Rondo Kuning Membalas Dendam 2
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Gegerlah keadaan barisan itu. Yang di belakang berteriak dan yang di depan berhenti lalu membalikkan kuda mereka. Juga Galiga Jaya sendiri terheran dan menghentikan kudanya. Kencanawati telah siuman kembali dan menangis terisak-isak, sedangkan Sariwati dan Bandini masih saja berteriak-teriak dan menjerit-jerit minta tolong sampai suara mereka menjadi serak. Adiguna setelah menjatuhkan beberapa orang perajurit dan melihat betapa semua penunggang kuda menghentikan kuda mereka, lalu melompat ke arah dua ekor kuda dimana Sariwati dan Bandini tertawan dan menjerit-jerit. Dua orang perajurit yang menawan kedua orang gadis itu, ketika melihat bahwa yang mengamuk adalah seorang pemuda tanggung yang nampak lemah lembut segera menyambut Adiguna dengan golok di tangan dan membacok dari atas kuda. Akan tetapi, Adiguna beseru,
"Rebahlah kamu!"
Dan sekali kedua tangannya bergerak ia telah dapat menangkap lengan tangan mereka yang memegang golok dan sekali ia membetot, kedua orang itu terpelanting dari atas kuda mereka! Karena mereka keduanya memeluk Sariwati dan Bandini, maka ketika mereka jatuh maka kedua orang gadis itupun ikut terjatuh pula. Akan tetapi Adiguna berlaku sebat. Ia melompat maju dan dengan cepat ia dapat merampas kedua orang gadis itu dari tangan penawan-penawan mereka. Melihat bahwa pemuda itu datang hendak menolong mereka, maka Sariwati dan Bandini segera lari dan bersembunyi dibelakang Adiguna dengan muka ketakutan.
"Awas, Raden!"
Kata Bandini dengan bibir gemetar ketika lima orang perajurit turun dari atas kudanya, dan lari mendatangi dengan pedang ditangan!
"Tenanglah adikku!"
Kata Adiguna dengan tersenyum.
"Dan kalian duduklah saja di atas rumput di pinggir sawah itu!"
Sariwati dan Bandini lalu lari ke rumput dan duduk berlutut sambil berdoa memohon kepada Yang Agung agar supaya pemuda penolong mereka itu mendapat kemenangan!
Ketika lima orang itu datang menyerbu, tiba-tiba Adiguna mempergunakan kegesitannya dan tahu-tahu ia telah melompat tinggi melewati kepala mereka! Tentu saja kelima orang perajurit itu terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka! Selagi mereka merasa bingung, tiba-tiba dari belakang Adiguna mendorong keras dan kelima tubuh perajurit itu terdorong dan jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam selokan kecil yang penuh lumpur! Menjadi menjadi gelagapan karena untuk sementara mereka menjadi buta, hidung, mata dan mulut, bahkan telinga mereka penuh tersumpal tanah lumpur. Terdengar tertawa nyaring dan ternyata bahwa Bandini gadis yang kenes dan lincah itu, timbul kembali kejenakaannya melihat pemandangan ini. Ia tertawa geli dan bertepuk tangan menyoraki kelima orang perajurit itu.
"Ahai...! Ada lima ekor buaya bermandi lumpur di selokan itu!"
Mau tidak mau Adiguna tersenyum mendengar kejenakaan gadis hitam manis itu, akan tetapi terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya ke depan karena kini semua perajurit datang menyerbu dan kesemuanya telah turun dari kuda dan mencabut senjata masing-masing! Terdengar lagi seruan Bandini,
"Hai, Mbak Sari, lihat! Buaya-buaya itu berkaki dua!"
Sariwati biarpun biasanya bersikap tenang dan halus, kini melihat keadaan lima orang perajurit yang merangkak dan berdiri dengan muka dan kepala serta seluruh tubuh berlumur lumpur dan dengan bingung meraba-raba kesana-kemari, mendengar kelakar adiknya terpaksa tersenyum juga. Akan tetapi, biarpun ia rasa geli mendengar kejenakaan adik, dan melihat keadaan lima perajurit itu, ia masih teringat akan nasib kakaknya yang masih berada di atas kuda Penewu Galiga Jaya, maka ia segera berteriak ke arah Adiguna.
"Den-Mas yang budiman! Mohon engkau suka menolong kakakku yang masih tertawan itu!"
Mendengar suara yang halus merdu ini, Adiguna merasa sesuatu yang aneh terjadi pada hatinya. Dada kirinya tiba-tiba berdebar aneh dan di dalam kesibukannya mengelak serangan para lawan-lawannya, ia masih menengok memandang ke arah Sariwati.
Biarpun ia hanya memandang sekilas, namun ia mendapat kenyataan bahwa gadis berkulit kuning itu luar biasa cantiknya, bagai seorang bidadari turun dari kahyangan! Maka ia lalu memperhatikan ke depan dan melihat bahwa seorang gadis lain masih berada diatas kuda yang ditunggangi seorang tinggi besar bercambang bauk dan bermata lebar menyeramkan. Ia segera dapat menduga bahwa ini tentu Penewu Galiga Jaya yang kejam itu, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu ia telah menyusup diantara belasan senjata yang menyerangnya dan melompat ke arah Penewu Galiga Jaya. Galiga Jaya bukanlah seorang lemah dan ia telah banyak mendapat pengalaman bertempur melawan orang-orang sakti. Kedigdayaannnya yang terkenal di Mataram dan selain memiliki ilmu pencak silat yang tinggi, iapun memilki tubuh yang kebal dan aji kesaktian yang cukup ampuh.
Melihat gerakan pemuda yang berusaha menolong ketiga orang puteri Rondo Kuning itu, ia maklum bahwa pemuda itu tentulah murid seorang pandai, maka ia cepat mengeluarkan sebatang sabuk yang tadi membelit perutnya. Sabuk ini terbuat dari lawe berwarna merah dan ini bukanlah sabuk biasa, melainkan sebuah senjata yang teramat ampuh. Senjata sabuk lawe merah ini didapatnya dari daerah Gunung Lawu sebelah timur dari seorang pertapa yang sakti. Jangankan manusia biasa, bahkan kabarnya makluk haluspun takut menghadapi sabuk lawe yang mujijat ini, karena sibuk ini telah dicapai dan diberi mantera mujijat oleh seorang sakti hingga ampunya luar biasa! Ketika tubuh Adiguna berkelebat dekat, Galiga Jaya lalu memutar sabuk lawe hingga menimbulkan angin dan menyabet ke arah Adiguna sambil membentak,
"Mampuslah kau!"
Adiguna terkejut sekali ketika merasa bahwa sambaran sabuk itu menerbitkan hawa yang luar biasa kuatnya dan yang melemahkan semangatnya. Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi sebuah senjata yang ampuh dan mujijat, maka ia tiidak berani menerima senjata itu, lalu mengelak mempergunakan kelincahannya. Sabuk itu menyambar lewat di dekat lambungnya dan biarpun kulitnya tidak tersentuh oleh sabuk lawe merah, namun hawa sambarannya saja sudah menimbulkan rasa panas pada kulit tubuhnya! Tak terasa lagi Adiguna melompat mundur dua langkah, dan kesempatan ini digunakan oleh Galiga Jaya untuk berseru kepada anak buahnya,
"Kepung dan tangkap dia!"
Setelah berkata demikian, Penewu ini lalu memecut kudanya yang segera membalap memasuki dusun Waru. Penewu ini cerdik sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu sakti mandraguna dan untuk menghadapinya, perlu ia mengerahkan dan mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Apabila kencanawati masih berada di atas kuda, maka tentu saja gerakannya terhalang, maka ia pikir lebih baik melarikan puteri itu dulu dan menahannya di dalam gedung, baru nanti kembali menghadapi pemuda pengacau yang gagah itu! Melihat betapa Penewu itu melarikan diri, Adiguna hendak mengejar, akan tetapi perajurit-perajurit itu maju mengurung dengan rapatnya.
(Lanjut ke Jilid 02)
Rondo Kuning Membalas Dendam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
Kalau ia mau, mudah saja baginya untuk melepaskan diri dari kurungan ini dan terus mengejar, akan tetapi ia teringat kepada dua orang dara yang duduk di atas rumput itu. Kalau mereka ini ditinggalkan, bukankah keadaan mereka berbahaya sekali karena para perajurit yang ganas itu masih berada disitu?
Maka ia lalu menjadi gemas sekali dan menghadapi keroyokan belasan orang perajurit itu dengan gagah perkasa. Melihat betapa Kencanawati dilarikan Penewu, Sariwati menjadi khawatir dan menangis lagi, tetapi Bandini yang tidak melihat ke arah Kencanawati dan tidak tahu bahwa kakaknya yang sulung itu dilarikan Penewu, bersorak-sorak gembira melihat betapa Adiguna menghajar para perajurit habis-habisan! Memang mengagumkan sekali sepak terjang Adiguna menghadapi para pengeroyoknya. Dimana saja tubuhnya melompat dan berkelebat, terdengar pekik terkejut dan tubuh seorang perwira dilontarkan tinggi-tinggi dan akhirnya tubuh itu jatuh ke dalam lumpur, membuat tanah lumpur memercik ke atas dan tubuh itu terbenam ke dalam lumpur dengan kepala dibawah!
"Bagus, bagus! Nah, dia menjadi seekor kura-kura di dalam lumpur!"
Teriak Bandini sambil tertawa geli. Kalau tangan Adiguna bergerak memukul atau kakinya bergerak menendang hingga seorang perajurit memekik kesakitan mengaduh-aduh sambil memegangi kepalanya yang terpukul atau mengaduh-aduh sambil memegangi sebelah kaki ke atas dan menggunakan kaki kedua untuk berloncat loncat karena kakinya tertendang sakit sekali, Bandini berseru sambil tertawa,
"Lihat, lihat! Mereka sekarang menari-nari! Aduh bagusnya! Itu, itu... kepalanya benjol-benjol seperti disengat tawon!"
Memang Bandini yang baru berusia empat belas tahun itu masih memiliki sifat kanak-kanak, terdorong oleh sifatnya yang kenes dan kewat. Melihat sepak terjang Adiguna yang gagah perkasa itu, kepungan para perajurit menjadi kocar-kacir dan mereka yang masih mengeroyok lalu mengundurkan diri dengan hati jerih. Tujuh orang perajurit lain telah terlempar ke dalam tanah lumpur hingga kini ada selusin perajurit yang merangak angkak keluar dari lumpur dengan kedua tangan meraba-raba karena kedua mata mereka yang kemasukan lumpur tak dapat melihat!
"Eh, pengacau muda, siapakah namamu dan mengapa engkau begitu berani melawan Penewu?"
Tanya seorang perajurit dari tempat jauh. Dengan keringat membasahi dadanya yang telanjang Adiguna berdiri bertolak pinggang dan sambil tersenyum ia berkata,
"Ketahuilah, wahai kaki tangan Penewu yang jahat! Aku bernama Adiguna dan setelah aku berada disini, aku takkan membiarkan kalian mengganas dan membunuh rakyat secara sewenang-wenang dan kejam."
Kemudian Adiguna menghampiri kedua orang gadis itu dan Sariwati lalu berlutut dan menyembah didepan pemuda itu sambil menangis. Bandini juga berlutut dan menyembah, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang kepada wajah pemuda itu dengan penuh kekaguman dan terima kasih.
"Den-Mas, saya menghaturkan beribu terima kasih atas budi pertolongan yang besar ini dan hanya Tuhan Yang Maha Agung yang akan membalas budi ini."
"Kau gagah sekali, Den-Mas, dan bolehkan kami ketahui, siapa nama Den-Mas yang gagah ini?"
Bertanya Bandini dengan berani. Sariwati mengerling tajam kepada adiknya untuk menegurkan akan tetapi sambil tersenyum dan merendahkan diri Adiguna menjawab,
"Silahkan kalian berdiri dan janganlah memberi penghormatan sebesar ini kepadaku. Aku bukanlah Raden-Mas dan bukan pula orang bangsawan, akan tetapi aku adalah orang kampung biasa seperti kalian. Namaku Adiguna dan aku adalah anak kemenakan Pak Wiryosentiko!"
Kedua orang gadis itu memandang dengan penuh perhatian dan untuk kedua kalinya Adiguna tertegun melihat wajah Sariwati yang benar-benar amat cantik molek dalam pandangannya.
"Jadi"
Kau ini... anak yang hilang digondol harimau itu?"
Tanya Sariwati gugup. Ketika Adiguna mengangguk, Bandini segera bediri dan memandang dengan kagum.
"Ah"
Pantas saja kau sakti mandraguna, tidak tahunya kau telah diangkat anak oleh seekor harimau siluman yang sakti."
Gambar 0201
"Bandini!"
Seru Sariwati menegur, akan tetapi adiknya tidak memperdulikannya hanya memandang wajah Adiguna dengan kagum dan tersenyum-senyum manis.
"Hm, jadi namamu Bandini?"
Kata Adiguna kepada gadis hitam manis itu.
"Dan siapakah nama kakakmu ini? Apakah kalian anak Mbok Rondo Kuning?"
"Mbakyuku ini bernama Sariwati dan ia cantik sekali."
"Bandini!"
Kembali mbakyunya menegur dan ketika Bandini dan Adiguna memandang, ternyata bahwa Sariwati telah menangis lagi dengan sedihnya.
"Kau mengapa, diajeng?"
Kata Adiguna menghibur.
"Ah, bagaimana dengan nasib kakakku Kencanawati? Den-Mas""
"Jangan menyebut aku Den-Mas!"
Adiguna memotong. Untuk sejenak Sariwati tak dapat berkata-kata dan memandang dengan bingung dan Bandini menolongnya.
"Kau harus memanggil Kang Mas, Mbak Sari!"
Dengan muka merah Sariwati lalu berkata lagi,
"Kang Mas... mohon kau suka menaruh belas kasihan kepada kami dan tolonglah mbakyu Kencanawati. Dan Ibuku"
Ibuku... ah..."
Sariwati tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya datang lagi membuat ia terisak-isak.
Kini Bandini teringat kembali kepada Kencanawati dan kepada Ibunya, terutama sekali ia teringat kepada Bondan yang terbunuh mati, maka ia pun menangis dan tangisnya keras sekali. Adiguna mamandang bingung. Para perajurit telah pergi dari situ, bahkan yang tadi merangkak-rangkak keluar dari lumpur, telah ditolong oleh kawan-kawannya dan telah pergi semua hingga tempat disitu sunyi. Apakah yang harus dilakukannya? Kalau ke Waru untuk menolong Kencanawati, bagaimana dengan dua orang gadis ini? Bisa juga mereka disuruh pulung dulu ke Pakem, akan tetapi bagaimana kalau mereka ini bertemu dengan anak buah Galiga Jaya di tengah jalan? Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengantar kedua orang dara ini ke rumah pamannya dulu, baru kemudian ia kembali lagi dan menolong Kencanawati.
"Marilah kalian kuantar ke Pakem dan untuk sementara waktu tinggal dengan pamanku. Setelah itu aku akan mencoba menolong kalian."
Oelh karena tubuh kedua orang gadis itu telah menjadi lemah saking takut dan menderita waktu mereka ditawan dan menjerit-jerit tadi, maka tentu saja mereka tak dapat berjalan cepat. Setelah hari menjadi senja, barulah mereka tiba di Pakem dan disambut oleh para penduduk kampung dengan riang gembira, akan tetapi mereka menjadi berduka ketika mendengar bahwa Kencanawati belum tertolong dari tangan Penewu Galiga Jaya. Adiguna lau menyerahkan kedua orang dara itu kepada paman dan bibinya Wiryosentiko, kemudia ia lalu berlari cepat menuju ke Waru untuk menolong Kencanawati.
Hari telah menjadi gelap ketika ia tiba di gedung Galiga Jaya. Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya telah bersiap sedia menanti datanganya serangan musuh, oleh karena ia telah mengatur barisan pendam (perajurit-perajurit bersembunyi) disekitar tempat itu hingga tadipun ia telah diberi tahu oleh penjaga terdepan bahwa anak muda yang gagah perkasa itu telah datang menyerbu seorang diri. Ketika dengan hati-hati Adiguna telah memasuki taman, tiba-tiba saja tamansari itu telah terkurung rapat oleh ratusan orang perajurit yang memegang tombak dan pedang hingga mereka merupakan pagar tombak yang amat kokoh kuat. Obor-obor dipasang dari sekeliling taman itu hingga keadaan di dalam taman menjadi terang dan tubuh pemuda itu nampak nyata di bawah sinar obor. Adiguna tidak menjadi jerih, bahkan lalu bertolak pinggang dan berteriak,
"Galiga Jaya, kalau kau memang seorang jantan dan sakti, keluarlah kau untuk mencoba tebalnya kulit kerasnya tulang dengan aku!"
"Adiguna, anjing kecil yang tak tahu adat! Kau kira aku takut kepadamu?"
Terdengar jawaban dari tempat gelap dan tiba-tiba tubuh Galiga Jaya yang tinggi besar lagi kuat itu melompat keluar. Penewu ini nampak menyeramkan sekali. Pakaiannya serba ringkas berwarna hitam, rambutnya yang panjang digulung ke atas dan diikat dengan kain wungu, sarungnya diikatkan kebelakang hingga nampak celana hitam sebatas lutut. Dadanya telanjang dan berbulu ditengah-tengah. Di kedua pergelangan tangannya nampak gelang akar cendana yang berwarna kehitam-hitaman, tangan kiri memegang sabuk lawe merah dan tangan kanan memegang sebatang keris luk tujuh. Adiguna masih saja tersenyum dan bersikap tenang, kemudian setelah Galiga Jaya berdiri dihadapannya dengan sikap yang mengerikan bagaikan seekor harimau haus darah, pemuda itu berkata mengejek,
"Galiga Jaya, kau mengandalkan pangkat dan kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang menindas rakyat kecil, menculik perawan-perawan dusun, membunuh kaum tani untuk melepas nafsumu yang jahat. Apakah kau tidak malu? Sebagai seorang pemimpin dan Penewu, kau seharusnya memberi contoh-contoh baik kepada rakyat agar rakyat hidup dalam keadaan tata tenteram kerta raharja. Kalau pemimpinnya berlaku sebagai seorang berandal perampok besar, apakah perampok-perampok dan maling-maling kecil takkan berkeliaran mencontoh perbuatanmu? Apa kau tidak takut kepada Sri Sultan yang arif bijaksana?"
Bukan main marahnya Galiga Jaya mendengar ini, dan kedua matanya yang lebar menjadi merah ketika ia membentak,
"Babo, babo! Adiguna bocah kampung! Kau mengandalkan sedikit ilmu kepandaianmu untuk bersikap sombong! Kau ini orang macam apakah berani sekali membuka mulut besar dan berlaku sebagai penasihatku? Bangsat benar! Bukalah matamu dan lihat baik-baik! Ketiga anak perempuan itu adalah anak tiriku dan aku berhak untuk membawa mereka, siapa berani bilang bahwa aku menculik mereka! Kau pandai memutar lidah. Kaulah yang menculik Sariwati dan Bandini, dan kalau tidak lekas kembalikan kedua anak tiriku itu, kau akan mampus di ujung ribuan senjata! Aku membunuh orang-orang karena mereka telah memberontak dan berani melawan Penewu dan perajurit-perajurit Mataram. Mengapa Sri Sultan akan amarah kepadaku? Sudahlah, Adiguna, sayangi jiwa dan usia mudamu! Aku akan ampuni kau asal saja kau mengembalikan kedua orang puteri tiriku yang kau culik itu dan pergilah selanjutnya dari daerahku ini dengan aman!"
Biarpun ucapan Penewu itu terdengar seakan-akan ia berbaik hati dan berlaku murah kepada Adiguna, namun pada hakekatnya ucapan ini terdorong oleh rasa jerih menghadapi pemuda dan gagah dan sakti itu, walaupun belum boleh dianggap bahwa ia takut. Galiga Jaya adalah murid Panembahan Baudenda yang terkenal sakti dan yang bertapa di tepi sungai sebelah timur Gunung Lawu. Ia telah mempelajari berbagai ilmu kepandaian berkelahi dan aji kesaktian, serta sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran besar hingga kegagahannya membuat ia terpilih dan diangkat menjadi Penewu oleh Sri Sultan. Maka tentu saja ia tidak takut kepada seorang pemuda tanggung seperti Adiguna ini.
"Galiga Jaya!"
Jawab Adiguna yang sama sekali tidak marah mendengar dirinya dimaki-maki.
"Jangan kau bicara seperti anak kecil. Semua orang tahu akan maksudmu yang keji dan kotor. Kau bertopeng hendak melindungi puteri tirimu, padahal sebenarnya kau hendak mengambilnya menjadi selir! Dan kau bahkan telah menyiksa isterimu Rondo Kuning dan yang lebih hebat lagi, kau telah menjatuhkan tangan kejam dan membunuh anakmu sendiri yang masih kecil. Lekas kau bebaskan Kencanawati agar aku dapat mengembalikannya kepada adik-adiknya dan selanjutnya jangan kau berbuat sewenang-wenang lagi!"
Diingatkan akan pembunuhan terhadap Bondan yang tak disengaja itu, tiba-tiba Galiga Jaya menjadi pucat karena marah dan sambil berseru dengan geramnya ia lompat menerkam dan sekaligus menggerakkan dua buah senjata di kedua tangannya mengirim serangan hebat!
"Bagus!"
Seru Adiguna yang cepat mengelak karena ia maklum bahwa tidak saja sabuk lawe merah di tangan lawannya itu amat ampuh, juga keris luk tujuh itupun buka senjata sembarangan dan kehijau-hijauan itu saja menujukkan bahwa itu adalah senjata yang mengandung bisa! Galiga Jaya tidak memberi kesempatan kepada Adiguna untuk balas menyerang, ia memutar-mutar sabuk lawenya sedemikian rupa hingga menyambar-nyambar ke arah Adiguna, sedangkan kerisnya siap sedia menembus dada pemuda itu apabila kesempatannya terbuka baginya. Diam-diam Adiguna terkejut dan kagum melihat sepak terjang lawannya yang tangkas.
Ia maklum bahwa Penewu ini bukan seorang lawan yang lemah dan tidak boleh dibuat gegabah. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan kesigapan dan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan ancaman kedua senjata itu. Beberapa lama mereka bertempur di bawah sorak-sorai para perajurit yang masih mengurung denga obor di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Mereka bersorak gembira oleh karena melihat betapa pemuda pengacau itu tidak mendapat kesempatan untuk membuat serangan balasan. Memang, terjangan dan serbuan Galiga Jaya yang dilakukan bertubi-tubi itu tak memungkinkan Adiguna membuat serangan balasan. Biarpun dalam pandangan mata para perajurit, agaknya Galiga Jaya mendesak terus dan akan mendapat kemenangan, namun Penewu itu sendiri merasa terkejut dan kagum sekali.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang lawan yang memiliki kegesitan seperti Adiguna. Ia merasa seakan-akan sedang bertempur melawan sebuah bayangan. Semua serangannya gagal dan selalu mengenai angin! Keringat telah membasahi jidatnya. Sebaliknya, Adiguna juga merasa bahwa apabila dia hanya bertempur sambil mundur dan mengelak saja, akhirnya ia tentu akan kalah, karena selain menghadapi Galiga Jaya yang sakti, disitu masih berdiri ratusan perajurit yang tentu akan mengeroyok. Ia berpikir bahwa sebelum mereka itu bergerak, lebih baik berusaha merobohkan Galiga Jaya terlebih dulu. Maka Adiguna lalu meraih ikat kepalanya dan menarik ikat kepalanya yang berwarna biru. Ikat kepalanya adalah ikat kepala yang biasa dipakai oleh gurunya dan ketika hendak turun gunung, gurunya memberikan ikat kepala biru itu kepadanya sambil berkata,
"Muridku, kalau terpaksa engkau harus melawan seorang lawan tangguh dengan senjata, kau pergunakanlah ikat kepala ini yang mempunya daya melumpuhkan lawan, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali engkau menewaskan nyawa lawan kalau tidak mempunya dasar yang kuat hingga engkau terpaksa menewaskannya. Kalau engkau sembarangan membunuh manusia, engkau akan terkena kutuk, Adiguna!"
Kini menghadapi Galiga Jaya, Adiguna yang terdesak itu terpaksa menarik ikat kepala ini dari atas kepalanya dan memegangnya di tangan kanan pada ujungnya. Ketika keris luk tujuh di tangan Galiga Jaya menyambar, cepat bagai kilat Adiguna menggerakkan tanggannya dan ujung ikat kepalanya meluncur dan menangkis keris itu.
Sekali saja Adiguna menggentakkan tangannya, ujung ikat kepala itu membelit keris! Galigaya mengeluarkan suara ketawa keras dan ia mempergunakan tenaganya untuk membetok kerisnya agar ikat kepala lawan muda itu terbabat putus. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika mendapat kenyataan bahwa kerisnya sama sekali tak dapat dilepas dari belitan ikat kepala itu. Bahkan tiba-tiba terdengar Adiguna berseru keras dan menggerakkan tenaganya dan keris di tangan Galiga Jaya itu terlepas dari pegangan, karena dibetot oleh kain pengikat kepala di tangan Adiguna. Saking kerasnya Adiguna menarik, keris itu sampai terlepas dan meluncur cepat menancap di atas tanah! Galiga Jaya marah sekali dan memukul dengan sabuk lawe merah di tangannya, Adiguna menangkis dengan kebutan kain kepalanya.
Gambar 0202
Dua helai senjata ini bertemu dan Galiga Jaya merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat! Ia makin marah dan penasaran sekali dan menyabet bertubi-tubi, akan tetapi kali ini Adiguna tidak hanya main kelit saja. Ia menangkis dengan ikat kepalanya dan bahkan membalas dengan serangan kebutan yang mendatangkan angin!. Sorak-sorai para perajurit tiba-tiba tak terdengar lagi ketika melihat betapa keris pusaka Penewu itu telah terpukul jatuh dan bahkan kini pemuda yang luar biasa itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah hebatnya. Mereka melihat betapa Penewu yang tinggi besar itu mulai terdesak mundur, agaknya tidak kuat menghadapai ikat kepala ditangan Adiguna! Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya yang juga memiliki kepandaian, ketika melihat betapa pemimpin mereka terdesak,
Tanpa menanti perintah lagi, segera melompat maju sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka ini terdiri dari tujuh orang perwira yang disebut Penatus, atau perwira yang mengepalai seratus orang perajurit dan rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan juga. Milihat datangnya serbuan ini, Adiguna bergerak cepat. Sambil mengeluarkan ilmu pencak silatnya yang disebut "Joget Lutung Sakti", ia menyerang cepat sekali hingga ujung ikat kepalanya berhasil memukul pundak Galiga Jaya. Biarpun yang dipukulkan itu hanyalah sehelai kain pengikat kepala, namun akibatnya hebat sekali! Galiga Jaya merasa seakan-akan seluruh otot dan bayu di dalam tubuhnya diloloskan dan yang membuatnya menjadi lumpuh tak bertenaga! Ia jatuh mendeprok dan mendekam di atas tanah tanpa daya, mengeluarkan keluhan yang timbul dari rasa heran dan putus asa!
Ia maklum sepenuhnya bahwa apabila pada saat itu Adiguna menyerang dan menjatuhkan pukulan maut, ia tak akan dapat mengelak ataupun menangkis lagi. Maka ia lalu meramkan mata menanti jatuhnya pukulan dan menerima nasib. Akan tetapi, biarpun Adiguna amat benci kepadanya, dia tidak mau menjatuhkan pukulan maut, bahkan lalu membalikkan tubuh dan menghadapi serbuan tujuh orang perwira itu. Kini ia mengamuk bagaikan seekor naga sakti bermain dengan ombak laut. Kain pengikat kepala yang ampuh itu telah diikatkan kembali dan untuk menghadapi sekalian perwira itu, dia tidak perlu menggunakan senjata. Ia hanya pergunakan kedua tangan dan kakinya yang sudah lebih dari cukup untuk membuat para pengeroyoknya kocar-kacir dan jatuh bangun!
Akan tetapi, para pengeroyok datang bagaikan air membanjir, jatuh satu datang dua, jatuh dua datang empat dan roboh empat datang delapan! Adiguna mengerti bahwa kalau ia terus melayani mereka, ia akan kehabisan tenanga, dan pula hal ini akan berarti membuang-buang waktu dengan sia-sia. Maka ia lalu berseru keras dan dengan sebuah lompatan yang mentakjubkan para pengeroyoknya, pemuda sakti ini telah berhasil melompat dengan cepat melewati kepala para pengeroyoknya dan terus berlari menuju ke gedung Penewu! Setiap perajuit yang menghadangnya, dirobohkannya dengan sekali dorong atau sekali tendang. Ketika ia berhasil menyerbu masuk kedalam gedung dan langsung menuju ke ruang keputren, yakni tempat tinggal para selir dan isteri Penewu yang banyak sekali jumlahnya, ternyata bahwa disitupun terjadi keributan hebat!
Ketika Galiga Jaya berhasil membawa lari Kencanawati, ia masukkan dara itu ke dalam kamar dan membujuk-bujuknya agar dara itu suka menjadi selirnya. Biarpun Kencanawai memaki-maki dan menangis serta menyatakan tidak sudi, namun d depan Penewu itu, gadis ini tidak berdaya dan biarpun ia ingin sekali membunuh diri, namun tak berhasil karena Penewu itu keburu mencegahnya. Ketika serbuan Adiguna datang, maka Galiga Jaya lalu menyingkirkan semua benda yang kiranya dapat dipakai untuk membunuh diri, lalu meninggalkan Kencanawati setelah mengunci pintu kamarnya. Akan tetapi, setelah Penewu itu pergi, Kencanawat lalu melepaskan kembennya (sabuknya) dan menggunakan kemben itu untuk menggantung diri!
Dan ketika para selir mengintai dari balik daun jendela, mereka melihat bahwa tubuh Kencanawati telah bergantung dengan kaku dan tak bernyawa pula! Setelah mendapat keterangan dimana adanya kamar yang menjadi tempat tawanan gadis itu, Adiguna lalu menendang daun pintu hingga roboh dan ia berdiri diam bagaikan patung ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. Tubuh dara yang cantik jelita itu ternyata telah tak bernyawa pula dan masih tergantung dengan leher terikat kemben! Dengan hati penuh iba, Adiguna melompat ke atas dan merenggut kemben itu terlepas dari tiang usuk. Cepat ia melepaskan kemben dari leher Kencanawati dan setelah mendapat kenyataan bahwa dara jelita itu benar-benar telah mati, Adiguna lalu memondong tubuh yang tak bernyawa pula itu dan berlari keluar dengan cepat sekali!
Para perajurit yang telah merasa jerih, tidak ada yang berani mencegahnya dan Adiguna lalu melarikan diri menuju ke Pakem dengan mayat dara itu di dalam pondongannya. Ketika ia tiba di Pakem, malam telah hampir lewat dan fajar telah mulai menyingsing. Penduduk dusun Pakem termasuk pamannya dan sekalian keluarga, juga Sariwati dan Bandini telah menanti di luar kampung. Tiba-tiba semua orang melihat dengan samar-samar diantara halimun menebal, sesosok bayangan orang berlari mendatangi dengan cepat sekali. Dan setelah bayangan itu berdiri di depan mereka, ternyata itulah orang yang mereka tunggu-tunggu, Adiguna. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pemuda itu memondong tubuh seorang wanita yang telah lemas dengan rambut terurai, Bandini dan Sariwati menubruk maju dan menjerit,
"Mbakyu Kencanawati"!!"
Jerit tangis yang memilukan terdengar ketika Adiguna menceritakan bahwa Kencanawati menggantung diri sampai mati di dalam kamar tahanannya di gedung Penewu. Sariwati bahkan sampai pingsan beberapa kali hingga ributlah semua orang dusun Pakem. Orang-orang telah mencari Rondo Kuning dengan tersebar, akan tetapi ternyata bahwa Ibu yang karena sedihnya menjadi seperti gila itu tak dapat ditemukan.
"Bagaimana kalau Penewu Galiga Jaya dan perajurit-perajuritnya datang mengejar dan menyerbu disini?"
Pak Wiryosentiko menyatakan kekhawatirannya.
"Jangan khawatir, paman. Kalau keparat itu dan kaki tangannya datang mengejar, biarlah ananda yang menghadapinya!"
Jawab Adiguna dengan gagah.
"Adiguna"
Kata pamannya yang telah tua dan banyak pengalaman itu sambil menghela napas.
"Aku percaya akan kesaktianmu. Akan tetapi, engkau hanya seorang diri, sedangkan Penewu mempunyai banyak perajurit. Bagaimana engkau yang hanya seorang diri ini dapat menghadapinya? Mungkin engkau sendiri dapat membela diri dan selamat, akan tetapi apakah engkau dapat menjaga keselamatan kami sekampung dan kedua orang gadis ini?"
Setelah berpikir-pikir, Adiguna menganggap bahwa ucapan pamannya ini betul juga. Maka semua orang lalu mencari daya upaya untuk menghindarkan kedua orang gadis remaja itu dari bencana yang mengancam. Akhirnya Pak Wiryosentiko juga yang mendapatkan jalan terbaik.
"Baiknya begini saja, Guna. Jangan kepalang tanggung menolong keluarga Rondo Kuning. Kau bawalah kedua orang gadis ini ke tempat aman jauh letaknya dari sini. Kami akan mengubur jenazah Kencanawati yang akan kami kebumikan bersama-sama jenazah pemuda Sutadi yang juga telah diketemukan. Kalau Galiga Jaya menyerbu kesini, tentu dia takkan mengganggu kami asalkan engkau dan kedua orang gadis ini tidak berada di kampung Pakem."
Semua orang menyatakan setuju, maka biarpun kedua orang gadis yang malang itu masih lelah sekali dan mereka tidak mau meninggalkan jenazah kakak mereka, namun mereka dipaksa oleh semua orang, bahkan Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
"Aku percaya bahwa kalian berdua mempunyai kebijaksanaan cukup untuk mengerti bahwa apabila Penewu jahanam itu melihat kalian berada disini, maka seluruh kampung akan tertimpa bencana. Apakah kalian tega melihat kehancuran penduduk sekampung ini?"
Sariwati memandang pemuda itu dengan mata basah, kemudian dengan hati berat sekali ia membungkuk dan mencium sekali lagi kening jenazah kakaknya, lalu ia membetot tangan Bandini.
"Aku"
Aku telah siap,"
Katanya dengan suara gemetar. Pada pagi hari itu juga, Adiguna kembali mengiringkan kedua orang gadis itu meninggalkan Pakem.
Sariwati dan Bandini sebenarnya telah lelah sekali hingga mereka merasa betapa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga, sedangkan telapak kaki mereka yang berkulit tipis itu telah pecah-pecah. Kemarin mereka telah melakukan perjalanan jauh setelah menderita takut, kaget dan lelah ketika terculik, kemudian malam tadi sama sekali mereka tak dapat tidur. Kini pagi-pagi mereka telah diharuskan berjalan lagi, bukan berjalan di atas tanah yang halus dan baik, akan tetapi masuk keluar hutan yang penuh duri dan kerikil tajam, maka tentu saja mereka berjalan dengan sukar sekali! Hati Adiguna merasa kasihan sekali melihat kedua orang remaja puteri ini, terutama melihat Sariwati, biarpun gadis ini sedikitpun tak pernah mengeluh dan hanya berjalan sambil tertunduk. Sebaliknya Bandini mengeluh panjang pendek.
"Aduh, awak celaka! Aduh, tubuh sial! Mengapa nasibku sampai menderita semacam ini? Aduh, Dewata yang Agung, cabutlah saja nyawa hamba daripada menderita sengsara seperti ini."
Kadang-kadang Bandini mengeluh dan menyebut-nyebut Ibunya sambil menangis,
"Ibu"
Ibu"
Dimanakah engkau Ibu? Aku hendak ikut Ibu"!"
Kalau Bandini menyebut-nyebut Ibunya, Sariwati lalu mendekap dan memeluknya sambil menangis dan keduanya lalu mogok berjalan, hingga terpaksa Adiguna menghibur dengan kata-kata halus. Ketika mereka berjalan di atas jalan yang penuh kerikil tajam, Bandini menyumpah-nyumpah,
"Bedebah! Kerikil kejam tak mengenal perikemanusiaan! Sudah tahu orang lagi sengsara masih menyiksa dan menusuk-nusuk kaki. Aduh"
Kakiku lecet-lecet dan sakit..."
Bandini terhuyung-huyung dan hampir saja ia jatuh kalau Adiguna tidak lekas-lekas menangkap dan mendukungnya. Ketika merasa betapa enaknya didukung oleh sepasang lengan tangan yang kuat itu, Bandini menarik napas panjang dengan lega sambil memejamkan mata dan berkata,
"Ah... Kalau saja aku mempunyai seorang kakak yang berlengan kuat seperti ini, tentu ia akan mendukungku dan tidak membiarkan aku berjalan kaki hingga kakiku hancur-lebur."
Adiguna tersenyum dan memandang wajah dara nakal yang hitam manis itu.
"Bagaimana kalau kau anggap aku kakakmu sendiri dan kau kudukung? Maukah kau?"
Bandini mengangguk-anggukkan kepala dengan senang.
Rondo Kuning Membalas Dendam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mau"
Mau sekali!"
Tiba-tiba ia mengerling kepada Sariwati.
"Tapi"
Ah, turunkanlah aku. Kak Sari tentu akan marah dan memaki aku sebagai gadis genit seperti biasa! Biarlah kakiku hancur dan lecet-lecet! Biar kedua kakiku patah-patah, lebih baik begitu daripada kau dukung dan dimaki-maki oleh Mbak Sari yang galak!"
Ia mencoba melepaskan diri, akan tetapi sambil tersenyum geli. Adiguna bertanya kepada Sariwati,
"Bolehkah dia kudukung"
Sebagai"
Sebagai kakaknya?"
Sariwati merasa gemas melihat kenakalan dan kemanjaan adiknya, akan tetapi hatinya merasa kasihan juga melihat adiknya berjalan dengan sukar.
Dia sendiri merasa betapa sepasang kakinya sakit-sakit dan lelah sekali, maka ia lalu mengangguk perlahan tanpa mengeluarkan jawaban. Adiguna merasa kasihan sekali kepada Sariwati dan ia lalu berjalan perlahan disamping gadis itu sambil mendukung Bandini. Dan tak lama kemudian, Bandini telah jatuh pulas dalam dukungannya. Di dalam pulasnya, gadis cilik itu tersenyum! Beberapa kali Adiguna memandang wajah manis dalam dukungannya ini dan ia merasa, betapa bahagianya kalau ia mempunyai seorang adik seperti ini! Dia sendiri hidup sebatang kara, tak berayah tak beribu, tak bersaudara pula. Keluarga satu-satunya, Pak Wiryosentiko sekarang terpaksa ditinggalkannya pula. Ia menghela napas dan berkata kepada Sariwati yang berjalan dengan kepala tunduk, seakan-akan gadis ini sedang menghitung langkah kakinya,
"Diajeng Sari... adikmu ini manis dan jenaka sekali. Aku suka sekali mempunyai adik seperti ini!"
Kata-kata yang dikeluarkan tanpa disadari artinya ini membuat Sariwati bermerah muka. Dan gadis ini yang merasa cinta sekali kepada Bandini, selalu tak dapat menahan senyumnya kalau orang bicara tentang Bandini yang nakal, kenes, akan tetapi mempunyai hati baik.
"Dia nakal, Mas. Bangunkanlah dia dan biar dia berjalan lagi."
"Ah, biarlah, diajeng. Tak apa, kasihan kakinya sampai pecah-pecah dan bengkak,"
Kata Adiguna sambil memandang ke arah kaki Bandini. Sariwati memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung pernyataan terima kasih besar dan kagum sekali.
"Kau baik sekali kepada kami, Mas Guna. Mengapakah?"
Adiguna terkejut dan memandang. Sepasang mata bertemu yang membuat pemuda itu menjadi bingung, tak tahu harus menjawab bagaimana. Akhirnya ia dapat juga menentramkan hatinya yang berdebar, lalu berkata,
"Sudah menjadi tugas hidup setiap orang untuk menolong sesamanya yang sedang menderita sengsara, diajeng. Aku adalah orang biasa saja, tidak lebih baik daripada orang lain."
Sariwati merasa terharu sekali dari dalam hatinya ia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang semulia ini hatinya, segagah ini sepak terjangnya dan setampan ini wajahnya!
"Kau tentu lelah, Mas. Marilah kita beristirahat dulu."
Adiguna tidak tahu bahwa sebenarnya Sariwatilah yang merasa lelah, akan tetapi oleh karena gadis itu berbicara dengan sewajarnya, ia tidak mengerti dan menyangka gadis itu benar-benar khawatir kalau ia lelah.
"Aku sama sekali tidak lelah, diajeng. Jangankan baru berjalan sedemikian dekat, aku pernah berjalan kaki tiga hari tiga malam tanpa merasa lelah."
Tanpa disengaja, entah mengapa dan berbeda dengan sikapnya yang biasa, ia telah membanggakan kepandaian dan kekuatannya kepada gadis itu! Di dalam hatinya Sariwati mengeluh. Tiga hari tiga malam berjalan kaki?
"Kau mau artikan bahwa selama tiga hari tiga malam kau sanggup berjalan kaki terus-menerus sambil mendukung orang?"
Adiguna mengangguk sambil tersenyum. Hatinya membesar karena bangga.
"Tanpa merasa lelah?"
Tanya lagi dara itu. Kembali Adiguna mengangguk.
"Celaka,"
Pikir Sariwati, Kalau pemuda ini mengajak ia bejalan terus selama tiga hari tiga malam, ia bisa mati sambil berjalan! Sedangkan sekarang juga kakinya telah menggigil karena lelahnya. Tiba-tiba Sariwati tersandung dan terhuyung ke depan. Adiguna terkejut dan hendak menolong, akan tetapi tak dapat karena ia sedang mendukung tubuh Bandini. Akan tetapi gerakannya ini membuat Bandini tersadar. Sariwati jatuh terduduk dan memijit-mijit kaki kanannya. Bandini segera turun dari dukungan dan menghampiri kakaknya.
"Mengapa, Mbak Sari? Kau jatuh?"
Tanyanya. Sariwati tidak menjawab, bahkan mengerling tajam dan cemberut kepada adiknya.
"Kenapa kakimu, diajeng? Sakitkah?"
Tanya Adiguna sambil membungkuk dan melihat kulit yang putih kuning dan halus itu.
"Entahlah, keseleo agaknya,"
Kata gadis itu sambil memijit-mijit betis kakinya yang menjadi bunting. Terpaksa Adiguna membuang muka dan tak sanggup melihat betis itu lebih lama lagi karena terjadi sesuatu pada hatinya yang membuat dada kirinya berdebar keras! Bandini membantu kakaknya berdiri dan ketika dicoba berjalan, Sariwati terpincang dan sukar dapat melangkahkan kaki.
"Mbak Sari, engkau harus didukung! Kang Mas Guna kau dukunglah Mbak Sari. Kasihan, kakinya keseleo!"
Adiguna bermerah muka dan merasa serba salah. Apakah yang harus dilakukan? Untuk mendukung Sariwati, tentu saja ia mau dan bahkan agaknya di saat itu tidak ada kegirangan yang lebih besar daripada mendukung tubuh itu dan merasai tubuh yang menimbulkan debar mengherankan pada jantungnya itu berada dekat-dekat dengan dirinya. Akan tetapi, ia tak kuasa mengucapkan kata-kata, malu untuk menawarkan jasanya.
"Mengapa, Mas Guna? Apakah engkau tidak mau menolong dan mendukung Mbak Sari?"
Tanya Bandini dengan wajah mengandung penasaran dan marah.
"Tentu aku mau!"
Jawab Adiguna cepat-cepat.
"Habis, tunggu apalagi? Dukunglah, lihat, kakinya juga pecah-pecah. Tidak kasihankah engkau kepadanya?"
"Bandini!"
Sariwati mencela sambil memandang adiknya dengan tajam.
"Diajeng Sari, maukah engkau kudukung?"
Akhirnya dapat juga pemuda itu mengeluarkan kata-katanya.
Makin merah wajah Sariwati mendengar tawaran ini dan tanpa berani memandang, ia berkata lembut,
"Kalau engkau mau..."
Adiguna lalu membungkuk dan kedua lengan tangannya kuat memeluk belakang tubuh Sariwati, lalu diangkatnya tubuh itu dengan ringannya! Ia merasa betapa tubuh itu seakan-akan lebih ringan daripada tubuh Bandini, dan aneh sekali, kedua lengan tangannya gemetar ketika menyentuh tubuh darah ini. Sariwati merasa malu sekali hingga meramkan matanya, tidak berani membukanya, hanya merasa betapa tubuhnya kini merasa enak dan senang sekali. Lenyap seluruh rasa lelah yang tadi dideritanya! Ketika ia mencoba membuka mata, kebetulan sekali mata Adiguna yang berada dekat wajahnya sendiri itu sedang memandangnya. Kembali dua pasang mata beradu dan Sariwati cepat-cepat meramkan matanya lagi. Diam-diam Adiguna melirik ke arah kaki kanan gadis itu dan ia mendapat kenyataan, bahwa kaki itu sebenarnya tidak apa-apa!
Diam-diam ia merasa geli dan mendukungnya lebih erat lagi, seakan-akan ia merasa khawatir kalau-kalau tubuh yang didukungnya itu akan terlepas dan jatuh. Ia merasa seolah-olah mendukung sebuah benda yang tak bernilai harganya dan diam-diam ia bersumpah bahwa ia hendak membela tubuh yang didukungnya ini dengan seluruh badan dan nyawanya! Biarpun Adiguna membantu kedua remaja puteri itu didalam perjalanan, mendukung mereka silih berganti, namun terpaksa ia sering berhenti dan beristirahat, oleh karena kalau dipaksanya tentu mereka akan jatuh sakit karena lelah dan lapar. Mereka hanya makan buah-buah yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan. Apabila malam tiba, mereka bermalam di bawah pohon-pohon besar dan Adiguna selalu menjaga mereka dengan penuh perhatian hingga kedua remaja itu merasa berterima kasih sekali.
Hubungan antara Adiguna dan Sariwati tidak kaku lagi, bahkan apabila mereka bertiga berjalan melanjutkan perjalanan mereka, Bandini memegang tangan kiri Adiguna, sedang tangan kanan pemuda itu berpegang dengan tangan kiri Sariwati! Tanpa mengucapkan dengan mulut, antara Sariwati dan Adiguna terdapat jalinan kasih cinta yang mendalam. Pandang mata mereka jelas menyatakan suara hati dan masing-masing telah dapat menyelami isi hati tanpa mengeluarkan kata-kata. Apakah yang lebih meyakinkan dan jelas dari pertukaran pandang mata untuk menyatakan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita? Bandini yang lincah dan kewat merasa suka sekali kepada Adiguna dan menganggapnya kakak sendiri.
Remaja puteri ini cerdik dan nakal, maka biarpun kedua muda-mudi itu tak pernah menyatakan perasaan cinta kasih mereka, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan, namun Bandini sudah dapat menerka bahwa keduanya saling tertarik dan saling cinta. Hal ini menjadi bahan baginya untuk menggoda kakaknya, dan tiap kali ada kesempatan, tentu dia menggoda Sariwati dan Adiguna yang membuat Sariwati pura-pura marah dan Adiguna tertawa gembira! Pada hari ketiga, ketika mereka bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara mengaum yang keras sekali dan menggetarkan seluruh isi hutan! Bandini dan Sariwati terkejut sekali dan mereka memegang tangan Adiguna di kanan kiri sambil merapatkan tubuh kepada pemuda itu.
"Harimau,"
Bisik Sariwati dengan tubuh terasa dingin, sedangkan Bandini telah menggigil ketakutan!
"Tenanglah,"
Bisik Adiguna sambil melepaskan kedua tangannya yang terpegang erat-erat itu untuk bersiap sedia menghadapi serangan. Tiba-tiba rumpun alang-alang di sebelah kiri bergoyang-goyang dan Adiguna cepat memutar tubuhnya menghadapi alang-alang itu.
Sariwati dan Bandini cepat berlari di belakang tubuh Adiguna sambil mengintai dan balik punggung pemuda itu. Terdengar lagi auman keras, dan kini nampaklah kepala seekor harimau muncul dari alang-alang. Sepasang matanya yang bercahaya terang itu liar memandang, kemudian menatap wajah Adiguna yang berdiri tak bergerak. Akan tetapi, hanya sebentar saja mata harimau itu kuat beradu pandang dengan Adiguna dan terpaksa harimau itu mengalihkan pandang matanya ke bawah. Mata pemuda dihadapannya itu terlampau kuat dan tajam hingga membuat matanya terasa perih dan pedas. Ia lalu maju perlahan dan kini nampaklah tubuhnya yang tinggi dan besar seperti seekor anak sapi, kulit kuning dan loreng-loreng sedangkan perutnya yang kecil ramping itu mengempis, tanda bahwa ia sedang lapar sekali dan telah beberapa hari tak mendapat mangsa.
"Kang Mas Guna"
Hati-hati, mas"!"
Terdengar Sariwati berbisik gemetar oleh karena dara ini teringat betapa dulu pemuda pujaan hatinya ini pernah digondol macan. Dengan perasaan berterima kasih karena mendengar betapa suara gadis yang penuh kecemasan dan kekhawatiran terhadap dirinya itu terdengar mesra sekali, Adiguna tersenyum dan menyentuh tangan Sariwati yang terulur kepadanya.
"Jangan kau khawatir, diajeng!"
Sambil berkata demikian, tangan kiri Adiguna tak disengaja meraba pundaknya dimana terdapat luka kecil bekas gigitan harimau yang menggodolnya ketika ia masih kecil dulu.
"Tinggal saja disini, jangan mendekat!"
Katanya lagi kepada Sariwati dan Bandini, kemudian dengan amat beraninya Adiguna melangkah ke arah kanan agar ia dapat melayani terjangan binatang itu di tempat yang agak lega dan jauh dari kedua dara itu.
Melihat betapa calon korbannya melangkah ke kanan, harimau itu bergerak mengikuti dengan tindakan perlahan dan dari hidungnya keluar suara menghembus-hembus. Kedua matanya memandang kepada Adiguna, akan tetapi tidak secara langsung, bagaikan mengerling dari bawah dan selalu menghindari pandang mata pemuda itu. Ekornya menjungat ke atas, tak bergerak, tanda dari ketegangan hatinya. Tiba-tiba harimau itu merendahkan diri, masih maju perlahan, akan tetapi perutnya hampir menempel tanah, kedua matanya memandang tajam. Kemudian, tiba-tiba sekali sambil mengeluarkan gerengan keras dan menyeramkan, ia melompat tinggi dan menerkam ke arah leher Adiguna. Bandini memekik lalu menubruk Sariwati untuk menyembunyikan mukanya di dada kakaknya itu. Sariwati mendekapnya, akan tetapi gadis ini dengan mata terbelalak memandang ke arah Adiguna sambil menjerit ngeri,
"Awas, Mas...!"
Adiguna bersikap tenang-tenang saja. Sambil melangkah ke kiri dengan cepat, ia dapat menghindarkan diri dari terkaman pertama itu dan tak lupa ia melirik ke arah Sariwati sambil tersenyum membesarkan hati dan berkata lembut,
"Jangat takut, Sari!"
Gambar 0203
Ketika terkamannya dielakkan oleh lawannya, harimau itu cepat membalikkan tubuh dan kini ia menjadi marah sekali. Ia mendekam, mengerahkan seluruh tenaga pada kaki belakangnya, kemudian mengejot tubuhnya tinggi-tinggi, menerkam lagi dengan lebih hebat dan cepat daripada tadi! Adiguna menyuruk maju ke depan di bawah tubuh harimau itu, lalu cepat membalikkan tubuh hingga ketika harimau itu melompat turun, ia berada dibelakang harimau dan sekali ia mengangkat kaki menendang, tubuh itu terpental jauh dan bergulingan!
Bukan main besar hati Sariwati melihat ini. Matanya terbelalak kagum dan bangga, sungguhpun hatinya masih dak-dik-duk, karena khawatir sekali melihat betapa ketika menerkam, kuku-kuku harimau itu terulur panjang sedangkan mulut harimau itu meringis memperlihatkan gigi yang tajam-tajam mengerikan! Harimau itu geram sekali. Ia menggereng keras dan setelah ia dapat berdiri kembali, ia segera menubruk lagi, kini lompatannya rendah dan langsung ke depan hingga tidak memungkinkan Adiguna untuk menyusup ke depan seperti tadi. Pemuda itu tidak kurang akal. Ia mempergunakan ilmu kepandaiannya melompat tinggi ke kanan dan dan sambil melompat dan miringkan tubuh hingga lagi-lagi terkaman harimau itu tidak mengenai tubuhnya,
Ia mengulur tangan dan berhasil menangkap ekornya hingga tubuh harimau itu rebah miring dan cepat-cepat ia memukul dengan tangan kanan ke arah leher binatang itu. Akan tetapi, harimau itu bukanlah lawan yang ringan. Sambil menggerakkan tubuh dan menundukkan kepala, ia mencoba untuk mengelakkan pukulan Adiguna hingga pukulan itu meleset dan hanya menyerempet pundak binatang itu saja. Namun pukulan ini biarpun hanya menyerempet kulit, cukup membuat binantang itu menggerung kesakitan dan sekali meronta ekornya dapat terlepas dari pegangan Adiguna. Kini harimau itu lebih berhati-hati karena agaknya ia maklum bahwa pemuda yang menghadapinya dengan tenang ini bukanlah seorang yang mudah saja dicalonkan menjadi pengisi perutnya!
Ia mulai berjalan memutar dan berusaha menghampiri Adiguna dari belakang! Bandini yang kini berani mengangkat muka dan memandang, merasa ngeri sekali. Tidak seperti ketika menyaksikan Adiguna berlagak melawan para perajurit Penewu dulu, kini ia betul-betul merasa ngeri melihat harimau itu, hingga bukan saja ia tidak bergembira melihat pertempuran ini, bahkan ia memandang takut-takut dan memeluk mbakyunya erat-erat. Sebaliknya, makin lama kekhawatiran Sariwati melenyap dan pandang matanya makin kagum dan makin mesra terhadap Adiguna. Alangkah gagahnya pemuda itu, pikirnya. Segagah Arjuna, tiada keduanya di dunia ini! Sementara itu, Adiguna mengikuti harimau yang berputar-putar berusaha mengelilingi dirinya. Ia juga ikut berputar hingga harimau itu sudah mengelilingi dirinya dua putaran.
"Heh, bedebah pengecut!"
Adiguna berkata mengejek sambil mengernyitkan hidung kepada harimau itu.
"Kau tidak berani menyerang dari depan? Baiklah, seranglah dari belakang!"
Ia lalu berdiri diam dan tidak mau mengikuti harimau itu berputar lagi.
Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo