Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 9


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



(Lanjut ke Jilid 09)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   wanita muda yang cantik-cantik, diambil dari deretan selir-selirnya sendiri, untuk menemani, melayani dan menghibur Resi harimurti yang menerima suguhan ini dengan girang sekali.

   Setelah perjamuan selesai, Resi Mahapati mengajak dua orang sekutu atau pembantunya itu berunding dan mereka berdua siap untuk membantu melenyapkan Lembu Sora kalau saatnya sudah tiba. Kemudian Resi Harimurti yang sudah merasa gatal-gatal tubuhnya itu mengundurkan diri untuk berpesta sendiri dengan dua orang wanita muda yang bertugas melayaninya, sedangkan Resi Mahapati dengan kakak seperguruannya bercakap-cakap membicarakan cita-cita mereka. Ternyata kakek tua Empu Tunjungpetak itu pun tidak terbebas daripada pengejaran kemuliaan dan dia berjanji akan membantu Resi Mahapati asalkan kelak dia pun memperoleh kedudukan yang tinggi! Sementara itu, Patih Nambi dan para pembantunya menjadi ribut ketika mendengar berita bahwa Sora telah lolos dari gedungnya dan tidak ada yang tahu ke mana perginya. Mulailah di menyebar orang-orang dan mata-mata untuk mencari tempat persembunyian senopati yang lolos itu.

   Kembali Resi Mahapati memperoleh kesempatan untuk menonjolkan diri. Di dalam persidangan, ketika Patih Nambi melaporkan akan lolosnya Lembu Sora dan sri baginda menjadi marah, Resi Mahapati dengan berani berkata.

   "Hamba mohon agar gusti sinuwun suka bersabar. Sebaiknya urusan mengenai adimas Demung Lembu Sora ini dipertimbangkan dengan kesabaran, mengingat akan jasa-jasanya."

   "Bagimana dapat sabar kalau jelas bahwa dia melarikan diri?"

   Tiba-tiba Patih Nambi membantah pendapat Resi Mahapati itu.

   "Sikapnya itu saja sudah menunjukkan bahwa dia hendak memberontak!"

   Resi Mahapati tersenyum sabar lalu menyembah kepada sang prabu yang hanya mendengarkan dengan bingung dan prihatin. Raja ini memang benar-benar prihatin akan peristiwa yang menimpa Kerajaan Mojopahit. Luka yang menggores perasaan sang prabu akibat tewasnya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang masih belum sembuh benar, kini ditambahinya lagi dengan urusan Lembu Sora yang lebih menyakitkan hatinya.

   "Ampun, kanjeng sinuwun. Hamba tidak dapat menerima pendapat dimas Patih Nambi bahwa kepergian dimas Lembu Sora tanp pamit merupakan pemerontakan. Keputusan paduka belum disampaikan kepdanya, maka bagaimana dia bisa dianggap memberontak? Mungkin dia hanya merasa tidak enak dan untuk sementara menjauhkan diri."

   "Kakang Resi Mahapati, apakah andika hendak melindungi Lembu Sora dan berpihak kepada pemberontak?"

   Patih Nambi kembali menyerangnya.

   Resi mahapati tersenyum cerdik.

   "Maaf, dimas patih, akan tetapi agaknya andika lupa bahwa kita sedang menghadap gusti sinuwun dan tidaklah patut untuk berbantahan di hadapan gusti sinuwun tanpa perkenan beliau."

   Wajah Patih Nambi menjadi merah sekali dan cepat-cepat dia menyembah kepada sri baginda.

   "Harap ampunkan hamba, gusti..."

   Sang Prabu menarik napas panjang.

   "Sudahlah, perlu apa bertengakar seperti anak kecil atau wanita cerewet? Paman Brahmonorojo, sebagai sesepuh Mojopahit, saya mengharapkan pandangan dan nasihat andika, paman pendeta."

   Kakek yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun itu, yang rambutnya sudah putih dan sikapnya sabar sekali, segera merangkap kedua tangan di depan dada.

   "Awan hitam tebal tergantung di atas kerajaan paduka, gusti sinuwun. Kalau tidak pandai-pandai paduka menghadapinya, kemelut dapat mengegerkan Mojopahit. Hamba setuju dengan pendapat adi Resi Mahapati agar diadakan perundingan dan permusyawaratan mengenai anakmas Demung Lembu Sora. Jalan perundingan selalu lebih baik daripada jalan senjata."

   Sang prabu mengangguk-angguk setuju.

   "Akan tetapi kakang Lembu Sora telah lolos, tidak tahu ke mana perginya. Bagaimana kami dapat mengadakan perundingan dengan dia?"

   Brahmana yang bijaksana dan berhati lembut itu lalu berkata lagi, Hyang Widhi Wasa selalu akan berpihak kepada yang penuh welas asih, gusti sinuwun. Sang Hyang Brahma yang maha kuasa tentu akan melindungi dan memberkahi tindak bijaksana, adil namun penuh dengan welas asih. Sebaiknya, kalau menurut pendapat hamba, paduka menulis sebuah surat kepada anakmas Lembu sora, surat peringatan yang halus dan bijaksana. Kemudian biarlah seorang utusan mengantarkan surat itu kepada anak mas Lembu Sora. Kalau dicari dan diselidiki oleh seorang utusan saja, tentu akan mudah ditemukan dan anakmas Lembu Sora tidak akan menaruh curiga, berbeda dengan kalau yang mencari itu merupakan pasukan."

   Sri Baginda merasa girang sekali. Segera diperintahkan seorang ahli sastera menyusun surat untuk Lembu Sora. Surat itu cepat dibuat dan selesai, lalu diperiksakan oleh Sang Prabu yang mengangguk-angguk setuju. Bunyi surat peringatan halus itu adalah bahwa menurut undang-undang Kutaramanawa yang merupakan hukum di Mojopahit, kesalahan yang dilakukan oleh Lembu Sora seharusnya dihukum mati. Namun mengingat akan jasa-jasanya, sang prabu berwenang mengampuninya dan membaskan dengan hukuman mati itu dan sebagai gantinya, Lembu Sora dipindahkan ke Tulembang.

   Patih Nambi lalu memilih seorang kepercayaannya yang bernama Rahino untuk membawa surat itu dan mencari Lembu Sora, menyerahkan surat dan minta balasannya. Pada hari itu juga, berangkatlah Rahino membawa surat sri baginda, menunggang kuda dan mulai menyelidiki jejak Lambu Sora. Persidangan dibubarkan. Persidangan dibubarkan karena sri baginda merasa lemas lahir batinnya setelah menghadapi peristiwa-peristiwa yang menyedihkan dan menegangkan itu.

   Usul-usul yang diajukan oleh Panembahan bahan Brahmonorojo memang tepat sekali, biar pun usul-usulnya yang diterima oleh sang prabu itu tidak memuaskan, bahkan mendatangkan rasa penasaran di dalam hati orang, yaitu Nambi dan Mahapati. Menurut Nambi, Lembu Sora sudah jelas memberontak dan jalan satu-satunya untuk mengamankan Negara hanyalah menumpas dan membinasakannya untuk contoh para ponggawa lain. Sedangkan Mahapati tidak puas karena pelaksanaan seperti yang diusulkan oleh Panembahan Brahmonorojo itu sama sekali menyimpang daripada rencana dan siasatnya semula. Akan tetapi dia tidak berani menentang, hanya diam-diam dia memutar otak mencari akal dan ketika dia pulang dari persidangan, cepat-cepat dia berunding dengan selirnya dan juga dengan dua orang pembantunya yang amat dipercayanya, yaitu Resi Harimurti dan Empu Tunjungpetak.

   Seperti yang telah diperhitungkan oleh Panembahan Brahmonorojo dalam usul-usulnya, benar saja amat mudah bagi Rahino untuk mencari jejak Lembu Sora. Semua orang yang bersimpati kepada Lembu Sora tentu akan membungkam dan merahasiakan di mana adanya senopati yang lolos dari Mojopahit itu. Akan tetapi ketika mereka ini mendengar bahwa Rahino adalah utusan sang prabu untuk menyerahkan surat dari sri baginda sendiri untuk Lembu Sora, mereka cepat membantu Rahino dan mengantarkan utusan ini ke Pegunungan Pandan di mana Lembu Sora bersembunyi!

   Rahindo akhirnya tiba di tengah hutan yang menjadi tempat persembunyian Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan para pasukan pengikut mereka. Karena Rahino diantar oleh orang-orang yang telah mereka kenal, maka Rahino diterima dengan baik dan segera dihadapkan dengan Lembu Sora. Rahino cepat menyembah dengan hormat, gentar hatinya berhadapan dengan senopati yang amat gagah, tinggi besar dan berwibawa seperti Sang Aryo Seno itu, akan tetapi yang rambutnya kusut dan wajahnya muram pada saat itu.

   "Benarkah andika ini utusan gusti sinuwun?"

   Lembu Sora bertanya dan pandang matanya tajam penuh selidik.

   "Benar sekali, gusti demung. Hamba diutus menyerahkan surat dari gusti sinuwun kepada gusti demung."

   "Berikanlah kepadaku!"

   Lembu Sora berkata penuh gairah. Selama bersembunyi ini, hatinya berduka bukan main. Kalau ada hal yang paling disusahkan di dunia ini adalah bersikap sebagai pemberontak Mojopahit! Dan sikapnya ini memang tiada bedanya dengan pemberontak. Itulah yang menyusahkan hatinya!

   Juru Demung, Gajah Biru dan kawan-kawan mereka memandang dengan penuh perhatian ketika Lembu Sora membuka surat dari sang prabu itu dengan kedua tangan gemetar kemudian membawa surat itu sambil berdiri saja. Sukar mengira-ngira bunyi surat dari wajah yang tenang dan sama sekali tidak berobah tenang dan sama sekali tidak berobah itu, akan tetapi perlahan-lahan kedua mata itu menajdi basah dan dua butir air mata yang besar menetes turun. Hanya dua bitir itu saja, namun sudah cukup bagi para satria yang menyaksikannya, karena melihat seorang satria seperti Lembu Sora menangis sama sukarnya dengan melihat hujan turun di musim kemarau. Dua butir air mata itu cukup banyak untuk membuktikan betapa perasaan satria itu amat terharu dan tertusuk oleh bunyi surat dari junjungan yang dicinta dan dihormatinya itu.

   Lembu Sora mengepal surat itu, mencium dan menekan pada dadanya, kemudian terdengar suaranya yang lantang.

   "Aku telah berdosa besar! Juru Demung Gajah Biru dan kawan-kawan sekalian, kalian telah berdosa, kita berdosa kepada Gusti Sinuwun!"

   Suaranya lantang terdengar penuh penyesalan.

   "Kakang Lembu Sora, apakah yang kakang maksudkan?"

   Juru Demung bertanya heran.

   "Bagaimana isi surat dari sang prabu, kakang Lembu Sora?"

   Gajah Biru juga bertanya, penasaran melihat sikap Lembu Sora selunak itu.

   Lembu Sora menoleh kepada utusan dari Mojopahit dan berkata.

   "Kisanak, kau tunggulah di luar, aku hendak menulis balasan untuk gusti sinuwun."

   Rahino memberi hormat lalu mundur, ke luar menunggu di ruangan depan. Setelah utusan itu keluar, Lembu Sora lalu berkata kepada dua orang pembantunya itu, didengarkan pula oleh banyak orang.

   "Gusti sinuwun mengingatkan aku bahwa untuk segala perbuatan telah diatur undang-undangnya di dalam Kutaramanawa, dan menurut undang-undang Mojopahit, jelas bahwa aku harus dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi gusti sinuwun mengampunkan kesalahanku dan tidak menjatuhkan hukuman mati, melainkan memindahkan aku ke Tulembang."

   "Itu berarti dibuang!"

   Seru juru Demung.

   "Diasingkan!"

   Sambung Gajah Biru.

   Lembu Sora menarik napas panjang.

   "Dibuang, diasingkan atau apa pun juga, namun jelaslah bahwa gusti sinuwun memperlihatkan rasa sayangnya kepadaku, dan isi surat ini sekaligus menyadarkan aku bahwa kita telah salah besar! Kita terlalu mementingkan urusan pribadi sehingga lupa akan kepentingan yang lebih besar, yaitu ketenteraman Mojopahit! Kita terlalu mementingkan diri sendiri sehingga untuk mempertahankan kepentingan diri pribadi, kita lupa bahwa kalau dilanjutkan, akan terjadi perang dan hal ini akan mengakibatkan kerusakan hebat di Mojopahit, dan akan menimbulkan kesengsaraan besar kepada rakyat jelata. Kita salah, adi Demung dan adi Gajah Biru."

   Sunyi senyap menyambut ucapan Lembu Sora yang lantang itu. Mereka semua adalah satria-satria yang berjiwa pahlawan, yang mencinta Mojopahit melebihi nyawa sendiri, yang sudah banyak berjuang demi kejayaan Mojopahit dan kini mereka berdiri sebagai lawan yang berhadapan dengan Mojopahit. Tentu saja hal itu amat menyedihkan hati mereka dan kini Lembu Sora yang mereka pandang sebagai pelopor dan pimpinan, mengingatkan mereka akan hal itu! Otomatis semangat perlawanan mereka terhadap Mojopahit menjadi kendur dan semua orang menundukkan kepala, tidak dapat membantah kebenaran ucapan Lembu Sora bahwa sebetulnya yang membuat hati mereka memberontak terhadap Mojopahit adalah karena urusan pribadi, sama sekali bukan karena kelaliman sang prabu terhadap mereka! Yang terjadi adalah pertikaian antara teman atau bekas teman seperjuangan, maka kalau sekarang karena urusan pribadi itu mereka menentang sang prabu, sungguh merupakan hal yang amat rendah bagi seorang satria!

   "Kakang Lembu Sora, lalu bagaimana baiknya dan apa yang hendak kakang lakukan sekarang?"

   Akhirnya Juru Demung mengajukan pertanyaan yang memecah kesunyian ini, dan semua orang seolah-olah menahan napas hendak mendengarkan jawaban pimpinan itu yang akan merupakan keputusan bagi mereka semua agaknya.

   Agaknya lama Lembu Sora tidak menjawab, seolah-olah sukarlah jawaban itu keluar dari mulutnya. Kemudian terdengar dia berkata lambat-lambat.

   "Apa yang akan kulakukan ini sama sekali tidak merupakan keharusan untuk andika sekalian. Kalau andika sekalian mengikuti aku, hal itu amatlah baik, tanda bahwa kalian masih memiliki kesetiaan terhadap Mojopahit sebagaimana layaknya satria-satria utama. Akan tetapi kalau tidak pun aku tidak akan memaksa kalian. Aku harus menulis surat jawaban kepada gusti sinuwun dan selain aku akan mohon ampun atas disa-dosaku, juga aku akan menyatakan cinta kasih dan baktiku terhadap sang prabu dan Mojopahit, dan aku bersedia untuk menyerahkan jiwa ragaku kepada gusti sinuwun. Terserah kepada beliau, apa pun yang akan dilakukan kepadaku, hukuman apa pun yang akan dijatukan kepadaku akan kuterima sebagai tanda baktiku terhadap Negara. Pendeknya aku menyerah tanpa syarat."

   Kembali keadaan di dalam rumah besar itu menjadi sunyi sekali. Muka-muka menjadi pucat dan pandang-pandang mata kehilangan semangatnya. Ada yang saling pandang di antara kawan-kawan terdekat, namun tidak ada yang dapat mengeluarkan suara karena mereka semua terhimpit di antara dua hal. Pertama, kebenaran yang diucapkan oleh lembu Sora sebagai seorang satria dan Senopati Kerajaan Mojopahit yang setia, kedua, rasa penasaran dihati mereka untuk menentang sebagai pembelaan diri. Namun akhirnya, kesunyian itu dipecahkan oleh suara Gajah Biru yang nyaring.

   "Aku siap mengikuti jejak kakang lembu Sora!"

   "Aku juga sehidup semati dengan kakang Lembu Sora!"

   Sambung Juru Demung. Dan ramailah suara-suara mereka menyatakan setuju dan hendak ikut Lembu Sora untuk menghadap sang prabu dan menyerahkan jiwa raga mereka ke tangan junjungan mereka itu. Akan tetapi, ada juga beberapa perwira yang tidak setuju, terutama sekali para anggota pasukan yang tidak rela untuk mati atau menerima hukuman begitu saja. Mereka ini tidak menjawab dan diam-diam mereka lalu mengundurkan diri dari persidangan itu. Lembu Sora maklum akan hal ini akan tetapi dia tidak menentang mereka dan bahkan tidak mengatakan sesuatu.

   Ditulisnyalah sepucuk surat untuk sang prabu oleh Lembu Sora, yang isinya menyatakan bahwa tiga hari lagi mereka akan menghadap ke Mojopahit untuk menyerahkan jiwa raganya kepada sang prabu di Mojopahit. Rahino lalu dipanggil dan kepada utusan ini diserahkanlah surat jawaban Lembu Sora itu. Setelah berpamit, berangkatlah Rahino membalapkan kudanya meninggalkan Pegunungan Pandan untuk kembali ke kota raja. Biar pun senja telah larut, namun sebagai seorang utusan yang menempuh kegelapan malam agar secepatnya dapat tiba di mojopahit. Dia orang perwira pasukan Lembu Sora mengawalnya dan tiga orang ini membalakan kuda mereka. Untung bahwa malam itu tidak begitu gelap, karena selain bulan muncul sepotong, juga langit bersih dan bintang-bintang menambah cahaya bulan yang redup.

   Akan tetapi, baru saja mereka meninggalkan daerah Pegunungan Pandan, di tengah perjalanan mereka bertemu dengan serombongan orang yang ternyata adalah rombongan pengawal yang mengawal Resi Mahapati! tentu saja pertemuan ini bukan kebetulan belaka karena memang sang resi telah sejak tadi menghadang di tempat itu dan hanya pura-pura bertemu secara kebetulan.

   "Eh, Rahino, apakah surat gusti sinuwun telah diterima dengan selamat oleh Lembu Sora?"

   Mahapati yang pura-pura hendak menyelidiki keadaan Lembu Sora itu bertanya.

   Sebetulnya utusan ini tidak senang karena terganggu perjalanannya, akan tetapi karena dia mengenal sang resi sebagai seorang yang berpengaruh di istana, maka dia menjawab juga.

   "Sudah sang resi."

   "Hemm, bagaimana penerimaan Lembu Sora? Apakah dia handak membangkang dan memberontak?"

   "Hamba tidak tahu pasti, sang resi. Akan tetapi kelihatannya tidak sedemikian, bahkan menurut cerita para anak buahnya, Gusti Demung Lembu Sora tiga hari lagi akan menghadap gusti sinuwun dan sekarang hamba telah membawa surat balasannya untuk gusti sinuwun."

   Hati Resi mahapati menjadi kecewa.

   "begitukah? Coba aku hendak melihat bunyi surat pemberontak itu, Rahino."

   Rahino terkejut sekali, juga terheran-heran dan khawatir. Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Sebuah surat untuk sang prabu tentu saja tidak boleh dilihat oleh siapa pun juga. Yang lancang melihatnya tanpa ijin sang prabu berarti melakukan dosa yang dapat dihukum mati! Dan seorang yang berkedudukan tinggi seperti Resi Mahapati, kepala dari golongan pemuja besar juga di istana, berarti seorang yang berpangkat tinggi, tentu sudah tahu akan peraturan ini.

   "Ah, hal itu tidak mungkin hamba lakukan, sang resi."

   Resi Mahapati mengulurkan tangan kanannya dan berkata dengan suara bernada mengancam.

   "Serahkan surat itu dan jangan banyak cakap, Rahino!"

   "Tidak, tidak banyak akan hamba serahkan!"

   Rahino menjawab keras dan dua orang pengawalnya pun sudah bangkit dan maju menghampiri.

   "Bunuh mereka!"

   Sang Resi Mahapati memerintah dan dua belas orang pengawalnya serentak maju menyerang rahino dan dua orang pengawalnya. Dapat dibayangkan betapa heran dan kaget rasa hati utusan ini. Dia dan dua belas orang temannya berusaha membela diri, namun dua belas orang pengawal Resi Mahapati itu adalah jagoan-jagoan pilihan, maka dalam waktu singkat saja Rahino dan dua orang itu tewas di ujung banyak keris dan Rahino membawa rasa kaget dan herannya ke alam kematian yang penuh rahasia! Andaikata dua belas orang pengawal itu kurang kuat, masih ada Resi Mahapati sendiri yang sakti dan tentu dengan mudah merobohkan Rahino dan dua orang temannya, maka melawan pun tidak ada gunanya bagi utusan itu.

   Sambil tersenyum lebar, Resi Mahapati mencari surat itu dan akhirnya menemukan surat balasan Lembu Sora itu di dalam saku baju dalam Rahino. Dibukanya surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai rusak sampulnya, lalu dibacanya di bawah penerangan obor yang dinyalakan oleh anak buahnya. Membaca surat Lembu Sora yang menyatakan setianya terhadap Mojopahit dan yang menyerahkan jiwa raganya kepada sang prabu, Mahapati tersenyum dan menggeleng-geleng kepala.

   "Tidak akan begitu jadinya, Lembu Sora. Tidak akan semudah itu kau lolos dari kematian!"

   Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk melemparkan tiga mayat itu ke dalam jurang di kaki Pegunungan Pandan, kemudian pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia dan para pengawalnya mendaki pengunungan itu menuju ke dalam hutan yang menjadi tempat persembunyian Lembu Sora!

   Para penjaga terheran-heran dan menaruh curiga melihat munculnya sang resi dan dua belas orang pengawalnya di luar hutan. Mereka segera bersiap-siap menghadang, dan ada pula yang melapor kepada Lembu Sora. Ketika Lembu Sora mendengar bahwa Resi Mahapati datang dan menyatakan hendak bertemu dan bicara dengannya, bekas senopati ini lalu keluar menyambut dan mempersilakan sang resi masuk ke dalam rumah untuk bicara. Juru Demung, Gajah Biru dan beberapa orang teman mereka menemani Lembu Sora menyambut tamu yang tak terduga-duga datangnya dan yang menimbulkan keraguan dan kecurigaan itu.

   "Ahh, untung bahwa akhirnya saya dapat berhadapan dengan dimas Lembu Sora!"

   Resi Mahapati berkata dengan sikap lega.

   "Setelah andika tiba dengan selamat di tempat persembunyian saya ini, kakang Resi Mahapati, sungguh amat mengherakan hati saya mengapa andika datang ke sini dan bagaimana pula andika datang ke sini dan bagaimana pula andika tahu bahwa saya berada di sini, kemudian berita apa yang anda bahwa?"

   Mahapati menarik napas panjang.

   "Inilah beratnya mempunyai seorang sahabat yang selalu kukagumi!"

   Dia memandang kepada semua orang, lalu menyambung.

   "Dimas Lembu Sora, terus terang saja, saya dengan sudah payah menyelidiki tempat persembunyian andika dan akhirnya dapat juga tiba di sini setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, hanya karena saya mengkhawatirkan keselamatan andika yang terancam bahaya maut!"

   Semua orang terkejut mendengar ini, akan tetapi Lembu Sora masih tenang dan bahkan menatap wajah resi itu dengan tajam penuh selidik.

   "Apa sebabnya andika berpendapat demikian?"

   "Dimas Lembu Sora, sayalah orangnya yang membujuk-bujuk gusti sinuwun, mengampuni dosa-dosa andika, sungguh pun usaha saya itu ditentang mati-matian oleh Patih Nambi yang menghendaki kematian andika."

   "Hemmm, terima kasih kalau benar demikian, kakang resi. Lalu bagaimana?"

   "Dalam persidangan itu, gusti sinuwun telah menyetujui untuk mengampunimu dan hanya memindahkan andika ke Tulembang. Apakah andika telah menerima surat keputusan gusti sinuwun yang dibawa oleh seorang utusan itu?"

   "Utusan Rahino?"

   Lembu Sora menjawab.

   "Sudah, kakang resi, dan Rahino telah pula membawa balasan saya dan kembali ke Mojopahit malam tadi."

   "Ahhh..., dan bagaimana pendapat andika? Kalau boleh saya mengetahui, bagaimana andika menjawab keputusan gusti sinuwun itu?"

   Lembu Sora mengerutkan alisnya, berat rasa hatinya untuk menjawab. Resi ini terlalu ingin tahu urusan orang, pikirnya, satu sifat yang amat tidak baik! Agaknya Mahapati mengerti akan keraguan ini, maka dengan lagak yang meyakinkan dan cerdik sekali dia berkata.

   "Dimas Lembu Sora, percayalah bahwa keinginan tahu dan kecerewetanku ini dengan kebaikan andika sendiri. Kalau tidak keliru perhitunganku atas watak satria andika, seperti telah kubayangkan ketika saya memperjuangkan pengampunan andika di depan gusti sinuwun, andika tentu siap sedia menyerah kepada junjungan kita itu, bukan?"

   Lembu Sora mengangguk. Memang tidaklah sukar bagi semua senopati dan ponggawa di Mojopahit untuk menduga apa yang akan dilakukannya karena mereka semua telah mengenal dia sebagai seorang senopati yang amat setia lahir batin terhadap Mojopahit.

   "Memang benar demikian, kakang resi. Saya menjawab kepada gusti sinuwun bahwa tiga hari lagi saya dan kawan-kawan akan menyerahka diri ke Mojopahit, menyerah tanpa syarat dan akan mentaati segala perintah dan hukuman yang dijatuhkan oleh kanjeng sinuwun."

   Mahapati menarik napas panjang.

   "Inilah beratnya mempunyai seorang sahabat yang selalu kukagumi!"

   Dia memandang kepada semua orang, lalu menyambung.

   "Dimas Lembu Sora, terus terang saja, saya dengan sudah payah menyelidiki tempat persembunyian andika dan akhirnya dapat juga tiba di sini setelah melakukan perjalanan semalam suntuk, hanya karena saya mengkhawatirkan keselamatan andika yang terancam bahaya maut!"

   Semua orang terkejut mendengar ini, akan tetapi Lembu Sora masih tenang dan bahkan menatap wajah resi itu dengan tajam penuh selidik.

   "Apa sebabnya andika berpendapat demikian?"

   "Dimas Lembu Sora, sayalah orangnya yang membujuk-bujuk gusti sinuwun, mengampuni dosa-dosa andika, sungguh pun usaha saya itu ditentang mati-matian oleh Patih Nambi yang menghendaki kematian andika."

   "Hemmm, terima kasih kalau benar demikian, kakang resi. Lalu bagaimana?"

   "Dalam persidangan itu, gusti sinuwun telah menyetujui untuk mengampunimu dan hanya memindahkan andika ke Tulembang. Apakah andika telah menerima surat keputusan gusti sinuwun yang dibawa oleh seorang utusan itu?"

   "Utusan Rahino?"

   Lembu Sora menjawab.

   "Sudah, kakang resi, dan Rahino telah pula membawa balasan saya dan kembali ke Mojopahit malam tadi."

   "Ahhh..., dan bagaimana pendapat andika? Kalau boleh saya mengetahui, bagaimana andika menjawab keputusan gusti sinuwun itu?"

   Lembu Sora mengerutkan alisnya, berat rasa hatinya untuk menjawab. Resi ini terlalu ingin tahu urusan orang, pikirnya, satu sifat yang amat tidak baik! Agaknya Mahapati mengerti akan keraguan ini, maka dengan lagak yang meyakinkan dan cerdik sekali dia berkata.

   "Dimas Lembu Sora, percayalah bahwa keinginan tahu dan kecerewetanku ini dengan kebaikan andika sendiri. Kalau tidak keliru perhitunganku atas watak satria andika, seperti telah kubayangkan ketika saya memperjuangkan pengampunan andika di depan gusti sinuwun, andika tentu siap sedia menyerah kepada junjungan kita itu, bukan?"

   Lembu Sora mengangguk. Memang tidaklah sukar bagi semua senopati dan ponggawa di Mojopahit untuk menduga apa yang akan dilakukannya karena mereka semua telah mengenal dia sebagai seorang senopati yang amat setia lahir batin terhadap Mojopahit.

   "Memang benar demikian, kakang resi. Saya menjawab kepada gusti sinuwun bahwa tiga hari lagi saya dan kawan-kawan akan menyerahka diri ke Mojopahit, menyerah tanpa syarat dan akan mentaati segala perintah dan hukuman yang dijatuhkan oleh kanjeng sinuwun."

   "Nah, itulah celakanya!"

   Tiba-tiba Resi Mahapati berseru.

   "Sudah kuduga demikian dan si licik Nambi pun sudah menduganya demikian, maka perangkap telah dipasangnya untuk mencelakakan andika!"

   Semua orang terkejut sekali mendengar ini, dan Lembu Sora dengan tatapan mata penuh selidik dan ragu bertanya.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Harap andika jelaskan, kakang resi. Perangkap apa yang andika maksudkan itu?"

   "Begini, dimas Lembu Sora. Seperti telah saya katakan tadi, dengan susah payah saya membujuk gusti sinuwun agar mengampuni andika, akan tetapi Patih Nimbi berkeras menentangnya sampai akhirnya dia pun tunduk atas keputusan gusti sinuwun. Akan tetapi, para sahabatku mencium rahasia yang direncakan oleh Patih Nambi, bahwa jika andika muncul untuk menyerahkan diri, begitu tiba di depan istana, di alun-alun andika akan dikeroyok dan dibunuh oleh anak buah Patih Nambi."

   "Ah, si keparat!"

   Gajah Biru sudah sudah membentak dan mengepal tinju, matanya meyala-nyala.

   "Akan kubunuh si keparat Nambi!"

   Tentu saja Gajah Biru marah sekali karena memang satria ini membenci Nambi, mendendam atas kematian kakak seperguruannya, yaitu Ronggo Lawe yang juga memberontak karena Nambi.

   "Sabarlah, dimas. Jangan terburu nafsu, karena belum ada bukti dan kenyataan bahwa Nambi akan melakukan hal yang rendah itu."

   Ucapan Lembu Sora ini selain menyabarkan Gajah Biru, juga sekaligus terang-terangan menyatakan belum percaya kepada keterangan Resi mahapati.

   Tentu saja sang resi yang cerdik itu maklum akan hal ini, dan dia memang sudah mempersiapkan jawaban dan siasat untuk menghadapi segala kemungkinan.

   "Sudah sepantasnya kalau andika tidak percaya kepada keterangan saya, dimas Lembu Sora, dan memang demikianlah hendaknya, seorang satria harus selalu berhati-hati dalam segala tindakan dan tidak mendengarkan keterangan satu pihak saja. Dan saya pun bersusah payah memberi tahu andika tanpa pamrih untuk diri sendiri, hanya ingin melihat andika selamat dari marabahaya. Ada pun kemudian andika percaya atau tidak, terserah kepada andika, akan tetapi saya telah memenuhi kewajiban sebagai seorang manusia dan sahabat yang hendak menyelamatkan andika."

   "Maaf, kakang resi. Bukan semata-mata saya tidak percaya. Akan tetapi kiranya mustahil kalau di Nambi berani berbuat seperti itu. Dan mengapa andika tidak melaporkan saja kepada gusti sinuwun, melainkan datang dan mengabarkan hal itu kepadaku?"

   "Ahh, mengapa adimas masih bertanya lagi? Ki patih Nambi adalah seorang patih hamengkubumi yang berpengaruh dan berkuasa, sedangkan saya ini apakah? Saya hanya seorang kepala golongan agama yang kecil saja kedudukan saya. Karena Patih Nambi hanya baru merencanakan, tanpa bukti, mana saya berani melapor kepada gusti sinuwun? Akan tetapi sudah sepatutnya kalau andika curiga atau kurang percaya kepada saya, oleh karena itu sebaiknya andika berhati-hati dan untuk membuktikan kebenaran pemberitahuan saya ini, dapat andika atur kalau andika nanti menghadap ke Mojopahit. Sebaiknya jangan andika datang bersama-sama dengan adi Juru Demung, Gajah Biru dan yang lain-lain. Andika saja seorang diri dan yang lain-lain mengiringkan jauh di belakang sambil melihat gelagat. Kalau tidak terjadi sesuatu, sudahlah, dan anggap saja bahwa saya hanya seorang tua cerewet yang tak dapat dipercaya! Akan tetapi kalau pada saat andika tiba di depan istana lalu muncul Nambi dan para anak buahnya hendak menangkap atau membunuh andika, nah baru teman-teman andika turun tangan membela diri dan membasmi Nambi yang curang dan khianat itu."

   Lembu Sora mengerutkan alisnya dan termenung. Setelah Mahapati bicara demikian mau tidak mau dia harus percaya juga dan mulailah dia bercuriga kepada Patih Nambi.

   "Bagus! Memang sebaiknya diatur seperti itu, kakang Lembu Sora!"

   Juru Demung berkata.

   "Kalau tidak terjadi apa-apa kita menyerah tanpa syarat. Akan tetapi kalau benar Nambi bertindak curang, kita basmi dia dan sekutunya, kemudian baru kita menyerah kepada gusti sinuwun!"

   "Tepat sekali! Aku setuju!"

   Gajah Biru juga berseru dan yang lain-lain juga menyatakan setuju dengan sikap dan pendapat itu.

   "Dan percayalah, saya selalu akan membantu andika, adimas Lembu Sora. Dalam keributan itu tentu saja saya tidak dapat mencampuri, akan tetapi sayalah yang kelak akan membela andika di depan gusti sinuwun setelah andika berhasil membasmi di penghianat Nambi. Sekarang, saya mohon diri, karena tidak baik kalau sampai diketahui kaki tangan Nambi bahwa saya datang berkunjung di sini."

   Maka pergilah Resi Mahapati setelah menerima ucapan terima kasih dari Lembu Sora dan kawan-kawannya, yang kini menganggap sang resi itu benar-benar seorang yang baik hati dan membela mereka! Setelah sang resi dan para pengawalnya pergi,mereka lalu mengaakan perundingan.

   "Bagaimana pun juga, biar keterangan-keterangan dari Resi Mahapati agaknya boleh dipercaya, akan tetapi kita harus berhati-hati dan jangan sembrono turun tangan kalau tidak ada buktinya lebih dulu. Aku akan berjalan di depan dan kalian agak menjauh di belakang sambil melihat keadaan, jangan sembarangan turun tangan kalau aku belum memberi tanda, sungguh pun Nambi dan kaki tangannya telah muncul. Harap perhatikan ini, demi ketentraman Mojopahit."

   "Ha-ha-ha. Memang benar sekali! Jangan terlalu percaya kepda manusia macam Resi Mahapati!"

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa dan kata-kata yang diucapkan dengan nyaring itu. Lembu Sora terkejut sekali, akan tetapi Juru Demung dan Gajah Biru cepat bangkit dan memandang kearah pintu dengan wajah berseri. Mereka mengenal suara Ki Jembros!

   "Kakang Lembu Sora, itulah Ki Jembros seperti yang kami ceritakan kepadamu. Agaknya dia telah keluar dari pertapaannya!"

   Bisik Gajah Biru.

   "heh-heh-heh, benar juga ucapanmu itu, Raden Gajah Biru! Akan tetapi aku tidak bertapa di gubuk ini, melainkan mengobati luka-lukaku. Untung telah sembuh karena aku harus melindungi kalian di Mojopahit nanti!"

   Kiranya setelah dahulu bersama muridnya, Sulastri, tiba di tempat persembunyian gajah Biru dan Juru Demung dalam keadaan luka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga melawan Empu Tunjukpetak dan Resi Harimurti. Ki Jembros menyuruh muridnya menyamar sebagai pria dan melanjutan perjalanan seorang diri ke Gunung Bromo untuk mencari eyang gurunya, yaitu Empu Supamandrangi. Sedangkan Ki jembros sendiri lalu membangun sebuah gubuk di hutan itu, dibantu oleh anak buah Juru Demung, kemudian dia memasuki gubug di hutan itu, dibantu oleh anak buah Juru Demung, kemudian dia memasuki gubuk dan berpesan agar siapa pun juga tidak boleh membuka pintu gubuk, bahkan mendekati pun tidak boleh! Tentu saja semua orang yang mengenal kesaktian dan keanehan kakek itu, mentaati dan sampai dua bulan lebih gubuk itu tidak diganggu, bahkan tidak ada yang berani mendekati.

   Kini, tahu-tahu suara kakek itu terdengar dengan lantang di waktu mereka mengadakan perundingan yang amat penting itu. Lembu Sora terkejut dan kagum bukan main. Kakek itu telah bicara dengan suara demikian jelasnya, padahal orangnya tidak kelihatan, dan dapat mendengar suara Gajah Biru tadi. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek yang bernama Ki Jembros itu benar-benar seorang yang sakti mandraguna! Maka dia pun cepat berkata dengan hormat,

   "Kalau memang paduka berkenan membantu kami, saya persilakan paduka untuk menghadiri perundingan kami."

   Terdengar suara nyaring dan angin menyambar dahsyat dari arah pintu, kemudian tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan kakek itu telah duduk di atas sebuah bangku di antara mereka yang sedang berunding! Kini keadaannya menjadi aneh jembel lagi. Selama melakukan perjalanan dengan muridnya, Sulastri yang menyayang gurunya itu masih menjaganya, mencucikan pakaiannya dan seringkali membujuk gurunya untuk mandi. Akan tetapi, selama dua bulan lebih dia berdiam di dalam gubug itu, maka kini begitu muncul, pakaiannya sudah lapuk-lapuk,rambutnya awut-awutan dan kusut, badannya penuh debu dan tanah, kelihatan kotor tiada bedanya dengan seorang jembel.

   Akan tetapi Lembu Sora tidak pernah menilai manusia dari pakaian atau keadaan lahiriahnya. Dia mengenal manusia sakti, maka cepat dia memberi hormat dan berkata.

   "Saya Lembu Sora yang bodoh menghaturkan sembah dan hormat kepada paman penembahan yang mulia."

   "Ha-ha-ha-ha! Nama besar Senopati Ki Demung Lembu Sora telah terkenal di seluruh jagad, sedangkan Ki Jembros seorang jembel tua, harap andika jangan terlalu mengangkat tinggi padaku, aku takut kalau jatuh, ha-ha! Makin tinggi kita duduk,makin ngerilah kalau sampai jatuh!"

   Mereka melanjutkan perundingan dan makin besarlah hati mereka karena Ki Jembros yang ingin sekali bertemu kembali dengan Empu Tunjukpetak dan Resi Harimurti di samping hendak melindungi Lembu Sora, menyatakan hendak ikut menemani mereka dan akan membantu kalau-kalau benar terjadi seperti yang dikatakan oleh Resi Mahapati tadi, yaitu bahwa Patih Nambi telah memasang perangkap dan akan mencelakakan Lembu Sora dan kawan-kawannya.

   Kita tinggalkan dulu Lembu Sora dan kawan-kawannya yang mengadakan perundingan untuk menghadapi perangkap yang mungkin dipasang oleh Patih Nambi pada saat mereka menghadap ke Mojopahit esok lusa, dan kita mengikuti perjalanan Resi mahapati yang penuh dengan tipu daya dan muslihat licik itu.

   Setelah meninggalkan Pegunungan Pandan dan tiba kembali di Mojopahit lagsung saja Resi mahapati mohon menghadap sang prabu. Dan begitu dia menghadap sri baginda, Sang Resi Mahapati menghaturkan sembah, lalu berkata.

   "Mohon ampun bahwa hamba datang menghadap membawa berita yang amat buruk dan berbahaya, gusti sinuwun. Ternyata bahwa dugaan hamba meleset jauh dan Lembu Sora benar-benar hendak berkhianat terhadap Mojopahit!"

   Berubah wajah sang mata mendengar ini dan cepat dia berkata.

   "Kakang Resi Mahapati, cepat ceritakan apa yang telah terjadi!"

   "Seperginya utusan Rahino membawa surat paduka untuk Lembu Sora, hati hamba merasa tidak enak, maka diam-diam hamba membawa pengawal untuk membayangi perjalanan Rahino yang menuju ke Pegunungan Pandan di mana Lembu Sora, Juru Demung dan Gajah Biru beserta teman-teman mereka bersembunyi. Hamba membayangi dari jauh dan hamba melihat betapa kemudian utusan paduka itu dibunuh oleh Lembu Sora dan kaki tangannya."

   "Ah, si keparat! Berani membunuh utusan raja?"

   Sang prabu membentak marah.

   "Mereka melemparkan mayat Rahino dan dua orang yang menjadi petunjuk jalan dan dua orang yang menjadi petunjuk jalan ke tempat persembunyian itu. Melihat itu,hamba menjadi marah sekali dan pada keesokan harinya, hamba berkunjung ke tempat Lembu Sora."

   "Hemm, berani sekali andika, kakang resi."

   "Di antara hamba dan adimas Lembu Sora tidak ada permusuhan apa-apa, dan pula,hamba merasa perlu untuk menegurnya. Hamba lalu berjumpa dengan Lembu Sora dan terang-terangan hamba menegurnya, dengan berpura-pura memihaknya, dengan berpura-pura memihaknya dan baik kepadanya. Lalu hamba minta agar dia mengambil keputusan mengenai surat paduka. Ternyata Lembu Sora mengandung maksud yang amat licik. Dia menulis surat balasan untuk paduka dan inilah suratnya, diberikannya kepada hamba."

   Sang prabu membaca surat dari Lembu Sora itu, surat yang tadinya dibawa oleh Rahino, surat yang meyatakan cinta dan baktinya kepada raja dan kepada Negara,surat yang menyatakan bahwa Lembu Sora mentaati semua perintah sang prabu dan bahwa pada hari esok akan menghadap dan meyerah tanpa syarat bersama kawan-kawannya. Membaca surat ini, sang prabu membelalakkan matanya memandang kepada Resi Mahapati dengan marah.

   "Kakang Resi Mahapati!"

   Sang prabu membentak.

   "Apakah andika tahu akan isi surat ini?"

   Mahapati menggeleng dan menyembah.

   "Mana berani hamba melihat surat yang dihaturkan kepada paduka."

   "Hemmm, isi surat sama sekali berlainan dengan pelaporanmu, Mahapati. Menurut suratnya, Lembu Sora telah mengakui kedosaannya dan besok pagi akan datang menghadap bersama kawan-kawannya, menyerahkan diri tanpa syarat dan tunduk akan semua keputusan kami."

   "Memang demikianlah yang dikatakan kepada hamba, gusti sinuwun. Dan itulah muslihatnya. Dia pura-pura tunduk, akan tetapi sesungguhnya dia besok datang bersama kawan-kawannya yang bersenjata lengkap dan selagi paduka tidak menyangka,dia dan kawan-kawannya akan mengamuk dan menyerbu!"

   "Ah, tidak mungkin!"

   Sang prabu membentak, lalu memanggil pengawal.

   "Suruh semua senopati dan ponggawa menghadap! Suruh mereka datang sekarang juga untuk hadir dalam persidangan kilat!"

   Para senopati, dipimpin oleh Patih Nambi yang terkejut mendengar perintah ini dari para pengawal, tergesa-gesa dan serentak datangmenghadap sri baginda dan mereka melihat bahwa Resi Mahapati sudah berada di situ, menghadap dengan muka tunduk, sedangkan sang prabu kelihatan marah sekali, mukanya merah dan sinar matanya berapi-api.

   "Kakang resi, sekarang kau ceritakan lagi pelaporanmu kepada kami tadi, agar didengarkan oleh semua menteri dan senopati,"

   Sang prabu bekata dengan suara keren. Dengan tenang Resi Mahapati mengulang kembali ceritanya tadi, tentang kunjungannya kepada Lembu Sora di Pegunungan Pandan. Setelah selesai bercerita,semua menteri menjadi terkejut sekali.

   "Nah, menurut pelaporan kakang Resi Lembu Sora hendak berkhianat. Akan tetapi coba andika sekalian dengarkan bunyi suratnya ini. Kakang Resi Mahapati, andika kuberi wewenang untuk membaca surat dari kakang Lembu Sora ini dengan suara keras agar semua orang mendengarnya,"

   Dengan sikap masih tenang Resi Mahapati menerima surat yang dilemparkan oleh sri baginda yang marah itu, kemudian membaca isi surat itu dengan lantang dan tenang. Semua orang mendengarkan isi surat yang penuh dengan kesetiaan dan kebaktian,dan mereka semua menjadi makin terheran-heran.

   Setelah selesai membaca surat itu dan menghaturkan kembali kepada sang prabu,sri baginda berkata lagi.

   "Nah, kakang resi. Sekarang kemukakan pendapat dan pandanganmu tadi agar dipertimbangkan oleh semua orang."

   Resi Mahapati menelan ludah, lalu berkata.

   "seperti telah hamba bunuh, hamba lalu berpura-pura mengunjungi Lembu Sora sebagai sahabat yang berpihak kepadanya. Karena itu, Lembu Sora mempercaya hamba dan membuka rahasianya bahwa dia membalas surat gusti sinuwun seperti itu hanya merupakan siasat belaka, agar kita semua menjadi lengah. Akan tetapi, besok pagi dia akan datang bukan sebagai orang yang menyerahkan diri tanpa syarat, melainkan hendak mengadakan penyerbuan dengan tiba-tiba ke istana!"

   Terkejutlah semua orang dan sebagian besar di antara mereka, seperti juga sang prabu sendiri, merasa tidak percaya.

   "bagaimana pendapat andika, paman Brahmonorojo?"

   Sang parabu bertanya kepada sesepuh itu.

   Pendeta tua ini menggeleng-geleng kepalanya.

   "Agaknya sukar dipercaya bahwa seorang seperti anakmas Lembu Sora itu akan melakukan penghianatan seperti itu."

   Para menteri dan senopati lain banyak pula yang menyatakan tidak percaya. Hanya Patih Nambi saja yang meragu dan berkata.

   "Hendaknya paduka berhati-hati, gusti sinuwun. Seorang yang telah berani lolos tanpa pamit dari Mojopahit, yang telah berani membunuh seorang teman seperjuangan secara keji dan curang, hamba kita tidak segan-segan pula melakukan kekejian dan pengkhianatan yang lain. Bukan semata-mata kakang Lembu Sora, hanya sebaiknya kalau kita bersikap hati-hati."

   "Itulah ucapan yang amat tepat, gusti sinuwun. Memang sangat boleh jadi hamba salah duga, akan tetapi hamba bukan hanya menyangka atau menduga, melainkan hamba mendengar sendiri dari Lembu Sora yang hendak menggunakan muslihat itu. Maka, sebaiknya kalau diatur begini saja, diam-diam diadakan baris pendam di depan istana, dan kalau besok Lembu Sora muncul, dia harus ditangkap dan dihadapkan ke persidangan. Kalau dia tidak melawan, demikian pula kawan-kawannya,berarti bahwa memang hamba yang salah duga atau salah dengar, akan tetapi kalau dia dan kawan-kawannya melakukan perlawanan, jelaslah bahwa memang dia telah bersiap-siap untuk memberontak dan menyerbu istana."

   Usul ini diterima baik oleh sang prabu, juag semua menteri membenarkan, karena tiada gunanya berbantahan tentang setia atau tidaknya Lembu Sora. Yang terpenting adalah membuktikannya besok. Kalau memang Lembu Sora tidak ada niat memberontak, tentu ditangkap pun dia tidak akan melawan. Kalau dia melawan,berarti memang dia berniat memberontak.

   "Dan sebaiknya, kalau boleh hamba mengusulkan, agar penilaian terhadap diri Lembu Sora dapat seadil-adilnya, maka tugas penangkapan ini sebaiknya ditangani sendiri oleh Patih Nambi,"

   Kata pula Mahapati setelah melihat betapa usulnya diterima dan dia mulai memperolah kepercayaan kembali. Memang orang ini amat cerdik dan selalu memilih saatnya yang tepat untuk melaksanakan siasatnya yang licin.

   Tentu saja sang prabu dan semua menteri setuju pula dengan usul ini, bahkan Patih Nambi menerima dengan girang sekali dan pandang matanya kearah Mahapati mengandung terima kasih. Tidak ada tugas yang lebih menggirangkan hatinya daripada menangkap Lembu Sora yang dibencinya itu.

   Setelah persidangan bubar dan Patih Nambi mempersiapkan pasukan yang pilihan, Mahapati menghampirinya dan berkata.

   "Tugas andika berat sekali, dimas patih. Selain Lembu Sora sendiri seorang yang amat digdaya, juga saya melihat banyak orang gagah di sarangnya. Maka, kebetulan sekali saya sedang menerima kedatangan tamu-tamu yang sakti, yaitu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Harimurti. Dengan adanya dua orang sakti ini yang membantu, kiranya andika akan dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaiknya. Mereka telah saya minta bantuannya dan mereka akan suka membantu dengan senang hati."

   Tentu saja penawaran ini diterima amat girang oleh Patih Nambi karena dia pun maklum akan kesaktian Lembu Sora dan kawan-kawannya.

   "Mereka berdua adalah sebagai wakil saya, dimas patih. Tentu saja andika maklum sendiri bahwa saya pribadi tidak mungkin dapat ikut turun tangan, karena tentu saja saya merasa malu berhadapan dengan Lembu Sora."

   Patih Nambi mengangguk-angguk maklum.

   "Saya mengerti, kakang resi, dan banyak terima kasih atas bantuan dan kebaikan anda."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Patih Nambi telah mempersiapkan baris pendam di alun-alun depan istana, sedangkan dia sendiri ditemani oleh dua orang kakek sakti, Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti,menanti di pendapa istana dengan hati tegang. Sedangkan tak jauh dari situ, di atas menara di pinggir pendapa, duduklah Resi Mahapati bersama Lestari, selirnya yang tercinta itu. Selir ini merengek dan membujuk agar dia diberi kesempatan menyaksikan pembasmian para pemberontak itu, dan resi Mahapati yang telah terbius oleh rayuan selirnya, akhirnya memperoleh ijin dari Patih Nambi untuk menonton dari atas menara penjagaan itu!

   Karena pada hari itu semua abdi dalam dan ponggawa dilarang keluar masuk istana, maka Mahapati dan selirnya dapat naik ke menara tanpa banyak menimbulkan perhatian, dan dua orang itu mengintai dari balik jendela dengan hati berdebar tegang. Mahapati berdebar karena ingin sekali melihat perintang utama kearah tangga kemuliaan yang dikejar-kejarnya itu lenyap,seangkan Lestari yang seperti gila oleh dendam sekeluarganya itu ingin menyaksikan betapa orang-orang yang dibencinya, yaitu semua pembesar Mojopahit yang dianggapnya semua jahat dan kejam terhadap keluarganya itu, saling bunuh di depan kakinya!

   Matahari mendaki angkasa makin tinggi dan sinarnya amat cerah menerangi bumi. Namun di sedikit bagian bumi itu, di Mojopahit, terutama sekali di istana,ketegangan makin memuncak dan kecerahan sinar matahari tidak dapat mengusir ketegangan yang mengerikan itu, sedikit pun tidak ada tanda-tanda dari alam bahwa hari itu akan terjadi hal yan hebat dan mengerikan di Mojopahit!

   Tak lama kemudian muncullah Lembu Sora! Mula-mula hanya terdengar dengan kaki kuda, di kejauhan. Mahapati dan Lestari yang mengintai dari atas menara dapat melihat bahwa Lembu Sora naik kuda dan berjalan di depan, sedangkan agak jauh di belakangnya nampak Juru Demung, Gajah Biru dan lain-lain orang yang jumlahnya ada seratus orang! Mahapati menggosok-gosok kedua tangannya. Siasatnya berhasil baik sekali, semua menurut rencana! Kini hati keduapfihak sudah ada kecurigaan besar. Lembu Sora tentu menduga bahwa munculnya Patih Nambi akan membunuh dia seanak buahnya, sebaliknya Patih Nambi tentu menduga bahwa Lembu Sora dan anak buahnya itu akan memberontak! Siasatnya memang hebat dan diam-diam Mahapati memuji diri sendiri sambil menonton dari balik jendela, tangannya merangkul pinggang ramping Lestari yang juga mengintai ke bawah dengan jantung berdebar tegang.

   Lembu Sora menjalankan kudanya perlahan memasuki alun-alun yang kelihatan sunyi,teman-temannya mengiringkan agak jauh di belakangnya. Melihat kesunyian alun-alun,mulailah hati Lembu Sora curiga akan kebenaran laporan Mahapati. Kalau memang Patih Nambi benar-benar hendak menjebaknya, tentu dia dan kawan-kawanya sudah diserang sejak tadi. Akan tetapi, di alun-alun sunyi saja! Dia melompat turun dari kudanya, mencancang kudanya di bawah beringin kurung jalan kaki menuju ke halaman istana. Demikian pula teman-temannya yang terus membayangi Lembu Sora dengan sikap waspada. Di depan rombongan itu berjalan seorang kakek tinggi besar yang tidak dikenal oleh Mahapati. Dia menduga-duga siapa gerangan kakek bercambang bauk yang berpakaian sederhana seperti petani itu.

   Akan tetapi, Patih Nambi terkejut dan dia lalu bangkit berdiri, diam-diam dia mengangkat tangan memberi isyarat kepada pasukan-pasukan yang melakukan baris pendam, kemudian dia melangkah turun dari pendapa istana untuk menyambut kedatangan Lembu Sora. Ketika Lembu Sora melihat munculnya Ki Patih Nambi bersama dua orang kakek pendeta dari penapa istana, terkejutlah dia, lalu cepat dia maju menghampiri dengan sikap wasapada.

   Patih Nambi lalu berkata, suaranya dingin dan kaku.

   "Lembu Sora, berlututlah engkau untuk kutangkap dan kuhaturkan ke depan gusti sinuwun tawanan!"

   Sebelum Lembu Sora menjawab, terdegar suara gaduh dan bermunculanlah banyak sekali pasukan dari kanan kiri dan ternyata kini alun-alun itu telah dikurung oleh sedikitnya seribu orang prajurit! melihat ini bukan main marahnya hati Lembu Sora, apalagi ketika dia melihat Patih Nambi tertawa bergelak dengan sikap mengejek, lalu mendengar Nambi berkata.

   "Ha-ha-ha, Lembu Sora, hendak kulihat sebetulnya orang macam apa adanya engkau!"

   Ucapan Patih Nambi ini diterima keliru oleh Lembu Sora yang sudah kemasukan racun pelaporan Resi Mahapati bahwa dia akan dihadang dan dibunuh oleh Patih Nambi. Melihat Nambi muncul dengan seribu orang pasukan, dia kini tidak ragu lagi akan cerita Mahapati itu. Maka dia alu membentak marah.

   "Si keparat Nambi,kalau bukan engkau, tentu aku yang akan membanjiri alun-alun Mojopahit dengan darah!"

   Tentu saja Nambi yang sudah kemasukan racun pelaporan Resi Mahapati bahwa Lembu Sora hanya berpura-pura saja menyerah akan tetapi sebenarnya hendak memberontak.

   "penghianat hina, memang engkau layak mempus!"

   Lembu Sora mengeluarkan pekik melengking dahsyat dan inilah tanda bagi Juru Demung, Gajah Biru dan para anak buahnya bahwa mereka benar-benar terjebak dan terpaksa harus membela diri agar jangan mati konyol. Maka bergeraklah semua pengikut Lembu Sora, mencabut parang atau keris masing-masing menghadapi seribu orang pasukan Mojopahit itu!

   Terjadilah perang tanding yang amat dahsyat di alun-alun depan istana! Lembu Sora mengamuk dan Nambi terpaksa harus mundur dan berlindung di belakang dua orang kakek yang sudah melangkah maju untuk menahan amukan Lembu Sora yang selama waktu pendek saja sudah merobohkan belasan orang perjurit yang hendak menawan atau membunuhnya. Amukannya seperti seekor gajah marah sehingga para perajurit Mojopahit menjadi gentar.

   "Plak-plakkkk!!"

   Tubuh Lembu Sora terdorong ke belakang ketika dua kali tangan kirinya bertemu dengan tangkisan seorang kakek yang tiba-tiba maju dan mencegah dia merobohkan lebih banyak perajurit lagi. Lembu Sora terkejut karena tenaga yang keluar dari tangan kakek itu hebat bukan main. Dia memandang dan membentak marah.

   "Andika ini berpakaian pendeta akan tetapi bukan ponggawa Mojopahit! Siapakah andika?"

   "Lembu Sora, mengapa engkau tidak berlutut dan menyerah saja? Engkau tidak akan kuat menandingi Empu Tunjungpetak."

   "Bagus kau pendeta keparat kaki tangan Nambi!"

   Lembu Sora menerjang dengan keris di tangan, menusuk kearah dada kakek itu.

   "Dukk!!!"

   Kerisnya terpental dan ternyata kakek itu memiliki kekebalan yang luar biasa!

   "Hemm, Lembu Sora, kau takkan menang melawan aku!"

   Akan tetapi Lembu Sora yang sudah marah itu menubruk maju, mengerahkan aji kesaktiannya pada kepalan tangan kanannya dan menghantam.

   "Dessss...!!"

   Kini kakek itu mundur dua langkah.

   "Jagad Dewa Bhatara, kau hebat juga, Lembu Sora!"

   Kata Empu Tunjungpetak dan ketika senopati itu menyerang lagi, dia menangkis dan balas menampar.

   "Plakkk!!"

   Tamparan itu tidak begitu keras, akan tetapi begitu terkena tamparan itu pada pundaknya, tubuh Lembu Sora terpelanting dan sejenak dia tidak mampu bangun karena kepalanya terasa pening. Saat itu dipergunakan oleh empat orang prajurit untuk menyerangnya dengan tombak di tangan.

   "Desss-desss-plak-plakkk! Ha-ha-ha-ha!"

   Empat orang itu terlempar dan terbanting ke atas tanah, tidak mampu bangkit kembali dan di situ telah berdiri Ki Jembros! Kakek ini tadi mengamuk pula sambil terkekeh-kekeh. Sepak terjangnya seperti seorang bocah yang bermain perang-perangan, tertawa-tawa, akan tetapi siapa pun yang kena cium ujung tangan atau kakinya tentu akan terlempar jauh. Biar pun dia mengamuk dan main-main, Ki Jembros tidak pernah lengah dan selalu memperhatikan Lembu Sora maka begitu Empu Tunjung petak muncul, cepat dia menghampiri dan untung dia tidak terlambat karena nyaris Lembu Sora tewas di ujung tombak empat orang prajurit itu.

   "Setan jembros keparat...!"

   Empu Tunjungpetak berseru kaget dan marah.

   "Ha-ha-ha-ha, bertemu lagi di sini. Tunjungpetak, engkau memang lawanku. Hayo,tua sama tua, jangan mencari bocah yang lemah saja!"

   Ki Jembros berkata dan dia langsung menerjang sambil tertawa-tawa.

   Empu Tunjungpetak cepat menangkis dan terjadilah pertandingan yang aneh di antara dua orang kakek ini. Dikatakan aneh karena cara mereka berkelahi itu berbeda dengan para prajurit yang sedang mengeroyok dan menggempur anak buah Lembu Sora itu. Para prajurit itu bertanding dengan senjata mau pun tangan, akan tetapi jelas mereka itu menyerang atau menangkis dengan pengerahan tenaga dan kelihatan seru dan ramai. Berbeda dengan mereka, dua orang kakek ini bertempur seperti orang main-main saja. Bahkan jarang kedua lengan mereka saling bertemu,sudah terpental sebelum saling sentuh dan gerakan mereka itu lambat-lambat,seolah-olah yang memukul memanti sampai lawan bersiap-siap dan menangkis menanti sampai lawan memukul! Akan tetapi itu hanya kelihatannya saja.

   Sebetulnya di antara kedua orang kakek ini menyambar-nyambar hawa maut yang amat dahsyat. Buktinya, ketika ada dua orang prajurit tanpa disengaja mendekati tempat pertempuran itu, tiba-tiba mereka memekik dan roboh terus tewas. Mereka utuh kena sambaran hawa pukulan sakti yang biar pun tidak mengakibatkan dua orang perajurit itu menderita luka-luka di sebelah dalam tubuh dan mereka tewas seketika!

   Biar pun Empu Tunjungpetak telah mengeluarkan seluruh kesaktiannya namun tetap saja dia terdesak mundur. Mereka itu saling pukul, akan tetapi setiap pukulan Ki jembros membuat Empu Tunjungpetak mundur tiga langkah sedangkan balasan pukulannya hanya membuat Ki Jembros mundur selangkah sambil tertawa-tawa! jelas dia kalah kuat dan kalah ampuh pukulannya, kalah kebal tubuhnya dan kalau dilanjutkan, Empu Tunjungpetak tentu akan mengalami kekalahan. Melihat ini, Resi Harimurti yang tadinya membiarkan Empu Tunjungpetak menghadapi Ki Jembros sedangkan dia sendiri hanya menonton, meloncat ke depan dan membentak.

   "Jembel tau bangka busuk, sekarang tiba saatnya aku membalas dendam!"

   "Ha-ha-ha, resi cabul, kau masih hidup? Bagus, majulah biar kukirim kau ke neraka jahanam di mana memang lebih pantas menjadi tempat tinggalmu."

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Keparat sombong!"

   Resi harimurti maju dan kedua tangannya sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu kipas bambu dan pecut panjang. Dua buah senjata ini adalah senjata-senjata baru karena yang lama telah rusak ketika dia bertanding melawan Ki jembros beberapa bulan yang lalu. Dengan bantuan Resi Mahapati, dia dapat membuat senjata-senjata ini dari bahan yang baik. Melihat temannya mengeluarkan senjata, Empu Tunjungpetak diam saja, akan tetapi dia sendiri hanya menghadapi lawan dengan kedua tangan kosong.

   

Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini