Geger Solo 2
Geger Solo Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Nuryati meronta-ronta dari pelukan Prayitno. Orang muda itu yakin bahwa kalau ia melepaskan, tentu wanita ini akan nekat dan sekali ia terseret air yang mengganas itu, takkan dapat tertolong lagi. Maka ia mempererat pegangannya, memegang tangan kiri Nuryati dan membujuk-bujuknya.
"Sudahlah, mbak, jangan nekat. Nanti kubantu mencari dengan getek. Percuma kau mengejar, membuang nyawa sia-sia"."
Nuryati marah sekali, merasa dihalang-halangi maksudnya hendak menolong Iryanto anaknya.
"Lepaskan aku! Pergi kau! Perduli apa dengan aku? Aku hendak menyusul anakku"
Lepaskan". Ah, Yanto". tunggu".!"
Nuryati meronta-ronta, memukul, bahkan menggigit tangan Prayitno. Bingung orang muda ini. Gigitan Nuryati tidak main-main, sampai berdarah tangannya dan terpaksa dilepaskan tangan kiri yang dipegangnya, akan tetapi sebelum Nuryati berenang jauh, ia sudah menangkap lagi. Prayitno maklum bahwa kalau begini jadinya, ada kemungkinan dia sendiri akan terseret dan terbawa hanyut. Demi menolong nyawa wanita ini, pikirnya.
"Maaf, mbak"."
Bisikya dan tangan kanannya melayang, menampar tengkuk Nuryati, keras.
"Oohh"."
Nuryati semaput terkena pukulan pada tengkuknya dan ia tak berdaya lagi ketika Prayitno menyeretnya ke tempat yang tidak deras airnya.
Dia berpegang pada cabang pohon, tubuh yang lemas itu dirangkul dengan tangan kiri, matanya mencari-cari. Celaka, geteknya telah hanyut entah ke mana ketika ia sedang bergulat dengan Nuryati tadi. Untuk berenang sambil menarik tubuh Nuryati memang dapat, akan tetapi juga berbahaya sekali. Di perkampungannya yang tidak dikenalnya ini, ia tidak tahu di mana bekas-bekas jalan yang sekarang dijadikan semacam bengawan kecil yang deras oleh air bah. Akan tetapi ke jurusan mana? Jangan-jangan ia malah akan tersasar ke jurusan berbahaya. Dalam keadaan gelap dan geger seperti itu memang sukar diketahui bagian mana yang aman, bagian mana yang berbahaya. Kawan-kawannya tentu tidak jauh. Tadi Hok Siang si juara renang itu, geteknya tidak berjauhan dengan dia.
"Ahoooiii!!"
Prayitno berteriak keras sekali, mempergunakan sebelah tangan sebagai corong depan mulutnya. Suaranya yang nyaring memekikkan code bagi kawan-kawannya ini mengatasi suara hiruk-pikuk banjir.
"".ooiiiii".!"
Dari jauh terdengar jawaban, sayup-sayup. Prayitno girang sekali dan mengulang pekiknya. Diam-diam ia menatap wajah wanita yang ditolongnya. Di dalam gelap wajah itu kelihatan putih pucat seperti muka mayat. Mudah-mudahan dia tidak akan siuman sebelum berada di tempat aman, pikir Prayitno. Kalau sampai siuman di sini, berabelah. Ia tak sampai hati untuk memukul lagi, betapapun mutlak untuk perlakuan seperti itu terhadap seorang yang nekat seperti ini. kasihan dia, pikirnya sambil memekik lagi memanggil kawan. Sebuah getek muncul. Ternyata bukan Hok Siang, melainkan Barjo dan Ping Hin seorang pemuda Karangasem yang rumahnya juga terendam air dan kini bersama para pemuda Hanra lainnya beramai-ramai menolong para korban banjir.
"Hin"", Jo".., sini".!"
"Eh, siapa yang kautolong ini?"
Masih hidupkah?"
Tanya Ping Hin yang cepat mendayung getek mendekati Prayitno.
"Seorang ibu, anaknya hanyut,"
Jawab Prayitno singkat. Tubuh yang pingsan itu didudukkan di atas getek, bersandar pada Prayitno.
"Kalian harus berenang, mendorong dari belakang agar getek tidak terguling,"
Kata pula Prayitno. Ping Hin segera meluncur ke air dan mendorong. Getek miring-miring.
"Jo, kaupun harus turun. Terlampau berat."
"Aku". aku tak pandai berenang"."
Barjo menjawab takut-takut.
"Apa"..?"
Prayitno kaget.
"Tak pandai berenang berani sampai tempat ini?"
"Itulah,"
Ping Hin berkata.
"Akupun sudah melarangnya tadi. Yang tidak pandai berenang lebih baik membantu di bagian yang tidak dalam, atau di bagian daratan menolong para korban dan pengungsi."
"Habis".. siapa tahan mendengar jerit-jerit minta tolong itu? aku harus ikut menolong, biarlah nyawaku taruhannya!"
Jawab Barjo. Naik rasa haru mencekik leher dari dada Prayitno. Kiranya bukan dia sendiri, bukan hanya Barjo yang gagah berani. Mungkin pada saat itu semua orang menemukan kembali perikemanusiaannya, digerakkan oleh kekuasaan tertinggi yang tak tampak. Setiap orang manusia pada saat itu seperti itu pasti bangkit perikemanusiannya, bersatu padu menghadapi malapetaka, saling membantu, saling menaruh kasihan.
"Baiklah kalau begitu, kau duduk di sini. Hati-hati, pegang dia kuat-kuat karena kalau dia siuman, tentu dia akan nekat terjun ke air mencari anaknya,"
Kata Prayitno. Barjo menggantikan Prayitno memegangi Nuryati sedangkan Prayitno bersama Ping Hin berenang di depan dan belakang getek, mendorong dan membawa getek keluar dari daerah berbahaya. Kedatangan Prayitno disambut gembira oleh kakek Setro yang sudah merasa kuatir sekali karena lama cucunya tidak muncul. Sebaliknya ketika Prayitno melihat kakeknya dengan pakaian basah kuyup, kopyahnya hilang karena hanyut terbawa air, muka yang kurus itupun basah, kini kelihatan menggigil kedinginan, hatinya terharu sekali. Ia merangkul kakeknya dan berkata,
"Eyang, harap suka menyusul ayah, berganti pakaian kering. Eyang bisa masuk angin nanti,"
Kata Prayitno.
"Betul itu, mbah Setro sebaiknya pulang saja. Biarlah yang muda-muda begini bertandang."
"Siapa bilang aku sudah terlalu tua untuk menolong orang lain?"
Suara mbah Setro galak. Orang-orang muda itu tersenyum maklum.
"Bukan begitu, eyang. Lihat ini, wanita ini kutemukan sedang mencari anaknya yang hanyut. Dia berenang dan hampir nekat. Terpaksa kubawa dengan kekerasan, kalau tidak dia sendiri akan binasa. Aku bingung bagaimana harus menolongnya sekarang. Dibiarkan saja tentu tak baik. Pakaiannya juga basah kuyup. Apakah tidak sebaiknya eyang menolongnya, membawanya ke rumah paman dan di sana tentu ibu akan dapat menolongnya lebih lanjut.
(Lanjut ke Jilid 02)
Geger Solo (Banjir Bandang)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
(Jilid 02)
Mbah Setro memang sejak tadi merasa kedinginan, akan tetapi ia tidak mau menyatakan ini. Pantang mundur dalam menolong para korban. Sekarang ia mendapat kesempatan. Kalau ia pulang sekarang, melainkan demi menolong perempuan ini. Ia menarik napas panjang. Sekarang ia mendapat kesempatan. Kalau ia pulang sekarang, bukan karena takut dingin atau tidak kuat, melainkan demi menolong perempuan ini. Ia menarik napas panjang.
"Baiklah". aku antar dia""
Ke Jebres"."
"Siapa bisa membecak? Antar eyang ke Jebres. Pinjam becak koh Kim!"
Kata Prayitno. Seorang tukang becak yang juga sibuk membantu para korban segera mengajukan diri. Mudah saja mendapatkan sebuah becak pinjaman dari Tek Kim dan mbah Setro bersama Nuryati yang masih pingsan diantara ke Jebres.
Lega hati Prayitno. Tadi yang merupakan ganjalan di hatinya hanya keadaan kakeknya. Memang ia merasa bangga bahwa kakeknya dengan berani seperti para muda ikut bertandang, malah berani memasuki daerah berbahaya dekat tanggul. Namun diam-diam ia merasa kuatir sekali. Ia tahu bahwa eyangnya itu seringkali terserang batuk, apabila di musim dingin. Sekarang berbasah-basahan seperti itu, betul-betul amat menguatirkan hatinya. Sekarang eyangnya sudah pergi ke Jebres, juga ia sudah dapat menolong seorang nyawa wanita, kegembiraannya timbul, semua kelelahan lenyap dan Prayitno bersama kawan-kawannya kembali ke daerah berbahaya untuk menolong korban-korban lainnya. Masih banyak sekali orang-orang perlu ditolong, dikeluarkan dari daerah berbahaya. Malah masih terlalu banyak.
Sukarnya, keadaan amat gelap dan air bah amat kuat dan deras sehingga kadang-kadang untuk menyeberang sebuah "bekas jalan"
Aja menggunakan getek amatlah sukarnya. Menjelang pagi setelah keadaan tidak begitu gelap lagi, hati para pemuda satria ini lebih ringan. Tentu akan lebih mudah menolong di waktu hari terang. Akan tetapi, kiranya tidak demikian kenyataannya. Air masih saja menaik dan makin deras. Pula, sekarang sekarang gerakan para penolong terhalang oleh balok-balok besar yang mengambang, yang seperti perahu-perahu besar malang melintang mendobraki rumah-rumah bilik. Terhalang pula oleh lemari-lemari yang mengapung, oleh rumah-rumah yang roboh dan kini terapung-apung piannya malang-melintang. Dan orang-orang yang perlu ditolong masih amat banyaknya. Setelah hari menjadi pagi, berbondong-bondong datanglah bala bantuan, terutama sekali dari ABRI.
Makin lancarlah usaha pertolongan terhadap para korban yang perlu ditolong keselamatannya dan perlu diungsikan ke tempat aman. Sekolah-sekolah penuh dibanjiri pengungsi, rumah-rumah perkumpulan dan rumah-rumah penduduk yang besar, semua menampung pengungsi tanpa pilih bulu, tanpa pilih kasih dan tanpa hitungan. Tangan-tangan penuh keharuan, penuh perikemanusian diulurkan dengan rela dan jujur untuk menolong sesama manusia yang menderita malapetaka. Sekolahan Warga, sekolahan Sin Min, gedung perkumpulan P M S dan banyak lagi gedung-gedung besar lain baik gedung sekolah-sekolah maupun perkumpulan-perkumpulan, semua penuh dengan pengungsi yang terdiri dari macam-macam golongan, tua muda kaya miskin yang sudah tak berumah lagi, diusir oleh air Bengawan Solo!
Orang tak menghiraukan harta benda. Yang terpenting dan harus diutamakan penyelamatannya adalah nyawa, nyawa manusia. Nyawa tikus, kucing, anjing tak dihiraukan orang. Bangkai-bangkai binatang ini terapung di mana-mana, membengkak seperti dari karet. Sapi-sapi peras berenang sendiri-sendiri menyelamatkan diri. Banyak yang mati. Di antaranya sebelum terlambat disembelih orang-orang, dagingnya dibagi-bagi. Tentu seijin pemiliknya. Memang, lebih baik dipotong sebelum mati konyol dan menjadi bangkai yang hanya akan menambah pekerjaan dan kotoran belaka. Banyak pula hal-hal yang membikin mengkal hati para pasukan penolong korban banjir ini. Bayangkan saja. Orang-orang dengan susah payah, malah dengan resiko pengorbanan nyawa, datang menempuh bahaya untuk menolong mereka yang tak sempat menyelamatkan diri.
Masa ada orang (banyak yang demikian ini) yang berkukuh, tidak mau meninggalkan rumahnya, nekat duduk di atas genteng untuk menjaga rumah dan harta benda agar jangan diganggu orang dan kepada para penolong itu dia hanya minta dikirim makan dan minum! Yang lebih memarahkan hati lagi adanya peringatan dari para petugas bahwa dalam keadaan geger seperti ini ada orang-orang yang sengaja mencari keuntungan besar dengan jalan memasuki rumah-rumah yang kebanjiran dan ditinggal pergi penghuninya untuk mengambil barang-barang berharga! Bayangkan saja. Andaikan dosa itu bertingkat, kiranya tingkat dosa mencuri barang-barang orang yang sedang ditimpa malapetaka macam ini merupakan dosa tingkat tertinggi! Dan tak dapat disangsikan lagi bahwa andaikata ada pencuri seperti ini sampai terjatuh ke tangan rakyat, sudah pasti ia akan hancur lebur dikeroyok rakyat.
"Kita harus waspada,"
Kata Prayitno kepada teman-temannya.
"buka mata baik-baik terhadap penjahat-penjahat yang tak berperikemanusian yang memasuki rumah-rumah kebanjiran. Kita harus tumpas orang-orang seperti itu."
Dengan teratur dan hati-hati banyak keluarga yang masih berada di loteng rumah, di atas genteng atau di mana saja asal air tak dapat mengejar mereka, diturunkan dan ditolong, dinaikkan getek-getek darurat dan dibawa ke tempat aman. Air maih terus menaik.
"Siapa di sana itu?"
Tiba-tiba Prayitno berseru ketika ia melihat seorang pemuda bertubuh tegap mendayung getek seorang diri memasuki perkampungan dan nampak tergesa-gesa.
"Dia Rahmanto, katanya hendak menolong korban banjir. Dia pemberani dan terkenal jagoan di kampungnya, ahli berenang pula. Sejak tadi pagi dia banyak menolong korban seorang diri saja."
Kata Hok Siang.
"Ah, pemuda sombong, kementus! Kulihat sendiri tadi ia mengutamakan menolong gadis-gadis cantik. Lihat saja nanti, tentu gadis lagi yang ditolongnya. Orang macam itu memang mempergunakan kesempatan. Kalau tidak lagi begini mana dia bisa mendekati gadis-gadis cantik?"
Kata Barjo dengan nada gemas. Prayitno tersenyum.
"Ih, kenapa kau seperti iri hati? Menolong gadis atau nini-nini, namanya menolong juga, apa bedanya? Mungkin kebetulan saja yang ditolongnya gadis-gadis. Masa mau menolong saja harus memilih gadis, yang cantik pula?"
"Eh, kau tidak percaya, mas Yitno? Aku melihat dengan mataku sendiri siang tadi. Ada keluarga sudah dinaikkan getek. Celakanya, geteknya terguling. Keluarga itu terdiri dari seorang ibu, seorang gadis dan tiga orang adik-adiknya yang masih kecil. Eh, yang ditolong lebih dulu adalah gadis itu! Keluarga yang lain ia biarkan ditolong oleh orang-orang lain. Menggemaskan tidak?"
Prayitno hanya tersenyum dan ia memandang ke arah pemuda tegap berkemeja biru muda yang menghilang di balik sebuah rumah besar, rumah gedung yang sudah setengahnya lebih terendam air banjir.
"Kita ke mana sekarang?"
Tanya Ping Hin yang berada di sebuah getek lain bersama Parlan, Sayono dan lain-lain.
"Kita harus berpencar. Enam orang ke Sangkrah. Di pabrik limun De Hoop banyak pengungsi perlu ditolong. Enam orang, rombonganku, ke Kampung Sewu,"
Kata Prayitno.
Mereka berpencaran, tiga buah getek ke Sangkrah dan tiga buah lain ke Kampung Sewu. Setiap buah getek ditumpangi dua orang pemuda.
"Eh, mas Yitno, agaknya kau hendak melongok rumah Ningsih, ya?"
Barjo berkata, menggoda Yitno kawan segetek. Yitno tersenyum masam.
"Ada-ada saja kau, Jo. Apa hanya Ningsih yang tinggal di Kampung Sewu? Daerah itu diamuk banjir, kiranya di sana tempatnya kalau kita hendak mengulurkan tangan membantu para korban. Apa kau lebih suka bermain perahu di alun-alun atau di Pasar Gede, menjadi lagak?"
"Heh-heh, aku hanya main-main, mas Yitno."
"Tidak apa, Jo, akupun tidak apa-apa. Mudah-mudahan saja Ningsih dan keluarganya sudah mengungsi semua."
Dua getek lain yang ikut dengan Yitno ke Kampung Sewu ditumpangi oleh Hok Siang, Parlan, Sayono dan Agus Sihmanto. Di tempat yang termasuk sebagai daerah berbahaya ini mereka bertemu dengan rombongan lain, sebagian besar para anggauta Hanra yang dipimpin oleh Maridi dari Mertokusuman. Segera para pemuda ini mengangkuti para korban yang perlu sekali diungsikan karena air masih saja menaik. Prayitno membawa geteknya ke sebelah selatan. Betapapun juga, setelah tiba di kampung itu ia harus melihat keadaan rumah Ningsih Puspaningsih, demikian nama lengkap gadis itu, adalah seorang gadis bekas murid ayahnya dan sudah beberapa kali berkunjung ke rumahnya.
Dengan dia kenal baik dan agaknya ada tanda-tanda bahwa diantara mereka tumbuh semacam perasaan yang mesra. Akan tetapi, selalu Prayitno yang meragu dan mengundurkan diri. Pengalamannya satukali masih merasa perihnya di hati. Prayitno sudah pernah menikah dengan seorang gadis modern dari Semarang. Akan tetapi, hanya setengah tahun ia dapat bertahan. Tak sesuai faham, tak cocok watak, selalu isterinya mengajak cekcok dan akhirnya bercerailah mereka. Prayitno menjadi hialgn semangat untuk menikah lagi. Memang, harus diakui bahwa diam-diam ia amat tertarik kepada Ningsih yang cantik manis. Akan tetapi, ah". Ningsih masih kekanak-kanakan, paling banyak enambelas tahun usianya. Dia sudah duapuluh lebih, malah sudah duda. Barjo dapat mengerti kehendak hati Prayitno, maka tanpa banyak bertanya kawan inipun mendayung getek menuju ke kampung Ningsih.
"Lho, siapa itu, mas Yitno".?"
Tiba-tiba Barjo menundigkan telunjuknya ke depan. Tadinya Prayitno mengira bahwa Barjo menunjuk ke arah orang-orang yangminta tolong dari sebuah loteng, yang melambaikan tangan minta tolong. Akan tetapi ketika ia memandang ke bawah, ia melihat Ningsih dirangkul oleh pemuda tegap yang berenang melawan arus air.
"Tolong"..!"
Pemuda tegap itu berseru ketika melihat getek.
"Hemmm, dia lagi,"
Gerutu Barjo.
"celaka, yang ditolongnya Ningsih sekarang"..!"
Akan tetapi Prayitno tidak memperdulikan gerutu kawannya, cepat mendayung getek mendekati. Ningsih masih setengah pingsan dan menangis sambil terbatuk-batuk ketika dinaikkan ke atas getek. Pemuda tegap yang bukanlain adalah Rahmanto itu naik ke atas getek pula. Getek kecil itu mana kuat menahan empat orang. Prayitno mengalah dan meluncur turun, Barjo setelah meragu sebentar juga meluncur turun.
"Mana getekmu? Dan dari mana kau menolong Ningsih ini?"
Tanya Barjo dengan suara dingin. Pemuda itu memandang dengan kening berkerut.
"Getekku hanyut. Nona ini tadinya naik getek bersama ayahnya, akan tetapi geteknya terguling. Ayahnya dapat berenang ke sebuah rumah dan selamat, aku terpaksa terjung menolongnya."
Di dalam kata-kata pemudaini terdengar suara bangga.
"Tolong antarkan kami berdua ke tempat aman."
Barjo hendak membantah, akan tetapi Prayitno yang sudah melihat orang-orang di loteng itu melambai-lambai minta tolong, berkata,
"Kau antarkan mereka ini ke tempat aman, Jo. Biar aku akan berenang ke loteng itu. Kutunggu kau di loteng itu, lekas kembali!"
Terpaksa Barjo mentaati perintah ini dan berenang menyurung getek itu keluar dari daerah berbahaya. Prayitno cepat berenang ke rumah berloteng di mana terdapat beberapa orang yang melambaikan tangan minta tolong. Setelah dekat, ia melihat bahwa yang melambaikan tangan adalah seorang wanita setengah tua yang berkata kepadanya.
"Tolong, tuan". rumah kami dimasuki pencuri".!"
Prayitno cepat menyambar talang rumah dan merayap naik ke loteng. Ia berhadapan dengan seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki yang berwajah pucat.
"Pencuri? Di mana dia?"
Tanya Prayitno siap untuk bertindak.
"Tadi". tadi dia membobol genteng bawah, di belakang". memasuki rumah bawah."
"Mana jalannya menuju ke bawah, nyonya?"
Tanya Prayitno.
"Ke sini tuan".. mari ikut"."
Nyonya setengah tua itu bersama laki-laki tua menunjukkan jalan turun melalui anak tangga yang sudah setengahnya lebih terendam air. Prayitno dengan berani menuruni anak tangga, lalu berenang ke tengah ruangan bawah yang penuh air. Akan tetapi ia tak melihat adanya pencuri.
"Tidak ada orang di bawah situ, nyonya,"
Katanya setelah naik lagi sambil menghapus air dari mukanya.
"Ah, celaka".."
Nyonya itu menangis.
"kami tadi mendengar betul ada orang. Suara air jelas terdengar dari sini dan suara lemari dipukul benda keras. Aduh, tolonglah tuan, tolong periksa lemari di kamar saya". di situ saya simpan perhiasan saya"."
Mengkal juga hati Prayitno mendengar permintaan wanita ini. Segala macam urusan harta, pikirnya. Akan tetapi demi melihat wajah wanita yang menangis itu, seakan-akan seluruh harapan hidupnya diserahkan kepadanya, dan mengingat lagi bahwa benar-benar perbuatan biadab mencuri barang milik orang yang sedang tertimpa malapetaka, ia lalu berenang turun lagi. Benar-benar saja, ia mendapatkan sebuah lemari sudah terbuka, isinya pakaian dan lain-lain berantakan tidak karuan.
"Di tengah-tengah ada lacinya, tuan. Dalam laci ada blik kecil. Tolong ambilkan blikkecil itu".."
Demikian wanita tadi memesannya ketika ia hendak turun. Sekarang ia melihat laci sudah terbuka, tidak ada blik di dalamnya. Terpaksa ia keluar lagi menyampaikan berita ini.
"Apa"..? Hilang"..? Aduhhh""
Celaka"."
Dan wanita itu menjadi lemas, pingsan dalam pelukan laki-laki tua. Kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki tua itu adalah bahasa Tionghoa, sehingga Prayitno tidak tahu artinya, akan tetapi ia dapat mengira-ira bahwa laki-laki tua itu tentu menghibur isterinya.
"Sudahlah, nyonya, jangan menangis. Katakan saja apa barang-barangnya yang hilang, saya akan melaporkan kepada yang berwajib,"
Katanya. Dengan terisak-isak nyonya itu mengatakan bahwa barang-barang simpanannya adalah sepasang giwang berlian, sepasang gelang emas dan sebuah cincin bermata tiga berlian. Prayitno mencatatnya di dalam hati dan berjanji akan melaporkan kehilangan itu.
"Lebih baik nyonya dan tuan nanti ikut dengan aku mengungsi ke tempat aman."
"Tidak, terima kasih pak,"
Kata nyonya itu.
"Kami akan berada di sini, kiranya air takkan menaik sampai ke loteng ini."
Prayitno mengukur dengan pandang matanya.
"Memang agaknya takkan mungkin setinggi ini naiknya. Akan tetapi, bagaimana kalian makan?"
Geger Solo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami membawa beras ke loteng, bisa masak di sini. Hanya minumnya".. sukar juga. Air banjir amat kotor.
"Karena itu lebih baik mengungsi dulu."
Akhirnya suami isteri itu menurut dan ketika Barjo kembali dengan geteknya, mereka turun ke atas getek. Prayitno dan Barjo terpaksa berenang lagi untuk menolong getek.
"Bagaiman dia, Jo?"
Tanya Prayitno sambil lalu.
"Beres, sudah bertemu dengan ayahnya. Ningsih dan ayahnya tadinya akan mengambil barang-barang berharga di rumahnya. Kata ayahnya memang aneh sekali, getek mereka tiba-tiba saja terguling dan tahu-tahu muncul Rahmanto itu yang menolong Ningsih. Mereka amat berterima kasih kepada Rahmanto, hemm".. kau kalau zet, mas Yitno."
"Hush, masa menolong dipakai bertanding atau berlumba?"
Etelah menyelamatkan beberapa orang lagi, malam tiba. Terpaksa usaha pertolongan mengungsikan orang-orang sementara ditunda karena malam amat gelap dan air belum juga turun.
Prayitno amat lelah. Semalam suntuk diteruskan sehari penuh dia bekerja. Agaknya air yang selalu membuat tubuhnya basah kuyup itu yang menjadikan dia kuat dan tidak terasa ngantuk dan lelahnya. Akan tetapi sekarang ia kedinginan, lapar dan lelah sekali. Karena memang malam itu tidak dapat melakukan usaha pertolongan, Prayitno dan kawan-kawannya kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Tentu saja istilah "pulang rumah"
Ini berlaku bagi mereka yang rumahnya tidak terendam air. Bagi mereka yang terendm air rumahnya (dan sebagian daripada mereka ini terendam rumahnya), tidak bisa pulang rumah lagi, melainkan menyusul keluarga ke tempat pengungsian. Prayitno pergi ke Jebres, ke rumah pamannya. Semua orang di rumah pamannya, terutama sekali ibunya, menyambut kedatangannya dengan girang.
"Yitno, ibumu selalu ribut-ribut saja menguatirkan kau. Padahal sudah berkali-kali kukatakan, seorang lelaki jantan macam kita ini tak perlu dikuatirkan. Kita lawan kalau hanya air banjir saja. Hanya orang laki-laki lemah yang takut akan air dan tak pandai berenang!"
Sambil berkata demikian, kakek Setro melirik ke arah anak mantunya, pak Gunawan. Pak Gunawan merasa akan sindiran ayah mertuanya, akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak kakek ini yang tidak bermaksud buruk maka tersenyum saja. Prayitno juga merasa dan maklum bahwa kakeknya bermaksud mengangkat dia tinggi-tinggi, lebih tinggi daripada ayahnya dan setingkat dengan kakeknya, maka ia segera membela ayahnya atau membela orang-orang yang tak pandai berenang.
"Belum tentu laki-laki yang tak pandai berenang lemah, eyang."
Tiba-tiba ia berhenti bicara karena dari dalam berlari-lari seorang wanita. Wanita yang masih muda, berwajah bulat, bermata lebar. Wajah yang amat manis seperti bulan purnama, sepasang mata yang amat bening dan indah, tubuh yang denok. Wanita yang kalau ia tak salah ingat, ditolongnya ketika mencari anaknya yang hilang, wanita yang menggigitnya yang". Pernah ditempilingnya sampai pingsan! Teringat akan ini, Prayitno menjadi merah mukanya dan tidak berani memandang. Wanita itu, Nuryati, berlari tersaruk-saruk menghampirinya. Tanpa ragu-ragu memegang lengannya dan bertanya, suaranya mengandung isak tertahan, napasnya terengah-engah, dadanya bergelombang,
"Bagaimana, mas".. bagaimana hasilnya? Bagaimana""
Anakku"."
Lengan tangan Prayitno diguncang-guncangnya keras-keras, membuat orang muda itu menjadi bingung dan gugup, tak tahu harus menjawab bagaimana. Tentu saja sambutan yang serentak ini tak pernah ia sangka-sangka dan membingungkannya. Kakek Setro mendekat.
"Kasihani dia, Yit. Nuryati kehabisan akal, menangis selalu. Suaminya hanyut oleh banjir ketika sedang menolong tetangganya, anak tunggalnya hanyut pula. Ahhh"."
Kakek itu menarik napas dan Prayitno maklum bahwa ucapan kakeknya ini mempunyai maksud agar sikap Nuryati itu dimaafkan. Prayitno mengangkat muka, memandang wajah yang bulat bermata lebar, berkulit halus pucat, rambut yang kusut dan bibir yang gemetar itu, lalu menggeleng perlahan,
"Tidak ada ditemukan seorang kanak-kanak hanyut".., mbak. Menyesal sekali"."
"Ahh".. Yanto".. Yanto". anakku"."
Dan perempuan muda itu menangis sambil menutupi mukanya, berjalan tersaruk-saruk kembali ke dalam rumah. Masih terdengar tangisnya dari luar, membuat Prayitno berdiri termangu-mangu, penuh keharuan dan iba hati.
"Kasihan".."
Tak terasa kata-kata ini terloncat dari mulutnya. Kakek Setro menarik tangan Prayitno, diajak mengobrol di sudut yang jauh dari orang-orang lain, suaranya agak bisik-bisik akan tetapi dengan heran orang muda ini mendapat kenyataan bahwa kakeknya bicara dengan nada yang amat serius.
"Yitno, cucuku, kau benar. Memang amat kasihan Nuryati. Betul-betul harus dikasihani dan ditolong. Ahhh, bayangkan saja, sekaligus kehilangan suami dan anak tunggal. Dan dia tidak mempunyai keluarga lain, sudah yatim piatu. Ah, alangkah kejamnya Bengawan Solo. Aku menyesal sekali mengapa bengawan yang paling terkenal di seluruh Jawa ini bisa demikian kejam terhadap seorang wanita seperti Nuryati". ah""
Prayitno memandang tajam.
"Agaknya eyang amat menaruh perhatian atas nasib diri". siapa".. eh, Nuryati itu. Saya rasa, bencana banjir bandang sekali ini menjatuhkan korban yang amat banyak eyang, tidak hanya". mbak Nuryati itu saja yang menjadi korban."
Kakeknya mengangguk-angguk tak sabar.
"Kau betul, akan tetapi"., tidak ada yang seperti Nuryati. Ah".. aku, kau""
Kita harus menolongnya kalau tida".."
"Ada apa, eyang?"
"Kita tidak melihat mukanya? Ahh". Mengingatkan aku akan si Wulan". muka yang bulat terang". mata seperti sepasang bintang"
Ah, Yitno, kau harus menolongnya!"
"Eyang, siapa itu Wulan?"
Eyangnya memandang penuh teguran.
"Eyangmu puteri, kau tidak tahu namanya?"
"Oh, maaf eyang""
Seingatku dahulu disebut orang bu Setro""
"Bodoh! Itu kan nama tuanya, ikut aku. Nama kecilnya Sriwulan. Serupa betul, dan"
Aduh kasihan, Yit. Kalau dia tidak mendapatkan pegangan baru untuk hidupnya mendatang, ada bahayanya dia akan mengambil langkah nekat. Kaupun seorang duda, Yit, masih muda dan gagah. Dia seorang janda muda, cantik denok ayu. Orang perempuan seperti dia itu patut menjadi isteri yang setia dan memuaskan, seperti eyangmu puteri"."
"Eyang"..!"
Bukan main kagetnya hati Prayitno. Kiranya ke sana arah tujuan percakapan ini. Eyangnya hendak menjodohkan dia dengan Nuryati, janda yang kehilangan suami dan anak itu! "Kenapa eyang bicara soal ini?"
"Apa salahnya?"
Kakek Setro mengerutkan kening.
"Kau duda muda, dia janda muda, sudah sepatutnya menjadi jodoh."
"Eyang, belum tentu kalau suaminya sudah mati".."
Mendengar kata-kata ini, kakek Setro seperti baru sadar lalu berdiam diri, cemberut. Agaknya ucapan cucunya itu mengecewakan benar hati dan pikirannya yang sudah terlalu tua untuk disebut normal. Lalu ia masuk ke dalam rumah, bersungut-sungut. Prayitno sendiri lalu bercakap-cakap dengan ayah bunda dan paman serta bibinya, menceritakan semua pengalaman yang dialami selama sehari semalam ini. Pamannya adalah seorang Pembantu Inspektur Polisi bagian Kriminil, maka amat tertarik mendengar penuturan Prayitno tentang pencurian perhiasaan yang dilakukan orang di waktu banjir mengamuk itu. Pandai sekali pamannya ini menghubung-hubungkan sesuat berkat pengalamannya.
"Kalau kau tidak melihat orang-orang lain di saat itu, Yit coba kauselidiki orang muda bernama Rahmanto yang suka menolong gadis-gadis itu. Kau bilang dia berpakaian lengkap, celana panjang dan kemeja? Masa ada orang bertandang menolong orang banjir dengan pakaian lengkap?"
Ucapan pamannya ini menyadarkan Prayitno. Memang mencurigakan sekali tindak-tanduk dan sepak terjang pemuda tinggi besar yang bernama Rahmanto itu. Dia berada di sekitar rumah berloteng yang kecurian, dan tentang getek ayah Ningsih yang terguling secara tiba-tiba, juga amat aneh mencurigakan. Pada keesokan harinya, setelah semalam suntuk ia tidur melepaskan lelahnya, Prayitno pagi-pagi sekali sudah keluar rumah. Ia bertanya kepada kakeknya tentang nama suami Nuryati dan ketika keluar rumah pamannya, tujuannya adalah dua macam. Pertama-tama mendengar-dengar tentang Sukardi suami Nuryati serta mencarinya di tempat-tempat pengungsian.
Kedua kalinya ia akan menyelidiki orang bernama Rahmanto itu di Nusukan, dan sekalian menengok Ningsih. Lega hati Prayitno, seperti hati semua penduduk Solo, bahwa pada pagi hari itu air sudah mulai surut. Kalau tadinya air mengalir deras sekali dari arah bengawan ke kota, sekarang air mengalir deras pula kembali ke bengawan, seakan-akan iring-iringan pasukan yang berbaris pulang cepat-cepat setelah menyerbu ke Solo memperoleh hasil baik! Dua malam sehari air Bengawan Solo berdiam di kota Solo dan sekarang air kembali ke bengawan meninggalkan lumpur tanah liat yang merah kekuningan dan berbau busuk sekali. Dimana-mana tercium bau bangkai seperti bau terasi busuk. Sebagian kota sudah ditinggalkan air, yang belum ditinggalkan seperti Pasar Gede dan Limolasan, air sudah surut banyak dan terus menyurut, dan menurun.
Orang-orang mulai lalu-lalang untuk melihat bekas banjir. Kompleks pertokoan ditutup jalannya, dijaga oleh yang berwajib. Rumah-rumah itu sebagian besar masih kosong ditinggal pergi mengungsi, macam-macam barang menggeletak di jalan terbawa air. Sukar melukiskan perasaan hati orang-orang Solo di waktu itu. Terlihat muka-muka yang pucat kurang tidur, muka yang suram muram melihat harta benda rusak binasa dan hasil jerih payah puluhan tahun habis oleh air, akan tetapi mulut pada senyum, senyum penuh penyerahan, senyum orang-orang yang dikalahkan tapi tidak merasa penasaran kepada yang mengalahkannya. Betapa mungkin? Yang datang mengamuk dan mendatangkan kerusakan dan kebinasaan adalah air Bengawan Solo, betapa mungkin mendendam kepada Bengawan Solo?
Tidak, Bengawan Solo tetap merupakan kebanggaan orang Solo. Bengawan Solo yang beriwayat, yang termashur, yang bisa kering sekering-keringnya dan bisa membanjir sehebat-hebatnya. Di musim kering begitu lemah lembut sehingga kanak-kanak dan domba-domba dapat bermain-main di atas dasarnya, akan tetapi kalau sudah mengamuk tak ada kepandaian manusia yang dapat melawannya. Betapapun juga, terharu juga hati Prayitno sampai-sampai ia hampir tak dapat menahan air matanya ketika ia memasuki tempat-tempat pengungsian. Melihat orang-orang menggeletak di lantai, melihat barang-barang mereka bertumpuk tak karuan, melihat orang-orang kebingungan karena belum bertemu dengan sanak keluarga, mendengar ratap tangis mereka yang kehilangan anggota keluarga.
Dan ia benar-benar menitikkan air mata ketika melihat betapa beras-beras basah dibagi-bagikan. Beras yang tadinya ber ton-ton menjadi basah terendam air sehari dua malam menjadi bahan tepung, memang lebih tepat dibagi-bagikan kepada siapa siapa saja yang suka dari pada dibuang sayang. Akan tetapi, biarpun beras sudah bukan merupakan beras bahan nasi pula, masih saja banyak orang mau dan malah suka menerimanya. Pencerminan keadaan yang amat memilukan! Orang-orang sibuk membersihkan rumah dan toko. Barang-barang toko tujuhpuluh prosen rusak binasa, malah di bagian yang airnya setinggi dua meter, tidak ada sedikitpun barang dagangan yang utuh, semua menjadi barang-barang yang hanya pantas dijual di rombengan.
Yang rusak binasa tak dapat ditolong lagi adalah barang-barang hasil bumi seperti beras, kedelai, gula, wijen dan lain-lain. Barang-barang kelontong dan bahan-bahan sandang menjadi barang setingkat dengan barang "second hands" (barang bekas). Di depan sebuah toko Prayitno berhenti. Dari jauh ia sudah melihat Bambang sibuk bekerja seperti orang memeras kain sehabis dicuci. Setelah dekat, ternyata olehnya bahwa bukan kain yang diperasnya itu, melainkan". Tembakau! Mungkin belum pernah ada orang melihat tembakau dicuci lalu diperas seperti orang mencuci pakian kotor. Prayitno menggeleng-geleng kepala. Tembakau dicuci, lalu menjadi apa? Bambang agaknya merasa bahwa ada orang memandangnya. Ia menengok, melihat Prayitno, tersenyum lemah.
"Yitno, bagaimana rumahmu?"
"Kena juga, Mbang. Sampai sekarang belum dapat kembali, kabarnya airnya masih semeter lebih. Aku sendiri malah belum ke sana. Wah tokomu habis ya?"
Bambang tersenyum lagi, agak kecul senyumnya.
"Habis, Yit. Tapi""
Bagaimana lagi, bukan aku sendiri yang menderita. Biarlah, kita mulai lagi dari bawah."
Tidak lama Prayitno di situ, karena agaknya Bambang hendak bercerita banyak-banyak tentang pengalamannya selama banjir. Ia terus mengunjungi tempat-tempat pengungsi, mencari seorang bernama Sukardi asal Jawa Barat. Memang di beberapa tempat ia mendapatkan orang bernama Sukardi akan tetapi orang Jawa Tengah aseli, belum pernah ke Jawa Barat.
Prayitno terheran-heran ketika dalam perjalanan ini ia melihat kenyataan bahwa banjir mengamuk sampai jauh ke tengah kota. Alun-alun juga banjir hebat, malah sepanjang Pasar Pon dan Tri Windu semua toko buku rusak! Ia teringat akan Toko Gaya, langganannya menyambungkan senar raket kalau putus, malah sebagai seorang penggemar bulu tangkis Prayitno kenal baik dengan pemilik toko itu. Ketika ia tiba di depan toko itu, ia melihat pemiliknya dibantu beberapa orang sedang mengumpulkan isi toko yang sudah diamuk air. Raket-raket menjadi bengkak-bengkak seperti gorengan krupuk, gitar lepas lemnya menjadi berantakan, shuttle-cock beberapa puluh dos rusak binasa tak mungkin dapat diperbaiki lagi, perangko-perangko, mainan kanak-kanak. Pendeknya, Toko Gaya yang tadinya penuh dengan alat-alat oleh raga itu sekarang lemari-lemarinya malang melintang dan isinya rusak semua.
"Wah, rusak semua ya, oom Gwan?"
Tegur Prayitno dengan hati iba melihat pemilik toko itu, tokoh kawakan dunia bulu tangkis di Solo, sedang mengumpul-ngumpulkan barang rusak. Oom Gwan menengok dan seperti juga lain-lain korban, dia hanya dapat tersenyum lemah, senyum orang menderita yang diterima dengan penuh kesabaran. Senyum "wong Solo"
Kalau menghadapi penderitaan.
"nrimo", sabar, dan tidak patah semangat. Yang hebat kerusakannya adalah toko-toko buku sepanjang Tri Windu. Dapat dibayangkan. Buku-buku terendam air sehari dua malam, air berlumpur pula. Tentu saja payah! Buku-buku penerbitan CV GEMA yang hendak dikirim ke luar kota dan masih berada di kantor perusahaan angkutan juga terendam air dan rusak semua karena perusahaan angkutan itu berada di kompleks dekat Pasar Gede yang menjadi samudera kecil!
Semua tempat pengungsi didatangi Prayitno. Namun tidak ada kabar tentang Sukardi orang Jawa Barat maupun anak kecil laki-laki bernama Iryanto, anak kecil yang mempunyai tanda tembong merah di paha kanannya. Biarpun tidak berhasil, namun di setiap tempat pengungsian Prayitno berpesan kepada para pengurusnya agar supaya membantu, kalau ada yang bernama Sukardi atau kalau ditemukan bayi yang ada tanda seperti itu, harap diberitahukan kepadanya ke Jebres rumah pamannya. Siang hari Prayitno pulang ke rumah pamannya. Ia belum pergi ke rumah Ningsih karena ternyata kampung Ningsih juga masih ada airnya. Ia disambut oleh kakeknya yang cepat-cepat bertanya akan hasil penyelidikannya. Nuryati sendiri cepat-cepat keluar dan mendengar bahwa tidak ada hasil, perempuan muda ini berkata lemah,
"Kalau begitu""
Biarlah aku""
Aku pulang saja""
Hendak kucari sendiri".."
Entah kepada siapa ia bicara ini, kepada kakek Setro, kepada Prayitno atau kepada diri sendir. Agaknya kepada diri sendiri karena pandang matanya yang layu menerawang ke depan.
"Kau cari ke mana". Mbak". eh, di Nuryati?"
Prayitno merasa bahwa dia lebih tua, tak patut menyebut mbak (kak).
"Semua tempat pengungsi sudah kudatangi."
Nuryati mengangkat mukanya yang pucat. Memang wanita ini kulitnya kuning langsep, sekarang kepucatan membuat wajahnya makin putih pias. Sinar matanya penuh terima kasih kepada Prayitno.
"Biarlah, mas Prayitno".. hendak kucari". Barangkali".."
Ia terisak.
"".barangkali saja mayat mereka".. tersangkut"."
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya dan berlari masuk untuk mengambil selendangnya. Prayitno amat kasihan dan". heran sekali, ia melihat kakeknya mengusap mata, menghapus dua titik air mata.
"Yitno, kau antar dia". jaga baik-baik, jangan sampai dia".. dia nekat menyusul suami dan anaknya".."
Kakek itu berbisik, kemudian setelah Nuryati keluar dari kamar berkata keras-keras.
"Yitno, betul juga kata-kata nak Nur tadi. Kau antarlah dia ke kampungnya. Ayahmu tadi sudah melihat rumah kita, katanya masih terendam air sepaha. Tunggu kalau sudah kering betul airnya, baru kita kembali membersihkan rumah. Hayo, pergilah bersama nak Nur."
Prayitno tak dapat membantah pula, demikian pula Nuryati. Tanpa mengeluarkan kata-kata, keduanya berjalan keluar dari rumah. Prayitno agak merasa sungkan dan malu-malu. Baru kali ini semenjak ia bercerai dari isterinya, ia berjalan berdua dengan seorang wanita muda. Wanita yang tak dapat disangkal pula amat manis dan denok, yang membuat banyak mata laki-laki melirik dan kepala orang-orang yang bertemu di jalan, menengok ke belakang. Perkampungan Nuryati ternyata masih terendam air selutut dalamnya. Lebih sukar berjalan di perkampungan ini karena penuh dengan lumpur sehingga setiap langkah, kaki terbenam lumpur yang seakan-akan ada tenaga menyedot sehingga kaki yang terendam sukar ditarik keluar.
Akan tetapi Nuryati nekat memasuki perkampungan yang masih sunyi itu. Prayitno terpaksa tidak mau melarang atau mencegahnya, diam-diam saja mengikuti Nuryati, celananya digulung ke atas. Tak mau ia menuruti matanya yang ingin melirik kebawah melihat betis kuning yang memadi bunting. Memang Prayitno bukan laki-laki yang lemah. Setibanya di depan rumahnya yang sudah tidak berpintu lagi, melihat rumah itu perabotnya malang-melintang, malah kursi-kursinya tak tampak pula, agaknya hanyut keluar, Nuryati tertegun. Kemudian terbayang kembali dalam ingatannya tentang anaknya yang jatuh dan hanyut, tepat di depan pintu itu. Ia terisak dan menangis lagi.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo