Ceritasilat Novel Online

Bukit Pemakan Manusia 8


Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung Bagian 8


Bukit Pemakan Manusia Karya dari Khu Lung   Setelah berhenti sejenak, Katanya lagi.   "Sebelum kentongan ketiga nanti, jika siaute belum juga kembali silahkan toako kembali dulu ke loteng, andaikata nona menanyakan tentangku,, maka toako bisa mengadakan kalau badanku tidak enak dan telah pulang dahulu ke-loteng impian untuk pergi tidur!"   Berbicara sampai disitu, tak menunggu pertanyaan dari Bau ji agir dia segera berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.   -ooo0dw0oooSEMBILAN sosok bayangan manusia bersemi ditengah tanah lapang luas yang penuh dengan semak belukar.   Mendadak kesembilan sosok bayangan manusia itu lenyap dengan begitu saja.   Sesosok bayangan manusia lain yang berada ditempat kejauhan segera mengerutkan dahinya setelah menyaksikan kejadian itu.   Tampak bayangan manusia itu termenung sebentar, kemudian dengan suatu gerakan yang amat cepat meluncur kearena tersebut.   Hari ini meski langit tak berbulan, namun secara lamat-lamat dapat terlihat jelas bayangan serta paras muka orang itu.   Dia memakai jubah panjang dengan wajah yang tampan, cuma sayang berwarna kuning kepucat-pucatan seperti wajah seorang yang baru sembuh dari penyakit berat, sementara sepasang matanya dengan tajam mengawasi sekeliling tempat itu.   Tempat dimana dia berada adalah sebuah tanah lapang berumput yang setinggi lutut.   Dibalik semak belukar itu tentu saja terdapat batu-batu cadas, ada yang besar ada pula yang kecil, tapi selain itu tidak nampak sesuatu yang mencurigakan lagi.   Bayangan manusia itu segera berkerut kening, menggelengkan kepalanya berulang kali seperti tidak percaya dengan apa yang barusan terlihat.   Mendadak bayangan itu tertawa, sambil maju dua langkah dia berdiri didepan sebuah batu panjang yang mencuat ke atas.   Dengan kaki kirinya bayangan manusia itu menutul sebentar di atas batuan tadi, tiba-tiba permukaan tanah itu merekah bagian tengahnya, bayangan itupun turut terjatuh ke dalam rekahan tanah tersebut.   Permukaan tanah kembali merapat, seperti ular raksasa yang menelan korbannya.   - ooo0dw0ooo- Terdengar suara langkah kaki bergema datang, kalau didengar dari suara itu, tampaknya tidak sedikit jumlahnya.   Dalam waktu singkat, delapan sosok bayangan manusia telah makin mendekat dari kejauhan dan berdiri di tengah lorong bawah tanah.   Pada kedua belah dinding itu masing-masing tertancap obor.dibawah cahaya api dapat terlihat bahwa ke delapan orang itu adalah delapan kakek yang dinamakan Pat tek pat lo.   Tampak Kakek Tiong menyentilkan jari tangannya menotok sebuah tempat pada dinding bagian kanan, menyusul kemudian terbukalah sebuah pintu rahasia, delapan orang kakek tersebut dengan cepat meluncur ke luar sebelum pintu itu merapat kembali.   Beberapa saet kemudian, langit-langit itu membuka kembali dan bayangan itupun meluncur keluar pula dari dalam lorong tadi.   Waktu itu, delapan orang kakek Pat tek pat lo sedang berjalan didepan sana, kurang lebih puluhan kaki jauhnya.   Walaupun mereka tidak mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, namun gerakan tubuh orang orang itu cukup cepat, dalam waktu singkat beberapa orang itu sudah menuju kebelakang perkampungan sana.   Bayangan manusia tersebut masih saja mengikuti pada jarak sepuluh kaki dibelakangnya.   Setelah melewati kaki bukit, mendaki pinggang bukit, akhirnya sampailah mereka diatas puncak bukit dibelakang gunung sana.   Bayangan manusia itu segera mengalihkan sinar matanya kedepan sana, kemudian diam-diam mengangguk.   Sebaris pohon siong yang menjulang tinggi keangkasa telah menghalangi pandangan matanya, pohon tersebut diatur sangat rapi dan teratur sekali, pada tanah kosong antara satu pohon dengan pohon yang lain ternyata ditanami dengan "liong-siong"   Yang sukar ditanam, waktu itu pohon "Long-siong"   Tersebut sudah mencapai ketinggian lima jengkal. Oleh sebab itu, seandainya barisan pohon siong dan liong siong"   Tersebut tidak ditembusi dulu, entah dari sudut pandangan manapun akan yang tinggi atau rendah, jangan harap bisa menyaksikan pandangan yang sesungguhnya dibelakang pohon tersebut.   Dibelakang pohon siong itu terdapat sebuah gua batu, diatas gua batu itu terukirlah huruf "Sin-kiong"   Yang besar dan berwarna kuning emas. Bayangan tubuh ke-delapan orang itu lenyap tak berbekas setelah melewati pepohonan siong yang lebat tersebut, tak bisa disangkal lagi mereka telah memasuki gua batu yang bernama "Sin- kiong"   Tersebut.   Kini bayangan manusia itupun telah menembusi pula pepohonan siong yang lebat tersebut.   Akhirnya dia berhenti didepan gua Sin-kiong tersebut, ditepi sebatang pohon siong.   Sorot matanya tidak ditujukan ke arah gua tersebut, melainkan menyapu sekejap kiri dan kanan gua, kemudian tertawa tergelak.   Sambil bergendong tangan, tegurnya.   "Sepanjang jalan kalian berdelapan telah memancingku kemari, sekarang, mengapa pula menyembunyikan diri keempat penjuru ?"   Baru selesai dia berkata, dari kedua belah samping gua tersebut segera berjalan keluar delapan orang kakek.   Tiong, Siau, Sin dan Ay empat kakek muncul dari sebelah kiri sedangkan Sim, Gi, Hoo, Peng empat kakek yang lain muncul dari sebelah kanan....   Delapan orang kakek itu segera menyebarkan diri dan menyumbat mati jalan mundur bayangan manusia tersebut.   Dengan sinar mata tajam sembilu, kakek Tiong mengawasi orang itu lekat-lekat, lalu serunya.   "Orang lihay tidak menampakkan diri, lohu bersaudara betul- betul merasa terkecoh !"   "Mana, akupun sudah terlalu gegabah !"   Kata orang itu tertawa. Yang di maksudkan "Terkecoh"   Oleh delapan orang kakek itu adalah dia tak menyangka tau tindakan mereka untuk menyembunyikan diri tidak berhasil mengelabuhi bayangan manusia tersebut. Sedangkan orang itu mengatakan "Gegabah"   Karena perguntilannya berhasil diketahui oleh ke delapan orang kakek tersebut. Maka kakek Tiong pun segera tertawa terbahak-bahak.   "Hah...haa....sama-sama, sama sama,..haha....   "Ah, mana, mana"   Kata orang itu sambil tersenyum.   "kalian berdelapan mengetahui diri ku lebih dulu, seharusnya akulah yang sudah kalah setingkat dari kalian berdelapan !"   "Kalau begitu kita setali tiga uang, haah..."   Tiba tiba kakek Peng bertanya.   "Kau datang dari mana? Siapa namamu ?"   Orang itu tidak menjawab, sebaliknya malah berkata.   "Pat-tek-pat-lo adalah orang orang yang terhormat dan berkedudukan tinggi, masa tidak tahu bagaimana caranya menerima tamu ?"   Mendengar ucapan itu, Pat-lo menjadi terperanjat. Kakek Tiong segera bertanya.   "Jadi kau sudah tahu siapakah kami berdelapan ?"   "Benar!"   Orang itu mengangguk. Setelah berhenti sejenak, sambil tertawa katanya lagi.   "   Aku tak ingin berbohong, sesungguhnya aku tahu secara kebetulan saja..."   "Maksudmu ketika kami berada dalam ruang tengah perkampungan itu."   "Benar, kalau tidak dari mana aku bisa tahu siapa gerangan kalian berdelapan !"   "Setelah kan berbicara sejujurnya, aku kuatir kalau keadaan justru malah tidak menguntungkan bagimu."   "Aaaaah, kalau aku diharuskan berbohong karena keadaan, lebih baik tidak kulakukan saja."   Kakek Tiong berseru tertahan, lalu memandang kearah ketujuh orang rekannya.. - ooo0dw0ooo-   Jilid 9 TUJUH ORANG KAKEK yang lain segera manggut-manggut. Maka kakek Tiong segera tertawa terbahak bahak, katanya.   "Bagus sekali, bersediakah kau untuk masuk istana Sin kiong dan berbincang-bincang?"   Orang itu tertawa.   "Mau sih mau, cuma leluasa tidak?"   Kakek Tiong memandang sekejap rekan-rekannya, kemudian katanya lagi kepada orang itu.   "Kau adalah seseorang yang bisa dipercaya dan lohu ada niat untuk memenuhi keinginanmu mengertikah kau bahwa istana Sin kiong bukan suatu tempat yang bisa didatangi setiap orang, lagipula bukit inipun mempunyai peraturan yang berlaku?"   Orang itu mengangguk.   "Aku mengerti, cuma aku adalah tamu dari Pat lo, lagipula kalian yang mengundang aku masuk, sekalipun disini berlaku peraturan bukit ini, rasanya hal itu toh berlaku buat orang lain?"   Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Lohu memang ada maksud begitu, cuma peraturan tetap peraturan, kaupun tak bisa melanggar peraturan itu!"   "Bagaimana seandainya kutanyakan dulu peraturan kemudian baru masuk?"   "Apakah kau merasa takut?"   Orang itu menggeleng, sahutnya.   "Tidak, asal hatiku lurus dan pikiranku benar, naik langit masuk bumi aku tidak akan takut!"   "Kalau memang begitu, mengapa tidak duduk dulu dalam istana kemudian baru berbincang bincang?"   "Seorang tamu ada baiknya kalau menurut sopan santun, itulah sebabnya aku ingin bertanya dahulu!"   "Baiklah, kalau begitu tanyalah!"   Kata kakek Tiong kemudian sambil tertawa.   "Aku hanya ingin mengajukan satu pertanyaan saja, yakni bukit ini termasuk kekuasaan istana Sin kiong, ataukah istana itu termasuk kekuasaan bukit ini? Aku harap Patlo bersedia memberi jawaban yang sejujurnya."   "Maksudmu soal peraturannya?"   Tanya kakek Tiong dengan wajah serius.   "Lebih tepat kalau dikatakan selain peraturan juga menanyakan kelompok kekuasaan."   Istana ini termasuk dalam bukit ini, tetapi menjunjung tinggi peraturan bukit!"   Orang itu berseru mengiakan, dan kemudian sambil menjura katanya.   "Kalau begitu maafkan kelancanganku, aku akan masuk kedalam!"   Selesai berkata, dengan melangkah lebar dia lantas masuk kedalam istana Sin kiong. Dengan cepat kakek Tiong menghalanginya seraya berkata.   "Keberanianmu sungguh luar biasa, lohu bersaudara tak berani bersikap kurang hormat."   Setelah berhenti sebentar, katanya lagi.   "Adik Peng, mengapa tidak menunjuk jalan buat tamu agung kita?"   Kakek Peng mengiakan, kepada orang itu katanya kemudian sambil tertawa.   "Kau adalah tamu kami, biar lohu saja yang membawakan jalan bagimu...". Selesai berkata, kakek Peng mendahului orang itu dan masuk lebih dulu kedalam istana Sin kiong. Orang itu berpaling kearah kakek Tiong, kakek itu segera berkata lembut.   "Saudara, silahkan !"   Sun Tiong lo segera gelengkan kepalanya be rulang kali, katanya.   "Silahkan..."   Orang itu tertawa, dengan sikap yang amat santai dia lantas melangkah masuk ke dalam gua.   Di balik gua itu terbentang sebuah jalan yang lurus, lebih kurang sepuluh kaki kemudian mereka berbelok ke kanan, kemudian setelah sepuluh kaki lagi merekapun berbelok ke sebelah kiri.   Luas lorong bawah tanah itu mencapai dua kaki, dinding batu terbentang sampai diatas gua, halus dan licin seperti cermin.   Setelah berbelok kekiri, maka munculah sebuah gua yang tiga kaki luasnya.   Orang itu berseru tertahan, kemudian kata-nya.   "Ternyata didalam gua ini hanya terdapat sebuah jalan tembusan saja."   "Benar !"   Jawab kakek Tiong yang berjalan lima depa disisinya.   "setelah menembusi gua tersebut, kita akan sampai diistana Sin- kiong."   Orang itu manggut-manggut.   "Tentunya tempat itu sangat luas bagaikan dunia !"   "Aaaahh, mungkin akan ditertawakan oleh yang telah melihatnya...."   Tanpa terasa orang itu bergumam.   "Tempat ini tidak nampak cahaya api. siapa sangka kalau didunia ini tak ada dewa?"   Mendengar ucapan tersebut, paras muka delapan orang kakek itu agak berubah.   Sementara itu kakek Peng yang berjalan dipaling depan juga telah berhenti sambil dia berpaling ke arah kakek Tiong, agaknya dia sedang menantikan petunjuknya.   Kakek Tiong segera mengangguk, katanya.   "Adik Peng, kita terima tamu di Teng hong sian!"   "Baik toako"   Jawab kakek Peng dengan sekulum senyuman menghiasi bibirnya, dia tampak gembira sekali.   "siaute akan mendahului beberapa langkah lebih dulu!"   Sementara itu, orang tadi sudah maju kembali kedepan sambil berkata.   "Bisa masuk gua dewa, mendapat tempat di atas Teng hong sian, bunyi sambu menimbulkan karya seni yang indah, hidup tenteram lupa nama dan kedudukan, itulah jalan yang palinglah tepat bagi para orang gagah jaman sekarang!"   Ketika mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba sekujur badan kakek Peng yang berjalan dipaling muka itu gemetar keras.   "Adik Peng, hati hati kakimu!"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Kakek Tiong segera memperingatkan. Kembali orang itu berseru.   "Bila dalam hati tiada noda dan dosa, melewati tebing curam tempat bahaya, tenang!"   Delapan orang kakek itu tak berkata apa apa, hanya tampak kakek Peng telah mempercepat langkahnya.   Sesudah keluar dari gua, dari kejauhan sana tampak ada empat buah lentera yang melayang datang makin lama semakin mendekat, Orang itu menengok sekejap sekeliling tempat itu, kemudian menghela napas sambil muji.   "Mendengar kau menghela napas ?"   Tanya kakek Tiong sambil berkerut kening.   "Sungguh besar benar lagak kalian !"   Kata orang itu sambil mendongakkan kepalanya.   Sementara itu, ke empat buah lentara tadi sudah semakin mendekat, ternyata mereka adalah empat orang dayang kecil berbaju hijau yang masing-masing membawa sebuah lentera kristal, tampaknya mereka datang untuk membawa jalan bagi delapan kakek serta orang itu.   Tidak menunggu ke empat orang dayang itu memberi hormat, kakek Peng telah berkata.   "Tamu agung telah datang, kalian segera kembali ke istana dan perintahkan untuk menyiapkan meja perjamuan di Teng-hong-sian, lalu gunakan lencana Giok-pan untuk mengundang datang "Ngo- siu", cepat!"   Ke empat orang dayang cilik itu segera memberi hormat, kemudian membalikkan badan dan pergi. Sambil tertawa kakek Tiong lantas berkata kepada orang itu.   "Kami delapan bersaudara akan mempergunakan upacara yang paling megah untuk menyambut kedatanganmu !"   Buru-buru orang itu menjura.   "Upacara Kebesaran semacam ini benar-benar tak berani kuterima !"   Kakek Peng tertawa, katanya.   "Mata lohu belum melamur, karena itu maka kami sengaja memberitahu silahkan !"   Semua orang segera mempercepat langkahnya menuju ke depan.   Dari kejauhan sana secara lamat lamat tampak serentetan bangunan loteng yang saat itu terang benderang bermandikan cahaya.   Tak bisa di sangkal lagi, ke empat orang dayang itu tentunya telah menyampaikan perintah.   Di bawa sinar lentera, orang itu dapat melihat segala sesuatu dengan jelas.   Sebuah keraton berbentuk antik dan indah terbentang didepan mata, meski jaraknya masih jauh namun nampak jelas ukir ukiran pada tiang penyanggahnya yang indah dan hidup.   Di luar istana diatas pintu gerbang tentera sebuah papan nama yang bertulis.   "Sin Kiong"   Dari tinta emas yang indah.   Waktu itu semua pintu diistana terbentang lebar, disebelah kiri berdiri sepasukan wanita wanita-cantik, sedang disebelah kanan berdiri busu bertubuh kekar..   Sambil mengulapkan tangannya, kakek yang bernama Peng berkata dengan lantang.   "Sejak malam ini... pintu istana tak bolek ditutup, tidak boleh terjadi kegaduhan bubarkan semua huhoat pengontrol istana, kemudian naikkan lentera emas di atas loteng Im siau lo, semua perintah tak boleh dilanggar...."   Dua pasukan laki, perempuan yang berada dikedua sisi istana segera mengiakan, kemudian setelah memberi hormat kepada delapan kakek serta orang itu, mereka barulah membalikkan badan dan berlalu, ternyata langkah merekah sama sekali tak bersuara sedikitpun.   Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, kakek Peng segera membalikkan dan sambil menyingkir kesamping, dan katanya.   "Silahkan saudara!"   Orang itupun tak mau kurang hormat, kepada kakek Tiong ujarnya.   "Kakek Tiong silahkan !"   Kakek Tiong segera tertawa, sambil menggandeng tangan orang itu katanya.   "Saudara, bagaimana kalau kita berjalan sambil bergandengan tangan."   "Dengan segala senang hati."   Jawab orang itu sambil menerima uluran tangan kakek itu.   Maka kedua orang itupun bergandengan tangan masuk kedalam pintu istana.   - ooo0dw0ooo- DI DALAM Teng liong sian, perjamuan sudah hampir berakhir, irama musik telah berhenti, dan waktupun sudah menunjukkan kentongan ketiga tengah malam.   Kakek Peng segera memberi tanda, para dayang pun maju membereskan sisa hidangan dimeja, kemudian teh wangi pun dihidangkan.   Ketika dia memberi tanda lagi, semua orang segera memberi hormat dan mengundurkan diri.   Kakek Peng lantas memandang kakek Tiong, kemudian ujarnya.   "Apakah kita akan menggunakan lencana Giok-pay untuk menghantar "Nga-siu"   Keluar dari istana ?"   Kakek Tiong tidak menjawab, tapi sambil berpaling kearah orang itu katanya: Orang itu mengerling sekejap ke balik tirai bambu yang tebal itu, kemudian sahutnya.   "Kalau tamu sih menuruti saja kehendak tuan rumah !"   Setelah berhenti sebentar terusnya;   "Cuma, aku merasa agak kecewa."   "Haaahh...haahh... apakah disebabkan tak bisa bersua dengan "Ngo-siu"   Orang itu tersenyum, baIik tanyanya.   "Apakah kakek Tiong tidak sependapat dengan diriku."   Sekali lagi kakek Tiong tertawa terbahak-bahak.   "Yaa, memang kau tak bisa disalahkan.   "Ngo-siu selain cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, kecerdasan dan kepandaiannya juga amat jarang aca tandingannya, menurut adat kesopanan, sudah sepantasnya bila lohu mengundangnya keluar untuk bersua dengan kau."   "Kalau memang menurut adat kesopanan harus begitu, bolehkah aku mengajukan pertanyaan?"   Orang itu segera menimbrung. Kakek Tiong mengalihkan sinar matanya dan memandang orang itu sekejap, lalu jawabnya.   "Cuma, lohu tak berani mengambil keputusan."   "Oooh... apakah dengan kedudukan Pat lo yang terhormat masih belum sanggup untuk mengundang keluar kedua orang perempuan cantik itu...?"   Paras muka kakek Tiong agak berubah, kemudian katanya.   "Darimana kata kata "dua orang perempuan cantik itu berasal? mengapa kau bisa berkata begitu?"   "Bukankah dibalk tirai bambu itu terdapat dua orang perempuan cantik....?"   Ujar orang itu sambil menuding ke balik tirai. Kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak.   "Haaaahh.... haahhh... haaahhh.... rupanya kau kurang bisa menangkap nada suara orang."   Dengan wajah serius orang itu berkata.   "Kakek Tiong, aku tidak puas dengan perkataanmu itu, sekarang aku berani bertaruh dengan kakek Tiong, bila dibelakang tirai tidak terdapat dua orang perempuan cantik, aku rela mengaku kalah."   Belum habis perkataan itu diucapkan, dari balik tirai telah terdengar serentetan suara merdu sedang berkumandang.   "Kau berani mempertaruhkan apa?"   "Bagaimana kalau nona yang menentukan?"   Orang itu balik bertanya sambil tertawa. Perempuan dibalik tirai itu mendengus.   "Hmmm, setiap pertaruhan harus adil, bila kau menang apa permintaan yang hendak kau ajukan?"   "ltu tergantung keputusan nona, jika kalah apa pula yang hendak kau berikan kepadaku!"   Perempuan cantik dibalik tirai itu tampak-nya agak tertegun, lalu katanya.   "Sekarang aku telah memutuskan, bila kau yang kalah maka kau harus menjadi budak harpaku untuk selamanya!"   Orang itu tertawa tergelak.   "Haaahnh.... haaahhh.... haaahhh... kalau memang bersungguh hati, aku cuma kuatir dicemooh orang!"   Begitu ucapan tersebut diucapkan, paras muka pat-lo segera berubah hebat. Tapi ucapan dari orang itu belum selesai, kembali katanya.   "Sebagai budak harpa, pekerjaan apa yang harus kukerjakan ?"   "Siang memetik harpa, malam memetik harpa, kami kakak beradik pergi ke timur, kalian ke timur, kami ke barat kalian juga turut kebarat!"   "Kalau bisa begitu, kalah lebih menguntungkan dari menang, lebih baik mengaku kalah saja, tak perlu bertaruh lagi!"   Perempuan dibalik tirai itu menjadi terbungkam, Pat-lo juga tak berkata apa-apa lagi. Sesaat kemudian, dari balik tirai berkumandang suara helaan nafas panjang, katanya.   "Kalau memang tak ingin bertaruh lagi, maaf kalau akupun hendak mohon diri !"   Orang itu menjadi agak gelisah, serunya dengan cepat.   "Nona, harap tunggu sebentar !"   "Apa lagi yang hendak kau katakan? "Apabila pertaruhan ini harus dilakukan juga, aku bersedia untuk bertarung."   Perempuan cantik dibalik tirai itu segera tertawa dingin, katanya kemudian.   "Kalau begitu, katakan dulu, bagaimana jika kau yang menang ?"   "Nona pernah bilang, bila aku kalah, maka selama hidup harus menjadi budak harpa, bukankah begitu ?"   "Betul, aku percaya kau tak akan secepat itu untuk melupakannya !"   Orang itu segera tertawa, katanya lagi.   "Aku tak punya harpa tapi punya pedang, bila nona kalah, bersediakah kau menjadi budak pedangku ?"   Perempuan cantik dibalik tirai bambu itu tidak menjawab, mendengar itu orang tersebut segera mendesak lebih jauh.   "Dapatkah hal ini diterima, harap nona bersedia memberi jawaban."   Belum juga ada jawaban dari balik tirai bambu itu. Orang tersebut segera berpaling kearah kakek Tiong segera berseru dengan suara keras.   "Kakek Tiong, nona belum juga menjawab...?"   "Kau suruh nona menjawab apa?"   Tanya kakek Tiong sambil berkerut kening.   "Menjawab soal pertaruhan itu!"   "Haaahhh.... haahhh... haaahhh... aku lihat kau terlampau seriusl"   "Untuk bertaruh tentu saja harus bersikap serius!"   Ujar orang itu setelah tertegun. Kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.   "Apa yang dikatakan nona tak lebih hanya suatu siasat untuk mengundurkan diri."   "Siasat untuk mengundurkan diri? Apakah nona sudah pergi?"   "Yaa, sudah pergi sedari tadi!"   Sahut kakek Peng. Dengan cepat orang itu menunjukkan wajah kecewa, katanya.   "Kejadian ini benar benar diluar dugaanku."   Kakek Peng tertawa.   "Urusan dari nona Siu memang tak pernah bisa diduga orang selain Sancu seorang."   Suasana menjadi hening untuk beberapa saat lamanya, tiba tiba orang itu mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.   "Tolong tanya kakek Peng, apakah Ngo siu terdiri dari dua orang."   Belum habis orang itu berkata, kakek Peng sudah menukas.   "Soal ini, maaf kalau aku tak dapat mengatakannya."   Dengan perasaan apa boleh buat orang itu menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.   "Tak bisa bertemu dengan perempuan cantik, betul-betul merupakan suatu kejadian yang membuat kecewanya hatiku!"   Kakek Tiong segera tertawa terbahak bahak.   "Haaahhh.... haaahhh... haaahhh.... hanya seorang enghiong yang bisa mengetahui pentingnya perempuan, ucapan anda tidak bisa kupahami dengan begitu saja."   Orang itu kembali menggeleng, sambil beranjak katanya.   "Kegembiraanku sudah hilang, maaf kalau terpaksa aku harus memohon diri !"   Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan siap berlalu dari situ. Sambil tertawa kakek Tiong segera merentangkan tangannya menghalangi jalan pergi orang itu, serunya.   "Saudara, harap tunggu sebentar !"   "Kakek Tiong masih ada petunjuk apa lagi?"   Sambil mempersilankan tamunya duduk, kakek Tiong berkata.   "Sekalipun ada urusan juga harus diperbincangkan sambil duduk, silahkan !"   Agaknya orang itu dibuat apa boleh buat, terpaksa dia balik kembali ketempat duduknya. Setelah air teh dipersembahkan kakek Tiong lantas berkata.   "Silahkan meneguk air teh dulu, kemudian lohu akan mengajukan beberapa persoalan kepadamu."   Orang itu memandang sekejap ke arah kakek Tiong, kemudian sambil menunjuk cawan air teh dihadapannya dia berseru.   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   "Apakah harus di minum ?"   Kakek Tiong tertegun, kemudian serunya.   "Aku lihat ucapanmu itu mengandung maksud lain, bolehkah aku mengetahuinya ?"   Orang itu segera tertawa dingin, ejeknya.   "Betulkah kakek Tiong tidak tahu?"   Kakek Tiong segera menggelengkan kepala nya berulang kali, dengan serius katanya.   "Saudara, harap kau katakan dengan berterus terang."   Orang itu tertawa, dia lantas mengambil cawan dan pelan pelan menuang isinya ke atas lantai.   Suatu kejadian yang mengerikan segera berlangsung didepan mata, segulung asap berwana hijau segera mengepul ke angkasa, seketika itu juga lantai loteng tersebut terbakar dan berubah menjadi hangus.   Menyaksikan kejadian itu.   paras muka kedelapan orang kakek itu berubah hebat, hawa amarah dengan tepat menyelimuti seluruh wajah mereka.   Sambil mendepak-depakkan kaki keatas lantai, kakek Tiong segera berteriak keluar ruangan.   "Malam ini, siapa yang bertugas meronda dalam istana ?"   "Hamba Sik Puh !"   Seseorang menyahut dari luar ruangan. Kakek Tiong segera mendengus.   "Kemari !"   Bentaknya.   Sik Puh mengiakan dan segera muncullah sesosok bayangan berwarna biru, begitu sampai ditempat tampaklah seorang lelaki kekar berusia pertengahan yang berwajah tampan muncul didepan mata.   Dia adalah Sik Puh, petugas yang mendapat giliran menjaga dalam istana Sin-kiong, ketika mengetahui kalau Pat-tek-Pat-lo sedang menjamu tamunya didalam istana Teng-hong-sian maka dia secara khusus melakukan penjagaan yang lebih ketat.   Ketika menyaksikan gerakan tubuh Kik Puh ketika melayang naik keatas loteng orang itu merasa hatinya tergerak dan segera manggut2.   Sebaliknya ketika Sik Puh melirik ke arah orang itu hatinya juga merasa tergerak.   Pada saat itulah, kakek Tiong telah menuding ke papan loteng yang hangus itu, serunya.   "Coba kau perhatikan tempat itu!"   Menyaksikan keadaan dari lantai loteng itu, di paras muka Sik Puh berubah hebat, namun dia tidak berkata apa-apa.   "Sudah kau lihat dengan jelas?"   Kembali kakek Tiong membentak "Hamba sudah melihat jelas !"   "Bawa kemari orang tersebut !"   Bentak kakek Tiong lagi. Sik Puh agak tertegun, sebelum dia berkata, kakek Peng dengan wajah sedingin es telah berkata.   "Bagaimana ? Merasa susah ?"   Sik Puh segera menundukkan kepalanya rendah-rendah, setelah memberi hormat sahutnya.   "Harap Tionglo maklum, jumlah orang yang berada dalam istana Sin kiong banyak sekali...."   "Goblok"   Tukas kakek Peng segera.   "orang yang turut hadir di atas Teng-hong sian malam ini cuma sepuluh orang."   "Maaf Tianglo, hamba telah salah berbicara"   Buru-buru Sik Puh meralat kata-katanya. Kemudian setelah berhenti sebentar, sekali lagi dia memberi hormat seraya berkata.   "Hamba memohon, Tianglo bersedia mem beri batas waktu satu kentongan kepada hamba."   Kakek Peng segera memandang ke arah kakek Tiong segera mendengus dingin, serunya.   "Untuk mencari seorang anjing laknat yang melepaskan racun saja, masa membutuhkan satu kentongan ?"   "Hamba harus membongkar kasus ini sampai tuntas."   Kakek Ho memang berhati bijaksana, cepat dia berseru.   "Baik, baiklah, cepat laksanakan tugas ini!"   Bagaikan mendapat ampunan, Sik Puh segera mengiakan dan mengundurkan diri dari situ Tiba-tiba kakek Tiong menambahkan "Lohu mengharapkan yang hidup, bila dia sampai mati, membiarkan kau tetappun tak ada gunanya !"   Mendengar perkataan itu Sik Puh segera berhenti, jawabnya.   "Hamba pasti akan melaksanakan sedapat mungkin !"   "Kalau begitu bagus sekali, cepat pergi !"   Seru kakek Tiong sambil mengulapkan tangan nya.   Kali ini Sik Puh tidak menanti lagi, dia segera membalikkan badan dan berlalu dari situ.   Setelah Sik Puh pergi, kakek Tiong baru mengambil cawan teh yang dipergunakan orang itu, mengendusnya sebentar, gelengkan kepala dan mengeluarkan hendak, kemudian membungkus daun teh itu dan meletakkannya diatas meja.   Setelah itu dengan nada minta maaf dia ber kata kepada orang sambil tertawa rikuh.   "Saudara, apa yang harus kukatakan ?"   "Tampaknya orang itu memang pelupa."   Sambil tertegun katanya.   "Kakek Tiong, apa yang kau maksudkan ?"   Sekali lagi kakek Tiong tertawa rikuh.   "Aah, kau ini memang pandai berlagak !"   Gumamnya. Setelah berhenti sejenak dia lantas mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.   "Aku percaya kau tentunya tak akan menuduh kami delapan bersaudara bukan ?"   Sekarang orang itu baru berseru tertahan. Sambil menuding kearah daun teh yang berada dalam handuk, katanya.   "Apakah itu kakek Tiong maksudkan permainan itu?"   "Kan, hanya permainan ini saja yang membuat lohu bersaudara menjadi rikuh."   Belum habis dia berkata, orang itu sudah tertawa, serunya.   "Perkataan apakah itu? Masa aku akan menaruh curiga kepada kalian berdelapan ?"   Kakek Tiong menghembuskan rasa mangkel dan kesal didalam hati, kemudian katanya.   "Saudara, ucapan dari Sik Puh tadi..."   "Aku telah mendengarnya semua !"   Sahut orang itu cepat. Kakek Tiong tertawa.   "Kalau begitu bagus sekali, bagaimana kalau seandainya kau menanti satu kentongan lagi disini?"   "Menurut pendapatku rasarya tak usah di tunggu lagi !"   Ucap orang itu sambil tertawa. Mendengar jawaban tersebut paras muka delapan arang kakek itu berubah hebat. Pertama-tama kakek Peng yang berkata lebih dulu.   "Kenapa ? Apakah kau tidak percaya kalau kami delapan bersaudara tak sanggup untuk menemukan pembunuh yang telah melepaskan racun itu ?"   BAB DUA BELAS - ooo0dw0ooo- "KAKEK BERDELAPAN!"   Ucap orang itu sambil tersenyum.   "Bukannya aku gemar bertaruh tapi dalam peristiwa ini."   "Baik, aku akan bertaruh denganmu!"   Cepat kakek Peng menyela, Orang itu memandang sekejap kearah kakek Peng dan ujarnya.   "Kakek Peng pribadi yang akan bertaruh denganku atau kalian berdelapan?"   Kakek Peng akan menjawab, tetapi kakek Tiong segera mengulapkan tangannya tukasnya.   "Tolong tanya, apakah taruhan ini dapat diperjelaskan?"   "Aku rasa, walaupun kalian berdelapan sangat berhasrat untuk menemukan pembunuh itu, sekalipun Sik Puh tayhiap telah mengerahkan segenap tenaganya untuk melakukan penyelidikan aku kuatir pada akhirnya cuma hasil yang nihil belaka!"   "Ooya? kalau, toh kau berani berkata demikian itu berarti kau sudah mempunyai dasar-dasar alasan yang kuat, apakah kami boleh mengetahuinya?"   "Maaf, soal ini tak dapat kukatakan!"   "Jadi kalau begitu, kau bersikeras untuk bertaruh?"   Tak tahan kakek Peng berseru.   "Haaahhh .... haaahhh ....haaah .. .. kalau cuma kau seorang, tentu saja pertaruhan ini tak akan bisa dilangsungkan."   Kakek Tiong beikerut kening, setelah termenung sebentar, akhirnya dia berkata.   "Baik, kita bertaruh!"   Dengan wajah serius orang itu lantas berkata.   "Kakek Tiong, aku hendak mengatakannya lebih dulu, bila ingin bertaruh maka aku hanya akan bertaruh dengan pat tek patlo, kecuali itu siapa pun tidak berlaku!"   "Bertaruh, bertaruh, bertaruh, lohu berdelapan sudah bertekad untuk mengikat tali persahabatan denganmu!"   "Aku bilang, kalian berdelapan tak akan berhasil menemukan pembunuh tersebut !"   Kata orang itu bersungguh-sungguh.   "Lohu bersaudara beranggapan pembunuh itu tak bakal lolos !"   Orang itu segera tertawa dingin, katanya.   "Batas waktunya adalah satu kentongan, kentongan keempat nanti menang kalah bisa ditentukan !"   "Baik, kua tetapkan dengan sepatah kata, bila sebelum kentongan ke empat pembunuh itu berhasil ditemukan maka kau yang kalah, sebaliknya jika selewatnya kentongan keempat pembunuh itu belum juga ditemukan, maka kau lah yang menang !"   Orang itu memandang sekejap ke arah delapan kakek itu, kemudian katanya.   "Kakek Tiong, apakah perkataanmu itu bagaikan hitam diatas putih.... ?"   "Apa yang telah lohu bersaudara ucapkan, sampai matipun tak pernah disesali!"   "Haa... haa... haaa... haaaa bagus-bagus sekali, kalau begitu kita tetapkan begitu saja, sekarang sudah seharusnya kalau kita bicarakan soal taruhannya!"   Kakek Tiong melirik sekejap kearah orang itu, dan kemudian katanya.   "Kaulah yang bersikeras menantang kami untuk bertaruh, mengapa tidak kau katakan dulu taruhannya yang sudah kau siapkan itu?"   Sekali lagi orang itu terbahak bahak.   "Haaa.... haa... haaa.... sungguh hebat!"   Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya.   "Seandainya aku menang, mulai besok aku berhak menjadi tamu istana Sinkiong, setiap saat, dikala aku menjadi tamu, maka kalian berdelapan berkewajiban untuk .... melindungi keselamatan jiwaku!"   Mendengar perkataan tersebut, ke delapan orang kakek itu saling berpandangan sekejap. Kakek Jin dan kakek Tiong segera tertawa terbahak-bahak serunya.   "Suatu perhitungan yang amat jitu, cuma lohu bersaudara bersedia meluluskan permintaanmu itu!"   Orang itu segera tertawa, ucapnya.   "Harap kakek Jin dan kakek Tiong jangan sembarangan menjawab, karena masalah ini besar sekali artinya!"   Kakek Jin kembali tertawa terbahak-bahak "Cukup saudara, dengan mengandalkan keberanianmu itu, bahkan lohu bersaudara pun dianggap remeh, apalagi kebetulan Sancu tak ada dirumah, lohu tidak percaya kalau ada orang yang sanggup menghalangi dirimu"   "Kakek Jin, taruhanku toh belum kuucapkan."   "Ooooh.. sungguh menarik, apapun yang kau ajukan, lohu bersaudara pasti meluluskan!"   Mendadak orang itu berubah menjadi amat serius, katanya.   "Selama aku menjadi tamu kehormatan dari kalian berdelapan, aku berhak menampik terhadap orang-orang yang tak ingin kujumpai"   "Baik, masih ada yang lain?"   Kata kakek Jin sambil manggut- manggut. Orang itu segera menggelengkan kepalanya.   "Sekarang giliran aku yang meminta petunjuk dari kalian berdelapan, taruhan apakah yang hendak kalian ajukan."   Kakek Jin segera memandang sekejap kearah kakek Tiong, ketika kakek Tiong mengangguk kakek Jin baru berkata.   "Tarunan yang akan kami ajukanpun terdiri dari dua bagian, pertama kau harus melayani kami selama satu tahun didalam istana Sin kiong, kedua kau harus memperlihatkan wajah aslimu serta menyebutkan nama serta maksud kedatanganmu !"   Orang itu segera mengangguk.   "Baik, apakah masih ada syarat sampingan lainnya?"   Dia bertanya, Kakek Jin menggeleng.   "Cuma dua itu saja, tanpa syarat sampingan lainnya lagi."   "Maaf kakek berdelapan, aku mempunyai sarat sampingan yang hendak kuajukan !"   Ujar orang itu sambil tertawa. Kakek Tiong segera berkerut kening katanya.   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Apakah kau tidak merasa kebangetan ?"   Sahut orang itu dengan serius.   "Syarat sampingan ini harus kuterangkan lebih dulu !"   "Baik.... baik,"   Seru kakek Jin sambil tertawa.   "silahkan kau utarakan kepada kami!"   "Andaikata orang yang melepaskan racun itu baru ditemukan selewatnya kentongan ke empat, bagaimana pula keputusannya ?"   "Selewatnya kentongan ke empat, tentu saja kau yang dianggap menangkap peraturan ini"   Orang itu segera menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Soal menang kalah sudah kita bicarakan, sekarang aku hendak menanyakan apa yang hendak dilakukan terhadap orang yang melepaskan racun itu?"   "Hal itu merupakan urusan dari lohu bersaudara!"   Orang itu segera tertawa.   "Aku rasa seandainya orang itu mengakui sendiri, sudah sepantasnya kalau ia memperoleh pengampunan !"   "Harus mendapat pengampunan ?"   Kakek Tiong agak tertegun setelah mendengar perkataan itu.   "kau...."   "Kakek Tiong, yang menjadi korban adalah aku, maka aku merasa berhak untuk mengajukan permintaan ini !"   Kakek Tiong berpikir sejenak, akhirnya dia menjawab.   "Maksudmu, apakah lohu ber saudara tak usah mempersoalkan kesalahannya itu ?"   "Ehmm,... atau lebih tegasnya, entah siapa saja orang itu, tidak seharusnya kalian memberi hukuman kepadanya !"   Setelah mendengar perkataan itu, seakan-akan menyadari akan sesuatu, mendadak kakek Jin bertanya.   "Apakah kau telah mengetahui siapa gerangan orang itu ?"   "Yaa, dan sekarang maaf kalau aku tak dapat memberitahukan kepada kalian !"   Merah padam selembar wajah kakek Tiong katanya.   "Lohu amat takluk kepadamu, baiklah syarat inipun akan lohu sekalian luluskan !"   "Kakek Tiong segera tertawa ter-bahak2.   "Haahh... haah... haaa... lohu sudah memahami perkataanmu itu, dan aku meluluskan !"   "Haah... haah.... kalau begitu, kuwakili orang itu mengucapkan banyak terima kasih dulu ke pada kakek Tiong !"   Selesai berkata, dia lantas memberi hormat kepada kakek Tiong, Diam-diam kakek Tiong menggelengkan kepalanya beruang kali, sedangkan Kakek Jin yang berada disampingnya segera berkata.   "Saudara, untuk menunggu tibanya saat, rasanya masih ada waktu yang teramat panjang, kalau cuma menunggu melulu bukankah tindakan ini terlalu bodoh ?"   Tiba-tiba orang itu mengusulkan kembali.   "Kakek Jin adalah seorang yang pandai sekali, aku usulkan bagaimana kalau kita undang kehadiran Ngo siu ?"   Kakek Tiong segera berkerut kening, selanya.   "Terus terang saja kukatakan, kedudukan mereka teramat istimewa, kami tak berani menganggunya !"   Orang itu melirik sekejap kearah kakek Tiong, kemudian katanya.   "Kakek Tiong, beranikah kau bertaruh lagi!"   Kakek Tiong segera tertegun.   "Hei tampaknya kau benar-benar keracunan bertaruh !"   Serunya.   "Haah... haah... haah... ucapan dari kakek Tiong benar-benar membuat diriku merasa jengah !"   Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba katanya.   "Taruhan ini boleh tak usah diselanggarakan tapi apa salahnya kalau kakek Tiong mencoba."   Kakek Tiong segera menggeleng, katanya.   "Saudara, kau tidak mengerti, untuk mengundang kehadiran mereka memerlukan adanya lencana kemala, padahal..."   Sambil menggeleng orang itu segera menukas.   "Aku percaya, asal kita mengutus orang untuk menyampaikan beberapa patah kata saja, sudah pasti dia akan datang kemari !"   Mendengar perkataan itu, Pat tek pat lo menjadi tertegun. Kakek Hoo segera menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya.   "Kau toh bukan dewa." !Apa salahnya kalau kita coba?"   Kata orang itu dengan keyakinan yang besar.   "andaikata dia bersedia datang, bukankah kita akan memperoleh teman lebih banyak ?"   "Apakah kau sangat yakin dengan ucapanmu itu ?"   Tanya kakek Kim sambil beranjak. Orang itu mengangguk.   "Bila kakek Kim tidak puas, silahkan mengundang seorang utusan datang kemari, lihat saja hanya mengandalkan dua tiga patah kata, dapat mengundang datang dirinya ditempat itu?"   Kakek Sim segera berpaling ke arah kakek Tiong, lalu katanya.   "Toako, apakah kau percaya dengan perkataannya itu ?"   Kakek Tiong menggeleng.   "Benar-benar sukar dipercaya, apalagi..."   Orang itu segera menukas sambil tertawa.   "Kakek Tiong, bila persoalan ini tidak sukar, tak akan dianggap sesuatu yang aneh !"   Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat-rapat, dia tetap tidak meluluskan untuk melakukan percobaan. Melihat itu, orang tersebut memutar biji matanya, lalu berkata.   "Bila kakek Tiong mempunyai kesulitan, anggap saja hal ini sebagai suatu bahan cerita saja."   Kakek Tiong memandang orang itu sekejap, agaknya dia telah mengambil keputusan, ujar nya kemudian.   "Tak ada gunanya kau berusaha untuk membakar hatiku, cuma lohu memang ingin sekali menyaksikan kehebatanmu itu !"   Kakek Sim dan kakek Peng segera memahami ucapan toakonya, mereka hanya tersenyum tidak menjawab. Terdengar kakek Tiong berkata lagi.   "Kau bilang, hanya mengandalkan tiga lima patah kata, mereka sudah dapat kau undang kemari ?"   "Yaaa, sekalipun tidak diundang dengan lencana giok-pay, aku jamin dia pasti datang !"   Kakek Tiong mengerling sekejap kearah orang itu, kemudian berkata.   "Seandainya bisa begitu, lohu pasti akan merasa puas dan benar-benar takluk ?!"   Berbicara sampai disitu, kakek Tiong lantas memberi tanda kepada kakek Sim. Kakek Sim pun segera berseru ke arah luar ruangan "Yu kim, di mana kau ?"   Seseorang mengiakan dan masuk ke dalam ruangan Teng-hong- sian. Yu kim berusia empat puluh tahunan, tampaknya cukup banyak pengalamannya. Sambil menuding ke arah orang itu, kakek Sim berkata kemudian.   "Dia adalah tamu agung kami pada malam ini, beri hormat dulu kepadanya!"   Yu Kim memberi hormat yang segera dibalas orang itu, maka kakek Kim berkata lebih lanjut.   "Yu Kim, kau harus dengarkan baik-baik beberapa patah kata yang hendak disampaikan tamu agung ini, kemudian sampaikan kepadai "Ngo-siu", apa yang dikatakan tamu agung ini, katakan pula kepada Ngo-siu tanpa ditambah atau dikurangi, mengerti !"   "Hamba mengerti."   Sambil tertawa kakek Sim lantas berkata.   "Kalau begitu, dengarkan baik-baik perkataan dari tamu agung ini!"   Sementara itu, orang tadi sudah memberi hormat kepada Yu Kim sambil berkata.   "Sobat Yu, kali ini terpaksa aku harus merepotkan dirimu."   "Silahkan tamu agung memberi perintah sudah menjadi kewajiban hamba untuk melaksanakannya."   Orang itu segera tertawa, ujarnya.   "Sahabat Yu,setelah berjumpa dengan nona nanti, harap beritahu kepada nona bahwa seorang tamu agung yang di jumpainya dalam ruang Teng-hong-sian dengan sebuah tirai bambu sebagai batasnya tadi sudah diracuni orang."   "Kini sobat Sik Puh mendapat perintah untuk melacaki pembunuhnya, kata tamu itu pembunuh sebetulnya sukar ditemukan, oleh sebab itu tolong sobat Yu bersedia memberitahu kepadanya, harap dia datang untuk menyelidiki peristiwa itu !"   "Hanya kafa-kata itu saja ?"   Tanya Yu Kim.   "Benar, beberapa patah kata itupun sudah lebih dari cukup !"   Yu Kim tidak berbicara lagi, kepada kakek Sim dia lantas berkata.   "Hamba memohon agar kakek Sim menyerahkan lencana Giok-pay !"   Sebelum kakek Sim memberi penjelasan orang itu telah berkata lebih duluan.   "Sobat Yu, untuk kali ini tak perlu diundang dengan lencana Giok- pay, percayalah dia pasti akan datang !"   Mendengar perkataan itu Yu Kim tertegun, sorot matanya segera dialihkan ke wajah kakek Sim. Dengan kening berkerut kakek Sim berkata.   "Pergilah, lakukan saja apa yang telah dikatakan oleh tamu agung kita itu !"   Yu Kim tak berani bertanya lagi, dengan hormat dia mengiakan Ialu mengundurkan diri. Menanti Yu kim mengundurkan diri, ke delapan orang kakek itu lalu saling berpandangan sekejap. Kepada orang itu, kakek Tiong berkata.   "Saudara, kau mempunyai keyakinan berapa bagian?"   Orang itu tertawa, dia segera bertanya.   "Kakek Tiong dan kau yakin berapa?"   Setelah mengelus jenggotnya, sahut kakek Tiong.   "Berbicara terus terang, dalam sepuluh bagian aku yakin sembilan bagian tidak!"   Sekali lagi orang itu tertawa.   "Kakek Tiong, jika kau sudah meyakini sembilan bagian, dan sudah sepantasnya kalau berani bertaruh denganku!"   "Tidak, aku tak mau bertaruh"   Kata kakek Tiong sambil menggeleng.   "kecuali aku yakin sepuluh bagian, kalau tidak tak nantinya lohu akan bertaruh lagi denganmu!"   "Oooh...! Mengapa demikian?"   Kakek Tiong mengerling sekejap ke arah orang itu, lalu sahutnya.   "Tahu diri tahu orang lain seratus kali bertarung seratus kali barulah menang, sekarang lohu masih belum mencapai ketaraf itu"   Tiba-tiba paras muka orang itu berubah menjadi amat serius, katanya.   "Kakek Tiong, dengan sepatah katamu itu sudah cukup buat diriku untuk mengubah diri."   Kakek Gi yang selama ini tak pernah berbicara, tiba-tiba menimbrung dari samping.   "Engkoh cilik, bagaimana kalau kita berbincang-bincang?"   "Bila kau orang tua bersedia membuka suara dengan senang hati aku sedia mendengarnya."   Dua orang ini sangat aneh, kakek Gi tidak menyebut orang ini sebagai "Saudara", dan orang itupun tidak menyebut kakek itu sebagai kakek Gi, sejak awal pembicaraan sikapnya terasa lebih jauh, mesra dan akrab. Sambil tertawa kakek Gi berkata lagi.   "Engkoh cilik, sampai kapankah topeng kulit manusia yang kau pakai itu baru bisa kau lepas"   "Terus terang saja orang tua, aku ini sedang menyamar, tapi tidak mengenakan topeng kulit apapun!"   Merah padam selembar wajah kakek Gi karena jengah, katanya kemudian.   "Aaai..aku memang sudah tua, baru babak pertama sudah kena dibikin keok oleh engkoh cilik ini"   Orang itu segera menggelengkan kepalanya dan berkata..   "Menang atau kalah adalah suatu hal biasa, sepantasnya kalau kau orang tua naik kembali keatas kuda untuk berduel lebih jauh"   "Haa... haa... haaa bagus sekali engkoh cilik, sambutlah seranganku yang kedua ini"   Setelah berhenti sebentar, lanjutnya.   "Engkoh cilik, sekarang apakah kau sedang menjadi tamu agungnya perkampungan Beng-keh san ceng?"   "Hei orang tua, harap berhenti dulu, kau sepantas-nyalah memberi kesempatan kepadaku untuk naik kuda lebih dulu!"   Mendengar ucapan tersebut, delapan orang kakek itu segera tertawa tergelak-gelak. Setelah tertawa, kakek Gi berkata.   "Bagaimana dengan kuda tunggangan engkoh cilik ?"   "Yaa, masih bisa dipakai bertempur!"   "Yaa, enghiong memang muncul dimasa muda!"   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Seru kakek Gi. Setelah berhenti sebentar, lanjutnya.   "Apakah nama marga engkoh cilik berada pada posisi "ketiga"?" (perlu diterangkan, dalam urutan nama marga maka pada urutan ketiga adalah nama dari marga SUN. jadi yang dimaksud kakek Gi diatas, adalah, apa kau dari marga Sun?") Orang itu segera tertawa terbahak-bahak.   "Haa... haa.... ha... kali ini aku betul-betul kena terjebak, selain kudaku hilang, akupun terbanting dari atas pelana kuda."   Kakek Gi segera menepuk paha, berseru.   "Aaaah, rupanya engkoh cilik! Mari, mari bersihkan dulu kotoran di wajahmu itu!"   Tapi orang itu segera menggeleng.   "Secara beruntun aku sudah kena di banting dari atas kuda sebanyak dua kali, kali ini aku harus membalas dariku.."   "Aku telah mempersiapkan diri, cuma takutnya engkoh cilik harus mundur dengan nihil!"   "Aah, belum tentu demikian."   Kata orang itu-sambil memancarkan sinar mata yang tajam. Tiba tiba sambil menuding kearah kakek yang bernama Gi, katanya kembali.   "Sebelum sancu pergi dari sini, tentu ia telah mengatakan sesuatu kepada kalian ber delapan bukan ?"   Kakek Gi memandangi orang itu sekejap, kemudian tertawa terbahak-bahak.   "Haaah... haaaahhh... haaaahh... benar kita sudah bertanding empat babak dengan hasil seri, bagaimana kalau kita menarik pasukan sekarang ?"   "Memang cocok dengan suara hatiku"   Jawab orang itu sambil tersenyum hangat.   "dan pada nantinya kita terperosok dalam keadaan yang lebih runyam lagi!"   Baru selesai dia berkata, kakek Gi telah berkata kepada kakek Tiong.   "Toako, apakah engkoh cilik ini yang dimaksud sancu sebagai orang yang perlu kita awasi ?"   Kakek Tiong mengangguk.   "Dalam tanya jawab tadipun aku sudah mengetahui akan hal ini !"   Belum habis dia berkata, tiba tiba terdengar suara Yu Kim telah berkumandang datang dari luar ruangan.   "Nona Siu tiba !"   Ucapan itu dengan cepat membuat ke delapan orang kakek itu menjadi kaget bercampur tertegun. Orang itulah yang tiba-tiba menyadarkan mereka.   "Kakek Tiong, jangan tertegun meluIu, cepat menyambut kedatangannya !"   Ia berkata demikian, tapi orang yang sudah beranjak menuju kemulut loteng sebelah depan. Kakek Tiong segera melangkah kedepan sambil berseru.   "Saudara, kau hendak kemana ?"   "Menurut pendapat kakek Tiong, aku hendak kemana ?"   Kakek Tiong segera menggelengkan kepala nya berulang kali, katanya.   "Lohu tak ingin menduga secara ngawur, lebih baik kau sendiri saja yang menjawab !"   Sambil menuding keluar ruangan, orang itu berkata.   "Kedatangan nona Siu ini toh bukan diundang oleh lencana Giok pay ....?"   "Lohu tahu tapi kenapa pula?"   "Tidak apa apa, masa kita tidak seharusnya menyambut kedatangannya?"   Sambil tertawa kembali kakek Tiong menggelengkan kepalanya berulang kali.   "Kau adalah tamu agung, kami tidak berani terlalu merepotkan dirimu."   "Aaaah! Kakek Tiong tindak seharusnya berkata demikian, bagaimanapun juga kedatangan nona Siu adalah lantaran diriku, mana boleh aku bersikap karang hormat."   Kakek Tiong bungkam seribu bahasa, dan sesungguhnya dia memang mempunyai kejutan sehingga tak dapat membiarkan orang ini pergi menyambut kedatangan nona itu.   Tiba-tiba muncul sebuah akal cerdik didalam benaknya, dia lantas memberi tanda kepada tujuh orang kakek lainnya sambil berkata.   "Adik Siau, wakililah aku untuk menyambut kedatangannya !"   Setelah terhenti sejenak, dia baru berkata kepada orang itu.   "Silahkan saudara, mari kita pergi berdua !"   Orang itu benar-benar sangat aneh, tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya seraya berkata.   "Sudahlah, lebih baik kakek Tiong saja yang menyambut kedatangannya."   Selesai berkata, sambil bergendong tangan dia lantas balik kembali ketempat semula dan duduk.   Kakek Tiong mengerutkan dahinya sambil menaruh curiga, sementara Kakek Siau telah - turun dari ruangan itu.   Tak lama kemudian, kakek Siau telah muncul seorang diri, sambil menuding kearah orang itu, serunya.   "Saudara, kau... Kau..."   Ternyata dia tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Dengan perasaan tidak habis mengerti, kakek Tiong lantas berbisik dengan suara lirih.   "Sebenarnya apa yang telah terjadi?"   "Nona Siu telah melalui jalanan yang lain, sekarang dia sudah duduk di belakang tirai bambu itu!"   Mendengar perkataan itu, dengan perasaan terkesiap kakek Tiong mendengus, bisiknya lagi.   "Adik Siau, maksudmu dia sudah tahu akan hal ini, maka dia tidak bersikeras pergi menyambut?"   "Yu Kim yang mewakili nona Siu menyampaikan perkataan, katanya... katanya..."   "Apa yang dia katakan?"   Tukas kakek Tiong amat gelisah. Kakek Siu melirik sekejap kearah orang itu, kemudian bisiknya.   "Nona Siu bilang, orang itu memiliki tenaga dalam yang benarbenar luar biasa hebatnya!"   "Aaaah, begitukah, lantas..."   Sementara kakek beradik itu bercakap-cakap dimulut loteng, orang itupun sudah melangsungkan pembicaraan rahasia dengan nona Siu dengan sebuah tirai bambu sebagai penyekatnya.   Kakek Tiong dan kakek Siau saling bertukar pandangan sekejap, kemudian merekapun balik ke tempat duduknya.   Waktu itu, kebetulan nona Siu sedang berkata.   "Kecerdasanmu benar benar luar biasa sekali darimana-kau bisa menduga kalau aku pasti akan datang kemari?"   Orang itu segera bangkit memberi hormat dan menjawab dengan lembut.   "Oleh karena nona mempunyai hati pousat, hati yang bajik."   "Kalau begitu, adalah karena atas kemauanku sendiri?"   Kata nona Siu sambil tertawa.   "Setelah nona mendapat laporan yang mengatakan aku sudah keracunan, sudah sewajar nya bila kau datang menengok."   "Oooh... aku rasa kau telah salah menduga, selama berada dalam istana Sin-kiong, aku hanya bertugas untuk menyelenggarakan pesta musik, soal tanggung jawab untuk melacaki orang yang melepaskan racun itu merupakan tugas dari delapan kakek !"   Orang itu tertawa, kembali katanya.   "Aku tidak ingin mendebat kata-kata nona, apalagi nonapun tak akan bisa melepaskan diri dengan begitu saja !"   "Oooh... cocokkah dengan kata kata tersebut ?"   "ltu tergantung pada nona sendiri !"   "Hmmm ! Kini aku ingin bertanya kepada saudara..."   "Aku rasa penggunaan kata kataku tadi sudah paling cocok sekali."   "Kau benar-benar amat tekebur !"   Bentak nona Siu. Orang itu segera tertawa.   "Aku sebagai tami agungnya Pat-lo, ternyata ada orang yang bermaksud untuk mencelakai diriku secara diam-diam, bahkan air tehku dicampuri racun, bila Pat-lo merasa sulit untuk menemukan siapa pembunuhnya, apakah nona bisa melepaskan diri dengan begitu saja ?"   Agaknya nona Siu merasa sulit untuk menjawab pertanyaan itu, maka dia terbungkam dalam seribu bahasa.   Kebetulan sekali, pada saat itulah dalam ruang loteng berkumandang suara kentongan yang menandakan kentongan keempat.   Orang itu segera menatap sekejap kearah kakek Tiong, lalu ujarnya sambil tertawa.   "Kakek Tiong, sudah kentongan kempat bukan ?!"   Paras muka kakek Tiong berubah, sahutnya.   "Benar, kau berhasil menangkan pertaruhan ini, lohu bersaudara pasti akan memegang janji"   Kembali orang itu tertawa.   "Mengapa kakek Tiong tidak mengundang sobat Sik datang kemari untuk ditanyai keadaan yang sebenarnya?"   Baru saja kakek Tiong akan memanggil Sik Puh, nona Siu telah berkata lagi.   "Kakek Tiong, pertaruhan apakah yang sedang kalian langsungkan?"   Dengan paras muka merah padam karena jengah, kakek Tiong segera menceritakan pengalamannya secara ringkas. Selesai mendengar kisah tersebut, tiba tiba nona Siu menghela napas panjang, katanya.   "Benar-benar kekalahan yang tragis, taruhan yang kalian pertaruhkan pun terlalu besar!"   Mendengar perkataan itu, delapan kakek tersebut agak tertegun, kakek Tiong segera berkata.   "Kenapa bisa dibilang kekalahan yang tragis? dia toh tamu agung yang sedang berkunjung didalam istana Sin kiong dari kami berdelapan, tapi kenyataannya ada orang yang berani bermain gila dihadapan kami semua, andaikata peristiwa ini tidak diselidiki sampai tuntas, harus ditaruh kemanakah wajah lohu berdelapan?"   Sekali lagi nona Siu menghela napas panjang.   "Aaai... menyelidiki peristiwa itu sampai tuntas memang merupakan kewajiban kalian, tapi kalian toh tak perlu bertaruh sambil memberi janji-janjinya."   "Tapi keadaan mendesak kami, bagaimana mungkin kami berdelapan bisa menampiknya?"   "Kalau begitu, aku ingin bertanya kepada kakek Tiong, apa yang hendak kau lakukan sekarang?"   Kakek Tiong mengerutkan dahinya rapat rapat, lalu menjawab.   "Sederhana sekali, apa yang telah kami ucapkan, harus dilaksanakan dengan sungguh hati, apalagi kami ada dipihak yang kalah, tentu saja kami harus..."   "Kakek Tiong, kau hanya berpikir satu tapi melupakan dua, betul kalian tak bisa menahan diri ketika itu, tapi tahukah kalian, justru dengan pertaruhan itu maka kekalahan yang kalian alami semakin tragis !"   Tukas nona Siu. Setelah berhenti sebentar dan menghela napas, dia melanjutkan.   "Sekarang urusan sudah menjadi begini, banyak berbicarapun tak ada gunanya."   Mencorong sinar tajam dari balik mata kakek Tiong, katanya kemudian.   "Nona toh mengetahui watak dari lohu bersaudara, sekalipun yang dipertaruhkan adalah batok kepala sendiri, bila kalah kami akan tetap membayar batok kepala kami ini, dan orang itu harus dicari terus sampai ketemu !"   "Kakek Tiong, sudah kau temukankah orang itu ?"   Nona Siu kembali bertanya. -ooo0dw0ooo   Jilid 10 SEPATAH DEMI SEPATAH sahut kakek Tiong.   "Sekarang memang masih belum, cuma lohu bersaudara yakin pasti dapat menemukannya!"   "Oh... bolehkah aku bertanya kepada kakek Tiong, dengan cara apakah kau hendak mencapai tujuanmu itu ?"   "Orang yang masuk ke dalam ruang Teng hong sian pada malam ini tidak banyak, kita kuliti mereka satu persatu..."   "Betul, cara ini memang bagus sekali"   Sela nona Siu, setelah berhenti sebentar, tiba tiba tanyanya lebih lanjut.   "Tahukah kakek Tiong, dengan cara ini berapa orang yang bakal mati terbunuh?"   Kakek Tiong berkerut kening, lalu sahutnya.   "Lohu tak bisa memperhitungkan sampai sejauh itu!"   "Sekalipun kakek Tiong tidak akan mempersoalkan berapa banyak yang bakal menjadi korban, tapi tolong tanya, dapatkah tujuan itu di capai ?"   "Seharusnya dapat!"   "Seharusnya?"   Jengek nona Siu sambil tertawa dingin.   "tidak! Kakek Tiong harus mengucapkan kata-kata yang tegas!"   Kakek Tiong berpikir sebentar, kemudian jawabnya.   "Kalau seorang demi seorang musti diperiksa, lohu percaya tak mungkin ia bisa melarikan diri dari cengkeraman! Sekali lagi nona itu tertawa dingin.   "Bagus, bagus, andaikata kakek Tiong memutuskan untuk mempergunakan cara ini, maka kau harus memperhitungkan juga mereka yang bekerja didapur!"   "Yaa, harus diperhitungkan juga!"   Sahut kakek Tiong sambil memperkeras hatinya. Dengan nada mendongkol bercampur setengah menghardik nona Siu berkata lagi.   "Bagus sekali, kalau begitu kalian berdelapan pun harus termasuk juga diantaranya !"   Sementara Kakek Tiong tertegun dan belum menjawab, nona Siu telah melanjutkan lebih jauh.   "Selain itu, aku dan adik Sian juga masuk hitungan !"   Paras muka kakek Tiong segera menunjukkan sikap tersipu-sipu yang belum pernah terlihat sebelumnya, dia tak menyangka kalau nona Siu bakal mengucapkan kata-kata semacam itu, sementara ia masih serba salah dibuatnya, sang tamu tersebut telah mengucapkan serangkaian perkataan yang amat menggetarkan perasaan.   Bukit Pemakan Manusia Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo       Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini