Pendekar Gunung Lawu 5
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Mau tak mau Pamadi tersenyum juga melihat lagak gadis yang galak ini, tetapi sikap dan lagaknya harus ia akui membuat gadis itu tampaknya makin menarik dan menggiurkan! Tetapi, dibalik kegembiraannya memandang gadis itu, diam-diam ia rasakan dadanya berdebar-debar ketika mendengar mata kepala rampok itu. Bapak Seno? Bukanlah menurut ibunya, ayahnya bernama Suseno Tanumiharjo? Kalau begitu tak salah lagi orang ini pasti ayahnya! Ketegangan hatinya membuat Pamadi lupa bahwa kedua lengannya masih terbelunggu dengan tali yang kuat.
Tak terasa ia gerakkan kedua lengannya dengan penuh tenaga untuk menunjuk Pak Seno dan tali yang mengikat lengannya dengan penuh tenaga untuk menujuk Pak Seno dan tali yang mengikat lenganya takmampu menahan tenaga raksasanya. Tali itu putus dengan mudah sekali, hingga terdengar seruan-seruan heran dari banyak mulut. Pak Seno sendiri terkeut melihat tenaga kuat ini dan Sridewi mundur beberapa tindak. Ia teringat betapa sebuah lemparan dengan kerikil kecil cukup membuat kerisnya terlepas dari tangan! Sedangkan Pamadi sendiri baru insaf bahwa secara tidak sengaja ia telah memutuskan belenggu dan dengan demikian membuka rahasianya bahwa ia seorang berilmu. Tetapi karena hal itu sudah terlanjur, ia lanjutkan kehendaknya semula dan menggunakan telunjuknya menuding kepada Pak Seno,
"Inikah yang disebut orang bapak Seno Raja Hutan Roban?? Hm, namanya sama benar dengan seorang yang kukenal baik, tetapi yang keadaannya tidak sehebat ini, bahkan dia hanya seorang pengecut!"
Semua orang heran melihat kata-kata yang tak mudah dimengerti ini, tetapi Pak Seno sendiri tidak memperlihatkan kata-kata orang. Ia merasa suka dan tertarik oleh sikap dan gerakan pemuda ini. Jadi pemuda yang tampak lemah ini telah dapat mematahkan belenggu itu demikian mudahnya? Alangkah besar tenaganya. Tetapi ia sangsi, benar-benar lengan tangan yang agaknya tak berurat itu mempunyai tenaga besar? Ataukah hanya kebetulan saja belenggu itu tidak kuat-kuat mengikatnya dan terlepas ikatannya? Maka timbul keinginannya hendak mencoba.
"He, anak muda. Bicaramu besar dan kau agaknya seorang pemberani. Beranikah kau melawan kami?"
"Dikeroyok oleh belasan orang ini?"
Pamadi memandang sekeliling.
"Oho, jadi Raja Hutan Roban ternyata mendapatkan nama besar karena hasil keroyokan? Pantas, pantas!"
Pak Seno tertawa besar. Suara ketawanya nyaring dan tiba-tiba saja wajahnya tampak cakap ketika ia tertawa, karena wajah yang tadinya gelap seakan-akan tertutup awan itu kini menjadi terang dan agung.
"Kau agak sombong, anak muda. Siapa yang mau mengeroyokmu? He, Sugondo, majulah!"
Sugondo telah sembuh dari penderitaan matanya yang tadi "dicuci"
Dengan pasir. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Pamadi pernah menoong jiwanya. Memang ia seorang muda yang beradat kasar dan berangasan. Melihat lagak dan mendengar kata-kata Pamadi, sejak tadi ia telah merasa panas mengapa Pak Seno tidak memberi tamparan padanya. Kini, mendengar panggilan kepalanya, ia melompat maju ke tengah lingkaran orang itu.
"Sugondo, coba ukurlah berapa besar tenaga anak muda ini dan berapa tinggi kepandaiannya. Anak muda yang tak mau mengaku nama, beranikah kau beradu mengukur kerasanya tulang dan kuatnya kulit dengan Sugondo ini?"
Pamadi tersenyum pula kini,
"Mengapa tidak berani?"
Jawabnya.
"Asal saja Mas Gondo hati-hati jangan sampai kelilipan lagi."
Mendengar godaan ini, Sugondo menjadi marah dan bersiap memasang kuda-kuda. Ia memang seorang ahli pencak murid seorang guru pencak di Cirebon yang mencipta permainan pencak "Gerak Kepinis"
Sugondo membuka kuda-kudanya dengan kaki kiri ditengkuk ke atas sampai di lutut kaki kanan hingga merupakan burung berdiri mengangkat kaki sebelah kiri.
Kedua lengan tangan terpentang lebar dengan jari-jari terbuka seakan-akan menjadi sayapnya. Kuda-kuda ini yang dicipta Pak Sentot guru pencak Cirebon itu ebenarnya walaupun lucu namun sangat berbahaya. Karena kedua lengan yang dibuka itu merupakan umpan bagi lawan. Agaknya mudah sekali diserang, apalagi sepasang kaki yang dipasang sedemikian itu agaknya sangat lemah sekali. Tetapi janganlah orang hendak mencoba-coba menyerang padanya dengan sembrono, karena kedua tangan yang terpentang lebar dengan jari-jari terbuka seakan-akan menjadi sayapnya. Kuda-kuda ini yang dicipta Pak Sentot guru pencak Cirebon itu sebenarnya walaupun lucu namun sangat berbahaya. Karena kedualengan yang dibuka itu merupakan umpan bagi lawan.
Agaknya mudah sekali diserang, apalagi sepasang kaki yang dipaang sedemikian itu agaknya sangat lemah sekali. Tetapi janganlah orang hendak mencoba-coba menyerang padanya dengan sembrono, karena kedua tangan yang terpentang ke sisi itu dapat cepat dirobah dan melayangkan pukulan dari samping ke arah pelipis lawan. Adapun sikap kaki itu memudahkan penggantian gerakan dan membuat gerakan menjadi ringan karena dapat melompat ke kanan dengan menurunkan kaki kiri dan melaangkan kaki merupakan tendangan berbahaya! Pamadi melihat pasangan ini lalu memasang kuda-kuda dengan merendahkan tubuh ke bawah seakan-akan merupakan seekor harimau sedang mendekam! Tendangan saja pasangan kudakuda itu dengan sendirinya memusnahkan kuda-kuda Sugondo yang hanya dapat digunakan menghadapi lawan yang berdiri.
Untuk sesaat Sugondo bingung dan tak tahu harus menyerang dengan cara bagaimana, sedangkan dari bawah Pamadi melirik ke atas sambil tersenyum! Tiba-tiba Sugondo yang menjadi tak sabar segera menurunkan kaki kirinya dan menggunakan kaki kanan menendang kearah kepala Pamadi yang berada dekat dengannya. Pamadi hanya memiringkan kepala sedikit dan bersamaan dengan itu ia menggedorkan tangannya hingga kaki lawan yang menendang itu menjadi salah sarahnya. Ia lalu mengubah kedudukannya dan berdiri membongkok sambil merangkapkan kedua kepalan di dada menanti serangan lebih lanjut. Semua orang, termasuk Pak Seno dan Sridewi, heran melihat gerakan Pamadi yang tampaknya tak teratur itu tetapi yang ternyata sangat gesit ketika menghindari tendangan.
Sugondo menyerang lagi dengan kepalan tangan kearah dada yang merupakan pancingan aja, karena ketika Pamadi menggunakan tangan kiri untuk menangkis, ia buru-buru menarik kembali kepalannya dan kepalan kirilah yang maju cepat mengarah lambung lawan. Pamadi sebenarnya sudah dapat menduga bahwa pukulan pertama itu hanya umpan saja, maka sengaja ia miringkan badan dan mengangkat lutut yang lebih besar dan keras itu. Ia panas dan marah, lalu maju dengan kedua pukulan tangan diseling tendangan-tendangan ke arah perut dan tempat-tempat berbahaya. Tetapi Pamadi memperlihatkan kegesitannya, sambil melenggak-lenggok ke kanan kiri ia nampak bagaikan seorang yang sedang menari-nari dengan indahnya.
Memang tubunya lemas sekali, maka tentu saja pertnjukan ini menarik hati para penontonnya, bahkan Pak Seno kini diam-diam mengagumi dan menganggukkan kepala memuji. Karena lelah dan pening menghadapi lawan yang licin bagai belut ini, Sugondo berlaku nekat dan curang. Ia maju dan menggunakan tangan kanan menghamtam ulu hati lawan dan tangan kirinya bergerak ke bawah mencengkeram tempat berbahaya. Semua orang terkejut melihat serangan maut ini, sedangkan Pak Seno dan Sridewi juga merasa cemas. Sungguh keterlaluan Si Sugondo itu, tidakkah ia ingat bahwa ini hanya perkelahian percobaan saja? Sridewi bergerak hendak melompat maju menghalangi dan menolong Pamadi, tetapi ayahnya menekan pundaknya hingga ia mengurungkan niatnya.
Pamadi melihat datangnya serangan tenang-tenang saja, dengan tersenyum ia menggunakan tangan kirimenangkis cengkeraman lawan hingga tangan Sugondo yang menjotos ulu hatinya. Sridewi memekik perlahan, tetapi ia segera mengakhiri pekikannya dengan membelalakkan mata melihat betapa kepalan itu menumbuk dada Pamadi. Terdengar suara seakan-akan barang berat jatuh di tanah dan Sugondo menjerit kesaktian, terhuyung-huyung mundur sambil memegangi tangan kanannya yang sakit sekali hingga menusuk-nusuk ke ulu hati rasanya. Pak Seno menghampiri Sugondo. Setelah melihat keadaan tangannya sebentar, ia mengurutkan hingga tak lama kemudian berkuranglah rasa sakit yang hebat itu. Kemudian Pak Seno memandang Pamadi dengan gembira dan kagum.
"Hebat sekali kau, anak muda. Mari majulah ke sini, aku ingin sekali mencoba kepandaianmu."
Pak Seno lalu melambaikan tangan menyuruh Pamadi maju.
Tiba-tiba Sridewi melompat dihadapan Pamadi.
"Ayah, biarlah aku mencoba sulu,"
Katanya.
"eh, sobat beranikah kau bertanding keris dengan aku?"
Tantangan angkuh. Pamadi kembali merasakan wajahnya panas dan hatinya berdebar melihat tingkah gadis lucu tetapi manis menarik ini. Diam-diam ia kagum melihat gadis yang lain daripada yang lain ini. Selama hidupnya belum pernah ia melhat gadis macam ini yang begitu berani dan gagah melebihi laki-laki biasa.
"Bertanding keris?"
Tanyanya tenang.
"Aku tidak punya keris."
"Kau bohong,"
Bantah Sridewi sambil mengincar pinggang Pamadi.
"Bukankah dipinggangmu itu terselip keris?"
"Ini?"
Kata Pamadi sambil keluarkan sebuah keris kecil yang bersarung kayu.
"Ini bukan keris untuk berkelahi."
Sridewi ingin mengetahui keris itu, maka segera ia mengambilnya dari tangan Pamadi yang tidak mencegahnya. Sugondo yang telah agak sembuh tangannya ikut mendekati dan melihat keris itu, karena ia sangka tentu itu merupakan sebuah ajimat yang ampuh. Ketika Sridewi mencabut keris itu, Sugondo tertawa gelak-gelak dan berkata,
"Ah, keris apa ini? Kok seperti pisau dapur pemotong trasi. Untuk apa keris macam ini dibawa-bawa?"
Sridewi mencabut kerisnya sendiri dan berkata sambil mendelik memandang Sugondo dan menyuruhnya pergi.
"Biarlah kucoba dulu kekuatan keris ini, bolehkah?"
Pamadi hanya mengangguk sambil tersenyum. Sridewi memegang keris kecil yang berwarna kehijau-hijauan itu dengan tangan kanan ia memukulkan kerisnya sendiri yang berluk tiga dengan sangat keras ke atas keris kecil itu. Alangkah terkejutnya ketika dengan suara berdencing kerisnya menjadi potongan bagaikan timun melawan pisau! Tangannya gemetar dan tanpa terasa ia melepaskan keris Pamadi sambil melompat mundur dengan wajah pucat. Pak Seno tidak senang melihat kelancangan anaknya dan karena heran melihat ketajaman keris pemuda itu, ia segera membungkuk dan memungut keris itu. Dengan penuh perhatian ia menancap mata keris yang berbentuk sederhana itu dan menggunakan hawa dingin keluar dari keris itu dan menjalar melalui jarinya terus meresap ke dalam tubuh! Bulu tengkuknya berdiri dan ia segera menyerahkan keris itu kembali kepada Pamadi.
"Anak muda, terimalah kembali kerismu. Sungguh ampuh sekali pusakamu ini."
Pamadi menerimanya dan menyimpannya kembali. Ia diam-diam merasa geli betapa sebuah pusaka yang ampuh dari gurunya, Kyai Lawu, telah dipandang demikian rendah oleh orang, tetapi ia kagum juga akan kewaspadaan Pak Seno yang segera dapat mengenal barang pusaka. Karena malu melihat kerisnya dengan mudah terpotong oleh "Pisau Dapur"
Itu, Sridewi menghampiri ayahnya dan mencabut keris ayahnya.
"Biar kita pinjam pusakamu, ayah."
Lalu ia menghadapi Pamadi dengan pusaka ayahnya yang bernama "Pasopati"
Di tangan!
"Nona, kita tidak bermusuhan. Mengapa harus mengadu jiwa? Tanya Pamadi.
"Benar,"
Katanya.
"Sri. Jangan sembarangan bermain-main dengan keris."
"Siapa hendak adu jiwa, ayah? Aku hanya ingin mencoba kepandaiannya bermain senjata."
"Kalau begitu, pakailah ini saja,"
Kata Pak Seno yang memungut dua batang ranting pohon cemara dan memberikannya kepada Pamadi dan Sridewi.
"Mainkan saja ranting-ranting ini sebagai senjata, kan sama saja?"
Sridewi menurut kehendak ayahnya, dan tak lama kemudian sepasang pemuda pemudi itu saling berhadapan dengan sebatang ranting di tangan!
Pada waktu itu, Sridewi telah menggulung rambutnya yang hitam dan panjang dan mengikatkan dengan sehelai saputangan hijau hingga ia tampak gagah sekali. Dengan sigap dan bentakan nyaring ia maju dan rantingnya menyambar ke arah muka Pamadi. Pamadi mengankat rantingnya menangkis dan Sridewi terus menyerang kembali dengan memutar rantingnya cepat sekali, sebentar menyodok ke dada, lalu memukul leher dan menikam lambung. Gerakannya bermacammacam dan cepat bukan main, diam-diam Pamadi merasa kagum tetapi ia masih menangkis. Pak Sento makin kagum melhat ketenangan dan kegesitan pemuda itu. Ia tahu bahwa Pamadi sengaja mengalah karena terus-terusan menangkis dan mengelek saja tanpa balas menyerang satukalipun. Maka ia berkata keras,
"He, anak muda, jangan seperti perempuan, balaslah menyerang!"
Pamadi bingung juga ketika ia disuruh menyerang, karena ia sama sekali tidak mau menyakiti gadis itu. Tiba-tiba ia mendapat akal dan ketika Sridewi menusuk tubuhnya dan membiarkan ranting itu menusuk pundaknya, tetapi bersamaan dengan itu ia mencongkel pita rambut Sridewi dengan rantingnya. Terdengar suara kain robek kemudian terdengar jeritan Sridewi karena gelungnya tiba-tiba terlepas dan rambutnya terurai ke depan menutupi mukanya! Sridewi meloncat mundur dan wajahnya merah karena malu. Hampir saja ia menangis dan dengan mebngertak gigi ia hendak maju menyerang lagi, tetapi Pak Seno meloncat menghalanginya dan berkata keras,
"Sri! Kau harus mengaku kalah!"
Tetapi Pamadi melempar rantingnya dan sambil menujuk bajunya yang robek di bagian pundak ia berkata,
"Nona tidak kalah, lihat, senjatamu telah merobek bajuku. Kalau senjata itu keris benar-benar, tentu aku telah mendapat luka."
Mendengar pengakuan dan kata-kata merendah ini, berkuranglah kejengkelan Sridewi, tetapi ia lalu duduk di tempat yang agak jauh sambil membereskan rambutnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah ketika matanya melihat ke arah Pamadi. Pak Seno tahu bahwa Pamadi sengaja mengalah, maka ia makin suka padanya.
"Anak muda, kau tadi mengataan bahwa kau kenal seorang bernama Seno yang kau sebut pengecut. Siapakah orang yang namanya sama benar dengan namaku itu?"
Tanyanya dengan wajah ramah. Kembali datang rasa gemas dalam hati Pamadi hingga senyumnya menghilang lagi.
"Seno yang kukenal itu adalah Suseno Tanumiharja yang telah berlaku begitu pengecut menyianyiakan isterinya Mintarsih hingga isteri yang bijaksana itu terlunta-lunta."
Mendengar kata-kata ini, Pak Seno bagaikan terpukul hebat dan ia terhuyung mundur dengan wajah pucat seperti mayat. Sridewi yang melihat hal ini segera melompat dan berlari menghampiri ayahnya. Pak seno memegang pundak Sridewi untuk menahan tubuhnya. Kedua matanya memandang Pamadi dengan tajam, bibirnya bergerak-gerak, menunjukkan bahwa ia mendapat pukulan batin yang hebat dan sedang menahan tekanan yang mendebarkan jantungnya.
"Anak muda... kau... siapa? Di mana sekarang Mitarsih dan apakah kau disuruh datang kesini olehnya?"
"Namaku Pamadi dan Mintarsih itu ibuku. Aku tidak malu-malu mengaku bahwa orang pengecut bernama suseno Tanumiharja itu adalah ayahku."
Kata ini diucapkan keras dan tegas dan untuk kedua kalinya Pak Seno mengigil.
Kau...? Kau Pamadi...??"
Ia ulurkan kedua lengannya dua kakinya melangkah kearah Pamadi. Tetapi baru saja dua langkah, ia berhenti dan menurunkan kedua lengannya. Kepalanya tunduk dan wajahnya pucat, tubuhnya lemas sekali seakan-akan seluruh tenaganya telah meninggalkan tubuh itu. Ia bagaikan seorang anak kecil yang mendapat teguran dan amarah dari guru atau ayahnya.
"Memang... Memang aku pengecut! Kau... tentu benci sekali padaku, bukan? Biarlah, bunuh saja pengecut ini, untuk membalaskan sakit hati Mintarsih..."
Kemudian ia memandang kepala semua anak buahnya dan berkata keras-keras hingga hampir berteriak dan suara itu bergema di seluruh hutan. "Dengarlah kamu semua! Aku, Pak Seno yang kau anggap jagoan gagah perkasa yang tak takut kepada apapun juga ini, sebenarnya hanya seoang pengecut! Dengarkah kalian? Seorang pengecut tak berharga! Anak... anakku... berkata demikian. Memang aku pengecut!"
Ia merindukkan kepala lagi dan kini dari kedua matanya mengalir air mata. Hatinya hancur luluh dan kesedihan ia sesak bernapas. Pamadi memandangnya dengan mata tajam dan mengandung kemarahan besar ketika ia mengucapkan kata-kata itu, tetapi kini melihat orang tua itu berdiri tegak membongkok dan menundukan kepala serta dari kedua matanya mengalir air mata yang berlenggak lenggok turun di sepanjang pipinya yang penuh keriut itu, kekerasan hatinya mencair bagaikan es batu terkena panas. Ia merasa terharu sekali dan rasa cintanya kepada seorang yang dulu dirindu-rindukan ini tiba-tiba membuatnya terharu sekali. Serta merta Pamdi melompat menubruk dan merangkul ayahnya sambil berkata lemah.
"Ayah... ayahku..."
Dan ia lalu jatuh berlutut ambil memelak kaki ayahnya.
"Ayah... ampunkan anakmu...!"
"Pamadi, anakku..."
Pak Seno segera menarik Pamadi bangun dan balas memeluk. Kedua orang itu berpelukan dan kedua-duanya menangis, ditambah pula dengan isak-tangis Sridewi yang berdiri dekat dengan tak mengerti harus berbuat dan berkata apa, hnya hatinya saja bagikan teriris sembilu karena pada saat itu ia terkenang kepada ayah ibunya sendiri yang telah meinggalkannya hidup seorang diri di dunia ini. Sebelumnya ia terkenang kepada ayah ibunya sendiri yang telah meninggalkannya hidup seorang diri di dunia ini. Sebelumnya ia yang dipungut oleh Pak Seno menganggap orang tua itu sebagai ayah sendiri dan bahwa orang tua itu hanya mempunyai ia seorang sebagai warga. Tidak ia sangka sekarang datang puteranya yang asli dan ia terdesak ke samping! tiba-tiba Sridewi pergi sambil mengeluh,
"Ayah... Ibu..."
Pak Seno terkejut sekali. Ia lepaskan pelukannya dari tubuh Pamadi dan sambil menarik tangan anak muda itu ia berkata,
"Lekas! Kejar dia! Ya Allah, Sri, kembali nak...!"
Ia tahu benar maksud Sridewi, karena dulu ketika Sridewi masih kecil dan mendapat marah darinya, anak itu pun lari hendak membunuh diri dengan menceburkan diri dari dari atas tebing tinggi ke laut! Semua orang mengejar, tetapi Sridewi ternyata dapat lari cepat sekali hingga mereka tertinggal jauh. Pak Seno menjadi cemas dan berkali-kali ia mengeluh,
"Ya Allah, ampunkan hambaMu... Sri...!"
Tiba-tiba tampak banyangan putih berkelebat hingga mereka semua tidak tahu apakah yang berkelebat itu dan yang mendahului mereka. Sridewi telah sampai di puncak tebing yang curam. Ia memandang ke bawah di mana tampaj air laut bergerak-gerak dan ombak besar memukul-mukul batu-batu karang hitam di bawah tebing. Mulutnya beroa,
"Ibu... ayah... Terimalah anakmu yang sengsara ini...!"
Kemudian ia memejamkan mata dan melompat terjun! Tetapi tiba-tiba ia rasakan tubuhnya terapung dan ketika ia membuka matanya, ia telah berada dalam pelukan seorang pemuda. Pamadi! Sridewi tiba-tiba merasa matanya kabur dan gelap. Ketika Pak Seno yang diikuti oleh semua orangnya tiba di tempat itu, mereka melihat Sridewi telah pingsan dan terkulai dalam pelukan Pamadi yang memondongnya menuruni tebing. Pak Seno bersukur sekali dan mereka segera menolong Sridewi serta berusaha menyadarkannya.
Diam-diam mereka semua heran, karena bilakah pemuda itu dapat sampai ke situ dan menolong Sridewi? Pak Seno makin kagum dan saying kepada puteranya. Setelah sadar, Sridewi menangis sedih. Ia hanya menunduk saja mendengarkan nasihat-nasihat dan Hiburan-hiburan. Pak Seno yang tahu betul apakah yang dipikirkan oleh gadis itu. Ia nyatakan bahwa betapapun juga dan apa juapun yang terjadi, gadis itu tetap menjadi puterinya yang tercinta. Kemudian, mereka kembali ke perkampungan di tepi pantai. Banyak hal yang dipercakapkan antara ayah dan anak itu, bertiga dengan Sridewi yang mendengarkan percakapan mereka dengan tak menggangu sedikit juga. Betapapun juga, ia merasa menjadi orang luar. Dengan sangat Pamadi menceritakan riwayat ibunya dan ia sendiri. Ketika ditanya, mengatakan bahwa ia adalah murid Kyai Lawu.
"Penah aku mendengar tentang seorang suci yang bertapa di puncak Lawu, entah itu gurumu atau bukan. Tetapi, kau beruntung sekali dapat menjadi murid seorang yang demikian sakti, Pamadi."
Kemudian Pak Seno menceritakan riwayatnya semenjak ia berpisah dari Mintarsih. Karena mabok daya guna sakti yang dilepas oleh Madusari, pemain wayang orang yang cantik itu, Suseno mengusir Mintarsih dan ia hidup beroyal-royalan dengan Madusari. Setelah harta bendanya ludas dan habis, mulailah tampak wajag asli dari Madusari. Terbukalah kedok wanita jahanam itu. Kini Madusari tak memperdulikan lagi padanya dan bahkan pada suatu hari ia mendapatkan isteri itu bermain gila dengan seorang pemuda. Dalam marah dan dendamnya Suseno menghajar dan menyiksa kedua orang itu hingga setengah mati.
Kemudian melarikan diri dan merantau ke hutan-hutan. Akhirnya, setelah mempelajari berbagai ilmu dan pencak, ia merantau sampai di Hutan Roban. Ketika itu yang menjadi perampok di Hutan Roban adalah Jayasakti. Suseno dicegat dan hendak dirampok, tetapi dalam perlawanannya, ia dapat menewaskan Jayasakti. Para perampok melihat kegegahannya, lalu mengangkat menjadi kepala mereka. Jayasakti mempunyai seorang puetera, ialah Sugondo yang akhirnya menjadi orang kepercayaannya Suseno. Demikian, ayah dan anak itu bercakap-cakap sampai jauh malam, kemudian Pak Seno meninggalkan anaknya untuk pergi tidur. Pamadi keluar dari pondok itu dan duduk di atas batu karang di tepi laut. Malam itu bulan sedang purnama hingga pemandangan sangatlah indahnya. Air laut yang nampak hitam itu menjadi kekuning-kuningan tersinar cahaya bulan.
Ia termenung. Bermacam-macam pikiran memenuhi benaknya. Ia telah berjumpa dengan ibunya dan bertemu dengan ayahnya, bahagiakah ia? Seherusnya begitu. Tetapi adakah kebahagiaan itu? Ia tidak merasa adanya perubaan setelah berjumpa dengan orang tuanya. Benar-benarkah ia bahagia? Bahagia yang diharapkan oleh Mei Hwa dulu? Diam-diam ia tersenyum ketika terkenang kepada Ameinya itu. Tentu gadis itu kini telah bertemu dengan Tek Han, mungkin mereka telah menjadi suami isteri yang bahagia. Barangkali malam ini gadis yang baik budi itu sedang memasang hio berdoa agar ia dapat menemui kebehagiaannya. Dan bahagiakah ia sekarang? Entahlah, ia tak dapat menjawab! Pamadi mengumpulkan ingatanya dan mengenangkan pelajaran-pelajaran dari gurunya. Gurunya, Kyai Lawu, pernah bersabda,
"Bahagialah orang yang terlepas dari segala kehedak. Orang yang masih beringinkan seuatu, itu tandanya ia masih dalam permaianan maya dan ditunggangi oleh nafsu, dan apapun sifat nafsu itu, selalu mendatangkan ikatan teguh antara orang dengan mayapada ini, dan ikatan yang menimbulkan segala derita hingga menjauhkan orang dari kebahagiaan sejati."
Ia pernah bertanya,
"Pak guru, apakah perlunya orang menjadi pertapa dan mengasingkan diri dari dunia melakukan tapa brata?"
Gurunya menjawab,
"Orang bertapa brata untuk dapat melepaskan dan membebaskan diri dari ikatan itu, muridku."
Ia menyatakan dengan sejujurnya,
"Guru, akupun hendak menjadi pertapa dan tidak kembali ke dunia ramai."
Kyai Lawu tertawa,
"Pamadi, jangan paksaan sesuatu yang belum sampai waktunya. Kau belum punya dasar uintuk menjadi pertapa. Kau belum mengalami derita hidup maka belum cukuplah alasan bagimu untuk menjadi seorang pertapa. Karena kau akan menjadi pertapa yang kurang teguh iman jika kau belum sadar benar-benar apakah burunya menjadi penduduk dunia ramai dan apa baiknya menjadi pertapa! Kau harus turun gunung dulu mengumpulkan pengalaman hidup, muridku."
Sampai saat ini ia belum merasa cukup mendapat pengalaman, karena belum juga ia dapat merasai dan mengerti apakah penderitaan hidup dan apakah kebahagiaan itu. Pernah gurunya mewejang bahwa segala perbuatan janganlah dilakukan dengan dorongan pamrih atau kehendak akan sesuatu yang menyenangkan atau menguntungkan diri. Pendeknya, ia harus melakukan sesuatu tanpa ingat akan akibat dan sama sekali tidak menghendaki balas maupun duka. Tetapi hal ini sungguh berat dan sukar sekali baginya. Apalagi membebaskan diri dari segala kehendak, ah, ia dapat membayangan betapa sulit dan sukarnya ilmu itu! Kemudian Pamadi teringat akan sulingnya yang terselip di pinggang. Tiba-tiba timbul keinginannya meniup suling itu, suling kehitam-hitaman dan mengkilap karena sinar bulan, suling yang harum dan terbuat dari kayu Cendana. Perlahan-lahan ia menempelkan lubang peniup suling di bibirnya dan tak lama kemudian terdengarlah suara melenging yang merdu sekali.
Pertama-tama ia tiup sulingnya dalam lagu Puspanjala disambung lagi Asmaradana! Kyai Lawu memang pandai akan segala lagu hingga Pamadi akan segala hingga Pamadi juga kenal hampir semua lagu-lagu Jawa. Tiupan sulingnya yang dimainkan dengan penuh perasaan itu seakan-akan nyanyian bidadari dan suara sulingnya gemetar merayu kalbu, penuh dengan gerakan jiwa peniupnya. Pada saat itu, suara kerik jengkerik dankutu-kutu walang ataga yang tadinya berbunyi memenuhi hutan, tiba-tiba diam, seakan-akan semua mahluk itu terpesona oleh suara suling dan mendengarkan dengan kagum! Ketika Pamadi berhenti meniup sulingnya, barulah semua mahluk kecil itu bersuara kembali, suaranya kacau-balau seakan-akan masing-masing hendak meniru-niru bunyi yang indah dan baru saja lenyap itu! Tindakan kaki ringan dan halus berkeresekan di belakang Pamadi. Pemuda itu berpaling dan tampaklah olehnya Sridewi berdiri di belakangnya tengah memandangnya dengan mata sayu.
"Mas... sungguh merdu tiupan sulingmu."
Demikian katanya lirih. Pamadi tersenyum.
"Ah, hanya biasa saja... dik Dewi."
Ia lalu pindah duduk dan mempersilakan gadis itu duduk di batu karang tadi. Sridewi duduk lalu memandang kearah laut.
"Mas Pamadi, kau bahagia sekali!"
Terkejut Pamadi menengar ini. Ia? Bahagia? "Mengapa kau menyangka demikian, dik Dewi?"
"Tentu saja. Kau telah bertemu dengan ibu dan yahmu. Bukakah kau seneng sekali?"
Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang tajam sekali. Pamadi menganguk-anggukkan kepala.
"Memang, tentu saja aku senang sekali. Tetapi... tetang bahagia, ini aku sendiri meragukannya. Ketahuilah dik, sampai detik ini pun aku masih mencari-cari di mana kebahagiaan itu."
Sridewi memandang heran.
"Kalau... tetapi ini tak mungkin karena ayah ibuku telah meninggal dengan ayah ibuku, pasti aku akan bahagia,"
Katanya termenung.
"Belum tentu, dik Dewi!"
Kini Sridewi lah yang terkejut dan memandang dengan penuh pertanyaan.
"Mengapa begitu? Mengapa belum tentu?"
Pamadi mengangguk.
"Memang belum tentu. Sudah pasti kau akan senang sekali, tetapi itu belum berarti bahwa kau akan mendapatkan kebahagiaanmu. Aku sendiripun dulu begitu. Cita-citaku hanya mencari orang tuaku dan kubayangkan bahwa kalau saja aku dapat berjumpa dengan orang tuaku, tentu akan bahagia sekali hidupku. Tetapi, ternyata sampai sekarang pun aku masih mencari-cari kebahagiaan yang agaknya merupakan bayang-bayang saja, dapat dilihat tak dapat disentuh!"
Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sridewi menghela napas dan ia mebereskan rambutnya yang terurai di jidat karena tiupan angin malam.
"Mungkin kau benar, mas..."
Tiba-tiba ia memandang Pamadi dengan tertawa. Pamadi heran dan melirik badannya sendiri, karena ia tidak mengerti apakah yang ditertawakan gadis itu. Melihat sikap Pamadi, Sridewi makin geli tertawa sambil memandang ke arah dadanya.
"Eh, dik Dewi apakah yang kau tertawakan?"
Sridewi mennjuk pundaknya dan tahulah Pamadi bahwa bajunya yang robek itulah yang membuat gadis itu tertawa.
"Mari masuk ke rumah, mas, biar kujahitka bajumu itu."
"Tak usahlah, dik."
Kata Pamadi yang teringat akan ibunya. Dulu ibunya pun minta bajunya yang robek untuk dijahitkan.
"Harus ku-jahit. Kan aku tadi yang merobekkannya. Bantah Sridewi yang keras kepala.
"Baiklah, tetapi disni saja, dik. Bulan cukup terang, tak perlu di dalam rumah. Lebih enak hawanya di sini!"
"Tetapi kau harus melepaskan bajumu. Nanti kau kedinginan."
Kata gadis itu. Pamadi menggeleng kepala. Terpaksa Sridewi menurut dan gadis itu berlari-lari kecil menuju ke rumah untuk mengambil benang dan jarum. Pamadi melihat tingkah gadis itu dan kembali ia merasa datangnya rasa gembira dalam hatinya melihat kelincahan Sridewi. Tak lama kemudian Sridewi datang lagi membawa jarum dan benang. Pamadi menanggalkan bajunya dan gadis itu mulai menjahit.
"Mas Pamadi!"
Katanya sambil menusuk-nusuk jarum ke dalam kain baju itu dengan cekatan,
"
Kau tentu menanggap aku ini seorang adik perempuan yang kasar dan galak, ya?"
"Tidak, tidak. Sama sekali tidak."
Jawab Pamadi cepat-cepat.
"dalam pandanganku kau... adalah..."
"Genit dan menjemukan...?"
Sambung Sridewi sambil menunda pekerjaannya. Pamadi buru-buru menggelengkan kepala.
"Bukan.. bahkan kau... sagat cantik dan manis budi."
Sridewi menundukkan kepala untuk menyembunyian mukanya, karena ia merasa mukanya panas hingga takut kalau-kalau pemuda itu melihat wajahnya memerah. Tetapi usahanya itu sia-sia, karena sinar bulan tidak cukup terang untuk dapat memperlihatkan perubahan mukanya yang jelita.
"Mas, berapakah usiamu sekarang?"
Tanya gadis itu sambil menggunakan giginya menggigit putus sisa benang dari baju itu hingga yang putih mengkilap dan teratur rapi di balik bibir yang merah segar itu.
"Aku? Kalau tidak salah, dua puluh tujuh, dik."
"Kenapa kalau tidak salah?"
"Habis, aku tidak mencatatnya."
Keduanya tertawa.
"Mas, berapa lama kau tinggal bersama ibumu?"
"Hanya kurang lebih sebulan, dik. Ada apakah?"
"Ah, tidak apa-apa,"
Katanya sambil membalikkan baju yang terus dipakai oleh Pamadi sambil berkata.
"Terima kasih"
"Tentu ibumu pernah bertanya padamu apakah kau telah.. telah... kawin?"
Pamadi tertawa keras-keras hingga mengejutkan burung hantu yang tengah mengantuk di atas pohon dekat mereka dan terbang pergi.
"Mengapa tertawa, apa yang lucu?"
Tanya Sridewi.
"Kau bertanya yang aneh-aneh. Siapa yang telah kawin? Aku... aku agaknya... selamanya takkan kawain."
Tiba-tiba saja Pamadi merasa bingung karena baru kali ini selama hidupnya ia bicara dan berpikir tetang kawin.
"Itu tidak mungkin,"
Kata Sridewi.
"Mengapa tak mungkin?"
"Karena kau seorang pemuda baik, berilmu tinggi, gagah perkasa, berbudi mulia dan... dan... cakap dan tampan."
"Hm, kau anggap aku demikian hebatnya? Dik Dewi, kau hanya memperolok-olok daku,"
Jawab Pamadi dengan wajah kemalu-maluan dan sikapnya menjadi canggung sekali. Baru kali ini sejak turun gunung ia merasa malu dan merasakan canggung sekali. Melihat sikap ini, Sridewi tertawa geli. Untuk menghilangkan malunya, Pamadi bertanya,
"Dan kau sendiri, berapakah usiamu, dik Dewi?"
"Aku? Coba kau pikir!"
"Tujuh belas?"
"Terlalu muda."
"Dua puluh?"
"Terlampau tua."
Pamadi menggaruk-garuk belakang telinga.
"Delapan belas, sembilan belas?"
"Entahlah aku tak tahu pasti. Karea tidak kucatat sih."
Jawabnya sambil tertawa bangun berdiri dan berkata sambil ketawa juga.
"Ah, kau memang nakal, dik Dewi."
"Kau yang nakal, pita rambutku kau bikin lepas."
"Tapi kau bikin robek bajuku,"
Jawab Pamadi.
"Tapi sudah kujahitkan kembali, sedangkan rambutku..."
Pamadi memandang rambut gadis yang panjang, hitam dan terurai ke atas pundak itu. Ia maju selangkah.
"Hm, jadi aku masih berhutang padamu, ya Mana pitanya, biar kuikatkan rambutmu jadi kita sama-sama melunasi hutang."
Sridewi mengambil pita merah dari dadanya dan memberikannya kepada Pamadi. Ketika menerima pita itu, Pamadi mencium bau kembang melati yang sedap dan harum, Sridewi menundukkan kepala dan Pamadi memegang rambutnya.
Tiba-tiba saja Pamadi menahan napas dan menenteramkan hatinya serta menyipitkan mata. Dengan hati-hati ia mengatur napasnya hingga panjang dan halus untuk mengendalikan perasaannya yang berdebar-debar tak karuan itu. Ketika tangannya menggenggam rambut yang halus itu, seakan-akan ia menjadi mabok, terautama bau melati yang harum keluar dari rambur itu membuai semangatnya terbang dan tangannya menjadi gemetar. Karena menggigil, maka sukar untuk mengikatkan pita pada rambut yang tebal dan halus itu. Tapi ahirnya berhasil jugalah ia. Maka ia segera mundur sambil bernapas lega, seolah-olah seorang yang setelah bersusahpayah akhirnya berhasil juga mengerjakan sesuatu tugas yang sangat berat. Sridewi tersenyum dan memandangnya dengan manis.
"Dik Dewi, kau selain pandai bermain keris dan pencak, pandai juga menjahit pakaian. Apakah kau juga pandai masak?"
Tanya Pamadi. Sridewi mengerling sambil mencibirkan bibirnya yang mungil.
"Tentu saja! Kau anggap aku ini apa? Ayah selalu makan masakanku."
"Enakkah masakanmu?"
"Boleh kau buktikan, tapi... eh, kemana maksud pertanyaanmu ini? Tiba-tiba saja kau Tanya tentang masak."
"Karena perutku sangat lapar, dik..."
Sridewi tertawa.
"Oo... jadi kau lapar? Ah, kasihan. Hayo, kumasakan yang lezat untukmu."
Dengan gembira Sridewi memegang tangan Pamadi dan menariknya sambil berlari-lari. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras. Para perampok menjadi gempar dan keadaan yang tadinya sunyi menjadi ramai. Semua orang yang telah tidur tiba-tiba bangun dengan kaget dan semua tangan mencari-ari senjata. Banyak perampok berkata terkejut,
"Celaka! Kompeni datang menyerbu!"
Pamadi juga terkejut dan menarik tangan Sridewi untuk bersembunyi di belaang pohon beringin besar.
"Apakah itu?"
Tanyanya berbisik.
"Senapan!"
Jawab Sridewi dengan suara gemetar.
"Senapan serdadu Belanda."
Dulu, ketika masih dipimpin oleh Jaya sakti, pernah para perampok itu diserang oleh Serdaduserdadu Belanda, hingga sekarang baru mendengar tembakan sekali saja mereka sudah binggung dan gugup. Tembakan-tembakan makin gencar dan kini tampak para serdadu berpakaian hijau yang menembak dari balik-balik batang pohon. Pak Seno dengan berani mengumpukan kawan-kawannya.
"Mereka hanya sepuluh orang. Hayo serbu!"
Teriaknya. Pamadi hendak mencegah, tapi sudah tak keburu. Dengan golok di tangan Pak Seno lari diikuti aak buanya kearah serdadu itu. Tembakan makin gencar dan beberapa orang perampok jatuh tersungkur, tapi Pak Seno dan beberapa orang kawannya telah sampai di situ dan mengamuk. Dengan klewangnya Pak Seno membacok roboh seorang serdadu dan tiba-tiba ia berteriak keras,
"Sugondo! Bangsat kau! Jadi kaukah yang menjadi penghianat?"
Ternyata Sugondo yang diam-diam merasa dendam hati kepada Pak Seno pembunuh ayahnya dulu, selalu berusaha membalas. Namun rasa sakit hatinya itu ditahan-tahan karena ia jatuh cinta kepada Sridewi. Setelah tadi terang-terangan gadis itu menolak cintanya, bahkan hendak membunuhnya, sakit hatinya menghebat. Diam-diam, ketika Pak Seno sedang asik bicara dengan Pamadi, ia keluar dari hutan dan menuju ke tangsi serdadu Belanda dan membuat laporan. Ia menghianati kawan-kawan sendiri. Dengan diiringi sepuluh orang serdadu bersenjata api, ia menjadi penunjuk jalan dan menyerbu perkampungan perampok itu.
Celaka baginya, dalam serbuan itu Pak Seno dapat melihatnya berada di antara serdadu-serdadu itu, maka alangkah takutnya ketika Pak Seno lari kearahnya dengan klewang di tangan. Tetapi ia berlaku nekad dan menangkis dengan goloknya hingga dua orang itu lalu berkelahi matimatian. Tak lama kemudian sugondo terdesak heat dan setiap saat jiwanya terancam oleh golok Pak Seno. Sementara itu kawanan perampok yang menyerbu mati-matian telah berperang tanding melawan serdadu-serdadu itu yang menggunaan pedang. Sekali-kali terdengar letusan pistol dan seorang perampok terguling pula. Melihat kenekatan perampok itu, Pamadi segera meninggalkan Sridewi dan lari kearah tempat pertempuran. Ia melihat seorang serdadu mengacungkan pistlnya, maka dari belakang ia menampar keras. Serdadu itu kena tamper kepalanya lalu jatuh terguling dan pingsan.
Demikian hebatnya tamparan tangan Pamadi. Berkali-kali Pamadi menyerbu dengan gagah dan dua orang serdadu kena ia lempar sampai tak ingat orang. Sementara itu, serdadu-serdadu itu sudah sempat mengisi peluru lagi dan kini terdengarlah tembakan-tembakan gencar. Beberapa butir peluru berdesingan menuju ke arah tubuh Pamadi. Tetapi dengan gesit Pamadi mengelak meniarap ke atas tanah lalu meloncat berdiri pula menendang seorang serdadu yang terdekat. Serdadu itu memekik ngeri dan jatuh untuk tidak bangun pula. Sugondo menangkis rengsekan Pak Seno, tetapi pada suatu saat goloknya dapat dipukul demikian kerasanya oleh jago tua itu hingga golo itu tepental entah ke mana. Dengan penuh kebencian Pak Seno menusuk dan dada Sugondo tertikam. Pemuda penghianat itu memekik dan roboh mandi darah!
Tiba-tiba terdengar letusan keras dan Pak Seno jatuh terjerembab. Kawanan perampok yang terdiri dari empat belas orang itu tinggal empat orang lagi yang masih melakukan perlawanan, yang lain telah tertembak roboh. Dengan majunya Pamadi, di fihak serdadu tinggal lima orang lagi. Tetapi mereka ini semua berkelahi sambil mundur, tidak tahan melawan amukan Pamadi. Peluru-peluru mereka seakan-akan tak dapat melukai pemuda baju putih itu. Padahal tidak sebutirpun peluru yang dapat mengenakan tubuh pemuda yang gerakannya gesit melebihi burung. Akhirnya serdadu-serdadu itu lari pergi setelah dua orang di antara mereka jatuh lagi oleh pukulan Pamadi. Sridewi dengan membawa golok sampai pula di tempat itu dan tengah memeluki tubuh Pak Seno sambil menangis tak perduli pertempuran yang berjalan di dekatnya.
Setelah musuh pergi, ternyata yang masih hidup hanya Pamadi Sridewi dan dua orang perampok. Yang lain-lain telah mati akibat peluru musuh. Pak Seno bergerak-gerak lemah dan dari dadanya mengalir darah. Luka di dadanya itu hebat sekali karena ketika Pamadi merobek bajunya, tampak luka yang besar kehitam-hitaman di dada kanan. Kulit di luka itu bagaikan terbakar. Napas Pak Seno tinggal satu-satu. Bibirnya bergerak-gerak. Pamasi mencucurkan air mata karena ia maklum bahwa ayahnya takkan tertolong lagi. Ia segera mendekatkan kepalanya karena ia tahu bahwa ayahnya hendak memberi pesan terakhir. Tetapi Pak Seno memandang kearah Sridewi hingga gadis itupun mendekatkan kepalanya. Sepasang pemuda-pemudi itu memasang telinga di dekat mulut Pak Seno.
"Pamadi... Sridewi... dosaku terlalu besar... pebalasan tiba... aku akan pergi... Pamadi... Anakku... Jagalah Sri... isterimu...!"
Dan Pak Seno yang gagah perkasa itu menghembusakan napas terakhir!
Sridewi menangis dan menjerit-jerit, sedangkan Pamadipun tak dapat menahan air matanya. Tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan membangunkan Sridewi serta menghiburnya. Dengan bantuan dua orang kawan yang masih hidup, yaitu Bardi dan Sarmin, mereka menubruk semua mayat itu, tak terkecuali mayat serdadu-serdadu Belanda yang berkulit hitam itu, karena di antara serdadu-serdadu Belanda itu hanya seorang saja yang berkulit bule. Sebenarnya, Bardi dan Samin tidak sudi mengubur mayat musuh-musuh ini, tetapi atas desakan Pamadi mereka akhirnya mau juga membantu. Semalam penuh mereka bekerja keras dan akhirnya sekian banyak mayat itu dapat dikebumikan dengan sempurna. Matahari telah naik ketika mereka meyelesakan pekerjaan itu.
Pamadi lalu memberikan uang dan barang-barang berharga peninggalan Pak Seno itu kepada Bardi dan samin dengan pesan agar uang itu dipakai sebagai modal dan agar kedua orang itu kembali ke jalan yang benar. Kemudian sambil menggandeng tangan Sridewi yang masih saja menangis sedih, Pamadi pergi meninggalkan tempat itu dengan hati-hati karena khawatir kalau-kalau berjumpa dengan musuh yang pasti akan mendatangkan bala bantuan untuk megejar mereka. Bardi dan Samin pergi dengan menggunakan perahu layar. Di sepanjang jalan mereka tak banyak bicara, masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Sridewi dalam kesedihannya, Pamadi dalam kebingungannya. Karena sesungguhnya ia binggung dan hatinya selalu berdebar kalau ia teringat akan pesan ayahnya tadi malam. Ayahnya menyebut,
"Sri... Isterimu!"
Apa maksud ayahnya? Sridewi isterinya? Diam-diam ia berkali-kali mengerling kearah Sridewi yang berjalan di sampingnya. Tetapi gadis itu berjalan sambil tunduk dan kedua matanya masih merah bekas tangis. Sridewi nampak lebih cantik dalam pakaian wanita yang dipakainya sekarang ini. Sedikitpun tidak membayangan seorang wanita yang gagah perkasa dan pandai bermain keris dan golok!
TAMAT
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo