Bukit Pemakan Manusia 36
Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 36
Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung Pada saat itulah Sun Tiong to munculkan diri diujung geladak perahu berlayar delapan itu dan berseru dengan suara lantang. "Mao Tin hong, harap segera menampakkan diri untuk berbincang-bincang..!" Suasana dalam perahu besar yang ditumpangi Mao Tin hong sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun. Sekali lagi Sun Tiong lo berteriak dengan suara lantang. "Mao Tin hong, sebagai seorang lelaki sejati berani berbuat, berani bertanggung jawab, kuanjurkan kepadamu lebih baik segeralah menampakkan diri, sekarang kau sudah terkepung dari empat penjuru, tidak mungkin lagi bagimu untuk melarikan diri..." Sangkoan Ki (maksudnya Kwa Cun seng, selanjutnya akan dipakai nama aslinya yakni Sangkoan Ki) turut berseru pula dengan suara keras. "Mao Tin-hong, ayo keluar, aku Sangkoan Ki hendak membicarakan sesuatu denganmu!" Suasana dalam perahu besar itu masih tetap sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun. Sesudah mendengus, kembali Sangkoan Ki beneriak keras. "Mao Tin hong, apabila kau tidak menampakkan diri lagi, jangan salahkan hatiku keji untuk melancarkan serangan dengan api !" Namun suasana diatas perahu besar itu masih tetap hening, sepi, tak kedenjaran sedikit suarapun, seakan-akan semua penghuni perahu tersebut masih terlelap tidur. Tiada yang menegur sapa, tiada pula yang menggubris. Dengan cspal Sangkoan Ki berpaling ke arah Sun Tiong-lo sembari tanyanya. "Sauhiap, menurut pendapatmu, bagaimana kalau kita menyerang dengan menggunakan api." Cepat Sun Tiong-lo menggeleng. "Aku rasa tindakan seperri ini tak boleh di lakukan secara gegabah." Kemudian setelah berhenti sejenak, ia berpaling kearah Hou ji sambil katanya lagi. "Engkoh Hou, turunkan perahu kecil." "Siau-Iiong, kau hendak pergi kesana untuk menengok keadaan ?" Tegur Hou ji dengan kening berkerut. Sun Tiong-lo segera manggut-manggut. "Hmm, aku harus pergi menengok sendiri hingga duduknya persoalan menjadi jelas." Cepat-cepat Hou ji menggeleng lagi. "Ah, jangan, hal ini terlalu berbahaya, kalau harus kesana, biarlah aku saja yang ke situ" "Tidak, aku yang akan ke situ, sedang kalian semua tetap berada di perahu sembari menantikan kabar beritaku!" Seru Sun Tiong lo dengan nada tegas. Mendadak nona Kim menyambung. "Biar aku yang pergi." "Adik Kim, jangan ngaco belo, sekarang apa yang herdak kau lakukan dengan pergi kesitu?" Seru Sun Tiong lo dengan paras muka serius. Tampaknya Hou ji cukup mengetahui akan watak dari Sun Tiong lo ini, tak mungkin apa yang sudah menjadi niatnya bisa dicegah tapi diapun kuatir bila Sun Tiong lo menyerempet bahaya seorang diri. Maka setelah memutar biji matanya, mendadak dia memperoleh sebuah akal bagus, katanya kemudian. "Baiklah, aku akan segera menurunkan perahu kecil." Selesai berkata, Hou ji segera membalikkan badan menuju keperahu bagian belakang dan diam-diam turun kebawah. Sangkoan Ki segera menggunakan pula kesempatan itu untuk mohon diri, kemudian menuju ke ruangan belakang. Di ruang belakang, Sangkoan Ki berkata kepada Hou-ji selelah menatapnya lekat-lekat. "Hou-hiap, kau bermaksud hendak menggunakan cara apa untuk menghalangi niat Sun sau hiap itu ?" "Aku harus mencoba untuk menyelidiki lebih dahulu, jabatan apakah yang terdapat di atas perahu tersebut" Ujar Hou ji dengan kening berkerut. Sangkoan Ki manggut-manggut. "Benar, tapi bagaimana cara Hou hiap untuk melakukan penyelidikan tersebut ?" "Kecuali mendatangi perahu itu dan melakukan penyeiidikan, masa masih ada cara lain yang lebih baik lagi ?" "Seandainya Hou-hiap bersedia, lohu mah mempunyai sebuah cara yang bisa di coba." "Oya ? Baiklah, coba katakanlah." "Aku rada curiga kalau bajingan tua she Mao itu sudah tidak berada diatas perahu lagi..." Hou ji menjadi tertegun sesudah mendengar perkataan itu, katanya kemudian. "Aah... hal ini tidak mungkin ?" Sangkoan Ki segera tertawa. "Bajingan ini licik dan pintar, baginya tiada persoalan yang tak mungkin tak bisa dilakukan olehnya, cuma untuk berhati hatinya saja, memang paling baik kalau dicoba untuk diselidiki lebih dulu, cara yang terbaik adalah mencari busur dan panah, kemudian membidikkan panah berapi ke seberang sana..." "Membidikkan panah berapi ke sana ?" Tukas Hou ji. Sangkoan Ki manggut-manggut. "Ya. hal inipun merupakan satu-satunya cara yang dapat dipergunakan, sebatang panah berapi tak nanti bisa menimbulkan kebakaran besar, namun orang yang berada diatas perahu tersebut sudah pasti akan berusaha untuk memadamkannya, nah dari situlah kau akan mengetahui keadaan yang sebenarnya..." Hou ji berpikir sebentar, kemudian mengangguk. "Baiklah, cara ini memang bisa digunakan." Belum habis dia berkata, Sangkoan Ki telah menyela lagi. "Aku sudah msmpersiapkan busur dan panah berapinya, segera akan kuambil untukmu." Selesai berkata dia lantas mendorong sebuah pintu kecil disebelah kanan dan dalam waktu singkat telah berjalan keluar sambil membawa sebuah busur dan tiga batang anak panah berbulu putih yang pada ujung panahnya membawa sebuah peluru sebesar buah tho. Sambil menyerahkan busur dan anak panah tersebut ketangan Hou ji, kembali Sangkoan Ki berkata. "Peluru diujung anak panah tersebut terbuat dari belerang, minyak hitam dan kapas, begitu bertemu api lantas terbakar, daya bakarnya bisa mencapai setengah perminum teh, aku rasa tiga batang pun sudah lebih dari cukup." Sambil menerima busur dan anak panah tersebut, Hou ji segera berkata. "Aku lihat kau belum akan puas sebelum melancarkan serangan dengan panah berapi?" "Hou hiap, kau keliru" Ucap Sangkoan Ki dengan wajah serius. "walaupun rasa benci lohu terhadap Mao loji sudah merasuk sampai ke tulang sumsum namun aku masih cukup mengetahui akibatnya, aku terpaksa menggunakan cara ini karena tak ingin membiarkan Sun sauhiap menyerempet bahaya dengan percuma." "Yaa, sambil selam minum air bukan?" Ejek Hou-ji sambil tertawa lebar. Ucapan ini terlampau menyolok dan mengena sekali dihati Sangkoan Ki.. Ketika selesai berkata tadi, Hou ji segera berjalan keluar dari ruangan belakang. Sementara itu perahu besar yang ditumpangi Mao Tin hong berada dalam keadaan gelap gulita, sunyi senyap dan tak kedengaran sedikit suarapun, keadaannya tidak jauh berbeda dengan sebuah sampan aneh. Hou ji berkerut kening, dia segera menyulut sebuah peluru api pada lentera perahu berlayar delapan itu, kemudian memasang anak panah tersebut diatas busur, mengerahkan hawa murninya dia membentak dengan suara keras. "Mao Tin hong, bila kau tidak munculkan diri untuk berbicara lagi, jangan salahkan bila siauya akan mulai menyerang dengan anak panah berapi ini!" Ketika dari pihak perahu besar diseberang sana belum juga terdengar suara jawaban, Hou ji segera menarik busurnya kuat kuat kemudian "Sreeet ,."." Diiringi suara desingan tajam, panah berapi itu dengan membawa sekilas cahaya pelangi berwarna merah membara meluncur ke-depan dan menancap diatas jendela pada bagian belakang perahu besar tersebut. Menyusul kemudian Hou ji menyulut panah api kedua. "Hoa ko, tunggu sebentar!" Tiba-tiba terdengar Sun Tiong lo berseru lantang. "Aaah, tiga batang panah berapi tak akan sampai membakar perahu tersebut, kecuali kalau tiada orang yang munculkan diri untuk memadamkan kobaran api tersebut." Jawab Hou ji. Berbicara sampai disitu, dia segera melepaskan tangannya dan...."Sreet" Diiringi desingan tajam, kembali panah berapi itu meluncur ke depan. Kali ini membidik tepat diatas layar utama perahu besar tersebut, Layar perahu merupakan benda yang mudah terbakar maka begitu layar perahu terkena bi sikan, api segera membara menjilat kemana-mana, dalam waktu singkat seluruh layar perahu itu sudah terbakar menyusul kemudian kertas jendela dan ruangan mulai terbakar. Anehnya, ternyata dalam perahu itu tak nampak seorang manusia pun yang menampakkan diri, tentu saja tak akan terdengar sedikit suarapun yang berkumandang dari situ. Sekarang, Sun Tiong lo seperti menyadari akan sesuatu, buru- buru dia mencegah Hou-ji untuk membidikkan panah berapinya lagi. "Engkoh Hou kemungkinan besar perahu tersebut kosong dan tidak berpenghuni lagi, jangan di bidik lagi !" Serunya. Agaknya SangKoan Ki juga berpikir sampai ke situ, dia lantas berseru. "Yaa. kira harus turunkan perahu kecil dan melakukan pemeriksaan keatas perahu tersebut. Sun Tiong-Io merasa tak sabar lagi untuk menunggu sampai menurunkan sampan kecil, disamping itu sebuah kecurigaan muncul pula didalam benaknya, maka sambil menyambar sebuah papan dari dalam ruangan, serunya cepat. "Tak usah menurunkan perahu, biar aku seorang yang melakukan pemeriksaan ke atas perahu tersebut." Selesai berkata, Sun Tiong-lo segera mematahkan papan kayu itu menjadi beberapa bagian, kemudian dengan melemparkan kayu tersebut satu per satu ke atas perkemukaan telaga, dengan ilmu Teng-peng tok-sui dia meluncur kearah perahu besar tersebut dengan gerakan secepat kilat. Si anak muda ini memang hebat, begitu potongan kayu dibuang ke permukaan air, ujung kakinya segera menutul diatas potongan kayu mana dan meluncur ke muka, kemudian disaat tubuhnya hendak menukik ke atas permukaan telaga, tangan kanannya kembali digetarkan melemparkan sepotong kayu. Dengan cara itulah, secara mudah sekali ia berhasil mencapai diatas perahu besar. Hou-ji yang berada diatas perahu tersebut bersama-sama Bau-ji, nona Kim dan Sangkoan Ki segera menurunkan sampan kecil keatas permukaan air. Kendatipun Sun Tiong lo telah mencegah mereka untuk turut kesana, namun mereka tak tega membiarkan si anck muda itu menyerempet bahaya seorang diri. Perahu kecil yang berada diatas perahu berlayar delapan itu hanya dipakai disaat saat gawat dan penting, oleh karena itu sampan maha hanya terbuat dari kulit dan cuma muat tiga-empat orang, bila kelebihan penumpang maka perahu kulit itu akan segera tenggelam. Oleh karena itu mencegah Sangkoan Ki untuk turut serta, katanya dengan cepat. "Tenaga dalammu sudah punah, mau apa kau ikut ke situ ?" Sangkoan Ki segera terbungkam dan cuma bisa berdiri tertegun seperti orang bodoh. Terdengar Bau ji berkata pula. "Sampan kulit ini kelewat kecil, lebih baik kau tinggal di atas perahu besar saja !" -ooo0dw0oo- Jilid 39 SEMENTARA pembicaraan masih berlangsung, nona Kim sudah melompat turun keatas sampan tersebut, kemudian sambil mendongakkan kepalanya dia berseru. "Ayo cepat sedikit, engkoh Lo sudah hampir memasuki ruangan perahu itu!" Sangkoan Ki tahu kalau dia tak mungkin bisa ikut, maka dengan suara keras teriakannya. "Sun sauhiap, hati-hati! jangan memasuki ruangan tersebut lebih dulu...!" Sayang tindakan itu sudah terlambat selangkah. Sun Tiong lo telah menjejak pintu dan melompat masuk kedalam ruangan. Hou ji dan Bau ji melompat keatas sampan kecil dengan cepat, sebelum mereka mendayung perahu tersebut, kembali terdengar Sang koan Ki berteriak keras. "Tunggu sebentar Hou hiap, bawalah serta beberapa batang panah !" Maksud dari ucapan itu jelas, yakni jarak mereka dengan perahu tersebut masih jauh, seandairya Sun Tiong lo mengalami serangan atau sergapan, maka mereka tak mungkin bisa memberi bantuan dengan cepat. Andaikata membawa anak panah, maka mereka bisa memberi bantuannya dari tempat jauh. Sambil berteriak Sangkoan Ki berlarian masuk ke ruang belakang, tak selang berapa saat kemudian dia sudah muncul dengan membawa sebuah gendewa dengan belasan anak panah dan melemparkannya kedalam sampan kecil itu. Saat itulah, Hou ji baru mendayung sampan kecil itu menuju ke arah depan. Sangkoan Ki memang tak malu disebut seorang jago kawakan dalam dunia persilatan, begitu sampan tersebut berangkat, dia segera memasang lentera diujung perahu untuk menerangi suasana disana, setelah itu teriaknya ke arah sampan berisi bahan peledak itu. "Yu Teng po. perhatikan baik-baik, Sun sau hiap sudah naik ke atas perahu musuh, kau harus menyambut kedatangannya tanpa merubah posisi, laksanakan perintah menurut perintah dari Sun sauhiap !" Padahal dia sama sekali tidak tahu kalau orang yang berada diperahu itu penyambut bukan Yu Teng-po melainkan Kang Tat tapi dengan diturunkannya perintah tersebut, hal ini membuktikan kalau dia tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Waktu itu, Kang Tat maupun ketiga perahu berisi bahan peledak tersebut sudah memperhatikan situasi diitas perahu musuh dan di permukaan air dengan seksama, merekapun menyaksikan bagaimana Sun Tiong lo dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna melayang naik keatas perahu musuh. Kendatipun tiada perintah dari Sangkoan Ki, Thio Yok-sim serta Cukat Tan telah bertekad akan mendekati perahu musuh, maka begitu mendengar teriakan mana, serentak keempat buah perahu itu bersama-sama bergerak maju ke muka. Posisi mereka sekarang sudah jauh melesat ke depan, oleh sebab itu pula mereka tiba di sasaran dengan cepat. Sementara itu, San Tiong lo sudah menyerbu masuk kedalam ruang tengah perahu musuh. Rupanya disaat panah berapi menancap di atas jendela ruang perahu dan layar tersebut, namun tidak nampak ada orang yang muncul untuk memadamkan api, Sun Tiong-lo merasakan hatinya tergerak, dia lantas menduga kalau Mao Tin-hong telah meloloskan diri dari situ. Itulah sebabnya dia lantas meluncur ke perahu musuh untuk melakukan pemeriksaan yang teliti. Namun diapa bertindak sangat berhati-hati, disaat mana sebelum berangkat dia berpesan kepada Hou ji agar jangan ikut ke depan, sebab dia kuatir Mao Tin hong telah melakukan sesuatu persiapan diatas perahunya sehingga kehadiran mereka disana malahan terkena jebakannya. Itulah sebabnya dia saat dia melayang ke arah perahu musuh tadi, pemuda itupun mengerahkan ilmu pendengaran langitnya untuk mencoba nemeriksa keadaan disekitar situ, alhasil kecuali suara api yang membakar perahu, pada hakekatnya tidak ditemukan suara orang manusia pun. Begitulah, setelah termenung sejenak didepan pintu perahu, dia lantas menerjang masuk ke ruang dalam: dia pun mendengar suara teriakan dari Sangkoan Ki dan Houji, tapi tanpa ragu dia meneruskan langkahnya menerjang masuk ke dalam. Dia sudah mendengar dari mulut Sangkoan Ki kalau ruang perahu yang besar dan luas itu penuh dilengkapi dengan barang mewah, tentu saja Sangkoan Ki sendiri tidak masuk ke ruang tersebut tempo hari, namun sempat melihat dari balik cermin. Tapi keadaan yang tertera didepan mata sekarang sama sekali telah berubah. Pintu kaca masih tetap utuh. namun perabot yang ada dalam ruangan tersebut sudah hilang lenyap, bahkan permadani merah yang melapisi lantai perahu pun sudah dicopot semua sehingga terlihat warna asli dari dasar lantai perahu. Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tiada cahaya lentera, sedangkan Sun Tiong lo sendiripun tidak membawa alat pembuat api, untung saja tenaga dalamnya amat sempurna sehingga meski ada dalam kegelapan pun dia dapat menyaksikan keadaan disitu dengan amat jelas. Dengan menghimpun hawa murninya keda lam mata, dia mulai memeriksa keadaan dalam ruangan tersebut dengan seksama. Akhirnya diatas dinding perahu dia menemukan sepucuk surat yang ditancapkan disana, beberapa huruf besar tertera didepan sampul mana, yang bertuliskan. "Ditujukan khusus untuk Sun Tiong lo" Dengan kening berkerut Sun Tiong lo berjalan menuju kedepan dengan langkah lebar. Ketika sampai disisi dinding ruangan dan baru saja akan mengambil surat tersebut, tiba-tiba matanya tertumpuk dengan sebuah meja lentera disisi bawah surat mana, diatas rak tersebut terdapat pula sebuah lentera. Yang lebih aneh lagi, disisi lentera tadi tersedia pula alat untuk membuat api. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Anak muda itu termenung sejenak, kemudian timbul niatnya untuk memasang lentera tersebut dan membaca surat mana dibawah lentera. Tapi satu ingatan lain melintas pula dalam benaknya, akhirnya dia urungkan niat tersebut dan mengambil surat yang tertancap diatas dinding itu. Setelah surat diambil dan dibuka sampulnya tampak selembar kertas berisikan tulisan yang rapat dan kecil. Betul dia memiliki ketajaman mata yang luar biasa dan bisa digunakan untuk memandang keadaan dalam ruangan, namun untuk membaca isi surat dengan huruf yang begitu kecil, tanpa cahaya lentera tentu saja sulit baginya untuk membaca. Oleb sebab itu Sun Tiong lo berjalan mendekati lentera tersebut, mengambil alat pembuat api dan menyulut lentera yang tersedia disana. Belum lagi lentera tersebut dipasang, mendadak dari luar jendela muncul gumpalan api yang rontok kebawah, dalam waktu singkat seluruh jendela luar sudah terjilat oleh api yang membumbung tinggi ke angkasa. Rupanya lain layar tersebut sudah ambruk dan membawa kobaran api yang menjiIat, membakar benda yang ada disekelilingnya. Begitu cahaya api berkobar diluar, suasana dalam ruang perahu itu pun menjadi terang benderang. Sun Tiong lo memandang sekejap kearah surat itu, lalu memandang pula kearah lentera yang tersedia dimeja. Tiba tiba ia seperti menemukan sesuatu, paras mukanya segera saja berubah hebat, tanpa berpikir panjang lagi, dia membalikkan badan lalu melompat keluar dari ruang perahu tersebut. Kebetulan sekali perahu-perahu berisi bahan peledak itu sudah semakin mendekati perahu musuh, dengan suara menggeledek Sun- Tiong lo segera membentak keras. "Cepat menjauhi perahu ini, dalam perahu sudah dipasang bahan peledak, cepat menjauh!" Ditengah bentakan itu, dia merendahkan tubuhnya sambil menyambar sebuah gala panjang, kemudian dilemparkan kearah permukaan air menuju ke arah berlayar delapan. Menyusul kemudian diapun ikut melayang keatas gala panjang itu dan berdiri diatasnya. Gala bambu itu memang sedang meluncur kearah perahu berlayar delapan tersebut, ketika kakinya mencapai diatas gala bambu tadi ternyata gala itu tak tenggelam keair, malah meluncur semakin kearah depan. Demonstrasi ilmu meringankan tubuh yang begitu sempurna ini, kontan saja mengejutkan semua orang sehingga mereka bersama- sama membelalakkan matanya dengan mulut melongo. Sangkoan Ki dan Kang Tat sekalian makin bersyukur dihati, hari ini mereka baru tahu kalau tenaga dalam yang dimilikinya Sun Tiong lo sesungguhnya telah mencapai tingkatan yang tak terhingga. Untung saja mereka cepat bertobat dan kembali ke jalan besar, dari musuh kini menjadi teman. kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan mereka? Sementara itu Kang Tat, Yu Teng po. Thio Yok sim dan Cukat Tan sudah mendengar teriakan tersebut, serentak mendayung sampan masing-masing menjauhi perahu musuh, sedang perahu kulit itupun segera memutar haluan dan kembali ke perahu berlayar delapan. Tatkala perahu berisi bahan peledak itu sudah menjauh, sampan kulit sudah kembali ke perahu induk dan Sun Tiong lo telah kembali ke atas perahu... Pada saat itu!ah, perahu musuh yang tak berpenghuni itu sudah terkepung ditengah jilatan api yang membara, kemudian terjadilah suatu ledakan dasyat yang menggelegar ditengah udara, diikuti pula jilatan api mencapai tengah angkasa. Dalam waktu singkat perahu tersebut sudah hancur berkeping- keping, api yang membara pun segera lenyap bersamaan dengan lenyapnya hancuran perahu itu didasar telaga. Yang tersisa kini hanyalah hancuran kayu yang terapung diatas permukaan air telaga... Semua orang segera meninggalkan perahu kecil dan pindah keatas perahu besar, baban-bahan peledak diatas sarapan pun dibawah petunjuk Yu Teng poo yang serius dipindahkan semua kedasar perahu berlayar delapan tersebut. Kini, semua orang sudah berkumpul didalam ruang perahu yang lebar, wajah mereka diliputi amarah, hanya Sun Tiong lo seorang tetap berwajah hambar, tak jauh beda dengan paras mukanya dihari biasa. Ditengah keheningan yang mencekam, Sangkoan Ki yang pertama-tama buka suara lebih dulu ujarnya sambil menghela napas. Kesemuanya ini harus salahkan diriku, sudah seharusnya aku dapat berpikir kesitu, bajingan Mao licik dan banyak tipu muslihatnya mana mungkin dia akan membuang sauh disini sambil menunggu kedatangan kita untuk mencari gara-gara dengannya? sekarang dia telah pergi." Dengan tak sabar Bau ji segera menukas. "Tak usah membicarakan kata-kata yang tak berguna lagi, sekarang yang penting adalah memikirkan kemanakah dia telah kabur?" "Tak usah dipikir lagi, tentu saja dia telah kabur kekebun raya Pek hoa Wan gua Pek Hoa tong!" Kata Sangkoan Ki cepat. Bau ji segera berpaling kearah Sun Tiong lo kemudian serunya. "Jite, mari kita mengajarnya sekarang juga ke wilayah Biau!" Sikap Sun Tloig-lo sangat tenang, pelan-pelan dia berkata. "Tentu saja kita harus berkunjung ke wilayah Biau, cuma kita baru akan kesitu setelah dapat menemukan suatu tindakan yang tepat untuk mengatasi bajingan Mao tersebut !" "Sun sauhiap," Kata Sangkoan Ki dengan kening berkerut. "lohu berani jamin dia hanya akan kabur melalui jalanan tersebut saja !" Mendengar perkataan tersebut Sun Tiong-lo segera tertawa. "Untuk saat ini aku tak ingin berpikir seenaknya sendiri, aku rasa persoalan tak akan begitu gampang !" Sangkoan Ki menjadi sangat gelisah, serunya lagi. "Sun sauhiap, kau tidak tahu ! Saat ini bajingan Mao sudah tahu kalau dia telah ditinggalkan anak buahnya, meskipun dunia ini sangat luas, namun sudah tiada tempat lagi baginya untuk melarikan diri, satu-satunya kemungkinan hanyalah kabur ke wilayah Biau." Sun Tiong-lo segera menukas. "Misalkan tadi, seandainya Hou-ji dan kau tidak berunding secara rahasia untuk mencoba perahu itu ada orangnya atau tidak dengan panah terapi, tentu saja perahu tersebut tak akan terbakar. "Apalagi sekalipun terbakar seandainya aku tidak mencegah kalian turut serta menuju ke sana dan berangkat seorang diri kesitu dengan andalkan ilmu meringankan tubuh, tentu saja kalian sudah berada diatas perahu itu bersama-sama. "Disamping itu, seandainya layar yang membawa api tidak jatuh secara kebetulan sehingga menggunakan sinar terang tersebut aku berhasil menemukan penyakit pada lentera yang tersedia hingga tidak kupasang sumbu lentera tersebut, mungkin bahan peledak itu sudah meledak sejak tadi. Nah Sangkoan Tayhiap, coba kau bayangkan bagaimana jadinya andaikata kita masih berada disana !" "Tentu saja hancur berkeping keping !" Kata nona Kim dengan nada ngeri bercampur seram. Sambil tertawa Sun Tong lo memandang sekejap ke arahnya, lalu ujarnya lagi. "Benar, rupanya sumbu lentera tersebut sesungguhnya merupakan sumbu untuk meledakkan bahan peledak tersebut, padahal sumbu itu cuma satu inci panjangnya, di sekitar perahu sesungguhnya penuh dengan bahan peledak. "Andaikata tiada kebetulan-kebetulan yang terjadi, sudah pasti aku telah menyulut lentera itu, bila bahan peledak itu sudah keburu meledak sebelum aku pergi dari sana, tak bisa disangkal lagi akupun akan mati disitu. "Tadi, bukankah kita semua telah menyaksikan betapa dahsyatnya ledakan yang di sertai dengan jilatan api itu, nah coba kalian pikirkan, siapakah yang bisa lolos dari keadaan tersebut ? Sekarang aku ingin bertanya kepada Sang-koan tayhiap, andaikata kita semua telah tewas ditengah perahu tersebut, apakah Mao Tin hong perlu untuk melarikan diri ke wilayah Biau ?" Sangkoan Ki terbungkam dalam seribu bahasa, kepalanya segera tertunduk rendah-rendah. Lama setelah suasana hening, Sun Tiong lo baru berkata lagi sambil menghembuskan panjang. "Semuanya ini memang sudah takdir, namun panah api yang di bidikan Hou ji sama sekali tidak gembira dengan ucapan tersebut, katanya cepat. "Semuanya itu cuma suatu kebetulan, cuma suatu kebetulan yang tak disengaja." "Benar" Kata Sun Tiong lo serius "semuanya ini memang merupakan suatu kejadian yang kebetulan, tapi kebetulan yang sesungguhnya di atur oleh kekuatan gaib dari langit bukan pepatah kuno pernah bilang. "Perhitungan manusia tak akan bisa mengungguli perhitungan langit...?" Nona Kim mengerling sekejap ke arah Sun Tiong Io. kemudian sindirnya. "Tak kusangka kalau kaupun menjadi seorang penganut tahayul sekarang..." Sun Tiong-lo segera tertawa. "Soal ini bukan soal tahayul atau tidak, seandainya Thian tidak menakdirkan begini, memangnya kita semua masin bisa hidup detik ini..." Sangkoan Ki berpikir sebentar, kemudian katanya lagi. "Jadi maksud Sun sauhiap, bajingan Mao tersebut sekarang berada di sekeliling tempat ini?" "Tidak." Kata Sun Tiong-lo sambil menggeleng. "sekarang dia sudah pergi dari sini !" Sangkoan Ki memang tak malu disebut sebagai seorang jago kawakan, dia segera manggut-manggut. "Benar." Katanya kemudian. "disaat dia mengetahui kalau rencana busuknya menemui kegagalan, tentu saja dia berusaha untuk kabur lebih cepat dari sini !" Sun Tiong-lo segera manggut-manggut dan tidak berbicara lagi. "Sekarang tentunya Sun sauhiap sudah percaya bukan kalau perempuan cabul itu pun merupakan seorang manusia bengis yang keji?" Sun Tiong lo memandang sekejap kearah nya kemudian balik bertanya. "Dari mana kau bisa berkata begitu?" "Kenyataan sudah tertera dengan jelas dan gamblang, seandainya perempuan cabul itu tak sekomplotan dengan bajingan Mao, mengapa pula dia mengijinkan bajingan tua she Mao-itu untuk melakukan siasat keji dengan mencarikan bahan peledak di dasar perahunya sebelum melarikan diri dari sini?" Sun Tiong lo segera terbungkam dalam seribu bahasa, dia tak sanggup untuk berkata kata lagi. Sangkoan Ki segera berkata lebih jauh. "Kalau begitu semakin cepat itu lebih baik bagi kita sekarang untuk mendatangi wilayah Biau jauh lebih awal!" "Yaa, dengan begitu posisi kita pasti akan jauh lebih beruntung lagi." Sokong Hou ji dengan cepat. Sun Tiong lo segera berkerut kening katanya tiba-tiba. "Aku rasa tak mungkin kita bisa tiba lebih awal dari pada mereka.,!" "Aaah, belum tentu, kita toh turun kemudian mengikuti arus air..." Seru Hou ji. Dengan cepat Sun Tiong to menggelengkan kepala berulang kali. "Entah bagaimanapun kita menempuh perjalanan, yang pasti tak mungkin bisa sampai ke tempat tujuan mendahului mereka, apa lagi merekapun hapal dengan daerah di sekitar sana, sedangkan kita semua belum ada yang pernah berkunjung ke gua Pek hoa tong, bayangkan saja, bagaimana mungkin kita bisa mendahului mereka?" "Perduli bagaimana pun, berapa cepat perjalanan yang bisa kita tempuh, kita berusaha secepatnya!" Seru Sangkoan Ki. Kali ini Sun Tiong lo tidak memberikan tanggapannya lagi, dia lantas memperlihatkan surat yang di tunjukkan kepadanya itu, kemudian berkata. "Bajingan Mao telah meninggalkan sepucuk surat kepadaku, coba kita lihat apa isi surat tersebut. Sembari berkata dia lantas merobek sampul surat itu dan mengeluarkan secarik kertas ternyata isinya hanya berupa selembar kertas putih. Dalam pada itu, Yu Teng-poo yang berjaga diluar ruang perahu telah membentak secara tiba-tiba. "Siapa disitu? jangan dekati perahu ini!" Begitu mendengar seruan tersebut, Hou-ji segera melompat keluar lebih dulu dari dalam ruang perahu, sementara itu, dari luar sana sudah kedengaran seseorang menjawab dengan nyaring. "Tolong tanya apakah Gin ih lak yu berada diatas perahu? Lohu Mo..." Belum selesai ucapan tersebut diutarakan, Kang Tat sudah bersorak dengan gembira. "Sun sauhiap, Mo Kiau-jiu telah datang!" Betul juga, Mo Ciau jiu dibimbing oleh Cukat Tan telah naik keatas perahu berlayar delapan itu. Setelah masuk kedalam ruang perahu dan menyaksikan keadaan didalam ruangan tersebut dia lantas berseru dengan gembira. "Bagus sekali. aku benar-benar merasa gem bira sekali, dimana jenazah Mao loji?" "Tua bangka itu berhasil kabur!" Sahut Kang Tat sambil melotot sekejap ke arahnya. Mo C i a u j i u t e r t e g u n , l a l u s amb i l mema n d a n g k e wa j a h o r a n g - o r a n g i t u , s e r u n y a . "Bukankah di sini hadir begini banyak orang ? Mengapa dia berhasil melarikan diri?" Thio Yok sim mendengus dingin. "Hmmm, kakinya kelewat panjang, apa boleh buat ? Kalau dia mau kabur, siapa yang bisa mencegah ?" "Tahukah kalian kemana kaburnya bajingan itu ?" Seru Mo Ciaujiu dengan kening berkerut. "Menurut saudara Saogkoan, kemungkinan besar dia telah kabur ke gua Pek hoa tong di wilayah Biau!" Mo Ciau-jiu segera menggertak giginya kencang-kencang. "Ternyata tidak meleset dari dugaanku, hayo berangkat, menuju kesana berarti jalan kematian bagi bajingan tua itu!" Dari balik ucapan tersebut, semua orang dapat mendengar sesuatu yang tak beres, tanpa terasa mereka jadi tercengang dan tidak habis mengerti. Saat itulah, Sangkoan Ki segera mengemukakan kecurigaan dan perasaan tak habis mengertinya. "Mo heng atas dasar apa kau mengatakan kalau kaburnya bajingan Mao ke wilayah Biau merupakan jalan kematian baginya ?" Dengan perasaan apa boleh buat Mo Ciau-jiu berpaling ke arah Sangkoan Ki, kemudian ujarnya sambil tersenyum. "Maaf lohu berpandangan picik sobat adalah..." Sangkoan Ki cukup mengetahui tentang watak Mo Ciau jiu, dia pun mengerti bahwa perasaan benci dan dendam dari Mo Ciau-jiu serta juga Kang Tat sekalian terhadapnya sudah mendarah daging, kalau bisa mereka hendak membunuhnya untuk melampiaskan rasa bencinya itu. Terutama Mo Ciau jiu, tempo hari Sang-koan Ki lah yang mengatur rencana untuk membekuknya, menghancurkan rumah tangganya dan melarikan putrinya, terhadap dendam kesumat tersebut, Mo Ciaujiu tak pernah akan melupakannya. Kini, walaupun Sangkoan Ki sudah sadar atas dosa-dosanya dan bertobat namun lantaran kejahatan yang dilakukan olehnya dimasa dulu terlalu banyak, perbuatannya terlalu keji, dia tahu apabila Mo Ciau-jio sudah mengetahui keadaan yang sesungguhnya sudah pasti dia akan menerkamnya. Oleh sebab itu dia lantas menggeserkan tubuhnya dan berdiri disamping Sun Tiong lo, katanya kemudian. "Saudara Mo, kita adalah kenalan lama !" Kening Mo Ciau-jiu semakin berkerut kencang, serunya dengan perasaan tidak habis mengerti. "Maaf aku lupa siapakah dirimu dan kita pernah bersua dimana?" Baru saja Singkoan Ki hendak bicara, Mo-Ciau jiu telah berkata lebih jauh. "Aaah, benar! Suara sobat terasa sangat kukenal sekali..." "Lohu adalah Sangkoan Ki!" Sela Sangkoan Ki cepat. Mo Ciau jiu semakin tertegun lagi setelah mendengar perkataan tersebut Ialu gumamnya. "Sangkoan Ki? Apakah kau adalah Sangkoan Ki yang dihormati umat persilatan dimasa lalu" "Benar, tentunya Mo tua tak mengira bukan?" Sela Kang Tat dari samping. Mo Ciau jiu segera menggelengkan kepalanya berulang kali kembali dia berkata. "Heran. antara Sangkoan tayhiap dengan lohu hanya kenalan biasa saja, tapi kalau didengar dari nada suara Sangkoan tayhiap. tampak nya kukenal sekali..." "Tentu saja" Seru Thio Yok sim memecahkan teka teki tersebut. "sebab Sangkoan tay hiap tak lain adalah Kwa Cun seng!" Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Begitu nama "Kwa Cun seng" Disebutkan paras muka Mo Ciau jiu segera berubah hebat. Dengan perasaan terperanjat dia mengawasi wajah Sangkoan Ki lekat-lekat, kemudian serunya tertahan. "Sungguhkah itu? Benarkah kau adalah bajingan keparat she Kwan tersebut?" Sangkoan Ki menarik napas panjang, kemudian manggut- manggut. Mo Ciau jiu memandang ke arah Kang Tat dengan pandangan penuh tanda tanya, Kang Tat segera menyatakan kebenarannya. Mo Ciau jiu memandang pula ke arah Cukat Tan. Cukat Tan pun segera manggut-manggut, maka dari balik mata Mo Ciau jiu pun segera memancarkan cahaya api, api penuh hawa napsu membunuh. Tapi sorot mata yang tajam menggidikan hati itu dalam waktu singkat berubah kembali menjadi halus dan lembut, hanya sepasang alis matanya saja yang masih berkenyit. "Oooh, rupanya kaupun telah menghianati Mao Tin-hong ?" Gumamnya kemudian. Sangkoan Ki menundukkan kepalanya rendah-rendah, katanya kemudian pelan. "Sayang sekali aku terlambat mengkhianatinya, rasa menyesalku tak terkirakan." "Kau merasa benci, aku lebih benci lagi !" Sambung Mo Ciau jiu dengan cepat. Tampaknya Sangkoan Ki memahami maksud perkataan tersebut, maka dengan wajah serius katanya lagi. "Siaute cukup memahami akan rasa benci saudara Mo. ketika siaute dapat menyaksikan batok kepala bajingan Mau telah terpenggal, disaat itu pula ku jamin akan menyelesaikan rasa benci Mo heng terhadapku, harap saudara Mo mencatat soal ini didalam hatimu." "Apakah saudara Sangkoan ada maksud untuk mewujudkan keinginanku itu?" Tanya Mo Ciau jiu sambil memancarkan sinar mendalam dari balik matanya. Sangkoan Ki tertawa getir. "Aku hidup sampai kini, sutu-satunya keinginanku adalah menyaksikan bajingan she Mao itu memperoleh pembalasannya, ketika harapanku tersebut sudah terpenuhi maka matipun aku tak akan menyesal, oleh sebab itu semua perkataanku kuutarakan secara sejujurnya !" "Baik, kalau begitu kita berjanji dengan sepatah kata ini!" Seru Mo Ciau jiu sambil tertawa. "Tak usah kuatir." Kata Sangkoan Ki lagi dengan nada berat. "Sangkoan Ki, bukan Kwa Cun-seng !" Maksud dari perkataan tersebut sudah amat jelas, yakni perkataan dari Kwa Cun seng tak bisa dipercaya, namun ucapan dari Sangkoan Ki bisa dipercaya dan setiap ucapan yang telah diutarakan tak pernah akan disesali kembali. Tapi Mo Ciau jiu lebih mengerti tentang Kwa Cun seng, walaupun Kwa Cun seng telah menggunakan nama aslinya, atau dia telah berganti menggunakan nama Sangkoan Ki, dia tetap adalah seorang manusia yang sama. Orang itu bukan saja tidak bisa dipercaya parkataannya, bahkan sudah cukup banyak melakukan kejahatan, bersalah licik keji dan berhati berbisa seperti kala jengking, sekali melangkah semua perbuatannya merupakan perbuatan-perbuatan jahat. Oleh sebab itu, baginya dia mau bernama Kwa Cun seng atau Sangkoan Ki, kedua-dua nya sama sekali tak ada perbedaannya. Apa lagi orang bilang "pohon tumbang, monyet bubaran", ketika Kwa Cun seng tahu kalau kejayaan bajingan tua she Mao sudah pudar, dia pun bersikap seakan-akan bertobat untuk menyelamatkan jiwa sendiri. Maka dia beranggapan meski orang lain bisa dibohongi oleh perbuatannya itu jangan harap bisa membohongi dirinya. Namun Mo Ciau jiu sebagai seorang yang berpengalaman, diapun tabu, sejak Kwa Cun seng berganti nama menjadi Sangkoan Ki, apalagi setelah berhasil menarik rasa simpatik dari Sun Tiong Io, dengan perlindungan dari Sun Tiong lo, bukan suatu pekerjaan yang gampang baginya untuk membunuhnya. Selain daripada itu, diapun merasa kalau kepandaian silat yang dimiliki Sangkoan Ki sekarang sudah bukan tandingannya lagi, oleh karena itu Mo Ciau jiu segera berlagak seakan-akan percaya sungguh dan menunjukkan sikap yang terbuka. Tentu saja Mo Ciau jiu tidak tahu kalau kepandaian silat yang dimiliki Sangkoa Ki telah punah sama sekali. Sikap dari Mo Ciau jiu ini membuat Sangkoan Ki mempercayai pula kepadanya dan tidak melakukan persiapan terhadapnya lagi. Yang paling penting lagi adalah keluwesan Mo Ciau jiu dalam berbicara, dimana dia segera mengalihkan pokok pembicaraan ke masalah Mao Tin hong. Karena disini sudah tiada harapan lagi, serta merta merekapun merundingkan perjalanan mereka menuju kewilayah Biau. Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, biasanya perjalanan dengan berjalan kaki akan mendatangkan perasaan diluar dugaan bagi orang lain. Apa yang diduga Sun Tiong lo ternyata memang benar. Mao Tin-hong tidak pergi jauh, dia sedang mengamati gerakgerik lawannya disekitar sana. Sejak awal sampai akhir, dia telah menyaksikan semua peristiwa tersebut dengan jelas. Dia benar-benar merasa benci, benci yang tak terkatakan lagi. Dia pun menyaksikan perahu besar berlayar delapan miliknya itu, kini berubah menjadi perahu musuh. Dia pun menyaksikan Sangkoan Ki muncul dengan wajah aslinya, bahkan sedang menyusunkan rencana bagi tindakan yang akan dilakukan lawan. Ketika terjadi ledakan dahsyat serta menyaksikan Sun Tiong lo mendemonstrasikan kelihayan ilmu silatnya Ma Tin-hong merasakan nyalinya pecah, dengan perasaan ngeri dia hanya bisa menggelengkan kepalanya berulang kali. Disisi tubuhnya sekarang tiada orang lain, bukan saja iblis perempuan itu tak nampak, dayang centil itupun tak nampak batang hidungnya... Sekarang, dia menyaru sebagai seorang tukang perahu yang terdekat diatas perahu nelayan butut seharga sepuluh tahil perak, dia sengaja berlabuh tak jauh dari perahu besar tersebut sambil secara diam-diam mengamati keadaan disitu. Termakan oleh bujuk rayu Mao Tin-hong yang manis dan hangat, si Iblis wanita dan para dayang dari kebun Pek hoa wan telah berangkat lebih dulu untuk kembali ke kebun Pek hoa wan dan membuatkan persiapan baginya. Sekalipun Sangkoan Ki dan Sun Tiong lo sekalian melakukan pengawasan dari samping, tapi berhubung tiada orang yang berjaga dibelakang perahu besar yang menghadap ke tengah telaga, maka Mao Tin hong dapat melarikan diri dengan leluasa. Dia sengaja menyuruh si iblis perempuan itu pergi, karena dia tak ingin iblis perempuan itu menyaksikan dia mempersiapkan siasat menanam bahan peledak diatas perahu penumpang itu, diapun masih mempunyai satu perhitungan lain, yakni ia ingin kembali ke Bukit pemakan manusia sekali lagi. Didalam Bukit pemakan manusia tersimpan berapa banyak benda mestikanya, apabila keadaan tidak terpaksa, dia masih ingin berkunjung kesana sekali lagi dan membawa pergi benda-benda mestika miliknya itu. Akan tetapi, sewaktu dia menyaksikan Mo Cau-jiu telah bergabung dengan Sun Tiong lo harapan tersebut segera punah, setelah termenung beberapa waktu, akhirnya sambil menggigit bibir dia memutuskan untuk meninggalkan segala harta kekayaannya itu. Tatkala dia bertekad untuk meninggalkan telaga Tong ting dan jauh menuju ke wilayah Biauw, sambil memandang perahu besar dengan delapan layar serta sekawanan musuh bebuyutannya yang berada dalam ruang perahu itu, dia bergumam sambil tertawa menyeringai. "Suatu hari, kalian semua akan mampus ditangan lohu, lohu akan tetap muncul di daratan Tionggoan, dan waktu itu... Hmm ! Hmm !" Maksud dari perkataan itu sudah jelas, yakni pada waktu itu seluruh kolong langit sudah berada dibtwah kekuasaannya. Setelah mendengus dua kali dan menunjukkan sikap yang benci, dia tertawa bangga. Wajahnya dihiasi oleh senyuman menyeringai yang licik, buas dan keji, sampan kecil tersebut pelan-pelan didayung berangkat menjauhi tempat itu. Sementara para jago yang berada di atas perahu besar itu sudah bersiap-siap untuk melakukan perjalanan oooO-de-Oooo FAJAR baru menyingsing, dari ujung jalan raya yang terbentang lurus kedepan itu berkumandang suara derap kaki kuda, disusul kemudian muncul segulung "naga kelabu" Yang menggulung diangkasa. Ketika naga kelabu itu mulai muncul, mula-mula hanya menempel pada permukaan tanah dan terbang menggulung, kemudian mulai mengembang dan makin lama mengembang semakin besar dan panjang. Disaat ekor naga mulai membuyar, kepala naga telah tiba didipan pintu kota. Pelan pelan naga debu itu mulai membuyar dan muncullah serombongan manusia berkuda. Sepasang muda mudi yang berjalan paling duluan adalah Sun Tiong lo serta nona Kim. Dibelakang adalah Bau ji, Sangkoan Ki serta Yu Teng Po. Dibelakang mereka menyusul Kang Tat, Thio Yok sim, Cukat Tan Ban Seng dan Thia Keng, lima diantara sahabat Lak yu yang masih hidup. Menyusul kemudian Mo Cau jiu yang ahli dibidang alat rahasia dan alat jebakan. Perjalanan mereka dilakukan dengan amat cepat, waktu itu rombongan tersebut telah tiba diluar kota Kun beng. Pintu kota telah dibuka dan rombongan ini masuk kota dan beristirahat di sebuah rumah mukan yang bernama An ka. An ka-thian merupakan rumah penginapan rangkap rumah makan yang termashor dikota Kun beng, hidangan maupun pelayannya hebat, kamar mereka bersih dan luas. Setelah melakukan perjalanan semalaman suntuk, Sun Tiong-lo sekalian merasa perlu untuk mempersiapkan sarapan serta makanan untuk kuda-kuda mereka. Selesai sarapan, Sangkoan Ki berpesan kepada pelayan agar membangunkan mereka tengah hari nanti karena mereka hendak melanjutkan perjalanan lagi. Pada ruang sebelah timur berdiamlah Sun Tiong-lo, Bau ji dan nona Kim. Pada ruang sebelah barat adalah Sangkoan Ki dan muridnya,sedangkan pada deretan kamar samping berdiamlah Lak yu dan Mo Ciau jiu. Mereka telah tidur karena Ielah, malah berpesan kepada pelayan agar jangan berisik disana. Pada saat itulah, dari luar penginapan muncul lagi dua orang tamu. Seorang sastrawan berusia pertengahan dengan dua orang pengiring. Salah seorang lelaki pengiring itu melompat dari kudanya lebih dulu kemndian baru melayani sastrawan setengah umur itu untuk turun dari kudanya. Setelah membersihkan pakaiannya yang penuh debu, sastrawan setengah umur itu berkata kepada pelayan yang menyambut kedatangannya itu sambil tertawa. "Ada kamar bersih ?" "Ada, ada, ada. silahkan ikuti hamba..." Kemudian sambil berpaling kearah rekannya, dia berseru. "Lo Huang. bawa kuda tamu kedalam istal, turunkan perbekalannya." Lo-Huang mengiakan sambil siap maju kedepan. Tapi sastrawan setengah umur itu menggoyangkan tangannya berulang kali sembari berkata. "Jangan, ke tiga ekor kuda itu bukan kuda sembarangan, biasanya kamilah yang mengurusi sendiri. cukup asal kalian menghantar orang orang ke istal." Tentu saja pemilik rumah penginapan itu mengiakan berulang kali,sementara sastrawan setengah umur itu menuju ke kemarnya, dua orang lelaki itu membawa kuda mereka menuju ke istal. Lo Huang segera memberitahukan kepada Lo Ceng yang mengurus istal agar tak perlu mengurusi kuda tersebut, kemudian berlalu dari situ. Lelaki lelaki yang membawa tiga ekor kuda itu segera bekerja pula, yang satu melepaskan tali pelana sedang yang Iain berjalan kebelakang Loceng untuk mengambil sikat. Menggunakan kesempatan disaat Loceng tak siap itulah, mendadak lelaki itu menotok jalan darahnya hingga jatuh pingsan. Selanjutnya kedua orang lelaki itupun mulai bekerja keras, entah apa saja yang telah dilakukan, menanti pekerjaan mana telah selesai, mereka baru meneguk bebas jalan darah Lo-ceng tersebut. "Aah, kau memang mengagetkan saja, mengapa sih secara tiba tiba jatuh pingsan ?" Salah seorang lelaki itu segera menegur. Sementara Lo ceng masih kebingungan dan tak tahu bagaimana mesti menjawab, lelaki itu berkata lagi. "Apakah kau memang mengidap penyakit semacam itu ?" "Tidak ada!" Jawab Lo ceng sambil membelalakkan matanya lebar-lebar dan menggelengkan kepalanya berulang kali. Lelaki itupun turut menggelengkan kepalanya. "Aku lihat, ada baiknya kalau kau pergi mencari tabib untuk memeriksakan kesehatan badanmu." Sembari berkata, mereka berdua mulai menyikat kuda, memberi makan, kemudian menambatnya sebelum pergi. Sore itu, setelah bangun dari tidurnya, membersihkan badan dan bersantap, Sun Tiong lo sekalian segera berangkat meninggalkan kota Kun beng. Siapa tahu belum sampai dua puluh li, kuda mereka roboh terkulai satu persatu, tak lama kemudian mulutnya berbusa dan akhirnya mati. Sangkoan Ki yang berpengalaman segera menemukan hal hal yang tak beres dengan kuda mereka, serunya dengan cepat. "Aaah Kuda-kuda kita telah dicekok pil pelemas tulang kita sudah dipecundangi orang!" "Ya, penyakit ini pasti berasal dari rumah penginapan An ka!" Sambung Mo Jiau jiu yg berpengalaman pula setelah memandang sekejap ke arah bangkai kuda itu. Dengan perasaan mendongkol Bau ji segera mendengus. "Hm, mari kita kembali dan bekuk batang leher bajingan tersebut..." Tapi Sun Tiong lo segera menggeleng katanya. "Kita tak punya musuh lain, sudah pasti perbuatan ini atas perintah bajingan Mou yang berminat untuk melenyapkan kuda- kuda kita agar prjalanan kita tertunda, bila kita kembali lagi, berarti kita sudah termakan oleh siasatnya." "Tapi tanpa kuda, bukankah perjalanan kita akan semakin terlambat?" Ucap Bau ji. Sun Tiong lo berpikir sejenak, kemudian katanya kepada Sangkoan Ki. "Sangkoan tayhiap, tahukah kau diperjalanan depan sana apakah terdapat pasar kuda?" OoodeooO MO CIAU JIU menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. kecuali kalau kita mau berputar sejauh sepuluh li lagi dan membeli kuda di-peternakan keluarga Lok!" "Sepuluh li bukan perjalanan jauh" Sela nona Kim cepat. "tanpa kuda tak mungkin bagi kita untuk menempuh perjalanan kalau begitu mari kita, berangkat!" Berada dalam keadaan apa boleh buat, terpaksa semua orang harus membawa buntalan masing-masing dan meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Dipeternakan kuda keluarga Lok ada kuda yang bisa dibeli, namun tak akan bisa mendapatkan pelana, maka merekapun harus berjalan sambil menyeret pelana. Perjalanan sejauh sepuluh li harus mereka tempuh dalam setengah malam, ketika baru akan sampai, mendadak semua orang mendengar suara derap kaki kuda dari belakang, mereka lantas berhenti sambil menengok. Tampaklah dua orang lelaki dengan seorang sastrawan berusia pertengahan berjalan lewat dari sisi mereka. Peristiwa semacam ini amat lumrah dan tiada sesuatu yang aneh, tentu saja tiada orang yang menaruh curiga. Akhirnya sampai juga mereka dipeternakan keluarga Lok. Waktu itu mendekati magrib, pemilik peternakan tersebut Lok Siang beralasan kalau kurang baik untuk memilih kuda dalam suasana begini, mereka dianjurkan untuk menginap semalam dulu di peternakan tersebut, besok pagi baru memilih kuda dan meneruskan perjalanan. Karena menganggap cara ini baik, tentu saja semua orang merasa tidak keberatan. Tanah peternakan keluarga Lok cukup besar tempat penginapan untuk tamu pun cukup luas, malam itu Lok Yang menyelenggarakan perjamuan untuk menyambut kedatangan tamu-tamunya, baik sikap maupun caranya berbicara mendatangkan kesan yang baik bagi setiap orang. Berbicara yang sebenarnya Sun Tioag lo sekalian hanya akan membeli sebelas ekor kuda, tidak berapa banyak yang bisa diperoleh dari keuntungan jual beli itu, maka pelayanan Lok Siang yang begitu ramah dan hangat justeru mendatangkan perasaan tak tenang di dalam hati para jago... Perjamuan itu baru bubaran pada kentongan ke dua. Tempat menginap untuk para tamunya merupaksn kamar kamar yang berjejer secara teratur seperti rumah penginapan Sun Tiong-lo tinggal dikamar pertama, nona Kim berdiam dikamar nomor dua. Kamar nomor tiga adalah Bau ji, selanjutnya Mo Ciau jiu Yu Teng-po, Sangkoan Ki serta Lak yu, dari dua deret kamar yang terdiri dari duabelas kamar, hanya sebuah saja yang berada dalam keadaan kosong. Sesungguhnya jumlah rombongan Sun Tiong lo adalah duabelas orang tapi di tengah jalan entah mengapa Hou ji memisahkan diri, mungkin ada urusan penting lain yang hendak di kerjakan olehnya. Ketika kentongan ke tiga menjelang tiba, semua orang pun terlelap tidur, suasana menja di hening, sepi dan tak kedengaran sedikit suarapun. Suasana didalam peternakan keluarga Lok juga diliputi kegelapan, tak nampak cahaya lentera yang menerangi tempat itu. Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Mendadak tampak sesosok bayangan hitam menyelinap keluar secara diam-diam dari tempat tinggal para pekerja peternakan yang terletak di belakang bangunan utama. Tak lama kemudian bermunculan pula bayangan manusia lain yang segera menyebarkan diri ke mana-mana. Ada yang berlarian ke istal sambil secara diam-diam mempersiapkan kuda. Ada yang berlarian menuju ke ruang tengah untuk mengambil barang. Akhirnya dari gedung belakang peternakan itu muncul tiga sosok bayangan manusia yang masing-masing membawa sebuah peti yang nampaknya berat sekali. Mereka langsung menuju ke istal, mengikat peti berat itu diatas pelana kuda kemudian berlalu dari situ. Sementara itu, terdapat dua puluhan sosok bayangan hitam yang sedang mengumpulkan ranting dan kayu kering, kemudian dengan gerakan cepat dan lincah menuju ke depan ge dung dimana Sun Tiong lo sekalian sederet menginap. Mereka menumpukkan ranting-ranting kering tersebut disekeliling bangunan gedung tanpa menimbulkan sedikit suara pun. Makin lama ranting dan kayu kering yang ditumpukkan disana semakin banyak. bahkan hampir sejajar dengan jendela. Ketika ranting ranting tersebut sudah selesai ditumpuk, kawanan manusia berbaju hitam pun secara diam diam meninggalkan tempat kejadian tanpa menimbulkan sedikit suarapun, Kemudian mereka semua satu persatu berlompat naik ke atas kuda yang telah dipersiapkan dikejauhan. Pada saat itulah, tiga orang manusia yang sudah berada di atas kuda sambil membawa peti peti berat itu berjalan mendekat, salah seorang di antaranya secara mengulap tangannya. Serentak kawan manusia yang berada disekeliling gedung tamu itu mengeluarkan busur dari sisi pelana masing-masing, kemudian orang itu mengulapkan tangan kanannya lagi, api segera disulut dan obor pun dipasang. Tak selang berapa saat saja, orang-orang itu sudah mempersiapkan panah berapi yang siap dibidikkan. Tatkala orang itu mengulapkan tangannya sekali lagi panah- panah berapi itu bersamaan waktunya dibidikkan keatas tumpukan kayu kering itu... Panah api bermunculan dari empat penjuru, dalam waktu singkat seluruh gedung itu sudah terkurung api yang berkobar dengan hebatnya. Perlu diketahui, bangunan rumah untuk tamu itu sebagian besar terbuat dari kayu, atap rumah pun rupanya sudah disiram dengan minyak, maka dalam waktu singkat seluruh bangunan tersebut sudah terjilat api dan berubah menjadi sebuah gumpalan api. Bila orang yang berada dalam gedung tersebut masih bisa meloloskan diri dari keadaan seperti ini, sudah pasti orang itu setengah dewa. Ditengah kobaran api yang membara itulah terlihat dengan jelas, rupanya pemimpin dari gerombolan tersebut tak lain adalah Lok siang sendiri, pemilik peternakan itu. Ditengah kobaran api yang membara inilah terdengar Lok Siang berseru dengan lantang. "Apakah semua orang telah berkumpul ?" "Ya, sudah berkumpul semua." "Bagus, dengan kobaran api sebesar ini, aku yakin mereka tak bakal lolos lagi dengan selamat, mungkin kita tak usah mengikuti rencana untuk mengundurkan diri dari peternakan ini lagi, cuma kalian semua harus tetap waspada." Seorang lelaki berbaju hitam yang berada disamping Lok Siang segera menyela. "Saudara Lok, aku lihat lebih baik kita mengikuti rencana untuk mundur saja dari sini." "Saudara Co, coba kau lihat, hingga sekarang mereka masih belum menunjukan sesuatu gerakkan pun, hal ini membuktikan kalau mereka-semua sudah mati terbakar ditengah tidur yang nyenyak." Kata Lok Siang sambil berkerut kening. "asalkan orang yang kita takuti sudah musnah, mengapa kita harus menarik diri dari sini ?" Lelaki she Cio itu menggelengkan kepalanya berulang kali, ujarnya cepat. "Saudara Lok, justeru karena aku tak mendengar suara apa pun dari mereka, maka aku baru merasa kalau keadaan sedikit tak beres!" Lok Siang tertawa dingin. "Hee... hee... seharusnya saudara Cho dapat melihat dengan jelas. deretan rumah tamu sudah berubah menjadi lautan api, sekalipun Sun Tiong lo merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi, mungkinkah dia bisa lolos dari sini ?" Lelaki she Cho itu menggelengkan kepalanya lagi. "Kau harus tahu, mereka bersebelas merupakan jago-jago yang memiliki ilmu silat yang amat tinggi, seandaikata kebakaran itu sampai terjadi, seharusnya terdengar teriakan atau jeritan orang, semestinya ada pula yang mencoba untuk menerobos keluar dari bahaya dan bayangan manusia yang berkelebat. "Tapi sejak kebakaran terjadi hingga sekarang, bukan saja tidak terdengar teriakan atau jeritan kesakitan, tidak nampak pula seorang manusia pun yang melarikan diri, apakah hal ini tidak mencurigakan ?" Setelah mendengar penjelasan tersebut, Lok Siang baru merasakan keadaan sedikit tak beres. Dengan kening berkerut katanya kemudian. "Menurut pendapat saudara Cho, keadaan tersebut adalah..." "Sulit untuk dikatakan." Tukas lelaki she Cho itu. "pokoknya keadaan seperti ini jauh berbeda dengan keadaan pada umumnya. lebih baik kita menyingkir saja dari sini!" Lok Siang termenung sambil berpikir beberapa saat lamanya, kemudian manggut-manggut. "Baik, mari kita mundur !" Setelah berpaling, dia mengulapkan tangan nya kepada para jago sembari teriaknya. "Sesuai dengan rencana semula, mundur!" Begitu perintah diturunkan dia bersama lelaki she Cho dan lelaki setengah umur lainnya segera menarik tali les kuda dan berangkat dahulu menuju kearah pintu gerbang. Sedangkan lainnya pun menurut perintah dan mengikuti dibelakangnya. Siapa tahu ketika Lok Siang dan lelaki she Cho sekalian tiba didepan pintu gerbang, mendadak dari balik pintu berjalan keluar seseorang, orang itu memakai jubah panjang dengan pedang tersoren dipunggung, dia tak lain adalah Sun Tiong lo. Dalam kagetnya, hampir saja Lok Siang menjerit tertahan, peluh dingin segera bercucuran dengan derasnya. Lelaki she Cho itu ternyata cukup licik, begitu melihat Sun Tiong lo menghadang didepan pintu, dia lantas memutar arah kudanya dan kabur melalui pagar dinding di sebelah kiri. Maksudnya dia hendak melompati pagar tersebut dan melarikan diri. Tiba-tiba suara bentakan berkumandang lagi dari balik kegelapan malam. "Siapa yang ingin kabur, dialah yang mampus lebih dulu, dan kau merupakan contohnya!" Di tengah bentakan mana, tubuh lelaki she Cho yang sudah hampir mencapai puncak pagar itu tahu-tahu menjerit kesakitan kemudian roboh terjengkang ketanah. Ketika diperiksa lagi, ternyata batok kepalanya sudah lenyap tak berbekas. Tindakan tersebut kortan saja menggetarkan perasaan setiap orang yang hadir disana. Sekarang Lok Siang telah sadar, rupanya mereka yang berbalik kena dikepung dalam peternakan tersebut. Ingin kabur, lelaki she Cho itu merupakan contoh yang jelas, mati tanpa tempat kabur, sebaliknya kalau tidak kabur, sudah pasti mereka akan menuntut balas kepadanya atas rencana pembakaran terhadap diri mereka itu. Sementara dia masih termenung, Sun Tiong lo telah membentak dengan suara nyaring. "Sekarang kuperintahkan kepada kalian untuk turun dari kuda dan kembali ke ruang tengah gedung secara tertib, siapa berani membangkang dia akan mampus !" Bintang Bintang Jadi Saksi Karya Kho Ping Hoo Drama Gunung Kelud Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo