Ceritasilat Novel Online

Leak Dari Gua Gajah 1


Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya , Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 01.

   "Piiihhh... indahnya ikan-ikan itu! Lihat, War, itu... merah dan biru... nah-nah... ke sini sekarang. Piiihhh banyaknya, kesinilah War, lihat nanti, kalau datang yang besar tentu mereka akan cerai-berai ketakutan!"

   "Ah, Ktut, jangan bergantung begitu, kalau terlepas dan jatuh, kan celaka nanti!"

   Gadis kedua yang bergaun hijau berkata cemas melihat temannya bergantung pada langkan perahu dengan hanya sebelah tangan sedangkan tangan yang lain menuding ke arah air laut di bawah perahu. Dia sendiri tidak berani mendekati temannya, berpegang erat-erat kepada langkan perahu yang bergoyang-goyang ke kanan-kiri.

   "Mana bisa jatuh? Aku kan sudah berpegang. Kalaupun jatuh, aku tidak takut, War. Aku pandai berenang dan kalau sudah jatuh akan kucoba menangkap beberapa ekor ikan merah untukmu,"

   Jawab gadis pertama sambil tertawa gembira dan dengan sepasang matanya yang lebar ia terus memandangi ikan-ikan kecil beraneka warna yang bermain-main di dalam air.

   Gadis ini usianya kurang lebih tujuhbelas tahun, bergaun merah, rambutnya yang panjang dan hitam sekali dipilin, merupakan kucir yang gemuk dan rapi dibiarkan tergantung bebas sampai ke pinggul. Bukan hanya Wijono yang tertarik dan memandang penuh perhatian kepada dua orang gadis itu, semua penumpang perahu bermotor itupun menujukan pandang mata mereka kepada dua orang gadis itu. Siapa takkan ikut merasa gembira melihat mereka, terutama gadis bergaun merah yang lincah gembira itu. Yang amat menarik perhatian Wijono adalah kata-kata seru "Piiihhh"

   Yang sering keluar dari bibir gadis bergaun merah. Ia tidak tahu apa artinya kata-kata itu, akan tetapi dengan menghubungkannya dengan kalimat berikutnya, mudahdiduga bahwa kata itu merupakan kata seru semacam "amboi"

   Atau

   "Aduuhh."

   Ia menduga-duga. Gadis manakah si gaun merah ini? Madura kah? Bali kah? Yang terang bukan Jawa. Dia sendiri dari Solo. Gadis bergaun hijau itu sudah terang anak Jogja, gadis hitam manis. Perahu itu makin keras goyangannya ketika sebuah mobil sedan hitam naik ke ruangan yang hanya cukup untuk memuat sebuah mobil. Perahu-perahu bermotor kecil seperti ini hanya dapat membawa sebuah mobil dan belasan orang penumpang, akan tetapi kadang-kadang kalau keadaan ramai dapat menambah penumpang sampai lewat daripada ketentuan. Biayanya lebih murah, juga lebih cepat karena tidak mempergunakan "waktu tertentu"

   Seperti kapal-kapal Pelni. Kalau kapal-kapal pemerintah diumpamakan otobis, perahu-perahu bermotor ini seperti oplet-oplet atau bemo! Pengemudi perahu membunyikan klakson atau apa itu namanya yang mengeluarkan bunyi,

   "Ngoookk...!"

   Dan perahu bergeraklah setelah mesin berbunyi dan perahu itu tergetar-getar. Celoteh dua orang gadis itu tak terdengar lagi oleh Wijono karena berisiknya suara mesin. Iapun tidak memperhatikan lagi karena merasa betapa kurang sopan terus-menerus memandang dan memperhatikan orng. Tadi sudah ia lihat betapa sepasang mata yang lebar itu menyambar dengan alis kecil panjang hitam itu agak berkerut, tanda bahwa pemiliknya berprasangka yang bukan-bukan karena terus-terusan dipandang. Ia sekarang malah membelakangi mereka, perhatiannya tertuju ke depan, ke arah pulau yang kini sedang dituju oleh perahu itu, olehnya.

   "Bali pulau surga...!"

   Bisik hatinya dan berdebarlah ia penuh harapan, penuh bayangan yang indah-indah. Selama ini, hanya yang indah-indah saja ia dengar tentang pulau Bali, pulau Dewata.

   Bertahun-tahun ia merindu untuk melihat Bali, seperti kerinduan yang dirasakan oleh semua atau sebagian besar pelukis. Untung baginya, beberapa buah lukisannya sebagai pelukis muda yang belum ternama, yang ia titipkan dalam sebuah pameran, ada yang menyukainya dan membeli. Tak banyak memang uang yang diterimanya, namun cukuplah kiranya untuk biaya melawat ke Bali dan tinggal beberapa pekan di Pulau Dewata, asal ia pandai berhemat. Apakah yang akan dilihatnya di pulau Dewata itu? Dari atas perahu itu kelihatannya biasa saja, sebuah pulau seperti pulau-pulau lain, tapi ada sesuatu yang aneh, perasaan aneh yang ia sendiri tidak tahu apa dan mengapa, sesuatu yang misterius menyelimuti perasannya, seperti perasaannya kalau ia pergi menuju ke tempat-tempat sunyi, makam-makam dan tempat-

   tempat keramat lainnya. Mungkin hal ini terasa di hatinya karena terpengaruh cerita-cerita tentang dewa di bali, pikirnya.

   "Mas Din..., kau di sini? Ah, dari mana kau tadi...?"

   Tiba-tiba suara nyaring yang mengatasi suara motor perahu itu merenggut Wijono daripada lamunannya. Ia menengok dan melihat seorang laki-laki berusia tigapuluh-an menaiki anak tangga kecil, dari ruangan yang memuat mobil menuju ke atas, ke dek tempat para penumpang berdiri. Dan gadis yang mempunyai kebiasaan berseru "Piiihhh"

   Tadilah yang menegur laki-laki itu, sepasang matanya yang lebar terbelalak keheranan, manis benar dalam pandangan Wijono. Laki-laki itu tertawa kecil, matanya bersinar-sinar, kumis kecilnya bergerak-gerak membuat wajahnya makin ganteng. Akan tetapi sinar mata yang tajam itu mendatangkan kesan pertama yang tak menyenangkan hati Wijono.

   "Heiii, kaukah ini, Ktut? Waah, dasar untungku baik, rejekiku besar, dapat bertemu dengan kau di sini? Kau hendak pulang, berlibur di rumah?"

   Gadis bergaun merah itu tidak menjawab, malah balas bertanya,

   "Mas Din, kau mengagetkan aku, benar-benar aneh, aku tidak melihat kau tadi naik, kenapa tahu-tahu kau keluar dari situ?"

   Orang itu tertawa lagi. Memang tampan dia, apalagi kalau tersenyum. Ia menggerak-gerakkan bahunya yang bidang, lagak olahragawan benar, lalu berkata,

   "Masa kau tidak melihat tadi aku masuk bersama mobil itu? Aku naik taxi itu dari Surabaya, sengaja kuborong sampai ke Denpasar. Sungguh aku tidak mengira bahwa diantara para penumpang terdapat kau, Ktut. Kalau aku tahu tentu sudah tadi aku naik. Wah, kau hendak libur besar di rumah orang tuamu? Kebetulan sekali, kau harus memperkenalkan aku dengan keluargamu, Ktut!"

   Gadis itu, kini Wijono dapat menduga dari namanya bahwa ia gadis Bali, seperti teringat sesuatu.

   "Oya, belum kuperkenalkan. Mas Din, ini temanku sekuliah, Suwarni. War, ini mas Din... mmm, lengkapnya Bahrudin, B.A., calon dokter jiwa."

   Gadis bergaun hijau itu dengan ramah mengulurkan tangan untuk menyambut salam Bahrudin.

   "Adik juga anak Bali?"

   Tanyanya. Suwarni menggeleng kepala.

   "Saya anak Jogja, hendak mengunjungi kakak saya yang dinas di Singaraja."

   Tiga orang itu bercakap-cakap, sekarang tidak begitu jelas lagi karena suara mesin yang menggerung-gerung. Air laut yang tadinya tenang, sekarang mulai ganas. Agaknya perahu sudah tiba di bagian yang menjadi lalulintas arus di selat itu.

   Perahu mulai oleng ke kanan-kiri, ombak makin membesar. Perjuangan melawan ombak dimulai, dengan hati-hati juru mudi mengatur arah, juru mesin mengerahkan seluruh kekuatan mesinnya untuk membawa perahu maju dengan selamat melalui permainan ombak yang mengangkat perahu tinggi-tinggi lalu menghempaskannya ke bawah dengan lambat-lambat dan halus. Melihat laki-laki bernama Bahrudin itu beberapa kali mengerutkan kening, tiba-tba Wijono teringat bahwa sudah pernah ia melihat orang ini. Kerutan kening itu, pernah ia melihatnya, tapi lupa lagi di mana. Karena ini ia menatap laki-laki itu penuh perhatian, mengingat-ingat. Agaknya pandang mata penuh perhatian inilah yang mengandung getaran, karena laki-laki itu tiba-tiba saja menoleh dan memandang ke arahnya. Dua pasang mata bertemu.

   "Eh, bukankah saudara ini pelukis muda Wijono?"

   Lak-laki itu berkata keras dan melambaikan tangannya.

   "Maaf... saya ingat pernah bertemu dengan saudara... tapi lupa lagi... siapakah saudara?"

   Tanya Wijono gagap setelah mereka berhadapan. Bahrudin tertawa,

   "Ha-ha-ha-ha, tidak aneh. Seniman memang pelamun, agaknya saudara sedang tenggelam di dunia khayal saudara! Bukankah belum ada sebulan yang lalu kita saling bertemu di pameran lukisan di Jogja? Malah saya seorang diantara pembeli hasil karya saudara, SENJA DI KAMPUNG, ingatkah saudara?"

   Teringatlah sekarang Wijono. Ah, tentu saja. Pembeli lukisannya SENJA DI KAMPUNG seorang diantara mereka yang telah memungkinkan kepergiannya ke Bali sekarang ini, seorang diantara mereka yang telah mendatangkan uang yang sekarang berada di saku kemejanya.

   "Maaf, maaf, baru sekarang saya teringat. Saudara hendak ke Bali pula?"

   Katanya, menutupi kegugupannya karena dua orang gadis itu sudah tersenyum-senyum mendengar kelakar Bahrudin tentang dunia khayalnya.

   "Betul, sudah seringkali aku ke Bali, memang Banyuwangi tempat asalku. Eh, bung Wijono. Mari kuperkenalkan dengan nona-nona ini. Inilah nona Ktut Witha. Ktut berarti anak keempat, akan melanjutkan pelajaran di Jogja. Dan ini nona Suwarni, anak Jogja, teman kuliah Ktut. Adik-adik, inilah Wijono, pelukis muda dari Solo yang berbakat. Hasil lukisannya baru-baru ini dipamerkan di Jogja, goresan-goresannya kuat, komposisi warnanya orisinil, dia lebih condong menjadi pelukis impressionis yang realistis."

   Kata-kata yang penghabisan diucapkan keras-keras dan jelas ia bangga akan pengetahuannya tentang tekhnik dan teori lukisan. Berdebar jantung di dada Wijono ketika tangannya menyentuh kulit telapak tangan yang halus dan mengandung getaran seperti listrik itu, apalagi karena sepasang mata pemilik tangan itu bagaikan sepasang bulan kembar menentangnya dengan pandang mata yang begitu jernih, begitu cemerlang dan langsung menembus jantungnya.

   Kuatir kalau-kalau perasaan aneh ini mempengaruhi gerak-geriknya, Wijono segera mengalihkan perhatiannya kepada Suwarni dan menyalam gadis Jogja ini. Wijono biasanya pandai memimpin percakapan, tidak pemalu. Namun, ia sendiri merasa aneh dan tak mengerti mengapa sekarang otaknya menjadi tumpul, daya khayalnya macet, lidahnya membeku seakan-akan ia telah terkena sihir oleh sepasang bulan kembar itu. Maka ia hanya menjadi pendengar saja ketika dengan lagak gembira Bahrudin yang memang pandai bicara itu memimpin percakapan dan hanya sekali-kali dari mulutnya keluar kata-kata "ya"

   Atau "tidak"

   Kalau menjawab kalimat yang langsung ditujukan kepadanya. Diam-diam Wijono mengakui betapa akrab dan cocok pergaulan antara Bahrudin dan Ktut Witha.

   Keduanya sama gembira, sama pandai bicara dan mengada-ada dalam percakapan itu, pandai berkelakar. Anehnya, hatinya merasa nelangsa dan rendah diri. Mengapa hatiku begini? Bodoh! Dengan segera Wijono dapat menguasai hatinya, tidak mau membiarkan hatinya dipermainkan ombak lamunan kosong seperti ombak samudera mempermainkan perahu itu. Ia mengalihkan perhatiannya kepada pulau di depan. Akan tetapi pulau itu kadang-kadang tampak kadang-kadang tidak, lenyap karena oleng perahu yang menjadi miring. Ombak makin menghebat. Para penumpang mulai berpegangan erat-erat pada terali dan langkan perahu. Air laut mengganas liar, ombak yang menyambar dan berdatangan dari sebelah kanan perahu lebih tinggi daripada perahunya sendiri. Kadang-kadang hendak menelan perahu itu agaknya, datang mendekat dan tinggi di atas perahu.

   Mengerikan! Akan tetapi selalu tidak demikian jadinya, ombak itu bukannya menelan perahu, melainkan menangkapnya, melambungkannya tinggi kemudian menyeretnya ke bawah kembali seakan-akan hendak menyeretnya ke dasar laut. Wijono merasa pening, jantungnya serasa mengecil dikala perahu itu diseret dari ketinggian puncak alun, perutnya muak, semua isi perutnya serasa diaduk-aduk. Ia masih mendengar betapa Suwarni kadang-kadang menjerit kalau perahu menjadi oleng, disusul suara ketawa Ktut Witha dan Bahrudin. Ketika ia memaksakan diri menoleh, ia melihat Suwarni dipeluk erat-erat oleh Ktut Witha yang mendekap kepala sahabatnya ini. Bahrudin berdiri tegak menghisap rokok, tangan kanan dengan enaknya memegang rokok mengebul. Agaknya keganasan ombak itu bukan apa-apa bagi Bahrudin dan malah menyenangkan bagi Ktut Witha.

   Wijono memandang ke arah orang-orang lain. Sebagian besar enak-enak saja, malah ada yang sedang makan pisang ambon besar yang agaknya terlalu matang sehingga di kanan-kiri mulut perempuan tua yang makan pisang itu belepotan air putih-putih. Lahap benar dia makan pisang, dijejalnya saja mulutnya sampai penuh. Wijono tidak kuat lagi, cepat diambilnya saputangannya dan ia muntah-muntah. Demi kesopanan, apalagi di situ ada yang sedang makan pisang, Wijono berusaha sedapat mungkin untuk menutupi mulutnya dengan saputangan dan berdiri membungkuk membelakangi wanita pemakan pisang itu.

   "Ah, bung Wijono, kau mabuk laut? Ha-ha-ha, baru sebegini saja sudah tak tahan, apalagi dalam pelayaran jarak jauh!"

   Suara Bahrudin ini memerahkan telinga Wijono, akan tetapi ia tak dapat menjawab karena masih terus muntah-muntah.

   "Mas Din, kau tidak menolong malah mengejek. Piiihhh, mukamu pucat benar, mas Wijono. Mas Din, apa kau tidak membawa obat gosok, Vicks, Balsem, atau P.P.O.?"

   Bahrudin menggeleng kepala, juga Suwarni yang sekarang sudah berani berdiri sendiri berpegang erat-erat pada langkan setelah menggeser ke tempat agak tengah, tidak membawa obat gosok. Wijono yang menahan-nahan muntahnya tak berhasil. Habis sudah dua saputangannya, yang pertama sudah penuh dan dibuangnya ke laut dan yang kedua kini masih menutup mulutnya. Akhirnya berhenti juga dorongan dari dalam perut dan Wijono membuang saputangannya yang kedua ke laut, lalu menggunakan lengan bajunya untuk membersihkan bibirnya. Keringatnya membasahi seluruh pakaian dan juga mukanya yang pucat itu berkeringat. Ia mencoba tersenyum kepada tiga orang itu.

   "Waah, aku benar-benar mabok, tidak kuat. Selama hidupku baru kali ini aku berlayar. Maaf... maaf... aku tentu menjemukan kalian..."

   "Piiihhh... kenapa kau bilang begitu, mas Wijono? Semua orang pun mabok laut kalau baru pertama kali berlayar. Apalagi memang hari ini ombaknya agak besar."

   "Belum besar benar kan, Ktut?"

   Kata Bahrudin.

   "Pernah aku mengalami ombak yang tiga kali lebih besar dari ini!"

   Gadis Bali itu memandang Wijono.

   "Peluhmu begitu banyak. Kenapa kau diamkan saja? Baiknya dihapus saputangan, mukamu begitu pucat, jangan-jangan kau masuk angin nanti."

   Wijono menggeleng kepala.

   "Tidak mengapa, biarlah. Saputanganku sudah kubuang semua tadi, ada juga di dalam tas, tapi... ah, biarlah..."

   Dengan gerakan yang wajar, Ktut Witha menarik keluar saputangannya dari balik gaun atas dan memberikannya kepada Wijono.

   "Nih, kau pakailah. Juga baik untuk menahan mual karena sebelum berangkat tadi kubasahi minyak wangi."

   Pemuda ini menerima dengan hati berdegup aneh akan tetapi kebetulan ia bertemu pandang dengan Bahrudin. Mata orang ini menyorotkan pandangan penuh cemooh. Ia menarik kembali tangannya, tidak jadi menerima saputangan Ktut Witha, menjawab tersipu-sipu lirih,

   "Terima kasih banyak..., tak usahlah, saputanganmu kotor nanti..."

   "Aiih, kalau kotor mengapa? Kan bisa dicuci lagi nanti. Kita sudah berkenalan, berarti menjadi teman. Marilah, berkeringat seperti itu terkena angin bisa jadi sakit."

   Wijono memaksa senyum akan tetapi sebelum ia menerima saputangan itu, Bahrudin menyela,

   "Bung Wijono, kau pakai sajalah saputanganku ini. Ktut, dia malu dan menolak jangan kau paksa, membikin dia makin malu saja."

   Dan dia mendorongkan saputangannya ke tangan Wijono. Kecut-kecut hati Wijono memandangi saputangan biru di tangannya itu. Hatinya kecewa dan ada perasaan di hatinya bahwa Bahrudin sengaja merenggut kebahagiaannya. Apalagi ketika ia mendengar suara si mata bulan,

   "Nah begitu baru sahabat baik namanya, mas Din. Bukannya mengolok-olok!"

   Hatinya mengeras dan tiba-tiba ia menyodorkan kembali saputangan itu kepada Bahrudin.

   "Saya tidak membutuhkan saputangan. Terima kasih, bung Bahrudin."

   Sejenak tercenganglah Bahrudin dan terheranlah Ktut Witha. Nada suara pelukis muda ini mengandung kemarahan. Tapi Bahrudin lalu tersenyum dan menerima kembali saputangannya, berkata perlahan,

   "Kau memang pemalu, bung Wijono."

   Perahu kini mulai tenang jalannya, sudah terlepas daripada cengkeraman barisan gelombang buas yang bergerak dari selatan menuju ke utara dalam selat itu. Gilimanuk, pelabuhan dan kota pertama di pulau Bali sudah tampak dan makin dekat.

   "Bung Wijono hendak ke Denpasar, bukan? Mari ikut dengan taxiku bersama dik Ktut. Kau juga, dik Suwarni."

   Ajak Bahrudin ramah.

   "Saya hendak ke Singaraja, mas. Kata kakakku dalam suratnya, setiap waktu otobis siap membawa penumpang dari Banyuwangi ke Singaraja."

   Kata Suwarni.

   "Memang biasanya ada, War. Sayang, alangkah senangnya kalau kau bisa ikut ke Denpasar dulu."

   "Tak mungkin, Ktut. Kakak sudah menanti-nanti kedatanganku hari ini. Biarlah kalau kakak mengajakku pergi ke Denpasar, tentu akan kucari rumahmu di Gianyar."

   "Wah, aku akan merepotkanmu saja, bung Bahrudin."

   Wijono berkata, merasa tak enak karena kembali ia disodori kebaikan.

   "Aah, masa merepotkan. Kan taxi yang kusewa kosong, hanya aku dengan sopirnya. Kau bisa duduk-duduk di depan dengan sopir, Ktut di belakang denganku, masih longgar tempatnya."

   Jawab Bahrudin ramah.

   Orang-orang berkemas, hiruk-pikuk suara orang-orang yang hendak turun dan mereka yang hendak naik ketika perahu itu tiba di pinggir landasan. Jembatan darurat berupa papan-papan tebal dipasang orang, mobil taxi yang disewa Bahrudin dengan hati-hati dikeluarkan melalui jembatan. Empat orang muda itu sudah duduk di dalam taxi karena biarpun Suwarni tidak akan ikut ke Denpasar, ia diajak keluar bersama dari pelabuhan dengan taxi itu. Benar saja keterangan Ktut Witha tadi. Di luar kantor pelabuhan sudah menanti sebuah ototbis untuk mereka yang hendak pergi ke Singaraja, malah sebuah pula yang bertrayek Gilimanuk-Denpasar. Suwarni diantar teman-temannya sampai naik ke dalam otobis yang masih menanti penuhnya penumpang, kemudian gadis Jogja ini bersalaman dengan tiga orang temannya. Taxi hitam itu lalu meluncur melalui jalan raya menuju ke Denpasar.

   * * *

   Ketika mendarat di Gilimanuk tadi, kesan pertama yang didapat di pulau dewata tidak memuaskan hati Wijono. Sebuah kota pelabuhan yang amat kecil sederhana. Tak patut disebut kota, malah dusunpun bukan. Sebuah tempat pusat penyeberangan yang sunyi tiada penghuni asli.

   Semua pendatang-pendatang yang sengaja berdagang warung makanan, melayani para penyebrang. Tidak ada sedikitpun terasa keaslian Bali oleh Wijono. Beginikah Bali yang dirindukan dan diimpi-impikan selama ini? Hatinya mulai kecut dan kecewa. Akan tetapi setelah taxi itu meluncur keluar dari Gilimanuk, mulai melalui sawah-sawah dan dusun-dusun khas Bali, timbul kembali kegairahan dan kegembiraannya. Inilah Bali! Sapi-sapinya yang semua serupa warna dan belangnya, warna coklat kekuningan dengan belang-belang putih pada pinggul, dada dan keempat kakinya. Kerbau-kerbaunya yang sebagian besar bule (berkulit putih). Anjing-anjing yang jinak dan malas. Babi-babi yang berkeliaran keluar-masuk dusun, lebih malas lagi. Rumah-rumah yang amat sederhana, terlalu sederhana sehingga membayangkan kemiskinan yang menggores hati Wijono.

   Rumah-rumah kecil macam gubuk yang dilingkari pagar tanah lempung, rumah-rumah di bawah pohon-pohon rindang, yang selalu mempunyai sebuah rumah-rumahan kecil di pekarangan depan, tempat bagi mereka untuk menaruh sesajen, persembahan mereka kepada para dewa yang tak dapat dipisahkan daripada kehidupan rakyat Bali. Wijono duduk di sebelah sopir, adapun Ktut Witha duduk di belakang bersama Bahrudin. Dua orang yang duduk di belakang ini menikmati kegembiraan Wijono yang baru pertama kali melihat Bali. Mereka saling berlomba agaknya untuk menerangkan segala sesuatu yang tampak atau yang ditanyakan Wijono. Ketika melihat beberapa orang wanita Bali jalan beriring di pinggir sawah dengan kepala dibebani barang bawaan berat, terlepas kata-kata kagum dari mulut Wijono,

   "Indah sekali...!"

   Bahrudin tertawa mengikuti pandang mata si pelukis muda yang ditujukan ke arah gadis-gadis tani itu.

   "Cantik-cantik ya, bung?"

   Merah muka Wijono, apalagi ketika ia mendengar Ktut Witha tertawa lirih.

   "Bukan wajahnya yang kumaksudkan dengan kata-kata indah tadi."

   "Habis, apanya yang indah?"

   Bahrudin mendesak.

   "Sanggulnya."

   "Sanggulnya?"

   Ulang Bahrudin, jelas suaranya terheran.

   "Ya, dan lenggangnya."

   "Lenggangnya? Ada apa dengan sanggul dan lenggangnya? Kulihat sanggulnya memang tidak seperti sanggul wanita di Jawa, akan tetapi sanggul wanita di Jawa lebih rapi."

   "Itulah maksudku, bung Bahrudin. Tata rambut gadis-gadis tadi begitu sederhana, hanya dikaitkan dan ujung rambut terurai, ah... agaknya tata rambut ini cukup merangsang orang untuk melukis..."

   "Dan lenggangnya? Kau maksudkan seperti... seperti lenggang Marilyn Monroe atau seperti lenggang macan luwe (harimau lapar)?"

   Bahrudin berkelakar, nadanya mengejek.

   "Bukan, jauh daripada itu. lenggangnya penuh gerak tari yang amat luwes, mereka berjalan seakan-akan mengikuti irama tarian."

   "Ha-ha-ha, baru kali ini aku mendengar pendapat tentang wanita Bali seperti pendapatmu, bung. Sanggul dan lenggang! Wah, aneh benar kau ini. Dan tentang wajah, bukankah kau melihat mereka itu cantik manis?"

   Wijono mengangguk-angguk, tidak terseret dalam kelakar Bahrudin, suaranya sungguh-sungguh.

   "Memang mereka memiliki raut wajah yang khas Bali, tapi yang amat berkesan di hatiku adalah mata mereka. Mata yang lebar dan bening, penuh kejujuran, penuh kewanitaan, kerling tajam, bukan main..."

   Bahrudin terkekeh-kekeh.

   "Ha-ha-ha, kau lucu. Tapi benar juga, indah memang mata gadis-gadis Bali, seperti mata... adik Ktut ini, bukan main!"

   "Piihhh, jangan bawa-bawa aku ke dalam bahan pujian. Memang pandangan mas Wijono tepat sekali. Wanita Bali pada umumnya bukanlah pesolek, suka akan kesederhanaan, suka akan keaslian, tidak suka meninggalkan kepribadiannya, karena itu mungkin maka sanggulnyapun demikian sederhana. Tentang lenggang dan mata, tentu saja aku dapat menerangkannya. Bukan tidak bersebab. Wanita Bali mempunyai kebiasaan sejak nenek moyang kami dahulu, membawa barang-barang berat di atas kepala. Dan aku berterima kasih kepada nenek moyang kami dengan cara ini, tidak menggendong seperti di Jawa. Menggendong beban di punggung merusak pertumbuhan dan keindahan tubuh. Sebaliknya kebiasaan kami membawa beban di atas kepala memaksa kami berlatih untuk berjalan dengan tegak, memaksa kami untuk berjalan dengan lenggang teratur karena harus menjaga keseimbangan tubuh, dan memaksa kami untuk melihat ke kanan atau ke kiri tanpa menggerakkan leher yang tertindih beban berat sehingga sudah biasa bagi kami untuk menggerakkan mata dengan kerling tajam. Di samping ini, kebiasaan dan kesukaan kami untuk mempelajari tari-tarian, menambah pula gerakan yang mengandung seni tari."

   Wijono mengangguk-angguk puas dan diam-diam ia memuji kebiasaan yang amat baik ini. Teringat ia akan wanita-wanita Madura yang pada umumnya juga mempunyai bentuk tubuh ramping langsing, bentuk tubuh yang menjadi idaman semua wanita dan yang memaksa wanita-wanita Barat membungkus dan mengikat erat-erat tubuh mereka untuk memilikinya!

   "Hebat dik Ktut, ya bung Wijono? Tentu saja dia dapat menerangkan itu semua, dia sendiri seorang ahli tari Bali yang... wah, kalau kau sudah melihat dia menari, sudahlah, pendeknya hebat!"

   "Piihhh, jangan berlebihan memuji, mas Din. Memang sejak kecil aku belajar dan menyukai tari-tarian bangsaku, tapi sama sekali bukan ahli. Biasa saja."

   "Keteranganmu menarik sekali, adik Ktut Witha. Maukah kau sekarang memberi sekedar penerangan kepadaku mengapa rakyat Bali suka sekali akan upacara dan pesta-pesta seperti yang sering kubaca di buku-buku? Mereka gemar berpesta akan tetapi hidup dalam keadaan yang amat sederhana, mengapa?"

   "Aku hanya seorang pelajar muda, tentu saja pengetahuanku tentang itu masih amat dangkal, mas Wijono. Akan tetapi karena aku seorang Bali, kiranya sedikit banyak aku mengerti. Kami orang-orang Bali rela hidup sederhana dan mengurangi kesenangan duniawi, rela menyisihkan sebagian daripada hasil usaha kami untuk dikurbankan kepada para dewata, terutama kepada Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Bukankah hidup dan segala apa yang terdapat di alam mayapadha ini adalah berkah daripada Sanghyang Widhi belaka? Bukankah segala nikmat hidup merupakan berkahNya dan segala derita hidup merupakan hukumanNya? Karena itu sudah sewajibnya kalau kita menghaturkan puji syukur kepada Ida Sanghyang Widhi atas berkahNya dan mohon ampun agar memperkecil hukuman-hukumanNYa. Tanpa berkah Sanghyang Widhi, bagaimana kita dapat hidup? Karena itulah maka kami tak pernah melupakan berkah Ida Sanghyang Widhi dan para dewata yang menjadi pembantu-pembantuNya."

   "Tapi kenapa begitu banyak dewa di pulaumu?"

   Tanya pula Wijono, agak heran mengapa di samping Ida Sanghyang Widhi yang pada hakekatnya adalah merupakan sebutan lain dari Tuhan Yang Maha Esa, masih banyak sekali dewa-dewa yang dipuja-puja.

   "Ha-ha-ha, bung Wijono mengapa heran? Itulah sebabnya pulau Bali disebut Pulau Dewata karena banyak dewanya. Bukan hanya dewa, di samping dewa-dewanya juga banyak sekali iblis, setan, dan Leak berkeliaran!"

   "Ahhh, mas Din, jangan sebut-sebut itu..."

   Gadis itu bicara dengan suara agak gemetar sehingga Wijono tertarik dan menengok ke belakang. Dilihatnya wajah dara Bali itu agak pucat, senyumnya lenyap dan sepasang mata bulan itu terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci saat mencium bau harimau.

   "Leak itu... apakah?"

   Leak Dari Gua Gajah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wijono bertanya.

   "Leak adalah sebangsa iblis jejadian yang suka mengganggu manusia, iblis pemakan bangkai!"

   "Mas Din... jangan... jangan bicara tentang itu..."

   Kini Ktut Witha benar-benar kelihatan takut sekali, malah memegang lengan tangan Bahrudin.

   "Kau takut, Ktut? Jangan takut, selama ada aku takkan ada Leak berani mengganggumu. Akan kuhancurkan dia!"

   Sikap Bahrudin gagah sekali, dadanya yang bidang dibusungkan.

   "Kau seorang mahasiswi mengapa percaya segala tahayul? Tidak ada setan di dunia ini yang perlu kita takuti."

   "Bukan tahayul, mas Din... buakn tahayul. Terlalu banyak aku mendengar dongeng-dongeng mengerikan ketika masih kecil dahulu. Dan tentang setan... jangan bilang tahayul, mas. Memang ada mereka itu, ada dan di mana-mana, menggoda manusia di seluruh dunia ini. Kalau benar katamu mereka itu tidak ada, kiraku tidak akan begini jadinya dunia ini, takkan ada perang, bunuh-membunuh sesama manusia, takkan ada segala perbuatan maksiat, takkan ada kejahatan merajalela."

   Kembali Wijono mengangguk-angguk dan kagum akan kesederhanaan pandangan gadis ini yang bicara berdasarkan filsafat, disesuaikan dengan agamanya.

   "Ah, nonsens (obrolan kosong) semua itu!"

   Kata Bahrudin.

   "Dalam jaman atom ini mana tepat orang-orang terpelajar seperti kita percaya akan tahayul, akan iblis setan yang bukan-bukan? Mungkin patut bagi orang-orang dusun yang masih buta huruf!"

   "Kurasa tidak tepat pendapatmu itu, bung Bahrudin. Memang kita sebagai makhluk Tuhan yang paling tinggi tingkatnya, tak perlu takut akan segala macam setan. Akan tetapi, tentang setan iblis itu sendiri ada disebut dalam kitab-kitab suci agama, karena itu pula aku sendiri percaya bahwa mereka itu memang ada. Salahnya, orang-orang memuja mereka, padahal seharusnya menjaga agar jangan sampai tergoda dan terbujuk oleh mereka."

   "Hemm, mungkin kau benar. Nah, Ktut, kau dengar sendiri pendapat Wijono. Maka tidak perlu kau takut. Mana ada Leak? Suruh dia keluar, akan kuhancurkan. Setahuku, Leak adalah kedok-kedok setan yang terjual di toko-toko itu, bukan?"

   "Sudahlah, mas Din, jangan memperolok-olok. Kedok-kedok itu adalah topeng Rangda. Kau pernah melihat tarian-tarian Calon arang? Nah, yang memakai topeng Rangda dapat memiliki ilmu sihir yang jahat, dan kekuatan ilmu sihir itulah yang datang dari Leak. Kau boleh saja bicara dengan dalil-dalil ilmiah, akan tetapi kiraku secara ilmiah kau takkan dapat menerangkan mengapa penari-penari yang disihir oleh Calon arang itu menusuk-nusukkan keris pada tubuh mereka sendiri, dan mengapa pula atas kesaktian Empu Baradah, tubuh mereka menjadi kebal tidak terluka oleh keris-keris itu. Juga kau tentu pernah menyaksikan tarian Sanghyang Wededari (Bidadari), dahulu beberapa tahun yang lalu ketika aku masih berada di Gianyar, aku sendiri menjadi penarinya. Penari Sanghyang Wededari dapat melakukan tarian-tarian di atas bambu melintang yang takkan mungkin dilakukan oleh seorang biasa, semua itu adalah karena ia dimasuki oleh Sanghyang Wededari. Masih banyak contoh-contohnya, mas, seperti tari Kecak dan lain-lain."

   Bahrudin tersenyum, tidak membantah.

   "Kau tadi bilang bahwa kau sering mendengar dongeng-dongeng mengerikan tentang Leak, ceritakanlah, Ktut. Perjalanan masih jauh dan sudah mulai panas. Ceritakanlah untuk obat ngantuk."

   Ktut Witha nampak ragu-ragu. Wijono yang amat tertarik membantu Bahrudin,

   "Betul, dik Ktut, kau berceritalah tentang Leak itu."

   Ktut Witha menarik napas panjang beberapa kali melongok keluar jendela taxi seakan-akan hendak melihat apakah tidak ada orang lain mendengarkan kecuali Wijono, Bahrudin dan sopir taxi tua yang semenjak tadi diam saja itu.

   "Sebetulnya bukan dongeng, melainkan kenyataan,"

   Akhirnya ia mulai bercerita. Wijono sekarang duduknya menghadap ke belakang, dan sopir taxi bernama Pak Basri yang sejak tadi hanya merokok itupun agaknya mendengarkan penuh perhatian.

   "Kenyataan mengerikan yang membawa korban... kakak misanku I Putusari, penari kenamaan, menjadi korban Leak, mati dalam keadaan mengerikan..."

   Kembali ia berhenti dan mukanya pucat, matanya menyuram.

   "Bagaimana ceritanya?"

   Bahrudin mendesak, Wijono juga tertarik sekali.

   "Mula-mula I Putusari seringkali kemasukan roh halus di waktu menari, akan tetapi bukan roh baik, melainkan roh jahat atau Leak. Seringkali I Putusari pingsan dan gerakan-gerakan tariannya lalu berubah menjadi kasar dan kacau. Semenjak itu orang-orang mendesas-desuskan bahwa I Putusari dicintai Leak."

   "Desas-desus bohong! Fitnah keji!"

   Teriak Bahrudin penasaran.

   "Bukan... bukan..., pedanda (pendeta) di kampung kami sendiri menyatakan demikian. Semua ini terbukti ketika seorang pemuda pujaan hati I Putusari dengan persetujuan gadis itu melakukan upacara ngerorod (melarikan gadis calon isteri). Hal ini sudah disetujui oleh paman dan bibiku karena I Putusari dan pemuda itu memang sudah saling mencintai. Malah sudah diadakan persiapan menanti kembalinya sepasang calon suami-isteri itu beberapa hari kemudian. Akan tetapi pada malam harinya, Leak itu... yang terkenal sebagai Leak dari Gua Gajah, membalas dendam... ah... alangkah ngerinya. I Putusari dan kekasihnya mati keduanya di luar dusun, leher mereka rusak oleh cekikan tangan yang berkuku tajam... ah..."

   Ktut Witha menutupkan kedua tangan di depan mukanya, agaknya berusaha mengusir kenangan yang mengerikan itu.

   "Leak dari Gua Gajah? Mengapa disebut demikian, Ktut? Apa hubungannya dengan Gua Gajah?"

   Bahrudin bertanya keheranan, adapun Wijono yang tidak tahu apa dan di mana Gua Gajah itu, hanya mendengarkan.

   "Dusun tempat tinggal I Putusari tidak jauh dari Gua Gajah dan beberapa orang penduduk pernah melihat Leak terbang di malam hari lalu masuk ke Gua Gajah. Juga perdanda di dusun kami mengatakan bahwa Leak yang mencintai I Putusari itu adalah Leak dari Gua Gajah. Sudahlah, mas Din, aku ngeri kalau harus mengenang itu semua. Kita bicarakan lain hal saja."

   Dengan pandainya Bahrudin mengalihkan percakapan kepada hal-hal yang menyenangkan hati sehingga sebentar saja Ktut Witha terhibur sudah, malah agaknya sudah terlupa sama sekali akan cerita-cerita seram sehingga tanpa disengaja gadis ayu ini memuji keindahan daerahnya termasuk Gua Gajah kepada Wijono.

   "Kalau hendak melihat tak boleh melewati daerah Bedudu. Di sekitar daerah ini terdapat banyak sekali tempat-tempat indah dan pura-pura keramat. Ada dua gua besar di sana, di sebelah utara Bedulu adalah Gua Garba dan di sebelah barat adalah Gua Gajah yang amat indah. Gua Gajah ini dahulunya adalah tempat pemandian keluarga Raja. Banyak pula pura pura keramat seperti pura Kurti yang tiga buah banyaknya, pura Panataran Sasih, pura Puser ing Jagat dan masih banyak lagi. Kalau terus ke utara, kau akan sampai di Tampaksiring, menikmati pemandangan di Tirta Empul dan lain-lain. Wah, terlalu panjang untuk diceritakan."

   "Bisa sesat jalan aku kalau tidak ada penunjuk jalan."

   Jawab Wijono gembira.

   "Jangan kuatir, bung Wijono. Taxi ini akan kusewa terus, boleh kau kuantar dik Ktut tentu suka menjadi guide (penunjuk jalan)."

   Makin akrab persahabatan tiga orang muda ini ketika akhirnya taxi memasuki Denpasar. Percakapan yang tadinya meriah menjadi sunyi, agaknya ketiganya sadar bahwa saat berpisahan telah hampir tiba.

   "Mas Wijono hendak ke mana sekarang? Adakah tempat yang dituju?"

   Tanya Ktut Witha.

   "Aku hendak pergi ke rumah seorang sahabatku yang sekarang berdinas di kantor pos Denpasar, namanya Waluyo, rumahnya di jalan Arca. Entah di mana jalan Arca itu."

   "Oo, jalan Arca, biarlah kuantar nanti. Dan kau, Ktut? Kau hendak ke mana sekarang? Apakah hendak terus ke Gianyar? Biar kuantar ke sana kalau kau hendak terus ke Gianyar."

   Kata Bahrudin.

   "Emm, besok saja ke Gianyar. Katanya mas Wijono hendak minta aku menjadi penunjuk jalan? Nah, besok saja kita berangkat bersama dan malam ini aku hendak bermalam di rumah pamanku, dekat saja, belakang Hotel Bali."

   Bahrudin menyuruh sopir taxi menuju ke rumah paman Ktut Witha, rumah yang kecil tapi cukup bagus, dengan pekarangan yang lebar. Rumah itu sunyi ketika gadis ini turun dari taxi.

   "Mampir dulu kalan,"

   Ia menyilahkan ramah.

   "Tak usahlah, mengganggu pamanmu saja nanti. Mungkin sore nanti aku datang ke sini berkenalan dengan pamanmu, Ktut. Aku bermalam di Hotel bali, dekat saja kan? Hayo bung Wijono, kuantar kau ke rumah sahabatmu."

   Wijono mengangguk kepada Ktut, tak dapat mengeluarkan kata-kata untuk memberi salam. Gadis itu dengan tas di tangan berdiri memandang mobil taxi yang bergerak pergi dari situ. Hari itu kebetulan hari minggu. Waluyo berada di rumah. Girang sekali Waluyo melihat kedatangan sahabatnya yang memang sudah ia ketahui sebelumnya karena ia sudah menerima surat dari Wijono yang mengabarkan akan kedatangannya. Wijono juga gembira berjumpa dengan sahabat baiknya yang sekarang telah beristeri, malah sudah mempunyai seorang anak perempuan berusia tiga tahun yang mungil. Dengan sopan Bahrudin bertukar salam sebentar dengan Waluyo dan isterinya, kemudian ia berpamit untuk mencari kamar di Hotel Bali.

   * * *

   Malam itu Wijono gelisah di atas pembaringannya. Ia diberi tempat oleh Waluyo di kamar depan. Setengah hari tadi ia diajak melihat-lihat keadaan kota Denpasar, malah kemudian melihat pula pantai Sanur. Keduanya tidak mendatangkan kesan. Keadaan kota Denpasar tiada bedanya dengan kota-kota lain di Jawa, malah tidak begitu ramai. Orang-orangnya adalah orang-orang kota dan di mana saja, orang-orang kota ini mempunyai ciri yang sama, yaitu sibuk berdagang, sibuk pula bersenang-senang. Hampir tidak tampak ciri-ciri khas Bali dalam kota Denpasar, kecuali kalau ia memperhatikan dandanan beberapa orang wanita yang agaknya datang dari dusun.

   Di Sanur pun tidak ia temui kesan menarik. Bangunan Hotel Bali Beach tidak menarik hatinya. Apa bedanya dengan Hotel Ambarukmo di Jogja dan bangunan-bangunan lain di Jakarta? Pantai macam Sanur pun banyak yang sudah ia lihat di Jawa, malah lebih indah lagi daripada Sanur, misalnya pantai Pangandaran, Pelabuhan ratu, Parangtritis, dan masih banyak lagi. Pendeknya, perjalanan setengah hari itu bersama Waluyo tidak memuaskan hatinya. Kedua tempat ini tidak menggambarkan Bali sebagaimana ia kenang dan impikan. Setelah ia beristirahat, seorang diri di kamar tidurnya yang kecil dengan jendela dibukanya menghadapi pekarangan rumah yang penuh pohon-pohon dan kembang, keadaan Denpasar dan Sanur sama sekali tidak teringat lagi olehnya.

   Aneh sekali, yang terbayang di depan matanya adalah... wajah gadis Bali bermata bulan kembar, Ktut Witha! Membayangkan gadis ini, teringat ia akan dongeng tentang Leak Gua Gajah, teringat ia akan sinar ketakutan di mata bulan itu, bayangan kengerian di wajah yang lonjong berbentuk telur itu. Wijono memandang ke luar jendela. Gelap remang-remang di pekarangan itu. Di ujung kiri tumbuh sebuah pohon cempaka yang tinggi dan rindang. Angin bertiup perlahan, membuat semua tetumbuhan dan dahan-dahan pohon berikut daunnya bergerak-gerak, menjadikan macam-macam bentuk mengerikan dalam khayalan orang kengerian. Wijono bergidik, melihat jam. Baru jam delapan, pikirnya. Ia keluar kamar, menjumpai Waluyo dan isterinya tengah bercakap-cakap di ruangan tengah.

   "Belum tidur, Wij? Kau tentu lelah, mengasolah dulu,"

   Ujar Waluyo.

   "Tidak, Wal, aku malah hendak keluar sebentar."

   "Eh, keluar lagi? Oh, hendak menyaksikan Bali di waktu malam agaknya? Atau hendak melihat tari-tarian? Kiraku malam ini di pendapa hotel Bali tidak diadakan tari-tarian, mungkin besok atau lusa malam. Tapi kalau kau ingin menonton, bisa kuajak keluar kota, mungkin di suatu diadakan pesta."

   "Terima kasih, Wal, aku tidak ingin menonton tari-tarian, aku ingin pergi mengunjungi... mas Bahrudin."

   "Oo, yang tadi mengantarmu dan yang katanya bermalam di hotel Bali itukah? Ah, temanmu itu agaknya kaya raya, Wij."

   Setelah berpamit kepada suami-isteri itu, Wijono lalu meninggalkan rumah itu dan ia berjalan kaki menuju ke hotel Bali. Tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan berindap-indap di luar pekarangan rumah Waluyo, gerak-gerik orang itu mencurigakan benar, ia mempercepat langkahnya hendak menyusul. Orang itu menengok dan mempercepat jalannya, sebentar saja lenyap di dalam bayangan pohon.

   "Pak Basri...!"

   Wijono berteriak memanggil, akan tetapi tidak ada jawaban. Benarkah orang itu tadi Pak Basri? Ah, tak mungkin, bantahnya sendiri. Ketika menengok tadi memang seperti muka Pak Basri benar, akan tetapi andaikata benar sopir taxi itu, mengapa harus melarikan diri? Ia terheran-heran dan kalau tadinya ia berniat pergi mengunjungi Ktut Witha, sekarang ia betul-betul hendak pergi bertemu dengan Bahrudin, untuk menyelidiki apakah benar orang tadi sopir taxi dan kalau benar apa kehendaknya berlaku sedemikian anehnya. Tanpa disengaja, kebohongannya terhadap Waluyo tadi menjadi kenyataan. Ia pergi mengunjungi Bahrudin. Memang juga searah tempat tinggal Ktut Witha dan Bahrudin, dara itu mondok di rumah pamannya di belakang hotel besar ini. Pengurus hotel segera menjawab ketika ia bertanya tentang tamu dari Jogja yang bernama Bahrudin,

   "Betul, ada tamu itu, akan tetapi baru saja, belum ada lima menit, dia pergi keluar."

   "Dengan mobilnya?"

   Tanya Wijono.

   "Mobil? Entahlah, mungkin juga."

   "Apakah bung Bahrudin memberi tahu ke mana dia pergi?"

   Pengurus itu menggeleng-geleng kepala dengan muka heran karena jarang sekali ada tamu memberitahu ke mana dia hendak pergi kepada pengurus hotel.

   "Agaknya hendak pergi melihat-lihat, ke mana lagi? Semua tamu jarang berada di hotel, apalagi karena malam ini tidak diadakan pertunjukan apa-apa."

   Wijono mengucapkan terima kasih lalu keluar dari ruangan tamu hotel yang besar itu. Di depan ia sengaja melihat-melihat, terutama ke arah mobil-mobil taxi yang berderet di depan hotel. Tidak tampak mobil taxi hitam itu. Tentu saja Bahrudin pergi dengan taxinya, dan kalau benar demikian, kiranya tidak mungkin bayangan orang tadi adalah Pak Basri. Ia salah lihat dan mungkin juga orang itu tadi tidak mempunyai niat yang tidak baik, mungkin hanya orang lewat dan dia yang terlalu curiga dan berprasangka yang bukan-bukan. Ingatannya kembali kepada Ktut Witha dan kakinya melangkah ke jalan simpangan yang menuju ke jalan belakang hotel Bali, tempat tinggal paman Ktut Witha.

   Berbeda dengan jalan besar di depan hotel Bali, jalan simpangan ke belakang itu tidak diterangi lampu-lampu neon sehingga keadaannya agak gelap. Sunyi malam itu dan langit tertutup awan menghitam. Agaknya angin malam yang agak keras itulah yang membuat orang-orang enggan keluar rumah. Kesunyian mencekam hati Wijono, membuatnya ragu-ragu. Bagaimanakah nanti penerimaan Ktut Witha kalau ia datang di waktu sesunyi itu? Namun ia dapat mengatasi keraguannya. Rindunya lebih besar lagi. Kakinya melangkah terus sampai ke depan rumah mungil yang berpekarangan lebar penuh tetumbuhan. Di sebelah depan, pada ujung pekarangan bagian kanan, terdapat sebuah sangah, yaitu bangunan kecil yang selalu terdapat di pekarangan sepan rumah penduduk Bali, yang digunakan untuk tempat pemujaan bagi dewa-dewa, tempat menaruh sesajen dan tempat bersembahyang.

   Di sebelah sangah ini terdapat tembok pekarangan modern dari batu bata, yang menyambung pagar tanah lempung di sebelah depan. Pada kaki tembok itu terdapat patung yang menyerupai Budha setengah Wisnu. Tiba-tiba Wijono tersentak kaget oleh jerit wanita, disusul dua sosok bayangan berkejaran di bawah pohon. Segera pemuda ini dapat mengenal Ktut Witha yang bergaun panjang berlarian sambil menjerit ketakutan. Di belakangnya tampak bayangan orang mengejarnya. Karena keadaan gelap, Wijono tidak dapat mengenal siapa pengejar itu, apalagi karena perhatiannya tercurah kepada Ktut Witha yang pada saat berikutnya roboh terguling di dekat arca di kaki pagar tembok itu. Pengejar itu membungkuk dan pada saat itulah Wijono meloncatinya, menerkam dan menghardik,

   "Bangsat, kau apakan dia?!"

   Orang itu dengan gerakan yang cepat sekali sudah meloncat berdiri, membalikkan tubuhnya dengan berang. D

   an pada saat inilah Wijono terbelalak dan jantungnya serasa berhenti berdetik, mukanya pucat dan ia tidak mampu bergerak lagi. Yang berdiri mengerikan di depannya bukanlah orang. Bentuk tubuhnya memang seorang manusia, akan tetapi kepalanya! Muka itu jelas bukan muka manusia, rambutnya kasar awut-awutan, mukanya seperti muka iblis dalam gambar. Telinga panjang meruncing ke atas, sepasang mata bundar besar melotot terus, hidung besar dan mulut yang lebar sampai ke telinga itu mempunyai taring seperti gigi harimau, lidahnya panjang sekali mengerikan! Tiba-tiba makhluk itu mengeluarkan suara menggereng dan bagaikan seekor harimau ia menerkam ke depan. Wijono masih belum sadar daripada kaget, tahu-tahu ia merasa lehernya sakit tercekik, napasnya tersumbat dan pandang matanya berkunang.

   Sebetulnya Wijono bukanlah seorang pemuda lemah. Ia murid Pak Leman yang sudah matang dan pernah menjadi juara harapan dalam demonstrasi pencak silat di kotanya. Akan tetapi pada saat itu, hatinya terlalu ngeri dan perasaannya sudah dicekam oleh keseraman hebat yang membuat seluruh tubuhnya terasa lemas dan tenaganya hilang entah ke mana. Karena rasa ngeri dan seram inilah agaknya maka ia tidak dapat melakukan perlawanan. Cekikan pada lehernya makin kuat, makin erat, dan ia mencium bau busuk keluar dari mulut mengerikan yang mulai terkekeh-kekeh itu. Wijono menjadi lemas, dunia gelap baginya dan ia tidak merasa apa-apa lagi. Hanya lapat-lapat telinganya mendengar teriakan-teriakan orang banyak, kemudian lehernya terbebas daripada cekikan dan tubuhnya terguling lalu... tidak ada apa-apa lagi karena ia sudah pingsan.

   Tubuhnya menggeletak di dekat tubuh Ktut Witha yang juga rebah tertelungkup tak sadarkan diri. Wijono membuka matanya dan ia terheran-heran mendapatkan dirinya sudah berada kembali di kamarnya, terlentang di atas tempat tidur di kamar depan di rumah Waluyo! Mimpikah ia tadi? Ia bangun duduk dan mengerang perlahan. Dirabanya lehernya, terasa sakit. Dilihatnya pakaiannya, masih celana dan kemeja, tapi kaus kaki dan sepatunya tidak berada di kakinya lagi. Tak mungkin mimpi! Kalau ia tidur tak mungkin mengenakan pakaian ini, tentu bersarung. Ia mendengar suara orang di luar kamarnya, suara Waluyo dan suara isterinya, ada suara orang lain yang dikenalnya baik. Suara Bahrudin! Cepat ia melompat ke pintu, dibukanya dan dengan wajah pucat ia bertanya kepada tiga orang yang memandangnya penuh kekhawatiran itu,

   "Apa yang telah terjadi?"

   Waluyo maju merangkulnya.

   "Tenang, Wij. Tenang dan duduklah. Telah terjadi hal aneh pada dirimu dan kami sedang membicarakannya. Mas Bahrudin yang membawamu pulang. Kau dalam keadaan pingsan tadi dan kami amat kuatir..."

   Wijono memandang Bahrudin, sinar matanya penuh pertanyaan. Bahrudin memegang tangannya dan menariknya disuruh duduk. Kemudian setelah menyalakan sebatang rokok, ia bercerita,

   "Ketika aku kembali ke hotel, pelayan mengatakan bahwa ada orang mencariku. Kuduga kaulah yang mencariku dan aku lalu menyusulmu ke rumah Ktut. Ada sopir taxi melihatmu berjalan melalui jalan simpang belakang hotel. Ketika tiba di sana, kulihat ramai-ramai orang berkumpul di pekarangan rumah paman Ktut. Aku cepat lari menghampiri dan ternyata kau telah menggeletak pingsan di dekat arca. Maka aku lalu memanggil Basri dan membawamu kembali ke sini. Nah, sekarang ceritakanlah, bung Wijono. Sebetulnya apa yang telah terjadi, dan mengapa kau bisa berada di pekarangan itu dalam keadaan pingsan?"

   Wijono menggoyang-goyang kepala untuk mengusir bayangan yang mengerikan, menarik napas panjang beberapa kali dan minum air dari gelas yang disuguhkan oleh isteri Waluyo. Kemudian ia memandang Bahrudin, bertanya dengan tegas,

   "Bung Bahrudin, apakah sopir Basri itu dapat dipercaya? Apakah dia tadi bersamamu selalu?"

   Bahrudin mencabut rokok dari mulutnya, memandang heran.

   "Tentu saja, mengapa? Dia boleh dipercaya dan... tadi dia memang tidak bersamaku, aku pergi berjalan-jalan dan dia... eh, tentunya dia berada di depan hotel atau mungkin juga berjajan di luar. Mengapa?"

   Otak Wijono mulai bekerja. Banyak terjadi keanehan dan ia harus menyelidikinya.

   "Tidak apa-apa,"

   Jawabnya, lalu disambung cepat,

   "Dan bagaimana dengan Ktut Witha? Apakah dia tidak apa-apa?"

   "Dia tidak apa-apa, malah tadipun ikut bingung melihat kau menggeletak pingsan, dia yang tadi memanggil dokter untukmu. Dokter menyatakan bahwa kau pingsan karena kaget."

   "Dia betul tidak apa-apa? Bung Bahrudin, apakah dia tidak bercerita apa-apa yang aneh?"

   Wijono mendesak, terheran-heran. Bahrudin menggeleng kepala, pandang matanya penuh selidik dan ujung matanya mengerling ke arah Waluyo. Yang dilirik segera berkata,

   "Wij, kau masih bingung agaknya, lebih baik kau mengasolah dan tenangkan pikiranmu. Atau, kalau kau merasa kuat, kau ceritakanlah apa yang telah terjadi?"

   "aku... aku pergi ke rumah Ktut dan... dan aku bertemu dengan..."

   Ia memandang kepada Bahrudin, mukanya pucat.

   "Teruskan, bung Wijono. Kau bertemu dengan siapa?"

   "Dengan... Leak...!"

   Isteri Waluyo menjerit kecil, Waluyo dan Bahrudin serentak bangkit dari kursi masing-masing, kaget.

   "Nonsens!"

   Bahrudin cepat mencela, lalu memadamkan puntung rokoknya di asbak.

   "Bung Wijono, kau agaknya terlalu terpengaruh oleh dongeng Ktut Witha yang kau dengar siang tadi."

   "Tidak... tidak..., aku malah telah dicekiknya, lihat, leherku masih terasa sakit sekarang..."

   Wijono bergidik. Tapi Bahrudin tersenyum memandangnya dengan sinar mata iba, menggeleng-geleng kepalanya lalu meyalakan sebatang rokok baru. Melihat sikap tak percaya ini, Wijono makin bernapsu,

   "Aku tidak bohong, bung Bahrudin. Betul-betul aku melihat Leak yang mencekikku, malah... malah Ktut Witha juga rebah pingsan di sana..."

   Bahrudin bangun berdiri, meggeleng-geleng kepala.

   "Wah, kau benar-benar harus mengaso dulu, bung Wijono. Ktut tidak apa-apa tadi, kau agaknya mengalami apa yang disebut hallucination, terpengaruh nikmat dongeng yang mendatangkan khayal dan menyihirmu. Aku minta pamit dulu, kau tidurlah baik-baik dan besok kau akan sadar bahwa semua ceritsmu ini hanya mimpi buruk belaka."

   

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini