Keris Maut 2
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Ki sanak,"
Katanya dengan suara dibikin gagah sebisanya.
"Ada keperluan apakah gerangan maka pemimpinmu Klabang Songo mengutusmu masuk ke dusun ini dan menemui aku?"
Utusan Klabang Songo itu masih muda dan la pernah mendengar tentang kecantikan Mekarsari, maka ketika ia memasuki nr.ng tamu, sepasang matanya yang liar dan merah itu jelilatan mencari-cari ke dalam rumah, dengan harapan akan dapat melihat si denok ayu Mekarsari!
"Ki lurah"
Jawabnya dengan suara yang membuat Ki Lurah Reksoyudo merasa punggungnya panas dingin.
"Hamba diutus oleh Kakang Mas Klabang Songo untuk meminang puterimu, si denok Mekarsari!"
Seketika itu juga pucatlah wajah ki lurah mendengar pinangan yang kasar dan kurang ajar ini. Kepucatan mukanya berobah menjadi merah karena marah. Hampir saja ia mencabut kerisnya dan menyerang utusan kepala rampok itu, kalau saja ia tidak ingat bahwa betapapun juga orang ini adalah seorang pesuruh yang hanya menyampaikan perintah majikan atau junjungannya. Bukan utusan ini yang kurang ajar dan bukan pula orang ini yang meminang puterinya. Di dalam kemarahannya ki lurah masih ingat akan peraturan dan ketatasopanan seorang tuan rumah menerima tamu seorang utusan. Adapun utusan Klabang Songo itupun dapat melihat betapa tuan rumah menjadi marah, maka buru-buru ia melanjutkan ucapannya,
"Ki Lurah Reksoyudo, hamba menyampaikan pinangan Kakang Mas Klabang Songo disertai syarat dan perjanjiannya. Kalau ki lurah menerima pinangannya, tidak saja kami tidak akan mengganggu Karangluwih, bahkan Kakang Mas Klabang Songo berjanji akan menjaga keamanan dusun ini, akan memberi kebahagiaan dan harta benda kepada puterimu. Ketahuilah bahwa Kakang Mas Klabang Songo tidak mempunyai isteri lain, kecuali piaraan di sana sini. Dia seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna, dan mempunyai simpanan harta benda yang tidak kalah besarnya dengan kekayaan seorang bupati. Kau mau sawah? Tunjuk saja yang mana, Kakang Mas Klabang Songo sanggup merampaskannya dari pemiliknya untuk mertuanya. Kau mempunyai musuh? Tunjukkan yang mana orangnya, dalam sehari saja Kakang Mas Klabang Songo akan mematahkan batang lehernya dan mempersembahkan kepala musuhmu di depan kakimu. Asalkan jangan minta singgasana kerajaan, Kakang Mas Klabang Songo sanggup memenuhi segala permintaanmu."
"Bedebah! Keparat! Lekas kau minggat dari sini! Sampaikan kepada Klabang Songo si jahanam bahwa lebih baik dusun ini menjadi lautan api dari pada aku harus menyerahkan puteriku kepadanya."
Sambil berkata demikian, ki lurah menuding ke arah ointu depan, mengusir utusan itu yang hanya menyeringai saja dengan tabah sekali.
"Ki lurah, kau telah menentukan nasibmu sendiri. Nah, selamat berpisah sampai bertemu lagi di dalam lautan api!"
Pergilah utusan itu berlari ke luar. Ki Lurah Reksoyudo menjatuhkan dirinya di atas kursi. Nafasnya memburu, wa-jahiiya seoentar pucat sebentar merah. Bedebah, makinya dengan pikiran kusut, pinangan pertama terhadap puterinya datang dari seorang kepala rampok! Tiba-tiba ia teringat akan ancaman Klabang Songo yang diucapkan oleh utusannya tadi, maka cepat-cepat ia berteriak keras,
"Penjaga...!!!"
Tiga orang penjaga yang memegang tombak dan tadi berdiri di luar kelurahan segera bergegas lari masuk.
"Kumpulkan kepala pasukan, suruh mereka datang ke sini. Cepat!!"
Tiga orang penjaga itu lalu berlari ke luar lagi dan segera melakukan perintah ki lurah. Setelah para kepala pasukan datang, ki lurah lalu berkata,
"Si keparat Klabang Songo telah mengancam akan menyerang dusun kita. Cepat atur penjagaan yang kuat. Jaga seluruh kampung, kelilingi dengan pasukan-pasukan!"
Ki lurah tidak berani menceritakan tentang pinangan yang amat memalukannya itu, kemudian ia sendiri mengatur barisan penjaga untuk bersiap sedia menyambut serbuan para perampok. Penduduk dusun Karangluwih menjadi gelisah sekali, akan tetapi semua orang laki-laki ikut bersiap sedia menjaga keamanan dengan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, pedang, keris, linggis, pacul dan lain-lain. Orang-orang perempuan tidak berani keluar dari pintu rumah dan memeluk anak-anak mereka di dalam kamar dengan hati berdebar dan kedua kaki lemas. Setiap kali mendengar suara gaduh di luar rumah, kaki mereka menggigil. Pak Bejo, petani tua yang tinggal di ujung timur dusun bersama isterinya, biarpun usianya sudah ada limapuluh tahun, namun masih bersemangat. Ia ikut keluar dari pintu rumah membawa sebatang alu besar yang biasanya dipergunakan oleh isterinya untuk menumbuk padi.
"Pakne, kau mau ke mana? Jangan tinggalkan aku, pakne!"
Kata mbok Bejo dengan suara gemetar. Biarpun mereka tidak pernah punya anak, mbok Bejo selalu menyebut suaminya "Pakne"
Dan suaminya menyebutnya "Mbok-ne."
"Aah, kau seperti penganten baru saja, mbokne. Orang laki mau keluar berjaga, kau ribut mulut tak karuan"
Pak Bejo mengomel sambil melepaskan tangannya yang dipegang oleh isterinya.
"Kau sudah tua bangka, mau menjaga apa? Lebih baik di rumah saja, menjaga aku kalau-kalau aku jatuh pingsan karena kaget dan takut!"
Kata isterinya.
"Biarpun sudah tua, akan tetapi tua-tua kelapa, makin tua makin keras batoknya, makin banyak minyaknya! Lupakah kau bahwa aku adalah bekas cabang atas? Kalau baru sepuluh dua puluh orang perampok saja, terkena sambaran aluku di atas kepalanya, tentu akan remuk kepalanya, menggeletak tak kuasa membuka mulut meminta air minum lagi!"
Sumbarnya sambil mengayun-ayun alunya yang besar itu di atas kepalanya sehingga nafasnya terengah-engah karena alu itu memang berat.
"Pakne, jangan pergi... kalau mau berjaga, jagalah di depan pintu rumah sendiri. Bagaimana nanti kaiau kau pergi, ada perampok masuk ke dalam rumah? Apa yang harus kulakukan?"
"Jewer telinganya dan jambak rambutnya! Apakah ia tidak tahu bahwa kau adalah mbok Bejo, isteri pak Bejo cabang atas?"
Jawab pak Bejo seraya mengangkat dada, seolah-olah perampok yang mereka bicarakan itu hanya seorang anak kecil yang nakal saja.
"Jangan pergi, pakne. Aku takut!"
"Aku harus pergi, menggabung dengan para penjaga untuk mengusir perampok kalau mereka berani masuk dusun,"
Kata pak Bejo nekat dan hendak pergi. Akan tetapi isterinya lari memeluknya dan mereka lalu bertarik-tarikan, seorang ingin pergi, yang seorang menahan.
"Baiklah, kalau kau nekat pergi, aku mau ikut ke sana!"
"Ikut? Kau...? Orang perempuan tua mau ikut berjaga?"
"Biar! Biar aku mati di sampingmu. Bukankah kita dulu sudah bersumpah hidup serumah mati seliang?"
Suaranya masih mengandung kemesraan semasa mudanya. Pak Bejo lemas dan semangatnya bertempur melawan perampok terbang setengahnya.
"Baiklah... baiklah..."
Ia menarik nafas panjang.
"Biar aki menjaga di depan rumah. Kau masuk dan bersembunyilah di dalam kamar."
(Lanjut ke Jilid 02)
Keris Maut (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 02
"Kau betul-betul tidak meninggalkan aku?"
Tanya mbok Bejo manja.
"Tidak, bagaimana nanti kalau ada perampok mengganggu bidadariku?"
Kata pak Bejo sambil mengobat-abitkan, alunya di atas kepala. Mbok Bejo segera masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di dalam biliknya... Sementara itu, hari telah mulai gelap. Hampir setengah hari penduduk Karangluwih menanti dengan hati berdebar, namun perampok-perampok itu tak juga datang. Makin gelap cuaca, makin gelap pula hati dan pikiran semua orang. Malam yang biasanya aman dan tenteram, kini nampak seakan-akan amat mengerikan. Agaknya para iblis dan setan pada keluar dari tempatnya dan beterbangan di atas dusun itu, siap mencari korban. Kebetulan sekali di atas rumah pak Bejo terbang seekor burung gagak yang berbunyi tiga kali,
"Gaok... gaok... gaok...!"
Mbok Bejo menjumbul kaget dalam biliknya dan bagaikan seekor kijang melompat ia lompat turun dari ambennya terus lari keluar.
"Pakne...! Pakne...! Tolong...!"
Hampir saja ia bertumbukan denean suaminya yang dari luar lari ke dalam mendengar jeritnya ini.
"Eh, eh, kau kenapakah?"
Tanya pak Bejo dengan hati tidak enak. Mereka memang tinggal di tempat yang paling ujung dan jauh tetangga, di kanan kiri rumah hanya ladang penuh tanaman jagung dan ubi.
"Suara gagak itu... tiga kali... alamat tidak baik, dia mencari bangkai..."
"Hush... jangan bicara yang bukan-bukan, mbokne. Masuklah kembali ke dalam bilik dan kalau kau mendengar sesuatu jangan sekali-sekali keluar. Kalau ada perampok datang, serahkan saja kepadaku, dan kalau aku sedang bertempur melawan puluhan perampok, jangan kau keluar."
Mbok Bejo menggigil.
"Aku... aku takut, pakne. Kau masuk sajalah. Aku takut seorang diri di dalam bilik, takut kalau-kalau kau kenapa-kenapa..."
Di dalam hatinya, pak Bejo memang telah merasa ngeri mendengar ucapan isterinya tentang burung gagak dan bangkai tadi, akan tetapi ia menahan-nahan kengeriannya. Kini ia mendapat alasan untuk masuk ke dalam rumah, maka katanya sambil tersenyum lega,
"Aah, perempuan! Kau memang makhluk lemah dan penakut. Jangan takut, selama ada suamimu di sini, takkan ada orang berani menyentuhmu!"
Dengan lenggang seakan-akan Sang Gatotkaca merungrum (mencumbu rayu) Dyah Pergiwa, pak Bejo menggandeng isterinya masuk ke dalam pondoknya. Akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, tiba-tiba terdengar,
"Brak...! Kresek! Kresek... brak!"
Hampir saja pak Bejo njrantal (melompat anjing) saking kagetnya dan mbok Bejo menjerit sambil memegang baju suaminya.
"Ngeoong...!"
"Bedebah! Keparat! Babo-babo, amuk sura-mrata jaya-mrata!!"
Pak Bejo menyambar alunya dan melompat ke luar karena tahu bahwa suara tadi hanya ditimbulkan oleh sepasang kucing yang sedang memadu kasih.
"Mana perampoknya? Ayoh keluar, bertanding tebalnya kulit kerasnya tulang melawan jago tua Bejo! Majulah, jangan seorang, keroyoklah sepuluh orang kalau hendak merasakan bagaimana nikmatnya kepala diremuk alu!"
Ia petantang-peten-teng (berlagak mengangkat dada) di depan rumah sambil mengobat-abitkan alunya yang besar dan berat. Mbok Bejo menarik ujung bajunya ke dalam pintu.
"Masuklah, pakne, jangan begitu. Itu tadi hanya kucing!"
"Ah, kucing? Kukira perampok-perampok yang datang. Kau penakut sekali, mbokne. Ayoh kuantar masuk bilik."
Keduanya masuk ke dalam bilik dan suasana menjadi sunyi, sunyi yang menakutkan. Bulan sabit muncul membawa cahaya yang remang-remang, menambah keseraman malam.
"Pakne, aku takut..."
Terdengar suara mbok Bejo perlahan, gemetar.
"Takut apa? Biar aku rengeng-rengeng (bersenandung), kuceritakan tentang Sang Hanoman mengamuk di Ngaleng-kadiraja!"
Maka terdengarlah suara pak Bejo uro uro (menembang moeopat) mengisahkan perjalanan dan pengalaman Sang Hanoman kera putih perkasa yang menjadi utusan Sang Prabu Raniawijaya ketika mengamuk di Ngalengka (dalam cerita wayang Ramayana). Suara pak Bejo memang empuk dan pulen, maka terdengar enak sekali. Orang-o-rang yang menjadi tetangga pak Bejo tinggal agak jauh dari situ, akan tetapi ketika mereka mendengar suara pak Bejo uro-uro ini, mereka geleng-geleng kepala.
"Ampun...!"
Kata seorang tetangga menggelengkan kepala.
"Dalam saat seperti ini pak Bejo masih rengeng-rengeng menghibur hati bininya!"
"Mungkin otaknya sudah miring,"
Mencela seorang yang brangasan karena diserang rasa kegelisahan dan ketakutan hebat. Suara tembang pak Bejo yang merdu itu mengalun di kesunyian malam dan mbok Bejo merem melek karena suara suaminya ini selalu masih mempesona hatinya. Rasa takutnya sudah mengurang dan ia mendengarkan suara uro-uro suaminya yang memang baik itu.
"Sang Hanomam melompat tinggi menantang-nantangnya, mengejek berani, Heh kamu Rahwana, raja durhaka! Keluarlah kalau memang perkasa inilah lawanmu, Sang Hanoman sakti keroyoklah, aku takkan lari! Inilah dadaku! Majukan laskarmu Babo babo! Inilah ksatria sejati!"
Tiba-tiba pak Bejo menghentikan mocopatnya karena terdengar suara,
"Srek, srek, kietek!"
Kemudian disusul oleh suara kaki orang berjalan, lalu sunyi.
"Pakne..."
"Ssst, jangan berisik, tidak ada apa-apa..."
Balas pak Bejo dengan bisikan menghibur, akan tetapi kedua telapak kakinya telah menjadi dingin sekali. Ia lalu menembang kembali, suaranya dikeras-keraskan, hatinya diberani-beranikan, akan tetapi tetap saja suaranya menjadi sumbang dan kata-kata dalam tembangnya ngawur. Tiba-tiba keadaan yang sunyi dan suara pak Bejo yang tadinya hanya menjadi suara tunggal di malam sunyi itu terganggu oleh suara bersorak dari jauh.
"Pakne... suara apa itu yang bersorak-sorak...?"
Bisik mbok Bejo.
"Sst, jangan ribut, dengarkan uro-uroku,"
Sela pak Bejo sambil menekan suaranya yang gemetar karena iapuu ketakutan setengah mati. Ia dapat menduga bahwa sorak-sorai itu tentulah suara para perampok yang datang menyerbu. Untuk memberanikan hatinya ia melanjutkan tembangnya yang tr.di tertunda, dengan suara gemetar,
"Ribuan bala Ngalengka ratusan para raksasa ganas liar menyerbu! Hanoman trengginas nyambut menyambar alu... eh, batu menghantam para perampok... eh... menghantam para raksasa gagah perkasa Sang alu... eh... alu..."
Pak Bejo tak sanggup melanjutkan tembangnya karena kata-katanya sudah kacau-balau, tercampur dengan pikirannya yang penuh dengan bayangan perampok-perampok ganas dan alunya yang menyambar-nyambar mengamuk!
"Ha, ha, ha!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli dari luar pintu.
"Pak Bejo, sejak kapan Sang Hanoman bersenjata alu?"
Mendengar suara yang asing itu di luar pintu, mbok Bejo menggigil seluruh tubuhnya. Ia menarik kaki dan tangannya, membuat tubuhnya menjadi sekecil mungkin, mepet di pojok balai-balai. Pak Bejo memandang kc arah pintu dengan mata terbelalak.
"Si... siapa itu...?"
Tanyanya, akan tetapi suaranya tenggelam di dalam sorak sorai dan derap kaki yang kini telah terdengar riuh, tanda bahwa banyak sekali orang telah memasuki dusun Karangluwih. Suara ini disusul oleh suara pekik kesakitan dan beradunya senjata. Ternyata para perampok telah menyerbu masuk dan telah terjadi perang tanding antara para penjaga dan perampok-perampok itu. Pak Bejo menyambar alunya dan melompat turun dari balai-balai, siap menyerbu ke luar pintu. Akan tetapi mbok Bejo memegang kakinya, sehingga pak Bejo tak dapat keluar. Tiba-tiba nampak cahaya terang masuk ke dalam bilik itu dan pak Bejo berkata dengan suara serak,
"Celaka mbokne. Perampok-perampok itu membakar rumah..."
"Jangan pergi, pakne... biar kita mati seliang..."
"Baik... baik... aduh, kalau rumah kita dibakar... kita mati terpanggang... mbokne, mari kita lari...!"
Pak Bejo memegang tangan isterinya dan menyeretnya turun dari balai-balai. Keduanya berlari keluar dari bintil, akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, mbok Bejo menjerit dan lari kembali ke dalam biliknya.
Ternyata bahwa di dalam rumah nampak seorang pemuda sedang berdiri bertolak pinggang, sedangkan dari jauh datang menyerbu belasan orang perampok yang tinggi besar dan menyeramkan, karena setiap orang perampok memegang sebilah golok yang mengkilat karena tajamnya. Pak Bejo terpaku di ambang pintu dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia menutupkan daun pintu sambil mengintai dari celah-celah daun pintu itu. Siapakah adanya pemuda yang berdiri di depan rumah pak Bejo itu? Sesungguhnya pemuda ini bukan lain adalah Wisena! Di dalam perjalanannya menuju ke Singosari, Wisena tiba di dusun Karangluwih pada malam hari itu. Ia merasa heran melihat para peniasyi mengadakan penjagaan yang demikian rapat dan kuat di sekeliling dusun.
Karena ingin sekali mengetahui apa gerangan yang terjadi, ia lalu menggunakan kepandaiannya memasuki dusun dari sebelah timur tanpa diketahui oleh para penjaga yang hanya melihat bayangan hitam berkelebatan cepat. Wisena berjalan perlahan dan ketika tiba di dekat rumah pak Bejo, ia mendengar percakapan antara pak Bejo dan isterinya. Maka tahulah Wisena bahwa dusun itu terancam cleh Ferbuan para peramjook. Ia lalu beristirahat di emper rumah pak Bejo. Yang terdengar oleh kedua suami isteri itu tadi adalah suara tindakan kakinya di depan rumah. Kemudian Wisena mendengar pak Bejo bertembang sehingga ia menjadi geli dan suaranya nulalah yang mencela pak Bejo tentang Sang Hanoman bersenjata alu! Wisena telah mendengar pula sorak sorai dari para perampok yang menyerbu dan ketika ia melihat belasan orang perampok menyerbu masuk dari timur, ia segera menyambut mereka.
Ternyata bahwa Klabang Songo telah menyerbu dusun itu dari berbagai jurusan. Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau, dan kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah. Lebih-lebih lagi kekacauan para penjaga ketika perampok-perampok itu dari luar dusun mempergunakan anak-anak panah yang membawa api. Sudah ada beberapa buah pondok terdekat yang telah terbakar. Jerit minta tolong dari penghuni rumah yang terbakar bercampur dengan pekik orang-orang yang mulai bertempur. Pertahanan para penjaga bobol dan perampok-perampok yang ganas itu telah menyerbu masuk dusun! Dua-belas orang perampok yang menyerbu dari timur telah merobohkan para penjaga dan kini mereka berlari menuju ke rumah pak Bejo yang berada di paling ujung.
Tiba-tiba muncul sesosok tubuh manusia dari depan rumah pak Bejo dan bayangan ini adalah seorang pemuda yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Ia berdiri menghadang perampok-perampok itu dengan kedua tangan bertolak pinggang. Tentu saja duabelas orang perampok itu menjadi marah dan juga heran melihat seorang pemuda bertangan kosong dan seorang diri berani berdiri menghadang di tengah jalan. Tiba-tiba pintu pondok pak Bejo terbuka dan pak Bejo sendiri dengan aki di tangan melompat ke luar. Melihat seorang pemuda berdiri di deoan rumabnya dan membelakanginya, ia menjadi girang sekali. Ia mengobat-abitkan alunya dan berlari"Menghampiri Wisena yang masih berdiri tegak. Diangkatnya alu itu dan dipukulkannya ke arah Menala Wisena yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak!
"Duk!"
Ketika alu itu beradu dengan kepala Wisena, pak Bejo berseru terkejut karena bukan kepala itu yang pecah atau retak, bahkan alunya sendiri yang terlepas dari pegangannya. Pak Bejo memandang kepada belakang tubuh pemuda itu dengan mata terbelalak, kemudian ia melihat rombongan perampok yang telah tiba di depan pemuda itu, maka tanpa menengok lagi ia lalu berlari pontang-panting masuk kembali ke dalam rumah, melemparkan daun pintu dan menubruk mbok Bejo yang masih meringkuk di atas balai-balai.
"Eh, ada apa, pakne?"
Tanya isterinya ketakutan.
"Celaka... celaka...perampok itu sakti sekali... kepalanya sekeras batu! Celaka...!"
Kedua orang tua itu berpelukan sambil menggigil ketakutan Sementara itu, Wisena menghadapi para perampok dengan senyum menghina.
"Perampok-perampok jahat macam kalian ini perlu dihajar!"
Duabelas orang perampok itu menjadi marah sekali mendengar ucapan yang tenang dan menghina ini, maka sambil berseru keras mereka maju mengurung dan menyerang Wisena dengan golok mereka. Wisena membalikkan tubuhnya dan mengambil alu yang tadi dilepaskan oleh pak Bejo. Ketika ia menggerakkan tubuhnya dan memutar alu itu, terdengar pekik kesakitan dan beberapa batang golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, disusul dengan robohnya tubuh mereka terkena sambaran alu yang besar dan berat itu. Sekali saja kepala atau dada tercium ujung alu, robohlah seorang perampok tanpa dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih dan bergerak-gerak perlahan. Dalam waktu singkat saja keduabelas orang perampok itu telah menggeletak memenuhi pekarangan rumah pak Bejo dalam keadaan terluka atau pingsan!
"Hm, perampok-perampok macam kalian ini masih berani mengganggu penduduk kampung? Sungguh berani mati!"
Wisena berkata sambil menancapkan alunya di atas tanah. Seakan-akan berujung runcing, alu itu menancap di tanah dan berdiri lurus seperti pohon pisang! Pada saat itu, terdengar jerit seorang wanita. Wisena cepat memandang dan di dalam kegelapan malam ia melihat seorang perampok melarikan seorang dara di atas kudanya yang dibedal keluar dari kampung itu.
"Tolong..., tolong...! Ayah... abu... tolong!"
Dara itu memckik-mekik ngeri.
"Diamlah, manis. Kau pantas menjadi isteri Klabang Songo... ha, ha, ha, diamlah, denok!"
Kata laki-laki itu sambil membalapkan kudanya.
"Jahanam!"
Seru Wisena dan segera pemuda ini melompat mengejar kepala rampok Klabang Songo yang melarikan Mekarsari itu. Ternyata bahwa Klabang Songo mempergunakan kesempatan selagi para penjaga berperang tanding melawan anak buahnya, ia lalu menyerbu ke dalam rumah ki lurah dan melarikan Mekarsari di atas kudanya. Ketika melihat seorang pemuda yang dapat lari secepat rusa mengejarnya, Klabang Songo mencambuki kudanya yang segera membalap keluar dari dusun menuju ke utara. Kuda itu ternyata adalah seekor kuda yang baik dan besar, dan dapat berlari cepat sekali sehingga sukarlah bagi Wisena untuk dapat menyusulnya, sungguhpun pemuda ini memiliki kepandaian lari cepat. Namun Wisena telah memiliki keuletan dan kesabaran, ia tidak putus harapan dan terus melakukan pengejaran.
"Keparat, ke manapun juga kau melarikan gadis itu, aku takkan melepaskanmu!"
Katanya dan terus berlari dengan cepat. Sementara itu, pada saat para penjaga sudah terdesak hebat dan makin banyak rumah yang terbakar oleh perarnpok-perampok anak buah Klabang Songo tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan sepasukan prajurit berkuda memasuki dusun itu. Pasukan berkuda ini dipimpin oleh Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa! Prajurit-prajurit yang terlatih ini lalu menyerbu para perampok dan kosar-kacirlah para perampok menghadapi prajurit-prajurit ini.
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para penjaga dan orang-orang dusun yang mengenal prajurit-prajurit Singosari ini menjadi girang sekali. Semangat bertempur mereka bangkit kembali dan dengan hebat mereka mengadakan pembalasan sehingga semua perampok dapat dipukul mundur. Banyak sekali para perampok jatuh menjadi korban, dan sebagian besar yang sudah tak melihat pemimpin mereka lagi, lalu melarikan diri cerai-berai keiuar dari dusun Karangluwih. Setelah fajar menyingsing dan cuaca menjadi agak terang, bersihlah dusun itu dari semua perampok. Korban bertumbuk-tumpuk dan kini orang-orang sibuk memadamkan api yang mengamuk membakar rumah-rumah. Berkat semangat gotong royong para penduduk, penjaga, dan dibantu pula oleh para prajurit di bawah pimpinan Pangeran Tohjaya, maka tak lama kemudian padamlah semua api yang mengamuk itu.
Ketika Pangeran Tohjaya memimpin pasukannya dan diikuti pula oleh para penjaga dan penduduk yang bersoraksorak girang itu mengadakan pemeriksaan di seluruh dusun, mereka melihat sesuatu yang lucu dan mengherankan terjadi di pekarangan rumah pak Bejo. Orang tua ini tadinya bersembunyi di dalam biliknya beserta isterinya. Kemudian setelah keadaan menjadi sunyi dan di luar tidak terdengar sesuatu, pak Bejo memberanikan dirinya keluar dari pintu. Alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat betapa di pekarangan rumahnya penuh dengan tubuh para perampok yang terluka dan mengerang kesakitan. Ia melihat alunya berdiri menancap di atas tanah bagaikan batang pisang. Segera ia menghampiri alunya itu dan berusaha mencabutnya, akan tetapi alu itu telah menancap amat dalam dan sukar dicabut.
"Mbokne! Mbokne! Keluar dan bantulah mencabut senjataku ini!"
Katanya terengah-engah sambil membetot-betot alu itu.
Isterinya keluar dan hampir saja lari lagi ketakutan ketika melihat tubuh para perampok bertumpang tindih di pekarangannya. Akan tetapi melihat snaminya ber-kutetan dengan alu dan para perampok itu tidak dapat bangun, ia memberanikan hati dan segera membantu suaminya mencabut alu yang menancap di atas tanah. Biarpun sudah tua, agaknya mbok Beio masih memiliki tenaga juga. Apa lagi ia memang sering kali mempergunakan alu untuk menumbuk padi, sehingga sudah biasa baginya untuk memegang dan mengangkat alu. Mereka memoersatukan tenaga, membetot, menarik, mendongkrak dan akhirnya... tercabutlah alu itu sehingga keduanya terjengkang ke belakang, kerengkangan bagaikan sepasang kura-kura ditelentangkan di atas batoknya! Pak Bejo melompat bangun. Sambil mengobat-abitkan alunya ia berseru,
"Babo, babo! Mana dapat perampok-perampok lemah melawan pak Bejo jago tua!"
Sambil berkata demikian, ia mulai mengerjakan alunya, menghantam ke kanan kiri, kepada perampok-perampok yang sudah tak berdaya lagi itu.
Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika alunya bertubi-tubi menghantam perampok-perampok itu berganti-ganti. Perampok-perampok itu hanya bisa mengaduh-aduh, karena sungguhpun tenaga pak Bejo tidak besar dan pukulan itu tidak sampai menghancurkan kepala, akan tetapi masih cukup keras untuk menambah beberapa benjol di kepala, dan beberapa bengkak dan matang biru pada tubuh mereka! Demikianlah, ketika Pangeran Tohjaya bersama pasukannya dan orang-orang kampung tiba di situ, mereka dengan mata terbelalak melihat betapa pak Bejo bersilat dengan alunya menghantam para perampok dengan gagahnya, sedangkan mbok Bejo berdiri bertolak pinggang, senyum menghias pipinya yang kempot dan sinar bangga menghias matanya yang keriputan!
"Aduh gagahnya pak Bejo!"
Terdengar seorang penduduk dusun memuji dengan heran, karena ia tahu bahwa biasanya pak Bejo hanya pandai menembang dan membual saja. Dari mana pak Bejo memperoleh kesaktian sedemikian rupa? Ketika pak Bejo melihat banwa orang-orang dusun datang, ia makin memperhebat lagaknya, menghantam, menyepak, menendang. Sambil mengamuk ia berkali-kali berseru,
"Babo, babo! Klabang Songo, jangan maju sendiri, keroyoklah jago tua pak Bejo dengan ratusan anak buahmu"
Akan tetapi oleh karena ia memang sudah amat lelah mengobat-abitkan alunya yang berat, ketika ia menghantamkan alunya ke atas tubuh seorang perampok dibarengi dengan tendangannya, kakinya kena hantaman alunya sendiri.
"Duk!"
Kakinya menendang ujung alunya sendiri dan ia terhuyung lalu terpincang-pincang, berputaran sambil mengeluh,
"Aduh...aduh...!"
Tentu saja pemandangan yang amat lucu ini membuat semua orang tertawa bergelak, dan mbok Bejo buru-buru menolong suaminya dan mengelus-elus tulang kering kaki suaminya yang menjadi biru.
"Mari kuparami, pakne,"
Katanya menghibur. Pada saat itu, tiba-tiba dari jurusan rumah kelurahan, datang berlari Ki Lurah Reksoyudo dengan muka pucat. Begitu melihat Pangeran Tohjaya, ia lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah di depan pangeran itu sambil menangis.
"Eh, eh, ki lurah, kau kenapakah? Apakah ada korban jatuh di antara keluargamu?"
Tanya Pangeran Tohjaya.
"Ketiwasan, kanjeng gusti, ketiwasan..."
Kata pak lurah sambil menangis.
"Puteri hamba, Mekarsari, telah diculik dan dibawa lari oleh Klabang Songo!"
Pangeran Tohjaya terkejut. Sesungguhnya, kedatangannya pada malam hari itu di dusun Karangluwih bukanlah hal yang kebetulan saja. Dari dusun yang berdekatan, ketika ia sedang mengadakan perjalanan dalam usahanya mempertinggi nama dengan menolong rakyat, ia telah mendengar tentang kecantikan Mekarsari yang dipuji-puji orang setinggi gunung. Untuk menyaksikan kecantikan si juwita inilah ia memimpin pasukannya menuju ke dusun Karangluwih dan kebetulan dapat menolong dusun itu dari ancaman anak buah perampok Klabang Songo.
"Apa? Puterimu si cantik Mekarsari dibawa lari oleh Klabang Songo? Ke mana larinya si bedebah itu?"
Tanyanya marah.
"Menurut keterangan orang-orang yang melihatnya, ia melarikan diri menunggang kuda menuju ke utara, gusti. Hamba menyerahkan keselamatan puteri hamba itu ke tangan paduka yang berkuasa!"
Pangeran Tohjaya menghampiri seorang anggauta perampok yang masih mengaduh-aduh karena beberapa kali dipentung alu kepalanya oleh pak Bejo tadi.
"He, kau!"
Pangeran Tohjaya menyepak tubuh orang itu.
"Katakan di mana sarang Klabang Songo! Mengakulah. terus terang, kalau tidak, akan kusuruh penggal lehermu!"
"Ampun, gusti, ampun... kalau kakang Klabang Songo pulang, tentu ia akan pergi ke Hutan Waru di kaki Gunung Kelud."
Pangeran Tohjaya lalu memerintahkan tigapuhib orang prajurit pilihan untuk ikut dengan dia mengejar Klabang Songo, sedangkan para prajurit lain disuruh membantu penduduk menolong orang-orang yang menjadi korban perampok.
"Mari kita kejar Klabang Songo si bedebah!"
Serunya sambil melompat naik ke atas kudanya.
"Gusti pangeran, perkenankan hamba ikut mencari puteri hamba!"
Ki Lurah Reksoyudo memohon. Permintaannya dikabulkan dan seekor kuda diberikan kepada ki lurah. Maka berangkatlah rombongan ini, membalapkan kuda menuju ke utara. Derap kaki kuda mereka bergemuruh dan debu mengebul ke atas. Sambil mengepit pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan tangan kanan memegang kendali kudanya, Klabang Songo membalapkan kudanya. Beberapa kali ia menengok ke belakang dan setelah melihat bahwa pengejarnya, pemuda yang pandai berlari secepat rusa itu, tertinggal jauh dan akhirnya tidak nampak lagi, ia menjadi lega. Mekarsari telah kehabisan tenaga dan suara karena berteriak-teriak sekuatnya. Kini ia hanya menangis terisak-isak di dalam pelukan Klabang Songo.
"Jangan menangisi manis!"
Klabang Songo menghibur sambil masih melarikan kudanya sungguhpun tidak membalap seperti tadi, ia merasa yakin bahwa pemuda itu takkan dapat mengejarnya lagi. Mana ada manusia dapat menyusul lari kuda? "Mekarsari, bidadari denok ayu, ketahuilah bahwa untuk mendapatkan dirimu, aku telah banyak berkorban. Telah berhari-hari aku tidak enak makan tak nyenyak tidur... ha, ha, ha, sekarang kau telah berada di tanganku, Mekarsari, kau akan menjadi biniku, sayang...!"
"Bangsat hina dina! Bedebah! Lepaskan aku, lepaskan! Aku tidak sudi menjadi isterimu, lebih baik aku mati...!"
Mekarsari meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi di dalam pelukan tangan kiri Klabang Songo ia tidak ber-daya sama sekali. Ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal kecil itu untuk memukul sekenanya, ke arah dada dan muka penjahat itu, akan tetapi diganda ketawa saja oleh Klabang Songo.
"Waduh, tanganmu empuk dan lunak sekali, Mekarsari... biarlah sekarang kaupukul-pukul aku, lain kali kau harus menggunakan tanganmu yang halus dan lunak untuk memijati tubuhku... ha, ha, ha!"
Klabang Songo telah lari jauh dan matahari kini telah naik tinggi. Sama sekali ia tidak mengira bahwa selama itu, semenjak ia melarikan diri, Wisena selalu masih mengikutinya, dan karena ia memperlambat lari kudanya, maka kini pemuda itu telah dapat menyusulnya! Wisena telah mempergunakan kesaktiannya dan berlari sampai di belakang kuda, akan tetapi tindakan kakinya demikian ringan sehingga sama sekali tidak menerbitkan suara. Apa lagi ketika itu Klabang Songo sedang tenggelam dalam nafsu berahi dan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia sedang menundukkan kepala berusaha mencium muka Mekarsari. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Keparat jahanam!"
Dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuah tamparan keras menempeleng pi-lingan Klabang Songo, mendatangkan bunyi bagaikan petir di dalam telinga kepala perampok itu.
"Aduh...!"
Tubuh Klabang Songo terlempar dari atas kuda. Pelukannya pada pinggang Mekarsari terlepas dan dara itupun terlempar pula ke jurusan lain. Akan tetapi, sebelum tubuh Mekarsari terbanting di atas tanah yang berbatu, sepasang lengan tangan yang kuat menangkap dan memondongnya. Mekarsari membelalakkan matanya dan ia melihat muka seorang pemuda yang tampan dan cakap bagaikan wajah Sang Arjuna!
Untuk sekejap dua pasang mata bertemu pandang dan merahlah seluruh wajah Mekarsari. Dara ini merasa betapa jantungnya berdebar keras dan dengan amat malu ia meronta-ronta minta diturunkan dari pon-dongan. Wisena dapat merasakan gerakan ini dan buru-buru ia menurunkan gadis itu di atas tanah, lalu dengan sigapnya ia menghadapi Klabang Songo yang telah melompat bangun kembali. Kuda tunggangan kepala perampok itu telah melarikan diri saking terkejutnya Klabang Songo berdiri dengan sikap yang menyeramkan. Alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya mengeluarkan cahaya seakan-akan berapi, hidungnya kembang kempis dan mulutnya seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat. Dengan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan, ia membentak marah,
"Keparat kecil, siapakah kau berani sekali mengganggu Klabang Songo?"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Keparat jahanam"
Dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuih tamparan kerai menempeleng pilingan Klabang Songo... Wisena tetap tenang saja, bahkan kini ia tersenyum mengejek. riulah siasatnya untuk menambah rasa amarah dalam dada calon lawannya. Pemuda ini maklum bahwa makin besar amarah lawan, makin mudahlah menghadapinya, karena di dalam setiap perkelahian, orang yang tak dapat menguasai nafsu amarahnya, menjadi mata gelap dan kurang tenang dan waspada.
"Jadi kau kah yang disebut Klabang Songo dan menjadi kepala perampok? Kusangka bahwa Klabang Songo adalah seorang jantan yang gagah perkasa, tidak tahunya hanya seorang penjahat penculik wanita yang hina dan keji! Dengarlah, Klabang Songo, aku bernama Wisena, seorang kelana yang tidak akan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang macam kau melakukan kejahatan."
"Setan alas! Sumbarmu seakan-akan berkepala tiga berlengan enam saja!"
Teriak Klabang Songo dengan telinga makin merah.
"Habis, kau mau apa?"
Jawab Wisena acuh tak acuh dan dengan pandang mata merendahkan sekali.
"Jangan harap kau akan dapat menculik seorang wanita begitu saja di hadapanku. Kalau belum pecah dada Wisena, kau takkan berhasil, Klabang Songo!"
"Keparat, kalau begitu akan kupecahkan dadamu!"
Klabang Songo menubruk maju dengan kedua tangan dipentang-Sikapnya amat mengerikan, bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Ia hendak membuktikan ancamannya, hendak membeset kulit dada pemuda yang berkulit halus itu, hendak meremukkan tulang-tulang dada yang tak berapa besarnya itu. Akan tetapi biarpun nampaknya pemuda itu lemah lembut.
Ketika tubrukannya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Wisena menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dapat mengelak ke kiri. Klabang Songo cepat membalikkan tubuh dan mengirim serangan berikutnya dengan sebuah pukulan ke arah dada Wisena. Kembali Wisena mengelak dan ketika tangan Klabang Songo yang memukul dadanya itu lewat, ia cepat menggerakkan tangan kiri untuk menampar siku lawan. Klabang Songo adalah seorang perampok yang berkepandaian tinggi dan telah memiliki banyak sekali pengalaman dalam pertempuran, maka ia maklum akan bahayanya tamparan yang dilakukan dari belakang sikunya ini. Kalau saja tamparan ini mengenai sasaran, banyak bahayanya sambungan sikunya akan terlepas! Sambil berseru nyaring, ia miringkan tangannya dan mcnyusul dengan pukulan tangan kiri ke arah kepala Wisena.
Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Wisena menarik kembali serangannya untuk mengelak. Klabang Songo mempunyai aji pukulan yang mengerikan dan aji ini terletak di dalam telapak tandan kirinya. Kalau ia mempergunakan aji pukulan ini, maka siaoa Yang kena pukul akan meniadi bengkak-bengkak seperti terkena bisa dari binatang klabang yang puluhan banyaknya. Wisena juga dapat menduga akan hal ini oleh karena setiap kali tangan kiri Klabang Songo memukul, ia mencium bau yang amat amis, tanda bahwa tangan kiri Itu mengandunq aii yang jahat dan berbisa. Ini pula sebabnya maka ia tidak berani menerima pukulan tangan kiri Klabang Songo sungguhpun ia tidak menakuti datangnya pukulan mengandalkan kekebalannya, namun bisa itu amat berbahaya.
Pertempuran berjalan amat serunya. Klabang Songo kuat dan ganas lagi cepat, sedangkan Wisena memiliki gerakan yang ringan dan gesit sehingga Klabang Songo merasa seakan-akan sedang melawan bayangan! Sementara itu, dara juwita Mekarsari berdiri dengan kedua tangan di depan dada, memandang dengan gelisah dan penuh kekhawatiran, mengharap agar supaya penolongnya yang tampan dan gagah itu akan dapat mengalahkan perampok jahat itu. Akhirnya Wisena dapat juga mencapai maksud dan usahanya yang semenjak tadi dinanti datangnya kesempatan, yaitu-dengan cepat tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Klabang Songo. Kepala perampok itu meronta dan mencoba membetot tangan kirinya, akan tetapi sia-sia belaka, pegangan Wisena benar-benar kuat seakan-akan tangan kirinya itu dipasang belenggu baja yang berat dan tebal!
Klabang Songo marah sekali dan memukul dengan tangan kanannya secara membabi-buta dan bertubi-tubi ke arah muka dan dada Wisena. Pemuda itu menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi masih saja. ada beberapa pukulan tangan kanan lawannya mengenai dada dan pipinya. Akan tetapi, pukulan-pukulan itu tidak terasa olehnya, karena semenjak tadi Wisena memang telah mengerahkan aji kekebalannya. Klabang Songo terkejut sekali ketika tangan kanannya yang memukul merasa betapa keras dan kuat kulit dada dan muka pemuda itu. Ia maklum bahwa lawannya yang masih muda ini kebal dan sakti, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kembali tangan kirinya, oleh karena hanya pada tangan kirinya inilah ia mengandalkan kesaktian pukulannya.
Wisena menahan seberapa dapat, namun tenaga lawannya benar-benar mengagumkan. Pernah Wisena mencoba tenaganya dengan memegang tanduk seekor kerbau jantan dengan sebelah tangannya dan kerbau itu sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi sekarang, biaroun ia telah mengerahkan tenaganya, namun hampir saja ia tidak kuat menahan tangan kiri Klabang Songo yang meronta minta lepas. Akhirnya pemuda ini lalu mengirim pukulan dengan tangan kirinya yang mengenai leher Klabang Songo sambil melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan lawan. Klabang Songo memekik kesakitan dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak, jatuh bergulingan, akan tetapi segera berdiri lagi dengan terhuyung-huyung ke belakang dan ke depan.
Wisena memandang dengan mata terbelalak kagum. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah sembarang pukulan dan jarang sekali ada orang yang mampu menahannya Tadinya ia sangka bahwa dengan sekali pukulan penuh tenaga muji-jat itu akan dapat menewaskan Klabang Songo, tidak tahunya kepala perampok itu hanya bergulingan dan terhuyung-huyung sebentar saja! Klabang Songo memandang kepada lawannya dengan wajah makin beringas. Matanya mencorong dan melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke pinggang dan ia telah melepaskan senjatanya yang hebat, yaitu sebatang rantai baja yang dipasangi duri dan ujungnya dipasangi besi bersilang yang runcing pada keempat ujungnya. Panjang rantai ini sedepa lebih dan agaknya amat berat.
"Wisena, terjanganmu seperti banteng terluka!"
Katanya perlahan, setengah gemas setengah kagum.
"Rasakanlah!"
Jawab Wisena tenang.
"Kerahkan seluruh kesaktianmu, aku takkan mundur setapakpun!"
"Bangsat sombong, sumbarmu seperti telah berhasil merobohkan Gunung Kelud. Lihatlah apa yang kupegang ini?"
Wisena tersenyum mengejek,
"Ah, alangkah lucu senjatamu itu, lebih patut kalau dipergunakan untuk mengikat hidungmu seperti kerbau lalu kutuntun ke lumpur!"
"Bangsat, akan kuhancurkan kepalamu dengan ini!"
"Majulah, Klabang Songo, akan kuhadapi serangan senjatamu tanpa berkejap!"
Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau menerkam, Klabang Songo menggerakkan rantainya seperti cambuk, lalu diayunkannya menghantam kepala Wisena.
"Eh, terlampau tinggi, kawan!"
Wisena mengejek sambil menundukkan kepalanya sehingga rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, tahu-tahu rantai itu telah menyambar kembali menghantam pinggangnya! Wisena terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya, akan tetapi pemuda ini masih danat mengelak dengan mudah, dengan jalan memutar tubuh dan melangkah ke kanan.
"Tidak kena!"
Ia tetap mengejek. Tingkah laku dan ejekan Wisena ini benar-benar membuat Klabang Songo marah sekali.
Hampir gila ia dibuatnya, dan dengan gigi gemeretuk gemas ia lalu menghujani tubuh Wisena dengan serangan yang bertubi-tubi. Serangan-serangannya ini benar-benar berbahaya sekali, karena tidak saja ia menyerang dengan rantainya yang dahsyat, akan tetapi juga tangan kirinya dengan telapakan terbuka ikut pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang tak kalah ampuhnya dari pada senjatanya! Kini Wisena tidak berani main-main lagi. Ia mengerahkan kelincahan dan kegesitannya, tubuhnya lenyap berkelebatan bagaikan burung walet di antara sambaran-sambaran air hujan. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi karena kalau ia teruskan dan satu kali saja terkena serangan lawan, akan celakalah ia. Sambil berseru keras Wisena melompat mundur, jauh dari lawannya dan turun ke atas tanah sambil berjung-kir balik beberapa kali.
"Ha, ha, ha, belum juga babak-belur kulitmu, belum keluar setetes darahmu, kau sudah mundur! Itukah lakunya seorang ksatria? Ha, ha, ha, Wisena, apakah kau mau mengaku kalah dan mau menyerahkan Mekarsari si denok ayu?"
"Jangan kau tergesa-gesa tertawa dan mengira mendapat kemenangan, Klabang Songo. Aku hanya mundur sebentar karena geli dan jijik menghadapi sepak terjangmu yang kasar seperti celeng buta. Lihatlah, ada apa di tanganku?"
Wisena telah mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi. Klabang Songo tertegun menyaksikan keris yang mencorong cahayanya itu, tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya.
"Ha, ha, ha! Kerismu hanya sekilan panjangnya, seperti rumput kecilnya. Keris macam itu hanya pantas untuk permainan anak kecil, dan kalau, kau tusukkan ke dadaku tentu akan menjadi patah atau bengkok!"
"Waspadalah, Klabang Songo, akan kuantar kau ke alam asalmu!"
Kini Wisena yang menyerbu dengan kerisnya. Klabang Songo cepat menangkis dengan rantainya, karena sungguhpun ia menyombong dan menghina keris itu,
Namun ia tidak berani sungguh-sungguh menerima keris itu dengan dadanya! Pertandingan dilanjutkan lagi lebih dahsyat dan mati-matian dari pada tadi. Akan tetapi, kalau tadi menghadapi Wisena yang bertangan kosong saja Klabang Songo tak dapat mendesak, apa lagi kini Wisena telah mencabut keris pusakanya. Daya keris pusaka Ki Dentasidi amat luar biasa. Keris ini adalah ciptaan Empu Gandring yang sakti, maka juga mempunyai perbawa atau pengaruh yang luar biasa. Tiap kali Klabang Songo menggunakan rantainya menangkis keris itu, ia merasa seakan-akan telapak tangannya bersentuhan dengan api membara! Juga bergeraknya keris yang menyambar-nyambar bagaikan hidup itu membuat pandangan matanya kabur dan pikirannya bingung. Akhirnya, setelah bertempur cukup lama, Wisena berhasil menusuk ulu hati Klabang Songo.
Sebelum keris itu masuk sampai ke gagangnya, pemuda itu cepat mencabutnya kembali sehingga keris itu hanya menancap sampai setengahnya saja. Akan tetapi itupun sudah cukup. Klabang Songo menjerit, melemparkan rantainya dan kedua tangannya mendekap luka di ulu hatinya yang serasa dibakar. Ia terhuyung-huyung beberapa kali kemudian roboh telungkup dengan kedua tangan masih mendekap ulu hatinya. Ternyata ia telah tewas pada saat itu juga. Demikian ampuh dan hebat adanya keris pusaka Ki Dentasidi ciptaan Sang Empu Gandring yang sakti! Semenjak pertama kali melihat wajah Wisena yang tampan dan gagah, hati dara juwita Mekarsari telah berdenyut lebih cepat dari biasanya. Kini melihat sepak terjang dan kegagahan pemuda itu yang berhasil membunuh Klabang Songo, makin tertariklah hati dara itu.
"
"Alangkah tampannya, alangkah gagahnya,"
Demikian ia berpikir dengan kagum.
"Tak mungkin pemuda seperti ini hanya orang biasa saja. Matanya tajam bercahaya, bulu matanya lentik dan panjang, kulitnya kuning. Ah, tentu ia seorang darah bangsawan, jangan-jangan putera bupati atau seorang pangeran..."
Ketika Wisena telah membersihkan kerisnya dan menyimpannya kembali lalu berjalan perlahan menghampirinya, berdeguplah jantung Mekarsari. Dugaan bahwa pemuda ini seorang pangeran membuat wajahnya kemerah-merahan, lirikannya tajam mengait jantung, senyum dikulum kemalu-mainan menambah kecantikannya yang makin menggiurkan. Diam-diam Wisena juga kagum sekali melihat dara yang cantik jelita ini.
"Pantas saja Klabang Songo tergila-gila. Laki-laki manakah yang takkan menjadi gelap mata dan gandrung-gandrung melihat dara sejelita ini?"
Pikir Wisena sambil menghampiri gadis itu. Mekarsari lalu berlutut dan berkata dengan suaranya yang halus dan merdu,
"Aduh, raden! Alangkah baiknya nasib saya dapat bertemu dengan raden dan dapat tertolong dari pada bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut! Entah bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu dengan raden..."
Mekarsari memicingkan kedua matanya sebentar dengan gerakan kepalanya yang amat menarik.
"Aah... tak dapat saya membayangkannya. Tak terkira besarnya rasa syukur dan terima kasih saya kepada raden, saya tak hanya berhu-iring budi, bahkan berhutang nyawa kepada raden. Ketika dibawa lari oleh keparat itu, saya telah bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menolong saya, kepadanya akan saya serahkan jiwa dan raga..."
Ia lalu menunduk dengan muka kemerahan sampai ke telinganya yang berbentuk indah itu. Wisena tertegun dan dengan suara gemetar karena debar hatinya tak dapat ditekannya lagi, ia melangkah maju, menyentuh kedua pundak gadis itu dan membangunkannya. Alangkah halus kulit pundaknya, pikir pemuda itu dengan gairah.
"Wahai, diajeng, puteri juwita yang cantik jelita dan halus manis tutur sapanya, berdirilah diajeng dan jangan memberi penghormatan sebesar itu kepadaku. Kau siapakah dan puteri siapakah? Bagaimana kau sampai dapat terculik oleh Klabang Songo?"
Kini Mekarsari telah berdiri menundukkan kepala di depan pemuda itu. Tubuhnya yang langsing dan tinggi montok itu hanya sampai di dagu Wisena. Sembabat dan sesuai benar sepasang orang muda itu, sedap dipandang di kala mereka berdiri berhadapan itu, bagaikan dewa dan dewi, tak ubahnya seperti Batara Kamajaya dan Dewi Ratih!
"Raden, saya bernama Mekarsari, puteri tunggal dari Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Semalam gerom. bolan perampok yang dikepalai oleh Klabang Songo menyerbu dusun kami karena... ayahku telah menolak pinangan Klabang Songo kepadaku."
Wisena mengangguk-angguk.
"Pantas, pantas, siapa orangnya yang takkan rindu dendam melihat seorang juwita seperti kau? Siapa yang takkan hancur kalbunya kalau pinangannya terhadap kau ditampik?"
Mekarsari melempar senyum sambil miringkan kepalanya dengan gaya yang amat menarik hati. Tidak ada seorangpun wanita di dunia ini, bidadari sekalipun tidak, yang tidak berdebar bangga hatinya apa bila mendapat pujian tentang kecantikannya dari seorang pria, apa lagi kalau pria itu seorang teruna setampan dan segagah Wisena, bahkan yang telah menolongnya pula.
"Ah... raden, kau terlalu memuji..."
Melihat sikap dara yang manis merak ati dan seakan-akan menantang itu, runtuhlah iman Wisena. Ia mengulur tangannya dan memegang lengan kanan Mekarsari. Gadis itu hanya menundukkan kepala, tidak berusaha menarik tangannya yang terpegang. Wisena menariknya lebih dekat dan berbisik,
"Mekarsari, sesungguhnyakali sumpahmu tadi bahwa? kau hendak suwita kepada pria yang telah menolongmu dari tangan Klabang Songo?"
Dengan senyum ditahan dan wajah kemalu-maluan Mekarsari mengangguk. Suaranya hampir tak terdengar ketika ia berbisik kembali,
"Mengapa tidak sesungguhnya, raden?
"Jadi... kalau begitu..."
Wisena menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar sehingga ucapannya menjadi gagap.
"Kau... suka menjadi... jodohku?"
Saking malunya, Mekarsari tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk saja. Bukan main girangnya hati Wisena. Hatinya membesar sebesar Gunung Keiud. Hal ini sungguh-sungguh tak pernah disangkanya. Telah banyak ia melihat perawan-perawan di sekeliling Gunung Anjasmoro di mana ia dibesarkan, namun belum pernah ia melihat seorang gadis seperti Mekarsari. Juga belum pernah hati pemuda ini tersinggung oleh panah asmara dan kali ini, secara tiba-tiba, ia telah bertemu dengan Mekarsari yang bersedia untuk menjadi isterinya!
Ia tak tahu dan tak mengerti apa artinya cinta, akan tetapi yang sudah pasti, gadis ini cantik dan menarik I latinya, membuatnya segan untuk mengalihkan pandang ma-i inya dari gadis ini. Dikaguminya seluruh bagian tubuh Me-karsari, dari tumit kaki yang mencekung bagian atasnya, jari-jari kaki yang kecil mungil kemerahan, bersih seakan-akan tidak menginjak tanah sampai ke atas kepalanya di mana rambut yang halus kehitaman itu bergerak-gerak tertiup angin. Rambutnya agak awut-awutan akibat pergulatannya hendak melepaskan diri dari pelukan Klabang Songo tadi dan banyak gumpalan rambut kecil terlepas dan berjuntai di depan jidatnya. Sinom rambutnya yang halus lemas itu terletak rapi di atas jidat, dan rambut pelipisnya melingkar di depan telinga.
"Diajeng Mekarsari..."
Bisiknya dan ia hanya dapat memegang kedua tangan gadis itu dan dua puluh buah jari tangan saling remas, membawa getaran hati masing-masing yang mengandung penuh arti. Untuk berbuat lebih dari ini, Wisena tidak berani. Inipun telah membuat seluruh tubuhnya menggigil dan membuat ia merasa serba canggung dan bingung, kedua kakinya lemas dan hampir saja ia terhuyung-huyung, maka cepat-cepat ia melepaskan pegangan tangannya.
"Mari, diajeng, mari kuantar kau pulang. Ayahmu tentu merasa gelisah memikirkan nasibmu."
"Baiklah Kakang Mas... eh, siapa pula namamu? Ah, aku terlalu bingung sehingga lupa menanyakan nama ksatria yang telah menolongku..."
Mekarsari kembali melempar senyum dan kerling yang mempunyai daya melemparkan semangat Wisena ke sorga ke tujuh!
"Namaku...? Aku adalah Jaka Wisena."
"Indah dan gagah namamu, Kang Mas Wisena."
"Tidak seindah namamu, diajeng..."
Kedua orang muda itu sambil bergandeng tangan dan saling pandang tiada bosannya, berjalan perlahan menuju ke dusun Karangluwih. Mereka tidak memperdulikan lagi, bahkan, sudah lupa sama sekali, akan mayat Klabang Songo yang masih menggeletak telungkup di atas rumput. Dalam sekali cinta pertama yang mencengkeram di hati Wisena. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini.
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pohon-pohon di hutan nampak melambai-lambai memberi selamat kepadanya. Daun-daun nampak lebih hijau dan berseri dari pada biasa. Kembang-kembang seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Bahkan sinar sang surya nampak makin gemilang. Suara burung-burung pagi yang berkicau masuk ke dalam telinganya bagaikan gamelan dari sorga, demikian merdu dan indah, namun semua keindahan itu hanya merupakan latar belakang saja dari pada keindahan yang me-nyolok dan khusus, yakni diri Mekarsari, dara yang berjalan di sampingnya! Juga Mekarsari nampak berbahagia, wajahnya kemerahan dan sepasang matanya berseri-seri. Di dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Hyang Agung yang sudah mempertemukannya dengan seorang pemuda bangsawan, mungkin seorang pangeran!
Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo