Ceritasilat Novel Online

Saputangan Berdarah 4


Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Bajingan benar kau!"

   Wiwin sudah melompat dari kursinya, demikian cepatnya sehingga penjaga dibelakangnya tak sempat mencegahnya. Dengan gerakan nekat ia lalu menerjang sikedok mayat itu, kuku-kuku sepuluh jarinya siap mencakar seperti laku seekor kucing betina mengamuk.

   "Get back, you crazy girl (Kembali, kau gadis gila)!!"

   Sikedok mayat membentak, kewalahan menghadapi amukan seorang wanita nekat. Kakinya menendang dan Wiwin terguling, Akan tetapi dengan rambut terlepas dari gulungannya Wiwin menerjang maju lagi.

   "Win..., jangan...!"

   Bharoto mencegah karena ia maklum bahwa kenekatan ini takkan ada gunanya. la maklum pula bahwa Wiwin agaknya tidak melihat jalan keluar, maka menjadi nekat. Padahal pertolongan pasti datang tak lama lagi. Kenekatan Wiwin itu mengacaukan rencananya untuk mengulur waktud. Namun Wiwin tidak perduli lagi. Sekali lagi la terguling, akan tetapi ia bangkit kembali.

   "Darr...!!"

   Sebuah peluru menembus dada yang membusung itu dan Wiwin roboh, merintih panjang. Asap keluar dari ujung pistol Abas Dinamit.

   "Sorry sir (maaf tuan), terpaksa saya menembak. Dia menyusahkan tuan."

   Sikedok mayat mengangguk.

   "Lebih baik begitu. Sekarang bagian Detektif konyol ini."

   Tiba-tiba Linda maju dan berkata,

   "Wait a moment (tunggu sebentar) aku juga tidak terima dimaki-maki. olehnya!"

   Dengan langkah gontai dara gaun merah itu menghampiri Bharoto.

   "Kau laki-laki tak bermalu, laki-laki bermulut kotor, I'll kill you (kubunuh engkau)!"

   Tangan yang berjari itu menampar,

   "Plak-plak-plakl"

   Tiga kali telapak tangan yang halus itu menampari pipi Bharoto yang berkedippun tidak menghadapi penghinaan ini. Dengan napas terengah Linda menyambar dari dalam tasnya dan... sebuah pistol kecil otomatis telah berada ditanganya. Itulah pistol Si Kenas milik Bharoto yang terjatuh ketika ia tertipu pada malam pertama, yaitu ketika ia hendak menolong Linda kemudian tertawan. Sinar aneh memancar dari sepasang mata Bharoto dari balik kacamatanya dan secepat kilat tangannya meraih, tahu-tahu pistol itu telah dapat dirampasnya dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mendorong Linda hingga gadis itu tersungkur. Dalam detik yang bersamaan Bharoto sudah menjatuhkan dirinya kesamping, kemudian bergulingan dan dari tangannya menyambar api berkali-kali.

   "Dara-dar- dar-dar!!!"

   

   Para penjahat yang menjadi kaget sekali juga menembakkan pistol mereka, namun sukarlah membidik tubuh yang bergulingan dan yang cepat sekali dapat berlindung dibalik meja tulis besar dipojok. Sebaliknya, empat kali letusan pistol Si Kenes dengan tepat telah robohkan empat orang penjahat. Hebat sekali gerakan Bharoto tadi. Sambil bergulingan ia mampu melepaskan tembakan empat kali yang semuanya tidak meleset dari sasaran. Lebih mengagumkan lagi, empat orang penjahat yang roboh itu semua kena tcmbak dibagian yang tidak berbahaya, yaitu dipundak, lengan kanan, atau pergelangan tangan yang memegang pistol. Memang tidak percuma Detektif Bharoto pernah merebut kejuaraan menembak gaya bebas beberapa tahun yang lalu.

   Dalam permainan pistol, ia tak usah tunduk kepada jagoan-jagoan tembak di film Western buatan Italy! Sambil mengeluarkan makian dan memberondongkan pistolnya kearah meja tulis, si kedok rahasia itu melompat kearah pintu belakang dan menghilang, diikuti oleh Linda. Juga dua orang penjahat yang masih belum roboh, yaitu Abas Dinamit dan si jangkung, sudah mencari tempat berlindung dibelakang peti-peti kertas. Tembak-menembak terjadi ramai didalam ruangan itu. Namun dua orang penjahat itu menjadi bingung karena tembakan mereka kearah meja tulis tidak ada jawaban lagi. Sudah robohkah Detektif itu? Masih bersembunyi dibelakang meja tulis ataukah sudah pergi? Tiba-tiba terdengar bunyi peluit panjang disusul derap sepatu. Lalu suara keras terdengar dari luar pintu,

   "Jangan melawan! Kalian sudah dikepung!"

   Dan tampaklah topi-topi polisi dan Detektif dari balik jendela dan pintu! Abas Dinamit dan si jangkung mengutuk, melempar pistol dan mengangkat kedua tangan keatas. Sia-sia melawan, lebih baik menyerah karena bagi mereka, lebih baik hidup dalam penjara dari pada mati konyol. Bharoto melompat keluar dari tempat sembunyinya, tidak dibelakang meja tulis lagi, tapi dibelakang sebuah gulungan kertas. Ia lari menghampiri Wiwin yang masih menggeletak, terlentang bermandi darahnya sendiri.

   "Win...!"

   Bharoto mengangkat dan merangkul lehernya, memandang wajah aju yang pucat itu, hatinya terharu. Mata itu terbuka perlahan, Ialu bibirnya tersenyum. Manis sekali, tapi mengharukan, senyum lemah seorang yang sudah rela melepaskan segala-galanya.

   "...Mas Bhar..., sukur kau selamat..."

   "Win, kaulah yang menolongku."

   Senyum itu melebar.

   "...Aku girang, Mas dapat melakukan sesuatu yang baik..."

   "Kau hebat, Win. Kau akan sembuh, pertolongan sudah datang."

   "...Tidak, Mas... aku lebih senang pergi... dunia begini kotor. Mas, sekarang aku minta upah... Mas, maukah...?"

   Sedu-sedan naik kekerongkongan Bharoto. Detektif yang biasanya berdarah dingin, yang tidak berkedip menghadapi ancaman maut, kini hampir saja menitikkan airmata mendengar permintaan Wiwin. Memang, cinta itu gila, seringkali menimbulkan kelakuan yang tidak wajar. la mendekap kepala itu dan menundukkan muka, mencium mulut yang hampir kehilangan napasnya itu, mencium semesra- mesranya disertai perasaan sepenuhnya.

   "Astagfirullah...!!"

   Seruan terkejut dan heran ini keluar dari mulut Alit yang sudah berdiri tegak diambang pintu.

   "Orang gelisah setengah mampus, yang digelisahkan malah sedang asik berpacaran. Opo tumon??"

   Akan tetapi Alit seketika menghentikan kelakarnya dan segera lari menghampiri ketika Bharoto menghentikan ciumannya, ia lihat wajah Wiwin sudah pucat tak bernapas lagi. Wiwin, wanita tak pernah bahagia yang sudah terjerumus kedalam lembah kehinaan itu, menjelang akhir hidupnya merasai kebahagiaan berkorban dan cinta kasih. Ia menghembuskan napas terakhir dalam pelukan dan ciuman Bharoto yang selama hidupnya Baru kali itu mencium seorang wanita seperti itu pula.

   "Siapa yang menembaknya, Bhar?"

   Bharoto menoleh kearah Abas Dinamit yang masih berdiri mengangkat kedua tangannya.

   "Bandit itulah yang menembaknya."

   Alit mengeluarkan gerengan seperti singa dan diterjangnya penjahat gendut pendek itu, tidak perduli akan cegahan beberapa orang anggauta polisi yang sudah memenuhi ruangan. Agaknya Abas Dinamit dan penjahat jangkung itu akan remuk-remuk tubuhnya dan pecah-pecah kepalanya oleh pukulan-pukulan Alit kalau saja tidak segera datang Inspektur Bhono yang mencegah,

   "Cukup, Alit. Tak boleh main hakim sendiri!"

   Alit menghentikan pukulannya dan berdiri menundukkan kepala memandang kearah mayat Wiwin yang menggeletak dilantai.

   "Maaf, Pak Inspektur."

   Akan tetapi Inspektur Bhono tidak memperhatikannya karena dia sedang mencari-cari dengan pandang matanya.

   "Lho, mana Bharoto?"

   Alit kaget, mencari. Tapi benar saja, Bharoto sudah tidak tampak lagi ditempat itu. Dipanggil-panggil dan dicari keluar rumah juga tidak ada.

   "Dia tentu melakukan pengejaran,"

   Akhirnya Alit berkata, menyesal mengapa kawannya itu tidak mengajaknya tadi.

   "Linda tidak berada disini, tentu dia mencarinya."

   Baik Alit maupun Inspektur Bhono belum tahu akan adanya manusia berkedok rahasia yang bernama Mr. Fox, yang menjadi Big Boss daripada gerombolan itu. Karena pekerjaan amat banyak, yaitu menangkapi penjahat dan memeriksa tempat percetakan uang palsu yang merupakan tangkapan "kakap"

   Bagi kepolisian Jakarta, maka Inspektur Bhono dan anak buahnya cukup sibuk. Tinggal Alit yang termenung, akhirnya keluar dari tempat itu pula, bingung tak tahu kemana harus pergi mencari atau menyusul Bharoto. Kemanakah perginya Detektif itu? Pada saat Bharoto ditampar pipinya oleh Linda, Detektif yang berpemandangan tajam ini melihat sesuatu yang aneh pada wajah dara gaun merah itu.

   Mata yang membasah itu bercerita banyak baginya dan begitu Linda mengeluarkan pistol, tahulah ia akan maksud hati dara ini. Hebat, pikirnya. Dara gaun merah ini benar-benar cerdik sekali, pandai bermain sandiwara. Tamparan pada pipinya dan pengeluaran pistol untuk "membunuhnya"

   Hanyalah permainan yang amat halus yang sebetulnya mempunyai hakekat untuk menolong dirinya. Oleh karena itu iapun melayani sandiwara dara itu, membiarkan pipinya ditampar, kemudian dengan cekatan ia membikin gerak penyerangan, yaitu merampas pistol dan mendorong gadis itu roboh agar tidak menjadi sasaran peluru. Tentu saja takkan mungkin baginya merampas pistol kalau gadis itu tidak sengaja memberinya kesempatan! Inilah sebabnya mengapa dalam duel tembak-tembakan tadi ia masih sempat membagi perhatian untuk melihat Linda.

   Ia melihat gadis itu juga melarikan diri, akan tetapi sehelai saputangan sutera melayang jatuh. Tadi sebelum berlutut memeluk Wiwin, cepat tanpa terlihat orang lain ia sudah menyambar saputangan sutera itu dan setelah melihat bahwa Wiwin sudah meninggal dunia, ia memeriksa saputangan itu selagi Alit mengamuk dan menjotosi kedua orang penjahat.

   "Puncak"

   Demikianlah tulisan merah, mungkin menggunakan lipstik, yang terdapat disapu tangan itu. Ia harus dapat menangkap Mr. Fox yang menjadi "Brain" (otak), pengatur siasat dan Big Boss daripada gerombolan pemalsu uang. Agaknya Linda sengaja ikut lari untuk memudahkan ia mengikuti jejak penjahat ulung itu. Maka, selagi Alit sibuk membagi kepalan karena marahnya kepada dua orang penjahat dan para polisi sibuk memeriksa rumah dan gudang, diam-diam Bharoto menyelinap pergi dari tempat itu.

   Puncak merupakan tempat yang terkenal di Jawa Barat. Sebuah pegunungan diantara Cianjur dan Bogor, tempat yang indah dengan jalan raja berliku-liku naik-turun seperti ular raksasa, diapit bangunan-bangunan kecil indah menarik, bungalow-bungalow dan pesanggrahan-pesanggrahan yang di cat warna-warni tempat peristirahatan bagi kaum mampu. Bagi para "The Haves" (si kaya) di Jakarta, tempat ini merupakan tempat peristirahatan terkenal schingga tiap malam minggu puluhan, bahkan ratusan mobil mewah merayap naik dari Jakarta ke Puncak, puluhan pasang orang-orang kaya berweekend (minggon) di tempat yang tinggi dengan hawanya yang sejuk nyaman ini. Istilah bahasa Belanda "Naar Boven" (ke atas) di Jakarta berarti pergi ke Puncak.

   Banyak sekali terdapat bungalow-bungalow mungil di tempat ini, tersebar di lereng-lereng bukit, di pinggir jurang, kecil-kecil mungil mengelilingi pesanggrahan negara yang terkenal, yaitu Riung Gunung. Tidaklah mudah bagi Bharoto untuk mencari Linda ditempat ini. Banyak sekali terdapat villa dan bungalow disitu, dimanakah ia harus mencari dara itu? Ia tidak dapat begitu saja mendatangi setiap bungalow, karena maklum bahwa sangat jadi Linda berada dengan Mr. Fox, sipenjahat ulung yang agaknya bertingkat international itu. Sambil mengoper versnelling Vespa Scooternya, masuk versnelling dua, Bharoto menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk nyaman. Jalan aspal agak basah oleh embun terapit tanaman pohon teh dikanan-kiri. Dingin rasa otak, sejuk hati, menimbulkan kegembiraan. Tak terasa lagi Bharoto bersiul lagu

   "Naik-naik ke puncak gunung."

   Dari situ ia dapat melihat bungalow-bungalow, amat indah tampak dari atas, seperti kotak-kotak kecil beraneka-warna. Teringat ia akan Linda dan nyanyiannya berhenti. Dimanakah diantara sekian banyaknya bungalow ini terdapat Linda? Dan apa artinya Linda meninggalkan pesan "Puncak"

   Itu kepadanya? Sebuah perangkap pula? Tak mungkin.

   Ia yakin sekarang bahwa Linda tak bermaksud buruk kepadanya. Perangkap yang sudah-sudah, yang diadakan gadis itu baginya, tentu dilakukan secara terpaksa. Pada hakekatnya, dilubuk hati gadis itu tidak menghendaki ia mati konyol. Mungkinkah? Bharoto tersenyum. Mungkinkah gadis itu "ada hati"

   Kepadanya? Teringat akan Mr. Fox, senyumnya menghilang. Bulu-tengkuknya meremang, mungkin karena tiupan angin gunung yang dingin. Ataukah ia merasa serem? Mr. Fox seorang yang misterius (diliputi rahasia) seorang aneh. Ingin sekali ia melihat wajah aseli dibalik kedok mengerikan, kedok mayat itu. Dan Linda agaknya berada dalam cengkeramannya. Ia harus membebaskan gadis itu dan membongkar rahasia yang sama ini menimbulkan banyak peristiwa pembunuhan dan kejahatan keji.

   Kalau uang palsu sekian banyaknya itu sudah beredar, celakalah ekonomi negaranya. Akan timbul inflasi hebat karena banyaknya peredaran uang diluar. Nilai rupiah akan jatuh, harga barang meningkat dan kemelaratan mengancam kemakmuran rakyat. Kejahatan keji. Ia harus dapat membekuk Mr. Fox! Bharoto menitipkan Vespanya dikantor polisi. Ia tidak mau membuka rahasia kunjungannya. Tak ingin ia para polisi melakukan penyelidikan dengan sembrono, mengagetkan burung yang diIntainya. Manghadapi seorang penjahat ulung seperti Mr. Fox harus menggunakan taktik halus. Kalau sembrono dan dia bercuriga, tentu akan terbang burung itu dari sarangnya. Pertama-tama ia lakukan adalah menilpun ke Jakarta. Dengan tenang ia memberi tahu Inspektur Bhono tentang rencananya.

   "Harap ajak Alit ke puncak, jangan secara menyolok. Dua tiga orang saja cukup dan berpakaian preman. Mudah-mudahan berhasil usaha kita terakhir menghadapi komplotan itu kali ini"

   Dia tidak bercerita banyak dan Inspektur Bhono dibiarkannya menghadapi teka-teki. Kemudian ia mulai dengan penyelidikannya. Hari telah menjelang senja ketika ia akhirnya mendapatkan sebuah bungalow yang mungil dan berdiri jauh tetangga.

   Letaknya dijalan simpangan menuju ke Cibodas. Sebuah bangunan cat hijau pupus dengan warna merah dikelilingi kaca yang tertutup kain jendela merah jambu. Manis sekali. Dengan hati-hati ia berjalan kaki mendaki jalan menanjak itu dan apa yang dilihatnya membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Ditempat sunyi ini, amat sunyi dan tak seorangpun kelihatan disekitarnya, ia melihat Linda! Gadis itu memakai gaun merah jambu, agaknya warna merah adalah kesukaan Linda, duduk didepan bungalow, pakaian dan rambutnya yang diberi pita kuning rapi, tampak segar habis mandi agaknya. Linda duduk diatas sebuah kursi rotan, membaca buku. Dilihat dari jalan itu seperti puteri seorang pembesar sedang beristirahat, atau sedang menghafal pelajaran menghadapi ujian. Seorang mahasiswi.!

   Didepan gadis itu tampak seorang kakek berbaring diatas kursi malas dari rotan pula. Kakek yang tua, sedikitnya enam puluh tahun usianya, memakai baju piyama dan sarung, sepasang kacamata bergagang emas melindungi matanya, enak-enak membaca koran. Tongkatnya bersandar pada kursi-malas. Suasana kelihatan begitu tenang dan aman tenteram, penuh damai. Bharoto tertegun. Benarkah dia Linda? Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa gadis ini pernah bertualang, berkecimpung didalam dunia kejahatan. Pantasnya seorang mahasiswi yang beristirahat didekat kakeknya. Karena kesangsian ini, Bharoto tidak berani menegur, hanya berjalan terus sampai depan bungalow. Linda mengangkat mukanya mendengar suara sepatu yang sengaja dibuat oleh Bharoto,

   "Bhar...!"

   Linda berdiri.

   "Linda, kau disini?"

   Bharoto girang sekali dan langsung ia memasuki pekarangan. Kakek itu menunda korannya, dengan punggung terganggu rheumatik berusaha bangun dengan susah payah.

   "Kek, dia ini Mas Bharoto, seorang kenalan saya, dari Solo. Bhar, ini kakekku, ayah ibuku, K.M. Wirjokartiko."

   Bharoto tersenyum ramah, lalu memberi hormat.

   "Maafkan saya, pak, kalau saya mengganggu bapak yang sedang beristirahat."

   "Ah, tidak... tidak apa, nak. Kau dari Solo? Kapan datang? Wah, tidak nyana bertemu orang Solo disini. Saya tinggal di Yogya. nak, tapi keluarga kami juga di Solo"

   Kakek itu ramah sekali, akan tetapi gerak-geriknya mendatangkan rasa kasihan dalam hati Bharoto karena jelas dia seorang penderita rheumatik dan bicaranya di seling batuk-batuk. Lehernya dililit kain tebal dan ketika bertemu pandang, Bharoto melihat sepasang mata yang lamur dan agak juling. Keheranan demi keheranan bertumpuk dihatinya. Bagainana pula ini? Linda cucu seorang Raden Mas? Apakah yang tersembunyi dibalik ini semua? Ia berusaha memancing dengan pandang mata yang menatap tajam penuh selidik kearah wajah gadis itu. Akan tetapi pandang mata Linda tampak kosong, malah membayangkan kegelisahan yang ditekan-tekan.

   "Nak... eh, siapa namamu tadi?"

   "Bharoto, pak."

   "Oya, nak Bharoto. silahkan duduk didalam. Linda, ajak tamu kita kedalam saja. Diluar makin dingin, tak kuat aku... huuu, dinginnya!"

   Ia berjalan terbongkok-bongkok menggunakan tongkatnya dan menekan kain tebal pembungkus lehernya, menuju pintu.

   "Silahkan mengaso, pak. Biarlah saya disini saja..."

   "Marilah Bhar. Enak bicara didalam."

   Linda juga berdiri dan terpaksa Bharoto juga ikut masuk. Memang enak ruangan didalam itu, hangat karena angin tidak dapat masuk dan kursi yang didudukinya empuk dan enak.

   "Aku heran melihat kau disini bersama kakekmu, Lin... bilakah kau dengan kakekmu datang kesini? Apakah dari Yogya?"

   Bharoto memancing, sinar matanya mendesak gadis itu.

   "Ooo, baru saja pagi tadi, nak Bharoto. Dan kau mencari siapakah? Apa hanya plesir saja?"

   Bharoto sudah siap dan waspada. Sekarang ia hendak menggunakan pancingan terakhir.

   "Anu, pak, saja mencari seorang sahabat baik, seorang asing bernama Mr. Fox."

   Sambil berkata demikian, Bharoto memandang kepada kakek itu penuh selidik. Mata itu juling dan lamur, hitamnya mulai memutih, tapi bukan biru. Dan muka itu, benar-benar keriput, rambutnya penuh uban. Dan tongkat itu

   "Tongkat bapak bagus sekali, dari Yogya kah belinya, pak?"

   "...Uh-uh, tongkat buruk. Sudah belasan tahun menjadi teman baikku. Tanpa dia kurang tenang berjalan kaki... heh-uh-uh, wah tidak enak hawanya batukku kumat. Maaf ya nak Bharoto. Linda, kau temani tamu kita, aku hendak mengaso dan menggosok dada dengan balsem."

   Linda bangkit, wajahnya berubah.

   "Ku-gosokkan, kek?"

   Kakek tua itu meng-galeng2 kepala,

   "Wah, tak usah. kau perlu menemani nak Bharoto, uh-uh..."

   Kakek itu terseok-seok berjalan memasuki kamar yang tak jauh dari ruangan itu letaknya. Terdengar ia berbatuk-batuk didalam kamar, sunyi setelah pintu kamar ditutup dari dalam.

   "Lin... bagaimana ini...?"

   "Ssshhh..."

   Linda kini nampak pucat sekali, matanya yang lebar itu memandang liar kekanan-kekiri separti seekor kelinci mencium datangnya harimau ganas.

   "Kenapa kau datang seorang diri...? Bodoh, celaka kau pergilah, pergi dari sini. Cepatl"

   Linda bangkit bediri dan aneh, tubuhnya menggigil. Bharoto juga bangkit, matanya awas memandang kekanan-kiri dan kebelakang melalui cermin disebelah dalam gagang kacamatanya, tangannya siap mencabut pistol otomatis, jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu.

   "Linda kau kenapa...? Takut apa...?"

   "...Sshhhh... bodoh..., dia itu..."

   "Kakekmu...?"

   Linda mengangguk, lalu menggeleng, kelihatan bingung sekali.

   "Mana teman-temanmu? Mana? Lekas..."

   Pada saat itu pintu kamar terbuka dan kakek tua itu sudah berdiri diambang pintu kamar dengan tangan kanan menodongkan pistol besar!

   "Ha-ha-ha, Bharoto, angkat tanganmu!"

   Itulah suara Mr. Fox! Jadi Mr. Fox yang menyamar sebagai kakek itu. Cepat seperti sambaran kilat Bharoto mencabut pistol, melompat kesamping menjauhi Linda dan "dar-dar!"

   Mulut pistolnya memuntahkan api dan dua peluru dengan tepat sekali menyambar tangan dan lengan kakek itu. Akan tetapi apa yang terjadi? Bharoto membelalak dan bulu tengkuknya berdiri satu demi satu. Jelas hahwa tembakannya mengenai tangan dan lengan mengapa kakek itu masih tersenyum-senyum dan terdengar ia terkekeh tertawa?

   "Ha-ha, tembaklah, detektif tolol, tembaklah. Raden Mas Wiryokartiko kebal, sakti mandraguna, tidak tedas tapak paluning pande! Ha-ha!"

   Melihat betapa kakek itu mengangkat pistol, Bharoto mendahuluinya, dengan bidikan cermat ia menembak lagi, kearah lengan, pundak, paha dan bagian-bagian lain yang tidak mematikan. Makin lama makin terbelalak matanya, kakek itu benar-benar sakti, tidak roboh, tidak terluka. Dengan penuh geram serta penasaran, Bharoto mulai menembaki bagian yang lemah, ulu hati, leher, kepala dan pelurunya terakhir tepat mengenai kacamata, Kacamata bergagang emas itu pecah terlempar, mata yang terlanggar pelor tetap melek, mata yang mati! Bharoto terkejut, mendengar suara disebelah kanan, cepat membalikkan tubuh dan...

   "Tar...!"

   Sebuah tembakan dari pistol yang dipasangi alat pembungkam suara mengenai lengan kirinya. Ia masih berusaha menembak kearah suara letusan pistol, akan tetapi pistolnya hanya berbunyi "klik-klik"

   Tanda pelurunya, sudah habis. Saking heran dan penasarannya, ia tadi sudah menghabiskan pelurunya untuk menembaki kakek sakti itu.

   "Ha-ha-ha. good evening (selamat sore), Mr. Bharoto!"

   Dan munculah Mr. Fox dengan kedok mayatnya dari pintu samping, tangan kanannya menodongkan sebuah pistol. Bharoto mengerling kearah kakek tadi yang masih berdiri kaku didepan kamar. Mr. Fox kembali tertawa, menghampiri "kakek"

   Itu dan membuka baju piyamanya.

   Kiranya didalamnya hanya rangka belaka! Sebuah boneka besar yang diberi pakaian, diberi alat penggerak sehingga dapat menggerakkan tangan dan kaki, dan didalam kepalanya tersimpan loudspeaker (pengeras suara) kecil melalui alat mana Mr. Fox bicara dari lain tempat. Kini mengertilah Bharoto. Tadi yang menemuinya dalam bentuk kakek R. M. Wirjokartiko, yang duduk dikursi malas diluar bungalow, adalah Mr. Fox sendiri yang menyamar dengan baiknya. Kacamata itu jelas adalah kacamata istimewa yang dapat menghilangkan warna kebiruan matanya dan membuat matanya agak juling. Kemudian setelah Mr. Fox masuk kamar, penjahat yang ulung dan berotak musang saking cerdiknya itu telah mengeluarkan bonekanya berbentuk R. M. Wiryokartiko untuk menipunya. Adapun Mr. Fox sendiri dengan enaknya keluar dan menembaknya setelah pelurunya habis.

   "Ha-ha-ha, very clever, isn't it (amat pandai, bukan?)"

   Mr. Fox tertawa sambil menendang bonekanya terguling, Sementara itu, Linda tadi menjerit lirih ketika Mr. Fox menembak, akan tetapi melihat Bharoto tidak roboh, hanya darah mengalir dari lengan kirinya, segera menghampiri.

   "Ah, Bhar, kau sembrono sekali..."

   Gadis itu mengeluh dan berkata lirih sambil merobek saputangannya, dipergunakan membalut lengan yang terluka itu.

   "Kau terlalu memandang rendah kecerdikan Mr. Fox..."

   
Saputangan Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bharoto duduk diatas lantai, mukanya memperlihatkan penyesalan dan kekecewaan besar. Pistolnya terletak diatas lantai didepannya. Ia membiarkan Linda membalut lukanya.

   "You win (kau menang), Mr. Fox. bBukan sekali-kali karena kecerdikanmu kau dapat menang kali ini, melainkan karena kebodohanku Aku sudah kalah, kau mau apa sekarang? Kuliha kau mempergunakan kekuasaanmu untuk menekan dan memaksa Linda menjadi alatmu melakukan kejahatan. Kau keji sekali, Mr. Fox! Bebaskan Linda, dan kau boleh melakukan apapun juga terhadap diriku!"

   "Bhar "

   Linda berbisik lirih, suaranya penuh keharuan.

   "Aku tidak berharga..."

   "Ha-ha-ha, bebaskan Linda? Ha-ha-ha, dia yang sudah membikin kapiran semua urusanku, bebaskan dia? Kalau tidak untuk menanti kedatanganmu, dia sudah kucekik mampus. Ingat kemarin? Dia menipuku lagi, memberi pistol kepadamu sehingga anak buahku tertawan semua. Dia akan mampus didepan matamu."

   "Mr. Fox! Itu bukan perbuatan laki-laki!"

   "Kau cinta kepadanya? Ha-ha, berjanji dan bersumpahlah bahwa mulai detik ini kau menjadi pembantuku yang setia, dan aku akan bebaskan dia, malah kuserahkan dia kepadamu dan kalian kuajak bertualang ke Eropa, Paris, Roma, Berlin, London... Amerika...!"

   Bharoto mengambil pistolnya dari lantai dan bangkit berdiri, sepasang matanya bersinar tajam penuh ancaman.

   "Shut up (tutup mulut). Mr. Fox Kau kira aku orang macam apa? Kau takkan dapat memperbudak aku, juga jangan harap dapat membunuh Linda didepan mataku."

   Mr. Fox mengacungkan pistolnya, lalu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, mau apa kau dengan pistol kosong itu? Dan jangan harap kali ini akan mendapat pertolongan Linda, dia sudah kuawasi benar-benar. Bagaimana?"

   "Bagaimana kalian hendak memilih kematian? Di stroom listrik? Ditembak kepala kalian? Ataukah ah, benar, kubenamkan di swimming pool (kolam renang) dibelakang bungalow ini. Ha-ha-ha, benar bagus, biar kalian menjadi ikan! Hayo jalan, kebelakang!"

   La menodongkan pistolnya memaksa Bharoto dan Linda berjalan keluar dari pintu belakang menuju kesebuah kolam renang yang terdapat dibelakang bungalow itu. Sebuah kolam renang yang indah dengan airnya yang kehijauan.

   "Ha-ha-ha, dua orang Detektif terpaksa mengakui keunggulan Mr. Fox! Ha-ha-ha! Mr. Bharoto, kau tentu tak pernah mimpi bahwa Linda adalah seorang Detektif yang datang dari Malaya. Dia menyelidiki jejak James Que, tapi kemudian harus menyerah kepadaku, ha-ha. Hayo Linda, buka gaunmu, dan perlihatkanlah keindahan tubuhmu untuk terakhir!"

   Linda menggeleng kepala, akan tetapi Bharoto yang tadinya tercengang keheranan mendengar keterangan Mr. Fox itu, memberi isarat supaja gadis itu menurut saja. la hendak mencari kesempatan dan menanti bala bantuan. Melihat sinar mata Bharoto yang sama sekali bukan sinar mata orang yang putus asa dan menyerah, Linda segera melepas gaunnya. Kiranya ia telah memakai bathing-suit (pakaian mandi) model Bikini yang sewarna dengan kulitnya yang putih kuning. Mau tak mau Bharoto tertegun memandang keindahan itu dan Mr. Fox tertawa.

   "Very beautiful (cantik sekali), bukan? Dia menjadi milikmu kalau kau suka memenuhi permintaanku tadi, Mr. Bharoto."

   Keparat! Kiranya gadis itu disuruh membuka gaun untuk membujuknya.

   "Jangan tertawa dulu, Mr. Fox. Aku tetap tidak sudi menjadi pembantumu dan biar pun kami berdua mati, kaupun takkan terlepas dari hukum di Indonesia. Teman-temanku sedang menuju kesini, Mr. Fox."

   "Huh, kalau aku takut, aku takkan memancingmu kesini, Detektif tolol. Hayo kau terjun pula, biar kujadikan kalian menjadi sasaran untuk berlatih tembak. Ha-ha-ha!"

   "Aku akan melawanmu, Mr. Fox."

   "Ha-ha, melawan? Dengan apa?"

   "Dengan ini!"

   Secepat kilat Bharoto menggerakkan tangannya dan "dari"

   Pistolnya memuntahkan api, tepat menyambar tangan Mr. Fox yang memegang pistol sehingga senjatanya itu terlempar, tangannya berdarah. Bharoto tertawa, melempar pistolnya yang kini sudah kosong betul-betul itu, lalu melompati Mr. Fox. Hal ini benar-benar di luar dugaan Mr. Fox yang terkenal lihai.

   Ia sama sekali tidak tahu bahwa Si Kenes, pistol Detektif itu, adalah sebuah pistol yang khusus dibuat di Jerman dan dengan tekanan pada sebuah tombol kecil, pistol itu dapat dibuat "macet"

   Seakan-akan pelurunya sudah habis. Ketika Bharoto ditembak lengannya, ia tahu bahwa Mr. Fox seorang jago tembak ulung dan sengaja tidak akan membunuhnya, maka ia pura-pura kehabisan peluru yang hanya tinggal satu-satunya itu. Baru sekarang ia pergunakan setelah mendapat kesempatan baik, sedangnya lawan lengah dan tidak mengira, juga untuk menolong keselamatan dia dan Linda. Akan tetapi ternyata Mr. Fox bukan hanya seorang bajingan besar yang cerdik dan ahli tembak. Ia juga seorang yang amat kuat dan pandai ilmu berkelahi. Tubrukan Bharoto itu disambut dengan tendangan yang disusul pukulan keras. Bharoto terguling, tapi ia bangun lagi dan mengajar Mr. Fox yang lari kearah bungalownya.

   "Bhar, jangan kejar..."

   Linda sudah lari pula mengejar Bharoto. Jeritan gadis ini membuat Bharoto ragu-ragu. Berbahaya juga, pikirnya. Siapa tahu didalam bungalow masih ada kawan kepala penjahat itu. Linda sudah mendekapnya, menarik tangannya.

   "Hajo lari... cepat!"

   "Aku harus tangkap dia, Lin...!"

   "Tidak, jangan... percayalah kepadaku...!"

   Dengan nekat Linda menarik-narik lengan Bharoto. Karena yang ditarik itu lengan kiri. Bharoto kesakitan dan terbawa beberapa langkah, Tiba-tiba...

   "Blunggggg...!!!"

   Api besar muncrat dan rumah bungalow itu hancur-lebur, Baiknya Linda dengan gerakan cepat sudah menarik Bharato dengan kekuatan luar biasa saking takutnya sehingga keduanya terlempar ke dalam kolam renang! Dengan tubuh terendam air, hanya tampak kepalanya saja, dua orang itu memandang dengan muka pucat kearah bungalow yang kini menyala-nyala dimakan api.

   "Tamatlah riwajat penjahat besar..."

   "...ya..."

   Linda terisak kemudian menangis tersedu-sedu diatas dada Bharoto yang memeluknya. Bharoto membiarkan dara itu menangis, mencium matanya dan mencecap air matanya,

   "Kau bebas sekarang..."

   Kembali Bharoto mencium antara alis yang hitam itu. Linda meramkan kedua matanya, masih terisak tapi bibirnya tersenyum bahagia, Kedua lengannya merangkul leher Bharoto.

   "Dia bilang kau detektif Malaya, benarkah itu, dear?"

   Linda mengangguk, mendekapkan muka di baju yang basah itu dengan manja.

   "Aku bekerja di Kuala lumpur, bertugas sebagai detektif menyelidiki James Que, bandit Hongkong yang pernah menghebohkan Malaya karena memalsu tanda tangan Menteri Perdagangan. Kini dia bekerjasama dengan pemalsu uang di Indonesia, menyelundupkan klise-klise uang kertas ratusan rupiah ke Indonesia. Aku mengikuti jejaknya. Kiranya ia berhubungan dengan Mr. Fox dan aku ditekan setelah ditawan oleh Mr. Fox. Dia itu... dia mempunyai bukti-bukti akan perbuatanku dahulu ketika masih menjadi stewardess. Aku... aku pernah menyelundupkan uang palsu, Bhar... ah, aku menyesal..." Bharoto menyentuh ujung hidung yang mancung itu dengan bibirnya.

   "Lalu bagaimana?"

   "Terpaksa aku manjadi pembantunya, menerima klise dari James Que di Solo seperti telah direncanakan. Mr. Fox berkhianat, James Que ditipu, dirampas klise-klisenya."

   "Hemmm, kau merayunya, menciumnya untuk membuat ia lengah? Lalu chloroform itu?"

   Linda meraba dagu Bharoto dengan bibirnya.

   "Ah, aku malu..., tapi terpaksa, Bhar. Bukan aku yang membunuhnya. Malah aku sama sekali tidak mengira ia akan dibunuh. Tugasku hanya merampas klise, terpaksa membuat ia pingsan dengan chloroform..."

   "Begitukah? Dan kaupun membuatku pingsan..."

   "Terpaksa pula, Bhar. Kau mendesakku..., aku harus menyelamatkan klise-klise itu yang berarti menyelamatkan nyawaku pula, nyawa ibuku..."

   (Lanjut ke Bagian 04 - Tamat)

   Saputangan Berdarah, Serial Detektif Bharoto

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Bagian 04 (Tamat)

   "Dimana ibumu?"

   "Sudah lama di Kuala lumpur. Ibu yang berada di Kebayoran itu adalah Mr. Fox yang menyamar. Kalau gagal bantuanku padanya, ibuku tentu akan terancam."

   "Dan dulu mengapa menjebakku?"

   "Bukan menjebakmu, Bhar. Maksudku malah menolongmu. Aku tahu bahwa Mr. Fox sudah mengawasi gerak-gerikmu. Dia cerdik seperti setan. Karena itu aku membiarkan kau ditangkap dan dipukul, asal jangan ditembak. Akulah yang memerintah mereka supaya kau jangan di tembak, karena aku yakin bahwa kalau tidak dengan pistol, takkan mungkin membunuhmu."

   "Thanks, dear."

   Bharoto mencium lagi, kini pada pipi dara itu. Tak berani ia mencium bibir, masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dahulu.

   "Sebetulnya aku sudah dapat menduga akan semua itu, hanya yang masih ku bingungkan adalah mengapa kau mau membantu dia. Kiranya kau terpaksa dan kiranya kau malah Detektif pula."

   "Detektif yang bodoh, Bhar, memalukan saja..."

   "Siapa bilang bodoh? Kau cerdik, cantik jelita, dan beberapa kali aku kena kau akali."

   "Akal kanak-kanak..."

   Kembali mereka menoleh kearah bungalow yang hampir habis terbakar. Terdengar suara banyak orang didepan, tentu orang-orang yang tertarik dengan kebakaran dan ledakan itu.

   "Bhar..."

   "Hemni...?"

   "Kau tentu Mau menolongku, kan?"

   "Of course, dear (tentu saja, sajang)."

   "Aku harus segera kembali ke Malaya dan... dan aku mengharapkan pertolonganmu agar tidak mendapat banyak susah dari kepolisian disini."

   Bharoto mengangguk.

   "Tentu, jangan kuatir. Kujamin kau akan dapat terbang dengan bebas."

   "Ah, kau baik sekali...!"

   Linda merangkul dan muka mereka saling mendekat. Tapi Bharoto ragu-ragu.

   "Kenapa, Bhar?"

   "...eh, bibirku pernah robek oleh gigitan mu"

   Linda tersenyum.

   "Karena aku gemas padamu, aku suka pada mu."

   Ia tersenyum lagi, berkilat giginya yang putih terkena sinar dari api yang membakar bungalow, bibirnya yang merah membasah itu menantang. Bharoto menundukkan mukanya, matanya dipejamkan dan dengan nekat ia mencium karena tak mungkin mengelakkan hal itu. Mereka masih berciuman ketika terdengar suara dipinggir kolam.

   "Ya Allah Ya Rabbi...! Sekali ini kau benar-benar keterlaluan, Bhar! Sudah hampir menangis aku tadi, mengira kau matang terpanggang api. Eehh, tahunya kau main ikan-ikanan disini! Kalau tahu begini, lebih baik kau kupanggang sendiri, Bhar!"

   Bharoto melepaskan ciumannya, tidak menjawab tapi menyambar kaki Alit, ditariknya sehingga tak dapat dicegah lagi, Alit terpeleset dan jatuh kedalam air. Alit gelagapan dan ketika akhirnya kepalanya yang bulat itu tersembul kepermukaan air, ia melihat Bharoto dan Linda sudah saling mencium lagi seakan tidak akan berhenti sebelum dunia kiamat. Dengan gemas ia menyiram-nyiramkan air dengan kedua telapak tangannya yang lebar kepada mereka. Akhirnya Bharoto dan Linda terpaksa melepaskan diri dan dekapan dengan gelagapan dan tertawa-tawa. Bharoto tidak merasa betapa bibirnya yang sebelah kiri berdarah dan menjendol!

   Setengah bulan kemudian, setelah selesai lakukan tugasnya menjadi saksi dan menjatuhkan Wiro Gandul dalam sidang pengadilan yang seru, disaksikan oleh Alit dan Linda dari bangku tempat pengunjung, Bharoto lalu mengantar Linda sampai ke pelabuhan udara di Jakarta. Berkat bantuan Bharoto, benar saja Linda tidak mendapatkan banyak halangan dalam mengurus surat-suratnya kembali ke Malaya. Berdasarkan keterangan Bharoto, dan surat-surat keterangan di kepolisian Malaya, Linda dianggap sebagai seorang Detektif dari Malaya yang menyelidiki jejak mendiang James Que dan berjasa. pula dalam urusan, pembongkaran rahasia Mr. Fox. Untuk menyatakan terima kasihnya kepada Bharoto, Linda menunda keberangkatannya dan bersedia menjadi tamu Bharoto di Solo, malah ikut pula menyaksikan urusan persidangan di Semarang sampai bares. Beberapa menit sebelum para penumpang di persilahkan memasuki pesawat, Bharoto berdiri saling berhadapan didalam kamar tunggu yang sunyi.

   "Selamat jalan Linda..."

   "Selamat tinggal, Bhar..."

   Mata bola itu berlinang air mata. Jari-jari tangan mereka saling bertemu, hanya sebentar karena segera mereka saling merangkul. Tanda bagi para penumpang terdengar dan menggemalah suara stewardess melalui loud-speaker, mempersilahkan para penumpang naik pesawat. Rangkulan mereka terlepas. Kedua pipi Linda basah, mata yang berlinangan memandang mesra.

   "Bibirmu merah, Bhar..."

   Saputangan sutera diambil dari balik gaun didada, lipstik yang memerahkan bibir Bharoto dihapuskannya, lalu saputangan sutera itu tertinggal ditangan Bharoto,

   "Sampai jumpa, Bhar..."

   "Sampai jumpa, Linda dear..."

   Bharoto masih bengong memandang pesawat udara yang meluncur naik, dan baru sadar ketika Alit mendekatinya.

   "Wah, bibirmu kenapa Bhar?"

   "Heh? Bibir? Kenapakah?"

   Diusapnya lagi dengan saputangan sutera itu, dan keningnya berkerut karena terasa perih. Kiranya bibirnya sudah terluka lagi, kini sebelah kanan.

   "Ha-ha-ha, terjepit pintu??"

   Alit menggoda dan sebuah tonjokan main-main pada perutnya membuat ia terkekeh-kekeh tertawa. Bharoto menyumpahi. Ketika mereka berdua kembali kerumah di Solo, sebuah tilgram sudah menanti mereka, tilgram yang membuat Bharoto menyumpah-nyumpah dan Alit mengenal tinju, keduanya saling Pandang penuh arti. Tilpun itu datang dari Inspektur Bhono yang berbunyi demikian :

   PEMERIKSAAN MEMBUKTIKAN BAHWA TIDAK TERDAPAT ORANG TERBAKAR DI BUNGALOW PUNCAK.

   "Wah, kalau begitu Mr. Fox masih berkeliaran bebas, Bhar!"

   "Hemmm, dia benar setan! Tapi jangan harap dia akan dapat mengacau di Indonesia lagi. Kita sudah siap, Lit."

   "Betul, kita sudah siap. Biar dia berani muncul lagi, takkan terlepas dari tangan kita, sikeparat!"

   Surakarta, tengah November 1967,

   TAMAT

   =============================

   Kita perkenalkan : DETEKTIF BHAROTO

   Seorang putera Solo aseli, berusia tiga puluh lebih, hidup membujang tiada sanak-keluarga, namun tak pernah merasa sunyi karena selalu sibuk dengan tugasnya. Bagaimana takkan selalu sibuk kalau tugasnya adalah MELAWAN KEJAHATAN sedangkan kejahatan tiada kunjung habis dilakukan oleh manusia-manusia sesat didunia ini? Ibunya sudah tiada semenjak ia masih kecil schingga seluruh jalan hidupnya didasari gemblengan ayahnya semata. Tidaklah mengherankan apabila Bharoto kemudian menjadi seorang detektif pembasmi kejahatan kalau diingat bahwa mendiang ayahnya adalah seorang Inspektur Polsi bagian Kejahatan.

   Semenjak kecil tertanam dalam lubuk hatinya perasaan anti dan kontra terhadap kejahatan, Betapapun juga, baru setelah ayahnya gugur dalam melawan penjahat-penjahat, tertembak dan tewas dalam tugas, Bharoto meninggalkan kuliahnya di Fakultas Hukum, lalu melanjutkan jejak ayahnya menjadi pembasmi penjahat. Karirnya baru dimulai lima tahun yang lalu, namun namanya sudah terkenal diseluruh Nusantara, bahkan terkenal pula di negara-negara tetangga karena beberapa kali dengan suksess membantu pekerjaan Polisi Internasional menghadapi penjahat-penjahat kaliber besar. Pernah melawat ke Hongkong, Singapore, Tokyo dan Birma, dalam tugas mengikuti jejak penjahat internasional. Biarpun usianya sudah tiga puluhan, Bharoto masih merupakan seorang "Joko manget-manget"

   (menurut istilah Alit). Hal ini bukan karena ia tidak laku, jauh daripada itu. Kalau ia menghendaki, sudah lama ia menjadi suami, mungkin menjadi ayah, karena tidak sedikit dara-dara ayu gandrung (tergila-gila) kepadanya dan bersiap sedia setiap saat menjadi partner (pasangan hidupnya). Berdua dengan Alit, Bharoto tinggal disebuah rumah kecil mungil sederhana namun sedap dipandang dan enak ditempati, di Jalan Rahasia. Hanya nomor tilpunnya diketahui orang, yaitu nomor 7707 Solo, Keahliannya? Banyak. anda akan mengenal keahliannya itu dalam cerita-cerita berikutnya, dimana Detektif Bharoto akan membawa anda, kedalam suasana penuh ketegangan, rahasia, adu-cerdik, adu-licin, adu-tangkas, juga romance. Sampai jumpa dengan Bharoto di kisah mendatang.

   Pengarang

   =============================

   Inilah dia tokoh kita : ALIT

   Baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Sunda, kata-kata "Alit"

   Berarti kecil. Akan tetapi jangan anda mengira bahwa tokoh kita bernama Alit ini kecil orangnya. Jauh daripada kecil, bahkan sedangpun bukan. Melainkan besar, besar sekali sahingga patut kalau disebut seorang raksasa muda. Raksasa Indonesia tentunya, karena kalau dibandingkan dengan orarg-orang Barat, mungkin perawakan Alit hanya termasuk sedang saja. Seperti juga Bharoto yang dibantunya, Alit tiada sanak-keluarga, sudah yatim piatu. Ia peranakan, ajahnya seorang Negro bekas petinju ulung, ibunya Indonesia. Semenjak kecilnya, Alit tidak maju dalam sekolah, akan, tetapi menonjol selalu dalam bidang olah-raga, terutama olah-raga yang membutuhkan tenaga-gajah dan napas-kuda.

   Sesuai dengan tubuhnya, Alit jujur, terbuka, tidak banyak tipu-muslihat, justeru inilah yang membuat ia disegani. Seperti juga Bharoto, ia pembenci kejahatan dan siap mergorbankan jiwa-raga untuk memberantas kejahatan. Alit menjadi pembantu yang amat setia dari Bharoto. Kalau Bharoto memerlukan bantuannya, biarpun jam tiga malam ia harus bangun, biarpun ia harus menerjang lautan api umpamanya, ia akan siap melakukannya dengan rela. Hal ini bukan sekali-kali karena Alit mendewa-dewakan Bharoto, sama sekali bukan. Hubungan mereka sehari-hari malah bukan seperti seseorang dengan pembantunya, melainkan seperti sababat kontan, seperti saudara senasib sependeritaan.

   Keakraban ini didasari jiwa yang sama, yaitu pembela keadilan dan kebenaran, pembasmi kejahatan. Juga Alit masih "Joko ting-tong" (menurut istilah Bharoto). dan tinggal berdua dengan Bharoto dirumah kecil dijalan Rahasia itu. Cukup kiranya perkenalan singkat dengan Alit, marilah kita jumpai tokoh raksasa kita ini dalam kisah Bharoto's Serial berikutnya.

   Pengarang.

   Penerbit/Percetakan : CV GEMA - Solo

   Cetakan Pertama : 1967

   Pelukis : Sriwijono

   Buku Fisik dan Scan Image : Gunawan Aj

   Konversi & Text Editing (E-Book) : Cersil Kph

   


Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini