Sekarsih Dara Segara Kidul 3
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Lekas angkat kepinggir..."
Kata Slamet. Bertiga mereka mengangkat tubuh yang berat itu ke tempat kering. Sementara itu Pak Kurdo sudah siuman dari pingsannya. Begitu melihat tiga orang ini ia cepat berbisik dengan suara masih lemah:
"Aduh Celaka... lekas... pergi tolong Sekarsih...!"
"Apa maksudmu? Siapa yang memukulmu?"
Slamet bertanya, penuh curiga dan juga bingung.
"Jam berapa sekarang?"
Pak Kurdo bertanya lagi. Rebo melirik jam tangannya.
"Hampir jam lima,"
Jawabnya singkat.
"Lekas..., lekas cegat mereka... sebelum pergi. Celaka kalau terlambat. Aku... aduh kepalaku..."
Dan ia terguling lagi diatas pasir.
"Apa maksudmu, pak? Siapakah mereka? Di mana harus dicegat?"
Slamet menjadi makin bingung. Pak Kurdo berusaha sekuat tenaga untuk bangkit lagi. Ia berhasil, duduk dan membiarkan Rebo membalut kepalanya agar luka dikeningnya tidak mengeluarkan darah terus. Setelah agak mereda nanarnya, ia berkata:
"Kalian bertiga, kawan-kawan baik Sekarsih, harus menolongnya. Penjahat-penjahat itu hendak menculiknya, mereka datang membawa mobil sedan. Lekas halangi maksud mereka. Mobilnya berada di pantai sebelah sana,"
Ia menudingkan telunjuknya.
"lebih baik kalian pergi mencegat di sana dekat mobil. Lekaslah, jangan terlambat"!"
Mendengar ini, Rebo dan Bejo cepat melompat hendak lari. Akan tetapi Slamet yang selalu berhati-hati itu mendekati Pak Kurdo. Ia menguatirkan bahwa mereka terjebak atau tertipu.
"Kau siapakah sebenarnya, pak? Bagaimana kami dapat mempercayaimu?"
Mendengar ini, Rebo dan Bejo teringat dan tidak jadi lari.
"Uhhhh... kepalaku..., ah kalian orang-orang bodoh, pengail-pengail yang mau main detektip-detektipan... masa tidak dapat menduga aku siapa? Aku... Pak Kurdo... hemmm, kelak kalian akan tahu sendiri aku siapa. Hayo lekas kalau memang kalian hendak menolong Sekarsih."
"Tapi... kau terluka, pak""
"Tidak apa, aku hanya pening karena kehilangan darah."
Melihat sikap dan mendengar bicara Pak Kurdo ini Slamet diam-diam kaget sekali. Jelas bahwa orang ini bukan nelayan biasa. Siapakah dia? Akan tetapi yang penting sekarang pergi menolong Sekarsih. Maka ia lalu cepat mengajak kedua orang temannya pergi berlari-lari kearah yang ditunjuk oleh Pak Kurdo tadi. Benar saja.
Mereka melihat sebuah mobil sedan yang mewah berdiri dibawah pohon-pohon kelapa. Tidak ada orang disitu. Bejo yang ahli tentang mobil, karena pernah bertahun-tahun ia bekerja sebagai sopir, cepat menghampiri mobil, menarik kunci kap motor, membuka kap motornya dan beberapa detik ia bekerja dengan kabel-kabel bushi, kemudian ditutupnya kembali kap motornya dengan perlahan. Mereka menanti disitu. Tak sampai sejam mereka menanti. Tiba-tiba mereka melihat pemandangan yang membuat darah mereka menjadi panas mendidih, yang membuat Bejo berkerot-kerot giginya den Rebo berkembang kempis hidungnya.
"Bedebah...!"
Slamet mendesis marah. Apa yang menjebabkan kemarahan mereka? Mereka melihat Sekarsih diseret dan dibawa dengan paksa oleh dua orang laki-laki, dua orang laki-laki gagah yang bukan lain adalah Picis dan Rawit! Tadinya mereka menyeret lengan Sekarsih kanan-kiri dan membungkam mulut gadis itu yang meronta-ronta dan hendak menjerit-jerit. Setelah tiba dekat tempat itu, Rawit melepaskan Sekarsih, mencabut pisau belati dan mengancam :
"Awas kau, kalau menjerit kutusuk perutmu dengan ini!"
Sekarsih membelalak ketakutan dan meronta-ronta dalam pegangan Picis yang membungkam mulutnya dan memegangi tangan kanannya dengan erat.
"Lekas, Wit, hidupkan mesinnya!"
Agak kewalahan juga Picis karena Sekarsih memang kuat dan meronta-ronta hendak melepaskan diri. Gadis ini hanya berpakaian kain dan kutang, agaknya sedang hendak mandi ketika ia diculik oleh dua orang keparat ini. Rawit menghampiri mobil, membuka pintu dan menghidupkan mesin. Picis menyeret-nyeret Sekarsih mendekati mobil, akan tetapi gadis itu menyepak-nyepak dan bersitegang tidak mau didekatkan pada mobil. Terdengar Rawit menyumpah-nyumpah. Mobil tak mau hidup. Di stater hanya mengeluarkan bunyi menggerung saja, akan tetapi tidak mau hidup.
"Keparat, setan-alas,...!"
Masih banyak lagi makian berhamburan keluar dari mulut Rawit karena mobil yang tadinya tok-cer dan tidak pernah rewel itu kini tiba-tiba saja menjadi rewel, tidak mau hidup. Ia menarik kunci kap motor dan membukanya lalu menjenguk kedalam.
"Wah, Cis...! Celaka... kabel-kabel dicabuti orang"!"
Pada saat itu terdengar Rebo dan Bejo tertawa bergelak dan tiga orang sekawan ini meloncat dari tempat persembunyiannya. Bejo yang sudah marah itu segera menerjang Picis. Picis terpaksa melepaskan Sekarsih dan hendak menangkis, akan tetapi terlambat.
"Desss!!"
Pukulan tangan Bejo yang mantep dan ampuh membuat matanya berkunang melihat seribu bintang. Bejo hendak mengirim pukulan lagi, akan tetapi tiba-tiba Rawit membentak:
"Angkat tangan!"
Slamet dan Bejo melongo, terpaksa mengangkat tangan memandang tangan Rawit yang mengacung kan pistol dan menedong mereka. Rebo agaknya ketakutan sekali sampai terperosok kedalam tanah berlubang. Picis yang maklum akan bahaya, cepat menangkap Sekarsih lagi dan menyeretnya ke mobil.
"Masukkan dia di mobil, Cis. Kunci pintunya, biar aku memeriksa mesin dan kau menodong anjing-anjing ini!"
Seru Rawit. Pada saat Rawit bicara, tiba-tiba ia menjerit kaget dan kesakitan. Bagaikan kilat cepatnya, Bejo sudah menerjang maju, menendang muka Rawit yang hendak mengambil pistolnya yang jatuh ketanah. Tadi adalah Slamet yang secara tiba-tiba dan tak tersangka-sangka menyambitkan batu ke arah tangan Rawit, tepat mengenai pergelangan tangan sehingga pistol-yang dipegangnya jatuh.
Selagi dia membungkuk hendak mengambil pistolnya, ia didahului Bejo yang mengamuk seperti banteng terluka. Tendangan disusul pukulan-pukulan keras dari kedua tangan Bejo, membuat Rawit terhuyung-huyung. Akan tetapi Rawit adalah seorang jagoan, maka segera terjadi perkelahian ramai antara Rawit dan Bejo. Picis masih berkutetan dengan Sekarsih. Melihat temannya berkelahi dan dua orang menghampirinya dengan sikap mengancam, apalagi melihat betapa seorang diantara mereka, yaitu Slamet, sudah memegang pistol yang dilepaskan oleh Rawit tadi, Picis menjadi pucat. Otomatis ia melepaskan Sekarsih dan berteriak:
"Wit..., lari...!"
Rawit berhasil memasukkan tendangan mengenai lutut Bejo, membuat Bejo terpincang-pincang dan memaki-maki. Kesempatan ini diperguna kan oleh Rawit untuk berlari menyusul temannya.
"Jahanam hendak lari kemana kalian?"
Rebo sudah mengayun-ayun pancingnya, diayun cepat diatas kepala lalu... wwrrrr...! pancing beserta bandul-nya itu dilepas, meluncur bagaikan peluru cepatnya menyusul dua orang yang lari itu.
"Aduh... duh...duh... lepas... aduuhhh...!"
Picis meraung-raung kesakitan. Secara kebetulan sekali pancing yang disambitkan Rebo itu mengenainya, melibat leher dan mengait daun telinga! Hanya ikan-ikan yang terpancing akan dapat mengatakan betapa sakit, perih, dan nyerinya terkait pancing. Picis menarik-narik senar yang mengikat pancing itu. Disebelah sana, kurang lebih dalam jarak lima meter, Rebo tertawa-tawa dan membetot-betot senarnya.
"Nah, kena dah sekarang! Ha-ha-ha, ikan duyung jantan... ha-ha!"
Ia membetot-betot membuat Picis makin keras berteriak-teriak kesakitan. Melihat peristiwa lucu ini, Slamet dan Bejo mau-tak-mau tertawa juga. Akan tetapi Rawit yang melihat temannya tersiksa, sudah mengeluarkan pisau dan..., srrtt, senar itu putus. Dengan pancing masih terkait pada daun telinganya, Picis berlari-lari bersama Rawit, mengaduh-aduh diikuti suara ketawa tiga orang sekawan itu. Sekarsih bersukur sekali sampai mengucurkan air mata.
"Terima kasih, mas Slamet, mas Rebo, mas Bejo... terima kasih. Kalau tidak ada kalian bertiga... ah, Celakalah aku,..."
Rebo dan Bejo mengangkat dada.
"Kalau masih ada aku,"
Kata Rebo bangga.
"tak mungkin ada setan dapat mengganggumu. Sih."
"Baru dua orang macam itu saja, boleh tambah dua lagi mengerojokku, akan kurobohkan satu-satu."
Bejo menyambung, mengangkat dada.
"Sih, mari kami antar pulang dan sambil berjalan coba ceritakan bagaimana terjadinya penculikan tadi,"
Kata Slamet.
Sekarsih bercerita. Katanya menjelang tengah-malam ia mendengar pamannya memasuki rumah dari belakang. Ia terbangun dan melihat pamannya masuk lagi ke kamar. Akan tetapi tidak ditanjfnya, mengira bahwa seperti biasa pamannya tentu dari kamar mandi di belakang rumah. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sekarsih sudah bangun. Seperti kebiasaannya sehari-hari, lebih dulu ia hendak menyapu lantai pekarangan yang kotor oleh daun-daun pohon yang gugur. Ketika lewat pintu samping, ia melihat Sutejo masih tidur berselimut sarung diatas balai-balai.
Kemudian, selesai menyapu pekarangan ia mengambil handuk dan hendak pergi mandi. Biasanya setiap pagi ia mandi disungai kecil tak jauh dari kampungnya. Dan dipinggir sungai kecil inilah ia disergap oleh dua orang penculik itu yang dikenalnya sebagai dua orang yang dulu pernah mengganggunya ditepi pantai, dua orang yang dulu berkelahi dengan Pak Kurdo. Pak Loka hanya menggeleng-geleng kepala ketika Sekarsih yang diantar tiga orang sekawan itu datang dan menceritakan pengalamannya. Akan tetapi Sutejo marah sekali. Pemuda ini mukanya menjadi merah, matanya menyambar-nyambar dan ia berkata:
"Bagaimana disini bisa terjadi hal seperti ini? Mana bisa didiamkan saja? Kita harus melapor kepada polisi!"
Pemuda ini memakai sepatunya yang su dah butut, lalu berkata lagi:
"Biarlah aku yang pergi melaporkan kepada polisi. Dimana sini ada polisi, pak?"
"Daripada susah-susah mencari pos polisi yang jauh, lebih baik melaporkan kepada Pak Lurah. Kalau masih ada disini dua orang bangsat itu biar dikeroyok rakyat,"
Kata Pak Loka.
"Jangan tergesa-gesa,"
Kata Rebo menyombong.
"Dengan adanya kami bertiga yang menjaga, mereka itu bisa apakah? Lagi pula, Pak Kurdo itupun mencurigakan,... jangan-jangan dia itu malah seorang anggauta polisi!"
"Bo, jangan ngawur!"
Slamet membentak temannya terlalu banyak bicara itu. Akan tetapi Sutejo masih belum mau menerimanya.
"Urusan ini terlalu berbehaja kalau didiamkan saja. Beberapakali Sekarsih hendak diculik orarg. Malah malam tadi Pak Loka juga diserang orang. Apa artinya semua ini? Dan buku itu? Ah, kita harus melaporkan sekanng juga. Mari, dik Sekarsih, kau antarkan aku, mari kita bersama melapor. Kau menjadi saksi utama. Jangan takut, aku yang akan mengurus hal ini!"
Pemuda itu betul-betul marah. Dari sikapnya ini saja mudah diduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada Sekarsih, gadis itu nampak bingung, akan tetapi Pak Loka berkata perlahan:
"Pergilah, Sih. Kau antar den Tejo ke pak Lurah."
Didalam hatinya Slamet tidak rela, akan tetapi tentu saja dia tidak bisa mencegah. Sebetulnya ingin sekali dia menangkap sendiri penjahat-penjahat itu. Dia hanya berkata:
"Katakan bahwa aku telah merampas sepucuk pistol seorang penjahat, sementara kubawa dulu untuk penjagaan diri."
Setelah melihat Sutejo dan Sekarsih pergi, Slamet dan teman-temannya lalu meninggalkan Pak Loka.
"Kita harus mencari Pak Kurdo. Harus kita tanya penjelasan mengenai semua sikapnya, dan tentang pengetahuannya akan penculikan tadi,"
Kata Slamet.
Pak Kurdo berada diwarung tempat ia menginap. Pak Siswo pemilik warung tidak tampak. Orang tua berpakaian hitam itu sedang duduk mengisap rokok, wajahnya pucat, kepalanya masih dibalut. Ia tersenyum ketika melihat tiga orang tamunya.
"Sukur. kalian bisa menyelamatkan Sekarsih,"
Katanya.
"Sayang bahwa dua orang penjahat itu dapat melarikan diri."
Slamet dan dua orang temannya terheran.
"Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu, pak?"
Tanya Slamet. Pak Kurdo tersenyum.
"Aku sendiri tak dapat melihatnya, akan tetapi aku punya pembantu."
Ia menoleh kepada Slamet.
"Mas Slamet, kau masih menyimpan pistol itu bukan? Kau simpan dulu sementara, kau mungkin perlu mempergunakannya kelak. Kita berhadapan dengan segerombolan penjahat yang licin dan bersenjata pula."
"Pak, siapakah kau sebenarnya? Kami tidak bisa menerima bahwa kau adalah Pak Kurdo nelayan. Dan apa artinya semua peristiwa di pantai ini? Rahasia apakah yang menyelubungi diri Sekarsih?"
Slamet mulai membuka kartunya. Pak Kurdo tertawa dan tampak giginya yang berderet putih dan kuat. Ini saja sudah membuktikan bahwa dia bukan seorang nelayan sederhana. Giginya terpelihara baik-baik. Dari saku bajunya ia mengeluarkan sebuah kartu dan membukanya didepan tiga orang itu.
"Aku tahu kalian orang baik-baik dan malah sekarang perlu membantuku. Lihat kartu ini."
Tiga orang sekawan itu memandang potret Pak Kurdo berpakaian sebagai Inspektur Polisi dan ternyata bernama Wibowo, pembantu inspektur polisi dari Semarang!
"Ohh...!"
Tiga orang sekawan itu berseru dan Rebo segera membanggakan dugaannya:
"Apa kataku tadi? Sudah kurasa bahwa Pak Kur... eh, Pak Wibawo ini seorang anggauta polisi!"
"Apa? Kau katakan dugaanmu itu? Dimana kau katakan?"
Tiba-tiba Pak Kurdo atau lebih tepat Pak Wibowo bertanya kaget.
"Di... dirumah Pak Loka..."
Jawab Rebo tercengang.
"Siapa yang mendengarnya?"
"Ah, tidak ada orang lain. Hanya Pak Loka, Sekarsih dan Sutejo pemuda pertapa itu..."
Pak Wibowo mengangguk dan mengerutkan keningnya.
"Aku perlu bantuan kalian, karena itu dengarlah ceritaku tentang segala peristiwa ini dan rahasia yang menyelimutinya."
Pak Wibowo lalu bercerita.
Di Semarang baru saja meninggal dunia seorang hartawan besar, seorang milyader yang sudah duda dan tidak mempunyai ahli waris sama sekali, bernama Pujowaluyo. Pak Pujowalyo ini meninggalkan sebuah surat warisan yang menyatakan bahwa seluruh harta bendanya, yang lima puluh prosen ia sumbangkan kepada Badan Sosial, sedangkan yang lima puluh prosen lagi ia wariskan kepada anak-anak keturunan adiknya yang bernama Handoyo. Akan tetapi sayangnya, tak seorang pun mengetahui dimana adanya Handoyo itu, karena menurut surat wasiat itu, Pak Pujowaluyo sudah tujuh belas tahun berpisah dari Handoyo tanpa ada berita apa-apa lagi.
"Kebetulan sekali, Handoyo itu adalah bekas kawan seperjuanganku ketika perang melawan Belanda dulu. Tentu saja aku amat tetarik dan ingin sekali aku membantu kawanku yang amat kusayang itu seorang anggauta kepolisian, kiranya akan lebih mudah aku menjelidiki."
Demikian antara lain Pak Wibowo menerangkan kepada Slamet dan teman-temannnya.
"Penyelidikanku membawa aku ke Jogja, karena memang Handoyo dan kakaknya, Pujowaluyo adalah orang-orang asal Jogja. Dan di Jogja dengan tak tersangka-sangka aku mendapat keterangan bahwa yang menyelidiki tentang Handoyo bukan aku saja, malah menurut keterangan seorang inspektur temanku, penjahat intelek bernama Lukman juga mengajak anak buahnya melakukan penjelidikan!"
"Lukman...?"
Tiga orang sekawan itu berseru kaget. Tentu saja mereka juga sudah mendengar nama ini. Lukman adalah seorang penjahat intelek, bekas mahasiswa, yang masih muda akan tetapi sudah seringkali membuat pusing kepolisian karena kejahatan-kejahatan yang dilakukannya secara amat cerdik. Akhir-akhir ini ia menggegerkan Semarang dengan pencurian-pencurian besar yang ia lakukan bersama komplotannya di pelabuhan Semarang. Ia menjadi buronan kepolisian Bandung, Jakarta, Surabaya dan Semarang. Namun polisi belum juga berhasil menangkapnya.
"Begitulah,"
Pak Wibowo melanjutkan Ceritanya.
"Berita tentang Lukman ini tentu saja menambah tugasku. Tidak hanya aku hendak menjelidiki tentang Handoyo sahabat-baikku itu, akan tetapi juga, dan ini penting sekali demi tugasku sebagai polisi, aku harus mengincar Lukman. Setelah aku menjelidiki lebih lanjut, aku mendapat keterangan bahwa Handoyo berpisah dari Pujowaluyo di Jogja, yaitu pada waktu Belanda menyerang dan menduduki Jogja. Dan keterangan itu selanjutnya menyatakan bahwa Handoyo bersama isteri dan seorang anaknya yang baru berusia satu tahun melarikan diri ke selatan."
Pak Wibowo berhenti dan menyedot rokok kreteknya.
"Kalau begitu, Lukman dan komplotannya juga pergi ke selatan tentunya?"
Rebo bertanya.
"Itulah sebabnya mengapa aku terpaksa harus menyamar. Lukman terlalu cerdik sehingga kalau dia melihat ada polisi mengikutinya, tentu ia akan lebih berhati-hati dan lebih berbahaya. Aku masih belum tahu apa kehendaknya menjelidiki Handoyo, tentu saja ia ingin mendapatkan keuntungan daripada hasil penjelidikan itu. agaknya berhubungan dengan surat wasiat Pak Pujowaluyo. Ketika aku menjelidiki ke selatan sampai ke Kretek, lenyaplah keterangan tentang diri Handoyo tujuh belas tahun yang lalu. Aku bingung karena mendapat keterangan bahwa pada tujuh belas tahun yang lalu, sungai di Kretek banjir dan ada pula orang-tua yang menceritakan bahwa dulu pernah ada rakit hanjut terbawa banjir. Aku kuatir sekali... kalau-kalau Handoyo dan keluarganya menjadi korban kecelakaan itu..."
"Dan bagaimana dengan komplotan Lukman? Tentu mereka itu juga menjelidiki terus sampai ke Kretek?"
Pak Wibowo mengangguk-angguk.
"Mereka ini, tanpa setahu mereka dan tanpa di sengaja, malah merupakan pembantu-pembantu yang amat berharga bagiku dalam menyelidiki keadaan Handoyo. Kudapati mereka malah terus ke selatan, pergi ke Parangtritis! Yang terlihat olehku hanya lima orang kaki tangan Lukman, diantara mereka Picis dan Rawit, yang tiga lagi tukang-tukang pukul di Semarang. Lukman sendiri belum pernah aku melihatnya, hanya keterangan tentang dia aku mempunyai catatannya. Dia masih muda, orangnya pemarah, dan tangannya kidal."
Slamet dan teman-temannya mendengarkan penuh perhatian. Slamet nampak mengerutkan kening, mengelus-elus dagunya seperti biasa kalau ia banyak berpikir,
"Di Parangtritis aku mendengar tentang Pak Loka dan keponakannya, Sekarsih. Keanehan yang meliputi diri Pak Loka, apalagi tentang Sekarsih yang dikatakan keponakannya akan tetapi tidak diketahui siapa ayah-bundanya, terdengar terlalu ganjil dan janggal. Masa penduduk daerah ini tidak ada yang mengetahui siapa ayah-bundanya Sekarsih? Timbul dugaanku bahwa..."
"Sekarsih anak Handoyo!"
Sambung Bejo. Pak Wibowo mengangguk-angguk.
"Akan tetapi sukar dicari buktinya dan tidak meyakinkan. Pak Loka agaknya menyimpan rapat-rapat rahasia ini. Setelah Lukman menyuruh anak buahnya mengganggu Sekarsih, baru aku tertarik sekali dan mengira bahwa tentu Lukman mempunyai dugaan yang sama. Malah aku kuatir kalau-kalau di dahului oleh penjahat intelek itu. Maka aku lalu memasuki rumah Pak Loka sebagai pencuri dan berhasil mendapatkan buku "Sepanjang Jalan Raya"
Dimana terdapat tulisan-tulisan Handoyo!"
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah..., dan kami mengira Bapak seorang penjahat,"
Kata Slamet.
"Dan telah memasuki kamar Bapak sebagai pencuri-pencuri..."
Kata Rebo. Pak Wibowo tersenyum.
"Sebaliknya, akupun tadinya menyangka bahwa kalian termasuk anak buah Lukman, penjahat kidal yang cerdik itu."
Mereka tertawa. Hanya Slamet yang tidak tertawa, mukanya pucat.
"Dua kali Bapak menjebut Lukman penjahat kidal. Dia muda dan... kidal?"
"Betul, mengapa?"
"Sutejo... pemuda itu... biarpun tidak pemarah... akan tetapi"
Ketika menggunting kukunya kemarin... dia menggunakan tangan kiri..."
"Betul!"
Bejo juga nenjadi pucat dan merasa bulu tengkuknya meremang.
"Dan dia mengajak pergi Sekarsih, katanya hendak lapor pada polisi atau Pak Lurah..."
"Betulkah...??"
Mata Pak Wibowo terbelalak lebar, kemudian ia menepuk kepalanya sendiri.
"Ah, betapa bodohku! Bisa jadi dia"
Ah, kenapa hal begini mudah sampai tak teringat olehku? Celaka..."
Dia meloncat berdiri, nampaknya bingung sekali, berpikir-pikir.
"Begini saja,"
Dia memegang tangan Slamet. esat sekali.
"Kau dan teman-temanmu bantulah aku. Kau membawa pistol, bukan? Nah, lekas kalian bertiga sekarang juga mengejarnya. Aku sudah menjelidiki tempat yang dijadikan sarang mereka. Di Becici. Pernah kesana?"
"Tentu saja pernah, pak. Kami pernah mancing disana, sebelah timur Guwolangse, bukan? Dekat Celengtibo."
"Betul, betul. Tentu Sekarsih dibawanya kesana. Ah...!"
Ia menempiling lagi kepalanya sendiri.
"Sekarang tahu aku mengapa mereka menculik Penghulu kesana. Bedebah, cerdik betul si Lukman. Dia hendak memaksa Penghulu mengawinkan dia dengan Sekarsih, dengan begitu warisan akan terjatuh ketangannya... hemmm. Kalian hati-hati. Sedikitnya Lukman berada dengan tiga orang kaki tangannya disana. Mereka berbahaya sekali. Kalian jangan tergesa-gesa bertindak, bisa berbahaya. Aku akan lari mencari bala bantuan ke Kretek."
"Lari saja, pak? Ah, akan lama sekali dan terlambat. Lebih baik menggunakan mobil mereka itu,"
Kata Bejo.
"Tadi kucabuti kabelnya, akan tetapi sebentar saja dapat kupasang lagi dan dapat dipakai."
"Bagus!! Kalian benar-benar tiga orang detektip yang hebat. rLp, kau temani aku mencari bala bantuan. Mas Slamet dan Mas Rebo harus hati-hari, kejarlah Lukman ke Becici."
Tergesa-gesa mereka berpisahan dan melaku kan tugas masing-masing. Bejo dan Pak Wibowo Cepat berlari-lari ke pantai dimana mobil tadi masih berdiri. Rawit dan Picis tidak kelihatan disana. Setelah membetulkan kabel-kabel yang tadi ia preteli, malah kabel bushinya ada yang ia cabut dan kantongi, Bejo dan Pak Wibowo membalapkan mobil pergi mencari bala bantuan. Sementara itu, Slamet dan Rebo berlari-lari menuju ke Becici. Slamet gesit dan Cepat sekali larinya, hanya kasihan Rebo. Dengkulnya lututnya yang sudah gapuk itu tak dapat dibawa lari cepat.
Sebentar-sebentar ia mengeluh, terpaksa Slamet menantinya dan kadang-kadang menariknya. Perjalanan dari pantai ke Becici bukan lah perjalanan ringan atau dekat. Memakan waktu hampir tiga jam, itupun dengan perjalanan yang amat payah. Mendaki dan menuruni bukit-bukit batu karang yang sukar. Tak jauh dari Becici mereka melihat Picis dan Rawit berjalan terbongkok-bongkok. Dari jauh saja mereka sudah mengenal dua orang penjahat itu, dari pakaiannya dan dari topinya. Mereka bertopi Vilt. Seorang diantara penjahat-penjahat itu selalu memegangi telinganya hingga mudah diketahui siapa Picis siapa Rawit. Yang terluka telinganya oleh pancing Rebo, dia itulah Picis.
"Angkat tangan!"
Picis dan Rawit kaget setengah mati ketika menengok dan melihat Slamet menodongkan pistolnya dan Rebo mengayun-ayun pancingnya. Pancing itu dalam pandang mata Picis lebih mengerikan daripada pistol ditangan Slamet. Senjata makan tuan. Pistol mereka sekarang menodong dada mereka sendiri.
"Bo, kau lepas baju mereka, dan topinya."
Slamet yang mendapatkan sebuah akal baik segera menjuruh temannya bergerak. Dengan kasar Rebo menanggalkan baju mereka, mengambil topi mereka, malah segera mengikat kedua tangan kaki mereka dengan sapu tangan dan kaos sport mereka sendiri. Lalu kedua sekawan ini menggusur tubuh Rawit dan Picis, diseret kebawah rumpun alang-alang dan disumpal mulut mereka dengan sapu tangan dan daun-daun.
"Untuk apa topi dan pakaian ini?"
Tanya Rebo.
"Bodoh. Pakai!"
Slamet memakai jaket Rawit dan memakai topi.
Rebo mengerti akan akal temannya. Mereka menyamar sebagai dua orang kaki tangan penjahat itu agar kalau merayap turun di Becici dan kelihatan dari bawah, akan disangka teman-teman sendiri oleh para penjahat di bawah. Cepat keduanya melanjutkan perjalanan. Dengan amat hati-hati mereka menuruni tebing Becici, melalui "jalan monyet"
Yang biarpun tidak sedalam Guwolangse, namun lebih berbahaya lagi. Licin dan sukar, karena tidak seperti Guwolangse, daerah Becici ini tak pernah atau jarang sekali didatangi orang, kecuali pengail-pengail yang berani dan pencari-pencari rumput laut.
Mula-mula mereka kecewa dan juga heran melihat Becici sunyi saja, seakan-akan tidak ada orangnya di bawah. Akan tetapi setelah dekat mereka melihat asap mengebut, hanya sedikit, agaknya asap rokok. Malah tiba-tiba terdengar jerit wanita. Tak salah lagi, tentu Sekarsih! Hati mereka berdebar tegang dan dengan lebih hati-hati mereka merajap terus turun, lalu menyelinap dibelakang batu-batu karang yang banyak terdapat di situ, merayap terus mendekati sekumpulan bukit karang yang merupakan gua-gua liar. Didalam sebuah gua terdengar suara Sekarsih, terisak-isak :
"Jangan... jangan memukuli paman Loka...!"
Terdengar suara ketawa menyeramkan, suara ketawa yang tinggi mengejek.
"Ha-ha-ha, Pak Loka. Masih kau berkeras kepala? Hayo katakan tentang Handoyo."
"Aku tidak tahu""
Terdengar suara Pak Loka lemah.
"Dahulu aku menolong seorang bayi dari sungai. Dia hanyut. Dialah Sekarsih."
"Dan buku catatan?"
"Tidak tahu"
Tidak tahu..."
"Buk! Buk!"
Dua kali terdengar suara gebukan diiringi rintihan Pak Loka dan jeritan Sekarsih.
"Buku itu dicuri orang. Akan tetapi kau tentu sudah tahu akan isinya. Bukankah Sekarsih puteri Pak Handoyo? Hayo mengaku. Dan kau harus menyetujui Sekarsih menjadi isteriku, disahkan di sini juga oleh Pak Penghulu."
Slamet dan Rebo berdebar. Itulah suara Sutejo. Akan tetapi alangkah beda nada suaranya. Sutejo yang mereka kenal adalah seorang yang bicara sopan santun dan halus. Yang ini kasar dan pemarah. Lukman kah dia?
"Bo,"
Slamet berbisik.
"kau menyelinap dari sana, memutar. Jaga dan lindungi aku. Aku akan menyelinap dari belakang. Awas."
Keduanya berpisah, berpencar. Slamet merajap seperti monyet memasuki lubang gua dari belakang yang merupakan celah batu karang yang runcing dan tajam. Sementara itu siksaan atas diri Pak Loka berjalan terus karena orang tua ini masih belum mau men Ceritakan hal yang ia sangkal mengetahuinya. Malah ia menolak pula untuk mengijinkan Sekarsih dinikah seCara paksa oleh Sutejo.
Sekarsih menangis dan berusaha melarikan diri, akan tetapi gua yang merupakan terowongan itu amat terjal, pula disitu terdapat tiga orang teman Sutejo yang menjaga dengan senjata api di tangan. Ia hanya bisa lari kesana-kemari dalam terowongan batu karang yang panjang itu sambil menangis. Tiba-tiba dari atas meloncat turun seorang laki-laki. Sekarsih kaget sekali karena melihat orang itu berpakaian seperti anak buah Sutejo, akan tetapi muka orang itu ditutup saputangan. Selagi ia hendak menjerit, orang itu membuka sapu tangannya dan dapat dibayangkan betapa girang hati Sekarsih ketika mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Slamet!
"Ssttt."
Slamet mencegah ia membuka suara.
"Dimana Pak Loka?"
Bisiknya sambil menutupkan kembali sapu tangannya.
"Disana"
Didalam gua itu..."
Bisik Sekarsih sambil menuding dengan telunjuknya. Slamet melangkah maju dengan perlahan dan hati-hati, pistolnya siap di tangan kanan. Sekarsih mengikutinya, cemas sekali karena takut kalau-kalau Slamet tak akan menang menghadapi empat orang lawan! Slamet berindap-indap maju, menyelinap berlindung kepada batu-batu karang. Dilihatnya seorang kaki tangan penjahat menjaga di luar gua dengan senapan tergantung dipundaknya. Ia tak dapat menanti lebih lama, tak dapat memenuhi pesan Pak Wibowo supaya menanti datangnya bala bantuan. Pak Loka dipukuli dan keadaan Sekarsih dalam bahaya. Ia harus berani berlaku nekat.
"Angkat tangan!"
Bentaknya kepada penjaga yang bertopi itu. Penjahat itu kaget. Rokok dan korek api nya yang sedang dipakai menyalakan rokok jatuh dari tangannya. Ia cepat meraba senapannya, dan sejenak bingung karena melihat orang berpakaian seperti kawannya. Ia mengenal jaket dan topi Rawit.
(IMAGE)
"Wit. Jangan main gila!"
Serunya akan tetapi segera ia mengenal bahwa orang berkedok sapu tangan itu bukan Rawit temannya. Cepat ia menyambar senapan di pundak. Akan tetapi Slamet yang sudah menodongnya tentu saja lebih cepat.
"Dar!"
Pistolnya memuntahkan api dan orang itu roboh terguling, pundaknya berdarah tertembus peluru. Dari dalam gua terdengar ledakan dan peluru berdesingan didekat Slamet.
"Tiarap...!"
Slamet menarik tangan Sekarsih dan keduanya bertiarap dibelakang sebuah batu karang besar. Sunyi sejenak, kedua fihak saling mengintai.
"Lukman...! Kau sudah dikepung. Menyerahlah!"
Slamet berseru menggertak. Tidak ada jawaban manusia dan tiba-tiba terdengar berondongan senjata dari dalam. Batu dihujani peluru pecah-pecah mengeluarkan bunga-api. Slamet balas menembak. Tiba-tiba Sekarsih menjerit karena dari belakang tiba-tiba muncul seorang kaki tangan penjahat dengan pistol ditangan. Pistol sudah diangkat hendak ditembakkan kearah Slamet.
Akan tetapi tiba-tiba orang itu menjerit kesakitan. Tangannya yang memegang pistol tahu-tahu kena "dipancing"
Oleh Rebo dari belakang. Pistolnya terlepas dan orang itu berjingkrak kesakitan karena pancing terus ditarik oleh Rebo dari tempat sembunyinya. Orang itu akhirnya jatuh bergulingan. Sementara itu dari dalam gua terus terdengar tembakan. Slamet membalas kearah gua. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia menembak untuk keempat kalinya, pistolnya hanya berbunji "klik"
Dan tidak ada pelurunya lagi! Celaka, pikirnya. Bodoh sekali. Kenapa tidak diperiksanya dulu pistol rampasan itu? Kiranya hanya tiga buah pelurunya!
Para penjahat didalam gua agaknya tahu akan hal ini dan dari dalam gua itu berloncatan keluar dua orang. Sutejo dan seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap. Slamet diserbu dan terjadilah perkelahian hebat didalam gua. Sementara itu, Rebo menyumpah-nyumpah. Orang yang dipancing tadi berhasil melepaskan pancing yang mengait tangannya dan kini terjadi pergumulan. Karena dengkulnya yang gapuk itu tertumbuk batu, Rebo kalah dan kini ditunggangi lawannya. Adapun Slamet sendiri, payah melawan dua orang lawannya, sudah beberapakali ia kena hantam dan mulutnya berdarah. Sekarsih sudah ketakutan setengah mati.
"Ha-ha-ha, tukang-tukang pancing sialan! Sekarang kalian akan kulempar kelaut, kujadikan umpan untuk ikan-ikan hiu!"
Terdengar Sutejo berkata sambil menghujankan pukulan-pukulan keras kearah tubuh Slamet yang sudah terhujung-hujung mepet dinding karang.
"Bedebah!"
Tiba-tiba terdengar makian dan Bejo muncul, meloncat dan menyerbu ke dalam pertempuran. Pukulannya yang keras dan ampuh mendapat makanan. Sutejo kena ditonjok dadanya terjengkang.
"Angkat tangan!"
Sutejo berseru dan mengacungkan pistolnya kearah Slamet dan Bejo. Juga temannya mencabut pistol. Terpaksa Slamet dan Bejo mengangkat tangan.
Tiba-tiba terdengar letusan-letusan dari luar dan Sutejo roboh bersama temannya. Disebelah belakang gua, Rebo memukuli lawannya karena sekarang ia mendapat bantuan dua orang bala bantuan yang didatangkan oleh Pak Wibowo. Kini ia dapat membalas sepuas hatinya, memukuli muka lawannya untuk membalas ketika ia dipukuli tadi, malah diberikuti bunga-bunganya. Sutejo alias Lukman diringkus berikut tiga orang kaki tangannya. Mereka digusur pergi. Pak Loka ditolong, juga Penghulu yang sudah bergementaran saking takutnya. Sekarsih menangis pernah kebahagiaan, terlepas daripada bencana yang hebat.
Di rumah Pak Loka mereka berkumpul. Pak Wibowo, Slamet, Rebo, Bejo, Pak Siswo pemilik warung yang dipondoki Pak Wibowo dari selama ini diam-diam membantu Pak Wibowo menjadi penjelidik, dan Pak Madi. Pak Wibowo dengan lega duduk mengisap rokok dikelilingi semua orang yang mendengarkan penjelasan-penjelasannya.
"Karena tidak ingin didahului Lukman, aku mencuri kitab ini,"
Ia memperlihatkan buku "Sepanjang Jalan Raya yang tulen.
"Karena kukira tiga saudara pengail ini kaki tangan Lukman, maka sengaja kuganti kitab dengan yang palsu. Didalam kitab ini aku mendapat bukti bahwa memang betul Sekarsih ini anak tunggal Handoyo karena disini terdapat tulisan Handoyo yang merupakan catatan ketika ia melarikan diri dari serangan Belanda di Jogja. Malah nama Pujowaluyo disebut-sebut. Maka sudah sah Sekarsih menjadi ahli waris Pujowaluyo di Semarang. Aku sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Lukman secara cerdik sekali menyamar sebagai Sutejo dengan maksud untuk mendekati Sekarsih. Memang dia pintar sekali. Baru setelah mas Slamet melihat ia menggunakan gunting dengan tangan kiri, aku menduga bahwa dialah Lukman."
Ia berhenti sebentar untuk menghirup teh kental yang dihidangkan oleh Sekarsih.
"Tentu saja begitu mendapatkan kitab ini, selesai tugasku menjelidiki ahli waris Pujowaluyo dan dapat kuajak Sekarsih ke Semarang menerima haknya. Akan tetapi, teringat akan Lukman aku sengaja hendak mempergunakan Sekarsih dan urusan ini untuk menjadi umpan, untuk dapat menangkap penjahat berbahaya dan licin itu."
"Akan tetapi, pak,"
Tanya Slamet.
"kalau Lukman ingin menculik Sekarsih, kenapa ia mengguna kan segala macam akal itu?"
"Dia cerdik. Dia tidak mau bertindak sebelum yakin bahwa Sekarsih memang ahli waris yang dicari-cari itu. Maka ia mula-mula menyuruh kaki tangannya menculik, akan tetapi usaha ini gagal karena kegagahan saudara bertiga. Pertama-tama gagal karena aku sengaja menghalangi ketika Sekarsih diganggu dipantai, kedua kalinya gagal karena pertolongan saudara bertiga. Lalu Lukman mendengar tentang kitab itu, maka ia menjadi penasaran. Hendak dipaksanya Pak Loka mengaku pada malam itu dengan menakut-nakuti dan memukulinya..."
"Ah, jadi Lukman pula yang melakukan hal itu?"
Tanya Rebo.
"Lukman atau Sutejo. Didalam gelap ia dapat melakukan itu tanpa dikenal oleh Pak Loka. Ketika ia mendengar dari mas Rebo bahwa Pak Kurdo mungkin seorang polisi, dia ketakutan dan tidak mau menggunakan akal lagi, melainkan hendak mengguna kan kekerasan. Maka ia sengaja mengajak pergi Sekarsih yang lalu diculiknya dan dipaksa ikut ke Becici. Kaki tangannya menculik Pak Loka dan seorang Penghulu. Kalau mereka sudah menikah dengan sah, otomatis harta pusaka itu akan terjatuh ke tangannya."
"Keji sekali!"
Bejo berkata.
"Sebetulnya, apakah yang terjadi atas diri Pak Handoyo, ayah Sekarsih?"
"Ketika Handoyo bersama isteri dan anaknya menyeberang sungai di Kretek, rakit yang ditumpanginya terguling dan hanjut. Handoyo bersama isterinya lenyap akan tetapi anaknya secara kebetulan dapat ditolong oleh Pak Loka dan selanjutnya dipelihara sebagai keponakannya, yaitu Sekarsih inilah."
"Saja masih penasaran, pak. Apakah sebetulnya catatan yang terdapat dalam kitab itu?"
Tanya Rebo. Pak Wibowo tertawa.
"Kalian bacalah sendiri."
Sambil memberikan kitab tua itu. Setelah mereka membuka halaman paling akhir, disebelah dalam sampulnya ternyata terdapat tulisan tangan yang sudah agak kabur karena kitab inipun tadinya hanjut dan kebetulan ditemukan oleh Pak Loka didekat anak yang hanjut itu. Bunjinya demikian:
Terpaksa lari mengungsi keselatan bersama Darmi dan Sekarsih. Kasihan Sekarsih, anak yang belum tahu apa-apa ini, dalam usia satu tahun harus dibawa berlari-lari mengungsi. Celakanya, kangmas Pujo menjadi penghianat, tunduk kepada Belanda, mau dijadikan kaki tangannya. Bagiku, lebih baik mati daripada taluk kepada penjajah Belanda!
Tulisan itu memang singkat saja, merupakan pencetusan hati yang marah dan berduka, akan tetapi kini menjadi bukti yang amat penting bahwa Sekarsih memanglah anak Handoyo dan karenanya ahli waris Pujowaluyo! Tak salah lagi, nama nyonya Handoyo adalah Darmi, ibu Sekarsih, anak yang semenjak berusia setahun berpisah dari ayah-bundanya itu. Sampai jauh malam mereka bercakap-cakap dan Pak Wibowo menjelaskan segala hal yang tadinya masih merupakan rahasia. Ia menambahkan bahwa baiknya kebetulan sakali disitu terdapat tiga orang pengail ini, yang dalam urusan ini merupakan bala bantuan yang amat berharga.
"Kalau tidak ada kalian bertiga, ketika aku dirobohkan dan dilukai oleh para penjahat itu di pantai, kiranya Sekarsih sudah diculik naik mobil dan dilarikan entah kemana."
"Yang amat kuherankan Sutejo... eh, Lukman itulah. Kelihatannya begitu sungguh-sungguh ia menjadi pertapa muda yang patah-hati. Begitu sopan, begitu halus... malah... ehemm... ehemm... tadinya kusangka Sekarsih malah tertarik pula kepadanya."
Merah wajah dara itu.
"Tertarik sih masih jauh, mas Slamet. Hanya, siapa orangnya tidak kasihan melihat seorang pemuda terlunta-lunta sampai pingsan di Guwolangse? Siapa kira semua itu sandiwara belaka..."
Setengah tahun kemudian, Slamet, Rebo, dan Bejo diundang untuk menghadiri dan merestui sebuah pesta pernikahan. Sekarsih menjadi pengantin di rumah... Pak Wibowo di Semarang! Harap para pembaca jangan keliru menyangka, bukan... bukan Pak Wibowo yang mempersunting kembang pantai Segoro Kidul itu. Pak Wibowo hanya menjadi... ayah-mertuanya. Sekarsih menikah dengan putera tunggal Pak Wibowo, Insinyur Gunawan. Yang menjadikan kegembiraan Slamet, Bejo, dan Rebo adalah ketika mereka menjerahkan sumbangan-sumbangan sekadarnya, mereka menerima... hadiah balasan dari mempelai puteri yang ketika mereka buka ternyata berisi... alat-alat pancing yang bagus buatan Luar negeri!
Tentu pembaca timbul dugaan bahwa Pak Wibowo curang, mengambil mantu seorang ahli waris yang kaya raya? Keliru. Biarpun semenjak kecil hidup di pantai dan miskin, Sekarsih tidak mau menerima warisan itu, malah menyerahkan semuanya ke Badan-Badan Sosial. Apa sebabnya? Bukan lain karena catatan ayahnya itulah. Ia tidak mau menerima warisan dari seorang yang telah menjadi penghianat bangsa, biar orang itu pamannya sekalipun. Pak Wibowo menyayogiakan sangat keputusan ini karena menurut penyelidikan nya, harta benda yang dikumpulkan oleh mendiang Pujowaluyo itu pun didapat dari jalan yang tidak halal, dari korupsi dan main jatah T. S. T.
Sampai cerita ini ditutup, Slamet, Bejo dan Rebo masih menjadi orang-orang yang hobbynya mengail di Guwolangse. Banyak sekali kemungkinan pembaca yang berani menuruni jalan monyet ke Guwolangse, akan bertemu dengan mereka yang tentu akan dapat menceritakan kisah diatas lebih jelas dan lebih ramai lagi.
Surakarta, Awal Mei 1966.
TAMAT
PERNYATAAN
File ini adalah sebuah hasil dari usaha untuk melestarikan buku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di pasaran, dari kemusnahan. Karya tersebut di scan untuk dialih media kan menjadi file digital.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial dari karya yang dilestarikan ini.
Sekarsih Dara Segara Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kami tidak bertanggung jawab atas tindakan pihak lain yang menyalahgunakan file ini diluar dari apa yang kami nyatakan pada paragraf diatas.
CREDIT
CerSil KhoPingHoo
Penerbit : CV. GEMA - Solo
Pelukis : Sriwijono
Sumber Image : Gunawan Aj
Kontributor : Yon Setiono
Konversi Image ke Text : D.A.S
Edit ke DOC, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Cetakan Pertama, Sala 1966
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo