Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gunung Lawu 1


Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Sebagaimana keadaan hampir semua gunung yang terdapat di Pulau Jawa, Gunung Lawu pun terkenal akan keindahan pemandangan alamnya. Tawangmangu, Sarangan dengan telaganya yang luas, Cemara Semu, dan masih banyak pula tempat-tempat indah merupakan kebanggan Gunung Lawu. Para pelancong yang datang mengisirahatkan pikiran mereka yang penat dan panas karena terlampau banyak diperas di dalam kota, mendapat kenikmataan lahir batin jika telah berada di lereng Gunung Lawu. Tubuh mereka yang lelah terasa sehat segar karena hawa gunung yang sejuk seakan-akan membersihkan ruang dada seakan-akan membersihkan ruang dada mereka yang kotor berdebu.

   Pikiran yang biasanya selalu penuh dengan siasat dan tipu-tipu di dalam perjuangan mencari uang, halal maupun haram, menjadi tenang tentram jika mereka telah berada di Tawangmangu. Jika para pelancong itu menyewa kuda atau berjalan kaki dari Tawangmangu menuju ke Sarangan, di sepanjang jalan mereka akan menikmati tamasya alam yang indah mengagumkan. Kekuasaan Tuhan nampak nyata, kebesaran hasil ciptaan Tuhan terbentang luas, bersih daripada hasil ciptaan manusia yang lebih banyak mendatangkan pertengkaran dan kesulitan daripada perdamaian dan kebahagiaan. Seperti biasa pada suatu hari pagi-pagi sekali beberapa orang tukang kuda telah berkumpul sambil menuntun kuda masing-masing di depan Hotel "Permai"

   Di Tawangmangu. Mereka tahu benar bahwa dari sepagi itu belum waktunya bagi para pelancong keluar dari hotel.

   Orang- orang kota itu tak tahan hawa dingin dan mereka masih sayang meninggalkan bantal guling dan kamar yang melindungi mereka sari embun pagi yang dingin meresap tulang. Karena yakin bahwa masih banyak waktu bagi mereka untuk menanti pelancong-pelancong itu keluar, para tukang kuda berkumpul mengelilingi pikulan Pak Danu yang penuh dimuati teh dan kopi panas, goreng ubi, dan beberapa macam makanan gunung. Mereka mengopi sambil mengobrol, seperti biasa membicarakan pengalaman mereka dengan para pelancong di hari-hari yang lalu. Para pelancong orang kota tentu tak pernah menyangka bahwa bapak-bapak gunung yang sering mereka bicarakan dan cela karena kesederhanaan dan kebodohan mereka itu, kini sedang mempercakapkan dan menertawakan kebodohan dan kecanggungan orang-orang kota yang menganggap diri lebih pintar itu!

   "Penyewaku kemarin yang punya mobil biru itu, sungguhpun kelihatan gagah berani, tetapi ketika kudanya naik bukit di pingir jurang, lalu gemetar ketakutan dan turun dari kuda, padahal kuda itu telah kutuntun. Ia rela berjalan kaki sehingga kudaku menganggur saja. Untung bagiku, kudaku tak sangat lelah,"

   Bercerita Pak Karyo.

   "Penyewaku lebih lucu lagi. Ia berpakaian seperti cowboy..."

   "Apa itu cowboy?"

   Tanya Sarju kepada Jiman, tukang kuda yang masih muda dan tidak berbaju di pagi sedingin itu.

   "Engkau belum pernah melihat Cowboy? dulu ketika aku pergi ke pamanku di Solo, pernah aku menonton gambar hidup yang menggambarkan Cowboy-cowboy pandai naik kuda. Nah, ia berpakaian cowboy dan lagaknya seperti lagak yang kulihat di gambar hidup ketika mulamula ia memiliki kudaku. Tapi, ketika meninggalkan Tawangmangu belum juga sampai di Cemara Sewu, ia terpaksa, membatalkan maksudnya. Bahkan pulangnya ia berjalan kaki bersamaku."

   "Mengapa?"

   Jiman tertawa.

   "Jalannya pincang-pincang. Hampir aku tak dapat menahan tawaku. Engkau tahu mengapa ia pincang dan tak berani naik kuda pula? Pantatnya lecet! Baru juga naik kira-kira sejam, pantat cowboy kuda itu sudah lecet. Ha-ha!"

   Suara ketawa Jiman disusul oleh kawan-kawannya sehingga serentak mereka tertawa gembira.

   "Yang aneh sekali penyewanya,"

   Berbicara Pak Kadar.

   "Ia seorang setengah tua, gerak-gerik dan tutur sapanya halus-halus. Ia naik kudaku perlahan-lahan, dan aku menuntunnya. Ketika sampai di Cemara Sewu, ia minta beristirahat. Dan dikeluarkanlah bekalnya roti dengan isinya kuning-kuning entah apa namanya. Akupun lalu mengeluarkan ubi bakar yang kubawa dari rumah. Lalu apa yang terjadi? Ia minta aku bertukar makanan! Ia makan ubiku dengan lahap dan enaknya! Sungguh lucu sekali orang kota itu."

   "Bagaimana rasa rotinya?"

   Bertanya seorang kawan.

   "Rasanya memang wangi, tanpa terlampau asin."

   Demikinlah, ramai mereka membicarakan orang-orang kota dengan gembira, orang-orang kota dengan kelakuan yang mereka anggap ganjil. Jiman menggerutu mengapa orang-orang kota belum juga ada yang keluar dari Hotel. Mereka tidak tahu bahwa seorang daripada para tamu yang tiba kemarin sore dengan otobis dari Solo, sejak ayam mulai berkokok tadi telah meninggalkan kamarnya. Ia adalah seorang pemuda tanggung, bertubuh kurus dan berpakaian celana panjang dan kemeja lengan panjang pula berwarna kuning gading. Ia datang seorang diri dan menuliskan namanya di buku hotel, Pamadi.

   Telah berjam-jam ia duduk di atas sebuah batu besar di atas bukit kecil. Bukit itu tak jauh letaknya dari hotel, ia hanya menggunakan waktu sepuluh menit untuk menyapanya. Bagaikan kena pesona dan lupa diri ia duduk seorang diri di tampat yang sunyi itu, berkawankan burung-burung yang berkicau bersahut-sahutan di atas pohon, menyaingi bunyi jengkrik dan kokok ayam jantan yang makin lama makin mengurang. Ketika sinar matahari telah membayangkan fajar menggantikan malam sehingga embun yang bergulung-gulung tak tampak sehitam tadi, kini agak keputih-putihan dan dapat ditembus pandangan mata, sungguhpun matahari sendiri masih bersembunyi tempat duduknya dan menuruni bukit dari sebelah sana yang menuju ke jalan, dari mana ia langsung menuju ke hotelnya. Beberapa orang tukang kuda mengelilinginya.

   "Sewa kuda, den?"

   "Ini kuda baik, gus."

   "Mari naik kuda saya, dan ia jinak seperti domba.

   "

   Demikian mereka berebut menawarkan kuda, namun yang ditawari hanya menggelengkan kepala lalu duuk di atas sebuah daripada kursi-kursi yang disediakan di depan hotel. Pamadi datang ke Tawangmangu baru sekali itu, dan bukan maksudnya untuk sengaja berpesiar atau mencari kesenangan, sungguhpun setelah tiba di situ tiada putusnya ia mengagumi keindahan tamasya alam. Ia datang ke Tawangmangu memenuhi dorongan sesuatu yang ganjil, seakan-akan ada sesuatu menggerakkan kehendaknya untuk segera pergi dan melihat Tawangmangu. Pamadi adalah seorang pemuda yatim piatu. Ia sudah tak ingat sama sekali bagaimana rupa ayahnya. Tapi ia masih ingat bahwa ibunya aalah seorang wanita cantik dan bahwa semenjak berusia lima tahun ia ditinggal ibunya yang menyerahkannya ke dalam asuhan Asmara Taman Harapan, Tempat anak Yatim-piatu dirawat.

   Bertahun-tahun ia menderita kesedihan rindu kepada ibunya. Tapi lambat-laun perasaan sedih itu dapat juga diatasinya, bahkan kini ia hampir tak ingat bagaimana bayang-bayang suram belaka dalam ingat bahwa ibunya bernama Mintarsih. Sepuluh tahun ia dirawat dan dididik di dalam Asrama itu, menjadi kesayangan semua pengasuh dan guru asrama itu karena sangat rajin, penurut dan pandai. Ia mendapat didikan seperti di sekolah dan disamping itu ada pendidikan pelajaran vak dan Pamadi memilih bagian mesin. Karena tiada sanak keluarga, maka setamatnya pendidikan di Asrama itu, Pamadi tetap tinggal di situ dan bekerja membantu pekerjaan para pengasuh. Ia ikut mengajar dan mendidik anak-anak yatim piatu yang diasuh di situ. Sambil mengenang nasibnya, Pamadi mendengarkan percakapan para tukang kuda yang masih saja mengerumuni pikuan Pak danu.

   "Mana Pak Wiro Jerangkong (tengkorak)? Mengapa ia dan kudanya belum kelihatan?"

   Pamadi heran mendengar ada orang yang bernama demikian ganjil dan serem, maka ia perhatikan percakapan mereka lebih lanjut.

   "Mungkin Jim Dawuk (Jim berarti setan; Dawuk warna kelabu) mengamuk lagi,"

   Kata Pak Karyo tukang kuda yang tua.

   "Akupun pernah dengar tentang Jim Dawuk mengamuk, bagaimanakah ceritanya, Pak Karyo?"

   Tanya Jiman, dan Pamadi makin tertarik hatinya.

   Pak Karyo mengisap rokok kelobotnya (kelobot ialah nama kulit jagung dan dipakai orang penggulung rokok) dan mengejap-ngejapkan matanya, nampaknya senang sekali mendapat ketika untuk menceritaan sesuatu yang menarik. Setahun atau lebih yang lalu, pada suatu senja ketika Pak Wiro Jerangkong sedang mencangkul kebun, nampak olenya seekor kuda berbulu dawuk berlari-lari bagikan gila. Ia segera mengejarnya karena menyangka bahwa kuda itu milik seorang tetangga yang terlepas dan kabur. Kuda itu menyepak dan menyeruduk sana-sini, menghancurkan pikulan Mangun yang penuh makanan, dan ketika akan ditangkap ia menyepak Bardiman hingga terpental berguling-guling, lalu memasuki warung Mas Darmo. Dan di situlah kuda setan itu tertangkap setelah merusak warung Mas Darmo dan melukai tiga orang lain. Pak Karyo berhenti sebentar untuk menyedot-nyedot rokoknya yang hamper padam.

   "Lalu bagaimana, Pak? mendesak Jiman.

   "Memang kuda itu cocok untuk menjadi kuda Pak Wiro Jerangkong. Belum pernah aku melihat kuda seganjil Jim Dawuk atau orang seaneh Pak Jerangkong. Kuda itu tak mungkin dapat ditangkap. Galaknya bukan kepalang. Dihampiri dari belakang, dia menyepak-nyepak, dari depan, ia menggigit-gigit. Akhirnya Pak Wiro Jerangkong tampil ke depan. Dihampirinya kuda itu dari depan dan ia membaca mantera. Entah mantera apa yang dikomat-kamitkan di bibirnya itu, hanya terdengar olehku ketika ia membuka manteranya yang berbunyi: "Hong, Nir Baya Sedya Rahayu!"

   Dan... ajaib, kuda itu menjadi jinak dan menurut saja dipasangi kendali oleh Pak Jerangkong. Ia berhenti pula. Semua orang, terhitung Pamadi yang kini telah mendekati mereka, sangat tertarik dan memandang wajah Pak Karyo seakan-akan tergantung pada bibirnya.

   "Lalu bagaiamana?"

   Pertanyaan ini diucapan oleh lebih banyak dari dua mulut.

   "Yang aneh sekali, Pak Jerangkong mengakui kuda itu sebagai miliknya dan ia rela mengganti semua kerugian. Kerugian Mangun, ongkos berobat Bardiman dan beberapa orang lain yang kena sepak dan juga kerugian Mas Darmo. Sehingga rumah gubuknya, milik satu-satunya, dijual untuk membayar semua pengganti kerugian itu. Coba pikir, gila tidak orang itu."

   "Kudanya aneh orangnya pun aneh. Mungkin kedua-duanya gila,"

   Mengomentar seorang pendekar.

   "Eh, jangan berkata sembarangan. Mungkin kuda itu keturunan iblis, pernah kudengar kata orang Pak Jerangkong membakar dupa di depan kuda itu tiap malam jumat,"

   Berkata Jiman. Pada data itu beberapa orang pelancong keluar dari hotel. Segera sekalian tukang kuda berdiri dan menghampiri mereka, dahulu-mendahului menawarkan kuda mereka. Tak lama kemudian habislah semua itu dituntun oleh masing-masing tukang kuda, seorang tukang kuda yang pergi paling akhir, tiba-tiba berseru,

   "He! Pak jerangkong, mengapa engkau terlambat datang?"

   Pamadi segera memandang kearah tukang kuda itu melambaikan tangan. Dari jalan yang menurun datang seorang tua sambil menuntun seekor kuda tinggi. Setelah mereka dekat, tampak oleh Pamadi betapa cocoknya kuda dengan penuntunnya itu. Kudanya berbulu abuabu, namun terbayang sesuatu yang tidak terdapat pada muka kuda biasa. Sesuatu yang mengerikan. Entah mulutnya yang selalu memperhatikan gigi karena bibir atasnya ditarik ke atas itu. Entah sepasang matanya yang seperti mata manusia, mengandung gerak seakan-akan mengerti seperti pengertian orang itu, atau entah jambulnya yang tinggi melambai di antara kedua telinganya itu.

   Tubuhnya tinggi kurus, keempat kakinya panjang-panjang dan bagian bawah dari kakainya semua berbulu putih. Nyata bahwa kuda itu tidak mendapat perawatan cukup baik. Pamadi lalu mengalihkan perhatiannya kepada penuntun kuda yang tak kalah ganjilnya. Orangnya tinggi kurus seperti kudanya pula. Ia tak berbaju sehingga nampak tulang-tulang rusuknya. Kepalanya gundul dan berdaging sedikit juga pada mukanya, sehingga membuat mata dan pipinya mencengkung ke dalam. Demikianpun lengan tangannya tampak hanya tulang dan kulit belaka. Pantas saja ia disebut Jerangkong. Seandainya celana hitam panjang yang menutupi kedua kakinya itu dilepaskan, tentu ia akan menyerupai tengkorak hidup benar-benar. Ia menuntun kudanya perlahan-lahan menuju ke halaman depan Hotel "Permai"

   Lalu mendekati tiga orang pelancong laki-laki yang tadi tidak kebagian kuda.

   "Naik kuda, den?"

   Suaranya besar dan parau, tak bersemangat dan kedua matanya memandang acuh tak acuh. Tiga orang tamu itu saling berbisik, kemudian dia antara mereka mendekati tukang kuda kurus itu.

   "Engkaukah yang bernama Pak Jerangkong? Dan kuda setan ini kudamu yang disebut Jim Dawuk?"

   Tanyanya.

   "Barangkali Tuan mendengar obrolan orang-orang gila itu,"

   Jawabnya.

   "namaku Wiro Singo dan kuda ini Si Dawuk."

   Ketiga orang itu berbisik-bisik pula dan seorang di antaranya berkata,

   "Siapa orangnya mau naik kuda setan dan dikawani oleh seorang mayat hidup seperti dia? Hi! Berdiri bulu tengkukku!"

   Perkataan yang bersifat olok-olok ini terdengar oleh Pamadi di dekat mereka. Tiba-tiba timbul rasa kasihan dalam hatinya kepada orang tua kurus itu, lalu segera dihampirinya Pak Wiro Singo.

   "Pak, kudamu akan kusewa. Antarkan aku ke Cemara Sewu."

   Pak Singo memandangnya dengan matanya yang lebar dan dalam.

   "Baik, den. Naiklah."

   Pamadi hendak mencela sebuatan "den"

   Itu, tapi tiba-tiba seorang yang berpakaian cowboy datang membalapkan kudanya menuju tempat mereka. Ia adalah seorang pemuda gagah dan melihat keadaan sepatu serta pakaiannya yang serba mewah itu, tahulah orang bahwa ia tentu akan orang kaya. Di belakangnya datang pula seorang lain menunggang kuda juga.

   "Ah, den, jangan membalap saja. Kuda ini tak mungkin dapat lari secepat si Rimang. Saya kuatir engkau akan sesat jalan nanti."

   Pemuda itu tertawa sobong,

   "Bukan salahku. Aku tidak biasa naik kuda merayap seperti keong!"

   Kemudian ketawanya makin keras ketika ia melihat Pak singo dan Si Dawuk.

   "Ha, ha! Lihatlah kuda jahanam itu, Alangkah kurus kering dan buruknya. Barangkali sudah sebulan tak kau beri makan, ya pak?"

   Oloknya kepada Pak Wiro Singo.

   "Biarlah, den. Ia masih marah karena kemarin ia terlempar dari punggung Si Dawuk. Bukan salah Si Dawuk, salahnya sendiri karena ia sombong dan memukul Dawuk dengan tongkatnya. Dawuk meloncat tinggi dan ia terpelanting."

   "He! Pak Kurus! Tulikah engkau? Sudah kau beri makan kudamu yang kelaparan itu? Ha, ha! Kutanggung kuda edan itu tak kuat lari lebih dari satu kilometer. Apalagi membalap. Kuda kelaparan seperti tukangnya!"

   Agaknya pemuda itu masih marah mengingat halnya kemarin. Sudah terpelanting jatuh, masih ditegur oleh Pak Singo karena memukul kudanya. Tapi mendengar olok-olok itu Pak Singo diam saja.

   "Mari den, kita berangkat,"

   Ajaknya kepada Pamadi.

   "Hari telah siang,"

   Pamadi tidak asing lagi duduk di punggung kuda. Di Asrama Taman Harapan ada dua ekor kuda penarik andong (dokar) direktur yayasan, dan sejak memelihara dua ekor kuda itu, memandikan dan memberinya makan. Maka sering pula ia naik kuda, bahkan tanpa pelana pun ia sanggup membalapkan kuda yang ditungganginya. Setelah mendengar ajakan Pak singo, iapaun segera meloncat ke atas pungung Dawuk dengan sugapnya, lalu menjalankan kudanya dengan diiringi Pak Singo yang berjalan kaki di sampingnya.

   "He, Pak Kurus! Beri makan dulu kudamu itu, nanti ia kelaparan. Eh, buyung! Hati-hati kalau kuda itu lapar, engkau akan dimakannya! Ha,ha!"

   Pamadi yang sejak tadi merasa kasihan kepada Pak Singo dan menahan marah mendengar ejekan dan hinaan pemuda sombong itu, segera menahan kendali kudanya dan bertanya kepada Pak singo,

   "Pak, bolehkan kudamu ini kupakai berpacu melawan dia?"

   Pak singo memandangnya heran, lalu tersenyum dan mengganguk.

   "Boleh tadi sudah kulihat, engkau pandai menunggang kuda. Aku tidak khawatir!"

   Pamadi lalu memutar kudanya dan menghampiri pemuda sombong yang masih duduk di atas Si Rimang sambil tertawa menyengir.

   "Sobat, engkau terlalu menghina orang!"

   Tegur Pamadi. Pemuda itu melebarkan matanya, tak disangkanya bahwa Pamadi akan berani menegurnya.

   "Eh, eh, si buyung ini... lihat... ha, ha! Seperti Citraksi naik kuda kepang!"

   Sekalian orang tertawa melihat lagak nakal dan mendengar sindirannya yang lucu itu. Tapi banyak pula yang tak senang dan merasa penasaran melihat kesombongannya.

   "Pakaianmu seperti cowboy, tentu engkau pandai naik kuda. Beranikah enkau berpacu melawan aku?"

   Pamadi menantang, tak perdulikan sindirannya yang menghina itu.

   "Melawan engkau? Di atas kudamu itu? Awas buyung, jangan-jangan engkau akan terbanting mampus!"

   "Berani tidak?"

   Pamadi mendesak.

   "Eh, jangan sombong, kawan. Apa taruhannya?"

   "Aku bukan orang kaya, tapi... tunggu dulu...!"

   Pamadi meloncat turun dan lari ke kamarnya. Diambilnya seluruh miliknya, ialah tas pakaian berisi beberapa stel pakaian dan uang.

   "Nah,"

   Katanya.

   "Ini milikku semua. Ambillah kalau engkau dapat mengalahkan aku."

   Pemuda itu menggerak-gerakkan hidungnya seakan-akan mencium sesuatu yang berbau busuk.

   "Aku tidak membutuhkan tas bobrok dengan isinya yang tak berharga itu. Begini saja, kalau kau kalah, engkau harus menjadi penuntun kudaku dari sini ke Sarangan. Bagaimana?" "Jadi!"

   Jawab Pamadi.

   "Dan kalau aku menang...?"

   Pemuda itu tak menjawab, hanya tertawa masam.

   "Engkau tak mungkin menang,"

   Katanya.

   "Bagaimana juga, harus berjanji dulu,"

   Mencela seorang daripada tiga pemuda pelancong yang tadi menolak tawaran Pak Singo. Mereka memperhatikan perdebatan itu dengan tertarik dan gembira.

   "Aku tak ingin engkau menjadi penuntun kudaku,"

   Kata Pamadi.

   "karena tentu engkau takkan kuat berjalan kaki sejauh itu. Taruhanku begini, kalau aku menang, engkau harus minta maaf kepada Pak Wiro Singo, karena hinaanmu tadi dan mencium tangannya tanda hormat."

   Pemuda itu memerah muakanya, memandang berganti-ganti kepada Pamadi, Si Dawuk, dan Pak Singo dengan mata merah.

   "Baik!"

   Geramnya. Tiga orang pemuda pelancong itu dengan gembira, lalu mencari batas perlumbaan. Diputuskan bahwa mereka harus mulai dari depan hotel menuju ke selatan dan balik kembali setelah mengelilingi bukit kecil di belakang hotel. Pamadi dan pemuda cowboy itu bersiap di atas kuda masing-masing dan setelah seorang pelayan hotel yang keluar pula menyaksikan pertandingan itu memberi tanda dengan kebutan saputangan, kedua pembalap itu melarikan kuda mereka. Pertama-tama Si Dawuk dengan segera melalui setengah putaran bukit. Pamadi mendekatkan kepalanya kearah telinga Si Dawuk berbisik,

   "Tolonglah Pak Jerangkong. Benar-benarkah engkau kalah olenya?"

   Ia tepuk-tepuk punggung Dawuk.

   Seolah-olah mengerti akan maksud penunggangnya, Si Dawuk segera menggerakkan keempat kakinya dan membalap sekuat tenaga. Jambulnya mengacung ke atas bagaikan tiang bendera peperangan. Keempat kakinya tak menginjak bumi lagi agaknya. Pamadi memicingkan mata. Angin menderu-deru di kedua daun telinganya. Leher bajunya kemasukan angin hingga bajunya menggembung di punggungnya. Sebentar saja tersusullah cowboy itu dan tertinggal jauh sekali, Pamadi mencapai tempat semula dengan sambutan tampik sorak riuh gembira. Tapi Pamadi tidak memperhatikan itu semua, hanya memandang kearah Pak Jerangkong yang menatapnya dengan wajah bangga. Pemuda cowboy itu datang dan disambut sorakan dan tertawa ejekan. Mukanya merah padam.

   "Hayo turun, dan bayar taruhanmu!"

   Kata Pamadi, tapi lawannya itu hanya memandang benci, lalu mencambuk kudanya meninggalkan tempat itu, diiringi oleh kawannya yang mengantar tadi.

   "Hei,"

   Tegur Pamadi, tapi Pak Jerangkong segera menghampirinya.

   "Biarlah ia pergi, den. Mari kita berangkat saja."

   "Namaku Pamadi, pak, dan tidak pakai segala macam raden."

   "O, maaf... nak Pamadi,"

   Jawabnya tersenyum dan pemuda itu turut pula tersenyum. Pamadi menyewa seekor kuda lain untuk Pak jerangkong dan mereka berangkat menuju Cemara Sewu. Tas Pamadi yang kecil itu dibawa oleh Pak jerangkong. Indah sungguh pemandangan di sepanjang perjalanan. Pamadi merasa seakan-akan bermimpi.

   Dari atas tebing tinggi ia memandang ke bawah, di mana terbentag keindanhan alam hijau menguning menyedapkan mata, pikiran, dan jiwa. Suara burung-burung berkicau menyedapkan telinga dan perasaan. Harum kembang mawar yang tumbuh di depi jurangjurang, bau rumput-rumput hijau yang dihiasi air embun mengintan, dan bau bumi yang sedap itu memenuhi hidung dan kerongkongannya, masuk ke dada bersama-sama hawa udara yang segar, jernih dan sejuk. Berkali-kali ia terhenti dan menanyaan keterangan kepada Pak Jerangkong tentang nama sesuatu bukit dan dusun. Ketika mereka sampai ke sebuah tempat yang penuh dengan pohon liar dan alang-alang, Pamadi melihat sebuah dtempat jauh. Bukit itu berwarna lain daripada bukit-bukit lain yang mengelilingi tempat itu. Warnanya kehitaman-hitaman, penuh pohon dan nampak menyeramkan.

   Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Itu bukit apa, pak ?"

   Tanyanya.

   "Yang menjulang ke atas itu disebut Pronggondani,"

   Pak jerangkong menerangkan.

   "Pringgodani kerajaan Gatutkaca?"

   Pak jerangkong tersenyum mengganguk.

   "Begitulah kiraya."

   "Tapi maksudku bukan yang tinggi itu, pak. Lihatlah bukit hitam di sebelah kiri itu. Nah, itu. Apakah nama bukit itu?"

   "Itu..., itu aku tidak tahu..."

   Jawaban dan suara Pak Jerangkong membuat Pamadi tiba-tiba memalingkan muka memandangnya. Dilihatnya wajah penuh keriput itu menjadi pucat. Ia heran.

   "Tidak tahu? Sungguh aneh, pak. Semua bukit engkau ketahui namanya, kecuali yang satu ini, justru bukit ini yang teristimewa dari yang lain..."

   "Marilah kita terus, den. Jangan membicarakan hal itu..."

   Pamadi makin heran tapi ia terpaksa memajukan kudanya mengikuti kuda Pak jerangkong. Setelah mereka memasuki hutan pohon cemara dan jati, Pak Jerangkong berkata,

   "Maafkan aku, den. Tadi aku tidak berani membicarakan gunung itu karena masih kelihatan. Gunung itu adalah gunung tak bernama dan di situ terdapat hutan-hutan lebat. Tak seorangpun pernah naik ke sana."

   "Mengapa, pak?"

   "Karena mereka takut. Di sana ada sebuah gua angker yang disebut Gua Siluman. Lagipula tidak ada jalan menuju ke gunung itu karena dikelilingi jurang-jurang yang sangat curam dan tak mungkin dapat dilalui orang. Kata orang gunung itu sangat angkar, bahkan orang yang berani membicaraannya pada waktu gunung itu nampak di depan mata, berarti akan mendatangkan malapetaka."

   Dalam hatinya, Pamadi tak percaya akan tahyul ini, tapi ia sangat tertarik. Ia hendak bertanya lagi, tapi tiba-tiba Si Dawuk mengeluaran smua ringkikan yang keras dan ganjil. Kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sehingga Pamadi hamper saja terpelanting. Pak Jerangkong nampak pucat, kudanya pun memberontak dan memekik-mekik.

   "Salahmu, den..."

   Bisiknya.

   "Celakalah kita..."

   "Kenapa, pak...?"Tanya Pamadi, tengkunya terasa dingin.

   "Penjaga gunung mencari mangsa..."

   Belum sempat Pamadi menggunakan pikirannya untuk memahami arti kata-kata ini, mendadak dari alang-alang di sebelah mereka terdengar suara gerengan hebat. Kuda Pak Jerangkong bagaikan peluru meriam meluncur maju melarikan diri dengan Pak Jerangkong seakan-akan bertiarap membujur di punggungnya.

   Si Dawuk mengeluarkan teriakan ganjil pula, teriakannya sangat keras melebihi kerasanya suara gerengan tadi, dan Pamadi melihat kepala seekor harimau besar yang telah keluar dari alang-alang cepat menghilang ketika Dawuk meringkik. Setelah meringkik sekali lagi, Si Dawuk lalu memutar tubuh dan terbang pergi, membawa Pamadi yang telah lemas ketakutan itu mendekam di atas punggungnya. Arah yang diambil oleh Si Dawuk menuju ke jalan yang dilalui tadi. Tapi makin lama makin cepatlah lari Si Dawuk, melompati jurang-jurang kecil sehingga membuat Pamadi gemetar ketakutan. Pemuda itu merangkul leher kudanya dan mencengkeram rambut Si Dawuk sambil menutup kedua matanya. Berjam-jam Dawuk lari bagaikan terbang, lebih cepat daripada ketika berpacu dengan cowboy di depan hotel tadi. Beberapa jam itu seakan-akan berbulan-bulan bagi Pamadi.

   Tubuhnya lelah dan lemas, kepalanya pening. Hampir ia tak kuat menahan lebih lama. Hanya keteguhan hatinya saja yang memungkinkan ia tidak terlepas dari punggung Dawuk. Ia tak tahu ke mana kuda itu menuju, dan ia hanya dapat menyerahkan nasinya kepada jemaat kaki Dawuk yang bergerak tiada hentinya itu. Di dalam hatinya ia yakin bahwa sejam atau dua ja saja lagi dalam keadaan demikian, ia tentu akan menyerah. Kedua telapak tangannya telah terasa panas dan pedas dipakai mencekau bulu Dawuk dengan kerasnya, sedangkan tubuhnya diguncang-guncangkan demikian hebatnya. Untung baginya, tiba-tiba ia merasa kuda itu memperlabat larinya dan akhirnya Si Dawuk hanya berjalan perlahan-lahan. Pamadi membuka matanya. Pertama-tama ia memandang ke sekeliling. Tampak olehnya pohon-pohon besar dan bunga-bunga yang indah permai.

   Alangkah indahnya tempat itu. Kemudian dipandangnya Si Dawuk. Mulut kuda itu terbuka mengeluarkan nafas bergulung-gulung di depan mukanya yang berpeluh. Matanya yang bersinar ganjil itu seakan-akan berseri-sri gembira. Tiba-tiba timbul rasa kasih yang besar dalam hati Pamadi kepada kuda itu. Dipeluknya Si Dawuk dengan mesra. Ia merasa bahwa kuda itulah kawan satu-satunya yang dapat diandalkan di tempat yang asing dan ganjil ini. Kembali ia memandang sekeliling. Cahaya matahari yang kini telah membubung tinggi menembus celah-celah daun pohon yang lebab dan rindang. Tiba-tiba terdengar suara melengking. Suara itu sangat merdu, sayup-sayup sampai tertiup angin seakan-akan sinar matahari yang membawanya turun dari angkasa. Kemudian lengking itu menurun naik dan melangu. Lagu yang ganjil.

   Pernah ia mendengar suling ditiup orang dalam lagu Jawa, lagu India, atau lagu Tionghoa. Tapi lengking ini bukan melaguka lagu yang pernah didengarnya. Bukan lagu Jawa, India ataupun Tionghua, namun terdapat kemiripan dengan ketiga-tiganya. Tak tahu ia lagu apakah itu, yang ia tahu pasti ialah bahwa lagu itu tentu lagu ketimuran. Ia yakin hal ini dan yakin pula bahwa alat yang berbunyi itu tentu suling atau semacam itu. Si Dawuk mengeuarkan suara rintihan. Pamadi menengok dan melihat telinga kuda itu bergerak-gerak, lalu keempat kakinya bertindak maju menuju kearah suara suling. Pamadi mengikutinya dengan hati berdebar. Setelah melalui beberapa deretan mawar hitam yang lebat dan sedang berkembang dengan indahnya, mereka sampai pada sebuah lapangan di tengah-tengah lingkungan deretan mawar, lapangan bundar yang berumput hijau segar.

   Lapangan itu dilindungi oleh beberapa pohon kemuning di sekitarnya dam daun-daun pohon itu merupakan atap kuning kehijau-hijauan. Beberapa buah batu hitam yang besar dan berbentuk segi empat berada di tengah-tengah lapangan. Di atas batu yang terbesar nampak duduk seorang tengah meniup sulingnya. Ia adalah seorang tua yang berwajah sehat. Tak sebuahpun guratan usia tua menghias kulit mukanya sehingga kalau saja tiada rambut, kumis dan jenggot yang putih bagaikan benang-benang perak halus itu, tentu muka itu lebih pantas menjadi muka seorag kanak-kanak. Pakaiannya hanya kain putih bersih dibelit-belitkan ditubuhnya. Suling yang dipegang dan sedang ditiupnya itu berbentuk aneh, berwarna hitam mengkilat berbengkok-bengkok seperti tubuh ular dan ujungnya menyerupai kepala naga.

   Ketika sampai kira-kira dua puluh lagkah jauhnya dari tempat orang tua itu, tiba-tiba Si Dawuk berhenti, dituruti oleh Pamadi. Kuda itu mengeluarkan suara ringkikan perlahan dan ketika Pamadi memandangnya, kuda itu ternyata telah menekuk kaki depan dan mendekam seakan-akan berlutut. Pamadi merasa bulu tengkuknya berdiri dan dengan tak terasa ia pun menekuk lututnya dan berlutut dengan khidmat, tak berani memandang orang tua itu. Tiba-tiba suara lengking suling merendah danmakin perlahan sehingga akhirnya lenyap. Setelah suling berhenti terdengarlah lengking suara belalang dan jengkerik yang seakan-akan mengiringi lagu suling itu.

   "Ha, ha, ha..."

   Orang tua itu tertawa, suaranya halus ringan.

   "Terpujilah Tuhan dan sekalian ciptaanNya. Engkau kembali, Dawuk? Dan membawa oleh-oleh untukku? Bagus, bagus..."

   Ia turun dari batu tempat duduknya dan menghampiri mereka. Tangan kanannya yang putih kemerah-merahan itu mengelus-elus jambul Si Dewuk.

   "Berdirilah!"

   Perintahnya dan Dawuk berdiri perlahan, mencium-cium tangan orang tua itu. Pada saat itu Pamadi mencium bau harum cendana.

   "Dan engkau, anak, telah lama kuharap-harapkan perjumpaan ini. Siapa namamu, nak?"

   Pamadi menyembah hormat.

   "Saya bernama Pamadi. Dengan tak sengaja saya telah datang ke sini mengganggu tempat bapak yang suci ini. Mohon diampunkan kelancangan saya."

   Orang tua itu tertawa.

   "Bagus, Pamadi. Kedatanganmu memang sudah kehandak Tuhan. Engkau suka menjadi muridku?"

   Pamadi menyembah lagi dengan girang.

   "Tiada yang lebih saya sukai daripada menjadi murid bapak yang mulia."

   Kembali orang tua itu tertawa gembira.

   "Bagus, bagus. Nah, marilah Bantu aku mencangkul kebun sayurku di lereng gunung sebelah utara itu!"

   Pamadi heran melihat tangan gurunya menunjuk ke sebuah bukit di utara yang nampaknya sangat jauh. Namun ia tak berkata apa-apa, hanya mengikuti kakek ajaib itu dengan patuh, mendaki bukit kecil menurun jurang, mengikuti kedua kaki gurunya yang sangat ringan melangkah maju tak menghiraukan tubuhnya yang telah lelah. Sembilan tahun telah lalu dengan cepatnya. Pamadi kini berusia dua puluh empat tahun. Tubuhnya tegap dan sehat wajahnya selalu bergembira seakan-akan mengeluarkan cahaya ganjil seperti yang nyata nampak dari wajah gurunya.

   Selama sembilan tahun itu, Pamadi menerima latihan-latihan jasmani dan rohani yang luar biasa. Tercapai olehnya segala ilmu dan rahasia hidup. Segala macam kesaktian dan kedigdayaan telah diturunkan oleh kyai itu kepadanya. Ilmu pencak silat yang tinggi-tinggi dan belum pernah dilihatnya, ilmu gaib yang luar biasa, teruatama ilmu kebatinan yang mambuka mata batin dan kesadarannya membuat jiwanya tenang, pikirannya tentram dan pandangannya jernih. Ia kini bahkan pandai pula meniup suling buatannya sendiri dari kayu cendana. Pamadi merasa bahagia. Pada suatu sore gurunya memanggilnya. Ia melihat gurunya tengah duduk di atas batu di dalam gubug samadhinya. Ia segera maju berlutut dan menyembah. Sepasang mata yang dilindungi alis tebal memutih itu terbuka perlahan dan muutnya bersenyum.

   "Pamadi, ingatkah engkau telah berapa lama engkau berada di sini?"

   Pamadi memandang gurunya.

   "Kurang lebih sembilan tahun, bapak guru."

   "Ya, sembilan tahun. Selama itu engkau telah mempelajari berbagai ilmu dan pengetahuan. Tahukah engkau apa maksudku mengajarkan sekaliannya itu kepadamu?"

   "Agar saya dapat menjadi pembela keadilan dan kebenaran?"

   "Dengan dasar apa engkau menjadi pembela keadilan dan kebenaran?"

   "Berdasarkan kewajiban sebagai manusia."

   "Baik, Pamadi. Engkau masih ingat akan segala pelajaranmu. Yang terpenting dari semua palajaran itu adalah kesadaran jiwamu. Segala kesaktian dan kekuatan tubuhmu itu hanya di lahir saja dan akan lenyap kelak bersama-sama tubuhmu, tapi kesadaran jiwa takkan lebur bersama jasmani. Dan inilah yang membahagiakan perasaan hatiku, nak. Jika di masa datang engkau menghadapi sesuatu yang tak terpecahkan olehmu atau kepadaku dan sekalian ajaranku."

   "Saya akan memperhatkan semua pesanmu yang suci, bapak guru."

   "Nah, sekarang tibalah saatnya untuk aku memberitahukan perpisahan kita Pamadi."

   "Perpisahan?"

   "Ya, nak. Diantara segala kewaspadaan yang kuajarkan kepadamu, hanya kewaspadaan melihat kejadian yang belum terjadi tak kuajarkan. Ini kusengaja, Pamadi, karena pegetahuan ini berbahaya dan dapat mempengaruhi batin dan jiwa. Soal-soal yang belum terjadi serahkan saja saja kepada Yang berkuasa, karena segala kehendakNya tentu terjadi, tak perduli engkau telah mengetahui sebelumnya atau tidak. Tapi menyerah buan berarti putus asa, nak. Di dalam penyerahanmu akan semua akibat terakhir engkau harus berdaya, berikhtiar sekuat tenaga melalui saluran perbuatan benar. Muridku, sungguhpun engkau dank au tak dapat mati musnah namun pakaian kita yang berupa badan jasmani ini tentu kembali kepada asalnya. Akupun tak terkecuali. Badanku yang sudah tua ini akhirnya tentu mati dan musnah. Dan kini tibalah saatnya aku melepaskan tubuh tua ini, Pamadi."

   Alangkah sedihnya hati pemuda itu mendengar kata-kata ini, tapi ilmunya yan tinggi membuat ia dapat menahan derita matanyapun tidak bergerak menyatakan keharuan hatinya.

   "Bagus, nak engkau telah pandai pula menguasai perasaan hatimu, sekarang dengarlah. Setelah aku pergi dari tubuh ini, engkau harus membakar gubug ini dan biarkan tubuhku terbakar pula di dalamnya. Kemudian turunlah dari bukit ini dan mulailah merantau untuk memenuhi tugas hidupmu."

   Pamadi menyembah lagi dan berkata,

   "Baik guru."

   Mengingat bahwa saat itu mungkin merupakan pertemuan terakhir dengan gurunya, tak tertahan hatinya untuk tidak mengajukan pertanyaan yan telah bertahun-tahun terpendam di hatinya.

   "Maafkan saya, bapak guru, bolehkah saya bertanyakan sesuatu?"

   Gurunya tersenyum.

   "Tanyalah, tak baik kalau kelak engkau terganggu oleh keragu-raguan."

   "Sebenarnya, siapakah nama guru? Saya ingin benar mengetahui."

   "Pamadi, apa artinya sebutan dan nama bagimu? apa bedanya kalau aku bernama atau tidak? Ingat, nama hanya sebutan orang, nak. Kita terlahir tak bernama. Tuhanpun tidak bernama."

   "Benar, bapak guru, namun saya ingin sekali mengetrahui nama seorang yang paling kucinta, kuhormati dan kupuja."

   "Sttt, jangan berkata bodoh."

   "Maaf, bapak guru yang mulia, dahulu aku pernah medengar adanya seorang Tionghoa yang mencapai kesucian sehingga disebut dewa, namanya Tan Tik Siu Sian dan yang kabarnya bertapa di gunung ini. Bapak guru sendirikah orang itu?"

   "Ha,ha, Pamadi. Jangan menghubungkan aku dengan siapa juga. Apakah bedanya Tan Tik siu Sian dan aku? apakah bedanya engkau dengan aku? Sudahlah, kalau engkau masih penasaran, sebut saja aku Kyai Lawu."

   "Terima kasih, guruku yang mulia."

   "Nah, cukuplah kiranya nak, sudah terlampau lama aku menahan diri."

   Pamadi menanti pesan selanjutnya, tapi tak terdengar apa-apa dari gurunya. Ketika ia memandang, ternyata Kyai Lawu sedang bersamadhi dengan sikap yang agung. Iapun tak berani mengganggu dan segera menyontoh gurunya, bersamadhi pula. Dengan tak terasa semalam telah terlewat. Tiba-tiba Pamadi telah tersadar dari samadhinya. Ia heran, belum pernah ia tersadar dengan demikian tiba-tiba. Seakan-akan masih berkumandang kata-kata gurunya di telinga.

   "Selamat tinggal muridku, aku pergi. Si Dawuk kubawa."

   Ia segera membuka mata memandang gurunya. Ternyata Kyai Lawu masih duduk diam bagaikan patung, tapi tidak adanya cahaya yang biasa memancar dari wajah gurunya membuat Pamadi setengah maklum apa yang terjadi. Ia mendekat dan mencium tangan gurunya. Dingin dan kaku. Kyai Lawu telah menghembuskan napas terakhir dalam samadhinya. Keharuan hati dan perasa Pamadi yang merasa sedih mendorong-dorongnya untuk menangis, tapi kekuatan hatinya dapat menenangkan pikirannya. Ia segera teringat akan pesan gurunya, dan berjalan keluar. Bintang-bintang masih menghias langit dengan indahnya, tapi hitam sang malam telah berganti cahaya kelabu suram dari subuh. Sebentar lagi tentu datang fajar. Ia hendak kadang Si Dawuk. Untuk membakar gubug itu ia perlu banyak rumput kering. Ketika tiba di kanang, kembali penasarannya menhadapi ujian. Si Dawuk terbaring miring dan telah mati pula, dingin kaku seperti hawa subuh. Ia teringat suara gurunya tadi,

   "Si Dawuk kubawa..."

   Pamadi menghela napas, ia merasa sunyi dan ditinggalkan seorang diri. Tadinya hanya guru dan kuda itu yang ia miliki, kini dengan serentak kedua-duanya pergi. Ia tak mempunyai apa-apa lagi di dunia ini. Tapi ketika ia memandang ke atas dan nampak ribuan bintang berkelapkelip kepadanya seakan-akan berkata,

   "kita masih ada setia selamanya"

   Iapun terhiburlah. Ia lalu menghampiri bangkai kuda itu dan dengan mudahnya ia pegang kedua kaki depan dan belakang, mengankatnya lalu memanggulnya menuju ke gubug. Diletakkannya bangkau kuda ke dalam gubug, lalu ia mengumpulkan rumput kering dan menumpukkan di sekeliling gubug. Setelah semua alat pembakaran sederhana itu siap, sekali lagi ia memasuki gubug itu. Diambilnya suling cendana dan sebuah keris kecil buatan gurunya. Lalu dia berlutut di depan gurunya sambil berdongkak memandang.

   Gurunya masih duduk bersila seakan-akan belum mati. Wajahnya tenang dan terbayang senyum kesabaran di balik kumis dan jenggot putih itu. Kedua tangan memegang suling cendana berkepala naga dan terletak di atas pangkuan. Hanya ketetapan hati dan pikirannya yang telah terlatih bertahun-tahun itulah yang membuat Pamadi kuat menahan untuk tidak menangis tersedu-sedu mengeluarkan rasa terharu yang mendadak penuh di dadanya. Sekali lagi diciumnya tangan gurunya dengan penuh khidmat, lalu ia pergi keluar setelah membelai-belai jambul Dawuk beberapa lama. Dengan menggunakan batu api dicetuskannya titik api dan dibakarnya rumput-ruput kering yang bertumpuk mengelilingi gubug. Asap bergulung-gulung tinggi dan sebentar saja gubug itu telah tergulung nyala api yang kuning kemerahan.

   Tiba-tiba dari tengah-tengah api itu bergulung asap kehijau-hijauan yang bercahaya terang membubung ke atas. Pamadi berdiri diam terpesona bagaikan patung dan tiba-tiba ia mendengar suara tiupan sayup-sayup keluar dari api yang bernyala-nyala itu. Ia memandang asap hijau terang itu sambil mendengarkan suara suling dengan penuh hormat. Ia kenal lagu itu. Ialah lagu "Perdamaian"

   Yang sering dinyanyikan oleh tiupan suling gurunya. Api makin mengecil dan asap hijau makin menyuram. Suara sulingpun perlahan-lahan menghilang. Pada waktu itu matahari telah naik dengan tak terasa. Haripun sianglah. Dengan hati-hati Pamadi membongkar-bongkar tumpukan abu gubug untuk mencari abu mayat gurunya. Tapi sia-sia, ia tak dapat menemukannya. Bahkan abu Si Dawuk pun tak tampak. Ia makin kagum akan kegaiban dan kesaktian gurunya.

   Setelah duduk bersamadhi menenterakan perasaannya yang agak terguncang menghadapi peristiwa itu, Pamadi lalu berjalan turun gunung dengan hanya membawa suling dan keris kecil yang kedua-duanya diselipkan di lipatan pakaiannya. Ia tidak tahu harus menuju ke mana, maka ia hanya menurut saja ke mana kedua kakinya melangkah dan membawa dirinya. Setalah melalui beberapa buah bukit dan jurang, tibalah ia di sebuah jalan kecil. Ia lalu mengikuti jalan itu. Tindakan kakinya dipercepat. Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang berbicara di sebalah depan, karena di depannya jalan itu membelok, maka ia mempercepat tindakan kakinya tampak olehnya tiga orang laki-laki berjalan sambil memikul ubi. Mereka berjalan seakan-akan menari-nari untuk mengimbangi ayunan pikuan yang berat itu. Pamadi mengendurkan tindakannya. Ia tidak mau menggunakan ilmunya berlari cepat agar tidak menimbulkan curiga, lalu berteriak,

   "Saudara-saudara. Tunggulah sebentar!"

   Ketiga orang itu menengok, menurunkan pikulan dan memandangnya terheran-heran. Bahkan ketika Pamadi telah berdiri di depan mereka, merekapun tak mengeluarkan sepatah kata, hanya memandang dengan mulut tenaganya.

   "Selamat sore, saudara-saudara,"

   Salam Pamadi, tapi mereka tidak menjawab hanya ternganga jua.

   "He, mengapa saudara-saudara memandang saja?"

   Akhirnya seorang di antara mereka yang termuda berkata,

   "Masya Allah! Saya kira saudara bukan manusia."

   "Mengapa engkau mengira demikian?"

   "Pakaianmu ganjil, tak bersepatu. Tentu engkau bukan pelancong. Dari manakah saudara datang?"

   Bertanya seorang di antara mereka yang tertua. Orang itu tertawa dan berhenti. Kawan-kawannya menengok dan berhenti pula.

   "Lihat, Man,"

   Katanya.

   "Anak muda ini, yang berpakaian seaneh ini, mau mengantikan aku memikul!"Dua kawannya tertawa riuh.

   "Ha, ha. Jangan-jangan akan patah tulang pundaknya,"

   Mengejak yang muda

   "Jangan kuatir, kawan, aku sanggup untuk memikul semua ubi ini."

   "Apa? Tiga pikul ini?"

   "Ya."

   "Eh, jangan berolok, kwan. Ubi ini sepikulnya tak kurang dari sekwintal!"

   "Sungguhpun begitu, akan kupikul semua sampai ke Tawangmangu, asal saja..."

   "Ya...?"

   "Asal saja engkau suka menukar sarung dan kemeja itu dengan pakaian tidurku ini."

   Mereka bertiga saling pandang dan yang tertua berkata, He, anak muda. Pakaianmu itu dari sutera halus. Untuk ditukar demikian saja dengan stelan sarung kemeja itupun akan saya terima, karena pakaianmu tentu lebih mahal harganya. Tapi jangan engkau berolok akan memikul semua ubi ini."

   "Biarlah, pak. Jangan kuatir. Baiklah aku bertukar pakaian dulu."

   Sambil berdiri membelakangi mereka, Pamadi menukar pakaiannya dengan sarung dan kemeja itu. Setelah memberikan gulungan pakaiannya sediri kepada pemikul tertua, ia segera mengikatkan ujung sarungnya ke pinggang dan enam keranjang ubi itu diikatnya menjai dua bagian, setelah memilih bamu pikulan yang terkuat, ia memikul semua ubi itu tiga keranjang pula di belakang. Tiga orang itu tercengang keheranan, tapi dengan suara biasa Pamadi berkata,

   "Marilah, kawan-kawan, hari sudah hamper malam."

   Dengan terheran-heran dan tak dapat berkata-kata, ketiga orang itu mengikuti Pamadi yang agak mempercepat jalannya, namun yang cukup membuat tiga orang itu berlari-larian dan akhirnya mereka berteriak-teriak karena tertinggal jauh. Ketika beberapa jam kemudian ketiga orang pemikul itu memasuki desa Tawangmangu, mereka melihat enam keranjang ubi mereka telah berderet rapi di pinggir jalan! Tapi pemuda yang menolong mereka telah tak nampak lagi.

   "Heh, tentu ia setan,"

   Berkata yang termuda.

   "Sst,"

   Mencela yang tua.

   "Aku tahu Ia adalah yang mbaurekso (penjaga) gunung di sini. Dan aku beruntung telah mendapat pakaiannya."

   Demikianlah, dikemudian hari pakaian Pamadi selalu nampak tergantung di dalam rumah Pak Karyo penjual ubi itu, tergantung rapid an dibungkus dengan sarung, dan pada tiap malam Jum"at dibakarlah kemenyan dan disajikan kembang rampai di bawahnya oleh Pak Karyo. Hal pertama-tama yang dilakukan oleh Pamadi setelah tiba di Tawangmangu ialah mencari Singo Jerangkong. tapi ternyata keadaan di Tawangmangu telah banyak sekali berubah semenjak kepergiannya bertahun-tahun, karena tak seorangpun yang ditanyainya dapat memberitahu siapa dan di mana orang tua kurus kering itu. Akhirnya Pamadi mencari keterangan di antara para tukang kuda yang sudah tua dan dari mereka inilah ia mendengar bahwa orang yang dicarinya itu telah lama meninggal dunia!

   Keharuan memenuhi batinnya Pamadi ketika ia datang berziarah ke makam Pak Wiro Singo yang dulu disebut orang-orang Pak Jerangkong itu. Orang tua tinggi kurus yang ketika hidupnya seakan-akan diliputi rahasia itu kini telah teruruk tanah dan kembali ke asalnya. Hanya unggukan tanah yang ditumbuhi rumput alang-alang tak terurus itu saja masih mengigatkan orang hidup bahwa di bawahnya terdapat sisa-sisa orag yang bernama Pak Wiro dan dulupun pernah hidup. Pamadi mendengar dari para tuang kuda bhwa unggukan tanah yang merupakan makam pak Jerangkong itu dianggap sangat angker dan jahat oleh para penduduk Tawangmangu hingga jalan kecil yang merupakan lorong gunung di dekat jarang sekali terpijak kaki manusia, kecuali kaki para pelancong asing yang tidak mengenal makamnya.

   Di samping keharuan, ada pula perasaan iba di dalam kalbu Pamadi mendengar fitnah ini. Alangkah bodoh orang-orang itu dan betapa kasihan nasib Pak Wiro, bahkan sesudah matinyapun orang-orang masih menjauhkan diri darinya karena menganggapnya aneh dan jahat! Maka, malam itu, semalam suntuk Pamadi duduk bersila di depan makan Pak Wiro Singo, dan bersamadhi dengan penuh khidmat ambil menujukan segenap daya cipta dan semangatnya kepada mendiang Pak Jerangkong, memohon agar orang tua tinggi kurus telah wafat itu suka melepasakan napsu pensarannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pamadi sudah sibuk mebersihkan makam itu dan menancapkan sebatang dahan pohon Cempaka sebagai pengganti batu nisan yang telah tiada.

   

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Keris Maut Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini