Mustika Gaib 8
Mustika Gaib Karya Buyung Hok Bagian 8
Mustika Gaib Karya dari Buyung Hok Terutama bagi para saudagar dan pedagang2 yang berlayar melewati perairan telaga Tong- teng, mereka harus tahu siapa itu Lima Macan Telaga yang memiliki kepandaian silat dan mempunyai sifat galak seperti macan kelaparan. Para saudagar dan pedagang yang lewat mereka selalu mencari Lima Macan Telaga untuk melunasi pembayaran pajaknya, yang jumlahnya cukup besar, kalau saja ada seorang berani membangkang, mereka akan mengalami kerugian besar, perahu yang ditumpanginya akan tenggelam, hal itu tentunya tidak diingini oleh situkang perahu, maka para tukang2 perahu tambangan selalu menanyakan lebih dulu kedudukan dari langganan mereka, kalau mereka itu adalah saudagar atau pedagang, maka mereka diberi tahu bagaimana mesti menyesuaikan keadaan disekitar telaga. Tapi kalau yang berperahu adalah orang biasa dan tidak membawa harta benda, tidaklah menjadi persoalan, Iebih2 yang lewat itu adalah orang yang dianggap memiliki kepandaian silat mereka djuga tidak berani berbuat apa2. Karena mereka selalu 157 mendjaga kewibawaan mereka agar mereka jangan sampai bentrok dengan orang2 rimba persilatan, mereka takut kalau sampai roboh ditangan lawan dimuka umum. Tapi hari ini mereka tidak menjangka karena mempermainkan seorang anak buta miskin, telah kehilangan pamor dengan binasanya seorang kawan mereka. Sementara para tamu diatas loteng sudah menjingkir menjauhkan diri, berdiri didepan meja kasir, memandang pada empat Macan Telaga yang sudah madju menghampiri meja Hong Pin, dan mengurung sipemuda buta ditiga sudut. Macan Telaga Tong-teng memutar senjata rantai berkaitan berdiri di tengah2, di depannya Hong Pin, sedang dua orang berdiri disebelah kanannja dan seorang lagi di sebelah kiri, tepat berada disamping kanan Siong In. Siong In yang duduk disamping kanan Hong Pin, begitu salah seorang Iaki2 baju kembang berdiri disamping kanannya, diam2 ia sudah menyiapkan senjata rahasia. Kim-cie-piauw digenggam ditangan kanan bilamana perlu ia akan segera membantu sipemuda buta dengan diam2. Suara desingan rantai berduri yang di putar oleh Iaki2 berbaju kembang, mendesing diatas kepala mereka. Dan tiga laki2 lainnya dengan wajah menyeramkan telah siap dengan senjata golok ditangan masing2, mereka berdiri mengurung dengan jurus2 pembukaan setiap ilmu silat masing2. Meskipun telah dikurung demikian rupa, Hong Pin sipemuda buta, tampak duduk tenang saja, didepannya mungkin karena matanya yang tak melihat apa yang sedang terjadi didepannya ia masih enak2 duduk diatas bangkunya, hanya kepalanya kadang kala menoleh kekiri atau kekanan kalau tidak ia mendongak keatas, mendengarkan suara desiran putaran rantai diatas kepalanya. Kalau keadaan Hong Pin yang buta itu amat tenang, beda dengan keadaan Siong In, meskipun sinona juga telah memiliki ilmu silat yang boleh dikata tidak rendah, tapi menghadapi kejadian hari ini ia sedikit bingung, ia bukannya bingung untuk menghadapi empat orang Macam telaga, tapi bingung bagaimana mesti melindungi pemuda buta ini. Karena itulah merupakan tanggung jawabnya. Bukankah, kalau saja ia tidak mengajak Hong Pin duduk makan bersama dirinya, kejadian ini hari tidak akan terjadi. Tapi apa boleh buat semua sudah berlangsung. Dan butiran2 keringat telah berterotolan dikening sinona sementara suara desingan rantai, terus berkumandang. Selagi Siong In didalam kebingungan, terdengar Hong Pin berkata dengan suara halus : Siocia, ingat, jangan turut campur, simpan saja senjata piauw itu. Semua ini urusan diriku. Harap jangan turun tangan membantu ! 158 Mendengar peringatan Hong Pin, hati si nona jadi heran, sibuta ini mengapa bisa tahu kalau ia sudah menyiapkan senjata piauw ditangan kanannya, bukankah ketika ia meloloskan beberapa Kim-cie-hui-piauw pada tapak tangannya dari kantong rahasia dilengan baju panjangnya gerakkannya sangat hati2, bahkan empat orang Macan Telaga tidak melihat gerakan sinona. Hingga mereka tidak menaruh curiga akan hal itu. Meskipun empat Macan Telaga melihat digeger sinona tersembul gagang pedang, tapi mereka telah jakin, kalau saja Siong In berani meraba gagang pedangnya pastilah golok ditangan laki2 baju kembang yang berdiri disamping kanan sinona akan meluncur keatas batok kepala Siong In, tapi mereka tidak menduga kalau Siong In telah menyiapkan beberapa piauw pada kepalan tangan kanannja. Karena Hong In telah membuka rahasia itu, maka dengan wajah merah tersungging senyum Siong In memandang laki2 berba ju kembang yang berdiri memegang golok disamping kanan dirinya, wajah orang itu penuh terotolan jerawat se-besar2 biji kacang hijau, sedang sepasang biji mata orang jerawatan itu mengawasi genggaman tangan sinona yang berada diatas meja. Mengetahui kalau orang telah tahu ia menggenggam senjata piauw, maka genggaman tadi dibukanya diatas meja, dan diatas tapak tangan sinona terdapat empat batang piauw emas. Tiga orang baju kembang lainnya tidak terkecuali Iaki2 yang memutar senjata rantai, mata mereka jadi ditujukan kearah tapak tangan Siong In diatas meja. Hingga gerakan serangan mereka tertunda. Dan saat itu mendadak Siong In mengangkat tangannya keatas kemudian membalikkan tapak tangan itu, maka empat piauw emas berjatuhan dialas meja. Kemudian dengan acuh tak acuh Siong In duduk bersandar pada kursi, kedua tangannya dilipat didepan dada. Empat orang Macan Telaga melihat sikap Siong ln demikian rupa, mereka mendongkol tidak terkira, itulah sikap menganggap enteng mereka. Dalam rongga otak mereka berkelebat satu pikiran yang sama, setelah memberesi pemuda buta ini, barulah mereka akan turun tangan terhadap Siong In. Mereka tidak tabu kalau dilengan baju sinona masih tersembunyi beberapa batang piauw mas yang setiap saat bisa bergerak langsung dari tempatnya. Selagi mata empat orang Macan Telaga memperhatikan gerak-gerik Siong In, Hong Pin mengangkat sebuah mangkok nasi, kemudian berkata: Hai, cepat bertindak, kalau mau bacok, ayoh bacoklah, kalau mau pukul dengan rantai berputar itu, silahkan saja. Jangan berdiri memasang kuda2, membuat orang jadi takut melihatnya. Empat Macan Telaga berbaju kembang, meskipun telah siap dengan senjata di tangan tapi begitu mereka berdiri didepan meja menghadapi Hong Pin, mendajak 159 saja otak mereka berkerja keias, hasil dari kerja otak itu, membuat nyali mereka jadi ciut. Bukankah pemuda dihadapannya ini bermata buta. Tapi bagaimana tanpa mereka lihat, sipemuda telah bisa melempar sumpit tepat mengenai mata seorang kawan mereka hingga mampus seketika. Melihat dari gerak dan cara melempar sumpit itu dapat dipastikan kalau pemuda buta jang dihadapi ini bukan sembarang manusia. Dan rupanya jalan pikiran mereka itu satu sama lain bersamaan lebih2 setelah mereka mendengar beberapa patah kata sibuta Hong In yang memperingati Siong In aga menyimpan kembali piauw emasnya, membuat hati mereka tambah ciut lagi. Orang itu bisa mengetahui kalau sinona telah menggenggam piauw tapi mereka selama itu tidak mengeiahui aja yang telah disiapkan oleh Siong In, dan setelah Siong In membuka tapak tangannya serta menjatuhkan empat batang piauw emas diatas meja, mereka baru sadar, sampai dimana kelihaian perasaan pemuda buta. Menyaksikan itu semua, Empat Macan Telaga jadi melengak, hingga mereka belum berani turun tangan. Ketika Hong Pin mengangkat mangkok nasi dari atas meja, dan mengeluarkan kata2 yang bersifat menantang, bagaimanapun ciutnya nyali Empat Macan Telaga, dihadapan orang banyak mana mau mereka menunjukkan rasa takutnya, maka segera juga terdengar suara siulan menggema diatas loteng keluar dari mulut moncong Ma cari Telaga bersenjata rantai. Keadaan diatas loteng Gak-yang-louw jadi lebih berisik lagi, suara desingan rantai yang terus berputar bercampur aduk dengan suara siulan dari Macan Telaga. Siong In juga turut menyaksikan dan mendengar suara siulan itu, ia memasang mata mengawasi keempat orang Macam Telaga, dugaan sinona pastilah mereka segera akan melakukan serangan. Ternyata dugaan Siong In tidak meleset, karena Macan Telaga bersenjata rantai, setelah mengeluarkan suara siulan, ia lompat mundur dua tindak kebelakang, sedang rantainya masih diputar diatas kepala. Berbarengan dengan mundurnya Macan Telag, bersenjata rantai, dari tiga sudut berkelebatlah sinar golok mengurung diri Hong Pin. Sementara itu Hong Pin yang mendapat serangan bacokan dari tiga sudut pada kepalanya, ia tak dapat melihat bagaimana sinar2 golok datang menyerang, tapi telinga dan indera perasanya yang sangat tajam luar biasa merasakan bagaimana samberan angin golok itu berkesiur menyerang dirinya. Tapi ia masih tetap duduk diam tak bergerak dari bangkunya, tangan kanannya masih memegang mangkuk nasi dengan tenang menantikan datangnya serangan golok. Sesudah kilatan serangan golok hampir membentur kepala dan badannya, entah dengan gerakan apa mendadak saja tongkat waja Tiok-ciat-pian yang berada diatas meja disebelah 160 kiri terangkat naik keatas, kemudian berputar menjambuti datangnya tiga serangan golok. Berbarengan dengan kelebatan sinar tongkat Tiok-ciat-pian, terdengar suara ketringan beberapa kali lalu disusul dengan tiga kali suara jeritan disusul juga dengan bermuncratannya darah dan berpentalan tiga potong tangan manusia, dua potong tangan masih mencekal golok lompat menerjang dinding kamar loteng, dan salah satu potongan tangan yang pemiliknya menyerang dari depan Hong Pin, potongan tangan itu terpental keluar loteng. Siong In duduk disebelah kanan Hong Pin, ia bisa melihat bagaimana potongan tangan yang masih mencekal golok itu jatuh terpental keluar kebawah loteng, dan kecemplung kedalam telaga. Wajah sinona tidak luput dari percikan darah yang keluar dari tiga potong lengan itu. Dan makanan-makanan diatas meja sudah dihamburi darah yang mengucur dari tiga lengan Macan Telaga. Tiga Macan Telaga yang sudah kehilangan sebelah tangan kanan lompat mundur, wajah-wajah mereka meringis menahan sakitt dan melakukan beberapa kali totokan menghentikan keluarnya darah. Sementara itu si Macan Telaga yang memutar senjata rantai berdurinya begitu melihat tiga kawannya sudah kehilangan masing2 lengan kanan dibentur senjata tongkat Tiok-ciat-pian, ia kembali mundur selangkah, hingga putaran ujung ramai berdurinya lewat diatas ubun2 kepala Hong Pin, saat itu baru ia melakukan serangan menyabet ubun2 Hong Pin. Tapi Hong Pin seperti sudah mengetahui apa yang mesti ia lakukan, karena saat itu tangan kanannya yang masih memegang mangkuk nasi, mendadak bergerak kedepan, dan mangkuk nasi tadi meluncur kedepan muka si Macan Telaga, sedang senjata tongkat Tiok-ciat-piannya ditangan kiri menyambuti datangnya serangan rantai berduri. Karena gerakan serangan rantai pada ubun2 Hong Pin disambuti oleh tongkat, maka rantai tadi secara otomatis jadi melibat tongkat Tiok-ciat-pian. Hong Pin berhasil melibat senjata lawan pada tongkat Tiok-ciat-piannya, ia memutar senjata tersebut, dan itu senjata rantai terus melilit pada batang tongkat Tiok-ciat-pian. Macan Telaga Tong-teng, begitu senjata rantainya terlibat pada tongkat lawan sepasang biji matanya melotot keluar, ia tidak menduga kalau lawan muda lagi buta ini sanggup memunahkan serangan senjata rantainya hanya sambil duduk didepan meja, dengan wajah merah penuh kemarahan Macan Telaga berteriak keras, menarik kembali senjatanya, tapi saat itu ketika mulutnya sedang bergerak, mendadak saja mangkok nasi yang dilempar Hong Pin meluncur datang kedepan 161 muka, Macan Telaga jadi bingung, ia niat mengelakkan datangnya serangan mangkok, tapi terlambat, karena mangkok berikut isinya telah membentur muka Macan Telaga, tepat dibagian mulutnya yang sedang terbuka berteriak hingga sebagian nasi telah masuk kedalam tenggorokan. Karena tenggorokannya kemasukan nasi secara paksa, Macan Telaga jadi kelabakan, saking bingungnya, ia segeia melepaskan senjata rantai yang menegang ditarik oleh tongkat Tiok-ciat-pian, kalau tidak, tentunya badan si Macan Telaga akan tertarik kedepan, kejadian itu bisa membahayakan dirinya, karena lawan tentunja dapat melakukan serangan yang berbahaya. Setelah melepaskan senjata rantainya, Macan Telaga ter-batuk2 mengeluarkan nasi yang menyumpal dalam tenggorokkan. Tiga macan telaga yang telah kehilangan sebelah tangan kanannya, begitu melihat sang kawan telah melepaskan senjata rantai, mereka kaget, karera harapan satu2nya ada ditangan Macan bersenjata rantai, tidak tahunya si Macan berantai setelah diberi semangkuk nasi sudah jadi keok. Melihat kejadian itu, mereka segera berlompatan berdiri disamping sang kawan mereka siap untuk adu jiwa dengan sibuta. Sementara itu, senjata rantai berduri yang terlepas dari genggaman majikannya telah melilit pada gagang senjata Tiok-ciat-pian sibuta. Waktu itu Hong Pin memutar balik senjata tongkatnya, ia tidak mem perdulikan keempat macan telaga telah berdiri berbaris didepan meja, dan tongkat Tiok-ciat-pian yang diputar balik membuat rantai yang telah melibat kembali berputar kembali terkembang, kemudian terlepas terbang keluar loteng Gak-yang-louw dan jatuh kedalam telaga. Siong In menyaksikan jalannya pertempuran itu ia jadi melompongkan mulut dan ketika rantai berduri melayang keluar loteng dan terapung2 lalu jatuh kedalam telaga, mata sinona memandang keluar dan bagaimana air telaga bergelombang ditimpa rantai yang jatuh dari atas. Kemudian ia menatap wajah Hong Pin. Hong Pin setelah melempar senjata rantai keluar loteng, meletakkan kembali senjata Tiok-ciat-pian diatas meja sebelah kiri, kemudian pandangannya ditujukan ke muka dimana empat macan telaga berdiri berbaris, dari lengan tiga macan telaga yang telah buntung masih menetelkan tetesan darah. Empat Macan Telaga mendapat tatapan pandangan mata buta sipemuda, hati mereka jadi mencelos, mereka sadar kalau pemuda buta didepannya ini memiliki kepandaian luar biasa dan sulit ditandingi, maka tanpa mengeluarkan sepatah katapun mereka berbareng membalik badan lari kabur meninggalkan mayat sang kawan yang masih menggeletak dibawah meja ditengah-tengah ruangan. 162 Para tamu yang masih berada diatas loteng menyaksikan peristiwa itu, mereka jalan turun keluar, karena pemandangan diatas loteng yang sudah penuh darah itu mana bisa digunakan untuk makan minum, lebih2 melihat dua potongan tangan berdarah yang masih menggenggam golok di lantai loteng dan sesosok mayat yang menggeletak dibawah meja membuat selera makan jadi lenyap. Suasana diatas loteng Gak-yang-louw yang semula ramai sudah jadi sunyi, meja2 dan kursi menjadi kosong, dan bangku yang terbalik tertindih mayat macan telaga yang terkena serangan sumpit pada matanya masih menggeletak disana. Dari antara meja2 kosong, rupanya masih terdapat satu meja yang dikelilingi duduk tiga orang laki tua, meja mana terletak disudut ujung loteng dekat loket kasir. Hong Pin, sejak empat macan telaga lari kabur, pandangannya terus ditujukan kedepan, telinganya yang tajam telah dapat mengetahui kalau loteng itu sudah jadi sepi, ketika ia mendengar suara cawan diletakkan diatas meja dari sudut ruangan dipojok depan. Pandangannya diarahkan jauh kesudut ruangan didekat loket kasir. Wajahnya tetap dingin. Tiga laki2 vang duduk disudut meja itu tentulah adalah orang2 rimba persilatan yang turut datang ke tempat itu untuk menyelidiki perihal Patung Angsa Mas Berkepala Naga. Sementara Itu Siong In yang terus duduk disamping kanan Hong Pin, telah bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana tongkat waja sipemuda buta dengan sekali gerak dapat memapas tiga potong lengan lawan, ia jadi menahan napas. Lebih lebih setelah memperhatikan wajah Hong Pin yang menerima serangan dan balas menyerang itu wadjahnya tidak menunjukkan perobahan, wajah itu tenang dan dingin, seakan ia tidak sedang menghadapi bahaya maut, bahkan ketika ia membunuh seorang laki2 baju kembang dari Macan Telaga dengan sumpit, ia juga seperti tidak mau perduli semua itu. Bagi Siong In, tindakan dan gerak laku Hong Pin, telah membuat hatinya heran, tapi bagi sipemuda sendiri, yang memiliki sepasang mata buta, tentunya ia tidak dapat melihat apa yang terjadi didepannya, karena memangnya semua gerak2 ilmu silatnya itu digerakan berdasarkan kekuatan daya pendengar dan perasaan inderanya yang tajam luar biasa, akibat dari pada gerak ilmu silat yang dimainkan olehnya ia sendiri tak dapat melihat, apakah lawan telah terluka atau mampus binasa. Hanja dari mendengar gerak2 suara ia bisa tahu kalau lawan telah lari, roboh ditangannya. Kalau dalam dada Siong In masih diliputi rasa keheranan dan kekagetan, maka Hong Pin yang memandang kearah sudut ruangan depan dimana tiga laki tua duduk 163 mengelilingi meja disamping depan loket kasir, kini pandangan butanya memandang keatas meja dimana hidangan telah menjadi kotor terkena percikan darah. Siong ln disamping meja yang masih diliputi rasa kaget dan heran, kini ia melihat bagaimana Hong Pin memandangi hidangan dialas meja, tampak lubarg hidung sipemuda buta kembang kempis, mencium2 asap hidangan. Dan kemudian terdengar Hong Pin berkata : Semua kena darah! Hmmmm, hanya suara itulah yang terdengar dari mulut Siong In. Kita pindah kebawah. kata lagi Hong Pin, yang disusul dengan gerakkannya berdiri, ia mengangkat tongkat Tiok-cie-piannya dengan tangan kiri lalu jalan meninggalkan meja. Melihat kalau Hong Pin sudah mendahului meninggalkan meja, Siong In cepat bangun. Ia tak banyak bicara, hatinya masih diliputi rasa bingung dengan tindakan Hong Pin yang sangat luar biasa. Sinona jalan dibelakang Hong Pin. Setelah melewati beberapa buah meja kosong, mereka tiba ditengah ruangan dimana salah seorang Macan Telaga binasa tertancap sebatang sumpit pada matanya, Siong In sempat melihat pemandangan itu, hatinya jadi bergidik. Dan ketika mereka tiba didepan pintu tangga, mendadak Hong Pin menghentikan langkah menoleh kebelakang, melihat itu Siong In juga turut menoleh memandang kebelakang, Siong In melihat disudut loteng dipinggir loket kasir masih duduk tiga laki2 tua, ketiga laki2 tua itu duduk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Setelah menoleh kebelakang memandang tiga orang laki2 tua iiu, baru Hong Pin melangkah maju dan menuruni tangga loteng. Sementara itu Siong In setelah menoleh memandang ketiga laki2 tua yang duduk disudut loteng, dipinggir loket kasir ia mendadak ingat belum memperhitungkan rekening hidangan yang telah disediakan, maka ia membalik badan jalan kedepan loket kasir. Pelayan dan kuasa loteng Gak-yang-louw, sejak terjadinya peristiwa tadi, mereka tidak berani keluar kamar kasir, mereka melihat kejadian itu dari balik jeruji2 besi loket, dengan penuh rasa kekuatiran, dan ketika menyaksikan Hong Pin dan Siong In meninggalkan meja, mereka melepotkan kepala tidak berani memandang Hong Pin, baru setelah Siong ln didepan loket kasir berteriak memanggil beberapa kali pelayan tua berwajah kempot menunjukkan wajahnya dibalik terali besi loket kasir. 164 Siong In minta perhitungan rekening pembayaran makanan, tapi dengan suara gemetaran dan sikap menghormat dari balik loket pelayan itu menolak, bahkan menyilahkan kedua tamunya untuk melanjutkan santapannya dibawah loteng. SUASANA di bawah loteng Gak-yang-louw yang tadinya ramai, mendadak menjadi sepi, begitu Siong In dan Hong Pin mengambil sebuah meja dan duduk menghadap telaga. Satu persatu para tamu membuat perhitungan makanan lalu ngeloyor keluar. Kalau keadaan di atas loteng ketika setelah terjadinya peristiwa itu, masih ada 3 orang laki-laki tua yang masih berani duduk, tapi di bawah loteng ini yang tamu- tamunya terdiri dari kaum pedagang dan saudagar yang singgah istirahat mereka tidak berani lama-lama berdiam di situ. Mereka telah mengetahui peristiwa yang terjadi di atas loteng dan mereka juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri, Empat Macan telaga lari kabur, hati kecil mereka singat bersyukur sudah ada orang yang berani turun tangan menghajar Macan-macan Telaga yang selalu memeras menarik pajak gelap dari hasil dagangan mereka, tapi mereka juga takut menghadapi Hong Pin, kuatir kalau pendekar buta yang tidak bisa melihat itu mendadak mengamuk membabi buta. Karena semua meja sudah kosong, Siong In mengajak Hong In pindah duduk di meja paling depan, dekat pintu masuk agar ia bisa melihat sekitar pemandangan telaga Tong-teng. Hidanganpun dipesan kembali. Sebagai seorang gadis, Siong In tidak mau banyak bicara, ia kuatir kalau pembicaraannya nanti bisa menyinggung perasaan Hong Pin, meskipun dalam hati kecil si nona ia ingin sekali menanyakan dengan cara bagaimana ia bisa menghadapi musuh, sedang kedua matanya dalam keadaan buta. Hong Pin yang menyantap hidangan di depannya, mendadak saja berkata, Siocia, apa kedatanganmu ke tempat ini ada hubungan dengan Patung angsa mas berkepala naga? Ah .... Siong In kaget, Kedatanganku ke tempat ini secara kebetulan saja, aku semula mengembara mencari jejak ayahku yang lenyap belasan tahun. Tidak tahunya di dalam pengembaraan ini aku bisa, tiba di telaga Tong-teng yang disohorkan orang, dan baru mendengar tentang patung angsa emas berkepala naga 165 yang tersimpan dalam kelenteng Tiok sian koan dari tukang perahu. Memang ada niatanku untuk melihat-lihat kelenteng Tiok sian koan. Mendengar keterangan si nona, Hong Pin menunjukkan rupa heran, ia menoleh memandang wajah si nona dengan kedua mata butanya. Kemudian berkata, KaIau begitu kau tak perlu pergi susah-susah ke tempat berbahaya itu. Karena patung angsa emas berkepala naga sudah lama tak ada di tempatnya. Dari mana kau tahu? Tanya Siong In menggeser bangku. Hong Pin tidak segera menjawab pertanyaan si nona, tangannya menyumpit bakso dalam mangkuk, kemudian sambil mengunyah bakso di mulut, ia berkata, Sebelum berita ini tersiar, siang-siang aku sudah menyelidiki tempat itu. Dan ketika diadakan sembahyangan orang mati dalam kelenteng, aku juga turut hadir di sana, juga mendengar bagaimana si tosu pemabukan Ciu tojin mengacau, kemudian membuka rahasia tentang patung angsa emas berkepala naga, kemudian ia lari kabur, Mendengar sampai di situ, Siong In melompongkan mulut, cerita yang dituturkan oleh Hong Pin ia pernah dengar dari tukang perahu. Kalau Hong Pin sebelumnya telah menyelidiki kelenteng Tiok-siankoan, berarti telah lama mengetahui kalau dalam kelenteng itu tersimpan itu patung angsa emas berkepala naga. Juga sikap Hong Pin dimata si nona sangat luar biasa, bukankah pemuda buta ini baru saja melakukan pembunuhan dan melukai tiga orang laki-laki sampai putus lengan kanan mereka, tetapi dalam menuturkan ceriteranya sambil menjejal bakso ia seperti sudah melupakan apa yang baru terjadi di atas loteng Gakyang-louw. Karena Siong In merasa tertarik dengan rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, ia hanya duduk mendengarkan, sesekali pandangan mata si nona memandang keluar ruangan menikmati keindahan birunya air telaga yang bergelombang. Waktu itu malam hari, terdengar Hong Pin melanjutkan ceritanya, Aku yang memiliki sepasang mata buta, sama sekali tak dapat melihat apapun, meskipun di dalam kelenteng dipasang lilin-lilin besar bahkan siang dan malam aku membedakan dari bergantinya hawa udara dan setiap gerak-gerak serta kelakuan orang di sekitarku, aku bisa tahu dari pendengaran dan perasaan mata bathinku. Berkata sampai di situ, kembali Hong Pin menyumpit bakso, dijejalkan ke dalam mulutnya baru kemudian sambil mengunyah ia berkata lagi, Ketika Ciu tojin mabok, dan setelah membuka rahasia Angsa Emas berkepala naga di depan orang banyak, yang akan melakukan sembahyang orang mati, ia melarikan diri. Tapi mendadak saja ketua kelenteng Ceng Hong tojin berteriak memanggilnya dengan sebutan susiok, lalu ia juga lari keluar mengejar. Para tamu yang akan melakukan sembayang orang mati jadi tambah panik dan terheran-heran dan dari kejadian ini 166 penduduk sekitar Kun-san baru mengetahui kalau Ciu tojin si tosu pemabukan itu adalah susiok dari ketua kelenteng Tiok sian-koan....... Hong Pin menghentikan ceritanya, ia mengangkat cawan menenggak minumannya. Siong In mulai tertarik dengan cerita itu, ia sudah bertanya, Bagaimana dengan Ciu tojin, apakah....? Ucapan si nona mendadak dipotong oleb Hong Pin, katanya sambil meletakkan cawan di atas meja. Begitu Ceng Hong tojin lari keluar mengejar si tosu pemabukan, orang-orang dalam kelenteng serabutan keluar pintu ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ceng Hong tojin, dan begitu mereka berada di luar kelenteng, mereka melompongkan mulut membelalakkan mata lebar-lebar, karena dari bantuan sinar- sinar bintang di langit, tampak kedua bayangan tosu saling kejar, mereka lari cepat sekali, dari kecepatan lari mereka barulah diketahui kalau ketua kelenteng Ceng Hong tojin juga memiliki ilmu silat yang tidak rendah, sebentar saja kedua bayangan mereka lenyap di belokan jalan gunung. Aku memang sengaja datang untuk menyelidiki dan mencari rahasia Angsa Emas Berkepala Naga, begitu mendengar suara Ceng Hong tojin lari cepat-cepat mengambil jalan memutar menguntit mereka dari balik semak-semak belukar dengan mengikuti suara langkah kaki dan kibaran baju mereka yang ditiup angin malam. Tapi setelah aku mengikuti sampai di belakang gunung, mendadak suara langkah lari mereka tak terdengar. Aku jadi heran dan berdiri memasang kuping untuk mendengar suara-suara yang mencurigakan, dan benar saja lak lama kemudian aku mendengar lagi suara langkah kaki orang yang jalan balik, orang itu mengeluarkan suara keluhan dan penyesalan dari suara keluhan dan penyesalan orang itu aku tahu kalau itulah suara Ceng Hong tojin yang telah kehilangan jejak sang susiok si tosu pemabukan. Dan ia dengan napas tersengal kembali ke dalam kelenteng. Waktu itu suasana di belakang gunung sangat sunyi, suara jangkrikpun tak terdengar, begitu langkah kaki Ceng Hong tojin yang kehilangan jejak sang susiok, aku juga niat balik kembali ke kelenteng, tapi entah bagaimana, setelah jalan beberapa langkah, aku jadi kehilangan arah, aku tak dapat mengenali lagi kemana jalan pulang, dimana tongkatku kutotok-totokan ke depan selalu membentur batang-batang pohon, aku jadi bingung, bagaimana mendadak di kelilingku banyak sekali batang pohon yang tersusun sangat rapat, kejadian itu membuat kepalaku jadi pusing. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Maka otakku berpikir Apakah aku telah kesalahan masuk ke dalam barisan tin yang sengaja di pasang orang? Begitu berpikir tentang barisan tin, mendadak hatiku jadi girang. Karena aku tahu kini, lenyapnya Ciu tojin tentunya telah masuk perangkap barisan 167 tin. Dan Ceng Hong tojin yang mengejar begitu ia kehilangan jejak susioknya, ia sudah balik kembali ke dalam kelenteng! Mendengar sampai di situ tiba-tiba Siong In berseru, Aaaaa .... Menurut cerita tukang perahu sejak hari itu Ciu tojin tak muncul-muncul lagi, biasanya setiap hari ia selalu minum arak di atas loteng Gak-yanglouw, apakah kau berhasil menemukan tosu pemabukan itu. Suara kata-kata si nona berkumandang ke seluruh ruangan bawah loteng, tapi karena waktu itu di sana hanya mereka berdua yang masih duduk bersantap dan bicara-bicara, hingga mereka leluasa bicara ke barat ke timur, meskipun Siong In bisa melihat di luar di tepinya telaga Gak-yang-louw beberapa orang lakilaki jalan mondar mandir sambil memperhatikan mereka, tapi si nona tidak mau ambil perduli. Sementara itu Hong Pin yang ceritanya dipotong oleh seruan si nona, ia menggunakan kesempatan itu menenggak arak, kemudian baru melanjutkan ceritanya, Hutan di belakang gunung rupanya telah dipasang barisan tin. Begitu Ciu tojin yang sedang mabuk, lari ke belakang gunung, ia sudah tersesat dan berputarputar di dalam kurungan barisan tin tadi. Saat itu aku yang juga sudah kesalahan masuk, sedang mencari jalan keluar, dan ketika tongkatku menotok ke depan mendadak saja, sudah dibetot orang. Berbarengan mana aku mendengar suara bentakan orang memaki, Apa buta! dan berbarengan dengan suara bentakan itu, tongkatku ditarik orang...... Siong In terus melompongkan mulut mendengar cerita Hong Pin, dan ketika ia mendengar tentang makian orang itu, ia jadi tersenyum. Memang aneh, kata Hong Pin melanjutkan, Aku buta, tapi waktu itu orang yang memaki aku buta tentunya menyangka aku bukanlah orang buta. Dan ketika tongkatku ditariknya, dengan cepat, kaki kiriku, terayun menyerang orang tadi, tapi mendadak aku mengenali suara nada makian tadi. Itulah suaranya Ciu tojin, maka cepat aku melepaskan tongkatku dan menarik tendanganku lompat mundur. Rupanya Ciu tojin yang sedang mabok, begitu mendapat serangan tendangan, ia jadi marah, tongkat yang telah kulepaskan kemudian diayun menghajar batok kepalaku. Beruntung ketika aku melepaskan tongkat aku lompat mundur, hingga sambaran tongkat lewat di depan diriku dan mengenai tanah. Cepat-cepat aku berteriak, Losianseng, aku memang seorang buta, kau jangan salah mengerti Cerita sampai di situ, Hong Pin menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepala, lalu katanya lagi, 168 Ciu tojin yang mendengar pengakuanku terdengar ia mengeluh kaget. Serunya, Apa kau buta? Aaaaa, yaaaa, kau buta, tapi tidak buta, akulah yang buta tidak bisa melihat orang buta..... Selanjutnya sambil berulang-ulang menenggak arak dan makan bakso, Hong Pin terus bercerita tentang pengalamannya bertemu dengan Ciu tojin yang samasama telah masuk ke dalam barisan tin. Ternyata setelah Ciu tojin mengetahui kalau Hong Pin adalah seorang pemuda buta, ia segera mengembalikan tongkat baja kepadanya. Dan saat itu ditengah kegelapan malam dari belakang balik-balik pohon mendadak saja terdengar suara orang berkata, Tidak disangka, malam ini kita berhasil membekuk dua orang sekaligus. Hei!. Ciu tojin, apa kau sudah merasakan bagaimana enaknya arak memabokkan melenyapkan kesadaran dari golongan Pek-houw-san, huaaa, haaa .... ketika kau enak-enak minum arak, minumanmu telah dicampur obat pemabuk melupakan diri keluaran Pek-houw-san. Mendengar suara itu, Ciu tojin jadi kaget, kini ia sadar kalau ia telah masuk perangkap orang dan telah diberi minum arak mabok pelupa diri. Hingga ia jadi mabok seperti orang gila dan membuka rahasia Angsa emas berkepala naga. Tapi waktu itu keadaan Ciu tojin seperti orang yang kebingungan. Beruntung di sana ada Hong Pin yang bisa mendengar pembicaran orang itu, ia cepat-cepat memperingatkan Ciu tojin, agar si tosu pemabukkan memuntahkan minuman yang sudah mengeram dalam perutnya. Mendengar peringatan si bocah, mendadak Ciu tojin berkata, Benar bocah, matamu buta, tapi hatimu tidak buta. Berbarengan dengan akhir ucapannya, mendadak Ciu tojin tertawa berkakakan. Suara tertawanya si tosu pemabukan menggema angkasa di dalam hutan gelap gulita, suara tawa itu lama sekali dikumandangkan. Sementara itu Hong Pin turut mengetahui, kalau di sekitar hutan barisan tin ini terdapat orang-orang yang mengurung mereka, dengan memusatkan perhatiannya ia memasang kuping lebar-lebar untuk meneliti keadaan, dan setelah beberapa kali berpaling ke kiri kanan mendengar suara yang mencurigakan, mendadak saja, ia berkata pada Ciu tojin, Losianseng, di sekitar tempat ini tidak kurang dari delapan orang. Ketika mendengar kata Hong Pin, Ciu tojin masih tertawa berkakakan, mendadak saja ia menghentikan suara tertawanya, lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke depan balik-balik pohon. 169 Berbarengan dengan semburan arak dari mulut Ciu tojin, terdengar suara batang dan daun-daun pohon yang mencereces terkena semburan arak laksana butiran air hujan menyembur datang. Dari balik pohon terdengar suara keluhan tertahan kemudian menyusul terdengar dari bagian belakang suara orang memerintah, Tinggalkan mereka, dua orang itu pasti akan segera mampus kelaparan. Mendengar cerita Hong Pin sampai di situ Siong In yang masih duduk di bangkunya di bawah loteng Gak-yang louw, ia mengajukan pertanyaan, Selanjutnya bagaimana? Mendengar pertanyaan si nona, Hong Pin tidak segera menjawab, ia mengangkat cawan arak, setelah menenggak, baru berkata, Aku dan Ciu tojin terkurung dalam barisan tin tersebut. Waktu itu berkelebat pikiran dalam otakku, menunggu hari sampai terang tentunya kita dapat keluar dari kurungan, tapi mendadak saja Ciu tojin menolak pikiranku, ia berpendapat, barisan tin ini sangat luar biasa, siang dan malam keadaannya sama, gelap pekat, dan di sekitarnya banyak dipasang senjata-senjata rahasia. Ciu tojin menyarankan agar aku yang memiliki sepasang mata buta, telah bisa masuk ke tempat ini tentunya dengan mata buta itu aku juga bisa keluar menggunakan ketajaman perasaan dan ingatanku. Maka aku disuruhnya mengingat langkah kaki yang tadi aku lakukan bagaimana aku sampai masuk ke dalam barisan tin ini, mendengar keterangan itu tentu saja aku jadi bingung, karena ketika aku kehilangan arah aku telah menjadi panik dan menotok-notok tongkat mencari jalan yang akhirnya membentur badan Ciu tojin. Tapi Ciu tojin telah memberitahukanku untuk mengulangi kembali apa yang aku lakukan. Maka aku tidak bisa membangkang, lalu aku mulai melakukan gerakan terakhir, dimana aku membentur badan Ciu tojin, kemudian mengikuti gerakan berikutnya secara mundur, dan benar saja akhirnya aku merasa berdiri di satu tempat, dimana aku pernah kehilangm bayangannya dan suara langkah kaki Ciu tojin dan Ceng Hong tojin. Berkata sampai di situ lagi lagi Hong Pin, menuang arak ke dalam cawan, setelah menenggak isinya, ia menoleh ke arah Siong In, lalu melanjutkan ceritanya, Begitu aku sampai di tempat dimana ketika aku baru masuk ke dalam barisan, mendadak Ciu tojin berkata girang, serunya, Kau berhasil! Kau berhasil! Kita sudah berada di pinggir pintu barisan tin gila ini! Mendengar itu aku jadi heran, karena mataku buta tentunya aku tak bisa melihat apa yang dilakukan oleh Ciu tojin, rupanya dengan diam-diam, Ciu tojin juga telah mengikuti langkah kakiku, dimana kakiku melangkah ia melangkah ke situ, hingga aku berdiri tegak, dan ia sudah ada di depanku. Selanjutnya, aku mengingat kembali bagaimana aku bisa sampai masuk 170 dalam barisan ini. Dan aku ambil jalan mundur, tak lama sudah terdengar suara teriakan Ciu tojin yang mengatakan kalau kita sudah berada diluar barisan tin! Mendengar sampai di situ, Siong In mendadak berkata, Kau ceritakan selanjutnya dengan singkat, eh, wajahmu sudah berobah merah pengaruh arak. Mendengar ucapan si nona, Hong Pin ganda tersenyum lalu katanya, Bagi seorang buta, satu-satunya hiburan adalah minum sampai mabok, aku hanya bisa mendengar lembutnya suara nona, tapi aku tak bisa melihat wajahmu ...... Mendengar ucapan itu Siong In monyongkan mulutnya, beruntung mata Hong Pin tak dapat melihat, dan keadaan di bawah loteng itu juga sepi, maka kelakuannya si nona tak ada orang yang melihat, setelah monyongkan mulutnya, si nona memandang jauh keluar, ia menatapi permukaan air lelaga yang biru muda. Selanjutnya, kata Hong Pin, Aku dan Ciu tojin berhasil keluar dari dalam kurungan barisan tin, kemudian Ciu tojin menanyakan she dan namaku, kuperkenalkan padanya juga maksud kedatanganku. Aku mencari rahasia Angsa emas berkepala Naga. Itulah dikarenakan harapanku di balik rahasia Angsa Emas Berkepala Naga itu tersimpan beberapa macam benda Mustika. Aaaa....... Siong In terjengkit kaget. Lalu bagaimana? Pertama begitu mendengar maksudku datang ke kelenteng itu, Ciu tojin kaget, tapi mendadak ia menghela napas, katanya, Angsa Emas Berkepala Naga adalah sebuah kunci rahasia untuk membuka pintu dari istana batu misterius. Dan pada Angsa emas berkepala naga itu juga terukir lukisan peta dimana terdapat itu istana batu. Kalau orang tidak mendapatkan kunci yang merupakan Angsa Emas Berkepala Naga jangan harap bisa membuka pintu istana batu, meskipun orang telah tahu dimana letak istana misterius ttu........ Berkata sampai di situ Hong Pin, menenggak arak lagi, lalu baru melanjutkan, Waktu itu aku mengajak Ciu tojin segera memasuki kelenteng. Tapi ia tak setuju, katanya dengan serius, bahwa ketua kelenteng saat ini pastinya kalau tidak terluka ia sudah binasa, padri-padri jahat dari Pek-houw san kalau tidak ada aku, mereka bisa berbuat sesuka hati dan dengan mudah bisa merebut kelenteng. Maka Ciu tojin mengajak aku menyelidiki secara diam-diam. Benar saja, setelah kami berada tidak jauh dari depan kelenteng di sana terjadi kepanikan orang-orang yang berada dalam kelenteng hendak melakukan sembahyang orang mati, mereka juga sudah jadi ikutan mati, kepala mereka hancur entah terkena pukulan apa. Aku sendiri tidak bisa melihat kejadian itu, dan hanya bisa mendengarkan dari suara- suara beberapa anak murid tosu jahat yang menyeret mayat-mayat dari sana. Apa kau bisa masuk ke dalam? tanya Siong In memotong. 171 Ciu tojin memang lihai, kata Hong Pin Meskipun ia seorang tosu pemabuk, tapi beberapa belas tahun berdiam di dalam kelenteng ia telah membuat beberapa jalan rahasia, dan dari lubang lorong rahasia di bawah tanah tengah malam itu aku bisa masuk ke dalam. Sedang waktu itu di dalam kelenteng para tosu jahat mereka mengobrak-abrik isi kelenteng mencari itu angsa emas. Tapi sayang, seribu kali sayang, ketika Ciu tojin mendapatkan tempat disimpannya Angsa Emas berkepala Naga tempat itu sudah kosong. Hanya tinggal kotaknya saja yang telah rusak digerogoti tikus. Aaaaaaah..... keluh Siong In, Jadi Angsa Emas itu dimakan tikus. Hmmmm......Menurut Ciu tojin tak mungkin tikus-tikus makan emas. Kalau begitu, sudah ditemukan oleh padri-padri jahat. tanya Siong In. Hong Pin menggeleng kepala, katanya, Itu juga tidak, kalau mereka telah menemukan itu angsa emas, tentunya si kepala tosu jahat tidak begitu sibuk sampai membongkar terus isi dalam kelenteng! Di mana aku bisa bertemu dengan Ciu tojin? tanya Siong In memandang Hong Pin. Hong Pin menggeleng kepala lagi, katanya, Entahlah, setelah mengalami keracunan arak hingga ia mabok tak sadarkan diri membuka rahasia Patung Angsa Emas Berkepala Naga, ia niat mengasingkan diri. Tidak mau turut campur urusan dunia kang-ouw. Apa dia tidak mau balas dendam, atas diri Tikenatan Ceng Hong cinjin? tanya Siong In. Itulah, ia mengasingkan diri memperdalam ilmu silatnya, ketua pimpinan dari penjahat itu seorang ahli Hoat sut. Mana bisa Ciu tojin melawan seorang diri. Sedang ketika ia menghadapi tosu itu, bersama Ceng Hong cinjin, hanya bisa membuat si tosu mundur teratur tak dapat melukai dirinya. Itu dikarenakan Ceng Hong cinjin juga sedikit memiliki ilmu Hoat sut, setelah ia binasa siapa lagi yang bisa menghadapi tosu keparat dari Pek-houw-san itu? Mendengar sampai di sini, Siong In memotong, Jadi selama ini Ceng Hong cinjin pandai menyembunyikan ilmu silatnya, hingga orang-orang di sekitar Kun-san menyangka ia adalah seorang yang lemah tiada berkepandaian, juga itu padri dari Pekhouw-san entah sudah berapa lama mereka mengincar kelenteng di atas Kun- san, bukankah jarak dari Pek houw-san ke Kun-san memakan ribuan lie jauhnya? Berkata sampai di situ mendadak saja sepasang mata Siong In memandang terus keluar, ia memperhatikan seorang laki-laki tua yang jalan dengan lemah dari 172 tepian telaga ke arah loteng Gakyang-louw, lama sinar mata si nona memandang orang itu. Kemudian ia menggeser bangkunya ke belakang dan bangkit berdiri. Hong Pin yang mendengar geseran bangku, ia cepat bangun, tangan kirinya sudah diletakkan di atas gagang tongkat Tiok ciat-piannya yang selalu siap di atas meja, kemudian membalik badan keluar memandang tepian telaga, katanya, Ada apa? Mendapat pertanyaan itu, Siong In kaget, dan ketika ia melihat Hong Pin sudah siap dengan tongkat besinya, segera ia berkata, Tidak ada apa-apa, orang itu..... .seperti ayahku........ Saat itu pandangan wajah Hong Pin pun menatap ke arah telaga tapi karena sepasang matanya buta, ia tak dapat melihat, hanya telinganya saja yang mendengarkan langkah kaki yang mendatangi. Siong In memperhatikan dedak perawakan orang yang mendatangi, benar- benar adalah ayahnya yang pernah ia temukan beberapa tahun yang lewat, mendadak saja berteriak dan lari menghampiri serunya, Ayah........! Ternyata orang yang datang adalah ayah Siong In yang misterius, itulah laki- laki tua berambut hitam berwajah kelimis Lo Siauw Houw. Lo Siauw Houw jalan mendatangi loteng Gakyang-louw, ia berlarian menyambut sang putri, kemudian di atas jalan berpasir di tepian telaga ayah dan anak saling peluk. Siong In, apa kau sudah pulang ke rumah memberi tahu ibu? Di dalam pelukan sang ayah Siong In berkata serak, Ayah, ibu menunggu kedatanganmu. Ketika kedua kalinya aku tinggalkan ia sering sering menderita sakit, kalau kian lama ayah tak datang pastilah..... Anak......anak....... terharu Lo Siauw Houw mendengar ucapan putrinya, Tak lama lagi ayahmu akan pulang menengok ibu, nah mari ikut aku, kau jangan keluyuran tidak keruan bercampur gaul dengan orang-orang kasar. Setelah berkata demikian, Lo Siauw Houw melepaskan pelukannya, ia memandang sejenak ke dalam bawah loteng Gak-yang-louw, lalu menarik lengan Siong In diajaknya berlalu. Siong In juga menoleh ke bawah loteng Gak-yang-louw, memandang Hong Pin yang terus berdiri di depan meja menghadap mereka, terdengar si nona berkata, Tunggu, aku akan pamitan dengan dia, dan eh, rekening makanan belum dilunasi. 173 Tinggalkan pemuda buta itu, soal rekening makanan sudah kusuruh orang memberesi. Dari dalam ruangan bawah loteng, Hong Pin bisa mendengar percakapan Siong In dan Lo Siauw Houw di luar, tapi ia tidak dapat melihat bagaimana rupa ayah si nona, dan ia juga mendengar kemudian datang seorang lain, dari percakapan orang yang baru datang, Hong Pin mengetahui, kalau itulah si tukang perahu yang disewa Siong In, tapi saat itu ayah si nona telah menolak menaiki perahu, dan Siong In pun menyuruh tukang perahu pergi saja, dan sisa uang sewa yang telah dibayarnya tak perlu dikembalikan. Siong In dan ayahnya berlalu dari tepian telaga Tong-teng, sebentar saja bayangan mereka lenyap dari pandangan mata. HARI ITU, Hong Pin meninggalkan loteng Gak-yang-louw, dengan menggunakan tongkat Tiok ciat-piannya, ia jalan menyusuri tepi telaga. Dengan menotol-notolkan tongkat Tiok-ciat-pian di depan, si pemuda buta berjalan ke selatan, ia mengikuti tepian telaga, akhirnya, perjalanan kian lama kian jauh juga, telaga Tong-teng telah ditinggalkannya. Meskipun tampak gerak langkah Hong Pin jalan dengan bantuan tongkat seperti lambat tapi kenyataan cepat, karena kadang kala meskipun sepasang matanya buta, ia dapat melompati batu-batu di tepi sungai. Hari itu matahari sudah doyong ke barat, siliran angin sudah berganti arah, telaga Tong-teng sudah jauh di belakang, kini hanya aliran anak sungai yang mengaliri air telaga. Perjalanan kian lama kian sulit juga, karena ia sudah mesti jalan dengan melompati batu-batu besar, dan jalan tepian sungai mulai curam mendaki ke atas. Tepian di kedua tepi sungai melupakan tebing-tebing batu yang amat tinggi dan curam. Kalau saja orang biasa jalan di tepi sungai yang merupakan tebing-tebingcuram itu pastilah ia sudah tergelincir jatuh dan masuk kecemplung di sungai, walau Hong Pin memiliki sepasang mata buta, ia seperti tidak mengalami kesulitan apapun, dengan bantuan tongkatnya, ia terus maju sambil lompatan. Satu saat mendadak saja Hong Pin menotolkan dengan keras tongkatnya pada batu, badannyapun melambung ke atas, lalu turun berdiri di sebuah batu, pandangan matanya ditujukan ke bawah, ia seperti sedang memperhatikan suara 174 air sungai, tak lama baru ia duduk bersandar pada lamping batu, tongkatnya diletakkan di samping kiri, matanya memandang jauh ke depan ke depan ke seberang lamping tepi sungai. Sinar sang matahari sore yang akan terbenam menyorot wajah Hong Pin. Di dalam apitan dua tebing curam, riak air sungai bergelombang, suara kericikannya air terdengar jelas di telinga si pemuda. Hong Pin duduk melamun di atas tebing di tepi sungai, lama ia duduk demikian rupa, entah apa yang dipikirkannya, hingga matahari menggelusur ke belakang balik sela puncak gunung, barulah dengan malas-malasan ia bangkit berdiri, lalu dibukanya baju luarnya kemudian baju dalamnyapun di-tanggalkan, ditumpuknya di atas tongkat Tiat-ciat-pian yang menggeletak di atas batu. Dalam keremangan senja tampak kepolosan badan Hong Pin, sejenak ia memperhatikan keadaan dirinya, tangannya meraba-raba kulitnya yang halus kuning, pinggangnya ramping kedua betis kakinya licin mengkilat, bentuk potongan tubuh itu tidak mirip potongan badan seorang laki-laki, tapi itulah satu bentuk indah dari tubuh seorang gadis remaja. Setelah sekian saat Hong Pin memperhatikan dan meraba-raba potongan badannya, baru ia lompat terjun ke dalam sungai. Pluuunnnnnnggggg ....... Hong Pin nyemlung ke sungai, ia berenang kian kemari, timbul tenggelam di permukaan air di bawah keremangan cahaya disenja hari. Rambutnya yang digelung sudah terurai basah, wajahnya yang kotor menjadi bersih licin menguning. Setelah sekian saat ia membersihkan badannya, berenang sepuas hati lalu lompat naik ke tepian, dengan sepasang matanya yang buta ia berlompatan naik ke atas. Tiba di samping tumpukan bajunya, Hong Pin berdiri, berulang kali ia berlompatan mengeringkan sisa-sisa air sungai yang masih melekat di tubuhnya, rambutnya berulang kali ditepas-tepaskannya. Rambut itu terurai panjang sampai di pinggang, itulah uraian rambut seorang gadis, bagian dadanya tampak tersembul keluar. Betis dan pahanya kuning licin. Wajahnya menunjukan kecantikan yang luar biasa. Kalau dibanding dengan kecantikan Siong In, wajah Hong Pin tidak kalah cantiknya, hanya sayang sepasang matanya buta. Setelah sisa-sisa air yang melekat pada tubuhnya menjadi kering, barulah ia mengenakan pakaian. Menggulung rambutnya digelung ke atas, dan dari dalam 175 saku bajunya, ia mengeluarkan sebuah botol, dari dalam botol itu, ia menuangkan semacam cairan kemudian diulasnya ke wajahnya, maka wajah yang cantik itu kini sudah berubah menjadi wajah seorang pemuda tampan. Si gadis buta Hong Pin, kembali menyamar menjadi seorang pemuda buta. Haripun tambah lama menjadi gelap, siang sudah merayap berganti malam. Bagi Hong Pin yang sepasang matanya buta apalah artinya pergantian siang dan malam, siang ia bisa berjalan mengandalkan tongkat dan pendengaran serta perasaannya yang tajam, malam baginya tak ada beda, bila lelah ia istirahat tidur, bila bangun ia melanjutkan jalannya. Malam itu setelah mandi dan dandan sebagai seorang pemuda buta, Hong Pin rebah telentang, di sela-sela batu, tongkat Tiok ciat-pian, diletakkan di sebelah kiri badannya kemudian kelopak matanya terpejam. Tapi baru saja ia mengatupkan sepasang matanya, telinganya yang menempel pada batu mendengar suara beberapa langkah kaki orang. Mendengar itu Hong Pin kaget, ia miringkan kepalanya, kini telinganya ditempelkan pada bumi mendengarkan suara itu datangnya dari arah mana. Setelah mendengar sekian saat mendadak saja Hong Pin bangun berdiri, lalu dengan tongkatnya, ia berlompatan di pinggiran sungai mengejar arah datangnya suara langkah kaki orang.Kalau saja sepasang mata Hong Pin tidak buta, ia bisa melihat di dalam kegelapan malam di atas lamping gunung tidak jauh di depannya tampak sinar sinar api obor bergerak-gerak kemudian lenyap di tikungan jalan gunung. Hong Pin hanya mengandalkan pada ketajaman pendengarannya, sering kali ia menempelkan telinganya pada lamping batu gunung untuk mendengar suara tapak-tapak kaki yang ramai. Setelah suara itu mendadak lenyap ia menengadahkan kepalanya ke atas, pikirnya, Suara langkah kaki itu tidak kurang dari seratus orang, mereka jalan di arah lamping gunung, hmm, tengah malam buta begini mereka beramai-ramai mau bikin apa? Setelah berpikir begitu, Hong Pin lalu mencari-cari jalan untuk merambat naik ke atas. Dengan bantuan tongkat Tiok ciat-piannya, akhirnya ia tiba di atas jalan gunung, dimana tadi terdapat banyak api-api obor yang bergerak! Begitu tiba di atas jalan gunung Hong Pin mendekam di atas jalan menempelkan telinganya di tanah, mendengarkan langkah-langkah kaki orang. Mustika Gaib Karya Buyung Hok di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo Kemudian tak lama ia sudah meletik bangun, lalu jalan menuju belokan jalan gunung. 176 Angin malam berkesiur dingin, sinarnya rembulan menerangi empat penjuru dunia.Hong Pin terus jalan dalam kegelapan, berulang kali ia mendekam di atas jalan mendengar suara-suara langkah kaki orang, ia terus mengikuti gerak suara langkah kaki itu, akhirnya sampai fajar menyingsing. Hong Pin tidak tahu kini berada di tempat apa, dari suara ramainya burung- burung berkicau di angkasa, ia tahu kalau hari sudah berganti pagi. Selagi ia berdiri bengong, mencari-cari jejak suara langkah kaki orang, mendadak saja telinganya mendengar sayup-sayup irama suara seruling. Suara seruling itu sangat aneh kedengarannya, terdengar seperti suara ribuan tikus. Mendengar suara seruling itu, langkah kaki Hong Pin melangkah ke depan mencari dari mana datangnya suara suling. Hong Pin yang jalan dengan mata butanya, ia tidak tahu kini sudah berada di tempat apa. Sedangkan sayup-sayup suara seruling aneh yang mengeluarkan suara ribuan tikus masih terdengar terus. Sambil berdiri dengan tongkatnya Hong Pin memeriksa sekeliling tempat dimana ia berdiri, tongkat baja itu ditotol-totolkan ke depan kiri dan kanan, setelah memeriksa demikian rupa tahulah ia, kalau dirinya sedang berada di atas jalan lamping gunung, di depannya di pinggiran jalan lamping gunung merupakan jurang lembah, dan suara seruling tadi keluar dari dalam lembah. Di sekitar lembah dikurung oleh lamping-lamping gunung, jauh di angkasa tampak puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi menembusi awan. Dari angin yang bertiup dari depannya tahulah Hong Pin, bahwa itu merupakan lembah curam, ia mesti mencari jalan untuk menuruni jalan tebing turun ke dalam lembah. Suara suling yang keluar dari dalam lembah kian lama kian santer, suara itu kadang kala seperti iramanya angin malam yang berhembus, kadang kala berubah seperti suara mencicitnya ribuan tikus. ONG PIN yang telinganya lebih tajam dari manusia manapun, ia jadi heran, bagaimana suara seruling tadi bisa mengeluarkan suara ribuan tikus. Kalau dibilang suara yang keluar dari dalam lembah adalah suara dari ribuan tikus itulah juga tidak mungkin, karena telinga Hong Pin mana mungkin bisa dibohongi dengan irama seruling yang demikian rupa. 177 Kalau saja sepasang mata Hong Pin tidak buta dari atas jalan lamping gunung itu ia bisa melihat pemandangan di bawah lembah, di sana sudah berkumpul tidak kurang dari seratus orang bertopeng hitam, pada setiap dada mereka mengenakan gambar lukisan Kalong. Berpuluh-puluh orang seragam hitam bertopeng berkumpul di bawah lembah, mereka menghadap lamping batu di atas tempat itu terdapat sebuah lubang goa yang tertutup oleh rimbunnya daun pohon, dan suara seruling tadi keluar dari mulut goa. Kalau melihat dari tingginya letak goa pada tebing lembah, sebenarnya tidaklah tinggi, karena letaknya goa dari dasar lembah hanya setinggi pohon Siong yang tumbuh tepat di depan goa, dan daun-daun pohon siong di atas sana, menutupi lubang goa hingga tak tampak jelas bagaimana dalamnya goa itu. Dan untuk memasuki lubang goa di atas tebing memang tidak terlalu sulit, dengan memanjat pohon siong yang tumbuh di depan goa, bisa segera lompat masuk ke dalam. Pada waktu itu sinar matahari pagi baru mencorot keluar, tampak lima orang seragam hitam sudah memanjat pohon siong yang tumbuh di depan goa, setelah tiba di atas rimbunan daun-daun pohon siong, mereka serentak lompat masuk ke dalam lubang goa, dimana terdengar suara suling. Berpuluh-puluh seragam hitam mendongakkan kepala ke atas memperhatikan lima kawan mereka memanjat pohon dan menerjang masuk ke dalam goa. Tapi belum mereka berhasil lompat masuk menerjang ke dalam goa, mendadak terdengar tuara lima kali jeritan menggantikan suara suling, kemudian disusul dengan terpentalnya lima sosok seragam hitam keluar goa, kelima sosok seragam hitam itu membentur ranting-ranting pohon, kemudian mereka jatuh di tanah. Di atas tanah berumput tubuh mereka kelejetan.Berpuluh-puluh orang seragam hitam menyaksikan lima kawan mereka berpentalan keluar dengan mengeluarkan suara jeritan, kemudian bergeletakan di tanah, mereka datang memeriksa ternyata pada setiap tubuh orang-orang yang jatuh terpental masing-masing terdapat beberapa ekor tikus menggigit tenggorokan. Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo