Keris Maut 4
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Hamba bernama Jaka Wisena dan semenjak kecil hamba tinggal di puncak Gunung Anjasmoro bersama paman hamba, Begawan Jatadara. Hamba sedang dalam perjalanan menuju ke Singosari untuk menghambakan diri kepada Gusti Sinuhun Sang Prabu Anusapati. Akan tetapi, malang nasib hamba, setibanya di hutan ini hamba terserang penyakit, sungguhpun kemalangan nasib itu hanya menjadi awal kebahagiaan hamba, karena buktinya hamba dapat bertemu dengari paduka yang bijaksana. Oleh karena itu, hamba mengucap syukur dan terima kasih kepada Dewata yang telah memberi kehormatan kepada hamba untuk diperjumpakan dengan paduka."
"Hm, jadi kau hendak mengabdi kepada ramanda prabu? Kebetulan sekali, Jaka Wisena. Besok pagi diadakan pemilihan abdi-abdi baru. Kau dapat bekerja apakah?"
"Apa saja yang dititahkan kepada hamba, akan hamba usahakan sedapat mungkin."
"Bukan demikian maksudku. Kau hendak mencari pekerjaan halus atau kasar? Apakah kau ingin menjadi pamong kerajaan yang mengurus pekerjaan sehari-hari, ataukah kau ingin menjadi seorang prajurit?"
"Hamba adalah seorang bodoh dan kasar dan hanya mengandalkah sepasang tangan dan sepasang kaki hamba. Maka apa bila gusti sinuhun sudi menerima hamba, hamba hendak mengabdi sebagai seorang prajurit untuk menjaga keselamatan Kerajaan Singosari."
"Bagus, agaknya tak keliru dugaanku bahwa kau tentu seorang ksatria! Kebetulan sekali kalau begitu, Jaka Wisena. Besok pagi datanglah kau ke alun-alun Singosari, di sana rama prabu hendak mengadakan pemilihan calon senapati dan pengawal. Kalau kau memang mempunyai kedigdayaan dan dapat menempuh ujian dengan baik, aku akan senang sekali melihat kau diangkat menjadi senapati atau kepala pasukan."
Dengan wajah berseri girang Wisena menyembah.
"Beribu terima kasih hamba haturkan, gusti pangeran, tidak saja karena pertolongan paduka, akan tetapi juga untuk penerangan ini. Hamba akan mentaati pesan paduka dan besok pagi pasti hamba akan berada di alun-alun. Sekali lagi terima kasih kepada paduka bertiga, semoga para Dewata selalu melindungi paduka dan semoga pada suatu waktu hamba diberi kesempatan untuk membalas budi."
"Jangan sibuk memusingkan hal itu, Jaka Wisena. Sudah semestinya manusia saling tolong-menolong, tak perduli dia seorang raja, seorang pangeran, maupun seorang ksatria atau sudra. Manusia dilahirkan sama, hanya nasib yang menentukan di mana ia akan dilahirkan, pada keluarga tinggi ataukah rendah."
"Sungguh tepat sabda paduka, gusti."
"Nah, kami hendak kembali ke keraton, Jaka Wisena. Semoga kau akan? berhasil besok."
"Terima kasih, gusti."
Berkat hasutan-hasutan yang dijalankan oleh Ken Umang dan Tohjaya, banyak senapati dan pembesar yang tidak senang kepada Pangeran Anusapati yang kini telah menjadi raja. Para senapati dan juga banyak bupati dan adipati yang mendengar dari Pangeran Tohjaya bahwa pembunuhan atas diri Sang Prabu Ken Arok adalah atas usaha Pangeran Anusapati yang kini menjadi raja, pada mengundurkan diri. Bupati-bupati memisahkan diri dan mereka bersiap untuk melakukan pemberontakan. Hal ini masih terjadi diam-diam, karena mereka masih takut dan segan terhadap Sang Prabu Anusapati yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai cukup banyak pengikut.
Para senapati tua, pahlawan-pahlawan aseli berasal dari Tumapel dahulu, kesemuanya ber-fihak kepada Sang Prabu Anusapati, demikian pula rakyatnya, oleh karena mereka ini masih setia terhadap Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok. Sungguhpun amat dirahasiakan, namun para senapati sepuh banyak yang"
Tahu bahwa ketika Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok, ia telah berada dalam keadaan mengandung. Maka tentu saja mereka merasa yakin bahwa sesungguhnya Sang Prabu Anusapati bukanlah putera Ken Arok, melainkan putera Tunggul Ametung. Sementara itu, Sang Prabu Anusapati diam-diam juga dapat menduga bahwa para senapati merasa kurang senang ia naik takhta kerajaan, maka ia lalu membuat persiapan. Hilang dan mundurnya para senapati itu tidak menyusahkan hatinya, bahkan ia lalu sering kali mengadakan sayembara-sayembara pemilihan senapati dan panglima-panglima baru.
Pada hari itu, alun-alun Kerajaan Singosari amat ramai, karena pada hari itu sebagaimana sering kali terjadi, sang prabu hendak memilih orang-orang gagah untuk dijadikan pengawal sang prabu. Tentu saja dalam kesempatan ini, banyak orang-orang gagah mencoba kesaktiannya untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu. Banyak orang muda murid-murid pertapa sakti turun gunung, banyak panglima-panglima perang yang gagah perkasa mencoba untuk merebut pangkat yang lebih tinggi dan banyak harapan ini, karena menjadi pengawal sang prabu tentu saja amat mulia, selalu berdekatan dengan raja, menjadi orang kepercayaannya dan dihormati oleh semua pembesar. Sang Prabu Anusapati sendiri terkenal sebagai seorang yang digdaya dan pandai sekali bermain segala macam senjata, juga amat kuat tenaganya. Di Kerajaan Singosari terdapat dua orang jago yang bernama Lembuseta dan Lembusena.
Mereka ini adalah dua orang yang bertubuh bagaikan raksasa, tenaganya melebihi gajah, kulitnya tebal dan keras seperti kulit badak, akan tetapi sayang sekali otak mereka amat tumpul. Oleh karena itu, maka kedua orang kakak beradik yang berasal dari Madura ini oleh Sang Prabu Anusapati dijadikan jago penguji orang-orang gagah yang hendak menjadi senapati. Jarang ada orang yang dapat menandingi kedua jago ini, maka siapa yang dapat menghadapi seorang di antara kedua jago ini selama satu lagu dimainkan sampai habis oleh gamelan yang ditabuh sewaktu pertandingan berlangsung, dan orang itu tidak sampai pingsan atau tewas selama itu, maka ia dianggap sudah digdaya dan dapat diterima karena dinyatakan lulus ujian! Oleh karena itu, tidak banyak orang yang mengikuti ujian berat ini. Sungguhpun pertandingan menghadapi seorang di antara kedua raksasa ini dilakukan tanpa mempergunakan senjata,
Namun kalau orang tidak memiliki tubuh kuat dan tenaga besar, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Sekali terkena pukulan kepalan tangan yang sebesar buah kelapa itu, dada dapat remuk dan tulang iga dapat patah-patah. Sekali terkena dipiting (dijepit) lehernya oleh sepasang lengan yang sebesar paha manusia biasa dan yang penuh dengan lingkaran urat dan otot menggembung itu, batang leher bisa patah dan orang dapat mati karena sesak napas! Apa lagi kalau sampai tertangkap dan dibanting, kepala bisa remuk dan otaknya keluar berhamburan. Dan syarat untuk dipilih menjadi calon pengawal pribadi Sang Prabu Anusapati kali ini lebih berat lagi, karena peserta harus menghadapi dua orang raksasa itu seorang sekali! Tentu saia dalam pemilihan ini, yang amat gembira hatinya adalah penonton.
Pertandingan-pertandingan seperti itu selalu menarik hati, maka lama sebelum sang prabu sendiri keluar dari keraton dan datang di alun-alun, penduduk ibu kota telah berdesak-desak memenuhi alun-alun, mengelilingi panggung yang khusus dibuat untuk keperluan ini. Panggung itu lebar dan hanya berpayon di bagian tempat duduk sang prabu dan para pengiringnya. Di bagian depan dibiarkan terbuka, berbentuk bundar dan lebar, tingginya hampir dua tombak. Oleh karena itu, para penonton dapat melihat pertandingan itu dengan nyata dan enak, sambil duduk berjubel di bawah panggung. Pada masa itu, permainan adu ayam sudah menjadi kegemaran rakyat, bahkan sang prabu sendiri terkenal sebagai &hli adu ayam yang amat suka akan permainan itu. Maka, dalam pertandingan ini, tidak sedikit para penonton yang bertaruh sehingga suasana menjadi makin menggembirakan.
Ketika Sang Prabu Anusapati keluar dari keraton dan menuju ke alun-alun diikuti oleh para bayangkari, suasana yang tadinya berisik itu menjadi sunyi. Semua orang menunduk menyembah ke arah sang prabu yang naik ke atas panggung dengan langkah tenang. Gamelan yang telah tersedia di situ ditabuh perlahan menyambut kedatangan Sri Baginda. Setelah sang prabu mengambil tempat duduk dan memberi tanda dengan anggukan kepalanya, maka perwira yang bertugas mengatur pertandingan itu lalu memberi isyarat.orang jago keraton yang bertubuh seperti taksasa itu ke atas panggung, disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai oleh para penonton. Lembuseta dan Lembu-sena dengan mengangkat dadanya yang bidang itu mengangguk-angguk ke arah penonton dengan senyum bangga. Perwira itu lalu memberi laporan kepada Sang Prabu Anusapati,
"Gusti sinuhun, hamba melaporkan bahwa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian berat kali ini hanya ada lima orang saja."
Sang prabu tersenyum, kemudian menarik napas panjang.
"Agaknya makin berkurang saja orang-orang gagah di Singosari, biarlah, suruh mereka seorang demi seorang menghadapi Lembuseta dan Lembusena."
"Sendika (baik), gusti, hamba akan menjalankan perintah paduka."
Ia lalu mengundurkan diri dan memberi tanda kepada seorang cli antara lima peserta yang duduk di pojok panggung sambil bersila, kemudian ia memberi tanda kepada Lembusena untuk mengundurkan diri dari panggung. Kini yang berdiri di atas panggung hanya Lembuseta seorang, siap menanti datangnya penantangnya. Orang pertama yang naik ke atas panggung adalah seorang laki-laki berkulit hitam dan bercambang bauk, nampaknya kuat sekali- Ketika ia naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton. Si cambang.bauk ini lebih dulu bersujud kepada Sri Baginda raja, dan berkata,
"Hamba yang rendah bernama Surawahana dari lereng Gunung Bromo, menghaturkan sembah bakti, gusti sinuhun."
Sang Prabu Anusapati mengangkat tangan kanannya dan menjawab,
"Maju dan lawanlah Lembuseta, Surawahana."
Si cambang bauk yang bernama Surawahana itu lalu menyembah lagi dan masuk ke dalam gelanggang. Sang prabu menengok ke kiri di mana duduk puterinya yang terkasih, yakni Dewi Murtiningsih. Di dalam rombongan sang prabu, selain para pelayan, tidak ada puteri lain yang suka menonton pertandingan itu, kecuali Dewi Murtiningsih yang memang semenjak kecil suka akan olah raga dan olah keperwi-raan. Sang prabu tersenyum dan berkata perlahan,
"Dewi, Surawahana itu takkan dapat melawan Lembuseta. Lihatlah saja."
"Benar, ramanda prabu, ia memiliki kegesitan, akan tetapi, tenaganya masih jauh untuk menghadapi Lembuseta."
Dari pembicaraan ini saja, dapat diduga bahwa sang puteri telah banyak mempelajari ilmu sehingga sekali pandang saja ia telah dapat menaksir kepandaian seorang peserta.
Selain Sang Puteri Dewi Murtiningsih, di situ nampak juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasinga-rnurti. Mereka ini, juga Dewi Murtiningsih, agak kecewa karena tidak melihat Jaka Wisena yang mereka harapkan ikut serta, dalam sayembara ini. Begitu Sura wahana memasuki gelanggang dan telah berhadapan dengan Lembuseta, maka berbunyilah gamelan, tanda bahwa pertandingan boleh dimulai. Kalau suara gamelan ini nanti berhenti lagi dan sebuah tembang telah habis dimainkan, maka
(Lanjut ke Jilid 04)
Keris Maut (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 04
berarti Habislah pertandingan sebabak ini. Apa bila Sura wahana dapat mempertahankan diri selama itu, maka ia akan dianggap menang, sungguhpun ia tidak merobohkan Lembuseta.
"Awas...!"
Tiba-tiba Lembuseta berseru garang dan tubuhnya yang besar itu bergerak maju dengan cepatnya, mendorong dada Surawahana dengan tangan kiri. Sura-wahana bertubuh cukup besar, akan tetaoi di dekat raksasa itu nampak kecil. Dengan cekatan sekali, Surawahana mengelak dan melompat ke kiri lalu mengirim pukulan tangan kanan dari kiri.
"Blek!"
Pukulan itu tepat mengenai pundak Lembuseta karena cepatnya gerakan, dan riuhlah suara penonton bersorak, memuji kedua orang itu. Surawahana dipuji karena dalam segebrakan saja sudah berhasil memberi pukulan, dan Lembuseta dipuji oleh karena tubuhnya yang terpukul itu tak bergeming sedikitpun juRa, seolah-olah yang menyambar, pundaknya bukan kepalan Surawahana yang keras, melainkan seekor lalat! Surawahana terkejut sekali, akan tetapi iapun merasa penasaran. Pertandingan dilanjutkan dengan serunya. Setiap serangan Lembuseta dihindarkan oleh Surawahana dengan gerakan lincah dan gesit, tepat sebaeaimana yang diduga oleh Puteri Dewi Murtiningsih tadi. Akan tetapi-sebaliknya.
Surawahanapun tidak mampu merobohkan lawannya. Beberapa kali tamparan, dorongan dan pukulannya yang mengenai tubuh Lembuseta hanya diterima dengan tertawa bergelak saja oleh Lembuseta! Penonton makin menjadi tegang melihat kehebatan pertandingan ini dan agaknya Surawahana akan dinyatakan menang karena sudah cukup lama mereka bertempur, belum juga Lembuseta dapat merobohkan Surawahana. Akan tetapi, gamelan masih berbunyi dan pertandingan belum habis. Lembuseta maklum bahwa kalau ia tak berhasil menyerang lawannya, ia akan kehabisan waktu dan akan malulah ia kalau tak dapat merobohkan Surawahana sebelum gamelan berhenti. Maka ia lalu merobah siasat. Biarpun ia bodoh, akan tetapi pengalaman pertandingan yang banyak membuat ia mengerti beberapa macam akal.
Ia selalu menyerang dengan mengandalkan tenaga saja dan menerima pukulan mengandalkan kerasnya kulit, karena ia tidak faham ilmu perkelahian. Kini ia sengaja berlaku lambat dan jarang-jarang menyerang, akan tetapi memperhatikan serangan lawan. Surawahana dapat tertipu dan mengira bahwa lawannya telah Jelah dan putus asa. Ia tidak puas kalau mendapat kemenangan tanpa merobohkan lawan, maka nada suatu saat yang baik, ketika lawannya nampak lengah, ia cepat menghantam sekuat tenaga ke arah lambung raksasa itu. Biarpun ia takkan dapat merobohkannya setidaknya lawannya tentu akan terdorong, dan terhuyung-huyung. Akan tetapi, saat inilah yang dinanti-nanti oleh Lembuseta. Ia.membiarkan saia lambungnya dipukul, akan tetapi begitu puKulan Surawahana mengenai lambungnya, ia menubbruk maju mengirim tamparan keras dengan telapak tangan kanan yang selebar kipas ke arah kepala Surawahana!
"Blek! Plak!"
Demikian suara pukulan lambung dan tamparan kepala itu berbunyi hampir berbareng dan terdengar suara ketawa Lembuseta untuk menyatakan bahwa pukulan pada lambungnya itu hanya terasa bagaikan dipijat saja. Akan tetapi akibat tamparan pada kepala Surawahana itu hebat sekali. Bagaikan kena sambaran petir, tubuh Surawahana terputar-putar beberapa kali lalu robohlah ia tak sadarkan diri, sama sekali tak dapat bergerak lagi! Gegap-gempita sorak-sorai para penonton menyambut kemenangan Lembuseta ini. Tubuh Surawahana yang tak ber daya lagi itu lalu digotong turun oleh dua orang penjaga dan dibawa pergi.
Peserta ke dua dipersilahkan naik. Seperti halnya Sura-wahana tadi, peserta inipun memberi hormat kepada Sri Baginda dan memperkenalkan namanya. Ia masih muda dan tubuhnya juga besar dan tinggi, hampir menyamai Lembusena lawannya yang kali ini mendapat giliran. Akan tetapi, Lem-busena lebih pandai bertempur dari pada Lembuseta dan pemuda tinggi besar ini belum juga setengah babak telah dapat tertangkap dan dilemparkan ke bawah panggung! Ia kuat dan tidak terluka, akan tetapi saking malu dan tiada harapan,, ia lalu lari meninggalkan tempat itu. Kembali para penonton bersorak ramai. Peserta ke tiga dan ke empat yang bertubuh kuandari tinggi besar, juga tidak berdaya menghadapi kedua orang, raksasa itu. Mereka inipun dirobohkan dengan mudah sebelum gong mengakhiri babak pertandingan. Semua penonton mulai merasa kecewa dan Sang Prabu Anusapati mengeluh,
"Mengapa hanya ada lima orang calon dan lemah-lemah belaka?"
Katanya kecewa kepada Dewi Murtiningsih.
"Nanti dulu, ramanda prabu, coba periksalah calon ke lima itu. Agaknya ia tidak mudah dirobohkan!"
Sri Baginda cepat memandang dan peserta ke lima itu bersujud menyembah. Suaranya terdengar nyaring ketika ia berkata,
"Hamba Jaka Lumping dari Belambangan menghaturkan sembah sujud dan mohon pangestu paduka agar supaya hamba berhasil mengabdikan jiwa raga hamba di bawah kaki paduka."
"Hmm, baik, Jaka Lumping, maju dan lawanlah Lembuseta. Mudah-mudahan kau berhasil."
Jaka Lumping menyembah lagi lalu menuju ke gelanggang pertandingan. Dia adalah seorang pemuda yang aneh bentuk tubuhnya. Dada dan perutnya kecil, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi kepalanya dan kedua lengannya besar. Sepasang matanya tajam berpengaruh dan urat-urat menonjol keluar dari daging lengannya. Ketika ia berjalan di atas gelanggang, nampaknya tindakan kakinya demikian ringan. Ketika ia tiba di depan Lembuseta, raksasa itu tersenyum mengejek- la merasa girang sekali oleh karena hari ini ia dan kakaknya Lembusena telah merobohkan masing-masing dua orang peserta.
"Kudengar namamu tadi Jaka Lumping dari Belam-bangan? Kau bersiaplah baik-baik!"
Katanya dan dengan cepat ia lalu menyerbu. Jaka Lumping cepat mengelak dan balas menyerang. Pertandingan kali ini ternyata jauh lebih hebat dari pada yang sudah-sudah. Jaka Lumping yang aneh itu ternyata benar-benar digdaya. Kalau empat orang peserta yang tadi selalu roboh terkena pukulan atau tamparan Lembuseta dan Lembusena, Jaka Lumping ternyata juga memiliki kekebalan seperti lawannya. Sekali pernah kepalan tangan Lembuseta yang besar menghantam dadanya, akan tetapi ia hanya mundur tiga langkah, lalu maju kembali dengan cepatnya, membalas serangan lawan dengan pukulan bertubi-tubi sehingga Lembuseta jatuh terduduk!
Bukan main riuhnya para penonton menyaksikan pertandingan ini. Lembuseta sendiri terkejut karena pukulan-pukulan lawannya yang aneh ini ternyata amat kuatnya sehingga ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan sampai terjatuh. Dengan marah dan penasaran Lembuseta bangun kembali. Ketebalan kulitnya membuat ia kebal dan kini ia mengamuk bagaikan seorang raksasa yang liar dan ganas. Akan tetapi Jaka Lumping tidak gentar dan menghadapinya dengan sepak terjang yang gagah. Pukul-memukul, tendang-menendang, dorong-mendorong terjadi dengan hebatnya. Tenaga keduanya amat besar sehingga panggung itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh. Bahkan tempat duduk sang prabu dan para pangeran sampai bergetar.
"Ah, benar-benar kuat Jaka Lumping!"
Kata sang prabu dengan girang. Karena lawannya dapat menahan pukulan-pukulannya, maka kedua orang di atas gelanggang pertempuran itu kemudian bergumul. Saling cekik, saling piting sehingga mereka menjadi satu seakan-akan dua ekor naga bertempur saling membelit. Terdengar suara napas mereka,
"Ah, uh, ah, uh!"
Mengerahkan tenaga. Berkeretak bunyi tulang mereka, dan otot-otot besar melingkar-lingkar pada lengan mereka. Sebentar Jaka Lumping terbanting ke bawah, tertindih oleh tubuh Lembuseta yang seperti raksasa ku, akan tetapi dengan gerakan kakinya yang mengait kemudian dengan gerakan membalik yang tiba-tiba, Jaka Lumping berhasil membuat penindihnya terguling dan secepat kilat Jaka Lumping lalu menindih tubuh lawannya. Leher lawannya dipiting dengan lengan kanan, tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan yang hendak memukul, sedangkan lututnya diinjakkan ke perut lawan.
Lembuseta mengerahkan tenaga, meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi lawannya juga mengerahkan tenaga menahan. Hebat sekali pergumulan ini sampai lantai papan yang tebal itu berderak-derak. Akhirnya Lembuseta dapat memasukkan tangan kirinya di bawah lengan lawannya dan berhasil melepaskan diri. Mereka berdiri terhuyung-huyung dan pergumulan dilanjutkan sambil berdiri, sebentar mendorong maju dan sebentar terdorong ke belakang. Para penonton bersorak-sorak bagaikan gila saking tegang dan gembiranya Gamelan dipukul makin keras karena para penabuh gamelan juga terpengaruh oleh pertandingan hebat ini. Akhirnya gamelan berhenti bersuara karena lagu telah habis dimainkan, berarti bahwa babak itu telah berakhir!
"Hidup Jaka Lumping...!"
Teriak para penonton dan Lembuseta lalu melepaskan pelukannya. Jaka Lumping dinyatakan menang karena ia dapat mempertahankan diri selama sebabak, bahkan dalam pertandingan ini tak dapat dikatakan ia terdesak. Benar-benar kuat Jaka Lumping, pemuda Belambangan yang aneh ini. Ketika pengatur pertandingan memberi tanda, Lembuseta mengundurkan dan gelanggang, hari kini Lembusenu melangkah maju untuk mengadakan ujian terakhir.
Sekali lagi Jaka Lumping harus dapat mempertahankan diri terhadap Lembusena, oaru ia akaii dapat dinyatakan lulus dan dapat merebut kedudukan pengawal pribadi Sri Baginda! Betapapun juga diam-diam Jaka Lumping harus mengakui kehebatan Lembuseta tadi. Pergumulan tadi telah membuat ia lelah. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan sekuat itu. Kini melihat Lembusena telah maju, ia ingin mempercepat jalannya pertandingan agar jangan sampai kehabisan tenaga. Begitu gamelan mulai dipukul lagi, ia menubruk maju, memeluk pinggang Lembusena yang besar, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh raksasa itu! Penonton bersorak-sorak lagi dan diam-diam Sang Prabu Anusapati mengangguk-angguk memuji Jaka Lumping. Setelah mengangkat tubuh Lembusena ke atas sampai hampir melampaui kepalanya, Jaka Lumping lalu,membanting tubuh itu ke bawah.
"Brek...!!"
Tubuh raksasa itu dihempaskan ke atas lantai demikian kerasnya, bagaikan terjatuh dari tempat tinggi saja. Melihat besarnya tenaga yang dipergunakan dan kerasnya bantingan itu, kalau tubuh lain orang yang terbanting tentu akan remuk-remuk tulangnya dan luka-luka kulitnya! Akan tetapi. Lembusena hanya tersenyum saja dan segera bangkit berdiri kembali. Jaka Lumping memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak heran. Tak disangkanya bahwa lawannya ini demikian kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari pada Lembuseta! Sebelum hilang rasa kagetnya, Lembusena telah menubruk maju dan membalas serangan lawannya tadi. Ia memegang pinggang jaka Lumping yang kecil dengan kedua tangannya, mengangkat tubuh itu seakan-akan orang mengangkat benda ringan saja, lalu membantingnya sambil melepaskan pegangannya!
"Krak...!!"
Bukan main hebatnya bantingan ini sehingga papan yang tertimpa tubuh jaka Lumping sampai menjadi pecah dan tubuh Jaka Lumping masuk setengahnya ke bawah papan yang kosong!
Para.nenonton menahan napas, ngeri menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Bantingan itu benar-benar hebat sekali, akan tetapi bagaimanakah tubuh seorang manusia dapat begitu kuat sehingga bahkan papan yang tebal itu yang pecah? Memang mengagumkan sekali kekuatan tubuh Jaka Lumping yang kecil itu. Biarpun ia telah merasa lelah dan tubuhnya sakit-sakit, akan tetapi ia masih dapat menekankan kedua tangannya pada papan gelanggang dan menarik kakinya dari bawah! Begitu ia berdiri, Lembusena telah menyerbunya lagi, kini menghujankan pukulan-pukulan keras kepada kepalanya yang besar itu. Jaka Lumping mencoba untuk menangkis, akan tetaoi sepak terjane Lembusena ternyata jauh lebih cepat. Beberapa kali kepalanya kena pukul dan sungguhpun ia tidak terluka, namun kini nampak ia mulai terhuyung-huyung.
"Ah, dia kalah!"
Kata Sri Baginda perlahan dengan kecewa. Benar saja, kini Lembusena melangkah maju, memegang tangan Jaka Lumping dan sekali menggerakkan tangannya, ia telah melontarkan tubuh pemuda itu yang melayang cepat ke bawah panggung! Penonton bersorak-sorak, sungguhpun sebagian besar diam saja karena merasa kecewa melinat pemuda itu dikalahkan. Dengan demikian, maka pertandingan akan bubar tanpa ada yang dianggap menang! Memang siapa yang sampai terlempar keluar dari panggung, telah dianggap kalah. Akan tetapi Jaka Lumping benar-benar sakti. Biarpun tubuhnya berdebuk jatuh ke atas tanah, namun secepat itu pula ia melompat bangun, lalu dengan cepat ia menaiki tangga panggung dan berlutut di hadapan Sang Prabu Anusapati, menyembah dengan hormatnya.
"Mohon beribu ampun, gusti sinuhun. Hamba mengaku kalah, Lembusena terlampau kuat. Hamba telah mengecewakan hati paduka."
Senang juga hati sang prabu melihat sikap pemuda itu.
"Jaka Lumping, kau cukup digdaya. Sayang kurang sedikit saja daya tahanmu, sesungguhnya, aku akan senang sekali mempunyai pengawal seperti engkau!"
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di kalangan penonton dan tiga orang penjaga nampak sedang berkeras mencegah seorang pemuda yang hendak memaksa naik ke panggung. Karena marah melihat kebandelan pemuda itu, seorang di antara penjaga lalu mencabut pedang dan mengancam, akan tapi entah bagaimana, tahu-tahu tiga orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri dan pemuda itu terus saja menggerakku, tubuh. Bagaikan seekor burung, ia telah melompat naik keatas panggung dan langsung menghadap sang prabu, berlutut di sebelah Jaka Lumping yang juga masih duduk bersila di situ! Seorang pengawal hendak mengusir pemuda lancang ini, akan tetapi Sang Prabu Anusapati menggerakkan tangan mencegahnya. Sri Baginda sendiri juga kurang senang menyaksikan kelancangan dan keberanian pemuda itu, maka sebera ditegurnya pemuda itu dengan kata-kata yang tetap terdengar halus,
"Anak muda, siapakah kau dan mengapa kau lancang sekali menghadap tanpa dipanggil?"
"Hamba mohon beribu ampun, gusti sinuhun, dan apa bila paduka sudi mendengar keterangan hamba, hamba adalah seorang kelana bernama Jaka Wisena dari puncak Gunung Anjasmoro. Adanya hamba memberanikan hati menghadap tanpa dipanggil tak lain hamba jauh-jauh datang sengaja hendak mengabdi kepada gusti sinuhun yang mulia dari bijaksana. Hamba memang telah berdosa dan lancang berani menghadap tanpa paduka kehendaki dan hamba menyerahkan jiwa raga di tangan paduka, segala hukuman akan hamba terima dengan rela dan senang, tak lain hamba mengharapkan mohon pengampunan!"
"Hem, pandai kau bicara! Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau hendak menghamba di sini?"
"Hamba seorang gunung yang bodoh, gusti, namun ham ba telah bertekad untuk mengorbankan jiwa raga demi mem bela paduka dan Kerajaan Singosari."
"Ah, jadi kau agaknya ingin pula menjadi pengawal? Beranikah kau menghadapi Lembuseta dan Lembusena?"
"Apa bila gusti sinuhun yang menghendaki, tentu saja hamba berani menghadapi mereka berdua,"
Jawab Wisena sederhana. Mendengar ucapan ini, Jaka Lumping menengok kepada Wisena dengan senyum sindir. Pemuda kurus kering dan pucat ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu? Hah, mencari mampus dia, pikirnya.
"Kau betul-betul berani melawan mereka berdua?"
"Hamba sanggup dan berani, gusti."
Gembiralah sang prabu mendengar ini. Ia memberi tanda kepada Jaka Lumping untuk mengundurkan diri, lalu memberi perintah kepada petugas untuk mencoba dan menguji kedigdayaan pemuda yang baru datang ini dengan Lembuseta dan Lembusena. Kedua raksasa itu harus maju berbareng mengeroyok pemuda itu selama gamelan dimainkan!
"Ramanda prabu...,"
Terdengar Dewi Murtiningsih berkata perlahan.
"Mengapa keduanya? Bukankah syaratnya maju seorang demi seorang...?"
Mendengar suara puteri ini, Wisena menundukkan kepalanya dengan wajah merah tanpa berani memandang, dan ia berterima kasih kepada puteri yang baik hati itu. Sang prabu tidak menjawab hanya menyuruh Wisena segera memasuki gelanggang, kemudian baru ia berkata kepada puteri-nya,
"Mengapa, Dewi? Apakah kau merasa kasihan kepada pemuda itu?"
Merahlah wajah Dewi Murtiningsih mendengar ini.
"Tidak demikian, ramanda prabu, hanya saja hamba melihat wajahnya pucat dan tubuhnya kurus, seakan-akan baru habis sakit keras. Bagaimana mungkin ia kuat menghadapi keroyokan Lembuseta dan Lembusena?"
Sang Prabu Anusapati tersenyum simpul.
"Dewi, tak kaulihat mata pemuda itu? Orang yang memiliki mata setajam itu kurasa takkan mudah dikalahkan, biar oleh Lembuseta dan Lembusena sekalipun!"
Tentu saja Dewi Murtiningsih sudah mengetahui akan si pemuda itu, bahkan ia pernah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja hatinya berdebar penuh kekhawatiran.
Juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti yang duduk di belakang Sang Prabu Anusapati memandang dengan penuh perhatian dan khawatir. Sementara itu, ketika Wisena masuk ke dalam gelang-gang hanya sedikit saja orang bertepuk menyambutnya. Sebagian besar orang-orang yang menonton menjadi ragu-ragu ketika melihat seorang pemuda kurus kering dan pucat masuk ke gelanggang pertandingan. Bagaimanakah, seorang muda berpenyakitan ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu? Empat orang yang gagah dan tinggi besar dengan mudah dirobohkan oleh Lembuseta atau Lembusena, bahkan orang ke lima yang amat gagah tadipun akhirnya kalah oleh Lembusena, bagaimanakah sekarang pemuda ini berani mengajukan diri?
Agaknya ia gila, demikian banyak orang berpikir. Lembuseta dan Lembusena ketika mendapat perintah untuk maju berbareng mengeroyok.pemuda itu, saling pandang dengan heran dan mengangkat pundak. Sekali tampar saja agaknya tulang-tulang pemuda itu akan remuk, bagaimana mereka berdua harus maju berbareng? Terutama sekali para penonton ketika melihat kedua orang raksasa itu maju berbareng, memandang dengan mata terbelalak ke atas panggung. Benar-benarkah kedua orang raksasa itu hendak menghadapi pemuda kurus kering itu bersama? Mereka tak dapat percaya dan memandang dengan melongo, sehingga keadaan menjadi sunyi. Ketika gamelan mulai ditabuh, barulah mereka ribut dan suasana menjadi berisik sekali.
"Tidak adil ah..."
Terdengar orang berseru.
"Ini pembunuhan namanya! Penyembelihan!"
"Tentu ia akan mati di tangan kedua orang raksasa itu!"
Bermacam-macamlah orang bicara, dan kesemuanya merasa kasihan kepada Wisena yang berdiri dengan tenang dan waspada itu. Sesungguhnya tubuhnya masih lemah dan kedua kakinya masih terasa ringan sekali, akan tetapi menghadapi dua orang lawan yang mengerikan ini mendatangkan semangat perjuangannya. Dadanya mulai terasa panas, mulurnya tersenyum, kegembiraannya timbul kembali dan ia se-akan-akan merasa sedang menghadapi dua ekor harimau seperti yang sering kali ia alami ketika ia masih berada di puncak Gunung Anjasmoro. Di gunung itu memang terdapat banyak sekali harimau dan sering kali untuk mencoba kepandaiannya, Wisena sengaja mencari binatang binatang itu untuk menggodanya. Setelah berhadapan dengan pemuda itu dan gamelan mulai dipukul, Lembuseta lalu mengayun tangannya menampar kepala Wisena.
Ia ingin merobohkan pemuda ini dengan sekali pukul saja, karena betapapun juga perintah dari sang prabu ini membuat ia dan saudaranya merasa terhina dan malu sekali. Bagaimana mereka harus mengeroyok seorang anak-anak kurus kering macam ini? Agaknya tamparannya itu akan mengenai sasaran, karena Wisena tidak mengelak, akan tetapi setelah telapak tangannya yang selebar kipas itu telah mendekati pipi pemuda itu, tiba-tiba kepala Wisena menunduk dan tamparan itu mengenai angin! Melihat cara mengelak ini, diam-diam Sang Prabu Anusapati menjadi kagum dan ia lalu menonton dengan penuh kegembiraan. Itulah cara mengelak seorang pendekar yang ahli, pikirnya. Memang, bagi orang yang kurang tinggi kepandaiannya, baru melihat berkelebatnya pukulan saja, sudah buru-buru mengelak atau menangkis!
Tidak demikian dengan seorang ahli silat yang telah pandai. Ia amat tenang dan waspada, dan selalu mengelak atau menangkis apa bila perlu saja dan apa bila pukulan telah mendekati tubuhnya dengan cara mengelak yang cepat, akan tetapi sederhana. Miringkan atau menundukkan kepala saja sudah merupakan cara mengelak yang tepat dan baik, sedangkan tubuh yang diserang, dapat dielakkan dengan hanya melangkah maju atau mundur setindak saja, atau bahkan hanya dengan miringkan tubuh. Serangan balasannya juga menunjukkan cara seorang ahli. Begitu tangan yang menampar itu lewat di atas kepalanya, tanpa merobah kedudukan kakinya, Wisena mengulur tangan kanan dengan jari terbuka.
"Memasukkan"
Tangan itu di bawah lengan lawan dan jari-jari tangannya yang dapat diperkeras bagaikan baja itu menusuk lambung lawannya.
"Ngek!!"
Dan terjadilah pemandangan yang amat lucu Lembuseta menekan lambung, berdongak ke atas, lalu tubuhnya berputar-putar dan terdengarlah suara ketawanya meledak terbahak-bahak. Akan tetapi... benarkah ia tertawa? Bukan, bukan suara tertawa karena diseling dengan keluhan.
"Aduh... ha-ha-ha-hah... aduh..."
Ternyata ia bergelak bukan tertawa, akan tetapi terengah-engah setengah menangis. Rasa nyeri yang luar biasa sekali membuat ia sesak bernafas dan mengaduh-aduh. Saking heran dan terkejutnya, para penonton duduk melenggong, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Ada pula yang menggigit-gigit jari tangannya dengan penuh takjub. Apakah sesungguhnya yang terjadi? Apakah tiba-tiba Lembuseta terserang sakit perut? Demikianlah mereka menduga-duga. Akan tetapi sesungguhnya bukan demikian. Kalau ada orang yang pernah merasakan betapa sakitnya lambung ditusuk gagang linggis yang tumpul, tentu akan merasai pula penderitaan yang kini dirasakan oleh Lembuseta.
Lembusena agaknya maklum bahwa lawannya ini amat sakti dan tangannya ampuh sekali, maka ia cepat menghampiri saudaranya dan telapak tangannya yang lebar itu lalu diurut-urutkan dan digosok-gosokkan pada lambung Lembuseta. Berkuranglah rasa sakit itu dan Lembuseta kini memandang ke arah Wisena dengan kagum dan marah. Akan tetapi Lembusena yang sudah maklum akan ketangguhan lawan, mendahuluinya dan menyerang dengan kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa- Caranya menyerang bertubi-tubi dan bersungguh-sungguh, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu tak mudah dirobohkan. Pantas saja sang prabu menyuruh mereka berdua mengeroyoknya! Kegembiraan Wisena timbul dan ia lalu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menangkis pukulan lawannya itu.
Sebelum ia dapat membalas, Lembuseta telah menyerbu dengan marah karena ia ingin membalas "Hadiah"
Yang diterimanya tadi. Ia maju mencengkeram, ketika dapat dielakkan lawan, ia lalu merangsek maju dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman yang hebat dan berbahaya! Kini baru terbukalah mata semua penonton dan sorak-sorai gemuruh menyambut pertandingan yang luar biasa ramainya itu. Benar-benar bagaikan dua ekor singa menyerang seekor burung yang amat gesitnya, yang berkelebatan di antara hujan pukulan. Wisena yang baru sembuh dari sakitnya, menjadi pening juga ketika bergerak-gerak sedemikian cepatnya, maka ia lalu memperlambat gerakannya, mengerahkan aji kekebalannya lalu melompat cepat sehingga tiba-tiba lenyap dari depan kedua lawannya. Lembuseta dan Lembusena yang tiba-tiba kehilangan lawan, saling pandang dengan mata terbelalak.
"Ha, ha, kawan, aku di sini!"
Tiba-tiba mereka mendengar suara mengejek dan ketika mereka memutar tubun, ternyata pemuda kurus kering itu telah berdiri di belakang mereka!
"Kurang ajar, akan kubeset kulitmu!"
Seru Lembuseta.
"Kuhancurkan kepalamu!"
Bentak Lembusena. Wisena tersenyum, kini kedua pipinya telah merah, lenyaplah kepucatan mukanya. Pertandingan mi benar benar menggembirakan hatinya. Ketika kedua lawannya menyerbu lagi, ia tidak mengelak dan sengaja hendak mencoba samp-u di mana kehebatan pukulan mereka! Lembuseta mengayun kepalan tangannya dan menonjok ke arah dada Wisena. Pemuda itu bertolak pinggang dan menerima pukulan itu dengan dada telanjang. Penonton memeramkan mata karena ngeri.
"Duk!!"
Bagaikan seekor gajah menyeruduk dengan gadingnya, pukulan itu mengenai dada Wisena dan mencelatlah tubuh pemuda itu sampai tiga tombak lebih ke belakang! Akan tetapi, ia tidak roboh, dan jatuhnyapun di atas kedua kakinya dalam keadaan berdiri dan masih tersenyum. la menghampiri kedua lawannya yang berdiri terpaku di lengah gelanggang dan sambil tersenyum ia berkata,
"Aduh, kau kuat sekali. Terima kasih atas jotosanmu tadi, lenyaplah rasa pegal-pegal di dadaku!"
Kata Wisena. Sementara itu, gegap-gempitalah sorak-sorai penonton yang menyaksikan kehebatan ini. Siapakah yang akan mengiira bahwa pemuda kurus kering itu memiliki kesaktian sedemikian rupa? Akan tetapi, memang ada yang sudah dapat mengira sebelumnya, yakni Sang Prabu Anusapati sendiri. Sri Baginda hanya mengangguk-angguk senang dan ia merasa kagum sekali terhadap pemuda dari Gunung Anjasmoro itu.
"Kau sombong, anak muda!"
Lembusena membentak dan secepat kilat tancannya diulur menangkap pinggang pemuda itu. Kembali Wisena tidak mengelak dan membiarkan dirinya dipegang, diangkat ke atas kepala raksasa itu., diayun dan diputar-putar sehingga kembali para penonton menjadi gelisah dan merasa ngeri.
Keris Maut Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mampuslah kau!"
Bentak Lembusena sambil membanting tubuh pemuda itu ke atas lantai. Akan tetapi, yang di banting jatuh berdiri tanpa mengeluarkan suara sebatu Jan meledaklah pula tampik sorak para penonton.
"Hebat sekali!"
Seru seorang
"Ia gagah perkasa seperti dewa, pantas menjadi pahlawan kerajaan!"
Seru yang lain. Sementara itu, Lembuseta telah menubruk lagi dan meringkus pemuda itu, dipitingnya, kemudian Lembusena membantu dan mencekik leher Wisena. Tangan dan kaki Wisena telah dipegang dan ditekuk bagaikan sayap dan kaki ayam, lehernya dipiting dan dicekik oleh Lembusena.
Agaknya akan tewaslah kali ini pemuda itu. Akan tetapi selagi semua penonton memandang penuh kengerian, bahkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih juga memandang dengan hati dak-dik-duk penuh kegelisahan, tiba-tiba tubuh Wisena yang agaknya sudah tak berdaya itu bergerak, terdengar seruannya nyaring dan tahu-tahu ia telah terlepas dari ringkusan, berdiri di belakang kedua orang raksasa sambil mentertawakan lawan yang kini saling ringkus itu! Para penonton bergelak tertawa, sungguhpun mereka tidak mengerti bagaimana pemuda itu dapat melepaskan diri. Sesungguhnya, Wisena telah mengerahkan aji kesaktian Belut Putih sehingga tubuhnya menjadi licin bagai belut dan mudah saja ia meloloskan diri dari ringkusan kedua lawannya Ketika memutar tubuh dan melihat betapa pemuda itu mentertawakan mereka, Lembuseta dan Lembusena menjadi marah sekali.
Mereka berbareng menubruk maju dan menangkap kedua lengan Wisena, seorang menarik ke kanan, seorang ke kiri. Mereka hendak menyempal bahu pemuda itu, hendak merobek tubuhnya menjadi dua potong. Akan tetapi usaha mereka ini seakan-akan merupakan dua ekor kera hendak mematahkan sepotong besi, karena tubuh Wisena sedikitpun tidak bergeming. Saking marah dan penasaran, kedua orang raksasa itu lalu mengayun tubuh Wisena beberapa kali, lalu dilontarkannya tubuh itu ke luar panggung! Mereka hendak mengambil kemenangan dengan jalan curang, karena kalau pemuda itu sampai jatuh ke luar panggung, berarti ia telah kalah! Tubuh Wisena yang dilontarkan sekuat tenaga oleh dua orang raksasa itu, melayang bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.
Pemuda itu maklum bahwa kalau ia sampai terjatuh di luar panggung, akan sia-sia sajalah usahanya tadi, maka ia lalu berjungkir balik beberapa kali, memutar-mutar tubuhnya dan dapat melayang turun ke atas panggung kembali! Memang hebat sekali kepandaian ini dan semua orang memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Wisena merasa bahwa sudah cukup kiranya ia memperlihatkan kepandaiannya. Kini tubuhnya terasa segar, kalau tadinya bekas penyakit masih membuat ia merasa pening dan lemah, kini seakan-akan tanaman yang sudah lama tidak tersiram air lalu turun hujan, ia merasa tubuhnya sehat dan segar. Pukulan-pukulan dan serangan-serangan Lembuseta dan Lembusena tadi merupakan obat penawar yang manjur, merupakan air dingin yang menyegarkan seluruh tulang dan urat di dalam tubuhnya.
"Lembuseta dan Lembusena, sekarang kalian rasakanlah pukulan Jaka Wisena!"
Serunya keras sambil menerjang kedua orang lawannya itu. Lembuseta dan Lembusena menangkis pukulan pemuda itu, akan tetapi saking hebatnya tenaga pukulan Wisena, keduanya sampai terhuyung-huyung ke belakang. Wisena cepat melangkah maju menangkap rambut kepala kedua lawannya itu, mengangkat tubuh mereka dan sekali ia menggerakkan kedua tangannya,
"Dak!"
Ia telah membenturkan kedua kepala raksasa itu dengan keras. Untungnya Lembuseta dan Lembusena memiliki kekebalan dan kekuatan luar biasa, kalau orang lain yang diadukan kepalanya seperti itu, mungkin akan muncrat keluarlah benaknya! Melihat betapa kedua orang raksasa itu tidak roboh karena kepala mereka saling dibenturkan, Wisena kembali mengayun kepalan kedua tangannya sambil mengerahkan aji kesaktiannya.
"Plak! Plak!!"
Bagaikan disambar petir rasanya bagi kedua orang raksasa itu ketika tamparan Wisena mengenai pilingan kepala mereka. Pandangan mata menjadi berkunang. kunang dan tubuh terasa lemas dan lumpuh. Wisena lalu menyambar tubuh mereka dengan kedua tandan, berseru nyaring dan membanting tubuh mereka ke atas papan panggung.
"Braak!!"
Keras sekali suara ini karena papan itu telah jebol dan tubuh kedua orang raksasa itu lenyap dari atas panggung! Ternyata bahwa tubuh kedua orang itu telah membobolkan papan dan menerobos ke bawah, jatuh di atas tanah yang berada di bawah panggung itu Tepat sekali pada saat itu, gamelan berhenti berbunyi dan sebagai gantinya, sorak-sorai para penonton dapat terdengar dari tempat berpal-pal jauhnya di sekeliling kerajaan, sehingga orang-orang yang tadinya tidak menonton pertempuran di gelanggang ujian itu, berbondong-bondong datang ke alun-alun karena tertarik. Dengan girang sekali Sang Prabu Anusapati lalu menerima Wisena yang menghadap dan bersembah sujud dengan hormatnya.
"Bagus, Jaka Wisena! Kau patut menjadi pengawal pribadiku! Mulai sekarang, kau ku tambah nama Raden Mas, Jaka, jadi Raden Mas Jaka Wisena dan tinggallah di dalam keraton mengepalai semua pengawal keraton!"
Wisena menyembah menghaturkan terima kasih dan mulai saat itu, tanpa disadarinya, ia telah menanam bibit kebencian di dalam hari tiga orang, yakni Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping yang hanya diterima menjadi seorang perwira biasa saja! Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti dengan gembira lalu menghampiri Wisena yang kembali menghaturkan terima kasih kepada mereka. Sang prabu merasa heran ketika melihat betapa kedua orang puteranya telah mengenal Jaka Wisena, dan setelah mendengar keterangan kedua orang pu teranya, ia menarik nafas panjang dan makin merasa suka kepada Jaka Wisena yang gagah itu. Ketika Pangeran Tohjaya kembali ke kota raja dari perjalanannya mencari nama, ia melihat betapa pemuda yang dulu dijadikan tukang kuda di dusun Karangluwih itu telah menjadi pengawal pribadi sang prabu. Ia menjadi marah sekali dan segera pergi menghadap kakandanya.
"Rakanda sinuhun,"
Katanya dengan muka manis.
"Tanpa rakanda sadari, rakanda telah memasukkan seorang penjahat ke dalam rumah! Sungguh saya merasa prihatin dan khawatir sekali."
Sri Baginda memandang kepada Pangeran Tohjaya dengan heran sekali.
"Adinda pangeran, apakah sesungguhnya yang adinda maksudkan?"
"Maksud saya bukan lain adalah si Jaka Wisena itu! Dia telah bertemu dengan saya di dusun Karangluwih dan saya beri pekerjaan sebagai tukang merawat kuda."
"Itu hanya menunjukkan bahwa adinda kurang teliti dan awas melihat kecakapan seseorang,"
Sri Baginda memotong sambil tersenyum. Merahlah wajah Pangeran Tohjaya, akan tetapi ia masih jaja memperlihatkan muka manis.
"Rakanda sinuhun yang mulia, bukan itulah yang saya persoalkan. Ada yang lebih penting lagi. Ketahuilah, rakanda, bahwa di dusun Karangluwih saya mendapat seorang selir baru, puteri ki lurah yang mengepalai dusun itu. Akan tetapi, dengan amat kurang ajar sekali, Jaka Wisena itu telah berani datang pada malam hari dan hendak mengganggu calon selir hamba itu! Seorang abdi, tukang mengurus kuda, sampai berani berbuat demikian kurang ajar, bukankah ini mencerminkan watak seorang rJenjahat? Apakah tidak berbahaya kalau -sekarang rakanda mengangkatnya sebagai pengawal pribadi?"
Di dalam hatinya, Sang Prabu Anusapati tidak senang dan tidak puas mendengar kelakuan Jaka Wisena ini, akan tetapi di luarnya ia tidak memperlihatkan ketidaksenangannya, bahkan tertawa dan menggoda Pangeran Tohjaya,
"Adinda, sesungguhnya kau sendirilah yang mencari penyakit. Mengapa kau memilih seorang gadis dusun sebagai selir? Itulah kalau orang muda terlalu menurutkan nafsu hati. Gadis dusun jodohnya tentu pemuda gunung, mengapa kau mencari selir di tempat yang begitu jauh? Sudahlah, Jaka Wisena sudah diangkat menjadi pengawal, kita sama-sama lihat saja, kalau memang tidak benar kelakuannya, masih banyak waktu untuk menghukum atau mengusirnya."
Pangeran Tohjaya tersenyum dan merendahkan diri berkata,"Rakanda sinuhun tentu lebih waspada akan hal ini. Saya hanya mengharapkan keselamatan rakanda dan kerajaan. Kewajiban sayalah untuk memberitahukan segala apa yang terjadi, dan selebihnya terserah kepada kebijaksanaan rakanda. Karena bujukannya untuk menjatuhkan Jaka Wisena pada Sri Baginda tak berhasil, Pangeran Tohjaya lalu mencari jalan lain untuk mencelakakan Jaka Wisena, atau setidaknya untuk merenggangkan Sang Prabu Anusapati dari pengawal itu. Hal ini amat perlu bagi rencana Pangeran Tohjaya, karena selama Sri Baginda terjaga atau dikawal oleh pemuda yang didengarnya amat tangguh dan sakti itu, akan makin sukarlah usaha dan rencananya.
Akan tetapi sikap Wisena amat halus, sopan-santun, dan memenuhi segala syarat sehingga tak mudah bagi Pangeran Tohjaya untuk memfitnahnya. Kemudian, pangeran yang cerdik ini dapat mengetahui bahwa Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping dari Belambangan itu menaruh hati dendam kepada Wisena, maka ia lalu mendekati ketiga orang gagah ini dan berhasil membujuk mereka untuk menjadi pengikutnya dengan jalan memberi hadiah-hadiah dan harta benda kepada mereka. Dengan jalan ini, maka ia mempunyai tiga orang pembantu yang kuat di sebelah dalam keraton. Sementara itu, setelah beberapa pekan tinggal di kota raja menjadi pengawal, mendapat tempat tinggal yang indah dan pakaian-pakaian yang mewah, Wisena merasa amat berbahagia.
Kesehatannya telah pulih kembali, bahkan kini ia nampak lebih sehat dan lebih tampan. Betapapun juga, pemuda yang semenjak kecil tinggal di gunung dan telah mendapat didikan batin yang amat kuat ini, selalu bersikap sederhana dan tidak menjadi sombong karena kedudukannya yang tinggi. Ia telah menyuruh seorang prajurit memanggil pak Bejo. Ternyata bahwa pak Bejo dari dusun Karangluwih ini telah menjadi duda, karena isterinya telah meninggal dunia"
Karena penyakit panas- Mendengar penuturan pak Bejo tentang isterinya, yang dilakukan sambil menangis, Wisena merasa terharu sekali. Jarang ia melihat cinta kasih yang demikian besar antara suami isteri, apa lagi yang setua pak Bejo. Diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri untuk mencontoh kebaikan ini dari pak Bejo, hidup rukun dan damai bersama seorang isteri yang setia dan mencinta.
"Pak Bejo, karena kau telah hidup sebatangkara dan akupun demikian, maka kuharap kau suka tinggal di sini bersamaku, menjadi pembantu, penasihat, dan penghiburku."
Pak Bejo merasa girang sekali dan semenjak hari itu ia tinggal di dalam rumah Wisena yang berada di dalam lingkungan tembok pagar yang mengelilingi keraton Sri Baginda. Karena kakek ini memang lucu, periang, dan pandai membawa diri, maka sebentar saja ia telah dikenal oleh semua orang, bahkan disukai oleh semua bayangkari. Sang Prabu Anusapati sendiri sering kali dibuatnya tertawa oleh kelucuan
pak Bejo.
Hubungan Jaka Wisena dengan Pangeran Pati Ranggawuni beserta Pangeran Narasingamurti makin erat saja, demikianpun pada Sang Puteri Dewi Murtiningsih, Jaka Wisena sering kali bertemu muka. Hampir tiap kali ketiga anak muda bangsawan itu pergi berburu, Jaka Wisena tentu mereka ajak bersama. Bahkan ada kalanya, kalau kedua orang pangeran itu telah merasa lelah dan merasa malas untuk mengantarkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih mencari kembang, mengejar kupu-kupu indah, atau memburu rusa, Wi-senalah yang disuruh mengawalnya! Pada suatu hari, di dalam sebuah hutan yang terletak di sebelah barat kota raja, pada suatu dataran terbuka, Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti sedang bermain pedang, melatih pelajaran ilmu pedang yang mereka pelajari dari Jaka Wisena. Pemuda ini berdiri tak jauh dari situ sambil memberi petunjuk-petunjuk. Karena latihan itu diulang-ulang lagi, Puteri Murtiningsih yang juga berdiri di bawah pohon menjadi bosan.
"Kakang Mas Ranggawuni, aku hendak mencari bunga melur di hutan sebelah utara itu, kata orang di sana kembang-kembang melur telah mekar."
Pangeran Ranggawuni menunda gerakan pedangnya dan memandang kepada adiknya.
"Ah, Dewi, bukankah di taman belakang keraton banyak tumbuh bunga melur? Mengapa harus mencari jauh-jauh ke hutan yang angker itu?"
"Melur di tamansari tidak seindah melur di hutan itu,"
Jawab sang puteri.
"Tidak begitu banyak susunnya dan juga tidak seharum di hutan itu!"
"Kami masih sedang berlatih pedang!"
Kata Narasingamurti yang masih belum puas berlatih pedang bersama Ranggawuni.
"Tidak apa, kalian berdua berlatihlah, aku tidak minta diantar!!"
Jawab Murtiningsih sambil cemberut kepada adiknya. Pangeran Ranggawuni tersenyum melihat adiknya mulai marah dan cemberut.
"Sudahlah, Dewi, jangan kau marah. Kalau kau ingin sekali mencari kembang itu, biarlah Wisena mengawal dan mengantarmu, aku dan dimas Narasingamurti masih ingin berlatih pedang di bagian-bagian yang tersulit."
Dewi Murtiningsih berpaling kepada Jaka Wisena dan berkata,
"Marilah, Jaka Wisena, kita pergi tak lama, mencari kembang melur di hutan itu!"
Ia menunjuk ke utara, lalu menunggang kudanya yang berbulu putih.
"Baik, gusti. Mari hamba iringkan!"
Jawab Wisena dengan sopan sambil menaiki kudanya pula. Ia tidak merasa laalu-malu atau ragu-ragu lagi untuk pergi berdua dengan
Dewi Murtiningsih dan juga gadis itu tidak merasa sungkan, karena pemuda ini selalu memperlihatkan sikap amat sopan dan menghormat, sungguhpun Kesopanan dan penghormatan itu ia anggap keterlaluan dan berlebihan serangga mem-bosankannya! Ketika untuk pertama kalinya Dewi Murtiningsih melihat Jaka Wisena menggeletak sakit dan kelaparan di bawah pohon waringin dalam hutan itu, timbul perasaan iba di aalam hatinya. Kemudian, ketika pada pertemuan kedua kalinya ia menyaksikan kegagahan Wisena yang hebat itu di atas gelanggang panggung pertandingan menghadapi Lembuseta dan Lembusena, timbul perasaan kagum yang besar. Kalau orang-orang cerdik pandai dan bijaksana pernah menyatakan bahwa perasaan iba dan kagum adalah jalan langsung menuju kepada perasaan cinta kasih maka herankah kita kalau sekarang Dewi Asmara mulai mengutik-utik hati gadis remaja ini?
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo