Bukit Pemakan Manusia 27
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 27
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Kakek yang suka bercerita itu akhirnya berpamitan dan pergi setelah meneguk sepoci air teh. Sun Tionglo dan Hou jipun mulai berunding. Dengan kening berkerut Sun Tionglo berkata "Engkoh Hou, kuil Tong thian koan mempunyai sejarah yang begitu kotor dan mesum, Sang sang koancu juga telah dihukum mati, tapi mengapa dalam kitab catatan, kita justeru harus berkunjung kesitu ? Mengapa?" Hou ji berpikir sejenak, lalu menjawab. "Sejak kecil aku sudah mengikuti suhu, terhadap ucapan dan tindak tanduk suhu boleh dibilang aku memahami amat jelas, kalau dilihat dari segala sesuatu yang ada dalam kitab kecil ini, aku berhasil menemukan suatu persoalan" "Oooh, persoalan apa ?" Houji berpikir sejenak lagi, kemudian baru menjawab. "Aku kuatir kitab kecil itupun belum sempat dibaca suhu." "Hei, apa maksud dari perkataannya ini ?" Seru Sun Tiong lo agak tertegun. Hou ji menggeleng. "Akupun tahu kalau ucapan ini tak bisa diterima, tapi hal ini merupakan suatu kenyataan, aku yakin kitab kecil itu adalah pemberian orang lain untukku lewat tangan suhu!" "Mengapa kau mempunyai pandangan semacam ini?" Tanya Sun Tiong lo keheranan. Hou-ji tertawa. "Sebab isi kitab tersebut sama sekali bertentangan dengan sikap maupun cara kerja suhu di hari-hari biasa." "Ooooh, ...bagaimana bedanya ?" Kembali Hou-ji tertawa. "Orang yang menulis kitab kecil ini adalah seorang cianpwe yang berhati cermat, teliti dan berakal panjang, padahal bukan demikian cara kerja suhu, bagi suhu apa yang dipikirkan waktu itu segera dilakukan pada saat itu juga." Apalagi sejak kitab kecil itu menyuruh kita mulai dari Buklt Pemakan manusia, disitu kita sudah menemukan suatu penemuan aneh, seperti misalnya kau dan Bau te bisa bersua, Beng cengcu bisa memperoleh kembali kebebasannya. "Tapi perkampungan keluarga Mo di selat Wu shia..." Tukas Sun Tionglo. Kembali Hou-ji memotong ucapan rekannya yang belum selesai, katanya cepat. "Hal itu disebabkan kita tidak berkunjung ke Ang-sui-hoo lebih dulu atau bila kita bicara mundur setapak, paiing tidak kita sudah tahu kalau perkampungan keluarga Mo sudah punah, sudah punah semenjak dahulu kala." Dengan perasaan apa boleh buat Sun Tiong lo tertawa. "Tapi sekarang, kita harus mencari He-he koancu di kuil Tongtbian- koan, bagaimana pula penjelasannya?" Hou-ji melirik sekejap ke arah Sun Tionglo kemudian berseru. "Tentu suja harus dicari ! Kita harus berkunjung ke kuil Tongthian- koan, siapa tahu kalau disana sudah ada sesuatu perubahan yang dapat membuat kita menjadi jelas ?" "Baik, aku akan menuruti perkataanmu mari kita berangkat !" Tapi Hou-ji kembali menggeleng. "Kita harus balik ke penginapan dulu, bagai manapun jua persoalan ini tak bisa dirahasiakan kepada adik Bau maupun nona." Maka merekapun membayar rekening dan kembali ke penginapan. -ooo0dw0oooEMPAT sosok bayangan hitam bagaikan burung malam meluncur masuk kedalam sebuah kuil yang sudah hancur. Ketika bayangan manusia itu terhenti sejenak, maka dapat dikenal mereka adalah Sun -Tiong lo, Houji, Bau ji dan nona. Mereka berhenti sejenak, lalu terdengar Sun Tiong lo berkata sambil menuding kedua sisinya. "Toako dan Hou ji menggeledah kiri kanan ruangan, sementara siaute dan adik Kim akan berjalan terus." Mereka segera memisahkan diri menjadi tiga bagian dan melakukan pemeriksaan. Kuil Tong thian koan mencakup suatu batas wilayah yang luas, setelah kebakaran besar yang memusnakan bangunan tersebut, kendatipun harus menahan hujan dan angin, namun sisa-sisa bangunan masih tetap berdiri kokoh, terutama sekali di tengah malam buta begini, bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk menemukan seseorang atau beberapa orang yang menyembunyikan diri disitu. Padahal merekapun tak berani memastikan adakah seseorang disana, hanya menurut catatan dalam kitab tersebut, mereka diharuskan mencari orang yang bernama "He he koancu" Itulah sebabnya mereka datang kesana untuk melakukan pencarian. Orang yang bertugas melakukan pemeriksaan disebelah kiri adalah Hou ji, dia sedang bergerak kedepan sambil menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiIikinya. Sambil berjalan ia menengok keempat penjuru, andaikata disana ada orang, jangan harap orang itu bisa lolos dari pengawasannya. Yang ada disebelah kanan adalah Bau ji, dia pun maju selangkah demi salangkah dengan tindakan berat, sorot matanya memandang ke sekitar itu tanpa berkedip, sekilas pandangan sikapnya seperti gegabah dan tekebur, padahal dalam kenyataan dia sedang melakukan pemeriksaan dengan mengandalkan ilmu tenaga dalamnya yang tinggi. Sedangkan Sun Tionglo dan nona Kim yang ada disebelah tengan, kini jalan bersanding. Nona Kim berada di kanan sedangkan Sun Tiong lo berada di sebelah kiri... Tangan kanannya bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, mereka bersama-sama menjelajahi puing-puing yang berserakan itu. Mendadak... seperti dari tengah udara, seperti juga dari bawah tanah, tidak! Tepatnya dari empat arah delapan penjuru berkumandang datang suara gelak tertawa, suara tertawa itu menyeramkan sekali, gelak tertawa aneh yang cukup menggetarkan hati siapa saja. Gelak tertawa itu bagaikan muncul dari mulut seseorang, akan tetapi terpancar datang dari empat arah delapan penjuru. Empat orang yang ada di kiri, kanan, tengah serentak menghentikan langkahnya bersama-sama. Hou-ji, berkerut kening, secara diam-diam dia mencabut keluar senjata pentungan Jit sat ciang mo pang andalannya untuk bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yang tak di inginkan. Bau ji tetap berada dengan sikap dingin kaku dan menyeramkan, pelan-pelan diapun meloloskan pedangnya dari dalam sarung. Nona Kim mengetahui banyak tapi memiliki kepandaian paling sedikit, kini dia sudah dibikin amat menderita oleh gelak tertawa yang amat tak sedap itu. Sambil berusaha menahan diri, diam-diam bisiknya lirih. "Engkoh Lo, gelak tertawa ini mengandung hawa Im-sat yang jahat tapi lihay, bisa melukai orang tanpa disadari !" Sun Tiong lo manggut-manggut. -ooo0dw0ooo Jilid 30 "PENGETAHUANMU betul betul sangat luas, tapi..." Nona Kim mengerti apa kelanjutas dari kata "tapi" Tersebut, dengan cepat dia menukas. "Selanjutnya kau harus mengajarkan kepada ku!" "Tenang" Sun Tiong lo tertawa-tawa. "persoalan lain jangan dibicarakan dulu, sekarang kita mesti menghadapi dulu orang tersebut!" Seusai berkata Sun Tiong lo berpikir sejenak kemudian serunya kearah sebelah kanan. "Kami telah merasakan kelihayan ilmu Im Sat soh huo (hawa dingin pembetot sukma) saudara, kini bersediakah saudara untuk turun dari loteng genta dan berbincang sebentar dengan kami ?" Loteng genta ? Benar, memang loteng genta, tempo hari ketika Gan Wan sim menitahkan untuk membakar habis bangunan kuil To koan yang penuh maksiat tersebut, hanya untuk bangunan loteng genta disudut kejauhan sana yang lolos dari amukan api. Cuma dalam kuil Tong thian koan yang sudah punah ini, masih terdapat banyak sekali tempat tempat strategis yang bisa di gunakan untuk menyembunyikan diri, apalagi pihak lawan pun belum tentu benar-benar menyembunyikan diri diloteng genta tersebut, seandainya tidak, bukankah hal ini akan... Tapi tak perlu kuatir, Sun Tiong lo memang tidak salah mengatakan tempat persembunyian tersebut. Ketika Sun Tiong lo baru saja mengakhiri perkataannya, dari kejauhan sana tampak ada sesosok bayangan aneh yang meluncur keluar dari loteng genta dan membumbung keangkasa mencapai ketinggian lima kaki. Padahal loteng genta tersebut ada enam kaki tingginya, ditambah ketinggian yang dicapai bayangan tersebut, berarti jaraknya dari permukaan tanah mencapai duabelas kaki lebih. Kemudian, bayangan aneh itu nampak berhenti sejenak ditengah udara dan meluncur datang. Jarak antara bangunan loteng genta hingga ke tempat Sun Tiong-lo sekalian berada sekarang paling tidak mencapai dua puluh kaki lebih, dalam jarak sejauh ini seandainya bukan malaikat atau seseorang yang berhasil melatih diri hingga mencapai taraf "pedang dan tubuh bersatu padu" Sulit rasanya untuk mencpai tempat sejauh itu dengan sekali lompatan saja. Tapi dalam kenyataan hal mana bisa dilakukan orang tersebut menjadi suatu kenyataan. Ditengah kegelapan malam, Sun Tiong-lo sekalian tidak sempat melihat jelas gerakan tubuh apakah yang dipergunakan bayangat manusia tersebut, tanya nampak bayangan aneh meluncur sejauh sepuluh kaki lebih dengan gerakan mendatar, lalu baru menukik ke bawah. Setelah menukik ke bawah, gerak luncur nya bertambah cepat, bagaikan sambaran kilat cepatnya tahu-tahu orang itu sudah tiba di depan mata. Orang itu melayang turun hanya berapa kaki saja di hadapan Sun Tiong lo, kemudian tidak bergerak lagi: Sementara itu Bau-ji dan Hou-ji sudah berkumpul menjadi satu dengan Sun Tiong-lo tapi setelah menyaksikan kelihayan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu, tak urung hatinya merasa terkesiap juga dibuatnya. Namun Sun Tiong-lo sendiri sama sekali tidak menunjukkan perasaan kaget, bahkan se baliknya dia malah tertawa hambar. Senyuman mana dengan cepat menggusarkan pihak lawan, mendadak orang itu menegur. "Lohu sudah turun !" Yang dimaksudkan sudah turun, mungkin ia hendak menegur kepada Sun Tiong lo, setelah aku turun, mau apa kau? Sun Tiong lo tidak menjawab dulu pertanyaan tersebut, dia menghimpun tenaganya dalam nya dulu dan mengawasi pihak lawan dengan seksama. Ternyata manusia aneh yang baru saja meluncur turun dari atas loteng genta dan meluncur datang dari jarak dua puluh kaki itu tak berkain kerudung muka, dia mempunyai seraut wajah yang hitam pekat, sedemikian hitamnya mirip pantat kuali yang sudah lama tidak dipergunakan lagi. Alis matanya pendek lagi kasar, ada sebagian yang telah beruban, agaknya ia sudah berusia lanjut. Selembar mulutnya yang tipis tapi datar memperlihatkan kalau dia suka bicara. Sepasang matanya yang cekung kedalam sedang mengawasi wajah Sun Tiong lo tanpa berkedip. Ia memakai pakaian ringkas tani bukan terbuat dari bahan kain, melainkan terbuat dari bahan kulit kelas satu, diatas sepasang bahunya terlihat dua batang gelang baja besar yang dijahit disitu secara aneh, entah apa kegunaannya. Senjata yang dipakai orang itu lebih aneh lagi, dilihat sepintas lalu mirip sekali dengan dua batang pena baja yang di gulung menjadi satu. Berhubung Sun Tiong-lo cuma membungkam tanpa bergerak dan hanya mengawasinya tanpa berkedip, tanpa terasa iapun menegur lagi. "Bagaimana? Sudah puas kalau melihat ?" "Ya, sudah puas." Jawab Sun Tionglo "Lantas mau apa kau sekarang ?" "Heeeh, heeeh, heeeh, aku tak mau apa-apa." Setelah berhenti sejenak, dengan nada berubah dia balik bertanya lagi kepada orang itu. "Dan kau. apa yang kau inginkan ?" Orang itu mendengus dingin berulang kali "Lohu ingin bertanya kepada kalian, ditengah malam buta begini, ada urusan apa kalian berkunjung kemari ?" "Aneh, kau sendiri ? Mau apa kau berada di kuil ini ?" Sun Tiong lo balik bertanya dengan mata melotot. Orang itu makin naik darah, teriaknya. "Lohu sedang menegurmu, maka kau harus menjawab lebih dahulu!" Bau-ji tidak sabaran, mendadak tegurnya. "Siapa yang harus menjawab pertanyaanmu itu ? Hmmm !" "Bagus sekali, kalau begitu kalian tak usah pergi dari sini lagi" "Oooh . .. masa kau mampu ?" Jengek Hou ji. "baru pertama kali ini kudengar ancaman macam begitu, sayang selama hidup kami tidak percaya dengan tahayul, bila kau memang merasa berkemampuan untuk menahan kami di sini, ayolah, coba tahan kami di sini!" Dengan sorot mata yang gusar tapi memandang hina, orang itu mengawasi Sun Tiong lo sekejap, lalu katanya lagi. "Sesungguhnya siapa sih diantara kalian yang menjadi pemimpinnya ?" Tampaknya Hou-ji memang ada maksud untuk membuat lawannya gusar, cepat dia menjawab. "Siapa pun berhak menjadi pemimpin, dan siapapun berhak mengambil keputusan kalau ingin berbicara, ayo katakan saja terus terang!" Orang itu mengalihkan kembali sorot mata nya ke wajah Sun Tiong-lo. kemudian ujarnya. "Lohu rasa, kemungkinan besar kau lebih tahu diri daripada mereka, kini..." "Belum tentu" Tukas Sun Tiong lo sambil tertawa dingin. "Mungkin aku jauh lebih sukar untuk diajak berbicara." Orang itu menggigit bibirnya kencang-kencang dan tidak berbicara lagi, pelan-pelan dia mengembangkan pena bajanya. Pelan-pelan orang itu menggerakkan sepasang pena bajanya kekiri dan kekanan. Hingga sekarang baru terlihat jelas letak keanehan dari sepasang senjatanya itu, ternyata benda tersebut bukan pena, melainkan sepasang Thi pit-ki (panji pena baja). Pena baja itu panjangnya tiga depa, sedang panji yang terbentang berbentuk segi tiga. Anehnya, panji tersebut memancarkan cahaya hitam yang aneh dan gemerlapan, sudah jelas bukan terbuat dari kain. Setelah orang itu mengembangkan panji pena bajanya, meski gusar, namun ia masih tak ingin turun tangan dengan segera, maka sesudah tertawa seram berulang kali, dia menuding ke arah Sun Tiong lo dengan panji pena baja ditangan kanannya seraya berkata. "Sudah banyak tahun lohu tak bertempur melawan orang, tapi bila lohu di paksa untuk turun tangan juga, lohu akan bersikap seperti dulu, tak akan kubiarkan seorang korbanpun berada dalam keadaan hidup." Sebelum Sun Tiong lo menjawab, Hou ji te lah menyala. "Kalau begitu kita justru amat berlawanan setiap hari aku selalu bertarung melawan orang setiap hari pula kudengar orang lain hendak membunuhku tapi aku masih terus hidup hingga sekarang !" Orang itu mendengus dingin. "Hmm, tapi orang orang itu kan bukan lohu!" Hou ji balas mendengus. "Hmm, tetapi nyatanya kau toh tidak lebih hebat dari pada mereka!" Ejeknya. "Baik!" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Seru orang itu kemudian dengan kening berkerut. "kalian sendiri yang mencari penyakit, jangan salahkan lohu lagi, sebelum bertarung, ayo sebutkan dulu siapa namamu?" Sambil berkata, dia mengalihkan panji pena bajanya ke arah Hou ji dan meneruskan. "Mulai dari kau, siapa namamu dan murid nya siapa?" Hou ji segera terkekeh. "Yang datang tanpa permisi tentu tak bermaksud baik, lobih baik kau saja yang menyebutkan namanya lebih dulu, siapa namamu?" Saking gusarnya, orang itu sampai menggertak giginya keraskeras, jelas kemarahannya sudah mencapai pada puncaknya. Sun Tiong lo segera menimbrung sambil tertawa. "Aku she Sun, dia adalah saudaraku dan yang ini adalah suhengku, orang menyebutnya Hou-ji, sedang nona ini adalah sahabat kami sementara soal perguruan kami..." Berbicara sampai disitu, kembali Sun Tiong lo berhenti sampai ditengah jalan. "Kau murid siapa?" Tanpa terasa orang itu mendesak lebih jauh. Sun Tiong lo menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya sambil tersenyum. "Kalau dibicarakan mungkin saja kau tak percaya, Mengapa tidak bertarung saja agar kau bisa melihat sendiri kami adalah murid siapa?" "Kau anggap lohu tak mampu membedakan nya ?" Bentak oraag itu semakin naik darah. Sun Tiong lo masih tetap tersenyum. "Padahal soal bisa mengetahui asal perguruan kami atau tidak bukanlah suatu masalah besar. apalagi kita memang pada dasarnya tidak saling mengenal, kita pun tak punya dendam sakit hati apa- apa. buat apa musti saling bergebrak?" Mencorong sinar tajam dari balik mata orang itu, dia lantas berseru lantang. "Sudah lohu katakan telah banyak tahun aku tak pernah bertarung melawan orang lain, sekarang asal kalian bersedia menerangkan maksud kedatangan kamu semua, kalian boleh segera pergi meninggalkan tempat ini?" Kembali Sun Tiong lo menggeleng, ucapnya dengan wajah serius. "Maksud kedatangan kami sih boleh saja diberitahukan kepadamn, tapi kalau suruh kami pergi. Ehm. nanti dulu." Agak tertegun orang itu oleh ucapan tersebut serunya kemudian. "Ooh...jadi kalian enggan pergi? Hmm.. hmm aku lihat kalian harus pergi dari sini." Kembali Sun Tiong lo tertawa hambar. "Kalau kutinjau dari semua perkataan yang barusan kau ucapkan. dapat kutarik kesimpulan bahwa kau agak takut ada orang tetap tinggal di sini. bukankah begitu?" Mendadak dia mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, sambil menuding ke arah orang itu bentaknya lagi. "Sebetulnya kau mempunyai rahasia apa yang takut diketahui orang lain...?" Orang itu berpekik aneh dan tidak menjawab, mendadak tubuhnya bergerak ke muka menghampiri Sun Tiong lo, panji pena baja di tangan kirinya segera dikembangkan kemudian dengan jurus Ciu-bong sau lok (angin musim menggugurkan daun) menghantam dada Iawan. Sun Tiong lo tertawa dingin, tampak tubuh nya berputar kencang dan tahu-tahu sudah menyelinap ke belakang punggung orang itu, selain cepat, keanehannya pun sukar diduga. Gagal dengan serangannya dan kehilangan jejak musuh secara tiba-tiba, paras muka orang itu berubah hebat. Dalam pada itu Sun Tiong lo telah berkata kepada Bau ji sekalian. "Toako, suheng dan adik Kim, harap mundur agak jauh, biar siaute yang mencoba lebib dulu beberapa jurus serangan dari sahabat ini, bila siaute sudah tak sanggup nanti, toako baru turun tangan menggantikan aku bersedia bukan?" Apa maksud yang sebenarnya dari ucapan Sun Tiong lo itu, tentu saja Hou-ji. Bau-ji dan nona Kim tahu dengan pasti, hal mana memperingatkan kepada mereka bahwa mereka bukan tandingan dari orang ini, paling baik jika mengundurkan diri lebih dulu mencari tempat yang aman. - ooo0dw0ooo- HOU JI segera saling berpandangan sekejap dengan Bau ji dan nona Kim, kemudian bersama-sama mengundurkan diri sejauh dua kaki lebih. Tampaknya orang itu kurang memahami arti yang sesungguhnya dari ucapan Sun Tiong lo itu, dia menganggap apa yang dikatakan itu merupakan kenyataan. Teorinya memang amat sederhana, Bauji adalah kakaknya sedang Hou ji adalah suheng nya. tentunya seorang kakak lebih tangguh daripada si adik, seorang sute tak akan memadahi kepandaian suheng. itulah sebabnya orang itu menjadi amat terperanjat. Sejak dari kegagalannya melancarkan serangan dan tiba-tiba kehilangan jejak lawan tadi, dia sudah tahu kalau Sun Tiong lo memiliki kepandaian silat yang amat lihay apalagi disitu masih hadir kakak dan kakak seperguruannya, bukankah menang kalah sudah jelas tertera didepan mata..? Cuma saja orang ini bandel sifatnya semenjak terjun kedalam dunia persilatan dulu, walaupun ia sudah menduga kalau beberapa orang pemuda itu sukar dihadapi, akan tetapi ia tak menunjukan perasaan takut barang sedikit pun jua. Sementara itu, orang tadi sudah mengalihkan sorot matanya ke wajah Sun Tiong lo dan menatapnya lekat-lekat. Sun Tiong lo belum meloloskan pedangnya, dia malah berkata sambil tersenyum. "Sobat, apakah kita harus menyelesaikan persoalan dengan menggunakan kekerasan?" Orang itu mendengus dingin. Hmm... masih terlampau pagi kau ucapkan kata kata seperti itu, boleh saja kalau enggan bertarung, tapi kalian harus menerangkan kepadaku apa maksud dan tujuannya kedatangan kalian!" "Padahal sekalipun dibicarakan pun tak mengapa, kami datang hendak mencari seseorang" Kata Sun Tiong lo dengan kening berkerut. "Oooh, mencari siapa?" "Mencari seseorang yang bergelarkan Hehe Koancu..." Tidak sampai Sun Tiong lo menyelesaikan perkataannya, mendadak dia menggulung kembali panji pena bajanya dan memandang sekejap ke arah Sun Tiong lo sekalian, kemudian membalikkan badan dan berlalu dari tempat itu. Sikap maupun tindak tanduk orang itu kontan saja membuat Sun Tiong lo tertegun serunya cepat. "Sahabat, tunggu dulu, aku masih ada persoalan yang hendak dibicarakan denganmu!" Orang itu tidak berhenti, dia hanya berpaling seraya menjawab. "Tiada persoalan lagi buat kita untuk dibicarakan, mari, ikutlah aku." "Mari, Mau kemana ?" Sambung Hou-ji dari samping. Kini orang itu tidak berpaling lagi, sambil melanjutkan perjalanannya kedepan, sahutnya. "Kalau ingin mencari He-he, ikutilah diriku." Hou-ji tertegun, ia memandang ke wajah Sun Tiong lo seperti menanyakan pendapatnya. Mendadak orang itu berpaling lagi seraya berseru. "Bila nyali kalian kurang besar, tidak usah turut aku !" Selesai berbicara kali ini, dia mempercepat langkahnya berlalu dari situ. Sementara itu Sun Tiong-lo sudah mengambil keputusan cepat dalam detik itu, diam-diam bisiknya kepada Hou-ji. "Kau harus berhati hati terhadap kemungkin siasat busuk lawan, suheng dan toako boleh tetap menemani adik Kim, biar diriku saja akan pergi dengan seorang diri, akan tetapi ingat. kalian jangan sampai saling berpisah satu sama lainnya mengerti ?" Hou-ji seperti hendak mengucapkan sesuatu, Nona Kim juga ingin berbicara, tapi Sun Tiong lo telah berkelebat lewat dan meluncur ke depan, lalu bersama-sama orang itu berlalu dari situ: Bau-ji hanya berkerut kening menyaksikan kejadian mana, sesudah termenung sejenak men dadak dia ikut berlalu. "Eeh. mengapa kau?" Hou-ji segera menegur "Aku akan menyusul ji-te !" Jawab Bou-ji Hou ji memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian bisiknya lirih. "Toa te, kau harus tahu maksud siau liong suruh kita tetap berada di-sini, sudah jelas dia mengetahui kalau kita bukan tandingan dari orang itu, maka dia sengaja mengatur demikian demi keselamatan kita, sebelum berlalu tadi, diapun telah berpesan agar kita jangan saIing berpisah, hal ini menunjukkan kalau dia sangat kuatir bila ada kemungkinan orang akan menyerang kita menggunakan kesempatan tersebut, bila toate bersikeras hendak menyusulnya, bukankah hal ini hanya ada ruginya tiada untungnya ?" Bau ji mendengus dingin. "Hm, mungkin ucapan itu benar, tapi bukankah kita bisa pergi bersama ke sana ?" Hou ji tak bisa berbicara lagi, dia segera terbungkam dalam seribu bahasa. Nona Kim sendiri memang amat menguatirkan keselamatan Sun Tiong lo, sesungguhnya dia memang segan tinggal terus disana, melihat Hou ji tidak menjawab, dia lantas berlalu lebih dulu Begitu si nona berangkat, Bau ji menyusul dibelakangnya, dalam keadaan seperti ini Hou ji harus mengikutinya pula dari belakang. Tempat pertempuran mereka dengan pihak lawan berlangsung bekas ruang tengah, kini mereka berjalan menuju kearah depan dimana Sun Tiong lo tadi berlalu, tak selang berapa saat kemudian sampailah mereka di depan loteng genta. Loteng genta itu tingginya mencapai tiga kaki lebih, namun suasananya sunyi senyap tak kelihatan seorang manusiapun. Hou-ji tak ingin Bau ji dan nona Kim menjumpai mara bahaya, cepat cepat dia berseru. "Harap kalian tunggu sebentar, biar aku yang naik untuk melihat keadaan disitu!" Baru selesai berkata Bau ji dan Nona Kim telah bersama-sama mengenjotkan tubuhnya menerjang keatas loteng genta tersebut. Bau ji berhasil mencapai ketinggian empat kaki dan mencapai sisi jendela loteng tingkat ke tiga. Nona Kim lebih rendah kepandaiannya, dia hanya berhasil mencapai tepi jendela loteng tingkat dua. Hou ji tidak ikut naik, dia tetap berdiri tertegun ditempat semuIa,sebenarnya dia memang berhasrat untuk naik keatas. tapi kuatir ada orang menyergap Bau ji atau Nona Kim secara tiba-tiba, terpaksa dia mengurungkan niatnya tersebut dan hanya mengangkat kepalanya memandang ke arah Bau jin dan nona Kim dengan kesiap siagaan penuh. Bau ji yang pertama-tama mencapai loteng genteng lebih dulu disusul oleh nona Kim. Diatas loteng genta, kecuali genta tembaga yang amat besar penuh karatan itu, tak nampak sesosok bayangan manusiapun, kayu besar pemukul gentanya pun telan dilapisi debu yang tebal. Tali besar dibawah kayu pemukul genta masih nampak utuh, namun ketika ditarik Bau ji ternyata tali tersebut hancur berantakan menjadi debu, rupanya sudah lama hancur. Hou ji yang ada dibawah nampak sangat gelisah, tiba-tiba dia berteriak keras. "Toate, apa yang berhasil kau jumpai disana." "Setanpun tak nampak!" Jawab Bau ji cepat, selesai berkata, dia segera lompat turun ke bawah. Baru saja dia melayang turun, nona Kim telah menemukan sesuatu, tiba-tiba teriaknya ke bawah. "Engkoh Lo sedang bertarung dengan orang didalam hutan bambu sebelah diri !" Sambil berseru dia meluncur turun dari loteng genta dan langsung melompati dinding pekarangan yang sudah runtuh. Hou ji kan Bau ji tak berani berayal, dengan cepat mereka menyusul dari belakang. Benar juga, diluar hutan bambu nampak ada tiga orang sedang mengerubuti Sun Tiong lo. Anehnya orang yang mereka jumpai semula ini malah tak nampak batang hidungnya lagi. Nona Kim sampai disitu lebih duluan, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia meloloskan pedangnya sambil maju menyerang. Bau ji dan Hou ji turut menyusul ke situ, serentak merekapun turun tangan membantu. Siapa tahu Sun Tiong lo berseru dengan gelisah. "Adik Kim, jangan urusi aku, cepat ke dalam hutan bambu dan menolong sahabat yang kita jumpai tadi !" Nona Kim tertegun. Hou-ji dan Bau-ji turut termangu sehabis mendengar seruan mana. Terdengar Sun Tiooglo berkata lebih jauh dengan perasaan gelisah. "Apakah Hou-ko tak bisa melihat bahwa aku sedang menahan ketiga orang ini, sementara sahabat yang membawa jalan itu sedang menyerempet bahaya sekarang ? Dalam hutan bambu sana terdapat musuh tangguh, cepat kalian bantu dia !" Hou ji termenung sambil berpikir sejenak, kemudian ujarnya kepada Bau ji dan nona Kim. "Mari kita seorang lawan itu, suruh Siau liong saja yang menolong sahabat tersebut, bagaimana menurut kalian ?" Belum habis perkataan itu diutarakan Bau ji dan nona Kim sudah melompat kedepan dan masing masing memapaki seorang musuh. Maka sambil tertawa terbahak-bahak Hou ji juga terjun kearena dan menghadapi seorang yang lain. Sambil tertawa Sun Tiong lo berseru kepada Houji. "Engkoh Hou, jangan kau lukai mereka, cukup asal mereka kena terhadang hingga memberi kesempatan kepada orang-orang itu melakukan pengajaran aku akan menuju ke hutan bambu memberi bantuan, sebentar akan balik kemari!" Selesai berkata, dia lantas melompat ke depan dan menerobos masuk ke dalam hutan bambu. Hou ji, Bau ji dan nona Kim masing-masing menghadapi seorang lawan, yang aneh ternyata pihak lawan malah menarik kembali serangannya sambil menghentikan gerakan. Setelah gerak serangan mereka berhenti, ke dua belah pihak dapat melihat jelas raut wajah masing-masing pihak. Ternyata ketiga orang itu adalah tosu-tosu perempuan yang berbaju abu-abu. Di masa lalu, kuil Tong thian koan merupakan kuil kaum rahib, kini duapuluh tahun sudah lewat, ternyata dari balik puing-puing yang berserakan muncul kembali sekian banyak rahib perempuan dapat disimpulkan kalau kejadian dibalik kesemuanya itu luar biasa sekali. Hou-ji berpengalaman sangat luas, melihat musuh berhenti menyerang, dia lantas menduga bakal terjadinya perubahan lain, Maka setelah melihat jelas wajah lawannya, dengan cepat ujarnya kepada Bau ji dan nona Kim. "Jangan lupa dengan pesan Siau-liong, turun tangan dan hadang jalan pergi lawan !" Sementara pembicaraan berlangsung, berhubung Hou ji telah mempersiapkan senjata Jit sat ciang mo pangnya semenjak tadi, diapun segan berganti dengan senjata lain, sambil mengayunkan senjatanya dia maju melancarkan serangan. Nona Kim tak mau ketinggalan, dia pun mengayunkan pedangnya membacok salah seorang tokoh tersebut. Bau ji berkerut kening, menurut sifatnya, dia paling segan bertarung melawan para kaum wanita. Tapi situasi yang terbentang didepan mata dewasa ini memaksanya harus menghadang gerak maju musuhnya, maka dengan suara dingin diapun menegur. "Lebih baik berdiri saja disitu dengan tenang, bilamana kau membangkang, terpaksa aku harus turun tangan !" Tokoh yang berdiri saling berhadapan dengan Bau-ji adalah Tokoh yang berusia paling besar diantara mereka bertiga, kira-kira berusia dua puluh tujuh delapan tarunan, dialah pemimpin dari ketiga orang tersebut. Sudah cukup lama dia berkelana dalam dunia persilatan, pengalamannya amat luas, begitu mendengar ucapan Bauji, ia lantas mendapatkan sebuah akal bagus. Maka sambil tersenyum ujarnya kepada Bau ji. "Ooh, baiklah... aku tidak bergerak, kaupun tak usah bergerak !" Bauji hanya membungkam diri dalam seribu bahasa, sepatah katapun tidak menjawab. "Mengapa sih kau bersikap demikian ?" Kembali tokoh itu bertanya sambil tersenyum. Dengan tak sabar Bau ji mendengus. "Aku paliag segan bertarung melawan kaum wanita !" Tokoh itu seakan-akan baru memahami ucapan mana, sorot matanya segera dialihkan sekejap ke sekeliling tempat itu, kemudian katanya. "Aku mengira kau takut dengan kaum wanita." Sesudah berhenti sejenak, sambungnya lagi lebih jauh. "Tapi beginipun ada baiknya juga, cuma kalau toh kita tak usah bertarung, rasanya tak usah pula berdiri termangu terus disini, duduk diatas batu disebelah situ boleh bukan ?" Diluar hutan bambu merupakan sisi dinding pekarangan bekas kuil, banyak puing berserakan disitu, diantaranya terdapat pula beberapa bongkahan batu besar yang berada berapa kaki saja di hadapannya, batu itulah yang ditunjuk tokoh tersebut. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Tanpa memandang sekejap matapun Bau ji menggeleng. "Tidak boleh !" Disinilah letak keanehan Bau-ji, mungkin disini pula letak daya tarik orang ini. Tokoh tersebut telah salah menduga, dia mengira Bau ji kalau bukan seorang keparat yang sombong dan tekebur tentulah manusia yang lemas badannya bila bertemu kaum wanita, di anggapnya hal mana gampang sekali untuk dihadapi. Siapa sangka Bau ji sama sekali tiada perasaan sayang dengan kaum wanita, lunak tak bisa dikeraspun tak dapat. Gagal dengan siasat pertama, muncul siasat lain dalam benak tokoh tersebut, kembali ujarnya. "Pinni bergelar Lok soat, siapa namamu saudara cilik ?" Kini ia berusia dua puluh tujuh tahun, mengambil gelar sebagai Lok-soat (menjelang senja), boleh dibilang suatu sebutan yang tepat sekali. Sewaktu mengajukan pertanyaan tarsebut kepada Ban-ji, alis matanya melentik sementara matanya mengerling genit. Seandainya berganti orang lain, mungkin akan timbul pelbagai pikiran yang bukan-bukan. Tapi Bau ji tetap tangguh dan kokoh bagaikan batu karang. Dengan suara dingin dia berseru. "Masih ada sebuah persoalan lagi hendak ku beritahukan kepadamu yaitu lebih baik jangan banyak bincang dihadapanku !" Dengan demikian siasat yang di susun Lok-soat tokoh kembali menemui kegagalan total, lantas mukanya kontan berubah berulang kali. Setelah termenung berapa saat, akhirnya di putuskan untuk mengambil tindakan yang menyerempet bahaya. Dia bermaksud hendak turun tangan melancarkan sergapan di saat Bau-ji sedang tak siap nanti, lalu menjadikannya sebagai sandera. Tentu saja ia tak bermaksud membunuh Bau ji, dia hanya ingin menawan pemuda itu dan menjadikannya sebagai sandera, bila rencana tersebut berhasil, bukan saja dapat memaksa pihak lawan untuk menghentikan serangannya, bahkan diapun dapat melanjutkan rencananya semula. Oleh sebab itu dia berlagak seakan-akan apa boleh buat dan menghela napas panjang, Bau-ji tidak perdulikan lagi, sementara sorot matanya dialihkan ke wajah ke empat orang yang sedang bertarung, lagaknya seperti tertarik sekali oleh pertarungan yang sedang berlangsung. Tentu saja Bau ji mengalihkan juga sorot matanya ke arah Hou ji dan nona Kim, terutama memperhatikan jurus serangan yang di gunakan ke dua belah pihak. Hou ji dengan tongkat jit sat pangnya menghadapi tokoh yang jauh tidak berimbang kekuatannya, sedangkan Nona Kim dengan mengandalkan pedangnya mengeluarkan jurus-jurus paling tangguh untuk meneter lawannya habis-habisan, oleh karena itu pertarungan berjalan se-imbang, untuk menang memang susah tapi untuk kalah pun tak mungkin. Dari sini, Bau ji segera memahami apa sebab nya Sun Tiong-lo merasa murung tadi. Kalau dibicarakan dari kepandaian silat yang dimiliki kedua orang tokoh tersebut untuk menarik kesimpulan atas kepandaian silat yang dimiliki Lok soat, tokoh yang tak bertarung itu. meski selisih berapa jauh, namun bisa di simpulkan kepandaian mereka tidak lihay. Padahal ilmu silat yang dimiliki Sun Tiong lo tadi lihay, sekali pun semestinya kendatipun dia bertarung satu lawan tiga, untuk meraih kemenangan bukan suatu yang menyulitkan baginya. Tapi kenyataannya tadi mereka hanya bertarung seimbang, hal ini berarti pemuda itu mempunyai alasan yang tertentu. Sekarang Bau-ji sudah mengerti, alasannya tak akan terlepas dari dua hal. Pertama, tiga orang tokoh ini tahu kalau Sun Tiong lo tidak ingin membunuh mereka, maka mereka menyerang Sun Tiong lo habishabisan dengan waktu agar pemuda itu terkurung dan rekannya yang berada dalam hutan bambu akan menarik hasil. Alasan yang lain adalah S'm Tiong lo tak dapat membiarkan ketiga orang tokoh itu pergi, namun diapun segan membunuh mereka, terpaksa ia harus bertarung terus sambil menunggu kesempatan. Terlepas dari alasan manakah yang menjadi dasar pertimbangannya, persoalan pokoknya hanya satu yakni ia tak dapat membunuh mereka. Sedang mengenai alasan kenapa mereka tak boleh dibunuh, Bau ji tidak habis mengerti. Sorot mata Bau ji tiada hentinya dialihkan ketengah arena menyaksikan ke empat orang itu bertarung, banyak persoalan muncul dan berkecamuk dalam benaknya waktu itu, keadaan tersebut tentu saja tak terlepas dari pengamatan Lok soat yang memang sudah mengamatinya semenjak tadi, diam diam tokoh tersebut girang sekali. Dengan cepat dia mengambil keputusan di dalam hati, dia harus menunggu kesempatan baik untuk segera bertindak. Kini kesempatan yang dinantikan telah tiba, dia hendak mencari saat yang paling menguntungkan untuk turun tangan. Pertama-tama dia memperhitungkan lebih dahulu, jaraknya dengan Bau ji. Jaraknya hanya lima depa, berarti bila dia bisa maju selangkah lagi maka sasarannya akan tercapai. Dalam selisih jarak. posisinya lebih menguntungkan bagi pihaknya, dan diapun percaya dengan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya, kendatipun pihak lawan sudah melakukan persiapan pun belum tentu bisa lolos dari ancamannya, Kalau toh selisih jaraknya sudah beres, sekarang persoalannya tinggal menunggu tibanya kesempatan yang terbaik. Secara diam-diam ia melirik sekejap lagi ke arah Bauji, tampaknya Bau ji masih memusatkan segenap perhatiannya memperhatikan jalannya pertarungan antara keempat orang itu dan sikapnya tiada persiapan sama sekali, dia jadi amat lega, karena kesempatan semacam itu menguntungkan sekali baginya. Sekarang, Lok Soat tinggal mempertimbangkan dengan cara apakah dia harus turun tangan. Kalau serangannya kelewat enteng, dia khawatir akan menjumpai kegagalan, tetapi jika berat, dia pun kuatir terjadi hal-hal yang sama sekali tidak di inginkan... Kejadian ini memang sangatlah aneh, pada umumnya dua belah pihak yang saling berhadapan selalu berusaha untuk turun tangan seberat mungkin dan setepat mungkin, tapi sekarang, mengapa Lok soat justru terlalu banyak mempertimbangkan diri sebelum turun? Akhirnya dia mengambil keputusan untuk menotok jalan darah lemas ditubuh Bau ji, totokan tersebut harus dilepaskan kuat-kuat, karena meski kuat-kuat, serangan tersebut tak akan menimbulkan ancaman bahaya apapun. Tapi, letak jalan darah lemas dalam posisi berdiri Bau ji sekarang, rasanya jauh iebih sulit dicapai daripada menotok jalan darah Tay yang hiatnya yang sama sekali tak terlindung itu. Namun, jalan darah Tay yang hiat merupakan salah satu diantara jalan darah kematian lainnya, bila tertotoknya kelewat keras bisa jadi akan berakibat kematian, dia tak ingin berbuat demikian, maka otaknya lantas berputar mencari akal untuk mencapai sasaran jalan darah lemas lawan secara jitu. Maka ia sengaja membungkukkan badan sambil memijit pahanya, pertama kalau kakinya sudah kaku karena kelewat lama berdiri. Semua gerak-gerik to-koh tersebut dapat terlihat semua oleh Bau ji dengan nyata, dia segera melengos. Tokoh itu mendengus marah kemudian membalikkan badannya, sikap seperti itu mengartikan kalau dia mendongkol sekali pada Bauji. Tapi Bau ji memang benar-benar tidak mengerti kasihan kepada kaum wanita, dia tetap berpaling kearah lain tanpa menggubris keluhan tersebut. Keadaan mana justru amat cocok dengan apa yang diharapkan Lok soat, waktu itu dia telah bersiap sedia melancarkan serangan kilat untuk merobohkan musuhnya. Baru saja Bau ji berpaling, tahu-tahu ia telah menerjang ke muka. Tangannya bergerak cepat menyambar ke-depan, secara telak dia hajar jalan darah lemas ditubuh Bau ji. Agaknya Bau ji sama sekali tidak mempersiapkan diri sendiri baik- baik, begitu tertotok, tubuhnya segera roboh. Tampaknya Lok soat telah mempersiapkan diri lebih jauh, meski dia berhasil menotok jalan darah Bauji, namun di saat tubuh anak muda tersebut bergoncang keras dan hampir roboh ke tanah, secepat kilat dia menyambar tubuh Bau ji dan memeluknya erat- erat. Kepada Hou ji dan nona Kim, bentaknya. "Berhenti kalian, kalau tidak akan kubunuh rekanmu ini !" Sambii berkata, Lok-hoat mengayunkan telapak tangan kanannya siap dihajarkan keatas batok kepala Bau ji. Ketika mendengar teriakan tadi, dua orang tokoh tersebut yang mula-mula melompat ke luar lebih dulu dari arena pertarungan Hou-ji dan nona Kim terpaksa harus menarik pula serangan masing-masing dengan perasaan apa boleh buat. Sambil tertawa Lok soat berkata kepada dua orang tokoh tersebut. "Hei, mengapa kalian tidak segera pergi ?" Mendengar itu, kedua tokoh tersebut mengiakan dan siap berlalu, tapi pada saat itulah kejadian aneh telah berlangsung didepan mata. Mendadak terdengar Lok soat menjerit kesakitan, menyusul kemudian keadaanpun berubah. Kalau semula yang membopong tubuh Bau ji maka sekarang Bau ji lah yang sedang mencengkeram pergelangan tangan Lok soat sambil tertawa dingin tiada hentinya, dan sementara jalan darah lemas di tubuh Lok soat kena tertotok, saking sakitnya dia hanya bisa berdiri terbelalak dengan mulut melongo, tubuhnya sama sekali tak bisa bergerak. Hou ji hanya melirik sekejap keadaan di sekelilingnya, kemudian secepat kilat menerjang kemuka, tokoh yang sedang bertarung melawan dirinya tadi masih berdiri tertegun oleh perubahan yang sama sekali tak terduga itu, akibatnya secara mudah iapun berhasil di tawannya hidup-hidup. Dengan cepat Hou ji menotok jalan darah tokoh ini, kemudian bersama nona Kim dia menggencet tokoh yang ketiga dan mengurungnya dari muka dan dari belakang juga. Tokoh itu menarik napas panjang, dia tahu keadaan tak menguntungkan sekalipun melawan toh akhirnya bakal keok juga. Lok soat yang jalan darahnya tertotok masih dapat melihat dan mendengar semua kejadian dihadapannya, menyaksikan akhir dari perubahan situasi tersebut, saking gemasnya dia hanya bisa menggigit bibir kencang-kencang, yaaa, apa lagi yang bisa dia lakukan sekarang? Sementara itu Bau ji sedang berkata kepada Lok soat sambil mendengus dingin. "Inilah pelajaran yang paling cocok bagimu, lain kali jangan mencoba untuk mencelakai orang lain secara menggelap lagi!" Hou ji tertawa. "Toa-te!" Katanya pula. "aku mengira kau masih juga seperti dahulu, ternyata..." "Sejak kecil aku sudah terbiasa menyaksikan kejadian-kejadian memalukan seperti ini, aku tak bakal termakan oleh tipu muslihat semacam itu lagi." Tukas Bau ji cepat. Kembali Hou ji tertawa, kepada nona Kim katanya. "Nona. totoklah jalan darah lawanmu, kemudian kita harus masuk kedalam hutan bambu itu!" Nona Kim mengangguk berulang kali, dengan cepat dia menotok jalan darah Iawannya. Mereka bertiga menyeret ketiga orang tokoh tersebut kedalam hutan bambu dan membaringkan ditanah, kemudian secara diam- diam menyusup masuk kedalam hutan bambu itu guna melakukan pemeriksaan yang seksama. Makin masuk, mereka menelusuri hutan bambu itu semakin ke dalam... Hutan bambu itu mana luas lebat lagi, namun sama sekali tak terdengar suara bentrokan senjata ataupun suara teriakan apapun. Ketika menelusuri lebih kedalam, mendadak pemandangan di hadapannya lebih terbuka lebar. Mereka belum berjalan keluar dari hutan bambu tersebut, tapi seperti telah sampai di-suatu tempat lain. Tiga kaki dihadapan mereka sebuah pekarangan yang berpagar bambu. Bambu itu bukan tumbuh secara alam, melainkan diatur oleh tangan manusia sehingga selain tumbuh rapat dan lebar, terciptalah suatu penyekat alam yang tingginya mencapai lima kaki. Bambu tersebut berlapis lima, sitiap batang berselisih lima inci, sehingga sewaktu bammi itu makin tinggi, daun dan rantingnya harus dibuat bersih hingga bentuknya jadi lurus ke atas. Menghadapi lapisan pagar bambu yang tingginya lima kaki dengan tebal berapa kaki tersebut, Hou ji bertiga berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar. Bau ji tampak berpikir sebentar, kemudian ujarnya. "Mari kita menelusuri pagar bambu ini, coba kita cari dimanakah letak pintu masuknya!" Dengan mempercepat langkah masing-masing ke tiga orang itu berjalan menelusuri ikutan bambu. Setelah satu keliling mereka lalui, nyatanya sebuah pintu masuk pun tidak di temukan. Tapi mereka sudah tahu sekarang bahwa pagar bambu itu mencapai setengah hektar lebih, mana besar lebarnya bukan kepalang. Bambu yang mencapai lima lapis dengan ketinggian lima kaki itu membuat pemandangan dibalik situ tertutup sama sekali, kendatipun kau berilmu tinggi jangan harap bisa melihat jelas keadaan disana, bahkan semut pun kecuali menerobos lewat tanah, jangan harap bisa mencapai ke sana. Kalau semut bisa lewat tanah, orangpun harus melewati tempat atas. Dengan kening berkerut Bau ji berkata. "Tiada cara lain, terpaksa kita harus melompat lewat atas." Houji manggutkan kepaIa. "Ucapanmu memang benar, cuma kita mesti memikirkan lebih jauh !" Dengan tak sabar Bau ji berkata pula "Apalagi yang harus dipikirkan ?" Matanya nona Kim melirik sekejap ke arah Bau ji, kemudian ikut menimbrung. "Hei. bila sudah bertemu kesuIitan, mengapa sih terhadap siapa pun kau tak punya kesabaran barang sedikitpun juga ?" Tanyanya pula. Bauji mendengus dingin. "Hmm, memang beginilah diriku !" Sahutnya. "Hai, tapi aku justeru merasa tidak Ieluasa menyaksikan tampang semacam dirimu." Bau ji tertawa dingin dan kemudian katanya. "Gampang sekali, bila kurang leluasa untuk memandang, tak usah memandang lagi !" Dengan hati yang sangat mendongkol bercampur marah nona Kim melengos kearah lain, kemudian tidak menggubris Bau ji lagi. Hou ji ying menyaksikan kejadian itu segera berkerut kening, katanya. "Toa te, aku tahu kalau kau terburu nafsu, tapi jangan lupa, demikian pula dengan kami." Bau ji tetap membungkam, baginya hal ini menunjukkan kalau dia mengakui telah salah berbicara. Maka Hou ji berkata lagi. "Toa te, menurut pendapatmu, apa yang terdapat dibalik pagar bambu tersebut?" "Aku rasa pastilah sebuah halaman dengan gedung yang megah" "Mungkinkah Siau liong dan teman yang membawanya kemari sudah berada disana?" "Pasti berada disitu!" Jawab Bau ji tanpa berpikir lagi. "Darimana kau bisa tahu?" Tanya nona Kim. "Jangankan dia" Kata Bau ji ketus. "sekali pun aku, bila sampai di sini dan menyaksikan keadaan disekitar tempat ini, sudah pasti aku akan masuk kedalam untuk melihat keadaan." "Baiklah" Tukas Hou-ji mendadak. "anggap saja Siau-liong dan penunjuk jalan itu sudah berada didalam sekarang, dan anggap pula mereka masuk kedalam dengan melompati pagar bambu yang tinggi itu." "Tentu saja, disekitar pagar bamhu ini tiada pintu, kalau bukan lewar atas mesti lewat mana ?" "Kelewat cepat mengambil keputusan" Nona Kim mendengus. "aku tak percaya kalau disini tak ada pintunya." Bau ji melirik sekejap keirah nona Kim, kemudian berkata lagi. "Jika disini ada pintu masuknya, hal tersebut lebih baik lagi, bagaimana jika kau saja yang membawa jalan ?" "Tampaknya kau selalu memusuhi diriku!" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Bentak nona Kim dengan amat gusarnya. "Aku tidak memusuhimu, aku hanya berbicara sejujurnya, karena kau tidak percaya bahwa disini tak ada pintunya." "Aku ingin bertanya padamu dibalik pagar bambu situ entah ada gedungnya atau lainnya, sudah pasti ada manusianya bukan?" Kali ini Bau ji mengangguk "Aku rasa hal ini tak bakal salah:" "Kalau kubilang orang yang ada didalam sana pasti sekomplotan dengan ketiga orang tokoh yeng berhasil kita bekuk itu, percayakah kau akan kebenaran ini?" Bau ji berpikir sejenak, lalu sahutnya . "Kemungkinan selalu ada, bahkan kemungkinan sekali!" Nona Kim segera tertawa dingin. "Aku berani memastikan, ketiga orang tokoh tersebut pasti seringkali masuk keluar dari balik pagar bambu ini!" "Seandainya mereka ada sangkut pautnya, tentu ssja hal ini mungkin saja terjadi." Jawab Bau ji sesudah berpikir sejenak. Mendadak nona Kim merubah pokok pembicaraannya, sambil menuding pagar bambu itu katanya lagi. "Pagar bambu ini tingginya lima kaki, berbicara menurut kepandaian silat di dirimu apalagi setelah menyaksikan betapa lebarnya tempat yang tertutup pagar bambu ini, dapatkah kau melompat pagar tersebut dalam sekali lompatan ?" Bau ji angkat kepalanya memandang ke tempat ketinggian lalu jawabnya. "Aku percaya dapat, tentu saja harus mengerahkan segenap tenaga yang kumiliki !" "Benar, bila berbicara soa ketinggian lima kaki, seharusnya tak usah menggunakan tenaga yang kelewat besar pun bisa melaluinya, tapi berhubung keadaan posisinya tidak menguntungkan, maka orang harus mengerahkan segenap tenaga untuk bisa melampaui pagar bambu itu !" "Sesungguhnya teori ini amat sederhana dan mudah diterima dengan akal, buat apa sih kau berbicara melulu tiada hentinya ?" Kembali Bauji menukas dengan habis sabar. Nona Kim tidak ambil perduli, kembali katanya. "Berbicara dengan tenaga dalam yang kau miliki, bagaimana kalau dibandingkan dengan ke tiga orang tokoh tersebut ?" "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan semacam itu?" Bau ji bertanya deagan perasaan tak habis dimengerti. "Tentu saja ada alasannya, jawab saja semua pertanyaan yang kuajukan kepadamu!" "Bila kau menanyakan tinggi rendahnya kepandaian masing- masing pihak, bukankah pertanyaanmu ini amat berlebihan?" Nona Kim mendengus. "Bila kau mengakui bahwa tenaga dirimu jauh lebih hebat dari pada mereka, berarti harus kau akui pula bahwa dibalik pagar bambu tersebut sudah pasti ada pintunya!" Bau ji segera memahami apa yang dimaksudkan, dia manggutmanggut. "Perkataanmu ini memang bisa masuk diakal tapi bila rahasia pintu tersebut tidak berhasil ditemukan, apa boleh buat?" Agak mereda juga hawa amarah nona Kim setelah mendengar perkataan dari Bau ji, katanya, kemudian. "Nah, begitu baru benar, bila ada pintunya berarti tak sulit buat kita untuk menemukannya!" Menyaksikau keributan diantara kedua orang itu, Bau-ji segera tertawa, katanya kemudian. "Sudah cukup, mari kita rundingkan secara baik-baik sekarang, bagaimana cara yang terbaik untuk melampaui perintang tersebut ?" "Tentu saja harus melalui atas sana." Bau-ji tetap menuding ke tempat atas situ. "Aku rasa jalan atas bukan suatu jalan yang gampang untuk dilalui." Ketika Houji menyaksikan Bau ji menunjukkan kembali sikap tak sabarnya, dengan cepat dia menimbrung. "Betul, aku rasa diatas sana sudah pasti telah disiapkan alat jebakan untuk menahan kita" "Sekalipun demikian, kita tetap harus mencobanya lebih dulu !" Bau-ji tetap bersikeras. "Dicoba sih tentu saja dicoba, tapi kita harus bertindak dengan ditunjang oleh suatu rencana yang matang, aku rasa kita mesti menyediakan bambu panjang lebih dulu, harus kita coba bagaimana reaksinya bila pagar bambu mana dilalui." "Benar, cara ini memang sangat bagus!" Nona Kim manggut- manggut. Baru saja dia selesai berkata, Bau ji telah mengayunkan pedang mustikanya membabat sebatang bambu yang ada, cahaya pedang berkelebatan lewat, tahu-tahu sebatang bambu sudah terjatuh ketanah, dia mengambil bambu tadi dan dilemparkan kearah pagar bambu yang ada. Bambu itu terjatuh dan bersandar diatas pagar bambu itu, setelah terhenti sejenak lalu terjatuh kembali ketanah. Dari ujung pagar bambu itu sama sekali tak kedengaran sedikit suarapun, juga tak nampak ada sesuatu benda yang meluncur datang. Bau ji segera berkata. "Nah, sekarang sudah dicoba, agaknya sama sekali tiada alat jebakan apapun!" Seraya berkata dia mencabut kembali pedangnya dari atas tanah. Kali ini dia mengayunkan pedangnya dengan menghimpun tiga bagian hawa murninya cahaya tajam berkilauan tahu-tahu dia sudah menyambar keatas lapisan bambu yang berada dipaling depan. Kalau tadi, bambu tersebut segera patah begitu tersentuh mata pedang, maka bambu yang dibacok sekarang ternyata terbuat dari baja murni, yang kena terbabat kini tak lebih cuma selapis kulitnya belaka. Nona Kim yang pertama-tama menjeri kaget lebih dulu, dia segera melakukan pemeriksaan, lalu serunya. "Oooh rupanya begitu." Sekarang Hou-ji dan Bau ji sudah dapat melihat jelas keadaan yang sebenarnya rupanya kelima lapis bambu yang dijajarkan sebagai pagar bukan semuanya terdiri dari bambu asli melainkan terbuat dari besi yang dicat persis seperti warna bambu. Dengan ditemukannya hal tersebut, suasana yang meliputi sekeliling tempat itupun bertambah misterius. Bau ji tidak bersikeras hendak melompat melalui atas lagi, dia segera mengurungkan niatnya itu kendatipun dia tahu belum tentu diatas tiang besi tersebut terdapat alat jebakan. Kalau dibilang mencari pintu? Kelewat sulit, apalagi terlalu banyak membuang waktu. Nona Kim mulai berpikir, mendadak ia mendapatkan suatu ide bagus, dengan cepai ide mana dirundingkan dengan Hou ji dan Bau ji yang ternyata disetujui pula. Secara beruntun mereka membabat enam batang bambu, lalu disusun menjadi sebuah tangga bambu yang kuat sekali, tingginya mencapai enam kaki dan disadarkan diatas tiang besi tersebut. Setibanya diatas, mereka baru dapat menyaksikan betapa liehaynya alat jebakan yang terpasang disitu. Rupanya diatas pagar besi tadi dipasang serenteng jaring tembaga berkait yang amat kuat tak heran kalau tidak terjadi sesuatu gejala apa pun ketika dicoba dengan bambu tadi, sebab bambu bertubuh licin hingga tak mungkin bisa terkait. Diantara jaring berkail tersebut dipasang serentetan kelening emas, bila ada orang terkail maka keleningan tersebut akan segera berbunyi keras, tentu saja hal ini akan menyebabkan pihak tuan rumah menyadari akan datangnya tamu tak diundang dan melakukan penyergapan. Jika hanya jaring kail belaka, hal tersebut masih mendingan, justru tepat diseberang jaring berkail tersebut telah dipasang busurbusur berpegas tinggi yang siap menghamburkan puluhan batang anak panah. Bila seseorang menyentuh jaring maka dia akan ditawan oleh kail tersebut, untuk melepaskan kail mana, tubuh orang itu akan bergoncang yang menyebabkan keleningan ber bunyi, dan kaitan yang di potong lepas akan menyebabkan anak panah tersebut telah dipersiapkan sedemikian juga, bila orang masuk jaring, sebelum dia sempat meloloskan diri dari semua kaitan, dia tentu akan terhajar oleh anak panah dan mati lebih dulu disiiu, Apa lagi jika dilihat posisinya, mustahil orang bisa meloloskan diri. Untung saja mereka bertindak cukup hati-hati, untung saja nona Kim mempunyai ide untuk membuat anak tangga, coba kalau mereka menerjang pagar besi itu secara gagah, niscaya tubuh mereka sudah dilubangi oleh anak panah. Setelah menyaksikan jelas semua keadaan, Hou-ji segera berbisik. "Hati-hati keadaan dibawah sana !" Di bawah sana merupakan sebuah tanah lapang berumput rendah, rumput itu berminyak dan nampak sangat indah. Dibelakang tanah berumput itu merupakan sebuah bangunan loteng yang terbuat dan batu tidak kelewat besar tapi mungil dan sangat menawan hati. Ditmjau dari bangunannya yang indah, bisa diketahui kalau bangunan tersebut dirancang oleh arsitek kenamaan. Bagian dasar bangunan berloteng itu membentuk tonjolan ke atas, lotengnya sendiri cuma separuh, atap dan bangunan berbentuk kerucut, bangunan seperti ini selain model baru indah, lagi kuat. Dengan wajah termangu-mangu Hou-ji berkata. "Tampaknya pada rumput itu tidak nampak sesuatu yang mencurigakan, tapi bangunan batu itu justeru sangat aneh." "Turun saja, tapi mesti berhati-hati !" Kata Bau ji. Mereka bertiga manggut-manggut, lalu dipimpin oleh Bau ji, dia melejit lebih dulu kebawah, kemudian serunya. "Aku akan turun lebih dulu, kalian harus perhatikan baik-baik tempat berpijakku nanti" Dengan selamat dia berhasil mencapai tanah, ternyata disitu memang tiada jebakan. Maka Hou ji dan nona Kim segera menyusul pula melompat turun kebawah sana. Kini, pandangan nona Kim terhadap Bau ji telah berubah, semula dia menganggap dia kaku, dingin dan kejam, tapi sekarang dia baru tahu kalau pandangan tersebut keliru besar. Oleh karena itu ketika Bau ji hendak mendekati bangunan berloteng itu, ia segera berseru. "Tunggu sebentar, biar aku yang berjalan lebih dulu!" "Mengapa ?" Tanya Bau ji dengan kening berkerut. Sambil menuding kearah bangunan loteng itu, nona itu menjawab. "Aku cukup mengenali bangunan loteng semacam ini !" Sementara Bau ji masih tertegun, Hou ji yang pintar telah menimbrung dari samping. "Apakah didalam bukit pemakan manusia juga terdapat bangunan semacam ini ?" "Betul" Sahut si nona sambil tertawa "hanya sayang kalian belum pernah berkunjung ke tempat itu !" Sambil tertawa Hou ji lantas berkata kepa da Bau ji. "Baiklah, kalau begitu kami tak akan mengurus lagi, mulai sekarang kami berdua hanya akan mengikuti dirimu." Nona Kim tidak banyak berbicara lagi, ia segera beranjak melanjutkan perjalanannya ke depan. Sewaktu tiba di depan bangunan berloteng itu, terutama bagian yang menonjol keluar, Nona Kim segera berhenti. Kemudian sambil menuding bagian tersebut, katanya. "Aku berani bertaruh, bangunan berloteng ini tidak mempunyai pintu maupun jendela." Betul juga, sewaktu Bau ji dan Hou-ji mencoba untuk memeriksa sekeliling tempat itu, mereka memang tidak menemukan pintu atau daun jendela barang sebuah pun. Namun disitu memang ada persediaan untuk pintu dan jendela, seperti kosen untuk pintu dan kosen untuk jendela. Hanya saja dibalik kosen dan pintu tadi tertutup batu besar, kalau bangunan loteng itu berwarna hitam maka pintu batu itu berwarna putih begitu pula dengan jendelanya, oleh karena itu kalau dipandang dari kejauhan nampaknya saja ada pintu dan jendela, tapi setelah dekat tidak demikian keadaannya. Merdeka Atau Mati Karya Kho Ping Hoo Mustika Gaib Karya Buyung Hok Satria Gunung Kidul Karya Kho Ping Hoo