Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 3


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Dengan menggandeng tangan kedua isterinya yang kusut pakaian dan rambutnya, pucat mukanya namun wajah dan sinar mata mereka menyorotkan kemesraan, Ronggo Lawe lalu menuju ke kamar mandi. Dengan bantuan dua orang isterinya, dia mandi keramas lalu mengenakan pakaian keprajuritan yang sederhana sekali, tubuh aatasnya hanya terhias pelindung pergelangan tangan, gelang perak di pangkal lengan, baju penutup dada, dan ikat pinggang emas melingkar di pinggang. Celana abu-abu mencapai bawah lutut, tertutup kain yang dilipat pendek di atas lutut, dengan ujung diwiru berjuntai ke depan. Kepalanya hanya terhias ikat kepala yang kecil saja, terbuat dari emas dan perak terukir, sehelai tali yang mengikat hiasan tanda pangkat sebagai adipati, merupakan permainan yang bermata mirah tergantung di leher. Kyai Kolonadah, keris luk lima yang biasa dipakai dalam perang, terselip di pinggangnya.

   Dengan wajah bercahaya dan sikap yang gagah sekali, Ronggo Lawe memeluk dan mencium bibir isterinya yang kini telah tenang dan pasrah itu, Tirtawati dan Martaraga, bergantian, dibalas denagn penuh kemesraan oleh mereka, kemudian adipati ini memondong puteranya yang dibawa masuk.

   Tiba-tiba Kuda Anjampiani menangis, membuat ayahanya dan kedua orang ibunya terkejut dan terharu. Diam-diam Ronggo Lawe makin yakin bahwa sesuatu pasti akan menimpa dirinya dan dia merasa bangga bahwa puteranya ini memiliki kepekaan halus.

   "Hishh, anak yang gagah kenapa menangis?"

   Ronggo Lawe berkata sambil mencium dahi puteranya.

   "Rama jangan pergi meninggalkan saya,"

   Anak itu berkata.

   "Rama akan pergi ke Mojopahit, jangan menangis nanti akan rama belikan kereta kencana dan kuda sembrani."

   Anak itu berhenti menangis dan memandang ayahnya denagn sepasang matanya yang bening dan tajam.

   "Kuda sembrani yang pandai terbang, rama? Rama naik kereta kencana dan diterbangkan oeh kuda sembrani?"

   Ucapan anak-anak itu makin mengandung arti, maka Ronggo Lawe hanya mengangguk-angguk saja, menyerahkan anak itu kepada Tirtawati, kemudian dia berkata.

   "Selamat tinggal, aku berangkat!"

   Sorak-sorai menggegap gempita menyambut kemenangan tentara Tuban yang terus dipimpin oleh Ronggo Lawe, melakukan pengejaran ke selatan. Sisa pasukan Mojopahit melarikan diri ke selatan. Ronggo Lawe yang merasa kecewa bahwa dia hanya dapat membunuh kuda tunggangan Nambi,

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   berteriak keras memberi aba-aba untuk mengejar terus dan dia sendiri dengan kuda Mego Lamat melakukan pengejaran terdepan! Para perajurit Mojopahit yang berada di bagian terbelakang, tersusul dan mengamuklah Ronggo Lawe dengan kerisnya yang mengeluarkan sinar kemenangan. Sepak terjangnya menggiriskan dan sisa pasukan Mojopahit mempercepat larinya, membawa kekalahan besar dan Nambi berada bersama mereka, bahkan menggunakan kuda terbaik untuk mendahului lari ke Mojopahit untuk melaporkan kekalahannya.

   Sisa pasukan Mojopahit melintas Sungai Tambakberas. Ketika pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Ronggo Lawe tiba di tepi sungai itu dan hendak melanjutkan pengejarannya, dia ditahan oleh para pembantunya, termasuk Panewu Progodigdoyo yang merupakan pambantu utamanya.

   "Jangan, kakang adipati, jangan mengejar ke seberang. Di seberang adalah daerah Mojopahit, jangan sampai kita terjebak di sana. Mojopahit belum mengerahkan semua kekuatan tentaranya, dan tak lama lagi si Nambi tentu akan mendatangkan bantuan yang lebih kuat. Sedangkan pasukan kita sudah lelah, pula harus disusun kembali karena sudah berkurang jumlahnya."

   Ronggo Lawe yang merasa kecewa belum dapat membunuh Nambi, mklum bahwa nasihat ini memang tepat, maka dia mengurungkan niatnya untuk melakuan pengejaran terus. Sebaliknya, Ronggo Lawe lalu mengumpulkan semua kekuatan dan sisa-sisa prajurit Tuban, kemudian memerintahkan para pembantunya untuk memperkuat pasukan dengan menerima pasukan-pasukan suka rela yang berdatangan dari seluruh Tuban, yaitu rakyat jelata yang setelah mendengar bahwa Tuban diserbu tentara Mojopahit lalu menawarkan diri untuk menjadi prajurit dan membantu sang adipati yang mereka hormati dan kagumi. Dalam waktu dua hari saja, hampir selaksa orang dapat dikumpulkan dan secara kilat mereka ini digembleng olah keprajuritan. Di antara mereka terdapat pula orang-orang sakti yang baru turun dari pertapaan untuk mendarmabaktikan kepandaian mereka kepada Kadipaten Tuban.

   Sementara itu, sang prabu di Mojopahit tadinya bergembira mendengar berita kemenangan bala tentara Mojopahit yang berhasil mencerai-beraikan dan menumpas sebagian besar para simpatisan Ronggo Lawe dari daerah Mojopahit yang hendak menyeberang ke Tuban. Akan tetapi pada hari berikutnya, beliau terkejut bukan main mendengar berita tentang Nambi. Tak lama kemudian Nambi sendiri denagn pakaian kusut, muka pucat, napas terengah-engah, menjatuhkan diri berlutut di depannya dan dengan suara terputus-putus melaporkan kekalahan bala tentara yang dipimpinnya.

   "Jumlah pasukan si pemberontak itu jauh lebih besar, gusti,"

   Demikian antara lain Patih Nambi melapor.

   "Pasukan-pasukan kita dihancurkan dan cerai-berai, sebagian melarikan diri mencari keselamatan menyusup ke dusun-dusun dan ke gunung-gunung, dikejar-kejar oelh pasukan Tuban yang kejam dan ganas. Kuda hamba tewas ditusuk si Ronggo Lawe yang curang. Tadinya dia sudah terdesak oleh hamba, akan tetapi dengan liciknya dia menyerang Brahma Cikur dan membunuhnya sehingga hamba terpelanting. Untung hamba masih dapat menyelamatkan diri dari di antara pasukan."

   Bukan main marahnya hati sang prabu mendengar pelaporan ini.

   "Hemm... Kakang Ronggo Lawe benar-benar telah memberontak! Para senopati, siapkan bala tentara! Sekarang juga aku sendiri akan memimpin pasukan besar untuk menggempur Tuban dan menangkap kakang Ronggo Lawe!"

   Saking marahnya, sang prabu sampai turun dari kursi kencana dan bertolak pinggang, muknya merah, matanya berapi-api.

   Lembu Sora dan Kebo Anabrang cepat menyembah dan menghibur hati sang prabu yang seang marah itu.

   "ampun, kanjeng gusti, harap pasuka bersabaran tidak melanjutkan kemarahan paduka, karena kemarahan dapat mengurangi kewaspadaan. Perbuatan Ronggo Lawe memang harus dihukum, akan tetapi tidak sekarang karena pasukan-pasukan kita masih lelah."

   Demikian Lembu Sora dengan suara tenang memperingatkan junjungannya.

   "Apa yang dikatakan oleh paman Lembu Sora memang tepat, gusti sinuwun,"

   Kata pula Kebo Anabrang yang juga menjadi merah telinganya karena marah mendengar perlawanan Ronggo Lawe yang menghancurkan pasukan Mojopahit.

   "Kekuatan Mojopahit harus dipulihkan lebih dulu dan sebelum paduka turun tangan, sebaiknya diselidiki dulu sampai di mana kekuatan musuh. Si Ronggo Lawe bukanlah anak kemarin, melainkan seorang senopati yang sudah gemblengan, maka haruslah dihadapi denagn hati-hati pula, karena kalau hanya sembrono menurutkan kemarahan, jangan-jangan akan menggagalkan penyerbuan seperti yang telah dilakukan oleh Ki Patih Nambi."

   Dalam ucapan ini sedikit banyak Kebo Anabrang juga menegur Nambi yang tadinya begitu sombong akan tetapi ternyata mengalami kegagalan sehingga merusak kekuatan Mojopahit dan kekalahan itu merendahkan nama besar Mojopahit sendiri. Patih Nambi hanya mendengarkan dengan kepala tunduk.

   Akhirnya sang prabu dapat terbujuk oleh dua orang senopati besar dan kemarahannya mereda. Lalu diperintahkannya beberapa senopati dan perwira Mojopahit untuk mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan selaksa orang prajurit yang pilihan dalam waktu tiga hari.

   Setelah memperoleh berita dari penyelidikan mata-mata akan kekuatan pasukan Tuban, sang prabu sendiri memimpin selaksa orang pasukan prajurit ojopahit yang pilihan, kemudian dengan dikawal oleh para senopatinya, sang prabu menggerakkan barisan Mojopahit ke utara, menyeberangi sungai Tambakberas. Dari sebuah bukit kecil di seberang sungai, sang prabu memeriksa keadaan dan dari tempat tinggi itu dia melihat pasukan-pasukan Tuban yang teratur rapi bergerak dari utara dan dari jauh itu sang prabu melihat seorang penunggang kuda yang dengan gagah perkasa menjalankan kudanya di depan barisan.

   Seorang senopati yang amat gagah, yang dari jauh nampak cahaya bersinar di atas kepalanya, dan tahulah sang prabu bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Ronggo Lawe sendiri. Trenyuhlah hati beliau, merasa nelangsa mengapa senopatinya yang paling setia itu, yang gagah perkasa dan yang sudah banyak jasanya, bahkan yang berjasa pula membantu dia menjadi raja, kini mengerahkan betapa sepasang matanya menjadi panas dan dua titik air mata mengancam untuk membasahi matanya. Maka beliau lalu menunduk, menarik napas panjang. Mengapa harus ada perang seperti ini? Mengapa kehidupan manusia selalu penuh dengan permusuhan?

   Setelah hatinya tidak dicekam keharuan dan kedukaan lagi, sang prabu mengangkat kepala memandang. Ronggo Lawe yang menunggang kuda Nila Ambara, yang dari jauh kelihatan kehitam-hitaman, menghentikan bala tentaranya dan agknya telah siap untuk menghadapi serbuan pasukan Mojopahit. Maka teringatlah lagi sri baginda bahwa beliau sedang menghadapi barisan musuh! Dipanggilnya para senopatinya dan bersama mereka, sambil menyelidiki keadaan musuh, sang prabu menyusun siasat.

   "Sedapat mungkin hindarkan perang campuh yang akan menjatuhkan banyak korban di kedua pihak,"

   Kata sang prabu.

   "Yang menjadi biang keladi perang ini adalah Lawe, maka cukuplah kalau dapat menawannya hidup atau mati. Kalau dia dapat ditundukkan, tentu perang dapat dihentikan."

   "Demikian, siasat lalu disusun. Lembu Sora sendiri, biarpun dia itu paman Ronggo Lawe, mendapat tugas untuk memimpin pengepungan. Ronggo Lawe akan dikepung dari tiga jurusan, yaitu Kebo Anabrang akan menyergap dari jurusan timur, Gagak Sarkoro akan bergerak dari barat, sedangkan Mayang Mekar yang mengambil jalan memutar akan muncul dari utara sebagai pasukan penyergap dari belakang. Lembu Sora sendiri akan langsung datang dari selatan, lagsung menghadapi keponakannya yang memberontak itu sambil memimpin pengepungan.

   Tak lama kemudian terdengarlah bunyi canang, terompet dan keuntungan, disusul sorak-sorai yang seolah-olah meruntuhkan langit dari kedua fihak. Perang telah dimulai!

   Siasat sri baginda yang dilaksanakan oleh Lembu Sora dan kawan-kawannya itu berhasil baik. Mereka telah dapat menceraikan pasukan inti yang dipimpin Ronggo Lawe sendiri dari pasukan lain dan yang pertama menyerbu adalah Kebo Anabrang, senopati gemblengan yang telah terkenal amat sakti itu. Senopati Kebo Anabrang terkenal sekali setelah dia behasil memimpin pasukan menyeberang ke tanah Melayu, bahkan telah berhasil memboyong puteri untuk sang prabu sehingga puteri itu kemudian menjadi isteri terkasih, yaitu Dyah Dara Petak yang kini disebut Sri Indreswari!

   "Ronggo Lawe, lebih baik engkau menyerahkan diri agar dosamu tidak begitu besar terhdap sang prabu!"

   Kebo Anabrang berteriak dengan suaranya yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kekar itu amat menggiriskan. Setiap gerakan tangan dan kaki dari atas kuda tentu merobohkan seorang perajurit, bahkan sebelum bertemu dengan Ronggo Lawe, kaki kanan Kebo Anabrang ini menendang seorang perwira yang menunggang kuda sehingga kuda dan penunggangnya terlempar dan terbanting remuk!

   Merah muka Ronggo Lawe, kumisnya yang seperti kumis Gatotkaca itu bergetar ketika dia memandang kepada Kebo Anabrang dari atas punggung Nila Ambara.

   "Babo-babo, Kebo Anabrang! Aku tidak melawan sang prabu, melainkan hendak membunuh si Nambi! Suruh dia keluar dan akan kuhirup darahnya! Kalau kau hendak membela di Nambi, berarti kau sudah bosan hidup!"

   "Manusia sombong, majulah!"

   Kebo Anabrang menantang dan mereka menggerakkan kendali kuda masing-masing. Kuda tunggangan mereka melonjak dan saling tubruk, terdengar suara nyaring berdencing ketika keris mereka saling bentur berkali-kali, mengakibatkan muncratnya bunga api. Bukan main hebatnya pertandingan anatara dua orang senopati gemblengan dari Mojopahit itu, dan sukarlah mengatalan siapa yang lebih gagah, biar pun tubuh Kebo Anabrang lebih besar daripada tbuh Ronggo Lawe. Kalau boleh dibandingkan dengan tokoh pewayangan, tubuh Kebo anabrang seperti tubuh Sang Aryo Werkudoro, sedangkan tubuh Ronggo Lawe seeprti tubuh Sang Aryo Gatotkaca. Akan tetapi tentu saja dua tokoh ayah dan anak itu tidak akan bertanding mengadu nyawa seperti yang dilakukan oleh dua orang senopati bekas kawan seperjuangan itu.

   Ronggo Lawe adalah seorang ahli menunggang kuda dan tubuhnya lebih ringan daripada Kebo Anabrang, juga kudanya Nila Ambara adalah kuda pilihan, lebih gesit daripada kuda Mego Lamat. kudanya yang dipergunakan ketika melawan Nambi kemarin dulu. Karena tubuhnya lebih ringan, maka kuda Nila Ambara jauh lebih gesit gerakannya sehingag akhirnya keris di tangan Ronggo Lawe, yaitu keris pusaka berluk lima Kyai Kolonadah berhasil menggores moncong kuda yang ditunggangi Kebo Anabrang. Kuda itu meringik dan berdiri di atas kedua kaki, berloncatan sehingga turun.

   "Keparat".!"

   Bentaknya dan dengan cekatan sekali seperti seekor kijang melompat, Kebo Anabrang yang sudah tidak berkuda lagi itu menubruk dengan tusukan kerisnya.

   "Cringgg"!! "

   Bunga api berpijar ketika keris di tangan Kebo Anabrang yang ber-luk tiga dan disebut Kyai Soka, bertemu dengan Kyai Kolonadah. Keduanya merasa bertapa tangan mereka tergetar hebat. Akan tetapi kemudian terpaksa Kebo Anabrang harus meloncat ke belakang dan menjatuhkan diri karena tanpa kuda, dia akan berada dalam keadaan berbahaya.

   "Heh, Kebo Anabrang, pengecut kau kalau melarikan diri!!"

   Ronggo Lawe menantang dan mengajukan kudanya untuk mengejar.

   Dua perwira bawahan Kebo Anabrang yang melihat atasannaya dalam bahaya, cepat meloncat maju dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dan menyerang Ronggo Lawe dari kanan kiri dengan tusukan tombak mereka. Secepat kilat, Ronggo Lawe menyarungkan kerisnya, kemudian dengan tubuh ditarik ke belakang, dia menggerakkan kedua tangan menangkap tombak yang meluncur dari kanan kiri itu, terus ditariknya dengan pengerahan tenaga dan kakinya meneprak kuda. Dua orang perwira itu memekik dan terguling roboh, kemudian disusul pekik mereka yang menyayat hati ketika kuda Nila Ambara yang mengangkat kaki depannya itu menurunkan kaki depan dengan keras, menginjak kepala dua orang perwira sehingga pecah-pecah dan mereka tewas seketika!

   Bukan main marahnya hati Kebo Anabrang menyaksikan hal ini.

   "Heh, ronggo Lawe, kalau memang engkau jantan, turunlah dari kudamu dan mari kita mencari tempat sepi untuk mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang secara ksatria. Tentu saja kalau kau berani!"

   Ronggo Lawe adalah seorang senopati perang, akan tetapi juga seorang ksatria, seorang pendekar yang tentu saja pantang mundur, apalagi ditantang seperti itu oleh Kebo Anabrang.

   "Babo-babo, keparat, siapa takut padamu?"

   Ronggo Lawe membentak dan meloncat turun dari kudanya, kemudian mengejar turun dari kudanya, kemudian mengejar Kebo Anabrang yang sengaja lari mencari tempat yang agak lega. Akhirnya mereka tiba di Sungai Tambakberas yang pada waktu itu airnya agak surut sehingga nampaklah batu-batu besar, sebesar kerbau menjerum (mendekam dalam air).

   Kebo Anabrang adalah seorang yang ahli dalam air. Dia maklum betapa tanguhnya Ronggo Lawe, apalagi di atas kuda. Maka dia tadi memancing Ronggo Lawe untuk turun dari kuda dan kini dia sengaja memilih tempat di sungai itu. Bukan percuma saja Kebo Anabrang mengalami banyak hal ketika dia menyeberang ke tanah Melayu dan kini dia mempergunakan pengalamannya itu untuk mencari akal agar unggul dalam pertandingan menghadapi lawan yang amat sakti ini. Dengan tangkas dia lalu meloncat ke atas batu-batu itu, biar pun tubuhnya tinggi besar namun gerakannya tangkas seperti seekor kijang berloncatan. Dia berhenti di tengah-tengah sungai, di atas batu kali yang hitam, licin mengkilap dan besar, lalu mencabut kerisnya, keris Kyai Soka dan menantang-nantang.

   "Hayo ke sinilah kau, Ronggo Lawe, kalau memang kau jantan. Jangan hanya berani kepada Nambi saja. Inilah Kebo Anabrang, laki-laki gemblengan yang menjadi tandinganmu dan yang akan menamatkan riwayatmu di tengah-tengah Sungai Tambakberas!"

   Tadinya Ronggo Lawe agak meragu dan ngeri karena sesungguhnya dia bukanlah seorang ahli bermain di air. Akan tetapi tantangan Kebo Anabrang memerahkan telinganya dan dia pun mencabut keris pusaka Kyai Kolonadah.

   "Si keparat Kebo Anabrang! Ronggo Lawe adalah laki-laki sejati! Tunggulah kedatanganku! Adipati ini pun lalu meloncat ke atas batu-batu itu, dengan gesitnya berloncatan menghampiri Kebo Anabrang yang sudah siap.

   "Terimalah ini!"

   Ronggo Lawe membentak, tubuhnya meloncat dengan terkaman ganas, kerisnya menusuk, tangan kirinya menampar dengan Aji Gelap Sewu yang terkenal ampuh, karena tamparan dengan aji dapat menghancurkan batu kali!

   "Bagus!"

   Kebo Anabrang membentak dan cepat dia menangkis dengan kerisnya Kyai Soka.

   "Cring".!"

   Dua pusaka bertemu dan Kyai Soka cepat digerakkan oleh Kebo Anabrang untuk menangkis tamparan tangan kiri Ronggo Lawe.

   "Plakkk!"

   Tangan kiri Ronggo Lawe bertemu dengan keris Kyai Soka, akan tetapi lecet pun tidak, bahkan Kebo Anabrang merasa betapa lengan kanannya menjadi tergetar hebat oleh hawa panas yang timbul dari Aji Gelap Sewu!

   "Wuuuutt".!"

   Kaki kiri Kebo Anabrang menendang dengan sepakan tumitnya, keras sekali dan kalau mengenai lutut Ronggo Lawe tentu akan membikin adipati itu celaka, karena sekali lututnya patah tentu dia akan kalah. Namun dengan cekatan Ronggo Lawe meloncat ke atas batu yang lain sambil mengelak.

   Mulailah mereka serang-menyerang dengan ganas, seru dan mati-matian. Keduanya sama kuat, sama cekatan, dan keris mereka pun sama ampuhnya Tusuk-menusuk, pukul-memukul, tendang-menedang mereka lakukan bergantian namun lawan tetap saja dapat menangkis, mengelak, bahkan kadang-kadang menerima pukulan dengan kekebalan kulit mereka! Hebat bukan main pertandingan antara dua orang senopati gemblengan ini. Peluh sudah bercucuran dari seluruh dari seluruh tubuh mereka. Dan kini banyak prajurit kedua fihak yang berdekatan dengan tempat itu menghentikan perang mereka, dan mereka itu berdiri di kedua tepai sungai dan bersorak-sorak memberi semangat kepada jago masing-masing! Pertandingan sehebat itu terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja, sungguhpun mereka sendiri sedang berperang campuh. Tanpa dikomando lagi, perang di sekitar tempat itu berhenti, semua lebih suka menonton!

   "Plak-plak-cringgg!"

   Kembali mereka beradu lengan dan beradu keris, akan tetapi dengan kecepatan seekor burung kepinis, Ronggo Lawe meloncat dan tangan kirinya menampar ke arah kepala Kebo Anabrang.

   "Wuuuuttt".dessss!!"

   Biar pun Kebo Anabrang sudah mengelak dengan miringkan tubuh, tetap saja tamparan itu mengenai pundaknya. Dia sudah cepat mengerahkan aji kekebalannya, akan tetapi tetap saja pundaknya terasa panas dan setengah lumpuh. Dia meloncat ke sebuah batu lain dan memandang lawannya dengan sinar mata kagum bukan main!

   Selama hidupnya sebagai seorang prajurit dan pendekar, belum pernah Kebo Anabrang menemui tandingan sehebat Ronggo Lawe ini. Dia adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, yang amat menghargai kegagahan, dan biar pun sudah lama dia menjadi kawan seperjuangan Ronggo Lawe dan banyak melihat kegagahan kawan itu, baru sekarang dia membuktikannya sendiri dan dia menjadi kagum bukan main!

   "Hemmmm".!"

   Dia menggeram, pandang matanya bersinar-sinar, peluhnya menetes-netes, diusapnya dengan tangan kirinya yang besar.

   "Hebat engkau Ronggo Lawe!"

   Ronggo Lawe yang berdiri di atas batu lain, juga mengusap peluhnya dengan tanagn kirinya dan memandang lawan dengan sinar mata berapi, penuh semangat.

   "Babo-babo, keluarkan semua kesaktianmu, Kebo Anabrang!"

   Tantangnya, kagum juga melihat betapa tamparannya dengan Aji Gelap Sewu yang mengenai pundak tadi tidak merobohkan lawannya ini.

   "Engkau memang digdaya dan kalau saja engkau mau menakluk, menghentikan perang gila ini, aku". , akulah yang akan mohon kepada sang prabu untuk pengampunan atas dirimu, kawan!"Ucapan yang mengandung kemesraan dan perlindungan ini seperti minyak menyiram api. Sepasang mata Ronggo Lawe seperti mengeluarkan api.

   "Tutup mulutmu, Kebo Anabrang! Hanya ada dua pilihan bagiku, menang membunuh Nambi atau tewas di medan yuda!"

   Kebo Anabrang menarik napas panjang.

   "Hemm, kau telah memilih mati, Ronggo Lawe. Baiklah, engkau akan mati di tanganku!"

   Kembali kebo Anabrang memandang ragu, tangan kirinya menyendok air sungai dan membasahi leher dan dadanya, dilihat oleh Ronggo Lawe yang sudah siap menerjang lagi.

   "Sambut serananku!!"

   Ronggo Lawe membentak dan dia sudah menerjang lagi, ditangkis oleh keris Kebo Anabrang. Kembali dua orang senopati gemblengan ini bertanding, lebih hebat daripada tadi malah. Batu-batu sebesar karbau tergetar, air sungai muncrat-muncrat dan ikan-ikan berkelebekan, ada yang mati karena panasnya hawa dua keris pusaka yang kadang-kadang bergulat banting-membanting di air dangkal yang hanya sampai ke lutut.

   Kebo Anabrang maklum bahwa sukarlah baginya untuk mengalahkan lawan ini, kalau tidak menggunakan akal. Maka mulailah dia berloncatan dari batu ke batu, dikejar oleh Ronggo Lawe dengan ganas, tidak tahu bahwa lawannya itu memancingnya ke bagian yang airnya dalam, lebih dari ukuran orang.

   Ketika sudah mendapat posisi baik di atas batu kali licin yang berdiri di tengah air yang dalam, kebo Anabrang menantang lagi, Ronggo Lawe meloncat, kerisnya berkilauan mengeluarkan sinar kemerahan. Kebo Anabrang menyambut, keris Kyai Soka mengeluarkan sinar berkilauan dan bertemulah keris dan orangnya di udara.

   "Cringgg"bresss".!!"

   Keduanya terjatuh, bukan di atas batu itu, melainkan jatuh di air.

   "Byuuuurrr".!!"

   Air muncrat tinggi, mereka masih bergulat, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan gugup hati Ronggo Lawe ketika kakinya terus tenggelam tidak ada tempat berpijak sampai seluruh kepalanya tenggelam! Tentu saja dia gelagapan, akan tetapi dia harus mempertahankan diri karena diserang oleh Kebo Anabrang yang pandai bermain di air itu.

   Beberapa kali Ronggo Lawe gelagapan dan menelan air. Hal ini tampak oleh Kebo Anabrang, maka cepat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan, lalu merangkulnya, memitingnya dan membawa lawan menyelam ke dalam air sampai lama!

   Para prajurit Tuban yang berdiri di tepi sungai memandang dengan mata terbelalak, mengira bahwa keduanya telah mati maka dengan marah mereka lalu menyerbu musuh dan perang terjadi kembali dengan hebatnya! Mereka tidak tahu bahwa tak lama kemudian, tampak Kebo Anabrang tak bisa menggerakkan kerisnya, Kyai Soka tak dapat dia pergunakan karena kedua tangannya mendekap dan mencekik leher lawan, yang kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan. Dia lalu mencekik lebih keras, menenggelamkan kembali kepala Ronggo Lawe dan membentur-benturkannya ke batu kali yang berdekatan. Air kali mulai merah oleh darah Ronggo Lawe. Peristiwa yang mengerikan itu diisaksikan oleh sepasang mata. Sepasang mata dari Ki Lembu Sora yang menonton dari dekat. Dan dua pasang mata yang menonton agak jauh sambil bersembunyi di antara rumpun alang-alang di tepai sungai.

   Melihat betapa keponakannya menderita siksaan seperti itu, tidak tahanlah hati Lembu Sora dan dia cepat berloncatan ke atas batu-batu kali, mendekati tempat pertandingan itu dengan keris di tangan.

   "Cressss".!!"

   Kerisnya menembus belikat Kebo Anabrang, sampai ke dada. Kebo Anabrang terbelalak, sempat menenggok dan memandang Lembu Sora dengan wajah penuh keheranan, kemudian terkulai dan tewas, tubuhnya semampir di atas batu kali, tangannya masih mencekik leher Ronggo Lawe yang ternyata juga telah tewas!

   Melihat ini, Lembu Sora cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Dilihat sepintas lalu, kelihatannya dua orang senopati gemblengan itu mati sampyuh, karena Ronggo Lawe yang mati itu masih memegang kerisnya.

   Pada saat itu, dua pasang mata yang menonton pertandingan tadi terbelalak dan seorang di antara pemilik mata itu menjerit. Ternyata mereka adalah Sri Winarti dan adiknya, Sulastri. Ketika kakak beradik ini mendengar akan pertempuran antara pasukan Tuban yang dipimpin oleh Adipati Ronggo Lawe melawan pasukan Mojopahit, mereka terkejut dan menjadi ketakutan. Apalagi ketika dusun Gendangan, yang terlanda perang, ditinggalkan semua penduduknya yang lari mengungsi, sri Winarti dan adiknya, Sulastri, menjadi binggung dan akhirnya mereka mencari tempat persembunyian di dekat sungai, di dalam rumpun alang-alang yang amat dikenalnya itu.

   Akan tetapi betapa kaget hati mereka katika mendapatkan kenyataan bahwa justruh tempat itu di jadikan medan yuda! Mereka terus saja besembunyi sambil menahan napas karena peperangan itu terjadi dekat sekali dengan tempat mereka bersembunyi. Bahkan dari tempat mereka bersembunyi itu, Sri Winarti dengan mata terbelalak ikut menonton pertandingan yang amat hebat dan mengerikan antara pria yang dicintainya, dijunjung dan dipuja-pujanya, yaitu Adipati Ronggo Lawe melawan Kebo Anabrang! Dapat dibayangkan betapa tegang dan gelisah rasa hati gadis ini yang beberapa kali hampir menjerit kalau saja dia tidak dirangkul adiknya dan didekap mulutnya. Akan tetapi, ketika melihat betapa pria yang dipuja-pujanya itu tewas mandi darah dan tergolek bersama lawannya di atas batu, lawan yang dilihatnya terbunuh seorang senopati tua yang telah lari, Sri Winarti tidak dapat menahan kehancuran hatinya. Dia menjerit, bangkit dan lari menghampiri, meninggalkan Sulastri yang masih bersembunyi dan memandang dengan mata terbelalak ketakutan.

   "Gusti".Gusti adipati".Kakangmas pujaan hamba".!"

   Sri Winarti berlari-lari, meloncat dari batu ke batu, kadang-kadang tergelincir dan bangun lagi, sampai akhirnya dia berenang menghampiri batu di mana menggeletak mayat Kebo Anabrang yang masih mengempit mayat ronggo Lawe.Melihat orang yang dicintainya itu rebah dikempit leh lengan kuat Kebo Anabrang, matanya setengah terbuka dan bibirnya setengah tersenyum, Sri Winarti menjerit dan menubruk.

   "Aduh"..kakangmas".Adipati Ronggo Lawe".!! "

   Dia menangis menjerit-jerit dan mengguncang-guncang bahu Ronggo Lawe, kemudian dengan beringas dia melhat keris pusaka Kolonadah yang masih terpegang oleh tangan kanan mayat Ronggo Lawe. Diambilnya keris itu dan dengan mata terbelalak penuh kemarahan ditusuknya lambung Kebo Anabrang dengan penuh kebencian.

   "Keparat! Berani engkau membunuh kekasihku, pujaanku".? Nih, mempuslah kau!"

   Keris pusaka itu menusuk lambung Kebo Anabrang, akan tetapi tentu saja tidak terasa lagi oleh badan yang sudah tak bernyawa itu.

   "Kakangmas adipati ".Ah, kakangmas ".hamba".hamba ikut".!"

   Dengan beringas Sri Winarti lalu menggunakan keris Kolonadah, ditusukkan ke arah dadanya sendiri, menancap di ulu hatinya sampai ke gagangnya.

   "Huuuukkk".kakangmas".!"

   Dia menubruk, merangkul dan mencium muka Ronggo Lawe, lalu terkulai lemas menindih tubuh pris yang dicintanya itu. Darah menetes-netes dari dadanya, di antara buah dadanya yang membusung itu, membasahi dada Ronggo Lawe.

   Sepasang mata kecil Sulastri terbelalak tak pernah berkedip menyaksikan semua peristiwa itu yang mengakibatkan kakaknya membunuh diri. Kemudian dia melihat dua orang laki-laki berloncatan menghampiri tempat itu. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, berpakaian perwira Mojopahit, yang seorang bertubuh jangkung dengan mata agak menjuling, dan orang ke dua kurus kecil dengan bibir tebal dan matanya liar tajam. Mereka berloncatan dengan gerakan yang sigap gesit ke tempat itu, kemudian mereka saling bicara perlahan, namun cukup keras untuk dapat terdengar oleh Sulastri, anak yang masih bersembunyi di dalam alang-alang itu.

   "Wah, kakang Reksosura! Kau liha? Senopati Kobo Anabrang tewas pula !"

   Kata yang kurus berbibir tebal dan mukanya bundar itu.

   "Jelas, adi Darumuko! Keris pusaka Senopati Lembu Sora tadi menusuknya, lihat itu, sampai tembus ke dadanya. Lembi Sora berlaku khianat!"

   Jawab yang bertubuh jangkung.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sssshhhh".Mari kita laporkan kepada gusti Resi Mahapati"."

   Kata pula yang kurus kecil.

   "Dan gadis ini?"

   Si Jangkung memandang.

   "Hemm, tentu dia ini selir luaran dari Ronggo Lawe. Lihat, sampai mati pun dia masih mencium bibir sang adipati. Wahhh, aku jadi iri, adi Darumuko. Dia begini denok dan mulus". lihat dadanya tuh!"

   "Hushhh, kakang, mari kita pergi!"

   Kata yang kecil kurus, lalu dia meloncat pergi.

   Si Jangkung yang bernama Reksosuro itu meludah, lalu kakinya menendang ke arah pinggul mayat Sri Winarti sehingga mayat gadis itu terguling dan terjatuh ke air, terbawa oleh arus air sungai Tambakberas dengan keris Kolonadah masih menancap di ulu hatinya. Kemudian si jangkung meludah lagi dan berlompatan mengikuti temannya, lalu lenyap dari pandangan mata.Tidak ada orang lain melihat peristiwa terakhir ini kecuali sepasang mata Sulastri. Sepasang mata yang menyinarkan kekerasan dan ketika ada dua tetes air mata meloncat ke luar, cepat diusap dengan tangannya dan bibirnya berbisik-bisik.

   "Reksosura". Darumuko".Mahapati".!"

   Ketika membisikkan nama-nama ini matanya menyinarkan api dendam.

   Sementara itu, dengan suara menguntur Lembu Sora berteriak memberitahukan Lembu Sora tentang kematian Ronggo Lawe kepada mereka yang masih berperang dan memerintahkan agar perlawanan orang-orang Tuban dihentikan. Semua orang terkejut mendengar bahwa Adipati Ronggo Lawe gugur, perlawanan dihentikan dan semua orang mengerumuni tepi Sungai Tambakberas di mana masih mengeletak mayat Kebo Anabrang yang dikabarkan "mati sampyuh"

   Dengan Ronggo Lawe.

   Sang Prabu sendiri berkenan mendatangi tempat itu dan melihat keadaan dua orang senopatinya yang dikasihinya itu, sang prabu memejamkan mata, lalu membuang muka dan memerintahkan untuk mengangkut jenazah dua orang senopati itu ke Mojopahit agar memperoleh pemakaman yang terhormat sebagai pahlawan-pahlawan Mojopahit. Kemudian sang prabu mendahului pulang ke Mojopahit, dikawal psukan pengawal istimewa.

   Selesailah pemberontakan Ronggo Lawe, dan selesai pula peperangan yang memakan waktu singkat dan segera dapat dipadamkan berkat kebijaksanaan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana itu, yang menggunakan siasat mengepung dan menewaskan Ronggo Lawe untuk memadamkan pemberontakan. Semua anak buahnya menakluk, bahkan dalam kesempatan ini Panewu Progodigdoyo dapat mencari muka, melaporkan kepada atasan di Mojopahit bahwa dia telah bersusah payah mencegah kehendak mendiang Ronggo Lawe agar jangan memberontak. Karena memang Progodigdoyo pandai bermuka-muka dan apalagi diam-diam dia mengadakan hubungan dengan Resi Mahapati, oleh sang prabu dia diberi kepercayaan untuk sementara mengatur dan mengamankan Tuban sebagai pejabat adipati!

   Sementara itu, setelah mendengar akan kematian Ronggo Lawe, ayah adipati itu, Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo, dengan hati penuh duka menyampaikan berita ini kepada kedua orang mantunya. Akan tetapi betapa heran hatinya melihat dua orang mantunya ini menyambutnya dengan rambut terurai dan pakaian serba putih seolah-olah mereka telah tahu akan kematian suami mereka! Dengan hati terharu, aryo Wirorojo mengajak dua orang mantunya dan cucunya, Kuda Anjampiani, juga besannya, ayah dari Mertaraga, untuk pergi ke Mojopahit, langsung menuju ke pura Mojopahit di mana disimpan jenazah Ronggo Lawe.

   Dua orang isteri Ronggo Lawe berlari-larian memasuki kamar mati dan menubruk jenazah suaminya, menangis dengan sedih, kemudian, disaksikan oleh dua orang tua yang hanya bisa berlinang air mata, yaitu Aryo Wirorojo dan Ki Ageng Palandongan ayah Mertaraga, dua orang isteri yang amat mencintanya, yang setia dan sudah bersumpah sehidup semati dengan Ronggo Lawe, melakukan bela pati dengan jalan membunuh diri dengan keris yang ditusukkan ke arah jantung sendiri.

   Kebiasaan yang amat menyedihkan dan mengharukan ini memang berlaku di jaman itu, kebiasaan yang merupakan tradisi dan isteri yang melaksanakan tradisi ini dipuji-puji sebagai isteri yang setia! Sungguh menyendihkan betapa isteri yang setia! Sungguh menyedihkan betapa manusia tunduk terhadap segala macam kebiasaan yang kolot dan totol.

   Oleh karena itu, tiada gunanya kiranya diceritakan peristiwa yang amat mengerikan, menyedihkan dan juga membayangkan kebodohan manusia yang semenjak jaman dahulu dampai sekarangpun secara membuta menyesuaikan dirinya dengan segala macam bentuk tradisi dan kebiasan yang berbau ketahyulan. Manusia memang selalu merupakan mahluk lemah, yang sudah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, menggantungkan hidupnya kepada kebiasaan dan pendapat umum tanpa memperdulikan apakah itu benar ataulah keliru. Kita merasa ngeri untuk membuka mata melihat kebodohan-kebodohan dihan yang telah menjadi kebiasaan kita, bahkan segan untuk melepaskan kebiasaan-kebiasaan yang bodoh itu. Betapa lemahnya kita dan kenyataan ini sungguh amat menyedihkan!

   Setelah menghadiri upacara pembakaran jenazah Ronggo Lawe dan kedua isterinya yang melakukan bela pati, dengan hati berat Aryo Wirorojo bersama Ki Ageng Palandongan membawa Kuda Anjampiani yang masih kecil dan belum tahu apa-apa itu kembali ke Tuban.

   Dari sang parbu sendiri sampai para senopati dan ponggawa kerajaan menyaksikan upacara penghormatan terhadap jenazah dua orang senopati yang sudah banyak jasanya terhadap Mojopahit itu, dan sang prabu sendiri berkenan menyatakan duka citanya, atas banyaknya korban yang tewas di dalam peperangan itu, terutama karena kematian dua orang senopati itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang mengetahui akan peristiwa yang terjadi di malam berikutnya setelah Ronggo Lawe tewas di medan yuda.

   Malam itu amat sunyi di tempat bekas peperangan itu. Terutama di kedua tepi sungai Tambakberas amatlah sunyinya. Tidak ada mayat yang nampak karena telah diangkut oleh para prajurit kedua fihak, akan tetapi tempat itu masih berbau amis oleh darah yang banyak tertumpah, dan keadaan amat menyeraamkan. Tidak seorang pun manusia berani mendekati tempat yang dua hari yang lalu dijadikan pembantaian antara sesama manusia itu.

   Akan tetapi menjelang tengah malam, terdengar suara anak kecil yang mengeluh dan merintih, menyebut-nyebut nama Sri Winarti! Kalau ada orang mendengar suara ini, tentu dia akan lari tunggang langgang, mengira bahwa ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di tempat yang menyeramkan itu.

   Akan tetapi sesungguhnya tidak ada roh gentayangan atau iblis berkeliaran di Sungai Tambakberas itu. Yang ada hanyalah seorang anak perempuan kecil, yaitu Sulastri, adik dari Sri Winarti, gadis cantik yang membela pati di sungai itu ketika melihat pria yang dicintainya Ronggo Lawe, telah tewas di atas batu kali. Anak ini tidak berani muncul dan tetap bersembunyi di dalam rumpun alang-alang sampai semua prajurit pergi membawa mereka yang tewas dan terluka di dalam peperangan itu. Setelah semua orang pergi dan hal ini baru selesai sampai hampir tengah malam, dan keadaan amat sunyi, barulah dia berani ke luar dari rerumpun ilalang itu sambil memanggil-manggil nama kakaknya, yaitu Sri Winarti.

   "Mbakyu Sri Winarti".! Mbakayu".kenapa kautinggalkan aku seorang diri".? "Dia berjalan perlahan menuju ke hilir di mana mayat gadis itu masih tersangkut di sebuah batu besar, terlentang dengan wajahnya yang cantik itu kelihatan putih sekali tertimpa sinar bulan, dan gagang sebatang keris yang menancap di ulu hatinya kelihatan!

   Sulastri memang sudah tahu bahwa kakaknya telah meninggal dunia, bahkan dia telah melihat sendiri dari tempat persembunyiannya betapa kakaknya dengan marah memasuki lambung mayat lawan Ronggo Lawe, kemudian menggunakan keris itu untuk menusuk dadanya sendiri. Dia melihat betapa mayat kakaknya ditendang dan diludahi oleh orang tinggi bermata juling bernama Reksosuro! Kini dia menghampiri mayat kakaknya itu, sejenak memandang mayat yang disinari bulan purnama itu dan berkali-kali mengeluh.

   "Mbakyu Narti ".kau telah mati".dan aku bagaimana, mbakayu?"

   Dengan susah payah anak itu lalu mengangkat setengah menyeret mayat kakaknya itu ke tepi sengai. Kemudian, setelah meletakkan mayat itu di tepi sungai dalam keadaan terlentang, mulailah anak itu menggali sebuah lubang di dalam hutan di tepi sungai itu.

   Memang luar biasa sekali anak ini. Sejak kecil sudah ditinggalkan mati keluaraganya dan hanya hidup berdua dengan kakaknya. Kehidupan yang serba sukar dan keras membentuk wataknya menjadi keras, dan seakan-akan telah terkuras air matanya sehinggakini menghadapi kematian kakaknya, satu-satunya orang yang digantunginya, biarpun dia bersambat, mengeluh dan merintih, namun matanya tidak mengalirkan air mata! Kini dia menggali tanah, menggunakan golok dan tombak yang ditemukan berserakan di tempat itu sebagai bekas senjata perang yang ditinggalakan para prajurit dan tentu saja amat sukarlah bagi seorang anak kecil seperti dia untuk menggali sebuah lubang kuburan yang cukup besar hanya menggunakan golok dan tombak! Akan tetapi, anak ini tidak pernah mengeluh, terus bekerja sampai setengah malam suntuk dan setelah malam berganti pagi, barulah selesai dia menggali lubang yang cukup besar!

   Dia lalu berlutut di depan mayat kakaknya, membersihkan tanah dari mukanya, memandang kakaknya sampai lama dengan pandang mata mesra.

   "Kau cantik, mbakayu, kau cantik manis sekali. Adipati Ronggo Lawe tentu senang melihatmu."

   Dia membungkuk dan mencium pipi kakaknya, kemudian dia memetik beberapa tangkai bunga mawar dan menancapkan tangkai itu di rambut kakaknya yang terurai, di atas kedua telinganya.

   Lalu dia mengangkat lagi setengah menyeret mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang. Untung ketika dia melepaskan mayat itu, mayat jatuh seperti di atur, terlentang di dalam lubang. Kemudian dia berlutut lagi di dekat lubang, memandangi wajah kakaknya dan mulutnya berbisik-bisik,

   "Mbakayu narti". engkau mati membela Adipati Ronggo Lawe, guruku. Guruku mati oleh Kebo Anabrang, akan tetapi musuhnya itu pun sudah tewas oleh Senopati Lembu Sora. Tidak ada lagi yang dibuat penasaran kecuali". Kecuali tiga orang itu! Reksosuro dan Darumuko yang menghinamu, dan orang yang menjadi majikan mereka, Resi Mahapti. Kelak kalau aku sudah besar, aku akan mencari mereka, mbakayu dan akan kubalaskan penghinaan mereka atas mayatmu."

   Dia memegang kalungnya dan mempermainkan benda itu. Benda itu adalah sebuah Kundolo (cincin telinga) bermata mirah, pemberian Ronggo Lawe kepada Sulastri yang mengaku sebagai murid adipati itu.

   "aku akan memperlajari kedigdayaan, aku harus sakti seperti sang adipati agar tidak ada orang berani menghinaku seperti mereka menghinamu, mbakayu."

   Sampai lama anak itu berbisik-bisik mengajak kakaknya bercakap-cakap, kemudian dia mengaruk mayat di dalam lubang itu sampai tanah yang digalinya itu semua menimbun lubang, merupakan gundukan tanah yang cukup tinggi. Kemudian dia berdiri, memandang ke sekeliling untuk mengukir pemandangan tempat itu di dalam ingatannya agar dia tak akan melupakan tempat dia mengubur mayat kakaknya itu, kemudian dengan tubuh lemah, lelah dan lapar, sulastri meninggalkan tempat itu menuju ke dusunnya, yaitu dusun Gedangan.

   Akan tetapi baru saja dia tiba di luar dusun itu, masih menyusuri Sungai Tambakberas, dari jauh dia melihat empat orang laki-laki yang agaknya sedang berselisih dan bicara keras. Ketika dia mengenal bahwa dua di antara mereka adalah Reksosuro dan Darumuko, jantungnya berdebar keras dan timbul keinginannya untuk mendekati tempat itu. Dua orang itu adalah musuh-musuhnya, orang-orang yang telah menghina mayat kakaknya, maka dia harus tahu apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka bicarakan dengan dua orang lain yang kelihatannya marah-marah itu. Sulastri lalu menyusup-nyusup di antara semak-semak di sepanjang sungai, maju mendekat sampai dia dapat mengintai dan mendengar apa yang mereka bicarakan.

   Kini jelas bahwa dua orang itu benar adalah dua orang yang menghina mayat kakaknya, dan mereka kini mengenakan pakaian perwira Mojopahit yang gagah dan mewah, dengan keris yang sarungnya terhias emas dan gagang kerisnya terhias beberapa buah mata intan gemerlapan. Namun keindahan pakaian mereka itu tidak mengurangi kebencian hati Sulastri terhdap dua orang itu, yang wajahnya telah terukir di dalam ingatannya, dua wajah yang baginya merupakan wajah yang seburuk-buruknya! Dia memperhatikan dua orang yang berhadapan dengan dua orang perwira Mojopahit itu. Mereka itu adalah dua orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahunan, berpakaian biasa seperti petani-petani miskin, namun dari kulit mereka yang bersih dan sikap mereka mudah diduga bahwa petani-petani saja, bukan petani-petani tulen.

   "Heh, keparat, tidak perlu kalian membohong lagi!"

   Bentak perwira kurus kecil bermuka bundar berbibir tebal yang sudah dikenal namanya oleh Sulastri, yang itu namanya Darumuko.

   "aku sudah tahu bahwa kalian adalah orang-orang kepercayaan mendiang Ronggo Lawe! Hanya katakan kepada kami di mana adanya bocah itu? Kalian memang sengaja di utus oleh mendiang atasanmu itu untuk melindunginya, bukan?"

   "Tidak, tidak".Kami tidak tahu!"

   Jawab seorang di antara kedua orang itu.

   "Keparat!"

   Kini Reksosuro yang membentak dan menghampiri dengan sikap mengancam.

   "Kalian ini pengecut-pengecut Tuban masih hendak berlagak keras kepala?"

   Berkata demikian, Reksosuro mengayun tangannya menempiling kepada seorang di antara mereka yang berkumis pendek.

   "Wuuuttt".Plakk!"

   Orang itu menangkis dengan gerakan yang cukup cepat dan tangkas.

   "Aeh"aeh"pengecut-pengecut Tuban berani melawan perwira-perwira Mojopahit, ya?"

   Reksosuro mendelik marah.

   Orang ke dua yang matanya lebar, balas mendelik.

   "Kalian ini hanya berpakaian perwira-perwira Mojopahit akan tetapi kelakukan kalian tiada bedanya dengan penjahat-penjahat tak mengenal aturan!"

   Bentaknya marah dan mengepal tinjunya.

   "Kami memang orang-orang Tuban dan kami sama sekali bukanlah pengecut-pengecut! Kami tahu pula bahwa para perwira Mojopahit adalah orang-orang gagah, bukan seperti kalian manusia-manusia sombong yang banyak tingkah!"

   "Eitttt"! Berani menghina lagi, ya?"

   Darumuko berteriak.

   "Kakang Rekso, habisi saja mereka ini, tunggu apa lagi?"

   Reksosuro dan Darumuko lalu menerjang maju, menghantam kepalan tangan mereka kepada si mata lebar dan si kumis pendek. Mereka itu memang benar adalah bekas-bekas orang kepercayaan Ronggo Lawe, tentu saja mereka pun bukan orang sembarangan dan dengan sigap mereka mengelak, menangkis dan balas menyerang.

   Siapakah adanya dua orang kepercayaan Ronggo Lawe yang menyamar sebagai petani itu dan apakah maksud kedatangan mereka menyamar sebagai petani ke dusun Gendangan? Dan apa pula kehendak Reksosuro dan Dharumuka berada di tempat itu?

   Dua orang kepercayaan Ronggo Lawe itu sebetulnya diutus oleh Aryo Wirorojo untuk memenuhi pesan terakhir Ronggo Lawe. Di samping meninggalkan pesan kepada ayahnya bahwa andaikata dia gugur di medan yuda agar ayahnya itu suka merawat dan mendidik Kuda Anjampiani, yaitu cucunya, juga Ronggo Lawe minta tolong kepada ayahnya agar ayahnya suka mencari dua orang gadis yatim piatu bernama Sri Winarti dan Sulastri yang tinggal di dusun Gendangan.

   "Mereka itu sudah tidak mempunyai sanak keluarga, ayah,"

   Demikian pesan Ronggo Lawe.

   "Sri Winarti itu amat baik dan adiknya, Sulastri itu telah mengaku guru kepada saya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau ayah manarik mereka ke Tuban dan ayah mengatur kehidupan mereka agar mereka tidak terlantar.

   Demikian, dua orang itu lalu di utus oleh Aryo Wirorojo untuk mencari Sri Winarti dan Sulastri di dusun Gendangan, dan karena di dusun itu mereka mendengar bahwa sejak terjadi perang, dua orang anak perempuan itu tidak berada di Gendangan, maka mereka lalu mencari di sepanjang Sungai Tambakberas.

   Ada pun Reksosuro dan Darumuko yang telah melihat perbuatan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang dan melaporkan hal itu kepada Resi Mahapati, menerima pujian dari sang resi dan menerima banyak hadiah karena hal itu merupakan berita yang amat dan amat baik bagi Sang Resi Mahapati yang mempunyai cita-cita besar. Dengan adanya berita itu, seorang di antara para senopati yang ditakuti dan berpengaruh, yaitu Lembu Sora, telah berada di dalam genggaman tangannya. Akan tetapi ketika dua orang pembantunya itu menceritakan tentang gadis yang membela pati terhadap Ronggo Lawe, resi itu menjadi marah.

   "Betapa bodohnya kalian! Kenapa kalian tidak mengambil keris pusaka yang dipakai membunuh diri gadis itu? Itulah konon adalah pusaka Ronggo Lawe yang ampuh sekali, buatan Empu Supamandrangi. Hayo kalian cepat mencari mayat gadis itu dan mengambil kerisnya!"

   Demikian, dua orang pembantu Resi Mahapati itu bergegas pergi ke sungai Tambakberas, akan tetapi mereka tidak melihat mayat gadis cantik itu di sungai dan tidak ada bekas-bekasnya. Mereka tidak tahu bahwa mayat itu telah dibawa ke tepi sungai dan dikubur oleh Sulastri, maka mereka lalu berangkat ke dusun Gendangan dan disitu atas penyelidikan mereka, mereka mengetahui bahwa gadis itu bernama Sri Winarti dan mempunyai seorang adik bernama Sulastri, bahwa mereka dahulu pernah ditolong oleh Ronggo Lawe! Iranglah hati mereka dan mereka lalu berusaha mencari Sulastri, namun tidak berhasil menemukan gadis cilik itu. Pada waktu itu, kepala dusun Gendangan yang menyambut dua orang perwira ini dengan penuh kehormatan dan keramahan, yang ingin menjilat para pembesar dari Mojopahit ini, diam-diam lalu melaporkan Ronggo Lawe yang juga mencari-cari dua orang wanita itu!

   Reksosuro dan Darumuko cepat melakukan pengejaran dan mereka saling bertemu di luar dusun Gendangan, di tepi Sungai Tambakberas dan terjadilah pertengkaran itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka jadikan bahan perebutan, si gadis cilik Sulastri, berada di dalam semak-semak mengintai dan menonton perkelahian mereka.

   Sulastri yang menonton perkelahian itu, tentu saja diam-diam berfihak kepada dua orang Tuban itu. Melihat betapa dua orang Tuban itu pun pandai bersilat dan memiliki ketangkasan, hatinya menjadi gembira dan tanpa disadarinya lagi dia keluar dari dalam semak-semak, bahkan lalu berteriak-teriak.

   "Hantam anjing-anjing Mojopahit itu, paman! Jangan takut, culeg (tusuk) mata yang juling itu! Robek bibir yang tebal itu!"

   Mendengar ini, empat orang itu terkejut dan untuk sesaat mereka berloncatan mundur dan memandang ke arah Sulastri. Melihat anak perempuan ini, seketika timbul dugaan didalam hati Reksosuro dan Darumuko. Darumuko yang bermata liar tajam itu cepat sekali bertanya.

   "Apakah engkau yang bernama Sulastri adik Sri Winarti?"

   "Mereka itu sudah tidak mempunyai sanak keluarga, ayah,"

   Demikian pesan Ronggo Lawe.

   "Sri Winarti itu amat baik dan adiknya, Sulastri itu telah mengaku guru kepada saya. Oleh karena itu sudah sepatutnya kalau ayah manarik mereka ke Tuban dan ayah mengatur kehidupan mereka agar mereka tidak terlantar.

   Demikian, dua orang itu lalu di utus oleh Aryo Wirorojo untuk mencari Sri Winarti dan Sulastri di dusun Gendangan, dan karena di dusun itu mereka mendengar bahwa sejak terjadi perang, dua orang anak perempuan itu tidak berada di Gendangan, maka mereka lalu mencari di sepanjang Sungai Tambakberas.

   Ada pun Reksosuro dan Darumuko yang telah melihat perbuatan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang dan melaporkan hal itu kepada Resi Mahapati, menerima pujian dari sang resi dan menerima banyak hadiah karena hal itu merupakan berita yang amat dan amat baik bagi Sang Resi Mahapati yang mempunyai cita-cita besar. Dengan adanya berita itu, seorang di antara para senopati yang ditakuti dan berpengaruh, yaitu Lembu Sora, telah berada di dalam genggaman tangannya. Akan tetapi ketika dua orang pembantunya itu menceritakan tentang gadis yang membela pati terhadap Ronggo Lawe, resi itu menjadi marah.

   "Betapa bodohnya kalian! Kenapa kalian tidak mengambil keris pusaka yang dipakai membunuh diri gadis itu? Itulah konon adalah pusaka Ronggo Lawe yang ampuh sekali, buatan Empu Supamandrangi. Hayo kalian cepat mencari mayat gadis itu dan mengambil kerisnya !"

   Demikian, dua orang pembantu Resi Mahapati itu bergegas pergi ke sungai Tambakberas, akan tetapi mereka tidak melihat mayat gadis cantik itu di sungai dan tidak ada bekas-bekasnya. Mereka tidak tahu bahwa mayat itu telah dibawa ke tepi sungai dan dikubur oleh Sulastri, maka mereka lalu berangkat ke dusun Gendangan dan disitu atas penyelidikan mereka, mereka mengetahui bahwa gadis itu bernama Sri Winarti dan mempunyai seorang adik bernama Sulastri, bahwa mereka dahulu pernah ditolong oleh Ronggo Lawe! Iranglah hati mereka dan mereka lalu berusaha mencari Sulastri, namun tidak berhasil menemukan gadis cilik itu. Pada waktu itu, kepala dusun Gendangan yang menyambut dua orang perwira ini dengan penuh kehormatan dan keramahan, yang ingin menjilat para pembesar dari Mojopahit ini, diam-diam lalu melaporkan Ronggo Lawe yang juga mencari-cari dua orang wanita itu!

   Reksosuro dan Darumuko cepat melakukan pengejaran dan mereka saling bertemu di luar dusun Gendangan, di tepi Sungai Tambakberas dan terjadilah pertengkaran itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka jadikan bahan perebutan, si gadis cilik Sulastri, berada di dalam semak-semak mengintai dan menonton perkelahian mereka.

   Sulastri yang menonton perkelahian itu, tentu saja diam-diam berfihak kepada dua orang Tuban itu. Melihat betapa dua orang Tuban itu pun pandai bersilat dan memiliki ketangkasan, hatinya menjadi gembira dan tanpa disadarinya lagi dia keluar dari dalam semak-semak, bahkan lalu berteriak-teriak.

   "Hantam anjing-anjing Mojopahit itu, paman! Jangan takut, culeg (tusuk) mata yang juling itu! Robek bibir yang tebal itu!"

   Mendengar ini, empat orang itu terkejut dan untuk sesaat mereka berloncatan mundur dan memandang ke arah Sulastri. Melihat anak perempuan ini, seketika timbul dugaan didalam hati Reksosuro dan Darumuko. Darumuko yang bermata liar tajam itu cepat sekali bertanya.

   "Apakah engkau yang bernama Sulastri adik Sri Winarti?"

   Dua orang pembantu Ronggo Lawe berkedip memberi isyarat agar Sulastri jangan mengaku, akan tetapi gadis cilik ini adalah seorang anak yang memiliki bakat kekerasan hati dan ketabahan luar biasa, maka sambil cemberut dia menjawab.

   "Ya, kalian ingat baik-baik yang kelak akan menghancurkan kepala kalian berdua!"

   "Sulastri, larilah dari sini! Cepat".!"

   Tiba-tiba orang yang berkumis pendek itu berseru dengan wajah penuh kekhawatiran. Dia dan temannya sudah melompat dan menghadang di depan Reksosuro dan Darumuko. Dua orang perwira Mojopahit ini terbelalak girang dan mereka menerjang seperti dua ekor harimau buas, kini dengan keris di tangan. Dua orang ponggawa Tuban itu mencoba untuk menghindar, akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka memang kalah tinggi dan kini dua orang perwira Mojopahit itu menggunakan keris dan menyerang untuk membunuh, mereka terhuyung dan lengan mereka berdarah karena terpaksa mereka tadi menangkis.

   "Ihhh".!"

   Sulastri berteriak kaget, lalu anak ini mengambil batu dan menyambit-nyambitkan batu ke arah Reksosuro dan Darumuko! Akan tetapi tentu saja sambitan anak itu sama sekali tidak dihiraukan, karena selain banyak menyeleweng, juga kalau mengenai tubuh mereka yang sudah kebal terlatih tentu tidak akan terasa. Mereka kini menubruk lagi dan dalam beberapa gebrakan saja mereka roboh mandi darah, berkelonjotan dan tewas karena dada mereka tertembus keris lawan.

   "Ha-ha-ha, tidak berapa ketangguhan orang Tuban!"

   Reksosuro bersumbar dengan bangga dan sombongnya.

   "Heh-heh, manis juga bocah ini, sayang masih metah!"

   Darumuko yang bermata liar dan tajam itu menghampiri Sulastri. Anak itu berdiri tegak, matanya terbelalak memandang ke arah dua orang ponggawa Tuban yang telah tewas itu, kemudian dia memandang kepada dua orang itu dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Kalian manusia-manusia jahat seperti iblis!"

   Dia memaki.

   "Ha-ha-ha, coba lebih tua empat tahun lagi saya".Hemm, tentu lebih mulus daripada kakaknya dahulu!"

   Reksosuro juga berkelakar dan sekali meloncat dia sudah berdiri di belakang Sulastri. Akan tetapi gadis ini makin marah dan memandang kepada dua orang itu yang telah mengurungnya.

   "Pergi! Pergi kalian! Aku benci kepada kalian!"

   Teriaknya marah.

   "Ha-ha-ha, bocah ayu! Engkau tentu tahu di mana adanya mayat mbakayumu"."

   "Dan keris itu"."

   Darumuko menyambung.

   "Ssssttt".!"

   Reksosuro menegur temannya yang dianggapnya lancang bicara tentang keris.

   Dan memang benarlah dia, temannya itu terlalu lancang mulut. Andaikata dia tidak menyebut-nyebut tentang keris, agaknya Sulastri yang jujur itu akan mengaku bahwa dia telah mengubur jenazah mbakayunya. Akan tetapi, begitu Darumuko menyebut keris itu teringatlah Sulsatri akan keris yang menancap di ulu hati mbakayunya. Keris pusaka milik Ronggo Lawe. Anak in memiliki kecerdikan luar biasa, maka mengertilah dia bahwa dua orang ini tentu mencari keris itu, maka dia lalu menegakkan kepalanya.

   

Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini