Bukit Pemakan Manusia 24
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 24
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Hou ji kenal dengan Si Bong im juga kenal dengan Hou ji, dalam beberapa patah kata saja semua persoalan telah dibuat jelas. Setelah menyulut lampu dan memeriksa akan orang yang terluka di halaman tengah, nona Kim baru menjerit kaget. Di halaman tengah sudah tak ada orangnya lagi, yang masih tersisa cuma separuh badan bagian bawah dari kedua orang itu. Semua orang melangkah masuk kedalam ruangan dan menyulut lampu, pertam-atama Sun Tiong lo merampas tabung hitam sepanjang berapa depa itu dari tangan Yu lotoa lalu secara berhati- hati sekali meletakkannya di tempat kejauhan. Setelah itu dia baru mambalikkan badan Yu Iotoa sehingga semua orang dapat melihat jelas paras mukanya. Sun Tiong lo manggut-manggut, ternyata dugaannya tak salah, Yu lotoa memang si kakek berambut putih yang pernah dijumpai di rumah keluarga Si kemarin, kemudian setelah membukakan pintu lenyap tak berbekas. Rupanya orang ini selain kenal dengan Him Sun bui dan Si Bong im, bahkan merekapun bersahabat karib. Si Bong im memandang sekejap ke arah Him Sun hui, kemudian katanya. "Aaaah, dia... dia adalah..." "Hiante, tak usah dilihat lagi" Kata Him Bun hui seperti memahami akan sesuatu. "kalau begitu surat palsu yang kita terima tahun dulu adalah hasil perbuatannya, tak heran kalau ia pergi tanpa pamit sewaktu tinggal dibukit Go bi tempo hari!" Si Bong-im menghela napas panjang. "Aaaai... toako, sewaktu kita bertiga masih berkelana didalam dunia persilatan, setiap orang menghormati kita sebagai Sam gi (tiga setia kawan), mimpipun tak disangka, losam... dia... dia..." Him Bun-hui memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo, lalu kepada Si Bong im katanya. "Hiante, persoalan lain dibicarakan nanti saja, malam ini, seandainya tak ada dua orang sahabat muda ini, mungkin kita berdua sudah tewas pada saat ini." Merah padam selembar wajah Si Bong im setelah mendengar perkataan itu, buru-buru dia menjura kepada Sun Tiong lo sambil berkata. "Lohu sudah berusia lanjut, kali ini harus menerima budi pertolongan pula darimu, aku kuatir budi kebaikan ini..." Dengan amat hormat Sun Tiong lo menjura. kemudian tukasnya. "Boanpwe bertindak demikian bukan dikarenakan cianpwe, aku hanya berbuat apa yang harus kuperbuat saja!" Dengan hormat Si Bong im mempersilahkan ke empat orang tamunya untuk masuk, setelah duduk dia berkata lagi. "Sauhiap berilmu silat sangat lihay, dapat kah kau bebaskan jalan darah Yu Wi sau agar kami bisa mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya?" Sun Tionglo tertawa, dia segera menyentilkan jari tangannya membebaskan jalan darah Yu Wi-san yang tertotok, katanya kemudian. "Orang ini licik dan berhati buas, kini boanpwe telah membebaskan jalan darah bisunya, bila ada persoalan boleh kau ajukan, tapi untuk menjaga agar ia tidak berbuat licik, lebih baik kita jangan membiarkan dia sembarangan bergerak dulu" Si Bong-im dan Him Bun hui saling berpandangan sekejap, wajahnya menunjukkan rasa kaget bercampur tercengang. Menyusul kemudian. Si Bong im berkata kepada Yu Wi san. "Lo sam, apa yang hendak kau ucapkan sekarang?" Ketika Yu Wi san mendengar Si Bong im masih memanggilnya sebagai Losam, ia nampak agak tertegun, tapi setelah mendengar jelas kalau apa yang di dengar tak keliru, dia menghela napas panjang dan memejamkan matanya rapat-rapat. Him Bun hui yang berada disampingnya segera membentak dengan penuh kegusaran. "Yu Wi-san, kesetiaan kawan kita bertiga dimasa lampau sempat membuat orang cemburu, siapa yang tidak kagum dan siapa yang tidak iri dengan kita ? Tapi kau... aai. sebetulnya aku dan jite telah melakukan perbuatan apa yang menyalahi dirimu sehingga kau turun tangan sekeji itu kepada kami ?" Yu Wi-san tak dapat bergerak, namun mulut hidung dan matanya masih bisa digunakan dengan leluasa, tapi nampaknya dia merasa amat menyesal, sehingga apa yang dilakukan hanya memejamkan matanya belaka tanpa membantah atau bersuara. Si Bong im turut menghela napas panjang. "Losam," Katanya pula. "walaupun kau bersikap demikian terhadap diriku dan Him toako, namun aku masih tetap mengingat hubungan persahabatan kita dimasa Ialu, aku bersedia melepaskan kau pergi dari sini, cuma..." Belum habis dia berkata, nona Kim telah menukas. "Tidak bisa, orang ini harus mati !" Begitu ucapan tersebut diutarakan, Him Bun hui dan Si Bong ini menjadi tertegun. Si Bong im memandangi sekejap ke arah nona Kim, lalu tanyanya sambil tersenyum. "Nona, apakah sam hiante ku ini telah berbuat kesalahan kepada nona?" Cepat nona Kim menggeleng. "Tidak, pada hakekatnya aku tidak kenal dengan orang ini." "Kalau begitu lohu ingin memohonkan ampun baginya." Siapa tahu belum habis ia berkata, sekali lagi nona Kim menggelengkan kepalanya berulang kali, tukasnya: - ooo0dw0ooo- Jilid 27 "TIDAK BISA, DIA HARUS MATI !" Makin lama Si Bong-im dan Him Bun bui dibikin kebingungan sampai berdiri bodoh, belum sempat berbicara, nona Kim sudah menyambung lebih jauh. "Si tayhiap, coba kau periksalah sendiri ke dapur.,. " "Adik Kim, tutup mulut!" Buru buru Sun Tiohg lo berseru. Nona Kim segera menghentikan pembicaraannya yang belum selesai, tapi perasaan uring-uringan masih membekas diatas wajahnya. Si Bong im dan Him Bun hui adalah dua orang manusia berpengalaman, mereka segera berpandangan sekejap, lalu beranjak menuju ke ruangan belakang... Terpaksa Sun Tiong lo harus merentangkan tangannya untuk menghalang kepergian mereka, serunya. "Cianpwe berdua, harap berhenti dulu!" Mendengar ucapan itu, Him Bun bui dan Si Bong im sama-sama menghentikan langkahnya sambil menengok ke arah Sun Tiong lo. Sun Tiong lo segera menghembuskan napas panjang, kepada Si Bong im katanya. "Boanpwe belum pernah bertemu dengan putramu, tapi Hou suheng kenal dengan putramu itu." "Betul" Tukas Si Bong im sambil manggut-manggut. "hou hiap memang pernah mengikuti Ku ciangbunjin datang kemari, dia memang kenal dengan putraku..." Berbicara sampai disitu mendadak ia berhenti seperti menyadari akan sesuatu dia melirik sekejap kearah Hou ji, kemudian ujarnya lagi. "Jangan-jangan putraku sudah tertimpa musibah?" Saat itu Him Bun hui juga menyadari akan kemungkinan tersebut, tanpa terasa dia melotot ke wajah Yu Wi san dengan penuh kegusaran. Sun Tiong lo tak dapat tidak menjawab, terpaksa katanya. "Berkat petunjuk dari Hou hong boanpwe..." Ketika Him Bun bui melihat Sun Tiong lo sukar berbicara, kemudian dilihatnya Hou ji yang hendak berbicara selalu mengurungkan niatnya, ia sadar apa yang telah terjadi. Dengan cepat dihampirinya Yu Wi san, kemudian bentaknya keras-keras. "Yu losam, katakan saja dengan sepatah kata, bagaimana dengan putra lo ji?" Yu Wi san memandang sekejap kearah Him Bnn hui dan Si Bong im, lalu sahutnya setelah menghela nafas rendah. "Siaute tahu salah!" Dari ucapan mana dapat disimpulkan Si Phu benar benar telah tewas ditangannya. Paras muka Si Bong im berubah sangat hebat, tubuhnya mundur dengan sempoyongan hampir saja dia roboh keatas tanah. Buru-buru Hou ji membimbing bangun Si Bong im dan mendudukkannya diatas kursi, sedangkan Him Bun hui merasa agak marah sekali, dia tak tahan dan segera mengayunkan tangannya memerseni Yu Wi san dengan sebuah tempelengan... Melihat itu Si Bong im menggelengkan kepalanya berulang kali dan memberi tanda kepada Him Bun bui agar jangan turun tangan lagi. Kemudian sambil tertawa getir dia menengok ke arah Yu Wi san, lama kemudian, dengan air mata bercucuran ia berkata. "Losam, mengapa kau berbuat demikian ? Mengapa? " "Selain itu, mengapa pula kau menulis surat palsu dimasa silam sehingga merusak kebahagiaan hidup Si jite, dimana selain tidak dimaklumi oleh rekan-rekannya, dia pun terdesak untuk menyepi di bukit Cing shia, katakanlah mengapa?" Sambung Him Bun hui. Yu Wi sen menangis tersedu-sedu, katanya. "Siaute tahu salah, siaute tahu salah, sekali melangkah akibatnya menyesal sepanjang masa, waktu itu aku tak boleh menganggap Tin kun mencintaiku sehingga aku menulis surat palsu itu, sekarang gara-gara ingin merampas kembali surat palsu itu, akupun telah salah membunuh keponakan Phu, aku... aku tahu salah" "Losam, tahukah kau bahwa Phu ji bukan anak kandungku?" Kata Si Bong im dengan sedih. "dia adalah darah daging Tin kun, kau... kau kau memang pantas mati!" Betapa terkejutnya Yu Wi san sesudah mendengar perkataan itu, segera teriaknya. "Apa? Kau bilang apa?" "Si Phu bukan putra kandungku, dia adalah darah daging Tin kun, ketika Tin kun sedang sakit dan tak sadarkan diri, ia telah diperkosa orang, akibatnya lahirlah bocah itu. Seandainya bukan lantaran peristiwa yang memedihkan hati itu, dengan sepucuk surat palsumu, jangan harap Tin kun dapat pergi tanpa pamit justru karena aku seorang yang mengetahui persoalannya, maka dia meninggalkan surat memohon kepadaku untuk baik baik merawat Phu ji, kini..." Belum habis dia berkata, tiba-tiba Yu Wi san menjerit sedih, kemudian serunya sambil meraung keras. "Ooob Thian! Ooh Thian! Kau terlalu berat menjatuhkan hukumun kepadaku, terlampau berat! Aku... aku.... aku telah membunuh putraku dengan tanganku sendiri, aku..." Dl tengah isak tangisnya yang meraung meraung itu, mendadak ia berseru kepada Sun-Tiong lo. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Dari pembicaraan yang berlangsung barusan Sun Tiong lo sudah dapat menduga garis besar duduknya persoalan, dia lantas turun tangan membebaskan Yu Wi san dari pengaruh totok. Yu Wi sau tidak berkata apa-apa lagi, dia pun tidak berjalan lewat pintu, melainkan menumbukkan seluruh badannya kedinding belakang. "Blaaamm!" Diiringi suara keras, dinding belakang kena ditumbuk oleh Yu Wi san sehingga muncul sebuah lubang besar. Yu Wi san langsung menerjang kedalam dapur, Si Bong im dan Him Ban hui yang sebenarnya ingin turut menengok kebelakang kena dihadang oleh Sun Tiong lo, kata pemuda itu dengan wajah serius. "Saudara berdua, biarkanlah dia pergi!" Dengan air mata bercucuran Si Bong im berkata. "Walaupun Phu ji bukan dilahirkan olehku tapi..." "Cianpwe. dapatkah kau menahan rasa sedihmu sambil menantikan perkembangan selanjutnya?" Tukas Sun Tiong lo. Si Bong im tidak berbicara, dia hanya menghentikan langkahnya. Dalam pada itu, Yu Wi san telah mengambil batok kepala manusia tadi dari dalam kukusan dan sambil sebentar tertawa, sebentar menangis, tanpa menggubris orang lain lagi, dia lari keluar dan melesat kedepan dengan kecepatan luar biasa. Him Bun hui dan Si Bong im berniat untuk mengejar, tapi segera dihadang kembali oleh Sun Tiong lo dan Hou ji. Setelah semua orang masuk kembali kedalam ruangan dan saling memberi hormat lagi, baru duduk persoalan itu dibicarakan. Seperti apa yang diduga Sun Tiong lo. ketiga orang sahabat karib itu mempunyai seorang teman perempuan yang bernama Tin kun, kala itu sigadis pun merupakan seorang perempuan yang amat tenar. Sebetulnya Tin kun mencintai Si Bong im, namun tanpa sepengetahuan gadis itu, secara diam-diam Yu Wi san pun jatuh hati padanya. Suatu hari, Tin kun jatuh sakit, waktu itu Him Bun hui dan si Bong im tidak mendampinginya, Yu Wi san yang mendapat tahu kejadian tersebut segera memanfaatkan kesempatan tersebut dengan mencampuri obat yang hendak diberikan kepada gadis itu dengan obat perangsang. Dalam keadaan tak sadar, Tin kun telah digagahi secara brutal oleh Yu wi san. Setelah sembuh dari sakit, Tin kun masih tetap melakukan perjalanan dalam dunia persilatan ia sama sekali tidak menyadari jika kesuciannya telah digagahi orang, pertama karena setelah kejadian ia tidak merasakan perubahan apa-apa, kedua dalam sakitnya dia pun tak sampai menduga ke situ... Ditambah pula meski waktu itu kaum wanita yang berkelana dalam dunia persilatan terhitung amat bebas, namun masalah kehormatan seorang gadis tetap merupakan rahasia pribadi, karena itu walaupun pada bulan selanjutnya ia merasakan perubahan pada dirinya, si nona manis belum menyadari duduknya persoalan. Yu wi san sendiri meski berbuat agak keji didalam tindakannya, padahal diapun berbuat demikian karena perasaan cintanya yang kelewat mendalam, dia berharap nasi bisa dibikin jadi bubur lebih dulu, kemudian karena terlanjur si nona bersedia kawin dengannya. Siapa tahu Tin kun tidak menyadari akan musibah yang menimpa dirinya, sedangkan Yu wi san pun tak berani mengakui perbuatannya sesudah kejadian, maka hal itu pun menjadi sebuah teka-teki besar. Tiga bulan setelah musibah yang menimpa Tin kun, Si Bong im berhasil menemukan perubahan dalam tubuh gadis itu. Si Bong im yang amat menaruh hati terhadap gadis pujaannya ini, tentu saja merasa bersedih hati setelah kejadian tersebut, namun ia sama sekali tidak mempunyai niat memandang rendah gadis tersebut, malah dengan suatu kata rahasia dia memberi kisikan kepada Tin bahwasannya dia telah kejangkitan penyakit aneh. Si Bong im memang tak tahu kejadian yang sebenarnya, dia mengira Tin kun mempunyai kesulitan sendiri yang malu dikatakan, menanti penyakitnya di periksa tabib dan mendapat tahu jika dia sedang berbadan dua, gadis itu baru malu bercampur sedih. Tin kun segera bertekad hendak menghabisi nyawa sendiri untuk membuktikau kebersihan sendiri, sampai detik itulah Si Bong im baru tahu kalau Tin kun benar-benar tidak mengetahui akan kejadian tersebut, meninjau dari hal ini dia lantas berkesimpulan kalau gadis itu telah dinodai orang sewaktu jatuh sakit dulu. Tapi nasi telah menjadi bubur, apalagi Si Bong im sudah amat mencintai gadis itu, karena kuatir ia bunuh diri, maka dengan tulus hati dia meminang kepadanya untuk menjadi isterinya. Tin kun amat terharu oleh kebenaran cinta orang, akhirnya pinangan tersebut diterima. Setelah berunding, akhirnya mereka minta ke pada Him Bun-hui untuk menikahkan mereka berdua. Dalam keadaan demikian, sebetulnya Yu Wi san ingin menjelaskan yang sebenarnya, sayang ia tidak menemukan kesempatan baik, hingga rasa sedih itu cuma disimpan dalam hati. Waktu itu, Yu Wi-san pun belum tahu kalau Tin kun telah berbadan dua, dia telah menyesal Si Bong im telah merampas cintanya. Sesudah perkawinan sepasang suami isteri ini tidur berpisah karena waktu itu kandungan Tin kun telah mencapai usia lima bulan, mereka berencana setelah melahirkan nanti, mereka baru hidup sebagai suami isteri yang sebenarnya. Empat bulan kemudian, Tin kun melahirkan seorang putera yang dinamakan Phu, dan sejak itu pula suami isteri berdua biiru tidur seranjang. Yu Wi san amat mendendam atas kejadian tersebut, untuk merusak kehidupan berkeluarga rekannya, dia lantas mencatut nama Si Bong im dan meniru tulisan rekannya itu untuk membuat surat palsu, kemudian menggunakan kesempatan dikala Si Bong im sedang bepergian, dia masukkan surat itu kedalam kantong senjata rahasia Tin kun dengan harapan bila surat mana ditemukan, maka Tin kun akan pergi dengan marah. Siapa tahu setelah kawin, Tin kun be nar benar hidup sebagai seorang isteri yang baik, ia sudah membuang jauh-jauh ingatan untuk berkelana sehingga kantong senjata rahasianya tak pernah dijamah. Peristiwa ini membuat Yu Wi-san amat gelisah. Malam itu Si Bong-im pulang dengan aman keluarganya tetap hidup dengan damai. Sampai keesokan harinya, ketika Tin-kun menjemur pakaiannya, dia baru menemukan surat tersebut, selesai membaca surat mana, pada sorenya Tin kun pun meninggalkan surat dan minggat meninggalkan suami dan putranya. Sejak itu Tin kun lenyap dari dunia persilatan, meskipun Si Bong im telah berkelana kemana-mana untuk mencarinya namun tidak berhasil menemukan jejaknya, dalam keadaan putus asa, akhirnya dia pun menetap di bukit Cing shia. Untung saja ada Phu ji yang menemaninya sehingga meski hidup di bukit namun mereka bisa hidup dengan penuh kedamaian. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Ketika Phu ji dewasa, ia mulai belajar silat kebetulan Him Bunhui pun berhasil mendapatkan alamat mereka dan berkunjung kesitu, dalam pengembaraan mana dapat diketahui kalau Yu Wi san sedang bertemu di Go Bi-san ketika tahun itu Si Bong-im mengundurkan diri dari keramaian dunia. Dari pembicaraan itu juga Him Bun bui mendapat tahu semua peristiwa yang telah menimpa rekannya. Ketika surat palsu itu diperlihatkan Si Bong im kepada rekannya, Him Bunhui segera mengenali tulisan itu sebagai tulisan Yu Wisan, sebab dahulu mereka berdua sering berhubungan surat. Tatkala Yu Wi san mendengar kalau rahasia kebrutalannya konangan, ia menjadi panik secara diam-diam ia lantas menghubungi kawanan jagoan lihay dari golongan hitam untuk melakukan pembantaian terhadap si Phu. Siapa tahu orang yang dibunuhnya ternyata adalah putra kandungnya sendiri. Sekarang, walaupun persoalan telah jelas, namun Si Bong im merasa amat sedih. Sejak isterinya Tin kun hilang, dia tak pernah kawin lagi, kini dalam usia tuanya harus kehilangan putranya pula, bisa dibayangkan betapa sepi dan sedihnya dia. Betul bukit Cing-shia sangat indah, namun tempat itu penuh kenangan duka, Him Ban-bui harus membujuk setengah memaksa untuk mengajak rekannya ini menetap di bukit Go- bi untuk sementara. Begitulah, keesokan harinya merekapun berangkat meninggalkan bukit Cing shia. Sun Tiong lo serta Bau ji, Hou ji dan nona Kim pada dasarnya memang bukan berniat pesiar, apalagi setelah peristiwa tersebut, mereka semakin tak bernapsu lagi untuk berpesiar, maka mereka pun merundingkan rencana selanjutnya. - ooo0dw0ooo- KETIKA nona Kim sudah kembali kekamar untuk beristirahat, Sun Tiong lo, Hou ji dan Bau ji kembali memanggil pelayan agar menyediakan sayur dan arak baru, kemudian diruang depan mereka rundingkan persoalan tersebut. Mereka sudah balik kembali ke kota Seng-tok, tinggal dirumah penginapan paling besar dikota itu dan memborong seluruh halaman belakang yang terdiri dari dua ruangan dengan lima kamar. Ketika sayur dan arak dihidangkan hampir semuanya merupakan hidangan lezat yang ternama. Setelah pelayan mengundurkan diri, Sun Tiong lo yang banyak urusan duduk termenung seorang diri, Bau ji pun sedang mumikirkan persoalan sendiri. Hou ji yang memandang sikap mereka segera berseru! "Cukup, cukup, jangan berpikir yang bukan bukan lagi, mari kita rundingkan bersama hen dak kemanakah kita pergi" "Ada satu hal, sudah lama sekali kusimpan didalam hati," Kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut. "Persoalan apa?" Hou ji menukas. Dengan kening tetap berkerut Sun Tiong lo berkata. "Masih ingat kitab kecil yang dihadiahkan suhu kepada kita sebelum kita berpisah dulu?" "Tentu saja masih ingat" Sun Tiong lo memandang sekejap kearah kakaknya, kemudian katanya lebih lanjut. "Suhu pernah berkata" Engkoh Hou, kau berasal dari keluarga Sun!" Hou ji menggut-manggut. "Betul, tapi sebelum aku berhasil menemukan suatu bukti yang nyata, aku lebih suka dipanggil Hou ji" Sun Tiong lo menghela napas panjang. "Aaaaai... dalam kitab kecil itu pertama-tama dicantumkan kata yang berbunyi: Bila ingin mengetahui asal usul, harus melewati Bukit pemakan manusia lebih dulu, akhirnya kita menuruti kitab tersebut dan sudah memasuki Bukit pemakan manusia!" "Namun kita gagal untuk mengetahui semua duduk persoalan yang sebenarnya..." Sambung Hou ji sambil menunduk. Cepat Sun Tiong lo menggeleng. "Tak bisa dikatakan begitu, paling tidak kita sudah mempunyai sebuah gambaran kini..." "Gambaran? Gambaran apa?" "Asal-usul Mou Tin hong yang sesungguhnya !" "Hmm, sembilan puluh persen keparat tua itu adalah pemilik lencana Lok hun pay!" Sela Bau ji sambil mendengus. Suu Tiong lo memandang sekejap ke arah Bau ji lalu katanya. "Mana buktinya? Di dalam persoalan semacam ini, kita di tuntut untuk menemukan bukti nya." Sekali lagi Bau ji mendengus, tapi ia tidak berbicara apa-apa. Sun Tiong lo memandang sekejap lagi ke-arah Bau ji, lalu baru ujarnya kepada Hou ji. "Menurut catatan di dalam kitab tersebut, setelah meninggalkan Buktt pemakan manusia seharusnya kita menyebrangi sungai air merah tetapi sekarang..." "Aku belum lupa." Tukas Hou ji. "Cuma dimanakah letaknya sungai Ang sui hoo tersebut?" "Ucapanmu memang betuI" Sun Tiong lo manggut-manggut. "sepanjang perjalanan, aku telah memperhatikan tempat sekeliling sini dengan seksama, tapi belum pernah ada orang yang mendengar nama Ang sui hoo tersebut, setiap sungai atau telaga yang kita seberangi, tiada yg cocok namanya dengan nama tersebut" Seperti lagi menggumam Hou ji berkata lirih. "perkampungan keluarga Mo sih sudah ditemukan letaknya di bawah kaki bukit Wu- san. tapi perkampungan itu sudah berubah menjadi puing-puing yang berserakan, jangankan manusia, setanpun tak kelihatan satupun, apalagi manusia yang bernama Mo-kiau jiu!" Sun Tiong lo menghembuskan nafas panjang. "Aaaai, tampaknya Sun nio....." Belum habis dia berkata, Bau ji yang berada di sisinya telah menimbrung secara tiba-tiba. "Apakah tempat yang dinamakan Ang sui hoo mesti sebuah sungai?" Sun Tiong lo menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan itu, Hou ji turut termangu. Menyusul kemudian Sun Tiong lo seperti menyadari akan sesuatu, dia lantas berkata lagi. "Betul, ucapan toako memang tepat sekali, selama ini kita selalu menganggap Ang Sui hoo sebagai sebuah sungai, tidak heran kalau kita gagal menemukan tempat tersebut meski telah dicari kesana kemari." Walaupun Hou ji menganggap perkataan itu benar juga, tapi sepanjang perjalanan, bukan cuma tiada sungai yang bernama demikian, sekalipun tempat seperti itu pun belum pernah didengar. Maka dia menggelengkan kepalanya, dan berkata. "Mungkin saja nama tersebut adalah nama sebuah tempat, tetapi..." "Aku mengerti dengan maksud hati engkoh Hou." Tukas Sun Tiong lo. "cuma sepanjang perjalanan kemari, kita pun tak pernah mendengar nama tempat yang mempergunakan nama Ang Sui hoo, padahal kita telah salah jalan..." "Salah jalan? Aku rasa tidak!" Hou ji seperti tidak mengerti. Sun Tiong lo tertawa. "Sejak meninggalkan bukit Pemakan manusia kita sudah salah jalan, kalau ditinjau dari tulisan "kemudian menyeberangi Ang-sui hoo" Yang dicantumkan dalam halaman ke dua kitab tersebut, dapat ditarik kesimpulan kalau jarak Ang sui hoo dengan Bukit pemakan manusia sebetulnya tidak terlampau jauh..? Tiba-tiba Hou ji seperti berhasil menemukan penyakit dibalik ucapan tersebut, sambil mengulapkan tangannya dia berseru. "Tunggu sebentar, menurut catatan dalam kitab tersebut, Ang sui hoo yang dicantumkan sudah pasti adalah sebuah sungai!" "Darimana kau bisa tahu?" Hou ji tidak merasa puas. "Bukankah dalam kitab tersebut tercantum jelas kata yang berbunyi demikian. "Kemudian menyeberangi Ang sui hoo?" Kalau toh dipergunakan kata "menyeberangi" Dus berarti tempat itu adalah sebuah sungai, ini menurut pandanganku" Bau ji tidak melanjutkan kata katanya, sedangkan Sun Tiong lo juga tak dapat membantah perkataan dari Hou ji tersebut. Maka Hou ji pun berkata lebih lanjut. "Apa yang dikatakan Siau liong juga masuk diakal, setelah kami meninggalkan Bukit pemakan manusia, yang kita perhatikan waktu itu hanya berusaha melindungi keselamatan Beng lo cengcu sambil secara diam-diam memancing kemunculan Lencana Lok hun pay, tak heran kalau kita salah jalan.Justru karena salah jalan, maka kita tak melewati sungai Ang sui ho tersebut pasti tak jauh letaknya dari Bukit pemakan manusia!" "Kalau begitu kita harus balik lagi?" Tanya Bau ji dengan suara dingin dan hambar. Sun Tiong lo termenung dan berpikir sebentar kemudian sahutnya. "Tidak perlu, bagaimanapun juga kita toh sudah mengadakan janji satu tahun dengan Moo Tin hong untuk kembali sekali tiap tahun, sekarang kita laksanakan tempat lain dahulu, yakni berkunjung ke bukit Go bi san!" Setelah keputusan diambil, merekapun kembali ke kamar sendiri untuk beristirahat - ooo0dw0ooo- DALAM sebuah rumah penduduk, selisih satu jalan dari rumah penginapan yang didiami Sun Tiong lo sekalian, ditengah malam buta tersebut telah kedatangan seorang tamu tak di kenal. Orang itu berbaju putih berkerudung putih, dia tak lain adalah manusia berbaju putih yang kena ditipu oleh Gui Sam tong. Dia tidak mengetuk pintu, melainkan langsung melayang masuk ke dalam... Begitu sepasang kakinya menginjak tanah, empat bilah pedang segera mengancam berapa inci diatas tubuhnya dan muka belakang kiri dan kanan, ancaman tersebut berasal dari empat manusia berbaju putih, dandanan maupun pakaian yang dipakai persis seperti apa yang dikenakan. Ia tidak buka suara, tapi pelan-pelan melepaskan pedang yang digembolnya dan diletakkan ke atas lantai. Pada saat itulah dari dalam ruangan terdengar seseorang menegur dengan suara lantang. "Siapa di situ ?" "Hamba, Gin ih lak yu ( enam sobat berbaju perak)!" Jawab orang itu dengan hormat. Suara orang dalam ruangan itu agak emosi. "Masuk, sisanya segera mengundurkan diri." Empat manusia berbaju putih berkerudung putih yang berada disitu segera menarik kembali pedang mereka, lalu setelah saling berjabatan tangan mereka baru membubarkan diri. Dia pun membungkukkan badannya sambil memungut pedang, lalu dengan langkah lebar menaiki anak tangga. Diatas tangga, diluar ruang tengah, dia menggantungkan pedangnya, kemudian pelan pelan melangkah masuk ke dalam. Tempat itu merupakan sebuah ruangan yang amat istimewa, dilihat dari luar, tempat itu sepantasnya merupakan sebuah rumah yang terdiri dari dua ruangan, tapi setelah masuk baru ditemukan sebuah ruangan yang sangat besar. Ruang besar sebetulnya merupakan suatu yang biasa, mengapa bisa dibilang istimewa ? Setelah mendorong pintu ruangan dan meski dia sudah masuk ke dalam ruangan, tapi boleh dibilang ia masih berada diluar ruangan tersebut. Kiranya dibalik pintu ruangan itu masih terdapat lagi pintu ruangan ke dua... Oleh karena itu ruangan yang dari luar nampaknya kecil, sesungguhnya merupakan sebuah ruangan gedung yang besar, jadllah suatu "gedung didalam gedung" Yang sangat istimewa. Sesudah melewati pintu pertama, belum lagi dua langkah, dia harus memasuki lagi pintu kedua. Diantara dua buah pintu tersebut, terbentang sebuah serambi panjang didalam ruangan. Berhubung serambi tersebut mempunyai dua jendela dan satu pintu sebagai sumber datang nya sinar, maka suasana disitu terang benderang, akan tetapi ruangan tengah yang sesungguhnya justeru tertutup rapat sekali, tanpa daun jendela tanpa pintu. Disamping itu, pintu pada lapisan keduapun tampaknya bukan terbuat dari bahan kayu. Waktu itu si manusia berkerudung putih tadi sedang berdiri ditengah serambi didalam ruangan tersebut. Baru saja dia berdiri tegak, pintu pertama di belakang tubuhnya telah menutup sendiri secara otomatis berbareng itu juga pintu lapis an kedua membuka dengan sendirinya kesam ping hingga muncul sebuah liang pintu. Dengan kepala tertunduk Manusia berkerudung putih itu berjalan masuk ke dalam. "Kraaakk . .. !" Begitu dia melangkah masuk, pintu yang berada di belakangnya kembali merapat dengan sendirinya. Sampai sekarang, Manusia berkerudung putih itu belum mendongakkan kepalanya atau menggerakkan tubuhnya, dari sini bisa disimpulkan selain setia dan tunduk seratus persen terhadap majikannya, dia pun menaruh perasaan takut. Ia tak berani mendongakkan kepalanya, tentu saja tak tahu pula segala sesuatu didalam ruangan tersebut, termasuk dekorasi, bentuk serta manusia-manusia siapa saja yang hadir di situ. Dalam keheningan itulah, terdengar seseorang berseru dengan suara rendah dan berat. "Tentunya kau belum menerima surat pemberitahuan lohu lewat burung merpati bukan?" "Hamba tak becus, kena ditipu mentah-mentah oleh penghianat karena itu hamba tak menerima surat lewat burung merpati." Sahut Manusia berkerundung putih itu dengan hormat. "Angkat kepalamu!" Suara rendah dan berat itu memerintahkan. Manusia berkerudung putih itu menerima perintah dan mengangkat kepalanya, sekarang dia sudah dapat melihat sekeliling tempat itu dengan amat jelas. Ternyata ruangan tengah yang begitu lebar berada dalam keadaan kosong melompong, boleh dibilang tiada perabot apapun yang berada disitu. Hanya pada bagian dekat dinding sana, terdapat sebuah meja baca yang sangat antik. Di atas meja, disudut kanan terletak se Jilid kitab kuno, sedangkan di sebelah kiri terletak alat menulis. Di tengah ruangan duduk seseorang, orang itu duduk diatas sebuah kasur lunak dan memakai baju berwarna keemasan. Tentu saja orang itu adalah Manusia berkerudung berbaju emas, hanya tidak nampak paras mukanya. Selain itu, disana tiada tempat duduk yang lain, juga tidak nampak orang lain. Dalam ruangan tersebut, kecuali pintu otomatis yang dilewati manusia berkerudung putih sewaktu masuk tadi, pada hakekatnya tidak terdapat pintu lain, juga tidak kelihatan jendela. Manusia berkerudung putih itu menengadah atau tidak menengadah sesungguhnya tak jauh berbeda. Sebab dia mengenakan kain kerudung muka, bahkan kain kerudung itu terbuat dari bahan kaos yang dirajut dari atas kepala sampai leher dan atas dada, pada hakekatnya mulut dan hidung orang itu sama sekali tidak terlihat. Manusia berbaju emas itu menyuruhnya mendongakkan kepala, mungkin hal ini merupakan suatu kebiasaan belaka tanpa diembeli maksud-maksud lainnya, sedang ia menuruti perintah dengan mendongakkan kepalapun, hal ini merupakan suatu kebiasaan juga Ketika manusia berkerudung berbaju emas itu menyuruhnya mendongakkan kepalanya tadi, seperti ada suatu persoalan dia mengiakan tapi justeru karena mendengar suara mana, ia malahan merasakan hatinya jadi tenang sekali Menyusul kemudian, manusia berbaju emas itu berkata dengan suara dingin. "Padahal setelah lohu menerima surat pemberitahuanmu tempo hari, akupun tidak mengirim surat apa-apa lagi kepadamu, tentu saja kaupun tak akan menerima surat pemberitahuan apa-apa lagi." "Di kolong langit jarang sekali kujumpai manusia bodoh seperti kau, orang lain tidak mengerti hal mana masuk diakal, tapi kau sebagai salah seorang dari Gin ih lak yu (enam sahabat berbaju perak), masa kebiasaan lohu seperti inipun tidak kau pahami ?" Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah. "Hamba mempunyai suatu keluhan" Katanya. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Oh, kau pun mempunyai keluhan ?" Kata manusia berkerudung berbaju emas itu sambil tertawa dingin. "bagus sekali, cepat katakan !" "Lencana emas kepala naga Liong-tau kim-pay leng merupakan Kim leng yang paling berkuasa milik majikan, walaupun hamba merasa agak keheranan mengapa lencana yang paling tinggi itu bisa diserahkan kepada utusan berbaju emas untuk melakukan perintah, namun hamba tak berani membangkang peraturan apalagi mengajukan pertanyaan. "Cuma, hambapun telah melakukan persiapan yang aman, bahkan menulis surat lewat burung merpati untuk menceritakan hal ikhwal yang sebenarnya, selain itu akupun melakukan penguntilan sepanjang jalan terhadap jejak lawan, hamba hanya memohon majikan menyampaikan petunjuk." "Apakah kau menyalahkan lohu tidak menurunkan perintah, sehingga kau mengalami kegagalan tersebut ?" "Hamba tidak berani" Manusia berkerudung putih itu menjawab dengan sikap menghormat "tapi yang pasti pihak lawan telah memiliki lencana Liong tau kim leng, hamba bisa berbuat apa lagi ?" Manusia berkerudung emas itu termenung dan berpikir sebentar kemudian bentaknya . "Sudah kau periksa lencana Liong tau kim leng tersebut ?" Berbicara dari kedudukan manusia berkerudung putih itu, tentu saja dia tak berani memeriksa lencana naga Liong tau kim leng tersebut dari tangan Gui Sam-tong, namun untuk mempertahankan kehidupannya, terpaksa dia harus berbohong. "Hamba tak berani memeriksa lencana naga tersebut, tapi menggunakan kesempatan dikala lawan mengangkat tinggi tinggi lencana naga itu, hamba dapat memperhatikannya dengan jelas sekali, dan hampa jumpai lencana naga Liong tau kim pay tersebut adalah lencana yang asli, lencana sesungguhnya !" Manusia berkerudung emas itu mendengus gusar. "Hm, lencana Liong leng semuanya hanya berjumlah tiga buah, ambil dan perhatikan baik-baik !" Seraya berkata, manusia berkerudung emas itu menggetarkan lengan kanannya. "Traaang, traaacg, traaang !" Diiringi suara nyaring, tiga buah lencana emas tahu-tahu sudah tergeletak tak jauh dimana manusia berkerudung putih itu berdiri. - ooo0dw0ooo- Mula pertama manusia berkerudung putih itu mundur setengah langkah lebih dulu dengan sikap hormat dari hadapan lencana emas tersebut, kemudian baru maju dan membungkukkan badan untuk mencabut keluar lencana emas itu lalu per satu, semuanya diperiksa dengan seksama. Setelah diamati sekian lama, ia baru maju kedepan dengan hormat, lalu meletakkan ketiga buah lencana emas tadi keatas meja, kemudian sesudah mundur beberapa langkah katanya. "Hamba telah memeriksanya." "Sekarang, tentunya kau sudah mengerti bukan?" "Hamba tidak berani berbohong, lencana emas yang dibawa manusia utusan berbaju emas persis seperti ketiga buah lencana emas kepala naga milik majikan, termasuk pula gambaran dan ukir- ukirannya, tak sedikitpun yang berbeda." "Apa kau bilang? Coba ulangi sekali lagi!" Teriak manusia berkerudung emas itu sambil melompat bangun. "Lencana emas yang diperlihatkan lawan kepada hamba, persis seperti lencana milik majikan." "Kau bilang termasuk ukiran dan besar kecilnya?" Bentak Manusia berkerudung emas itu keras-keras. "Benar, hamba memang berkata demikian." "Tak bakal salah ?" Bentak Manusia berkerudung emas itu sambil menatapnya lekat-lekat. "Yaa, tak bakal salah!" Kembali manusia berkerudung putih itu menegaskan dengan suara datar. Manusia berkerudung emas itu segera mendengus. "Hmmm, dari sembilan orang penggantiku, hanya tiga orang yang telah berhianat kepada lohu, mereka adalah Wongpengci, Gui Sam tong dan Cu San poo ! "Sekarang lohu telah memperoleh kabar yang mengatakan bahwa ilmu silat yang mereka miliki telah punah, mereka tak ubahnya seperti manusia biasa, apalagi dicocokan dengan waktu yang kau cantumkan dalam surat kilatmu, sesungguhnya ketika itu kepandaian silat mereka telah punah tak berbekas." "Dengan kepandaian serta ketajaman mata mu sekarang, nyatanya kau sama sekali tidak mengetahui kalau tiga orang yang berdiri di hadapanmu wakiu itu hanya tiga orang manusia biasa saja... Hmmm, bagaimana penjelasannya tentang hal ini ?" Manusia berkerudung putih itu menundukkan kepalanya rendahrendah, tapi dengan amat cepat dia menjawab lagi. "Harap majikan maklum, berada dalam keadaan seperti ini jangankan hamba, sekalipun orang yang berkepandaian lebih tinggi dengan ketajaman mata yang lebih hebat pun, jangan harap bisa mengetahuinya !" "Oooh... benarkah ada kejadian seperti ini?" Seru manusia berkerudung emas itu sambil menggebrak meja. "Tentu saja, punah atau tidaknya tenaga dalam yang dimiliki seseorang hanya bisa diketahui dari sorot mata sepasang keningnya, tapi mereka semua mengenakan kain kerudung emas yang menutupi hampir seluruh kepandaiannya..." Tidak sampai orang itu menyelesaikan kata-katanya, manusia berkerudung emas itu sudah membentak lebih dulu dengan suara dalam. "Tutup mulut, tak usah berbicara lagi !" Manusia berkerudung putih itu benar-benar tidak berani banyak berbicara lagi. Tiba-tiba manusia berkerudung emas itu menekan suatu pojokan dekat meja bajanya, sebuah pintu rahasia segera muncul disisi belakang ruangan besar tersebut Menyusul kemudian muncul seorang manusia berkerudung putih dari balik pintu, setelah memberi hormat katanya. "Hamba menanti perintah?" "Bagaimana dengan pekerjaan dari Mo loji sekarang?" Tanya manusia berkerudung emas itu dengan suara dingin. "Belum selesai seluruhnya!" Manusia berkerudung emas itu segera tertawa dingin. "Kalau begitu gusur dia masuk kemari lebih dulu!" Perintahnya. Manusia berbaju putih itu mengiakan, dia lantas membalikkan badan dan berjalan keluar dari situ. Tak lama kemudian dia telah muncul kembali sambil membawa seorang kakek yang nampaknya kurus dan amat lemah, kakek itu langsung digusur ketengah ruangan. Manusia berkerudung emas itu mengulapkan tangannya, manusia berbaju putih yang menggusur kakek ceking tersebut segera mengundurkan diri lagi dari situ. Untuk kesekian kalinya, manusia berkerudung emas itu menekan meja bacanya, pintu yang semula terbuka itu segera menutup kembali secara otomatis. Dalam pada itu, kakek kurus mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap ke arah manusia berbaju emas dan manusia berkerudung putih itu dengan sorot matanya yang sayu tak bersinar, lalu mendengus dan duduk di atas lantai. Manusia berkerudung emas itu meninggalkan meja bukunya dan berjalan kehadapan sikakek kemudian perintahnya. "Berdiri!" Kakek kurus itu sama sekali tak menggubris, dia pun tidak mengucapkan sepatah kata. Dengan geramnya manusia berkerudung itu mengayunkan tangannya ke atas siap melancarkan serangan. Tetapi kakek kurus itu sama sekali tidak takut, dia malah memandang tangan yang terangkat itu dengan sinis, setelah itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang aneh dan sangat menggidik hati. Aneh sekali, menghadapi sikap kakek kurus tersebut, manusia berkerudung emas itu tiba-tiba menurunkan kembali tangannya. "Lohu tak akan memberikan keuntungan seenak ini kepadamu, apalagi membunuhmu dalam sekali pukulan!" Katanya. Dengan susah payah kakek kurus itu berhasil menghentikan gelak tawanya, dia pun berkata lagi. "Lohu mengerti, oleh karenanya lebih baik kau jangan menggunakan permainan semacam itu kepadaku." Manusia berkerudung emas itu menggertak giginya sampai berbunyi keras, agaknya dia gemas sekali terhadap kakek tersebut. Kembali kakek itu menggelengkan kepalanya berulang kali, kemudian ujarnya sambil tertawa. "Tidak ada gunanya berbuat garang seperti itu, gemas pun percuma, kecuali jika kau mempunyai keberanian untuk membunuhku!" Dengan gemasnya manusia berkerudung emas itu menghadiahkan sebuah tempelengan keatas wajah kakek itu, bentaknya keras. "Kau takut aku tak akan membunuhmu ?" Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya. "Lohu mempunyai persoalan ingin bertanya kepadamu, tapi sebelumnya kuperingatkan kepadamu, lebih baik jawab semua pertanyaanku dengan sejujurnya, kalau tidak, jangan salahkan bila aku membuatmu mati tak bisa hidup pun tak dapat." Kakek kurus itu sama sekali tidak gentar atau takut dibuatnya, dia cuma tertawa seram tiada hentinya. Sepatah demi sepatah manusia berkerudung emas itu berkata lagi penuh kewibawaan. "Dalam perkumpulan lohu, semuanya terdapat empat macam lencana emas, dan lencana tersebut hanya kau seorang yang bisa menempanya, sekarang berbicaralah terus terang, kecuali bagi lohu. kau masih pernah menempakan lencana emas semacam itu untuk siapa ?" Kakek itu mengerdipkan matanya berulang kali, tapi tidak menjawab. "Hayo bicara" Bentak manusia berkerudung emas itu lagi penuh kegusaran. "lebih baik jangan mencari kesulitan buat diri sendiri !" "Jangan terburu napsu lebih dulu" Kata kakek itu dengan amat tenangnya, sedikitpun tidak panik. "terburu napsu pun tak ada gunanya, sebab menghadapi persoalan seperti ini paling tidak kau mesti memberi waktu kepada lohu untuk memikirkannya lebih dulu." Manusia berkerudung emas itu mendengus dingin. "Hmmm, pernah menempa atau tidak hanya kau seorang yang mengerti, buat apa mesti banyak dipikirkan lagi ?" Tiba-tiba kakek tua itu bertanya. "Ketika berada di jalan raya Sam-siang, pernahkah kau membunuh seorang pemuda berbaju hijau ?" Manusia berkerudung emas itu nampak tertegun, dia nampak termenung sampai lama sekali tanpa menjawab pertanyaan itu. Kakek itupun tidak bertanya lebih jauh, dia turut membungkam diri dalam seribu bahasa. Selang berapa saat kemudian, manusia berkerudung emas itu baru berkata lagi. "Peristiwa ini terjadi di tahun kapan?" Kakek tersebut segera tertawa terkekeh "Masa perbuatan yang kau lakukan sendiripun masih harus dipikirkan lagi, apakah kau juga lupa di tahun kapankah peristiwa tersebut telah terjadi...?" Seperti memahami akan sesuatu, dengan gemas manusia berkerudung emas itu berseru. "Mo loji, kau janganlah berbuat keterlaluan!" Mo loji segera tertawa terkekeh kekeh. "Kau sendiri yang terburu napsu, masa memberi waktu buat lohu berpikir sejenak pun tidak nanti menanti." Manusia berkerudung emas itu berusaha keras untuk mengendalikan kobaran hawa amarah dalam dadanya, ia berseru. "Sekarang, apakah kau sudah teringat kembali?" "Ehmm, sudah kuingat kembali!" "Kau pernah menempa lencana semacam itu buat siapa?" Buru- buru manusia berkerudung emas itu bertanya. Mo loji sama sekali tidak gugup, katanya. "Aku hanya pernah menempa lencana emas itu saja." Belum habis dia berkata, mendadak Manu sia berkerudung emas itu mencengkeram tubuh Mo loji dan mengangkatnya ketengah udara-Mo loji sama sekali tidak meronta, dia se olah-olah merasa bahwa hal tersebut sama sekali tak ada sangkut paut dengan dirinya. Sambil menggoncang-goncangkan tubuh Mo loji, Manusia berkerudung emas itu mambentak lagi. "Kau berani membohongi aku? Aku..." "Jangan panik." Tukas Mo loji. "Coba beri tahu kepadaku apa yang telah terjadi ?" "Ada orang menggunakan lencana emas kepala naga Liong tau kim pay yang sama menggunakan perintah terhadap anak buah kita !" Kakek itu berlagak seperti terkejut, kemudian serunya. "Aah, masa sudah terjadi peristiwa semacam ini ? Cepat, cepat, cepat lepaskan aku bawa kemari lencana emas kepala naga yang palsu dan yang asli kepadaku, akan kucoba untuk mengetahui perbuatan siapakah itu?" "Huh, seandainya lencana yang palsu itu sudah berada ditanganku, buat apa aku mesti bertanya kepada kau si tua bangka ?" "Wah, wah, ucapan macam apaan itu ?" Seru si kakek sambil menggeleng berulang kali. "sudah tahu kalau lencana emas itu palsu, bukan saja kalian masih bersedia menuruti perintah orang, bahkan setelah itu sama sekali tidak mendapatkan buktinya, kalian memang goblok semua ! Tak ada gunanya sama sekali." Manusia adalah makluk aneh, mendengar ucapan tersebut, manusia berbaju emas itu segera menurunkan kakek Mo dari cengkeramannya, lalu berpaling kearah manusia berkerudung putih itu dan mendengus dingin. Manusia berkerudung putih itu menjadi ketakutan setengah mati, buru-buru katanya kepada Mo loji. "Bajingan tua, bila kau tak mengerti wibawa dari lencana emas itu, lebih baik jangan sembarangan berbicara !" Kakek Mo segera tertawa terkekeh-kekeh. "Heh, heh, heh, lencana emas kepala naga itu hasil penempaan lohu . masa lohu tak memahami kewibawaan lencana mana ?" Hmm! itulah dia." Sambung manusia berkerudung putih itu cepat. "setelah kau ketahui kewibaan dari lencana emas itu, tentunya bisa kau pahami pula betapa besarnya lencana mana, pihak yang menerima perintah dari lencana itu apa berani membangkang perintah? Apakah bisa minta lencana itu untuk dibuktikan keasliannya ? Mengapa kau mengatakan tak becus. tak berguna segala-galanya...?" "Betul-betul tak becus, betul-betul tak berguna." Kembali Mo loji bergumam. Setelah berhenti sejenak, dia berpaling ke arah manusia berbaju emas itu dan melanjutkan. "Siapa yang menerima lencana emas itu ? Suruh dia kemari, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya !" Ternyata manusia berkerudung putih itu bertindak cukup cerdik, tidak menunggu manusia berbaju emas itu memberikan perintahnya, ia telah menyahut. "Akulah orang yang menerima perintah lewat lencana emas kepala naga itu !" Mo loji yang mendengar perkataan itu segera tertawa kepada manusia berkerudung putih itu, namun tidak mengucapkan sepatah katapun. Sebentar manusia berbaju emas itu menoleh kearah kakek itu, sebentar lagi menengok ke arah anak buahnya, tanpa terasa dia bertanya. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo "Mo loji, bukankah kau mengatakan ada beberapa pertanyaan akan kau ajukan padanya?" Mo loji menggelengkan kepalanya berulang kali. "Sudahlah, manusia kalau sudah pernah bertemu pasti ada perasaan, banyak bertanya malahan membangkitkan rasa sedih dihati saja." "Kami bukan teman, bila kau ada perkataan lebih baik tanyalah secara langsung dihadapan majikan !" Sahut manusia berkerudung putih. Mo loji mengerling sekejap kearah manusia berkerudung putih itu, lalu menegaskan. "Sungguhkah perkataanmu itu?" "Siapa yang sedang senda gurau denganmu?" Sahut manusia berkerudung putih itu sambil memperlihatkan ketegasannya. Setelah berhenti sejenak, nada pembicaraannya berubah, kembali dia berkata. "Cuma, seandainya kau tak berhasil membuktikan ketidak ada gunaanku. hati-hatilah!" "Hm, rupanya kau mengenal baik lencana emas kepala naga itu?" Mo-loji mendengus. "Selama ini aku selalu melindungi lencana naga itu, aku pun sudah beberapa kali melaksanakan tugas dari majikan atas perintah lencana emas itu, sudah barang tentu lencana itu sangat kukenal!" "Dan kau tidak melihat kalau lencana itu palsu?" Mo loji tertawa. "Pada dasarnya lencana emas itu memang tidak palsu!" "Ooooh... dari mana kau tahu kalau lencana emas itu tidak palsu...?" Di atas lencana emas itu terdapat ukiran naga diatas awan, lima cakarnya terpentang lebar, tebal tipisnya juga sama kepala naga dan tanduk naga dipermukaan sebaliknya juga tak berbeda, tentu saja aku tahu kalau lencana itu tidak palsu!" "Sebelum kau si loji digusur kemari, semua persoalan telah aku laporkan kepada majikan, aku berpendapat sudah pasti kaulah yang bermain setan dimasa lalu, siapa tahu kalau kau pernah membuatkan lencana emas kepala naga lagi kepada orang lain, hingga kini..." "Cukup" Kata Mo loji sambil mengulapkan tangannya. "aku mengatakan kau tidak becus, kini kau berlagak Tie Pat kay berbicara soal senjata ingin membungkamkan mulutku tetapi tak menjadi soal, pepatah bilang: Emas murni tak takut di bakar. "Sebenarnya aku ada niat menganggap kau sebagai sahabat dengan mengurangi pembicaraan yang tak berguna dan melepaskan sebuah jalan kehidupan bagimu, tetapi kalau toh kau sendiri yang kepingin mampus, aku tak bisa berbuat lain kecuali bicara sejujurnya..." Manusia berkerudung putih itu menjadi amat gelisah, cepat-cepat dia berkata. "Aku merasa tak pernah berbuat kesalahan, katakan saja apa yang hendak kau utarakan!" Tampaknya Mo loji dibikin naik darah, kepada manusia berkerudung emas itu dia segera berseru. "Anak buahmu ini telah berhianat..." Berbicara sampai disitu mendadak kakek itu menghentikan pembicaraannya. Tentu saja manusia berbaju emas itu enggan berdiam diri, dia segera mendesak lebih lanjut. "Lanjutkan perkataanmu itu, lanjutkan perkataanmu itu!" Sewaktu mendengar kata "Berhianat", manusia berkerudung putih itu mau tak mau merasakan juga hatinya tercekat, dia menuding Mo loji dan saking mendongkolnya sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Lama kemudian ia baru berseru. "Loji.... liangsim .... liangsim mu kau..." Dalam pada itu, manusia berkerudung emas itu telah berpaling kembali kearah Mo loji, kemudian ujarnya dengan lembut. "Mo loji, katakan apa yang hendak kau ucapkan!" Dalam hati kecilnya Mo loji merasa geli sekali, dia ingin tertawa tergelak kalau bisa pikirnya. "Haaaahh... haaah... haaaahh... kau keparat muda, pandai saat merayu orang, Mo loji, Mo loji, tiada hentinya, kau anggap aku bakal taruh dimana? Kau.,.kau jangan memfitnah orang seenaknya sendiri." Mendadak manusia berbaju emas itu membalikkan badannya, lalu bentaknya kepada manusia berkerudung putih itu. "Tutup mulutmu Yu Seng, bila kau berani mengucapkan sepatah kata lagi, hati-hati kalau kujatuhkan hukuman kepadamu sebagai seorang penghianat...!" Manusia berkerudung putih itu berdiri tertegun ditempat dia cukup memahami peraturan dari majikannya, sekarang majikannya sudah menyebut namanya secara langsung, itu berarti malaikat elmaut sudah muncul dihadapan matanya. "aku bakal tertipu lagi seperti dulu? Hmm, maaf! Tertipu hanya satu kali, locu tak bakal bersikap bodoh lagi!" Pikir sih pikir. jawaban tetap harus diberikan maka Mo loji berlagak murung, mula-mula dia menghela nafas lebih dulu, kemudian setelah memandang wajah Manusia berbaju emas itu dengan pandangan kasihan dan beriba hati ia baru menjawab. "Tempo hari aku seperti pernah mendengar kau berkata, orang yang mengenakan baju warna perak merupakan orang yang berkedudukan paling tinggi dibawah perintahmu, ilmu silat, yang dimiliki juga paling bagus, kau menyebut mereka sebagai Gin ih lak yu (enam sahabat berbaju perak), bukankah begitu?" "Betul!" Sahut manusia berbaju emas itu. "Tentunya mereka sudah seringkali mempertaruhkan jiwa raganya bagi kepentinganmu bukan?" Kata Mo loji lagi sambil menghela napas panjang. Kembali manusia berbaju emas itu mengiakan tanpa banyak bicara lagi. Mo Loji menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya kemudian. "Menurut pendapatku lebih baik persoalan ini disudahi sampai disini saja !" "Tidak bisa !" Seru manusia berkerudung emas itu cepat, tentu saja dia enggan menyudahi masalah tersebut sampai disitu saja. "persoalan ini harus dibikin jelas dan tuntas !" Mo Loji memandang sekejap ke arah manusia berkerudung putih itu, lalu berkata lagi. "Sobat, jangan salahkan aku si orang tua, keadaan sekarang ibaratnya anak panah yang sudah berada di atas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga." Manusia berkerudung putih itu seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian diurungkan, dia hanya mendengus dingin. Kepada manusia berkerudung emas itu, Mo Loji berkata . "Apakah dalam sakumu masih terdapat lencana emas kepala naga?" Manusia berkerudung emas itu membalikkan badan menghampiri meja baca, lalu menyerahkan ke tiga buah lencana emas kepala naga itu kepada Mo loji... Setelah menyambut lencana emas itu, Mo Loji segera bertanya kepada manusia berkerudung putih itu. "Kau bilang selama banyak tahun ini kau selalu mewakili majikan melakukan banyak perintah dengan membawa lencana naga, karena pekerjaan yang berulang-ulang maka kau menganggap lencana naga tersebut sudah amat kau kenal baik?" "Hmmm, buat apa kau mesti banyak bertanya?" Sahut manusia berkerudung putih itu mendongkol. Mo Loji sama sekali tidak gusar, katanya lagi. "Dapatkah kau menjawab pertanyaan yang kuajukan?" Berada dalam keadaan seperti ini, tak mung kin bagi manusia berkerudung putih itu untuk membungkam terus, sahutnya. "Benar, aku memang sangat mengenal lencana naga itu" "Ehmm, barusan kau bilang lencana emas yang kau saksikan itu persis seperti ke tiga buah lencana emas yang berada dihadapanmu sekarang, baik dalam soal ukiran naganya, ke lima cakarnya serta tebal tipisnya, bukan begitu?" " T e p a t s e k a l i " Ma n u s i a b e r k e r u d u n g p u t i h i t u ma n g g u t -ma n g g u t . Mo L o j i s e g e r a t e r t awa , i a s e r a h k a n l e n c a n a ema s i t u k e p a d a manusia berbaju emas lalu berkata. "Coba kau serahkan lagi ke tiga buah lencana emas kepala naga yang tulen itu kepadanya agar diperhatikan lebih seksama." Agak tertegun manusia berkerudung emas itu setelah mendengar ucapan tersebut, serunya tertahan. "Apakan lencana emas itu masih ada..." Tidak sampai manusia berbaju emas itu menyelesaikan katakatanya, Mo Loji telah menukas lagi. "Coba kau berikan kepadanya agar diperiksa" Dengan wajah masih termangu manusia berkerudung emas itu melemparkan kembali ke tiga buah lencana emas kepala naganya ke hadapan manusia berkerudung putih itu. Manusia berkerudung putih itu memungut kembali lencana naga itu dari atas tanah, se telah dipandang sekejap, ujarnya. "Lencana naga tersebut persis sama dengan ke tiga buah lencana emas ini!" "Sobat, sobat Yu" Ujar Mo loji sambil ter-tawa. "coba kau perhatikan lagi ke tiga buah lencana naga ini, pertama-tama harap kau perhatikan dulu pada permukaan lencana tersebut dan carilah ke lima cakar dari naga emas tersebut !" "Hmm, sudah ketemukan" Dengus manusia berkerudung putih itu. ia menundukkan kepalanya dan memperhatikan lencana emas yang pertama, kemudian sambil mengangkat lencana tadi, katanya. "lni dia, aku telah menemukan kelima cakar nya!" "Coba kau terima lencana naga emas yang telah ia temukan kelima cakarnya itu!" Perintah Mo loji kepada manusia berkerudung emas tersebut. Anehnya maausia berkerudung emas itu amat menuruti perkataannya, dia sambut lencana emas tersebut dan diperhatikan sendiri dengan seksama. Benar juga, ia temukan lima buah cakar pada lencana emas tersebut. "Coba cari lagi pada lencana berikutnya !" Perintah Mo loji kemudian kepada manusia berkerudung putih itu. Padahal manusia berkerudung putih iiu sama sekali tidak menganggur begitu berhasil menemukan kelima cakar naga pada lencana yang pertama, ia segera memperhatikan lencana berikutnya. Akan tetapi, walaupun ia sudah perhatikan lencana ke dua tersebut sekian lama, akan tetapi lima cakar naga itu belum juga ditemukan. Rupanya pada lencana emas ini dia hanya menemukan empat buah cakar naga belaka. Manusia berkerudung putih itu menjadi termangu dan berdiri bodoh, sedemikian tertegun nya sampai tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Sebelum dia sempat selesai menghitung, Mo loji telah berkata lagi. "Coba kau periksa pula lencana emas yang ke tiga !" Lagi lagi manusia berkerudung putih itu tak berhasil menemukan kelima cakar naga itu, sebab pada lencana naga yang ketiga dia hanya menemukan tiga buah cakar naga. Tampaknya manusia berkerudung emas itu telah menyaksikan gelagat tidak beres, dia segera bertanya kepada manusia berkerudung putih itu. "Yu Seng, cepat memberi laporan padaku." Paras muka Yu Seng berubah sangat hebat, nada suarapun turut berubah pula, ia menjawab. "Jumlah cakar naga kedua lencana naga emas tersebut berbeda satu sama lainnya, yang satu berjumlah empat buah, yang lain hanya berjumlah tiga buah!" Mendengar itu Mo loji tertawa terbahak. "Hah... haah... haah... tak usah dibandingkan dengan lencana yang pertama lagi, cukup memperbandingkan kedua lencana yang berada ditanganmu itu, coba bandingkan dengan seksama, apakah tebal tipisnya juga sama ?" Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bego Karya Can