada saat itulah dari sakunya pemuda itu mengeluarkan sebuah peta dan dibentangkan diatas kuda smbil meneliti peta tersebut ia sering mendongakan kepalanya untuk mencocokan dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Akhirnya pemuda itu manggut2 gumamnya. "Peta ini cukup jelas dan cermat tak salah lagi sudah pasti bukit ini...!" Didengar dari gumaman ini rupanya dia memang sengaja hendak berkunjung ke bukit itu. Kemudian sambil menyimpan kembali peta tersebut kedalam sakunya, ia bergumam lagi. "Menurut perhitungan, aku sudah dua hari lebih cepat dalam perjalanan, bila kulewati bukit ini maka perjalanan akan kupersingkat dengan tiga hari lagi, itu berarti dengan sisa kelebihan sebanyak lima hari, mungkin lebih banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan!" Dari kata-kata ini, jelaslah mengapa pemuda itu melewati bukit pemakan manusia. Ternyata dia lewat dibukit tersebut karena ingin memotong jalan dan mempersingkat waktu perjalanannya, karena ada urusan penting maka sepanjang jalan ia membedal terus kudanya dan sekarang ingin mempersingkat waktu dengan dua hari. Tak heran kalau pemuda itu meski bukan seorang jago persilatan ternyata berani masuk ke bukit pemakan manusia Dalam waktu singkat, pemuda itu sudah menembusi tanah perbukitan yang terjadi dengan pepohonan serta batu karang yang berserakan di mana-mana. Tak lama kemudian sampailah pemuda itu didepan sebuah batu peringatan yang sangat besar. Diatas batu peringatan itu tertera beberapa huruf yang amat jelas sekali. Pemuda itu mendekatinya dan membaca tulisan itu. "Batu perigatan ini terletak setengah li dari mulut bukit, mulai dari sini bila masuk kedalam itu berarti anda telah memasuki wilayah tanah perbukitan kami, waktu itu ingin mengundurkan diri lagi akan sulit." "Jalan kecil disebelah kanan tugu ini menghubungkan tempat ini dengan jurang mestika yg menghasilkan pasir emas, sepuluh li dari sini jurang iiu dinamakan jurang pemikat manusia artinya emas murni dapat memikat manusia. "Sebelah kiri jalan menghubungkan tempat penghasil buah khiko disana terdapat kebun buah yang penuh dengan pohon buah terserah anda akan memetik berapa banyak buah yang tumbuh disana tapi hati-hati dijalan." "Jalan lurus kedepan merupakan jalan menanjak keatas bukit, tempat ini jarang dilewati orang karena semak yang lebat dan tanah yang gersang, jalan ini bisa menembusi sampai tempat penghasil rotan aneh ingat ! Jangan menimbulkan kebakaran bisa keracunan ! "Diatas bukit ini hidup pula sekelompok monyet sakti dihari hari biasa mereka jarang berkeliaran tapi berkekuatan dahsyat dapat merobek tubuh manusia dan binatang berhati hatilah bila bertemu !" Membaca sampai disitu pemuda itu berhenti sejenak dan bergumam. "Aku hanya bermaksud menembusi bukit ini untuk menyingkat jalan itu berarti jalan tengahlah yang harus kupilih !" Setelah bergumam pemuda itupun membaca lebih jauh. "Teman teman sekalian pada saat ini lohu hendak memperingatkan kepada kalian, setiap benda yang ada dan tumbuh diatas bukit ini bukanlah benda2 yang tak bertuan." "Bukit ini milik lohu, semua benda dan tumbuhan yang dihasilkan diatas bukit ini tentu saja jadi milik lohu, karena itu lohu mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi bukit ini !" "Itulah sebabnya lohu tak akan membiarkan harapan kalian tercapai, ku peringatkan kepada kalian lebih baik pulang saja, putarlah badanmu dan turunlah dari bukit ini. "Kalau tidak entah kalian jalan ke kiri atau kekanan akan langsung naik keatas bukit, bila berani melewati sepuluh kaki dari tugu ini maka kalian akan mampus. karena sudah melangkah masuk kedaerah terlarang lohu. "Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki daerah terlarang ini, entah dia laki laki atau perempuan, tidak perduli apa alasannya, lohu akan menghukum mati dirinya tanpa ampun sehinggu mayatnya tak berwujud. "Pulanglah, sekarang masih belum terlambat, kalian harus berpikir yang tenang, bila sampai mati disini, ayah ibu, anak istrimu yang ada dirumah tentu akan merasa sedih sekali pulanglah !" Selesai membaca batu peringatan itu pemuda tersebut berdiri tertegun dan termangu-mangu seperti orang bodoh. Ia berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepalanya berulang kali. "Tidak dapat diterima! sama sekali tak dapat diterima ! sekalipun bukit ini menjadi milik mu, meski semua benda disini milikmu kau juga tidak berhak untuk menghukum mati orang-orang yang datang mencuri barang milikmu." "Apalagi masih ada banyak diantara mereka yang tidak berniat untuk-mengincar pasir emas buah hi ko dan rotan aneh seperti aku ini, apakah perbuatanku ini juga ter masuk melanggar hukum ?" "Dikolong langit tak ada manusia yang tak tahu aturan seperti kau tidak bisa diterima ! sekarang aku lagi ada urusan penting yang harus tiba ditempat tujuan sebelum waktunya, aku bertekad akan memotong jalan melewati bukit ini !" Sehabis berkata tanpa ragu-ragu lagi ia melompat naik keatas kudanya dan berjalan melalui jalan tengah bukit. Sepuluh kaki sudah lewat... Baru mencapai kejauhan sepuluh kaki dari batu peringatan tadi disana muncul kembali sebuah batu peringatan yang tingginya satu kaki lebih. Diatas batu peringatan tu tertera beberapa huruf besar yang berwarna merah darah. "Pulanglah, kalau maju kedepan lagi akan mampus !" Sekali lagi pemuda itu tertegun, kemudian gelengkan kepalanya, menghela napas dan menuntun kudanya untuk meneruskan perjalanan Mendadak ia berhenti sejenak, kemudian mendongakkan kepalanya bergumam. "Betul, diatas batu peringatan, barang siapa berani maju kedepan akan mati, tapi tidak mungkin bagiku untuk berbalik lagi, semuanya sudah terlambat, kalau urusan sampai terbengkalai aku sendiripun tak bisa hidup." "Apalagi kehidupanku di dalam dunia ini masih panjang, kalau bertemu denggan mara bahaya lantas mundur, apa pula yang bisa kulakukan lagi ?" "Bagaimana mungkin aku bisa hidup tegak diantara kehidupan manusia yang penuh dengan duri dan rintangan?" Berbicara sampai disini, dia lantas menarik kudanya dan melanjutkan kembali perjalanan naik keatas bukit. Kali ini dia melewati batu peringatan bertulis huruf merah itu tanpa berpaling lagi, dengan dada dibusungkan dia maju kedepan. - ooo0dw0ooo- ANGIN kencang tiba tiba menghembus lewat, daun dan pasir beterbangan diangkasa mendadak cuaca yang semula berubah menjadi mendung gelap. Angin yang menghembus makin kencang membawa udara yang amat dingin sekali, pemuda itu agak menggigil lalu mendongakkan kepalanya melihat cuaca, melihat awan gelap di udara serunya kembali: Apalagi dalam keadaan seperti ini, selain ada urusan besar yang segera harus diselesaikan, apalagi sedang berada diatas tanah perbukitan yang curam dan berbahaya sungguh membuat orang terasa jemu. Pemuda itu mengerutkan dahinya, kemudian melanjutkan perjalanan dengan cepat. Rambut, alis mata dan wajahnya sudah basah oleh butiran air hujan. selain bajunya basah kuyup seperti baru tercebur ke dalam kolam semakin mengenaskan lagi. Dalam waktu singkat inilah cuaca berubah menjadi gelap gulita. Dalam kegelapan seperti ini susah bagi pemuda itu untuk melihat benda yang berada Iima kaki yang di hadapannya, tapi sambil membusungkan dadanya pemuda itu melanjutkan terus perjalanannya. Angin dan air hujan telah membuat badannya menggigil tapi pemuda itu tetap meneruskan perjalanannya selangkah demi selangkah menelusuri jalan setapak yang licin. Hujan makin lama semakin deras, seolah olah ditumpahkan dari atas langit, pemuda itu mulai kedinginan badannya menggigil keras dia menengok kesana kemari berusaha menemukan tempat yang bisa dipakai untuk berteduh dari timpaan air hujan. Tapi disana hanya ada tanah berbatu yang gersang, pada hakekatnya sulit untuk menemukan yang bisa untuk berteduh. Untunglah Thian masih maha pengasih, dalam keadaan basah kuyup dan kedinginan itu dia menemukan sebuah cahaya lampu bersinar dari balik bebatuan disebelah kanan jalan. Cahaya lentera itu banyak, ketika di hitung secara diam-diam ternyata jumlahnya mencapai puluhan buah lebih, sekalipun pemuda itu merasa keheranan dengan cahaya lentera itu, tapi waktu itu tiada pilihan lain baginya. Ada cahaya lampu berarti ada rumah penduduk ia lalu menuntun kudanya kesana. Tak lama kemudian, sampailah pemuda itu di bawah lampu lentera yang pertama. Ia mendongakkan kepalanya memandang lentera yang digantungkan tinggi diatas tiang itu, wajahnya tampak berseri. Ternyata lampu lentera itu semuanya berjumlah tiga puluh enam buah, jarak antara lentera yang satu dengan lainnya kira kira mencapai tiga kaki lebih, oleh karena digantukan pada tiang yang sangat tinggi maka sinar lampunya sudah dapat terlihat dari kejauhan sana. Dengan lentera2 tersebut, sekalipun seorang yang sedang berjalan ditengah hujan deras, atau hujan salju atau kabut tebal, berjalan kakipun bisa melihat jelas jalan gunung itu dan tak sampai terjerumus kedalam jurang. Meminjam cahaya lentera itu, lama-lama pemuda itu menjumpai pintu gerbang sebuah perkampungan nan jauk disebelah sana, sekarang dia baru mengerti, rupanya deretan lentera itu sengaja diatur oleh pemilik perkampungan itu sebagai penerangan jalan. Tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya dan mendekati perkampungan tersebut. Ketika tiba dipintu ia malah menjadi sangsi, ternyata suasana dalam perkampungan itu justru gelap gulita tak tampak setitik cahaya lenterapun, apalagi sesosok bayangan manusia, sebaliknya pintu gerbang terbuka lebar-lebar. Sekalipun demikian pemuda itu enggan untuk melangkah masuk kedalam, bukankah masuk kerumah orang tanpa permisi adalah sesuatu perbuatan yang tak sopan. Waktu ini hujan turun semakin deras, udara terasa dinginnya bukan kepalang, setelah berpikir sebentar, dia lantas berteriak keras. "Ada orangkah disini ?" Tiada jawaban ! tak terdengar ada sahutan... Butiran air hujan menetes dari rambutnya melewati tengkuk dan membasahi punggung, sekujur tubuh pemuda itu kembali mengigil sepasang giginya saling bergemerutukan. Ia sudah tak sanggup untuk menahan rasa dingin dan lapar yang menyerang tubuhnya, kemudian mengintip kedalam ternyata disebelah kiri pintu gerbang bangunan tersebut terdapat pula tiga buah rumah batu. Rupanya ruangan batu itu khusus digunakan untuk menampung orang kebetulan lewat disana, tanpa ragu lagi pemuda itu menuntun kudanya dan menambatnya didepan rumah. Baru saja akan melangkah masuk dalam ruangan satu ingatan kembali melintas dalam benakaya ia lantas berteriak. "Ada orangkah disana ? dia ada orang dalam rumah ini ?" Belum juga terdengar suara jawaban. Maka dia berteriak lebih jauh. "Aku yang muda kemalaman dijalan, apa lagi ketimpa hujan yang begini derasnya, badanku sudah penat dan lelah maaf kalau terpaksa aku yang muda akan masuk sendiri ke dalam rumah !" Pemuda itu memang seorang yang sopan, sekalipun berada dalam keadaan yang demikian sebelum masuk kerumah orang dia tak lupa untuk memberitahukan dulu maksud kedatangannya, dari sini bisa diketahui bagaimanakah wataknya dihari-hari biasa. Demikianlah, setelah berteriak diapun mendorong pintu dan melangkah masuk kedalam rumah batu itu. Suasana didalam rumah batu itu gelap gulita, setelah meraba kesana kemari sekian lama nya ia baru berhasil menemukan batu api dan membuat api. Berkat cahaya api redup pemuda berhasil menemukan sebuah lilin di meja ketika lilin itu telah disulut maka suasana dalam ruangan itu baru kelihatan jelas. Pelbagai benda terdapat didalam ruangan itu disudut ruangan malah terdapat setumpuk kayu kering cuma baik itu ranjang atau kursi meja dan lantai semuanya sudah dilapisi dengan debu yang sangat tebal. Ia mengerutkan dahinya lalu lepaskan jubah panjang itu. Dasar masih muda dan kurang pengalaman ternyata pemuda itu sama sekali tidak menaruh curiga dengan tempat sekitarnya. Bayangkan, ditengah tanah yang begitu gelap terpencil dan bahaya tiba2 dijumpai sebuah perkampungan yang begitu besar nan megah apakah hal ini bukan suatu yang pantas dicurigai ? Seandainya dalam perkampungan itu ada penghuninya mungkinkah mereka tidak mendengar dengan teriakan2 tadi ? Tambah pula debu yang begitu tebal dalam ruangan tersebut seharusnya pemuda itu akan bertambah waspada. Tapi pemuda itu rupanya tidak berpikir sampai kesitu, ia mengeluarkan sapu tangannya yang sudah kotor untuk membersihkan dinding dari debu kemudian menggantungkan jubahnya yang basah disana. Baru saja jubah itu digantungkan mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur dengan suara dalam. "Hay bagaimana caramu masuk kemari ?" Sedemikian mendadaknya teguran itu berkumandang saking terperanjatnya seluruh badan pemuda itu, sampai menggigil keras." Menanti dia membalikan badannya, orang itu sudah berseru kembali. "Hey kau bisu ?!" Tak bisa menjawab ?!" Orang itu adalah seorang kakek yang memakai baju tidak terlalu panjang juga tidak terlalu pendek, ditangannya membawa lentera. Dengan sikap yang hormat pemuda itu segera memberi hormat kepada kakek tersebut kemudian katanya. "Harap suka dimaafkan berhubung aku yang muda kehujanan dijalan lagi pula tersesat maka terpaksa aku ingin menumpang semalam ditempat ini...." Belum habis ia berkata, dengan tak sabar kakek itu telah menukas. "Siapa yang menanyakan soal itu kepadamu ? Aku hanya bertanya bagaimana caramu masuk kemari ?!" Sekali lagi pemuda itu memberi hormat sahutnya. "Aku yang muda sudah berteriak beberapa kali didepan pintu gerbang perkampungan ini berhubung tak ada yang menjawab aku sudah kedinginan dan kelaparan maka terpaksa..." Dengan mata mendelik kakek menukas. "Jadi kalau tada jawaban dari tuan rumah kau boleh sembarangan masuk kemari ? Aku mendengar teriakanmu itu kalau tidak ku dengar teriakanmu tadi mau apa hujan2 begini aku datang kemari ? sekalipun kau sudah berteriak berulang kali memangnya aku harus menjawab teriakanmu itu ?" Mengapa kau tidak berpikir untuk memasang lentera pun memakan waktu yang lama? "Sekarang aku sudah keluar juga sudah bertemu denganmu apa yang hendak kau katakan kini ? Hayo cepat utarakan saja maksud mu secara ringkas makin cepat makin baik." "Aku yang muda hanya ingin menumpang satu malam saja di perkampungan ini !" Kata pemuda itu cepat. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Tak bisa" Jawab kake itu sambil menarik muka "cepat kenakan pakaianmu, tuntun kudamu dan keluar dari sini ! Cepat !" Pemuda itu tertegun, lalu sekali lagi ia memberi hormat seraya berkata. "Lotiang, kabulkanlah permohonan aku yang muda ini, hanya semalam saja!" Kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, sahutnya dingin. "Kau tak usah banyak berbicara lagi, hayo pergi, cepat-cepat pergi dari sini !" Pemuda itu kelihatan agak marah, tapi setelah berpikir sebentar sambil menahan hawa amarahnya dia berkata. "Tolong tanya Lotiang, apakah Cengcu perkampungan ini ada ? Aku yang muda ingin menyambanginya..." Pepatah kuno pernah bilang: Raja akhirat gampang diajak berbicara, setan cilik susah di ajak koropromi. Pemuda itu memang cukup cerdik, asal bisa berjumpa dengan pemilik perkampungan ini maka soal menumpang semalam mungkin akan lebih mudah untuk diselesaikan. Siapa tahu Kakek itu segera berseru. "Sudah mampus, Cengcu perkampungan ini sudah mampus !" Sekalipun pemuda itu tahu kalau ucapannya tak jujur, tapi dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia kenakan kembali bajunya yang basah kuyup itu mohon untuk terakhir. "Lotiang, ditengah bukit yang liar semacam ini, apalagi ditengah malam yang sedang hujin, kemana aku harus, pergi ? mana tubuh ku sudah penat sekali, apa salahnya kalau aku yang muda menumpang semalam saja di rumah batu ini ?!!" "Gunung yang gersang ?" Dengus kakek itu. "kalau sudah tahu bukit ini bukit gersang yang miskin, mau apa kau datang kemari ? sudah tahu malam ini hujan deras siapa suruh kan datang kemari di tengah malam yg hujan ?" "Kau mau penat atau tidak apa urusan nya denganku ? Rasakan sendiri kepenatan mu itu ! Sekali lagi kuberitahukan padamu kau tak dapat tinggal dirumah batu ini aku bi sa mengusirmu percaya atau tidak terserah padamu, pokoknya aku sudah memberi tahukan hal ini padamu lebih dulu !" Lama kelamaan pemuda itu naik darah juga, dasar pemuda yang berdarah panas, dia lantas berkata. "Lotiang, aku yang muda akan memohon dengan cara baik-baik, akupun hanya minta semalam saja." "Sudah kukatakan tadi." Tukas si kakek ketus. "kau tak akan boleh menumpang disini, sekalipun kau ulangi perkataanmu itu beberapa ribu kali lagi, jawabanku tetap sama !" "Tapi kalau bersedia tinggal disini selama hidup, bisa saja kita bicarakan lagi !" Pemuda itu tidak berhasil menangkap arti lain dalam perkataan kakek itu, dalam gusar nya tanpa berpikir lagi ia lantas mendengus dan keluar dari rumah batu itu dengan langkah lebar. Hujan semakin deras, terguyur kembali oleh air hujan kemarahan pemuda agak mereda, tiba-tiba ia berhenti didepan pintu gerbang sambil berkata. "Lotiang, benarkah tak bisa dirundingkan lagi!" "Tiada yang bisa dirundingkan lagi !" Bentak kakek itu. Pemuda tersebut segera menghela napas. "Aaaai... langit begini gelap hujan deras, andainya aku terpeleset ditengah jalan dan terjerumus kedalam jurang hingga mati bukankah hal ini... Lotiang apakah..." Sambil mendengus kakek itu kembali menukas. "Aku lebih senang melihat kau mampus diluar dari pada membiarkan kau masuk kedalam perkampungan ini !" Kali ini kemarahan pemuda itu tak bisa dibendung lagi dia berseru pula keras2 "Bagus dengan usia lotiang yang begitu tua, memangnya kau tak punya anak ?" Kakek itu cuma melotot besar tanpa menjawab pelan2 ia mulai menutup pintu gerbang perkampungan tersebut. Pada saat inilah mendadak mendengar seseorang berseru dengan suara nyaring. "Beng Seng, persilahkan kongcu itu masuk ke ruangan untuk minum teh...!" Mendengar teriakan itu meski belum melihat orangnya tapi pemuda itu tahu kalau dalam perkampungan tersebut masih ada orang yang lebih berkuasa dari pada kakek ini, sekulum senyuman segera menghiasi ujung bibirnya. Sedangkan kakek itu segera berubah paras mukanya setelah mendengar ucapan tsb diam2 ia menggertakkan giginya menahan diri. Terdengar suara nyaring tadi kembali berkumadang. "Bawakan kuda milik kongcu itu !" Beng Seng atau sikakek itu segera men-depak2 kan kakinya dengan mendadak serunya kepada pemuda itu dengan lirih . "Sekarang kau boleh bersenang hati, ayo masuk !" Ternyata pemuda itu cukup berhati mulia sikapnya terhadap Beng Seng masih tetap menghormat katanya. "Tak usah merepotkan lotiang biar aku menuntun sendiri kudaku ini. !" "Hmm... tak usah berlagak banyak urusan" Seru Beng Seng mendongkol "selama hidup jangan harap kau bisa nunggang kuda ini lagi !" Seraya berkata dia lantas merampas tali les kuda dari tangan pemuda, kemudian sambil menunjuk kearah bangunan besar didepan sana katanya lagi dengan suara dingin. "ltulah ruang tengah, kau toh punya kaki sendiri, aku segan untuk menghantarmu kesitu !" Selesai berkata, tanpa menutup pintu lagi Beng Seng menuntun kuda kurus milik pemuda itu dan pelan-pelan berjalan menuju kearah sebelah kanan. Tiba-tiba pemuda itu berseru. "Lotiang, harap tunggu sebentar, barang2 milik aku yang muda masih tertinggal diatas kuda !" Dengan cepat Beng Seng menggelengkan kepalanya berulang kali. "Mulai saat ini kau sudah melangkah menuju langit, kuda kurus dan bekal rongsokmu ini jangan bisa kau gunakan lagi, tak usah kuatir Tak bakal hilang...!" "Sambil berguman dia lantas beranjak pergi dan sama sekali tidak menggubris pemuda itu lagi. Sambii menggelengkan kepalanya berulang kali dengan perasaan apa boleh buat pemuda itu berjalan sendiri menuju ke arah bangunan besar tersebut.... Baru saja kakinya melangkah naik ke atas undak-undakan batu, pintu gerbang yang terbuat dari kayu itu pelan-pelan membuka sendiri, menyusul kemudian terdengar ada orang berseru dari dalam. "Silahkan masuk Kongcu !" Suara ucapan kali ini jauh berbeda dengan suara yang telah berkumandang dua kali tadi, jelas ucapan tersebut bukan berasal dari orang yang sama. Pemuda itu melangkah masuk ke dalam ruangan pelan-pelan menutup kembali. Udara dalam ruangan itu hangat dan nyaman, sekali pun perabotnya tidak kelihatan mewah, tapi amat bersih dan tak berdebu. Anehnya ternyata di sana tak tampak sesosok bayangan manusia, suasana amat hening. Pemuda itu mengerutkan dahinya dengan sorot mata heran dia memandang sekeliling tempat itu akhirnya terhenti diatas bangku berpunggung tinggi yang terletak di tepi perapian. Tiba2 bangku itu berputar menghadap kearah pemuda sekarang baru terlihat jelas ternyata sang tuan rumah duduk diatas kursi karena punggung kursi itu amat tinggi hingga tubuh orang itu tak nampak dari belakang. Baru pemuda memberi hormat serunya. "Tengah malam begini aku yang muda..." Tuan rumah tidak bangkit untuk balas hormat dia cuma mengangguk sambil menukas. "Bila ada persoalan harap kongcu membicarakan nanti saja, sekarang lepaskan dulu bajumu yang basah, tariklah bangku dekat perapian dimeja ada air teh dan boleh mengambil sendiri." Pemuda itu mengiakan, tidak sungkan-sungkan lagi ia melepaskan bajunya yang basah, mengambil air teh dan menarik bangkunya dekat perapian persis dihadapan tuan rumah. Sekarang pemuda itu baru bisa mengamati wajah sang tuan rumah dengan seksama, dia adalah seorang kakek yang berwajah pucat, wajahnya halus dan mulia, jubahnya berwarna gelap. Dari batas pinggang sampai ke bawah kakinya ditutup dengan sebuah selimut tebal bangku yang diduduki bukan saja dapat berputar-putar, ternyata ada rodanya juga yang bisa digunakan untuk maju mundur. Agaknya tuan rumah itu tahu kalau pemuda tersebut sedang memperhatikan bangku berodanya, dia lantas tersenyum, sambil menuding keatas kakinya dia berkata. "Lohu Beng Liau-huan, tahu ini berusia enam puluh lima tahun, pada dua puluh tahun berselang karena suatu peristiwa telah kehilangan sepasang kakiku hingga kini menjadi cacad seumur hidup !" "Sungguh beruntung Beng Seng pelayan tua ku itu pandai membuat kerajinan tangan, ia telah membuat sebuah kursi beroda semacam ini sehingga aku bisa duduk atau berbaring atau berputar atau maju mundur dengan sekehendak hatiku !" Mendengar perkataan itu, pemuda tersebut buru-buru memperkenalkan diri, katanya. "Aku yang muda bernama Sun Tiong-Io berasal diri Hoo-pak, karena tersesat dan menjumpai hujan deras, terpaksa harus mengganggu ketenangan cengcu dengan memohon kemurahan cengcu untuk menumpang semalam saja, besok pagi..." "Kongcu kau tak usah sungkan, tentu saja lohu tak akan menampik keinginanmu itu." Kata Beng Liau-huan sambil tersenyum. "Oooh....cengcu sungguh baik, aku yang muda benar-benar amat berterima kasih." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya. "Bila cengcu beristirahat silakan..." Pada saat itulah, tiba-tiba pintu ruangan dibuka orang dan Beng Seng si kakek tadi muncul kembali. Begitu melihat kemunculan Beng Seng dengan cepat Beng Liau- huan segera berseru. "Beng Seng, turunlah kedapur untuk menyiapkan nasi, sayur dan arak, malam ini aku sedang gembira hati, akan kutemani Sun kongcu untuk minum beberapa cawan arak sambil bercakap-cakap." Sikap Beng Seng terhadap majikannya amat hormat sekali, dia segera mengiakan. "Budak segera menyiapkan." Kemudian sambil memandang sekejap ke arah Sun Tiong-lo, katanya kembali. "Cengcu coba kau lihat keadaannya! Bagai mana kalau kita ambil pakaian agar Sun kongcu tukar bajunya yang basah lebih dulu ?" "Betul-betul." Seru Beng Liau-huan sambil manggut2 tapi katanya kemudian. "tidak, kau harus masakan air panas agar Sun kongcu membersihkan badan lebih dulu, kemudian tukar pakaian dan mempersiapkan hidangan, lebih cepat lebih baik." Sun Tiong-lo malah merasa rikuh sendiri cepat tampaknya . "Aaah.... tidak usah repot-repot, bagaimanapun juga aku yang muda sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini..." "Kongcu, kau sudah terbiasa, tapi majikan kami tidak biasa dengan bau badanmu itu !" Ucapan tersebut kontan saja membuat paras Sun Tiong-lo berubah jadi merah padam karena jengah, sedangkan Beng-Seng selesai berkatta segera berlalu dari situ, tak usah ditanya lagi, sudah pasti ia sedang pergi melakukan persiapan seperti dikatakan tadi. Sambil tertawa Beng Liau-huan berkata. "Beng Seng pelayan tuaku memang berwatak keras tapi jujur, harap kongcu jangan merasa tersinggung !" "Aaah... kenapa cengcu harus berkata demikian ? yang mudalah yang bersalah..." Setelah hening sejenak, Beng Liau-huan lantas mengalihkan pokok pembicaraannya itu ke soal lain, katanya. "Kongcu, bukit ini berbahaya dan penuh ancaman jiwa, mengapa kau datang kemari?" Sun Tiong-Io segera menghela napas. "Hm.. terus terang kukatakan sesungguhnya empeku jadi seorang pembesar daerah tapi berhubung ia sudah menyinggung perasaan atasannya kini terdesak posisi terjepit, aku yang muda khusus berangkat dengan maksud mencarikan akal menolong empeku ini, berhubung waktu amat terbatas, maka aku memutuskan untuk potong jalan..." Sambil menggelengkan kepalanya Beng Liau-huan menghela napas selanya. "Kongcu, kendatipun dengan menembusi bukit ini paling tidak kau akan menyingkat jalan sejauh 150 li tapi bukit ini curam dan bahaya, binatang buasnya banyak bila sampai tertimpa musibah disini urusanmu semakin terbangkalai." Sun Tiong-Io ikut menggelengkan kepalanya." "Siapa bilang tidak, tapi rasanya menyesal juga sudah terlambat." Berbicara sampai disini, suasana jadi hening dan keduanya jadi bungkam. Selang sesaat mendadak Sun Tiong-lo berkata lagi. "Cengcu apa sebabnya kau mendirikan perkampungan diatas bukit curam dan bahaya?" Beng Liau huan tertawa getir. "Aaai... panjang sekali ceritanya, kongcu bukan orang persilatan, sekalipun lohu terangkan belum tentu kongcu mengerti yang jelas nama kedudukanlah yang membuat aku bernasib begini." Sun Tiong lo termenung sebentar lalu berbicara kesoal lain. "Cengcu berdiam ditempat yang besar tentunya banyak anggota keluargamu, bagaimanakah cengcu mengatasi masalah sandang pangan untuk anggota keluargamu ?" Beng Liau huan menundukkan kepalanya rendah-rendah, dengan sedih ia menjawab. "Aii... tempo dulu memang anggota perkampunganku ini amat banyak tapi kini hanya tinggal lohu bersama pelayanku saja!" Sun Tiong lo jadi tertegun, serunya Iagi. "Kalau memang begitu kenapa cengcu masih berdiam disini? Kenapa tidak berpindah saja ke tempat lain ?" Sambil menuding sepasang kakinya yang cacad itu, Beng Liau huan berkata. "Sepasang kakiku sudah cacad, usiaku juga telah lanjut, mana bisa aku ke tanah perbukitan ini ?" "Cengcu sekarang aku tak dapat menolongmu, tapi bila urusan empekku selesai, pasti kubawa beberapa orang pembantu buat menjemput mu kegunung." "Maksud baik kongcu kuterima dihati saja." Kata Beng Liau huan. "Tapi lohu membatalkan maksud tersebut, aku serta pembantu ku sama-sama sudah tua, walau bisa turun dari bukit tersebut juga sia- sia saja." "Semua perkataan yang telah kuucapkan pasti akan kulaksanakan dengan sesungguh hati, lain waktu aku pasti akan datang kembali ke sini." Kata pemuda itu serius. Tiba-tiba Beng Liau-huan mendongakkan kepalanya, perasaan terima kasih yang amat aneh melintas diatas wajahnya. Melihat itu Sun Tiong-lo segera bertanya. "Apakah cengcu tidak percaya dengan perkataanku yang muda?" Beng Liau-huan menggelengkan kepalanya berulang kali, mendadak sekujur badannya menggigil keras, cepat dia mengalihkan pembicaraannya ke soal lain, katanya. "Kongcu, bagaimana kalau persoalan ini dibicarakan nanti saja ?" Sun Tiong-lo manggut-manggut. "Baiklah, bagaimanapun aku yang muda memang sudah bertekad bulat, dibicarakan nantipun tidak mengapa." Sementara itu pelayan tua Beng Seng telah muncul kembali dalam ruangan, kepada Sun Tiong-lo segera ujarnya. "Air panas untuk membersihkan badan serta baju bersih telah disiapkan semua, kongcu jalan sini terus belok kanan, ruangan pertama itulah tempatnya, mari!" Sun Tiong lo berterimakasih lalu beranjak. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Setelah pemuda itu pergi, mendadak bilik di belakang tempat perapian itu berputar lalu tampak sebuah pintu rahasia, seseorang berdiri angker dimuka pintu rahasia itu. Tapi karena orang itu berada dilorong rahasia, maka wajahnya tidak terlihat jelas. Waktu itu Beng Seng berdiri menghadap kedinding perapian lantas saja ia membalikkan tubuh pura-pura membersihkan meja memakai kain kumal. Sedangkan Beng Liau huan telah memutar kursinya menghadap sejajar pintu rahasia tersebut. Terdengar orang yang berada dilorong rahasia itu mendengus dingin, sambil berseru. "Beng Seng, rupanya kau bosan hidup ?" Beng Seng sipelayan tua itu segera membalikkan tubuhnya menghadap kearah lorong rahasia lalu sahutnya ketus. "Benar, aku bosan hidup, kau bisa apa ?" "Budak bajingan, kau anggap lohu tak bisa membunuhmu?" Seru orang itu naik pitam. "Hmm..." Aku tidak melakukan kesalahan apa2, kau memangnya bisa membunuh aku?" "Beng Liau huan!" Bentak orang dalam lorong rahasia itu marah sekali. "Kalau budak bajinganmu banyak bicara, lohu lebih suka menerima hukuman didepan San cu daripada tak menyayat kulit badannya hidup2!" Ketika Beng Liau huan menyaksikan Beng Seng masih akan berbicara lagi, dengan cepat ia mencegah. "Beng Seng, kularang kau untuk berbicara lagi !" "Baik, budak menerima perintah !" Beng Seng menundukkan kepalanya rendah2. Beng Liau huan miringkan kursinya kearah pintu rahasia itu lalu berkata. "Chin congkoan, lohu bertanya, apa yang hendak kau lakukan terhadap Sun kongcu ini?" "Tentu saja seperti ke 238 orang yang lalu." Jawab Chin congkoan ketus. Beng Liau huan segera berkerut kening. "Chin congkoan, dengan kepandaian silat milikmu, seharusnya bisa kau lihat kalau Sun kongcu bukan seorang jago persilatan, dia tak lebih hanya seorang pelajar rudin !" "Aku tahu !" "ltulah dia, kalau memang dia bukan orang persilatan, dan lagi juga bukan datang karena mengincar ketiga macam benda mustika yang berada dibukit ini, apakah congkoan tak bisa membuka jalan dan memberi jalan kehidupan baginya ?" Chin congkoan segera tertawa ter-bahak2. -Haah... haaahh... Beng cengcu, kau mintakan maaf baginya ?" Dia mengejek. "Empeknya terlibat dalam kasus yang pelik, dia lewat bukit ini cuma bermaksud buat potong jalan, agaknya congkoan juga..." "Beng Liau huan, kau harus tahu !" Bentak Chin congkoan bernada sinis. "tempat ini sudah bukan perkampungan Beng keh sancengmu dulu lagi, selembar nyawa anjingmu itu pun hampir tercabut dua puluhan tahun dulu." Beng Liau huan tertawa getir. "Jika perkampungan ini masih merupakan Beng keh san ceng ku dulu, buat apa lohu musti memohon kepadamu, betul lohu memungut kembali nyawaku ini, tapi bukan memungutnya dari tanganmu!" "Beng Liau huan!" Bentak Chin congkoan. "lohu peringatkan dirimu, tadi san cu telah kirim kabar bahwa dia keluar gunung sebab ada urusan, maka lohu mempunyai kekuasaan buat membunuh dirimu..." Belum habis dia berkata, Beng Liau huan telah tertawa terbahak sambil menukas. "Hahaha.. haaah kalau memang begitu hal ini lebih baik. lohu bosan hidup didunia ini lebih baik mati saja, kalau memang San cu tak ada dan kau punya kekuasaan besar, silahkan saja untuk membereskan selembar nyawaku ini" "Heeeh... heeh kenapa ? Kau anggap lohu takut ?" Seru Chin congkoan. "Mungkin radaan takut." Sindir Beng Liau huan. "Chin Hui bau. lohu juga ingin memperingatkan dirimu, sekalipun Sancu tidak ada, nona masih ada disini, kau tak akan berani melawan kekuasaannya !" "Hmm! Lohu tidak percaya, setelah kubunuh dirimu maka nona bisa..." Belum habis perkataan itu, tiba tiba terdengar suara tertawa cekikikan berkumandang datang dari balik ruangan. Chin congkoan segera menghentikan ucapannya dan tak berani meneruskan kata2nya. Suara tertawa merdu itu masih berkumandang dalam ruang itu lalu terdengar suara pula. "Chin congkoan, coba katakan aku tak bisa apa? Kenapa tak kau lanjutkan ucapanmu?" Chin congkoan yang semula bengis, seketika berubah munduk2 hormat, sahutnya. "Beng loji ingin merusak peraturan yang diterapkan Sancu, hamba sengaja menakuti." "Kurang ajar!" Sela orang itu lagi. "kau anggap aku adalah permainan yang bisa digunakan untuk menakut-nakuti orang?" "Tidak berani... tidak berani...!" Dengusan dingin kembali menggema, suara tertawa yang merdu pun berubah menjadi bentakan gusar. "Jika lain kali kau berani melanggar lagi, aku sendiri yang akan turun tangan untuk membereskan dirimu !" Chin congkoan kembali mengiakan berulang kali. Setelah hening sejenak, nona yang tak menampakkan diri itu baru berkata lagi. "Si sastrawan rudin itu pantas dikasihani, tapi tak bisa terlepas dari peraturan yang telah ditetapkan diatas bukit ini, maka ia harus alami keadaan sesuai dengan peraturan, baiklah! Sebagai belas kasihanku, kutambah batas waktunya dua hari lagi !" Chin congkoan kembali mengiakan, sementara Beng Liau huan dan pelayan tuanya menundukkan kepala rendah-rendah. Terdengar nona itu berkata lagi. "Aku mau pindah ke pagoda Yu khek, sebentar aturlah sastrawan itu agar bermalam diatas loteng Bong-lo, akan kuberi lima hari batas waktu kepadanya, sebelum saatnya, layani dia sebagai seorang tamu terhormat!" Chin congkoan kembali mengiakan dengan hormat, maka dinding perapian itu kembali berputar dan ia lenyap bersama lenyapnya pintu rahasia tersebut. Sepeninggal Chin congkoan dan nona itu, Beng Seng sipelayan tua itu baru bernapas lega, sambil menggelengkan kepala ia berkata. "Cengcu, budak akan pergi menyiapkan sayur dan arak !" "Tidak usah!" Tukas Beng Liau huan sambil melambaikan tangannya. "pergilah tidur, tidak kau dengar pesan nona kepada Chin Congkoan tadi? Didalam lima hari ini, Sun Tiong-lo adalah tamu terhormat dan segalanya akan diatur oleh Chin congkoan sendiri." "Oooh kalau begitu budak akan tidur!" Seusai berkata, pelan pelan dia berlalu lewat pintu samping. Dalam pada itu, Sun Tiong lo yang telah membersihkan badan dan berganti pakaian serta sepatu baru pelan2 masuk keruangan tampak dia amat jauh berbeda dengan semula. - ooo0dw0ooo- BAB KE DUA BENG LIAU-HUAN merasa pandangan matanya jadi silau, dari hati kecilnya secara aneh timbul perasaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata, dia merasa seakan dari balik ketampanan pemuda itu ia telah menemukan sesuatu. Sebetulnya apa yang berhasil ia temukan, Beng Liau huan merasa sulit untuk meraba jalan pemikirannya itu, cuma ada satu hal yang dia merasa yakin, yaitu pemuda ini mempunyai wibawa yang sangat besar. Setelah membersihkan badan, hawa kesastrawanan ditubuh pemuda itu ikut larut bersama lenyapnya kotoran diatas badannya. Tiba didepan Beng Liau-huan, dia lantas menghormat dan berkata. "Budi kebaikan lotiang membuat aku merasa terharu!" Beng Liau huan tertawa. "Aaah... kongcu lagi2 sungkan, silahkan duduk, sebentar hidangan akan disiapkan!" Tiba2 dari balik pintu sebelah telah muncul dua orang manusia. Yang berjalan didepan adalah seorang lelaki kekar yang bertubuh tinggi besar, dan di belakangnya mengikuti seorang kakek berwajah merah darah. Ditangan lelaki kekar yang delapan jengkal tingginya itu tampak sebuah baki besar yang penuh berisi aneka hidangan lezat. Aua empat macam sayur yang dibawanya lima kati arak bagus, empat macam masakan daging dan nasi putih satu bakul besar. Sementara mangkuk cawan dan sumpit telah dipersiapkan diatas meja perjamuan. Setelah menghidangkan masakan tersebut kemeja, kakek itu memberi tanda kepada lelaki kekar itu, maka ia lantas mengundurkan diri. Sun Tiong lo segera bangun dari tempat duduknya, lalu katanya kepada Beng Liau huan. "Cengcu, harap kau perkenalkan aku yang muda dengan..." BeIum habis dia berkata, kakek berwajah merah itu telah tertawa terbahak-bahak. "Haahh... haaah... lohu Chin Hui hou adalah congkoan dari bukit ini !" Sun Tiong lo segera menjura kepada Chin Hui-hou. katanya. "Aku yang muda telah memasuki bukit anda secara gegabah, harap congkoan sudi memaafkan..." Chin Hui hou tertawa seram, sambil menarik bangku dan duduk disisinya, dia berkata. "Tak usah sungkan-sungkan, silahkan kongcu makan saja seadanya, menggunakan kesempatan ini lohu juga akan mengajak kongcu untuk membicarakan bukit kami ini." "Baik, aku akan dengarkan baik-baik." Pada saat itulah Beng Liau huan telah mengerutkan dahinya kepada Chin Hui hou. "Chin congkoan, apakah tidak bisa dibicarakan besok saja?" Dengan wajah dingin Chin Hui hou menggelengkan kepalanya berulang kali. "Hukum tetap hukum, peraturan tetap peraturan, aku orang she Chin tak berani menyalahi peraturan!" Jawabnya ketus. Diam2 Beng Liau hoan menggigit bibirnya keras2 lalu katanya lagi. "Apakah tak bisa menunggu kongcu selesai bersantap dulu baru dibicarakan?" Kembali Chin Hui hou menggelengkan kepalanya sambil tertawa seram. "Tidak bisa lohu masih ada urusan lain yang harus diselesaikan, tak bisa menunggu lebih lama lagi." Sun Tiong lo benar2 seorang sastrawan yang tak berpengalaman ia belum menyadari gelagat tak beres, malah sambil tertawa katanya kepada Beng Liau huan. "Tidak jadi soal, biar aku yang muda dengarkan penjelasannya itu." Beng Liau huan memandang kearah Sun Tiong lo, lalu dia menghela napas dan gelengkan kepalanya berulang kaIi. Setelah memandang sekejap kearah Beng Liau huan dengan pandangan dingin, Chin Hui hou berkata kepada Sun Tiong lo. "Waktu naik gunung tadi, apakah kongcu membaca peringatan yang tercantum diatas tugu peringatan itu?" "Yaa, sudah kulihat!" Sun Tiong lo manggut. "malah aku yang muda telah membaca berulangkali." Sambil berkata dia menyuap nasi dan sayur dan melahapnya dengan pelan, kemudian menunggu keterangan Chin Hui hou lebih jauh. Chin Hui hou tertawa seram. "Hehh... Huuh menurut pendapat kongcu apakah yang tercantum di atas tugu peringatan itu cukup terang dan jelas ?" "Ya sangat jelas sekali!" Chin Hui hou tertawa seram, lanjutnya. "Apakah hurup besar berwarna merah darah yang dicantumkan pada tugu peringatan ke dua juga sudah kongcu baca ?" "Aaah ! Tentu saja, tugu itu didirikan tepat ditengah jalan naik, masa tak kulihat hurupnya." "Ehmm... kalau memang begitu, mengapa kongcu naik keatas bukit ini ?" "Tadi aku yang muda kan sudah menerangkan kepada cengcu, aku hanya bermaksud untuk memotong jalan..." "Hmm...! Aku kira pasti ada alasan lainnya bukan ?" Jengek Chin Hui hou dengan suara dalam. Sua Tiong lo berpikir sebentar, jawabnya. "Terus terang Chin congkoan aku yang muda memang mempunyai maksud lain...." Belum habis dia berkata, dengan paras muka berubah Beng Liau huan berseru. "Kongcu masih mempunyai urusan lain?" Sun Tiong lo melirik sekejap kearah Chin Hui hou, kemudian katanyanya. "Aku yang muda harus menjawab pertanyaan ini kepada siapa? kepada congkoan? Atau kepada cengcu?" Dengan sikap yang sombong dan pandangan yang dingin, Chin Hui Hou melirik sekejap kearah Beng Liau huan, lalu katanya. "Kongcu, sekarang haruskan sekali lagi memperkenalkan diriku, lohu adalah congkoan dari bukit pemakan manusia ini, sedangkan Beng Cengcu tidak lebih cuma cengcu dari perlkampungan ini !" Seakan-akan baru memahami, Sun Tiong lo segera berseru. "Kalau begitu, kedudukan Congkoan pasti jauh lebih tinggi dari pada Beng Cengcu." Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Chin Hui hou tidak menjawab ya atau tidak, hanya ujarnya. "Perkampungan ini termasuk bagian dari bukit pemakan manusia !" "Oooh, dengan begitu pelbagai masalah menyangkut bukit ini congkoan berhak mengurus." Chin Hui hou tertegun, lalu sahutnya. "Setiap bukit mempunyai urusannya sendiri-sendiri, dan lohu adalah salah seorang dari delapan toa congkoan di bawah kekuasaan Sancu." "Chin congkoan adalah yang paling dipercaya oleh San cu dari delapan orang toa cong koan Iainnya"- Beng Liau huan menjelaskan.. Mendadak Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya. "Tampaknya alasanku yang lain itu hanya bisa kusampaikan kepada san cu pribadi." "Kenapa?" Tanya Chin Hui hou. "Sebab persoalan ini mesti disampaikan sendiri paoa orang yang berkuasa disini!" Dengan sinar mata penuh kegusaran Chin Hui-hou melotot kearah Sun Tiong-lo kemudian serunya. "Seandainya Sancu tidak bersedia untuk menjumpai Kongcu ?" Dengan perasaan apa boleh buat jawab Sun Tiong-lo. "Terpaksa hal itu akan kusampaikan bila lain kali aku yang muda berkunjung kemari" "Hmm ! Kau anggap ada lain kali ?!" Dengus Chin Hui-hou dingin. "Tentu saja !" Sahut Sua Tiong-lo serius "bila persoalan ini tidak kuutarakan, bagaimana mungkin aku yang muda bisa merasa berlega hati...?" Chin Hui-hou segera tertawa ber bahak2. "Haaahhh... haaahhh... haaaaah Kongcu, kau tidak mempunyai kesempatan untuk datang lagi dilain waktu, sebab alasan kedatangan mu yang lain itu meski dibicarakan atau tidak juga sama sekali bukan suatu persoalan yang penting." Setelah berhenti sebentar, tiba tiba Chui Hui-hou merubah nada pembicaraannya dengan suara dalam dia berkata. "Dalam bukit ini berlaku suatu peraturan yang bisa kau baca diatas kedua buah batu peringatan dimulut bukit sana, sekarang Kongcu dengan berani telah menaiki bukit ini dan sampai di perkampungan sini, itu berarti kau pun tak akan terhindar dari suatu kematian..." "Praaang... ! Pryaang !" Dua kali suara nyaring berkumandang di angkasa memotong perkataan Chin Hui-hou yang belum selesai itu. Mangkuk yang berada ditangan Sun Tiong-lo itu tahu tahu sudah terjatuh ketanah, sedangkan cawan araknya juga tercerai berai di tanah. Sedangkan dia sendiri bagaikan seorang yang bodoh duduk termangu-mangu ditempat tanpa berkutik. Beng Liau-huan segera memejamkan matanya rapat-rapat, dia sungguh merasa tak tega menyaksikan sikap Sun Tiong-lo yang begitu takut menghadapi kematian itu. Sebaliknya Chin Hui-hou malah merasa amat gembira, sambil tertawa dingin tiada hentinya dia berseru. "Kongcu, kau anggap peringatan yang tercantum diatas tugu peringatan itu hanya gelak sambal belaka ?" Paras muka Sun Tiong-lo berubah menjadi pucat pias seperti mayat, dengan cemas serunya. "Tapi congkoan.... kedatangan aku yang muda diatas bukit ini bukan lantaran mengincar mestika kalian." Chin Hui-hou mendengus dingin, dengan sikap sinis dia menghapalkan tulisan yang tertera diatas tugu peringatan itu. "Barang siapa tidak menuruti nasehat lohu dan bersikeras memasuki daerah terlarang ini, baik dia laki-Iaki atau perempuan, tidak perduli apapun alasannya, lohu akan membunuh mati dirinya tanpa ampun sehingga mayatnya hancur tak berwujud !" Setelah membaca sampai disitu, tiba-tiba dengan suara nyaring dia berseru. "Kongcu, kau sudah ditetapkan mati !" Mendadak Sun Tiong-lo melompat bangun dengan gelisah tanyanya pada Beng Lian-huan. "Beng cengcu, sungguhkah semuanya ini ?" Beng Liau-huan menghela napas panjang sahutnya. "Kongcu, kesemuanya ini adalah kenyataan, sejak dua puluh tahun berselang sampai Kongcu belum tiba dibukit ini. sudah ada dua ratus tiga puluh delapan orang yang mati di tempat ini !" Sekali lagi Sun Tiong-lo dibuat bodoh wajahnya yang mengenaskan itu membuat orang menjadi iba dan kasihan kepadanya. Chin Hui-hau tertawa seram kembali katanya. "Kongcu tak perlu merasa gelisah dulu, kau masih mempunyai kesempatan untuk berbicara !" Bsgitu mendengar kalau masih ada kesempatan berbicara Sun Tiong-lo segera bertanya. "Kalau begitu bagus sekali harap Congkoan suka memberi petunjuk !" Mendengar ucapan itu Ben Liau-huan kembali merasakan hatinya tergerak pikirnya. "Kejadian ini benar aneh mengapa dalam keadaan terancam jiwanya dia tak gugup dan panik ? Bahkan jawabannya begitu teratur dan tenang ? sekalipun wajahnya berubah perasaan nya sama sekaIi tidak kalut ?" Sebaliknya Chin Hui hou yang sedang merasa bangga sama sekali tidak berpikir sampai kesitu katanya. "Sancu kami telah menetapkan barang siapa memasuki tanah perbukitan ini maka sebelum mati dia mempunyai hak untuk menjadi tamu agung kami selama tiga hari, tapi terhadap kongcu secara khusus kami memberi kelonggaran dengan menambah batas waktunya dengan dua hari Iagi." "Dengan kata lain, malam ini tak terhitung, mulai besok kongcu punya hak jadi tamu agung selama 5 hari 5 malam kecuali tak bisa ampun dari kematian, kami siap kasih pelajaran apapun seperti yang kau inginkan !" "Tapi apa artinya semua itu ?" Seru Sun Tiong-lo sambil mennujukan wajah melas. "cepat lambat akhirnya mati juga !" Chin Hui-hou geleng kepala berulang kali. "Kongcu usah kuatir, peraturan sancu kami sangat adil. Kami tidak akan menghukum mati Kong cu dengan begitu saja, tapi kami akan memberi suatu kesempatan kepada Kongcu untuk melarikan diri dari kematian ini !" "Oooh.... tolong tanya, kesempatan yang bagaimanakah itu ?" Ketika batas waktu Kongcu menjadi tamu agung kami telah selesai, kau masih mempunyai waktu selama setengah harian untuk kabur terlebih dahulu cuma jalan bukit ini susah dilalui dengan tiadanya persediaan makanan dan air minum tentu saja lebih banyak matinya dari pada hidup terus !" - ooo0dw0ooo- Jilid 2 OLEH KARENA ITU, Sancu kami telah memikirkan pula bagi tamu-tamu agungnya untuk menyiapkan sepatu laras untuk mendaki gunung, pakaian ringkas serta menghadiahkan rangsum serta air minum untuk dua hari, agar dalam usahanya untuk melarikan diri nanti tak sampai mati karena kehausan atau kelaparan." "Oooh....Sancu kalian memang amat cermat sekali" Kata Sun Tiong-lo sambil berseru tertahan. "cuma anggota kalian sangat banyak penjagaanpun berada di segala tempat, bagai manapun cepatnya orang yang melarikan diri juga tak mungkin bisa meloloskan diri dari bukit ini!" Chin Hui-tou segera mendengus dingin. "Kongcu, keliru besar bila kau berpendapat demikian, jika begini keadaannya apakah ini yang dinamakan adil? Nah, kongcu! Dengarkan baik-baik perkataanku ini, sebab ini menyangkut kesempatan bagimu untuk melarikan diri." "Pertama, Orang yang bertugas mengejar kongcu akan mulai dengan pengejarannya setengah hari lebih lambat. Kedua, Kecuali orang yang bertugas mengejar diri kongcu, semua anggota lain yang berada dibukit ini tidak diperkenankan membantu! Ketiga, Orang yang akan mengejar kongcu hanya dua orang, seorang adalah lohu sedangkan yang lain adalah orang yang barusan kongcu jumpai, yakni Kim Po Cu!" Keempat Kongcu mendapat perlengkapan seperti sepatu, kaos, baju ringkas, air, rangsum serta sebilah pisau belati, pisau itu tajam sekali dan mampu membelah besi. Kelima. Selama kongcu menjadi tamu agung disini, kau boleh menyiapkan segala macam barang keperluan untuk memperlancar usahamu untuk melarikan diri, asal kongcu bisa bawa barang itu, kongcu boleh membawanya pergi! Ke enam, Terhadap pengejar, kongcu berhak untuk melakukan perlawanan dan pembunuhan menurut kemampuan yang kau miliki, asal kongcu mampu membunuh pengejar-pengejarmu itu, otomatis kongcu bisa pula keluar dari bukit ini dengan selamat. Ke tujuh, Menurut peraturan San-cu, batas pengejaran adalah empat hari, selewatnya empat hari sekalipun kongcu berhasil ditangkap juga tak bisa dianggap masuk hitungan, atau dengan perkataan lain, asal Kongcu sanggup meloloskan diri selama empat hari empat malam, maka kau akan selamat dan tak ada urusan lagi. Ke delapan, Bila kau berhasil melarikan diri dari sini, atau terhindar dari pengejaran selama empat hari empat malam, bukan saja kongcu boleh masuk keluar dengan bebas di bukit ini, bahkan semenjak hari itu, kau akan dianggap sebagai tamu agung kami dan setiap saat berhak untuk tetap tinggal disini. Ke sembilan setengah jengkal saja kau berhasil lolos dari bukit ini akan di anggap sebagai suatu keberhasilan, kau akan segera menjadi tamu agung kami, bukan saja bebas masuk keluar bukit, bahkan setiap anggota bukit ini akan menyambutmu secara hormat. "Ke sepuluh, Barang siapa telah menjadi tamu agung kami dan berhasil dalam pengejaran dia memiliki satu hak khusus, yaitu berhak untuk minta kepada Sancu untuk membebaskan dua orang tawanan kami yang tertangkap karena naik keatas bukit ini!" Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya secara ringkas Chin congkoan berhasil juga untuk menerangkan semua persoalan itu kepada tamunya. Begitulah, setelah berhenti sejenak sambil tersenyum dia lantas bertanya. "Kongcu, tolong jawablah dengan sejujurnya, termasuk adilkah caraku ini ?" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Yaa, adil, adil sekali, memang adil sekali!" Agaknya Ben Liau-huan merasa agak tega, selanya tiba-tiba. "Adilnya memang adil, tetapi sulitnya juga sulit sekali !" Sesungguhnya dia bermaksud untuk memancing perhatian Sun Tiong-lo agar bertanya dengannya, maka menggunakan kesempatan itu Beng Liau-huan akan menerangkannya dengan jelas. Siapa tahu bukan saja Sun Tiong-lo tidak menangkap maksud kata-katanya itu, malahan dia berkata. Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo