Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bego 8


Pendekar Bego Karya Can Bagian 8


Pendekar Bego Karya dari Can   "Bagus sekali"   Seru ketiga orang laki laki itu dengan wajah berseri.   "Saudara usah bersusah payah melakukan perjalanan jauh lagi serahkan saja majikan cilik kepada kami, biar kamilah yang menghantar tuan kecil pulang ke benteng Khekpo"   Andaikata persoalan lain yang dikehendaki, sebagai orang yang tanpa perhitungan niscaya Ong It sin akan menyanggupi dengan begitu saja.   Tapi masalahnya sekarang menyangkut masalah lain, Be Siau soh sendiri telah berpesan kepadanya agar bocah itu diserahkan sendiri kepada sang pocu, maka ia tak mau mengingkari janjinya .   Baginya, setiap patah kata dari Be Siau soh seakan akan sudah terukir dalam dalam di benaknya, meski agak tertegun setelah mendengar perkataan dari ketiga orang itu, dengan cepat kepalanya segera digelengkan...   "Tidak bisa"   Katanya.   "aku telah mendapat pesan orang yang mengharuskan bocah ini kuserahkan sendiri ketangan Khekpoo pocu, sebelum sampai di tempat tujuan mana boleh kuserahkan bocah ini kepadamu dengan begitu saja?"   "Benar juga yang dikatakan Ksatria Ong"   Jawab ketiga orang itu dengan cepat.   "tapi sebelum itu, dapatkah Ksatria Ong mengijinkan kepada kami untuk menengok sekejap wajah bocah itu?"   "Tentu saja boleh"   Sambil berkata ia melompat turun dari kereta, membuka pintu kereta sambil katanya.   "Mak inang, boponglah keluar bocah itu dan perlihatkan kepada ketiga orang sahabat ini"   Mak inangnya adalah seorang perempuan kekar yang berusia tiga puluh tahunan, sambil membopong bocah itu dia berjalan keluar. Berserilah wajah ketiga orang laki laki itu setelah menjumpai sang bocah, buru buru katanya.   "Ksatria Ong, seandainya kau bisa menghantarnya ke dalam benteng, pocu kami pasti akan memberi hadiah besar kepadamu"   Ong It sin tidak memberi tanggapan apa apa, dia hanya diam diam menghela napas panjang.   "Aaai... siapa yang kesudian segala, hadiah besar?"   Pikirnya didalam hati.   "aku hanya berharap bisa berjumpa sekali lagi dengan Be Siau soh..."   Ketika teringat sampai disitu, tiba tiba ia merasa bahwa jalan pemikiran semacam itu Sesungguhnya tidak patut, kontan saja Selembar wajahnya berubah menjadi merah padam. Ketiga orang laki laki itu kembali berkata.   "Kalau memang begitu, biarlah kami berangkat ke benteng Khekpo bersama Sama Ksatria Ong, dengan begitu Sepanjang jalan kitapun bisa membantu bantu dirimu, Setuju bukan?"   "Hey, apakah maksudmu dalam perjalanan kita nanti masih akan menjumpai banyak kesulitan?"   Tanya Ong It sin tercengang.   "Mara bahaya sukar diduga datangnya, apa salahnya kalau kita sedia payung dulu sebelum hujan?"   "Baiklah"   Kata Ong It sin kemudian dengan perasaan apa boleh buat.   "mari kita segera berangkat"   La naik kembali ke kursi kusir dan menjalankan keretanya menuju ke depan, sementara ketiga orang laki laki tadi mengikuti dibelakangnya.   Kurang lebih tujuh delapan li kemudian, tiba tiba dari depannya berkumandang suara ledakan yang cukup keras, disusul segulung asap hijau membumbung tinggi ke angkasa.   Ketiga orang laki laki itu segera mencemplak kudanya lari kedepan, teriaknya dengan gembira.   "Tianglo dari benteng kami telah datang"   Ong It sin pun cukup paham akan bahaya dan liciknya orang orang persilatan, sedikit banyak ia menaruh curiga juga atas keaslian atau tidaknya ketiga orang itu sebagai anggota benteng Khekpo, tapi setelah ia mendengar bahwa ketiga orang itu berpekik bahwa Tianglo nya telah datang, semua rasa curiganya segera tersapu lenyap.   Sebab waktu Ong It sin berjumpa dengan Be siau soh untuk pertama kalinya dulu, diapun sempat berjumpa dengan tianglo mereka.   Tianglo adalah anggota benteng Khekpo, otomatis keasliannya tak bisa diragukan lagi, sebab itu ketika mendengar bahwa tianglo telah datang dengan perasaan gembira Ong It sin berseru pula.   "Dia berada dimana?"   "Itu dla, tianglo telah datang"   Belum habis jawaban tersebut, tampaklah sesosok bayangan manusia telah menyambar datang dari kejauhan sungguh cepat gerakan tubuh orang itu dalam waktu singkat ia sudah berada dihadapan anak muda itu.   Benar juga , orang yang baru datang itu memang Tianglo adanya.   Begitu tiba, tianglo segera memberi hormat kepada Ong It sin seraya katanya.   "Ksatria Ong aku benar benar seorang yang memegang janji, apakah bocah itu sudah kau hantar kemari?"   "Betul bocah itu berada dalam keadaan baik baik dan berada dalam ruangan kereta, ketiga orang sahabatmu telah melihat semua"   Kata Ong It sin.   "Ksatria Ong, kaupasti lelah bukan setelah melakukan perjalanan jauh sekian lama, sedang pocu yang telah berpisah selama tiga bulan dengan putranya merindukan pula siang malam, ia selalu berharap dapat bertemu secepatnya dengan anaknya maka harap ong sauhiap bersedia untuk menyerahkan bocah itu kepadaku agar bisa kubawa pulang lebih dulu ke benteng dan saudara menyusul dari belakang?"   Kata sang tianglo. Ong It sin tertegun sejenak lalu, katanya.   "Tentang soal ini... tentang soal ini... aku rasa kurang baik, aku tak dapat menyerahkan anak ini kepada kalian sebab pesan hujin... aku... aku diharuskan menyerahkan sendiri bocah ini kepada pocu kalian"   Tianglo itu segera tertawa terbahak bahak.   "Haahhh... haaahhh... haaahhh... Ksatria Ong memang amat bertanggung jawab, pesan memang tetap merupakan pesan, cuma kau harus tahu bahwa aku adalah seorang dari kelima orang Tianglo dari benteng Khekpo, masakan kau tidak percaya padaku?"   Ong It sin adalah seorang pemuda yang takpernah kenal akan segala kebiasaan masyarakat, ia beranggapan bahwa apa yang telah dipesankan kepadanya tak akan bisa dirubah kendatipun orang lain merayunya dan mendesaknya dengan pelbagai perkataan.   Maka setelah mendengar perkataan itu ia tetap menggelengkan kepalanya sambil berkata.   "Aku rasa hal ini kurang baik, lebih baik kuserahkan sendiri kepada pocu kalian"   "Kalau begitu... yaa... begitu baik"   Kata Tianglo itu.   Seraya berkata ia lantas mengerling sekejap kearah salah seorang diantara ketiga orang laki laki itu.   Orang itu segera melangkah ke depan membuka pintu kereta.   Ong It sin masih mengira Tianglo itu akan melihat sang bocah, maka ia tidak menghalangi niat mereka bahkan memperhatikan pun tidak.   Tapi begitu pintu kereta dibuka, laki laki itu segera menyambar tangan si inang pengasuh itu dan menariknya keluar dari kereta.   Inang pengasuh itu segera menjerit jerit seperti babi yang hendak disembelih.   Tapi baru berteriak beberapa kali, sebuah tendangan dari laki laki itu bersarang telak diatas pinggangnya.   Diiringi jeritan ngeri yang menyayatkan hati, inang pengasuh tersebut mencelat ke Udara seperti layang layang putus.   Cepat nian gerakan tubuh laki laki tersebut, begitu inang pengasuh tadi ditendang seCara telak tangannya bekerja cepat merampas sang bocah yang berada dalam pelukannya Sungguh kasihan inang pengasuh tersebut, ketika tubuhnya terbanting kembali ke tanah beberapa kaki dari tempat semula, tubuhnya tidak berkutik lagi jelas selembar jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya.   Semua perubahan itu berlangsung secara mendadak dan diluar dugaan, siapapun tidak menyangka kalau bakal terjadi peristiwa semacam ini.   Ong It sin hanya duduk termangu diatas tempat duduknya didepan kereta, hampir saja ia menyangka semua kejadian tersebut sebagai suatu impian belaka.   Menanti ia mulai sadar bahwa apa yang terjadi bukan suatu impian melainkan suatu kenyataan, ketiga orang laki laki itu dengan membopong sang bocah telah mundur bersama sejauh empat lima kaki dari tempat semula...   "Weeess..."   Berbareng itu pula sang tianglo melancarkan sebuah puklan kearah kuda penarik kereta.   Dengan angin pukulan serasa angin puyuh yang menyambar seluruh jagad, dalam waktu singkat semua kaki keempat ekor kuda penarik itu sudah terhajar patah semua.   Kuda kuta itupun roboh, otomatis kereta penariknya ikut oleng mengakibatkan Ong It sin yang berada diatas kereta nyaris terjungkal keatas tanah.   Tergopoh gopoh Ong It sin merangkak bangun dari atas tanah, tapi tianglo itu sudah putar badan mengambil langkah seribu.   Kalau ketiga orang laki laki itu kabur dengan gerakan cepat maka tianglo itu jauh lebih cepat lagi dalam sekejap mata ia telah berhasil menyusul ketiga orang anak buahnya yang telah kabur terlebih dahulu itu.   Dalam waktu singkat baik tianglo maupun ketiga orang laki laki yang melarikan sang bocah telah lenyap dari pandangan mata.   Hingga detik itu Ong It sin baru bisa menghembuskan napas panjang, teriaknya keras "Hey, permainan setan apa yang sedang kalian lakukan? Hey, kalian orang orang dari benteng Khekpo kenapa begitu tak tahu aturan...?"   Sekalipun ia sudah berteriak sampai serak suaranya juga percuma, karena bukan saja tianglo itu sudah lenyap tak berbekas, bahkan ketiga orang laki laki itupun sudah tak tampak batang hidungnya lagi.   Diatas tanah lapang yang luas tinggal kuda kuda berkaki patah yang meringkik tiada hentinya, suasana semacam ini menambah seramnya keadaan ditempat itu.   Ong It sin masih saja berdiri termangu seperti orang bodoh, terhadap kejadian yang telah berlangsung selama ini jangankan mengambil suatu keputusan, apa yang terjadipun ia tak tahu.   Setelah termangu sekian lama, akhirnya ia baru merasa bahwa kejadian ini sedikit mencurigakan, tentu ada sesuatu bagian yang srasa tidak beres.   Ia tahu kalau Tianglo itu anggota benteng Khekpo, tapi kenapa sang tianglo tidak berani menghantar bocah itu ke benteng bersama samanya? Mengapa pula ia membunuh orang dan melukai kuda untuk merampas bocah tersebut dari tangannya? Ong It sin segera bangkit berdiri lalu berpikir.   "Bagaimanapun juga aku harus pergi ke benteng Khekpo untuk menanyakan persoalan ini sampai terang, persoalan ini tak dapat dibiarkan lewat dengan begitu saja..."   Baru selangkah ia maju, tiba tiba dari kejauhan sana kembali munculu dua ekor kuda jempolan, belum sampai ditempat tujuan, kedua orang penunggangnya sudah melayang meninggalkan punggung kuda dan langsung menerjang kearanya, sungguh cepat gerakan mereka ibaratnya dua ekor burung menerkam mangsanya.   Bukan begitu saja, sewaktu kedua orang itu menerjang tiba, masing masing membawa desingan angin tajam yang amat dahsyat.   Gulungan angin tajam itu amat dahsyat dan menerbangkan batu kerikil danpasir, sedemikian hebatnya sehingga Ong It sin sendiripun ikut tergulung ke belakang.   Dengan gugup gelagapan ia mundur beberapa langkah untuk menghindar, akan tetapi toh ada beberapa bijih batu kerikil yang sempat menghantam tubuhnya sehingga menimbulkan rasa sakit.   Dalam pada itu dua orang yang melayang meninggalkanpelana kudanya tadi telah berdiri tegak dihadapannya.   Dua orang itu yang satu mengenakan baju merah dan merupakan seorang laki laki setengah umur yang kurus kering dan berusia lima puluh tahun, sedangkan yang lain adalah seorang kakek berambut putih yang memakai baju hitam.   Begitu tiba digelanggang, kakek berbaju hitam itu segera menghampiri mayat inang pengasuh yang tergeletak beberapa kaki jauhnya itu, setelah diperiksa sebentar kemudian melayang balik ke depan itu.   Laki laki setengah umur berbaju itu memperhatikan Ong It sin sekejap.   kemudian tegurnya.   "Apakah engkau she Ong?"   Ong It sin masih juga tidak mengetahui apa gerangan yang telah terjadi, diapun tak tahu asal usul kedua orang itu tapi kedatangan mereka yang begitu garang dan membuatnya menjadi sangat tidak memuaskan hatinya.   Sekalipun demikian, ia tak dapat mendiamkan pertanyaan orang, maka sambil mempermainkan diri ia menjawab.   "Yaa betul, aku she Ong"   Paras muka kedua orang itu berubah hebat, dengan nada gelisah bercampur cemas mereka bertanya lagi.   "Lantas dimanakah majikan kecil kami? Apakah sudah terjadi hal hal diluar dugaan?"   Dari sebutan "majikan kecil"   Ong It sin dapat menduga bahwa kedua orang itupun berasal dari benteng Khekpo, ini membuat hatinya semakin mendongkol.   "Hmm... Apa lagi yang musti kukatakan"   Sahutnya gemas.   "kalian orang orang Khekpo memang semuanya tak tahu aturan"   Kedua orang itu kembali saling berpandangan sekejap tiba tiba laki laki berbaju merah itu turun tangan kembali kelima jari tangannya direntangkan bagaikan kuku garuda, kemudian dicengkeramnya bahu Ong It sin keras keras ini membuat si anak muda itu merasa kesakitan hingga tak kuasa lagi dia berkaok kaok seperti babi disembelih "Hayo jawab"   Bentak laki laki baju merah itu makin mengencangkan cengkeramannya.   "bukan majikan cilik kami seharusnya sudah dikirim pulang ke benteng Khekpo?"   "Aduuh mak... lepaskan tanganmu lebih dulu... sakit... Yaa, yaa... memang aku harus menghantarnya pulang ke benteng Khek po"   "Lantas dimana orangnya sekarang?"   Bentak lelaki itu marah.   "Kemana lagi? Tentu saja sudah dibawa kabur oleh orang orang benteng Khekpo kalian"   "Apa?"   Teriak dua orang itu berbareng.   "cepat katakan, siapakah mereka?"   Teriak laki laki berbaju merah lagi dengan suara lengking.   "Lepaskan dulu cengkeramanmu. Apa lagi yang musti kukatakan, dia adalah tianglo kalian sendiri"   Dalam anggapan Ong It sin, setelah ucapan tersebut diuatakan niscaya mereka tak akan setegang itu lagi, siapa tahu justru paras muka mereka berubah makin keabu- abuan.   "Kemana mereka telah pergi?"   Bentak laki laki berbaju merah lagi setelah berhenti sejenak. sedapat mungkin Ong It sin menunjuk ke arah depan.   "Sana, mereka telah kabur ke situ"   Dua orang itu segera berpekik nyaring, laki laki berbaju merah itu melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke depan, segulung hembusan angin kencang dengan cepat menghantam tubuh Ong It sin, membuat si anak muda itu mundur sejauh tujuh delapan langkah dan roboh terjengkang ke tanah.   Menunggu Ong It sin mendongakkan kembali kepalanya, kedua orang itu sudah lenyap tak berbekas.   Sambil memegang pantatnya yang sakit,pelan pelan Ong It sin merangkak bangun, lalu gerutunya.   "Sialan manusia manusia itu... tak ada angin tak ada hujan tahu tahu mencari gara gara denganku... hmm Dasar orang sinting semua..."   Tapi ketika kepalanya didongakkan kembali, pemuda itu kembali dibuat terperanjat.   ooodowooo Entah sejak kapan tahu tahu didepan matanya telah bertambah dengan seorang manusia.   Orang itu berwajah pucat pias seperti mayat, memakai baju warna putih dan pada hakekatnya tidak lebih adalah seorang setan gantung putih seperti yang ada dalam dongeng.   Serta merta Ong It sin melompat mundur selangkah, teriaknya dengan gelagapan.   "Kau... kau... sejak kapan kau datang kemari?"   Orang itu segera memperdengarkan suara tertawanya yang aneh dan menyeramkan.   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      "Heeehhh... heeehhh... heeehhh... bukankah kau orang she Ong?"   Bukan saja suara tertawanya menyeramkan, bahkan logat berbicaranya juga aneh dan mendatangkan perasaan yang mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya. Sambil tertawa getir Ong It sin manggut manggut "Betul, jadi kalian sudah kenali siapa aku?"   Demikian jawabnya. Agaknya orang ini memiliki tabiat yang lawanan bila dibandingkan dengan manusia berbaju merah tadi, ia tidak gelisah pun tidak buru buru katanya pelan.   "Kalau kutinjau dari keadaanmu, tampaknya majikan cilik dari benteng Khekpo telah menemui kejadian yang berada diluar dugaan?"   "Betul...Betul...Rupanya kau juga anggota benteng khekpo? sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejadian yang luar biasa, menurut tianglo kalian, pocu sudah kangen dengan anaknya dan kepingin cepat cepat bertemu maka mereka merampas bocah itu dan melarikan diri tanganku"   Setelah berhenti sejenak, dengan kening berkerut lanjutnya.   "cuma aku rasa tianglo itu orang yang kurang baik, bukan saja telah merampas bocah itu, inang pengasuhnya juga dipukul sampai mati. Aaai... berbuat sewenang wenang, apakah tindakan dari seorang ksatria sejati...?"   Orang itu manggut manggut.   "Benar juga perkataanmu itu"   Kata orang tadi sambil manggut manggut "tapi apakah kau telah bertemu dengan dua orang manusia yang berbaju merah dan hitam?"   "Yaa... aku menjumpainya, mereka telah pergi mengejar tianglo tersebut"   "Ehmm... kalau begitu, mari ikut aku pulang ke benteng Khekpo"   Kata orang itu kemudian Betapa senangnya Ong It sin setelah mendengar perkataan itu, katanya dengan cepat.   "Bagus sekali, kebetulan aku memang ingin berkunjung ke benteng Khekpo serta mencari tianglo itu untuk menuntut keadilan, kalau kau bersedia membawaku kesitu, itu lebih baik lagi, tapi sebelumnya bolehkah aku tahu siapa namamu?"   "Sebut saja aku sebagai Goan tianglo"   Ong It san tertawa.   "oooh... rupanya kau seperti juga Ik tianglo merupakan salah satu diantara lima orang tianglo dari benteng Khekpo, bukan begitu?"   "Hmm... rupanya kau memang pintar"   Sepanjang hidupnya, berapa kali Ong It sin pernah dipuji orang sebagai orang pintar? Kontan saja ia menjadi girangnya setengah mati, buru buru tanyanya kembali.   "Goan tianglo, aku... aku ingin menanyakan satu hal, apakah kau bersedia untuk menjawabnya? "   Dengan sorot mata yang tajam Goan tianglo memperhatikan wajah anak muda itu sekejap. kemudian baru katanya.   "Apa yang ingin kau tanyakan?"   Ong It sin tertawa paksa, kemudian baru katanya "Setelah meninggalkan benteng, apakah pocu hujin kalian-.. pernah... pernah pulang kembali ke benteng?"   Paras muka Goan tianglo yang pada dasarnya memang berwarna pucat keabu abuan, kini berubah semakin mengerikan setelah mendengar pertanyaan itu, membuat siapapun yang melihatnya ikut merasa kan bulu kuduknya pada bangun berdiri.   Akhirnya lewat beberapa waktu kemudian, Goan tianglo baru berkata.   "la belum kemari"   Ong It sin menjadi dag dig dug tidak tenang karena lawan bicaranya cuma membungkam "Kalau begitu sekarang ia berada dimana, apa kalian tahu?"   Kembali anak muda itu bertanya.   "Aku juga tidak tahu,"   Paras muka Goan tianglo berubah semakin menyeramkan.   Sebetulnya Ong It sin tidak berani mengajukan pertanyaan itu, tapi akhirnya setelah mengumpulkan semua kekuatan dan keberaniannya, terlontar juga pertanyaan- pertanyaan sekitar Be Siau soh.   Sayang pertanyaan tersebut tidak menghasilkan apa apa, ia menjadi kecewa sekali hingga menghela napas panjang.   Dan pada waktu itulah Goan tianglo memperdengarkan suara tertawa dinginnya yang menggidikkan hati.   Ong It sin tidak ambil peduli kenapa Goan tianglo memperdengarkan suara tertawa dingin itu, dia hanya berdiri termangu seperti orang bodoh, kemudian melangkah maju tanpa tujuan.   Kurang lebih tujuh delapan li kemudian, tiba tiba dari belakang tubuhnya kedengaran suara dua kali ledakan yang memekikkan telinga.   Buru buru Goan tianglo dan Ong It sin berpaling ke belakang, tampaklah dua gulung asap merah dan hitam membumbung tinggi ke angkasa.   Menyaksikan gumpalan asap tersebut, Goan tianglo segera bertindak cepat, sebelum Ong It sin mengetahui apa yang hendak dilakukan si kakek tersebut, tahu tahu jalan darahnya sudah tertotok.   "Bluuuk..."   Tak ampun lagi tubuh Ong It sin jatuh terjengkang ke tanah, sementara Goan tianglo segera meluncur kedepan menghampiri arah dimana asap tadi berasal, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.   Dalam waktu tak sampai dua jam, Ong It sin telah dibuat bingung oleh serentetan kejadian yang memusingkan kepala, bagaimanakah duduk persoalan yang sesungguhnya masih merupakan sebuah pertanyaan besar, dan iapun tidak sadar kalau jalan darahnya telah ditotok orang.   Menanti tubuhnya tak bisa bergerak, si anak muda itu baru mulai mengeluh, kendatipun hawa amarah menyelimuti benaknya, tapi apa daya? Satu jam lebih ia musti berbaring sendirian di tengah tanah lapang yang sunyi, sebelum akhirnya ia mendengar seakan akan ada orang sedang menghampirinya.   Ong It sin segera berpikir.   "Peduli siapapun yang datang, pokoknya asal ia bebaskan jalan darahku yang tertotok, pasti akan kuhadiahkan sebuah tonjokan keperutnya"   Baru saja ingatan itu berkelebat lewat dalam benaknya, ia mendengar ada orang berseru tertahan dari arah belakang, menyusul kemudian bahunya ditepuk orang dan jalan darahnya segera bebas. Serta merta Ong It sin melompat bangun kemudian-..   "Seees..."   Sebuah puklan langsung disodok ke depan.   Bagi pandangan Ong It sin pribadi, pukulan tersebut telah disertai segenap tenaga yang dimilikinya, padahal sama sekali tak berkekuatan bagi pandangan orang lain- Baru saja kepalanya melayang, bayangan manusia tahu tahu berkelebat lewat dan orang itu sudah lolos dari incarannya, sebaliknya ia sendiri malah maju dengan sempoyongan dan hampir saja roboh ke tanah.   la berusaha keras menjaga keseimbangan tubuhnya, lalu bertanya.   "Hey, siapa kau?"   Sambil membentak matanya ikut celingukan kesana kemari untuk mencari orang itu, setelah tampang orang itu terlihat olenya, pemuda itu baru tertegun.   Rupanya orang itu bukan Tianglo atau laki laki berwajah bengis, melainkan adalah seorang nona cilik bermuka bulat bermata besar yang kelihatannya baru berusia tiga-empat belas tahunan.   Merah padam selembar wajah Ong It sin karena jengah, setelah mendengus katanya.   "Nona cilik, apakah kau datang dari benteng Khekpo?"   Nona cilik itu tidak menjawab, sebaliknya dengan wajah cemberut tegurnya.   "Apakah kau she Ong? Hmm, kata enci Be orang she Ong adalah orang paling baik dikolong langit, tapi sekarang, aku telah membantu untuk membebaskan jalan darahmu sebaliknya kau malah menghantamku secara diluar dugaan. Hmm, kalau begitu pasti bukan kau yang sedang kucari"   Mendengar perkataan itu, Ong It sin menjadi gelagapan, buru buru katanya dengan gelisah.   "Yaa, yaa... aku memang she Ong, aku bernama Ong It sin apakah nona... nona Be yang suruh kau datang mencariku?"   Begitu mendengar nama nona "Be"   Ong It sin merasa sukmana seperti sudah melayang tinggalkan raganya.   "Betul, jawan nona cilik itu, tapi mengapa kau menghantamku ketika kubebaskan jalan darahmu tadi?"   Ong It sin segera menghela napas panjang.   "Aaai... nona cilik, masalah ini tak bisa diselesaikan dalam sepatah dua patah kata saja tapi... di manakah... dimana nona Be saat ini?"   Sekali lagi nona cilik itu mengamati Ong It sin dengan seksama, kemudian baru katanya.   "Ikutilah diriku"   Sambil mengipatkan kuncirnya yang panjang ia putar badandan berlalu dari sana.   Tak terlukiskan rasa gembira dihati kecil Ong It sin setelah terbayang bahwa tak lama kemudian ia bakal berjumpa dengan nona Be yang dirindukan siang malam selama tiga bulan belakang ini Setengah harian sudah mereka berjalan disebuah jalan setempat yang sempit, makin berjalan suasana makin sepi dan terpencil, anak muda itu mulai gelisah sambil memburu kesisi si nona, ia lantas menegur.   "Hey nona cilik, dia berada dimana?"   "sebentar akan tiba"   Jawab nona cilik itu tanpa berpaling lagi.   Demikianlah, merekapun melakukan perjalanan lebih sejauh lima enam belas suasa makin lama makin gelap karena senja telah menjelang tiba Waktu itu mereka berdua baru saja melewati sebuah hutan yang lebat dan berjalan melalui sebuah selat yang sempit, setengah jalan kemudian tiba tiba nona itu berhenti dan mulai merangkak naik melalui sebuah ranting yang terjulai dari atas tebing.   Ong It sin memang pemuda yang tak berkepandaian apa apa, tapi soal kepandaian memanjat bukit dia adalah nomor satu, maka dengan cekatan pemuda itu menyusul dibelakang nona tersebut dengan tidak kalah cepatnya...   Menanti kedua orang itu berhasil mencapai puncak tebing tersebut, tengah malam sudah lewat...   Ternyata puncak tebing tersebut adalah sebuah tanah datar yang luasnya mencapai beberapa hektar, dibawah sebatang pohon slong besar berdirilah sebuah bangunan rumah batu yang jelek sekali Nona kecil itu berhenti kurang lebih tujuh delapan depa didepan bangunan rumah itu, lalu serunya dengan suara rendah.   "Enci Be, orang yang kau cari telah kubawa kemari"   Waktu itu Ong It sin merasa hatinya tegang sekali, ia telah mendengarkan suara dari Be Siau hong yang berkumandang keluar dari dalam ruangan, entah sudah berapa lama ia mengharapkan dapat mendengar suara semacam itu...   "Ksatria Ong, apakah... apakah kau telah datang?"   Terdengar Be Siau soh bertanya. Buru buru Ong It sin maju ke depan.   "Yaa, yaa... aku telah datang, aku telah datang... aku yang telah datang"   Sahutnya tergagap.   Setelah mendengar suara dari Be Siau soh, ia merasa tak tahu bagaimana musti menjawab, dia hanya merasakan jantungnya berdebar keras sehingga apa yang telah diucapkanpun tidak diketahui olehnya.   Suara dari Be Siau soh kembali berkumandang dari dalam ruangan batu itu.   "Ksatria Ong, masuklah kemari, aku... aku ada persoalan hendak disampaikan kepadamu"   Suara dariBe Siau soh kedengaran begitu merayu, begitu menawan hati membuat bajapun akan leleh dibuatnya.   Cepat cepat Ong It sin maju beberapa langkah ke muka, mendorong pintu itu dan melongok ke dalam.   Cahaya lampu dalam ruangan amat redup, sinar yang menerangi sekeliling sana tak lebih hanya berasal dari sebuah lentera kecil yang sudah hampir habis minyaknya.   Perabot yang berada dalam ruangan itulah sangat sederhana, yang ada tak lebih hanya sebuah pembaringan dan sebuah kursi.   Waktu itu Be Siau soh sedang berbaring diatas pembaringan, tubuhnya ditutup dengan selembar kulit harimau, badannya sama sekali tak berkutik.   Ong It sin segera mendekati pembaringan itu, tapi setelah menyaksikan apa yang terbentang didepan matanya, seketika itu juga ia menjadi termangu...   Gadis yang berbaring diatas pembaringan itu bertubuh sangat kurus tapi wajahnya kelihatan amat cantik, sekalipun sedang lesu dan keadaannya layu, sedikitpun tidak mengurangi kegenitan serta daya tariknya yang merangsang.   Perempuan itu benar benar adalah Be siau soh cuma saking kurusnya sehingga Ong It sin sendiri pun hampir saja tidak mengenalnya lagi.   Ong It sin merasakan hatinya sedih, katanya dengan suara lirih.   "Nona Be, kau... kau... mengapa kau menjadi begini?"   Be Siau soh mengeluarkan tangannya dengan kelima hari yang lencir, lalu digenggamn Ong It sin erat erat, katanya.   "Ksatria Ong, baik baikkah anak itu?"   "oooh... baik, baik, ia menarik sekali"   Jawab pemuda itu dengan cepat. Be Siau soh menghela napas panjang.   "Aaai... tentunya ia sudah kau hantarkan pulang ke benteng Khekpo bukan-.."   Katanya.   "Betul"   Sebetulnya dia hendak berceritera kalau ditengah jalan telah terjadi peristiwa tapi ingatan lain cepat melintas dalam benaknya, ia merasa bagaimanapun juga Goan tianglo adalah anggota benteng Khekpo, asal bocah itu berada di tangannya pasti tak akan mengalami kejadian apa apa.   Sedangkan kini Be siau soh tampaknya sedang menderita sakit, ia merasa tidak baik untuk menyinggung persoalan ini kepadanya.   Be Siau soh segera menghembuskan napas lega katanya.   "Bagus sekali kalau begitu"   "Nona Be, aku lihat kau sendiri juga sedang sakit, parahkah sakitmu itu?"   "Aku tidak apa apa... aaai, setelah bertemu denganmu, akujadi terbayang kembali bahwa semua kejadian selama tiga bulan belakangan ini seakan akan suatu impian belaka..."   Perkataan itu diucapkan Be Siau soh dengan nada sedih, tapi bagi Ong It sin, hal ini membuatnya tak tahu apa yang musti dikatakan. Lewat sesaat kemudian Be Siau soh baru berkata lagi.   "Ksatria Ong, aku masih ada satu urusan ingin mohon bantuanmu, apakah kau bersedia untuk mengabulkannya?"   "Nona Be, asal kau minta kepadaku, pasti akan kusanggupi tanpa membantah."   Be Siau soh menatap wajah anak muda itu sesaat lamanya, kemudian berkata lagi.   "cuma persoalan ini gampang tampaknya susah untuk dikerjakan"   Ong It sin segera membusungkan dadanya.   "Urusan yang lebih sukarpun pasti akan kulakukan untukmu"   Sahutnya cepat. Janji itu diucapkan dengan suara tegas dan tekad yang besar. Be Siau soh berkata lagi.   "Tapi kau harus tahu, untuk melakukan pekerjaan ini mungkin harus menghilangkan waktumu selama dua puluh tahunan"   Sekarang Ong It sin baru tertegun, beginilah kalau orang mengambil tindakan tanpa dipikir-pikir, setelah terlanjur bicara menyesalpun apa gunanya? Dua puluhan tahun adalah suatu jangka waktu yang panjang sekali, maka untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menjawab.   Be Siau soh menghela napas panjang, kembali desaknya.   "Sebetulnya... kau... bersediakah kau mengabulkan permintaanku? bukankah kau pernah berkata bahwa..."   Tapi sebelum perempuan itu menyelesaikan kata katanya, dengan cepat Ong It sin telah berseru.   "Yaa, aku mau, aku mau, tentu saja aku mau, tadi aku cuma lagi berpikir bahwa waktunya kelewat panjang, aku tak tahu sanggupkah melakukannya atau tidak..."   Sesudah ada kesanggupan dari pemuda itu, diatas wajah Be Siau soh yang murung baru terlintas sedikit cahaya cerah, katanya.   "Kau pasti sanggup melakukannya, kau..."   Tiba tiba ia mendongakkan kepalanya sambil menuding kearah pintu lalu bisiknya lagi.   "Tutup dulu pintu kamar itu"   Ong It sin menurut dan menutup pintu, ketika ia memutar badannya kembali Be siau soh telah menepuk sisi pembaringannya seraya berkata.   "Kemarilah kau, duduk disini aku masih ada banyak persoalan yang hendak kubicarakan denganmu"   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo   Ong It sin berdebar keras, jantungnya hampir saja melompat keluar dari rongga dadanya, untuk sesaat ia terbungkam dengan wajah merah padam ia hanya berdiri didepan pintu sambil menghembuskan napas panjang.   Be siau soh menghela napas panjang sambil membereskan rambutnya yang kusut kembali bertanya.   "Apakah lantaran aku sudah sakit lama sehingga tampangku menjadi jelek maka kau tidak bersedia mendekati aku lagi?"   "ooh bukan, tentu saja bukan"   Sahut Ong It sin sambil goyangkan tangannya berulang kali.   "kau... cantiknya bukan kepalang... tiada orang didunia ini yang bisa menandingi kecantikan wajahmu"   "Kalau begitu kemarilah kau"   Selangkah demi selangkah Ong It sin maju ke depan, entah apa sebabnya ia merasa kakinya seolah olah sedang berjalan diatas mega, tiba tiba kakinya menjadi sempoyongan dan hampir saja terjatuh buru buru ia bangkit berdiri menghampiri sisi gadis tersebut.   Dengan lemah lembut Be Siau soh segera menggenggam tangannya yang kasar lalu katanya.   "Ksatria Ong, kau sungguh seorang yang baik, aku tak lebih hanya seorang perempuan jahat, kalau tidak... aaai..."   Dengan sedih ia gelengkan kepalanya sambil menghela napas seakan akan sulit baginya untuk melanjutkan perkataannya .   "Siapa yang bilang kalau kau adalah perempuan jahat?"   Tiba tiba Ong It sin berteriak keras.   Teriaknya yang secara mendadak ini ibaratnya dengusan kerbau lapar, kontan saja membuat Be Siau soh menjadi amat terperanjat.   Be siau soh mendongakkan kepalanya, melihat sikapnya yang bersungguh sungguh, tergelaklah perempuan itu lantaran geli.   "Kau toh sudah tahu kalau aku adalah istrinya Khekpo pocu yang kabur dari rumah"   Katanya.   "perempuan semacam ini kalau bukan seorang perempuan jahat lantas apa namanya?"   "Tentu saja bukan, pastilah... pastilah pocu dari benteng Khekpo itu yang telur busuk"   Dengan termangu mangu Be Siau soh mengangkat kepalanya dan memandang lentera kecil dihadapannya, selang sesaat kemudian ia baru berkata.   "Dalam hal ini pocu dari benteng Khekpo tak dapat disalahkan, sekarang aku mulai menyesali perbuatanku sendiri dimasa lalu, sayang menyesalpun tak ada gunanya"   Dengan sedih ia menggelengkan kepalanya, tiba tiba pokok pembicaraan dibawa ke masalah lain, katanya lagi.   "Bukankah kau telah menyanggupi untuk melakukan pekerjaan bagiku, kau betul betul mau atau karena terpaksa saja?"   Ong It sin segera mengangkatjari tangannya ke atas sambil bersumpah.   "Jika aku berbohong, biar Thian mengutuk diriku dan melimpahkan kematian yang tragis untukku"   Be Siau soh segera mengulur tangannya untuk menutup mulut Ong It sin lalu katanya.   "Kalau mau bicara maka bicaralah secara baik baik, kenapa musti angkat sumpah, aku... oya, bagaimana dengan anakku... mesrahkah dia kepadamu?"   Menyinggung soal anak Ong It sin segera mementangkan mulutnya lebar lebar sambil tertawa.   "Yaa, dia memang mesrah benar denganku"   "Aaai... setelah berada dalam benteng Khekpo sekarang, dia pasti akan merasa kesepian"   "Aku tidak..."   Sebenarnya pemuda itu hendak berkata bahwa tak tahu karena bagaimana keadaan bocah itu dibenteng Khekpo memang tidak diketahui olehnya ditengah jalan, bocah itu telah dilarikan oleh Ik tianglo.   Tapi baru saja mengucapkan dua patah kata, tiba tiba ia teringat akan suatu hal...   Ia merasa kuatir bila Be siau soh menjadi sedih lantaran memikirkan nasib anaknya, maka pemuda itu merasa ada baiknya untuk merahasiakan persoalan itu dihadapannya, sebab itulah baru saja mengucapkan dua patah kata, ia membungkam kembali.   Untung Be Siau soh sedang memikirkan persoalan lain, diapun tidak menyangka seorang yang jujur bisa mengelabuhi dirinya, maka katanya lebih jauh.   "Pekerjaan yang kuminta kau kerjakan sekarang adalah minta kau balik lagi ke benteng Khekpo"   "Kembali ke benteng Khekpo? Mau apa aku ke situ lagi?"   Teriak Ong It sin dengan mulut terpentang lebar.   "Kau yang telah menghantar bocah itu pulang ke benteng, lagipula bocah itu sangat baik kepadamu, pocu... dia pasti akan amat berterima kasih kepadamu dan iapun pasti akan mengijinkan kau tetap tinggal di benteng tersebut"   Setelah berhenti sebentar tambahnya.   "Nah, asal bisa hidup bersama bocah itu, maka kaupun bisa melihat bocah itu tumbuh menjadi dewasa"   Ong It sin masih juga tidak tahu apa yang telah dikatakan oleh Be siau soh dan apa tujuannya berbicara dengan memutar kayun sejauh itu.   "Hiduplah terus dalam benteng Khekpo"   Be siau soh berkata lebih lanjut.   "Jangan tinggalkan bocah itu, dan disaat bocah itu sudah berusia dua puluh tahun, serahkan benda ini kepadanya"   Sebetulnya Be Siau soh berbaring diatas pembaringan dengan tubuh lemas, tenaga untuk berbicarapun takpunya, tapi ketika berbicara sampai di situ, tiba tiba ia melompat bangun dan meloloskan sebilah pedang pendek dari bawah bantalnya.   Gagang pedang pendek itu sudah berkarat, sarung pedangnya juga kuno dan sudah butut, sepintas lalu mirip barang bobrok buangan yang tak ada gunanya.   Tapi Be siau soh memegang pedang tersebut dengan tangan gemetar keras, sesudah ragu ragu sejenak ia baru menyerahkan benda itu ke tangan Ong It sin.   Pemuda itu menerimanya dengan keheranan, baru saja dia akan bersuara, Be siau soh telah menggenggam tangannya erat erat sambil berbisik lirih.   "Ksatria Ong, pedang... pedang kuno Hu si klam ini kuperoleh hampir dengan mempergunakan seluruh jiwa dan ragaku, kau musti... kau musti menyimpannya baik baik dihari hari biasa tak boleh dilihat secara sembarangan, bila bocah itu telah berusia dua puluh tahun kau baru boleh memberi tahukan kesemuanya ini kepadanya katakanlah kalau pedang tersebut adalah satu satunya barang yang dapat diberikan ibunya kepadanya..."   Ketika berbicara sampai disitu, mata Be siau soh telah jatuh berlinang membasahi seluruh tubuh wajahnya. Ong It sin menjadi cemas dan gelagapan serunya berulang kali.   "Jangan menangis jangan menangis..."   Be Siau soh melepaskan genggamannya atas tangan Ong It sin, lalu setelah menyeka air matanya ia jatuhkan diri berbaring kembali diatas pembaringan katanya.   "Ksatria Ong, kini aku sudah tidak mengharapkan apa apa lagi, aku hanya berharap dalam penitisan yang akan datang aku bisa peroleh seorang suami yang baik seperti kau, oh betapa gembiranya hatiku bila dapat peroleh suami seperti dirimu"   Ong It sin duduk serba salah, peluh telah membasahi sekujur tubuhnya, kecuali tertawa bodoh ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Lewat sesaat kemudian ia baru bertanya.   "Kau... kau hendak mati?"   "Mati...? Aku kira untuk sesaat aku tidak bakal sampai mati"   Tiba tiba, entah dari mana datangnya keberanian di hati kecil Ong It sin, katanya dengan terbata bata.   "Kalau begitu... kalau begitu.. kenapa... kenapa kau tidak mau kawin saja dengan-.. denganku?"   Sekalipun hanya sebuah kalimat yang pendek.   akan tetapi ketika ucapan tersebut selesai diucapkan keluar, sekujur badannya sudah basah oleh keringat, seluruh otot dan kulit badannya terasa mengejang keras.   Dengan sedih Be Siau soh menghela napas panjang.   "Aaai... terlambat sudah, itu hanya karena salah berpikir akhirnya aku harus menerima akibat seperti ini, yaa... sekarang telah terlambat..."   Ketika Ong It sin dengan memberanikan diri mengucapkan kata kata tersebut, sesungguhnya dalam hati kecil pemuda tersebut sama sekali tidak terlintas harapan bahwa Be Siau soh akan mengabulkan permintaannya itu.   Sebaliknya setelah mengutarakan kata kata tadi hampir saja ia hendak menempeleng wajah sendiri, karena ia telah berbuat kurang ajar terhadap gadis pujaannya.   Oleh karena itu, setelah Be Siau soh menjawab demikian, dia malahan merasa sangat lega.   Paras muka Be Siau soh sesungguhnya berwarna putih kepucat-pucatan, tapi secara tiba tiba telah menjadi merah padam, dibawah remang remangnya cahaya lentera, tampak kecantikan wajah gadis itu benar benar sukar dilukiskan dengan kata kata.   Dengan suara yang lembut dan manja bahkan dengan gerakan yang merangsang dan mempesonakan hati ia berbisik.   "Aku sudah tidak pantas lagi untuk kawin denganmu, tapi bila kau suka denganku, malam ini... malam ini kita... kita boleh..."   Berbicara sampai disitu, kepalanya tertunduk rendah rendah dan ia tak sanggup untuk melanjutkan kembali kata katanya, keadaannya ketika itu tak ubahnya seperti pengantin perempuan yang sedang bersiap-siap menghadapi malam pertamanya.   Ong It sin merasakan sepasang kakinya enteng seperti melayang diangkasa, hampir saja ia tak mampu berdiri tegak seakan akan seseorang yang kebanyakan minum arak.   Ia merasakan darah yang mengalir dalam tubuhnya mendidih, seperti ada beribu ribu ekor kuda liar sedang berlari bersama...   Tiba tiba ia mengulur tangannya ke depan untuk mengangkap sepasang tangan Be Siau soh yang mungil bibirnya gemetar keras namun tak sepotong perkataanpun sanggup diutarakan Be Siau soh meronta dan berusaha untuk duduk diatas pembaringannya...   Waktu itu Ong It sin telah duduk ditepi pembaringan, maka setelah Be Siau soh duduk, otomatis mereka berduapun saling berpelukan dengan penuh kehangatan dan kemesrahan.   Bagi Ong It sin, peristiwa yang kemudian terjadi pada malam itu hakekatnya seperti suatu impian yang tak berlukiskan indahnya.   Ong It sin hanya teringat, ketika ia selesai menikmati kehangatan tubuh perempuan itu, Be Siau soh mengulangi kembali pesannya disisi telinganya dan minta ia simpan baik baik pedang IHusi kiam tersebut serta menyerahkan kepada anaknya bila sudah dewasa nanti.   Ucapan tersebut seakan akan sudah terukir dalam dalam dihati Ong It sin, selamanya tak mungkin bisa teriupakan lagi.   Dia pun tidak tahu sendiri kapan tubuhnya terasa mengantuk dan tertidur nyenyak, menanti ia terbangun kembali, tampaklah ruangan batu itu sudah terang benderang oleh sinar matahari, sementara Be Siau soh sudah tak kelihatan lagi disitu.   Buru buru Ong It sin melompat bangun dan memburu keluar, pintu rumah terbuka lebar tapi suasana diluarpun sunyi senyap tak kelihatan sesosok bayangan manusiapun.   bahkan si nona cilik itupun lenyap tak berbekas...   Ong It Sin mengucak matanya berulang kali, untuk sesaat ia tak dapat membedakan impiankah yang dialami semalam atau kini masih berada dalam alam impian? Tapi dalam hati kecilnya dia tahu, entah kemarin ataupun sekarang jelas ia tidak berada dalam alam impian, apa yang telah berlangsung dan terjadi adalah suatu kenyataan, Be Siau soh kini telah pergi sedang ia harus kembali ke benteng Khekpo untuk selamanya mereka tak akan bertemu kembali.   Ketika Ong It sin teringat sampai disitu, saking sedihnya hampir saja ia membelah dada sendiri...   Setelah memperdengarkan jeritan aneh yang mengerikan dia kabur menuju ke bawah puncak.   dengan harapan dapat menyusul kembali Be Siau soh, beberapa kali bahkan hampir saja ia terperosok ke dalam jurang, sayang kendatipun sudah ia susul sampai dibawah kaki bukit, namun bayangan tubuh Be Siau soh tetap tidak ditemukan.   Akhirnya sambil menghela napas panjang ia meraba pedang kuno Husi kiam dalam sakunya, kemudian berdiri termangu mangu disitu.   Tentu saja dia ingin sekali menemukan Be Siau soh, tapi diapun teringat kembali dengan kepercayaan yang diberikan Be Siau soh kepadanya, cinta kasihnya kepada perempuan itu membuat pemuda tersebut mau tak mau harus berangkat ke benteng Khekpo untuk mewujudkan pesan dari Be siau soh tersebut.   Tapi...   dua puluh tahun yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas itu...   dua puluh tahun bukan cuma dua hari...   Seandainya berganti orang lain mereka pasti akan ragu ragu untuk menerimanya, tapi Ong It sin memang seorang pemuda yang jujur.   Sejak berdiam dalam perkampungan keluarga Li, selama banyak tahun tak pernah ada seorang manusiapun yang menaruh perhatian kepadanya tapi sekarang Be Siau soh begitu baik kepadanya ini membuat si anak muda itu dengan pasrah dan rela siap melakukan pekerjaan pula demi Be Siau soh.   Ong It sin tak tahu dimanakah letak benteng Khekpo, dia hanya menentukan arah secara mengawur lalu meneruskan perjalanannya kesana.   Ia berjalan menembusi selat melewati lembah selama berhari hari tak pernah berjumpa dengan seorang manusiapun, diapun tak tahu sampai kapan baru akan sampai di benteng Khekpo.   Senja itu, ketika matahari sudah terbenam dilangit barat, dikala Ong It sin sedang melanjutkan perjalanannya dengan cepat tiba tiba ia menyaksikan ada seseorang sedang duduk bersandar pada pohon didepan sana.   Sudah beberapa hari Ong It sin tak pernah berjumpa dengan seorang manusiapun, setelah bertemu dengan orang sekarang tentu saja ia merasa girangnya bukan kepalang, timbul niat dalam hatinya untuk bertanya kepada orang itu dimanakah letak benteng Khek po.   Maka ia mempercepat langkahnya memburu ke depan, namun ketika mencapai satu dua kaki lagi dari hadapan orang itu, tiba tiba ia meraskaan sesuatu keadaan yang tidak beres.   Menanti ia sudah semakin dekat dan dapat melihat semuanya dengan lebih jelas, tak tahan lagi pemuda itu menjerit sekeras kerasnya seperti orang histeris.   Ternyata orang itu bukan berdiri bersandar pada pohon, melainkan dadanya telah ditembusi pedang yang mana ujung pedangnya menembusi punggungnya dan memantek diatas dahan pohon ooodowooo Orang itu tertunduk rendah rendah,jelas sudah mati agak lama.   Dikala Ong It sin mengetahui bahwa orang itu sudah tewas hatinya sangat bergetar karena kaget secara beruntun ia mundur sejauh dua langkah lebih.   Tapi dua langkah kemudian kembali ia berhenti, sesudah menenangkan hatinya timbul keinginan untuk melihat siapa gerangan orang itu.   Dengan memberanikan diri kembali ia melangkah kedepan lalu didongakkan kepala sang mayat yang terkulai ke bawah itu.   Masih mendingan kalau tidak ia periksa raut wajah orang itu, begitu kepala mayat tersebut didongakkan, kontan saja hatinya menjadi tercekat dan sukmanya serasa melayang meninggalkan raga...   Ternyata kulit wajah mayat itu sudah disayat orang sehingga meninggalkan daging wajahnya yang merah dan penuh berlepotan darah.   Ong It sin merasa sepasang kakinya menjadi lemas dan tubuhnya ikut roboh ke belakang, teriaknya seperti orang kalap.   "Aduuuh mak tolong..."   Sekuat tenaga ia merangkak pergi dari situ, napasnya terengah engah tapi selangkahpun ia tak mampu bergeser, ia merasa seakan akan kehilangan segenap tenaga.   Rasa takut dan ngeri yang mencekam perasaannya saat itu pernah dialami sebelumnya dimasa lampau, waktu itu hujan sangat deras dan ia dalam perjalanan pulang ke perkampungan keluarga Li.   Untuk berteduh dari hujan di suatu kuil bobrok ia telah menjumpai empat orang anggota perkampungan tewas dengan kulit wajah merah tersayat..   Tanpa terasa sekujur badan Ong It sin gemetar keras, ia tahu kematian orang ini pertanda akan terjadinya peristiwa besar di sekitar tempat itu, seperti juga apa yang pernah terjadi di perkampungan keluarga Li tempo hari.   Lama sekali Ong It sin terduduk diatas tanah kemudian dengan sangat hati hati ia merangkak bangun, ia tak berani menyentuh mayat itu lagi, pemuda itu hanya berani berdiri di tempat kejauhan sambil mengamati orang tersebut.   Setelah kulit wajah orang itu disayat orang, sudah barang tentu raut wajahnya tak dapat dkenali kembali.   Tapi dari pakaian yang dikenakan orang itu, Ong It sin merasa kenal sekali, ia merasa seakan akan pernah berjumpa dengan orang ini.   Dengan kening berkerut Ong It sin termenung sebentar, tiba tiba ia teringat kembali siapakah orang, ternyata orang itu adalah salah seorang laki laki yang sekomplot dengan Ik tianglo.   Betapa terkesiapnya si anak muda itu setelah teringat pula bahwa orang itu adalah anggota benteng Khekpo.   Pikirnya kemudian dengan cepat.   "Heran, menurut apa yang kuketahui, benteng Khekpo mempunyai daya pengaruh serta kekuasaan yang besar disekitar tempat ini, Khekpo pocu juga seorang jago persilatan yang berilmu tinggi siapakah yang begitu berani mencelakai jiwa anggota bentengnya...?"   Tentu saja Ong It sin tak akan berhasil memecahkan persoalan ini, apa yang dirasakan hanya terbatas pada rasa heran belaka.   Anak muda itu tidak berdiam lebih lama lagi disitu, ia melanjutkan kembali perjalanannya ke depan, entah berapa saat kemudian diatas sebuah pohon kembali ditemukan seseorang terpantek di atas pohon, kulit wajah orang itupun telah disayat orang.   Kejut dan heran perasaan Ong It sin, perjalanan dilanjutkan dengan lebih cepat lagi menjelang hari mulai gelap.   ia telah menemukan empat orang tewas dalam keadaan yang sama.   Kembali Ong It sin berpikir.   "Keempat orang anak buah Ik tianglo telah kedapatan semua disini, tapi kenapa perginya Ik tianglo? Waaah... kalau dilihat dari suasananya di sekitar tempat ini sudah pasti diapun tidak berada dalam keadaan selamat. Kalau Ik tianglo sampai ikut terancam jiwanya... bukankah keselamatan sang bocahpun sangat berbahaya...?"   Berpikir sampai disitu, si anak muda itu merasa kan sekujur badannya menjadi dingin karena basah oleh keringat.   "Ik tianglo Ik tianglo... apakah kau telah mengalami musibah?"   Teriaknya kemudian dengan suara lantang^ Sebagaimana diketahui, pemuda itu adalah seorang yang bodoh, apa yang dipikirkan selamanya diutarakan secara jujur, karena ia tidak berharap Ik tianglo ketimpa musibah, otomatis diapun bertanya secara begitu gamblang...   Setengah li sudah lewat namun tak kedengaran seorang manusia yang menjawab pertanyaannya itu tapi ketika ia berhenti dan coba memperhatikan keadaan sekitarnya dengan seksama, akhirnya ditangkapnya suara rintihan yang amat lirih berkumandang tak jauh dari situ.   Pendekar Bego Karya Can di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo      Waktu itu langit sudah gelap.   cahaya bintang dan rembulanpun amat redup, membuat suasana hanya terasa remang-remang.   Mengikuti arah berasalnya suara rintihan itu, Ong It sin berjalan mendekatinya, ternyata suara tadi berasal dari balik semak belukar yang amat lebat.   Sayang suasana amat gelap sehingga sulit untuk mengetahui apakah dibalik semak itu ada seseorang yang menyembunylkan diri atau tidak.   Akhirnya ia berhenti sambil menegur.   "Siapa disitu siapa yang bersembunyi dibalik semak belukar? Hayo cepat menjawab"   Rintihan itu segera terhenti sejenak, tapi tak lama kemudian terdengarlah suara seseorang yang lemah berkumandang.   "Ksatria Ong kah disitu? Barusan... apakah kau yang memanggil diriku?"   Ong It sin tertegun.   "Hey, rupanya kau adalah It tianglo?"   Teriaknya.   "Bee... benar aa... aku..."jawaban dari balik semak itu makin lemah dan lirih. Buru buru Ong It sin memburu kedepan menyingkap semak dan melangkah masuk ditemukan tubuh ik tianglo tergeletak disitu dan melingkar menjadi satu. Dalam semak belukar cuma ada Ik Tianglo tapi bocah itu tak nampak batang hidungnya ini semakin mencemaskan hati si anak muda itu.   "Hey, dimana perginya bocah itu?"   Tegurnya.   "Ik tianglo, kemana perginya bocah yang telah kau rampas itu? Apakah telah kau hantar kebenteng Khekpo?" 0oood-wooo0   Jilid 8 TUBUH Ik tianglo bergetar pelan tapi sekujur badannya semakin melingkar jadi satu.   "Bocah... bocah itu telah...telah dirampas orang"   Bisiknya kemudian teramat lirih.   "Siapa yang telah merampasnya? Siapa?"   Teriak pemuda itu panik.   "Say... siu... jin-.. mo..."   Empat patah kata itu diucapkan berputus-putus, untuk melontarkan setiap patah katapun membutuhkan tenaga yang teramat besar. Menanti kata "mo"   Telah diucapkan, tiba tiba badannya mengejang keras...   Kemudian tiba tiba badannya melejit ke udara setinggi dua tiga depa lebih, ketika dadanya terbanting kembali ke atas tanah, ia tak berkutik lagi, jelas jiwanya sudah melayang meninggalkan raganya.   Dibawah cahaya rembulan yang redup, dapat dilihat kulit wajah Ik tianglo masih utuh, cuma sekujur badannya penuh dengan luka, pada hakekatnya ia telah berobah menjadi seorang manusia darah.   "Say siujin mo... manusia iblis berwajah singa... siapa gerangan iblis ini..."   Gumam Ong It sin berulang kali.   "Hey, jangan-jangan gembong iblis yang dimaksudkan adalah Say siujin mo yang pernah disebut sebut engku ku setelah Ciong lay su shia mengobrak abrik perkampungan keluarga Li?"   Setelah termenung sebentar, anak muda itu kembali berpikir.   "Konon gembong iblis yang berilmu sangat tinggi ini telah tewas lama sekali, mungkinkah Say siujin mo yang dimaksudkan Ik tianglo sekarang adalah orang yang sama dengan orang dulu?"   Setelah mengetahui bahwa sang bocah telah dirampas orang, hatinya merasa kacau sekali, pikirannya kalut dan tak tahu apa yang sedang dipikirkan.   Pada saat itulah, tiba tiba ia mendengar suara bentakan bentakan nyaring berkumandang dari kejauhan sana.   Kemudian muncul pula empat sosok bayangan manusia yang dengan cepat telah meluncur tiba.   Sungguh cepat gerakan tubuh keempat orang itu, dalam sekejap mata mereka telah tiba didekatnya.   Begitu mencapai tempat tersebut, keempat orang itu berpekik nyaring lalu menyebarkan diri ke empat penjuru dan mengurung Ong It sin ditengah arena.   Ong It sin merasa tercengang dan tidak habis mengerti, dia tak tahu permainan apakah yang sedang dilakukan orang orang itu.   Setelah mengerdipkan matanya, ia mencoba untuk memperhatikan raut wajah keempat orang itu, ternyata tiga orang diantaranya sudah pernah dijumpainya.   Keempat orang itu memakai baju sama dengan warna berbeda, orang mengenakan baju berwarna hitam, seorang berbaju kuning dan dua orang lainnya yang satu memakai baju merah dan yang terakhir memakai baju putih.   Ong It sin tahu mereka semua berasal dari benteng Khekpo.   Mulutnya telah dibuka siap hendak memberitahukan kepada mereka kalau bocah itu sudah dibawa kabur orang, tapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu manusia berbaju putih itu telah berkata.   "Eehmm... ternyata bukan Ik tianglo, semestinya Ik tianglo berjalan lewat tempat ini"   Ong It sin segera menuding kearah semak belukar ditepi jalan sambil menimbrung.   "oh, kalian sedang mencari jejak Ik tianglo? Dia berada disini"   Baru habis si anak muda itu berkata keempat orang itu sudah menggerakkan tubuhnya menyusup ke arah semak belukar.   Kiranya keempat orang ini ditambah dengan Ik tianglo disebut orang sebagai Khek Po ngo toa tianglo (lima orang tianglo dari benteng Khekpo) Setelah menjumpai mayat Ik tianglo tergeletak dalam keadaan mengenaskan, tak kuasa lagi keempat orang itu menghela napas sedih.   Lewat beberapa saat kemudian, Goan tianglo baru berkata.   "Siapa suruh dia berhati busuk dan timbul niat jahatnya untuk merampas Siau pocu dan ingin mengancam pocu? Kini ia mati dalam keadaan mengerikan, itulah ganjarannya bagi orang yang berhati busuk"   "Betul"   Sambung ketiga orang lainnya sambil manggut manggut.   Ong It sin, yang berada di samping cuma berdiri ketolol-tololan.   Ketika bocah itu dirampas untuk pertama kalinya oleh Ik tianglo, dia masih mengira kalau bocah itu oleh Ik tianglo sedang dihantar pulang ke benteng Khekpo, mimpipun dia tak mengira kalau Ik tianglo berniat jahat dan merampas bocah itu karena hendak digunakan untuk kepentingan pribadi.   Kendatipun demikian, dia masih mengira nasib bocah itu tidak akan seburuk keadaan sebelum terjatuh ke tangan Say siujin mo, maka hatinya bukan menjadi tegang malah sebaliknya jauh lebih lega.   Karenanya ketika mendengar perkataan itu, dia segera ikut menimbrung.   "oooh... rupanya Ik tianglo bukan orang baik baik"   Gumaman tersebut sama sekali tidak digubris orang, bahkan diperhatikanpun tidak, seakan-akan pernah ada orang lain yang hadir disitu. Selang sesaat kemudian, tiba tiba Tay tianglo berseru tertahan "Kalau begitu dimanakah siaupocu sekarang?"   Tadi, persoalan yang dipikirkan keempat orang itu hanya persialan sekitar dosa yang dilakukan Ik tianglo, hampir boleh dibilang tak seorangpun yang berpikir kesitu, maka setelah disinggung oleh Tay tianglo mereka baru saling berpandangan dengan wajah berubah.   "Aku tahu soal ini..."   Timbrung Ong It sin. Tapi sebelum ucapan itu sempat diselesaikan, Goan tianglo telah memutar badannya sambil membentak.   "Tak usah turut campur, tutup mulutmu"   Ong It sin tidak menggubris bentakan itu, katanya kembali.   "Aku tahu dimanakah siaupocu berada"   Mendengar perkataan itu, serentak empat orang itu berpaling sambil bertanya.   "Dia berada dimana?"   "Dirampas orang, orang yang merampasnya bernama Say siujin mo (manusia iblis berkepala singa)..."    Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Perangkap Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini