Keris Maut 3
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Dia tentu seorang pangeran yang menyamar. Kata orang, banyak sekali pangeran yang berkelana sebagai pemuda biasa, seperti halnya Pangeran Tohjaya yang dikabarkan orang suka masuk keluar kampung dan dusun,"
Demikian gadis ini berpikir dengan girang.
"Kata orang, Pangeran Tohjaya cakap dan gagah, akan tetapi tak mungkin secakap dan segagah pangeranku ini..."
Gadis ini makin muluk lamunannya dan sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pemuda yang masih memandangnya itu. Tiap kali pandang mata mereka bertemu, ia merasa malu dan warna merah menjalar di seluruh wajahnya, membuat ia tersenyum-senyum malu dan jari tangannya yang menjadi satu dengan jari tangan pemuda itu bergerak-gerak. Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dari depan, Tanpa berjanji lebih dulu, tangan mereka saling melepaskan pegangan dan keduanya berdiri di pinggir jalan, memandang ke depan dengan hati menduga-duga. Ternyata bahwa yang datang itu adalah rombongan Pangeran Tohjaya. Ki Lurah Reksoyudo sangat girang ketika melihat puterinya dalam keadaan selamat, akan tetapi ia memandang kepada Wisena dengan penuh curiga. Sementara itu, Mekarsari juga berseru girang,
"Ayah...!"
Ketika ayahnya melompat turun dari kuda, Mekarsari berlari dan menubruk ayahnya sambil menangis.
"Mekarsari, yang datang adalah Pangeran Tohjaya yang hendak menolongmu, lekas kau memberi hormat!"
Bisik ayahnya. Mekarsari terkejut dan memandang kepada laki-laki yang masih duduk di atas kuda dengan gagahnya itu. Pangeran Tohjaya tidak muda lagi dan juga tidak dapat disebut tua, dan benar-benar ia seorang yang cakap dan gagah. Pakaiannya yang mewah itu membuat ia nampak makin gagah dan agung. Akan tetapi, Pangeran Tohjaya sedang memandang ke arah Wisena dengan marah dan ia segera mengeluarkan seru a n kepada para prajurit,
"Tangkap perampok ini!!"
Bukan main marahnya Wisena mendengar perintah ini dan melihat sikap Pangeran Tohjaya yang sombong.
"Eh, eh, nanti dulu. Kalian ini siapakah dan mengapa datang-datang hendak menangkapku tanpa bertanya lebih dulu?"
Tanyanya sambil meraba gagang kerisnya. Seorang prajurit melompat turun dari kuda, diikuti o"Eh empat orang kawannya.
"Perampok rendah! Berlutut dan menyembahlah, tak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan Gusti pangeran Tohjaya dari Singosari?"
Terkejutlah Wisena mendengar bahwa orang itu adalah seorang pangeran dari Singosari. Tentu ia seorang saudara dari Pangeran Anusapati yang kabarnya telah menjadi raja di Singosari, pikirnya. Ia hendak bekerja kepada Sang Prabu Anusapati, maka tidak seharusnya kalau ia berlaku kasar terhadap seorang pangeran dari Singosari. Wisena lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada pangeran itu.
"Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kehadapan paduka gusti pangeran."
"Hm, rupamu bagus dan kau masih muda, mengapa berani kau menjadi perampok?"
"Ampun, gusti. Hamba sekali-kali bukan perampok. Hamba adalah seorang kelana yang hendak bersuwita kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari."
Sementara itu, Mekarsari berdiri tertegun melihat sikap Wisena yang demikian merendah terhadap Pangeran Tohjaya. Tak salahkah pendengarannya bahwa pemuda yang menolongnya dan yang merampas kasih hatinya itu hanyalah seorang pemuda gunung biasa saja? Kekecewaan memenuhi kalbunya, akan tetapi ketika melihat betapa Pangeran Tohjaya
"Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti ke hadapan paduka..."
Ia salah sangka dan mengira Wisena seorang perampok, ia laiu berlutut menyembah dan berkata,
"Sesungguhnya, gusti pangeran. Pemuda ini bukanlah perampok, bahkan ia telah menolong hamba dari tangan Klabang Songo!"
Mendengar suara yang halus dan merdu itu, Pangeran Tohjaya menengok dan wajahnya berseri ketika ia melihat dara yang cantik jelita itu.
"Aduh, kaukah yang bernama Mekarsari? Ki Lurah Reksoyudo, inikah puterimu?"
"Benar, gusti pangeran. Inilah puteri hamba Mekarsari yang dilarikan perampok."
Pangeran Tohjaya mengangguk-angguk dan sepasang matanya menatap wajah dara itu dengan penuh kekaguman. Melihat senyum dan pandang mata pangeran itu terhadap Mekarsari, perihlah hati Wisena karena cemburu dan seketika itu juga bencilah ia terhadap pangeran itu- Sebagai pemuda gemblengan Begawan Jatadara yang telah mempelajari ilmu batin dan memiliki pandangan waspada, ia maklum bahwa kekaguman pangeran itu terhadap dara itu mengandung nafsu-nafsu kotor. Kemudian Pangeran Tohjaya berpaling lagi kepadanya dan keningnya berkerut.
"Hm, jadi kau bukan perampok, malah penolong Mekarsari? Dan katamu tadi kau hendak bersuwita di Singosari? Baik, kau boleh mengabdi kepadaku. Kembalilah ke Karangluwih dan kalau sudah sampai di sana, kau rawatlah baik-baik kudaku dan kuda para pera-jurit. Hendak kulihat apakah kau cukup cakap menjadi tukang kuda!"
Wisena menyembah menghaturkan terima kasih sedangkan di dalam hati Mekarsari, makin besarlah kekecewaannya. Penolong dan kekasihnya hanya menjadi tukang perawat kuda? Alangkah rendah dan hinanya!
"Manis, Mekarsari, marilah kau ikut aku naik kuda ini, kembali ke Karangluwih!"
Pangeran Tohjaya mengajak gadis itu sambil melompat turun dari atas kuda.
Mekarsari terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan ragu-ragu. Akan tetapi ayahnya tersenyum dan menganggukkan kepala kepadanya Mekarsari lalu menghampiri pangeran itu yang dengan sikap agung dan cekatan lalu memegang pinggangnya yang ramping lalu mengangkatnya dengan ringan ke atas kuda. Pangeran Tohjaya mendudukkan dara itu di atas kuda, lalu ia melompat di belakang dara itu. Dipeluknya pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan lengan kanannya memegang tali kendali kuda yang lalu dike-praknya kuda itu menuju ke dusun Karangluwih. Para prajurit saling pandang dengan senyum, lalu mengikuti pangeran, demikian pula Ki Lurah Reksoyudo. Tak seorangpun menengok lagi kepada Wisena yang masih duduk bersimpuh di atas tanah.
Ketika hendak berangkat, Mekarsari melempar pandang ke arah Wisena dan melihat pemuda itu duduk bersimpuh sambil menundukkan muka, ia merasa terharu. Di sepanjang jalan terbayanglah wajah pemuda itu. Aduh sayang, mengapa ia hanya seorang biasa saja? Pemuda yang disangkanya pangeran atau bangsawan itu, ternyata hanyalah seorang pemuda gunung dan kini diangkat menjadi tukang kuda, tukang menggosok tubuh kuda dan tukang mencari rumput untuk makan kuda! Pelukan tangan Pangeran Tohjaya pada pinggang Mekarsari makin erat dan ia mencium harum minyak wangi yang dipakai oleh pangeran itu. Perlahan-lahan wajah Mekarsari yang muram karena memikirkan keadaan Wisena itu menjadi terang kembali. Akhirnya tercapai juga idam-idaman hatinya, dipeluk oleh seorang pangeran asli, dan tak lain tak bukan adalah Pangeran Tohjaya yang terkenal cakap, gagah, dan budiman itu!
"Alangkah beratnya tugas ini..."
Wisena berkata seorang diri sambil mengumpulkan rumput hijau yang gemuk.
"Betapapun juga... paman begawan sudah memberi pesan yang cukup jelas bahwa aku harus mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari. Hanya sayang... Mekarsari..., ah, agaknya Pangeran Tohjaya... ah, nasib apakah yang kelak akan menimpa pada diriku...?"
Agar dapat memulai tugasnya dengan baik, sebelum masuk ke dusun Karangluwih, terlebih dahulu Wisena mengumpulkan rumput-rumput sampai sepikul, karena bukankah kuda-kuda itu perlu diberi makan rumput yang gemuk? Ia takkan mengecewakan hati Pangeran Tohjaya, dan siapa tahu kalau-kalau melalui pangeran ini ia akan dapat mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati.
"Keris itu...,"
Pikirnya lagi sambil berjalan memasuki dusun memikul rumput.
"Menurut paman begawan, keris Margapati pemberian eyang empu gandring yang berada di tangan Ken Arok dan kini tentu berada di tangan Sang Prabu Anusapati itu harus dapat terampas olehku. Harus dapat kusingkirkan dari Singosari agar jangan sampai timbul bunuh-membunuh di antara keturunan Ken Arok!"
Memang sebelum tiba di tempat itu. ia telah mendengar cerita orang betapa Sang Prabu Ken Arok telah terbunuh mati oleh seorang pengawal dan bahwa semenjak itu, Pangeran Anusapati menggantikan kedudukan mendiang Prabu Ken Arok, menjadi raja di Singosari.
Karena belum tahu di mana letak kelurahan dan di mana pula kandang kuda tempat Pangeran Tohjaya dan pasukannya menyimpan kuda dan tidak ada kenalan di dusun Karang luwih, Wisena lalu teringat akan pak Bejo dan segera menuju ke pondok kecil di ujung timur dusun itu. Ketika ia tiba di pondok itu, pak Bejo dan bininya sedang makan besar. Ternyata bahwa nama pak liejo menjadi terkenal setelah dengan gagahnya ia merobohkan duabelas orang perampok dengan alunya! la mendapat kiriman makanan dari para tetangganya untuk menyalakan penghormatan mereka dan pak Bejo sedang menghadapi makanan di atas tikar dengan senang, ketika ia mendengar suara Wisena menurunkan pikulan rumputnya di luar pintu. Ia segera keluar, mengira bahwa itu tentu seorang tetangga lain yang datang untuk mengaguminya dan mengirim hadiah. Akan tetapi ketika ia melihat Wisena, ia menjadi pucat.
"Kau...?"
Katanya sambil berdiri bengong. Wisena tersenyum.
(Lanjut ke Jilid 03)
Keris Maut (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 03
"Benar, pak Bejo. Akulah yang datang, kita sudah berkenalan malam tadi. Namaku Jaka Wisena dan aku... aku telah diterima oleh gusti pangeran, dipekerjakan menjadi tukang merawat kuda."
Makin lebar mulut Pak Bejo terbuka.
"Aduh...ketika aluku terpental kembali mengenai tubuhmu, kusangka kau seorang siluman, kemudian... kemudian aku tahu bahwa kaulah yang merobohkan semua perampok itu. Kukira..."
"Kau kira apa, pak?"
"Kusangka kau seorang bangsawan, seorang pangeran yang menyamar, atau seorang senapati atau ksatria dari kerajaan. Kau gagah sekali, akan tetapi... menjadi tukang kuda??"
Wisena mengangguk dan tersenyum.
"Apa salahnya Tukang kudapun pekerjaan juga, bukan? Dan aku membutuhkan pekerjaan."
"Siapa namamu tadi? Wisena? Tentu Raden Wisena, bukan?"
"Tidak, cukup Wisena saja, bukan raden, Jaka Wisena namaku, pak, anak Gunung Anjasmoro."
"Masuklah, masuklah... aduh, alangkah anehnya dunia. Kau yang merobohkan penjahat menjadi tukang kucra dan aku... aku mendapat sanjungan dan penghormatan. Mari, mari, kau belum makan, bukan?"
Wisena menggelengkan kepalanya, memang semenjak hari kemarin perutnya belum diisi. Hal ini sesungguhnya merupakan hal biasa baginya. Ia seorang pemuda ahli tapa dan tahan tapa, akan tetapi entah mengapa, pertemuannya dengan Mekarsari tadi membuatnya merasa lapar sekali!
"Bagus, kebetulan sekali. Mari kau makan bersamaku. Ah, sudah menjadi hakmulah itu."
"Terima kasih, pak Bejo. Aku tidak menolak datangnya rezeki."
"Mbokne...! Mbokne... ambil tikar yang satunya itu, gelar di sini supaya lebar. Ada tamu makan bersama...!"
Mbok Bejo menyambut kedatangan Wisena dengan ramah tamah.
"Duduklah, denmas, duduklah... seadanya saja, tempat kami bobrok dan makanan itu... makanan itu... sesungguhnya pemberian para tetangga! Biasanya kami hanya makan nasi merah dan sambal!"
"Nasi merah dan Sambal enak sekali, mbok Bejo"
"Eh, eh, kok sudah tahu nama kami? Kau siapa, denmas?"
"Bukan den dan bukan pula mas, sebut saja Jaka Wisena, itulah namanya. Nama yang bagus, sama seperti orangnya,"
Kata Pak Bejo yang duduk bersila di atas tikar, diturut oleh Wisena. Gembira hati Wisena melihat kedua orang suami isteri yang sederhana dan ramah tamah ini. la seakan-akan merasa berada di antara keluarga sendiri. Maka makanlah ia dengan lahapnya sambil bercakap-cakap.
"Untung pasukan Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa tiba,"
Kata Pak Bejo.
"Kalau tidak, tentu menjadi karang abang (lautan api) dusun ini!"
"Sesungguhnya, siapakah Pangeran Tohjaya ini, pak? Apa hubungannya dengan Sang Prabu Anusapati?"
Pak Bejo memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran.
"Aduh, sungguh kau ketinggalan zaman, nak Wisena! Hal itu saja kau tidak tahu?"
"Aku berada di gunung semenjak kecil pak, terpisah dari pada pergaulan ramai."
"Pangeran Tohjaya amat terkenal sebagai seorang pangeran yang"Gagah berani dan budiman. Beliau telah sering kali mengadakan perjalanan ke dusun-dusun untuk menolong rakyat kecil dan membasmi penjahat-penjahat. Sungguh seorang pangeran yang luhur budinya, patut dijadikan teladan. Semoga kelak beliau yang menjadi raja di Singosari"
Diam-diam Wisena merasa heran mengapa seorang yang mempunyai pandangan sekurang ajar itu terhadap seorang dara bisa menjadi seorang pendekar budiman.
"Apakah beliau menjadi pangeran pati Kerajaan Singosari?"
Tanyanya sambil lalu.
"Sebetulnya bukan, karena sang prabu mempunyai putera, yakni Pangeran Ranggawuni, dan sudah tentu saja Pangeran Ranggawuni yang menjadi pangeran pati. Pangeran Tohjaya sebagai paman pangeran Ranggawuni tentu hanya menjadi walinya saja. Akan tetapi, siapa tahu...,"
Ia melanjutkan dengan suara berbisik.
"Bukan rahasia lagi bahwa mendiang Sang Prabu Ken Arok dibunuh oleh Prabu Anusapati yang sekarang."
"Apa...? Bukankah yang membunuh adalah seorang punggawa?"
Pak Bejo mengangguk-anggukkan kepalanya yang setelah dibuka ikat kepalanya ternyata botak dan kelimis.
"Memang demikianlah, akan tetapi... siapa tahu kalau yang menyuruhnya orang lain! Ah, sudahlah, hal ini tak perlu dibicarakan, berbahaya!"
Mendengar penuturan ini, makin sukalah Wisena kepada Sang Prabu Anusapati. Kalau benar dia yang membunuh Ken Arok, berarti Prabu Anusapati telah pula membalaskan dendamnya kepada Ken Arok yang telah membunuh eyang dan ayah bundanya! Sudah sepatutnya kalau ia mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati! Alangkah tepatnya perhitungan paman Begawan Jatadara, pikir Wisena dengan puas.
"Kalau demikian, perkenankanlah aku mengundurkan diri, pak Bejo. Ke manakah kiranya rumput ini harus kuantarkan? Tentu kau lebih mengetahui di mana disimpannya kuda dari sang pangeran itu."
"Ah, di mana lagi kalau tidak di kandang kuda ki lurah? Di sanalah kandang terbesar karena ki lurah memang suka sekali memelihara kuda. Kudanya banyak dan bagus-bagus. Mari kau kuantar, nak Wisena."
Maka berangkatlah kedua orang itu. Pak Bejo berjalan dengan mengangkat dada karena setiap orang yang bertemu dijalan tentu menyapanya dengan amat hormat. Buru kafi ini pak Bejo merasa betapa derajatnya naik sekali, dihormati oleh semua orang karena jasanya merobohkan duabelas orang perampok ganas! Wisena yang memikul rumput itu berjalan di sebelahnya dengan tunduk.
"Lihat, orang-orang menghormatiku karena kau menjatuhkan para perampok itu. Biarlah kuwakili kau
menerima hormat mereka."
"Biarlah, pak Bejo. Sesungguhnya kau memang gagah berani dan patut mendapat penghormatan,"
Kata Wisena dengan setulus hatinya, karena ia memang suka sekali kepada pak Bejo yang sederhana dan lucu ini. Setelah tiba di depan kandang kuda, ternyata dugaan pak Bejo benar, karena kandang itu penuh dengan kuda dan di situ banyak pula prajurit yang merawat kuda. Pak Bejo lalu kembali ke rumahnya dan Wisena masuk ke pekarangan itu.
"Eh, mengapa kau baru tiba?"
Tanya seorang prajurit kepada Wisena sambil memandang tak senang.
"Maaf, saudara. Aku pergi mencari rumput dulu untuk makanan kuda,"
Jawab Wisena. Prajurit itu merengut dan mendengus marah.
"Apa? Siapa menjadi saudaramu? Awas, jaga mulutmu baik-baik, ya? Kau seorang tukang kuda dan aku seorang prajurit tamtama! Jangan sembarangan menyebut saudara?
"Habis, aku harus menyebut apakah?"
"Sebut denmas, tahu?"
Wisena menarik napas panjang untuk menekan kegemasan hatinya.
"Baiklah, denmas."
"Nah, begitu. Kau harus tahu adat dan penurut kalau mau terpakai oleh gusti pangeran! Ayoh kau beri makan semua kuda ini kemudian gosok peluhnya sampai kering. Awas, kalau kain penggosok sudah terlalu basah, jangan dipergunakan lagi, ganti dengan yang kering."
Wisena menerima kain penggosok yang hanya sehelai itu.
"Di mana penggantinya, denmas?"
Tanyanya heran.
"Gantinya? Bodoh, untuk apa bajumu itu? Pakai saja bajumu, kalau sudah bisa dicuci kembali,"
Kata prajurit itu yang segera menghampiri kawan-kawannya. Setelah tertawa-tawa dan bersendau gurau, seorang di antara mereka berkata,
"Kawan-kawan, ayoh kita mencari pacar!"
"Ah, Dadap, jangan main-main, bukankah gusti pangeran melarang kita mengganggu wanita?"
Memperingatkan yang lain.
"Ha, ha, ha, gusti pangeran sendiri telah mendekati kembang dusun ini dan siap untuk memetiknya, mengapa kita tidak? Lagi pula. gusti pangeran melarang kita mempergunakan paksaan dan kekerasan. Kita tak perlu memaksa, gadis-gadis dusun paling gampang dipikat!"
"Akan tetapi, di mana terdapat kembang indah di dusun kecil ini?"
Kata yang lain pula.
"Bodoh, lihat saja si juwita Mekarsari. puteri ki lurah itu! Kalau ada dara secantik itu di sini, tentu masih ada lainnya yang denok ayu, walaupun tidak seindah kembang tanaman ki lurah!"
Terdengar suara mereka tertawa-tawa lagi ketika mereka meninggalkan kandang kuda itu, dan Wisena mengertakkan giginya dengan hati mendongkol dan marah. Seperti ini watak anak-anak buah pasukan Pangeran Tohjaya, dapat dipastikan bahwa pemimpinnya sendiri, sang pangeran itu, tentu seorang Bandot mata keranjang pula. Akan tetapi, ia sedang berusaha mencari jalan untuk dapat mengabdi kepada sang prabu di Singosari, maka apakah dayanya? Ia harus tunduk dan taat kepada seorang pangeran yang menjadi saudara dari sang prabu.
Sambil menekan amarah dan kegemasannya, Wisena memaksa senyum lalu merawat kuda-kuda itu, memberi mereka makan, lalu menggosok-gosok tubuh mereka sehingga peluh mereka kering. Setelah binatang-binatang itu kenyang dan tenang di dalam kandang, Wisena duduk termenung. Terbayanglah wajah Mekarsari dan ia merasa berbahagia sekali. Bukankah dara itu telah menyatakan cintanya kepadanya? Sungguhpun tidak terucapkan, namun dari sikap dan gerakannya tadi, ia telah yakin akan perasaan hati gadis cantik itu. Alangkah akan berbahagianya kalau ia dapat bersanding dengan dara itu, sebagai suaminya. Akan tetapi, bagaimanakah caranya meminang kepada ki lurah? Hal ini belum dibicarakan dengan Mekarsari, karena keburu datangnya Pangeran Tohjaya yang merenggut kebahagiaan yang sedang dinikmatinya bersama Mekarsari di hutan itu.
"Aku harus menjumpainya,"
Wisena mengambil kepu-tusan.
"Ya, harus kujumpai Mekarsari dan minta petunjuknya dalam hal pinangan ini. Aku harus bertemu dengan dia, malam ini juga!"
Pekerjaan merawat kuda itu makan waktu lama juga tanpa terasa, karena tahu-tahu hari telah menjadi gelap. Wisena lalu menuju ke sungai, memilih tepi yang sunyi, menanggalkan pakaian lalu melompat ke dalam air. Semenjak kecil ia tinggal di dekat mataair dan setiap hari ia mandi di sumber air yang dalam maka tidak mengherankan apa bila ia pandai sekali berenang. Bagaikan seekor ikan besar saja tubuhnya yang tegap dan langsing itu berenang hilir-mudik. Ia merasa segar sekali dan untuk membersihkan kulit dari debu dan kotoran di kandang kuda, ia menggosok-gosok kulitnya dengan sepotong batu licin. Akhirnya ia berenang ke tepi dan duduk di atas batu menanti sampai kulit tubuhnya kering. Lalu dikenakan kembali pakaiannya dan pada saat itu ia mendengar suara gamelan.
"Aneh,"
Pikirnya,"Siapa orangnya yang berpesta pada saat seperti ini?"
La tidak memperdulikannya lagi, lalu bergegas menuju ke kandang kembali, karena ia hendak mencari Mekarsari melalui taman bunga di belakang rumah ki lurah yang tak berapa jauh dari kandang itu letaknya. Akan tetapi, makin dekat dengan kandang itu, makin jelas terdengar suara gamelan itu dan akhirnya dengan terheran-heran ia mendapat kenyataan bahwa gamelan itu datangnya dari dalam gedung ki lurah!
"Heran sekali! Bagaimana sih pikiran ki lurah? Baru saja dusunnya diserbu gerombolan perampok dan penduduknya banyak yang tewas, rumah-rumah banyak yang terbakar. Bagaimanakah dalrm keadaan yang menyedihkan ini ia bisa berpesta dan menabuh gamelan?"
Pikir Wisena dengan penuh keheranan. Ia lalu menuju ke pagar bambu yang mengelilingi kebun bunga di belakang rumah ki lurah. Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah dapat melompati pagar bambu itu, masuk ke dalam taman. Karena di situ sunyi saia dan kesibukan terdengar dari dalam gedung, Wisena lalu mencari jalan untuk mengintai ke dalam gedung.
Ia tidak berani memasuki gedung itu dari pintu, karena hal ini tentu akan membikin marah ki lurah. Melihat sebarang pohon jambu yang besar di dekat rumah, ia laki memanjat pohon itu bagaikan seekor kera gesitnya, kemudian dari pohon itu ia merayap ke atas genteng. Genteng gedung ki lurah istimewa tebalnya, maka dengan kepandaiannya yang tinggi ia dapat maju merayap di aras genteng itu tanpa menerbitkan suara atau merusak genteng. Dengan cepat ia lalu maju sampai keatas ruang tengah dari mana terdengar suara gamelan itu. Dibukanya sepoleng genteng dan Wisena mengintai ke dalam. Kini tahulah ia mengapa ki lurah mengadakan pesta. Ternyata ia tengah menjamu Pangeran Tohjaya dan para pemimpin pasukannya yang berjumlah lima orang, hadir pula di situ para petugas dusun Karangluwih.
Yakni pembantu-pembantu ki lurah dan para pemimpin atau kepala penjaga. Pangeran Tohjaya mcndapai lempai kehormaian dan pangeran ini nampak gembira sekali. Hidangan-hidangan memenuhi tikar berkembang yang digelar di alas lantai. Pena-buh-penabuh gamelan yang duduk di ujung ruangan memperdengarkan lacu-lagu yang meriah. Yang membikin hati Wisena merasa tidak enak sekali adalah ketika ia melihat Mekarsari beserta beberapa orang perawan dusun lainnya melayani Pangeran Tohjaya dengan senyum simpul manis sekali. Alangkah menariknya gerakan tubuh Mekarsari ketika gadis ini membawa baki berisi minuman, kemudian dengan berjongkok gadis ini bergerak maju ke arah pangeran itu dan mempersembahkan minuman tadi Wisena tidak dapat mendengar aoa yang dikatakan oleh pangeran itu,
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi ia dapat melihat betapa mesra pandangan mata pangeran itu kepada Mekarsari, menggerakkan bibirnya mengucapkan sesuatu yang membuat Mekarsari tunduk kemalu-maluan dan tersenyum, kemudian ia melihat Pangeran Tohjaya mengulurkan tangan dan mencubit pipi Mekarsari. Bukan main panasnya hati Wisena melihat hal ini. Ia melihat Mekarsari mengundurkan diri dan duduk bersimpuh di tempat tak berapa jauhnya dari Pangeran Tohjaya dan antara kedua orang ini lalu ada permainan mata, saling lirik dan senyum yang membuat Wisena merasakan tubuhnya panas dingin. Pemuda ini lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan kembali hatinya yang berdebar, kemudian ia bersedakap, mengheningkan cipta sebentar lalu dengan sinar mata penuh pengaruh dan kekuatan batin, ia memandang ke arah Mekarsari sambil mengeluarkan perintah di dalam hati kepada gadis itu untuk meninggalkan ruang pesta dan pergi ke taman bunga.
Berkat kesaktian Wisena, tiba-tiba Mekarsari merasa gelisah sekali. Entah mengapa, tiba-tiba gadis ini merasa betapa panas dan menyesakkan napas hawa di dalam ruangan itu dan betapa ada perasaan yang amat aneh mendorongnya untuk pergi dari situ. Timbul keinginan yang amat keras di dalam hatinya untuk pergi ke taman bunga, mencari hawa sejuk! Dengan perlahan Mekarsari lalu berdiri dan berjalan dengan lenggang lemah-gemnlai meninggalkan ruangan itu, menuju ke belakang. Setelah tiba di taman bunga, barulah dadanya terasa lapang dan hawa sejuk mengalir masuk ke dalam dadanya, membuat tubuhnya terasa segar sekali. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan dari atas dan tahu-tahu sesosok bayangan berdiri di depannya. Hampir saja Mekarsari menjerit.
"Sst... jangan kaget, diajeng. Akulah yang datang..."
Kata bayangan itu yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Mekarsari membelalakkan matanya yang indah.
"Kau..."
"Terkejutkah kau melihat aku datang, diajeng Mekarsari?"
"Tentu saja, aku terkejut setengah mati. Kau datang bagaikan setan!"
"Dan... girangkah kau melihat aku datang?"
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Tidak, kau akan mendatangkan keributan. Bagaimana kalau ada yang melihatmu datang secara ini? Kau akan mendapat celaka!"
Biarpun sikap gadis ini tidak semanis tadi ketika berada di dalam hutan, akan tetapi Wisena yang telah gila asmara ini tidak menjadi kecewa, bahkan senang mendengar betapa gadis ini masih mengkhawatirkan keselamatannya.
"Diajeng... marilah, aku ingin bicara denganmu,"
Kata Wisena sambil memegang tangan gadis itu dengan mak sud mengajaknya ke tempat gelap untuk membicarakan soal pinangan itu. Akan tetapi Mekarsari melepaskan lauganuy i can berkata,
"Tidak, tidak, aku... aku harus kembali ke dalam! Aku harus melayani tamu agung..."
Gadis ini membalikkan tubuhnya dan hendak lari kembali ke dalam gedung, akan tetapi Wisena memburu,
"Diajeng..."
Pemuda ini menangkap lengan gadis itu dan menariknya sehingga di lain saat Mekarsari telah berada di dalam pelukannya! Ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini mengenakan pakaian serba baru, bahkan hidungnya dapat menangkapkeharuman kembang-kembang yang kini menghias rambut gadis itu.
"Diajeng, bagaimanakah ini...? Mengapa agaknya kau hendak menjauhkan diri dariku...? Bukankah... kita berdua sudah sehati untuk hidup bersama selamanya..."
Untuk sesaat, dada Wisena yang bidang, pelukannya yang dilakukan dengan penuh kasih mesra, sepasang lengannya yang kuat, melumpuhkan perlawanan Mekarsari dan sambil memeramkan mata ia menyandarkan kepalanya pada dada pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba ucapan Wisena itu menyadarkannya dan sekali merenggutkan tubuh, ia lelah melepaskan diri dari pelukan Wisena.
"Tidak... jangan...!"
Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan dua titik air mata melompat tuiui ke atas pipinya.
"Diajeng Mekarsari... kenapakah kau?"
Kemudian ia tenngat akan sesuatu dan tersenyum.
"Diajeng apakah kau kecewa melihat keadaanku? Bajuku bau kuda! Memang tadi kupakai menggosok badan kuda dan belum kucuci karena tidak ada penggantinya! Bukan aku yang berbau kuda, diajeng..."
La tertawa, memancing senyum gadis itu, akan tetapi kata-katanya ini bahkan membuat air mata Mekarsari jatuh berderai.
"Kakang Mas Wisena..."
Katanya sambil terisak,
"Kau...kau seorang pemuda gunung biasa sajakah?"
Wisena mengangguk heran.
"Bukan pangeran...?"
Pemuda itu menggeleng.
"Bukan... anak adipati atau bupati?"
Kembali Wisena menggelengkan kepalanya.
"Juga bukan keturunan bangsawan lain lagi? Sesungguhnyakah?"
"Bukan, diajeng. Aku seorang pemuda biasa, orang gunung yang bodoh. Akan tetapi... adakah hal ini penting bagi perasaan cinta kasih kita?"
Ia melangkah maju hendak memeluk lagi, akan tetapi Mekarsari cepat mundur.
"Jangan...!"
Suaranya terdengar agak ketus sehingga Wisena merasa seakan-akan kena tampar mukanya.
"Mengapa, diajeng? Ada apakah...?"
Tanyanya khawatir.
"Jangan kau sentuh aku! Kau... kau bukan seperti yang kuharapkan... ah... nasib..."
"Eh, diajeng Mekarsari, mengapakah kau? Lupakah kau akan perasaan hati kita yang timbul pada saat pertemuan kita pertama siang tadi? Kau...kau berjanji hendak menyerahkan jiwa ragamu kepadaku... dan aku... aku hendak meminangmu, karena itulah maka malam ini aku menjumpaimu, hendak minta nasihat bagaimana aku harus meminangmu!"
"Tak mungkin! Aku... ah, Gusti Pangeran Tohjaya telah meminangku dan...ayah telah menyatakan persetujuannya, aku telah diserahkan kepadanya!"
Bagaikan digigit ular berbisa, Wisena melangkah mundur dengan wajah pucat.
"Apa...? Dan kau sendiri...? Setujukah...?"
Gadis itu mengangguk.
"Aku setuju!"
"Diajeng Mekarsari! Tak tahukah kau akan keadaan Pangeran Tohjaya? Aku mendengar ia telah beristeri, telah banyak mempunyai bini muda... apakah kau mau... dijadikan bini mudanya?"
"Apa salahnya?"
Suara Mekarsari menantang.
"Dia seorang, pangeran besar, berkuasa, dan berhati mulia!"
"Mekarsari!"
Amarah mulai mendesak cinta kasih pe-muda itu.
"Kau... kau mengingkari janji... dan rela menjadi... bini muda yang entah ke berapa belas atau ke berapa puluhnya?"
Mendengar suara yang mengandung ejekan ini, Mekarsari juga timbul amarahnya.
"Kau perduli apa? Menjadi bini muda Pangeran Tohjaya jauh lebih mulia dari pada menjadi isteri seorang tukang kuda!"
Ucapan ini merupakan tamparan hebat bagi Wisena sehingga hampir saja ia roboh karena kakinya menggigil dan tubuhnya gemetar.
"Mekarsari, alangkah kejamnya engkau! Kau sama sekali tidak menghiraukan perasaan hatiku! Aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, mabok oleh janji yang memancar keluar dari kerling matamu, dari senyum bibirmu dan sekarang... ah, aku harus bagaimanakah...?"
"Kau pergilah dari sini dan jangan melihat aku lagi! Sebagai pembalasan budimu, aku takkan menceritakan kepada si apapun juga tentang kedatanganmu malam ini. Kita berpisah dengan baik-baik, dan aku... aku akan mengenangmu sebagai seorang ksatria gagah yang pernah menolongku. Pergilah!"
"Mekarsari..."
Suara Wisena menggetar karena penuh perasaan.
"Sekejam kau inikah semua wanita di dunia? Melupakan yang lama dan silau oleh yang baru karena yang baru ini mengkilat dan indah? Menukarkan kesetiaan hati dengan harta dan pangkat? Semurah itukah cinta kasih bagimu? Alangkah rendahnya! Terkutuklah semua..."
Hampir saja Wisena mengutuk semua wanita, akan tetapi tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tangannya
"Tidak, tidak... tidak semua wanita sejahat engkau! Tidak semua wanita sekejam dan sepalsu engkau! Ibuku juga seorang wanita... ah, Dewata Yang Maha Agung... ampunanlah hambaMu, kuatkanlah iman hambamu..."
Wisena terhuyung-huyung, kakinya lemas, dadanya panas membakar, jantungnya terasa perih bagaikan tertusuk keris berkarat dan ia harus menahan tubuhnya dengan tangan menekan batang pohon jambu agar tidak terguling jatuh, karena kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Mekarsari hendak melarikan diri masuk ke dalam gedung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Pangeran Tohjaya menegur,
"Mekarsari, kekasihku yang manis, mengapa kau seorang diri di dalam taman? Tidak dinginkah kau? Mari, mari... manis, akan kuhibur hatimu dengan tembang-tembang indah dari keraton, akan kuusir hawa dingin yang menyerangmu."
Tiba-tiba ia melihat Wisena yang berdiri bersandar di pohon sambil memejamkan matanya.
"He, keparat, siapakah ini??"
Ia melangkah maju untuk memandang lebih nyata karena Wisena berdiri di bawah pohon yang gelap.
"Dia... dia datang hendak berlaku kurang ajar kepada hamba!"
Tiba-tiba terdengar suara Mekarsari gemetar, karena gadis ini benar-benar merasa takut kalau-kalau Pangeran Tohjaya menyangka yang bukan-bukan.
"Keparat jahanam!"
Teriak Pangeran Tohjaya.
"Ular berbisa... lidahmu berbisa..."
Terdengar Wisena memaki perlahan sambil memandang kepada Mekarsari, kemudian tubuhnya melesat melompati pagar bambu dengan cepat sekali sehingga Pangeran Tohjaya belum sempat melihat mukanya. Pangeran Tohjaya memeluk tubuh Mekarsari yang menggigil.
"Sari, siapakah dia? Aku seperti pernah mendengar suaranya."
"Entah, hamba juga tidak mengenalnya. Ia baru saja datang dan sedang hamba usir ketika paduka tiba..."
Jawab Mekarsan.
Pangeran Tohjaya menggandeng tangan Mekarsari diajak masuk, dan ia tidak meniperdiilikan hal itu lagi. Tentu seorang pemuda dusun yang pernah mencintai Mekarsari dan sekarang menjadi patah hati karena gadis pujaannya menjadi milik pangeran, pikirnya. Dengan perasaan hancur luluh Wi"enn meninggalkan dusun Karangluwih pada malam hari itu juga. Ia berlari terus secepatnya keluar dari dusun memasuki hufan, tiada hentinya ia berlari cepat. Bahkan ketika malam telah berganti pagi, ia masih berjalan terus bagaikan seorang yang tak bersemangat lagi. Jiwanya merana, hatinya remuk-rednm. pikirannya kacau balau dan bingung. Baru pertama kali ia merasai kenikmatan dan kebahagiaan cinta kasih yang mendalam dan baru pertama kali ini pula cinta kasih yang mendatangkan kebahagiaan itu menghancurkan hidupnya.
Sampai dua pekan lebih ia berjalan terus, tiada hentinya, lupa makan lupa tidur, terus berjalan bagaikan mayat hidup! Hanya satu pegangan yang menjadi tujuannya dan yang masih belum terlupa olehnya, yakni menuju ke Singosari, mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati. Sifat jantan dan ksatria masih belum meninggalkannya Pesan Begawan Jatadara masih menjadi pegangannya dan biarpun ia berjalan terus tanpa makan tanpa tidur tak pernah mengaso, namun ia masih menujukan tindakan kakinya ke Singosari! Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat dan pandangan, matanya redup dan muram bagaikan dian kehabisan minyak. Tanpa diketahuinya, ia telah masuk ke dalam sebuah hutan besar di luar Ibu Kota Singosari.
Tubuhnya mulai lemas, tindakan kakinya mulai tak tetap. Betapapun juga, tubuh yang tak terpelihara dan perut yang berhari-hari tak diisi, mata yang berhari-hari tak ditidurkan, membuat raganya lemah lunglai dan tak kuat menahan. Terik matahari yang membakar membuat kepalanya berdenyut-denyut dan ketika ia tiba di bawah sebatang pohon waringin yang besar dan teduh, pergantian hawa yang tadinya panas membakar ke tempat yang teduh dan sejuk dingin, membuat ia menggigil dan tiba-tiba ia terhuyung-huyung dan robohlah Wisena di bawah pohon beringin itu, tak sadarkan diri! Namun pemuda ini memang memiliki raga yang kuat sekali. Sungguhpun tiada tenaga lagi di dalam tubuh, kesadarannya timbul kembali, sedikit demi sedikit dan teli-raganya dapat menangkap suara suling bambu yang merdu mengayun kalbu.
"Ah, ada suara suling...tanda bahwa di sini ada orang... tentu dekat kampung... mengapa aku selemah ini? Mengapa aku berputus asa...? Bukan laku seorang ksatria...Ah, Wisena... Wisena, tidak malukah engkau...?"
Demikianlah bibirnya berbisik menurutkan suara hatinya. Suara suling itu makin perlahan dan tiba-tiba terhenti, lalu terdengar nyanyian sebagai gantinya, masih dalam lagu Asmaradana seperti yang dilagukan oleh suling tadi. Lagunya amat lambat menyedihkan, kata-katanya menyayat kalbu, sungguhpun suara itu nyaring dan kecil, tanda bahwa yang menyanyikannya masih kanak-kanak, belum dewasa. Mungkin penggembala kerbau. Suara nyanyian itu dengan jelas memasuki telinga Wisena yang masih berbaring menelungkup dengan pipi kanan di atas tanah.
"Duhai nyawa... tinggalkan raga... untuk apa merana di mayapada... Tak tertahan lagi perihnya, hati pahit getir, melebihi butrawali, betapapun usalia melupakannya wajah adinda juwita terkenang jua! Duhai Dewata agung, cabuClah nyawa tak tertahan lagi oleh hamba..."
Bagaikan disayat-sayat rasa hati Wisena mendengar tembang ini. Tak tertahan pula air matanya mengalir ke luar dan ia menangis tersedu-sedu. Tertumpahlah semua dendam aan sakit hati melalui air matanya dan dadanya terasa lapang. Menelungkup dengan pipi di atas tanah membuat ia merasa seakan-akan ia menangis di atas pangkuan ibunda.
"Ibu... ibu, tolonglah ananda... kuatkanlah ananda...!"
Ia berbisik sambil mencengkeram rumput dan memeluk tanah. Kemudian, dengan menggigit bibir mengeraskan hati, ia mencoba untuk merangkak bangun. Setelah mencucurkan air mata, hatinya lapang, tak sebeku tadi, pikirannya terbuka, akan tetapi tubuhnya makin lemas. Perutnya mulai terasa amat perih dan kosong.
"Aku harus makan... aku harus hidup...jalan masih lebar di hadapanku...!"
Pikiran dan tekad... ini mendatangkan tenaga baru dan Wisena dapat juga berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke depan.
Akan tetapi, bani saja beberapa langkah, ia terguling lagi. Kalau nasib lagi sial, agaknya kekosongan perutnya dan kekeruhan pikiran serta luka di hatinya, mendatangkan angin jahat dan ia terserang sakit! Tubuhnya panas membara, akan tetapi di sebelah dalam terasa dingin menggigil. Dari jauh terdengar derap kaki kuda. Karena telinga Wisena menempel tanah, ia dapat mendengar suara ini dengan jelas, akan tetapi tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Makin lama makin keraslah suara kaki kuda itu dan muncullah tiga orang penunggang kuda. Mereka ini adalah dua orang pemuda dan seorang dara. Ketiganya elok dan dari pakaian me: reka mudah diduga bahwa mereka adalah putera-puteri bangsawan belaka. Memang, sesungguhnya mereka ini adalah keturunan bangsawan tertinggi, karena mereka adalah keluarga Raja Singosari!
Bahkan seorang di antara mereka adalah pangeran pati sendiri, yakni putera Sang Prabu Anusapati. Mudah dilihat dari lambang pangeran pati yang terbuat dari pada emas itu menghias kepalanya. Dia ini adalah Pangeran Pati Ranggawuni yang muda belia, tampan dan gagah. Pemuda ke dua juga seorang pangeran, yakni Pangeran Narasingamurti. kemenakan sang prabu, karena Pangeran Narasingamurti ini adalah putera Prabu Anom Mahisa Wongateleng. Pangeran Pati Ranggawuni amat cinta kepada adik misannya ini yang telah menjadi sahabatnya semenjak kecil. Agar lebih jelas lagi, sesungguhnya perbedaan antara kedua orang pangeran ini adalah nenek-nenek mereka- Keduanya memang cucu dari Ken Dedes, akan tetapi ayah Ranggawuni, yakni Anusapati, adalah putera Tunggul Ametung, sedangkan ayah Narasinqa-muirti, yakni Mahisa Wongateleng, adalah putera dari Ken Arok.
Adapun dara yang juga. menunggang kuda bersama kedua orang pangeran ini juga seorang puteri dari Anusanan yang terlahir dari selir, namanya Dewi Murtiningsih. Dara ini selain cantik jelita, juga memiliki kegagahan, karena semenjak kecil, bersama Panperan Ranpgawuni dan Pangeran Narasingamurti, ia selalu ikut berlatih olah keprajuritan-Kalau kedua orang pangeran ini berburu binatang di dalam hutan, Dewi Murtinincsih tak pernah ketinggalan dan selalu ikut serta. Pangeran Pati Ranggawuni amat kasih kepada adiknya ini dan sungguhpun mereka berlainan ibu, namun mereka bergaul seperti kakak beradik sekandung saja. Tiba-tiba Narasingamurti yang berkuda paling depan, menahan kendali kudanya dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke depan dan menengok kepada kedua orang saudaranya,
"Kakang Mas Ranggawuni, lihat, ada orang berbaring di bawah pohon waringin itu."
Pangeran Pati Ranggawuni menahan kendali kudanya pula can memandang.
"Dia tidak mati dan juga tidak tidur karena kepala dan tangannya bergerak-gerak. Dewi, ayoh kita melihat orang itu, kalau-kalau dia membutuhkan pertolongan."
Tiga orang muda bangsawan itu lalu melarikan kuda menghampiri Jaka Wisena yang masih menggeletak di bawah pohon waringin. Ketiganya lalu melompat turun dan sambil menuntun kuda mereka mendekati Wisena yang masih berbaring dengan gelisah dan memicingkan matanya.
"Ki sanak (saudara), kenapakah kau?"
Tanya Pangeran Pati Ranggawuni dengan suara halus. Wisena mendengar suara ini seperti bisikan dari jauh, akan tetapi ia tak dapat menjawab karena kini perasaan dingin di dalam tubuhnya fetah berobah menjadi panas seakan-akan Kawah Candradi-muka berpindah di dalam dadanya, membuat telinganya mengiang-ngiang dan kepalanya berdenyut-denyut. Melihat betapa tubuh itu bergerak gelisah dan mendengar orang itu mengerang perlahan, Ranggawuni lalu berpaling kepada adiknya dan berkata,
"Dewi, agaknya orang ini sakit. Kau lebih mengerti tentang hal itu, cobalah kau memeriksanya. Kasihan sekali ia sakit seorang diri di tempat sunyi ini."
Memang di samping kegemarannya berlatih panah dan menunggang kuda, Dewi Murtiningsih juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari seorang pertapa. Ia lalu melepaskan kendali kudanya yang jinak dan berlutut di dekat tuouh Wisena yang masih menelungkup.
Diulurkannya sebuah tangan yang berjari kecil runcing dan berkulit halus kekuningan itu, kemudian dirabanya jidat Wisena sambil memutar sedikit kepala pemuda itu. Gerakan ini mendatangkan dua macam perasaan kaget kepada dara ini. Pertama karena ketika jari tangannya meraba jidat Wisena, ia merasa betapa kulit jidat pemuda itu panas membakar, dan ke dua adalah ketika ia memutar sedikit kepala pemuda itu ia memandang kepada wajah, seorang teruna yang tampan dan gagah! Bukan sekali-kali karena Dewi Murtiningsih tak pernah melihat wajah pemuda tampan, akan tetapi kali ini ia benar-benar terkejut dan tercengang karena tadinya mereka semua mengira bahwa yang rebah di atas tanah itu hanyalah seorang petani yang menderita sakit. Juga kedua orang pangeran itu tertegun menyaksikan wajah pemuda yang tampan itu.
"Ah, agaknya seorang ksatria yang menderita sengsara!"
Seru Pangeran Narasingamurti.
"Mungkin ia seorang kelana yang terserang penyakit di hutan ini,"
Kata Pangeran Pati Ranggawuni.
"Kakang Mas Ranggawuni, ia terserang demam hebat!"
Kata Dewi Murtiningsih yang masih tertegun Wajah Wisena amat berkesan dalam hatinya, menimbulkan belas kasiriau dan juga kekaguman. Hatinya yang masih muda merupakan kuncup kembang itu mulai tersentuh oleh tiupan sayap seekor kupu-kupu dan mulai bergerak. membuka untuk menerima kedatangan kupu-kupu yang indah itu.
"Ah, kasihan,"
Kata Ranggawuni.
"Dewiku, kau tolonglah dia sedapatmu."
"Akan kucoba, Kang Mas Ranggawuni. Dimas Narasinga-murti, tolong kau mencari air yang jernih. Aku henclaK pergi mencari daun obat,"
Kata dara itu dengan suara tenang dan tetap, tanda bahwa ia yakin akan apa yang hendak dilakukannya. Narasingamurti pergi mencari air jernih yang dibutuhkan, sedangkan gadis itu lalu masuk ke dalam hutan, mencari daun-daun yang pahit rasanya untuk melawan demam.
Tak lama kemudian keduanya kembali dan berlutut di dekat Wisena yang masih belum sadar bahwa ada tiga orang muda berlutut di dekatnya. Dengan cekatan. Dewi Murtiningsih lalu memeras daun-daun itu, dicampurnya dengan air lalu diminumkannya ke dalam mulut Wisena yang dibukakan oleh Narasingamurti... Berkerutlah muka Wisena ketika obat yang pahit sekali itu memasuki tenggorokannya. Kemudian Dewi Murtiningsih menggunakan air jernih yang ditiupnya tiga kali sambil membaca mantera, kemudian air itu ia gosok-gosokkan pada jidat Wisena dan disiramkannya sisa air itu kepada ubun-ubunnya"
Tak lama kemudian bergeraklah bibir Wisena dan kalau tadi ia hanya mengerang saja perianan, kini kata-katanya dapat ditangkap,
"Dewi... Dewiku... tolonglah hamba..."
"Ahh..."
Dewi Murtiningsih melompat bangun dan berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berobah merah, sampai ke telinganya. Sementara itu, kedua orang pangeran itupun terheran-heran ketika mendengar pemuda yang sakit itu menyebut nama saudara mereka. Mereka hanya memandang dengan melongo ketika Wisena perlahan-lahan membuka matanya. Ketika ia melihat orang-orang itu, ia heran dan bangun lalu duduk. Melihat bekas tempat air dan sisa daun obat, ia maklum bahwa orang-orang ini tentu telah menolongnya, maka ia tersenyum dan mengangguk penuh terima kasih.
"Saudara... apakah arti kata-katamu tadi?"
Tanya Ranggawuni sambil memandang tajam. Wisena masih agak oening dan ia hanya melihat wajah seorang teruna yang cakap dan agung.
"Kata-kata yang mana...?"
"Kau tadi menyebut Dewi... siapakah itu?"
Tiba-tiba merahlah wajah Wisena. Sesungguhnya, ketika tadi ia membuka sedikit matanya, ia seperti melihat seorang gadis cantik duduk di dekatnya. Wajah itu begitu cantik jelita sehingga tak salah lagi tentulah itu wajah Mekarsari yang datang hendak menolongnya. Ia menyebut "Dewi"
Bukan dimaksudkan menyebutkan nama seseorang, akan tetapi sebutan yang berarti menjunjung tinggi gadis kekasihnya itu, dianggapnya seakan-akan dewi dari kahyangan. Akan tetapi, bagaimana ia harus menjawab? Apa lagi ketika pandangan matanya makin terang dan ia melihat seorang gadis cantik jelita berdiri tak jauh dari situ, memandang kepadanya dengan sepasang mata yang jernih dan bening, berkilauan bagaikan sepasang bintang pagi, ia menjadi makin bingung.
"Maksudku... aku tadi bermimpi agaknya... bermimpi diserang oleh seorang siluman... aku tak berdaya, lalu datang seorang dewi penolong dari kahyangan, maka aku lalu minta pertolongannya!"
Bergelak tertawalah Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti ketika mendengar keterangan ini.
"Ha, ha, ha, kau lucu, saudara!"
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Ranggawuni.
"Tanpa disengaja kau telah mengeluarkan sebutan yang amat tepat. Ketahuilah, kau memang telah ditolong oleh saudaraku ini yang bernama Dewi Murtiningsih, seorang puteri Kerajaan Singosari."
Bukan main terkejutnya hati Wisena mendengar ini. Cepat-cepat ia membereskan pakaiannya lalu duduk bersila dengan penuh khidmat. Makin terkejut dia ketika mendengar Narasingamurti berkata menyambung keterangan kakaknya,
"Dan ketahuilah bahwa kakakku ini adalah Kakang Mas Pangeran Ranggawuni, Pangeran Pati Kerajaan Singosari dan aku sendiri bernama Pangeran Narasingamurti!"
Wisena menjadi demikian kaget sehingga sisa-sisa penyakitnya lenyap seketika itu juga. Ia merangkapkan sepuluh jari tangannya, menyembah dengan hormat kepada tiga orang muda yang kini telah bangkit berdiri di hadapannya sambil berkata,
"Aduh, gusti pangeran! Yang banyaklah maaf paduka kepada hamha yang telah berani bersikap tidak selayaknya terhadap paduka bertiga oleh karena hamba tidak mengetahuinya."
Senanglah hati kedua orang pangeran muda itu mendengar ucapan yang sopan dan halus serta sikap yang amat baik dari pemuda ini.
"Siapakah kau, dari mana dan hendak ke mana? Bagaimana kau sampai terlunta-lunta sengsara seorang diri di sini dan menderita sakit sampai tubuhmu kurus kering?"
Tanya Ranggawuni, akan tetapi tiba-tiba Wisena memejamkan kedua matanya. Pandangan matanya gelap dan selaksa bintang menari-nari di depan kedua matanya, sungguhpun mata itu telah dipejamkannya. Agaknya obat pahit tadi telah mulai bekerja di dalam perutnya dan kerjanya mengusir demam sedemikian kerasnya sehingga perutnya serasa diremas-remas. Lapar, perih, dan sakit menggeragoti dasar perutnya. Saking hebatnya rasa sakit, Wisena menggunakan kedua tangannya menekan bawah ulu hatinya dan menggigit bibirnya sampai berdarah! Kemudian, sambil mengeluh perlahan ia terguling dan pingsan.! Kedua orang pangeran itu terkejut sekali dan buru-buru. mereka berlutut di dekat tubuh Wisena.
"Dewi, kau telah memberi obat apakah tadi? Jangan-jangan daun itu mengandung bisa!"
"Tak mungkin, Kakang Mas Ranggawuni. Mungkin ada lain penyakit di dalam perutnya."
"Periksalah, periksalah lekas! Lihat, mukanya sudah menjadi pucat Kebiruan. Lekas"
Dewi Murtiningsih lalu berlutut dan kedua tangannya ditekankan ke ulu hati dan perut Wisena. Getaran perasaan yang mengalir memenuhi ujung-ujung jari tangannya yang terlatih itu seakan-akan mencari-cari, meresap ke dalam tubuh Wisena untuk melihat apakah yang menyebabkan pemuda itu demikian menderita. Kedua orang saudaranya memandang dengan penuh perhatian, menahan nafas. Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tertawa perlahan dengan geli, lalu bangkit berdiri. Masih saja senyum manis menghias bibirnya dan sepasang matanya yang indah itu berkilat.
"Eh, eh, mengapa kau malah mentertawakannya, Dewi?"
Tanya Ranggawuni heran dan penasaran. Kembali Dewi Murtiningsih tertawa sehingga nampaklah dua deret giginya yang putih berkilau, berbentuk indah dan teratur rapi itu di antara bibir dan mulutnya yang merah.
"Dia tidak sakit apa-apa, hanya..."
"Hanya apa?"
"Lapar! Perutnya kosong sama sekali, agaknya telah berpekan-pekan ia tidak makan sesuatu"
"Aduh kasihan..."
Kata Ranggawuni pula.
"Dimas Narasingamurti, berikan bekal nasiku kepadanya. Suapkan-lah nasi itu ke dalam mulutnya, kasihan sekali teruna ini""
Narasingamurti mengambil bungkusan nasi dan lauk-pauknya dari atas kuda, kemudian ia berusaha menyuapkan nasi itu ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi gerakannya kaku dan canggung sekali sehingga lebih banyak nasi yang jatuh di tanah dari pada yang dapat masuk ke mulut Wisena. Bahkan ada yang hampir masuk ke lubang hidung pemuda itu! Melihat ini, Ranggawuni berkata,
"Ah, dimas Narasingamurti, kau canggung sekali. Dewi, kaulah yang menyuapkan nasi itu."
"Ah, Kakang Mas, aku malu...bagaimana aku harus menyuapkan nasi ke mulut seorang yang tak kukenal sama sekali...?"
"Dewi, memang seharusnya kita, terutama sekali kau sebagai seorang wanita, menjaga baik-baik tata susila dan kesopanan. Bukan semestinya kalau kau menyuapkan nasi ke dalam, mulut seorang asing, terutama kalau orang itu seorang pria. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain lagi Biarpun kita belurri mengenalnya, akan tetapi ia adalah seorang yang sedang menderita sengsara, seorang yang tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kau sendiri menyatakan bahwa dia kelaparan dan perlu diberi makan, sedangkan ia masih pingsan tak dapat makan sendiri. Kalau dibiarkan saja tentu ia akan mati. Dalam hal ini, berlakulah sebagai seorang manusia menolong manusia lain, dan dalam prikemanusiaan tiada perbedaan antara pria maupun wanita, bangsawan besar maupun rakyat kecil."
Dewi Murtiningsih terpaksa menurut perintah pangeran pati yang bijaksana ini dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu menyuapkan nasi ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi, baru. saja sekepal nasi disuapkan oleh puteri itu ke dalam mulut Wisena, pemuda ini telah siuman kembali. Dengan bergegas ia lalu duduk dan sungguhpun tubuhnya masih gemetar, namun ia memaksa diri duduk dengan sopan.
"Kau makanlah dulu, jangan banyak cakap,"
Kata Pangeran Ranggawuni.
Wisena adalah seorang pemuda yang terdidik oleh pamannya dan sungguhpun ia semenjak kecil berada di atas gunung, namun ia tahu akan sopan-santun dan kini disuruh makan nasi di hadapan seorang puteri, ia merasa malu sekali. Diam-diam ketiga orang putera-puteri bangsawan itu maklum akan hal ini, maka Dewi Murtiningsih lalu memutar tubuhnya dan berdiri membelakangi Wisena. Pemuda ini lalu mulai makan. Sungguhpun ia amat lapar dan agaknya dapat menghabiskan nasi itu dengan sekali dua kali telan, namun ia makan dengan sopan, tidak tergesa-gesa dan mengunyah nasi dengan bibir rapat. Kedua orang pangeran itu makin suka kepadanya. Setelah Wisena selesai makan, ia menyembah kepada mereka dan berkata lagi
"Telah sering kali hamba mendengar berita akan kebijaksanaan dan kemuliaan"
Hati para bangsawan tinggi di Singosari. Kini bertemu dengan paduka bertiga, hamba tidak ragu-ragu lagi bahwa berita itu sesungguhnya benar belaka. Hal ini lebih meyakinkan hati hamba dan lebih mempertebal tekad hamba untuk mengabdi kepada Kerajaan Singosari.
"Kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Kuulangi lagi, siapakah kau dan datang dari mana?"
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo