Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Nagapasung 7


Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Namun Ki Danyang Bagaskoro yang sombong dan memandang rendah lawan itu, tidak menjadi gentar,bahkan dia memkik lagi dan tubuhnya juga mencelat ke atas menyambut serangan lawan di udara, tongkat hitamnya diputar dan diobat-abitkan sehingga mengeluarkan suara bercuitan dan angina yang menyambar-nyambar ganas.

   

   "Plak! Plak! Desss.... bretttttt....!"

   Keduanya berjungkir balik mambuat salto beberapa kali baru turun ke atas tanah dan Joko Handoko memandang dan meraba bajunya yang robek di bagian dada dengan muka berubah. Sungguh hebat gerakan kakek itu sehingga walaupun dia mampu menghindarkan diri dari akibat yang parah dan benturan di udara tadi, namun tetap saja tubuhnya tergoncang dan bajunya robek.

   

   "Heh-heh-heh, bocah ingusan. Sekarang bajumu yang robek, nanti dadamu yang akan kurobek menjadi empat potong, heh-heh!"

   Ki Danyang Bagaskoro membual sambil terkekeh untuk menyembunyikan rasa kagetnya. Tadi dia sudah mengerahkan kepandaian dan tenaganya namun dia hanya mampu merobek baju lawan, sedangkan benturan tenaga itu membuat dadanya sendiri terguncang hebat.

   

   Sementara itu, Wulandari yang melihat betapa ayahnya dan para murid Sabuk Tembogo sudah mengeroyok dua orang lawan, cepat turun ke dalam kancah pertempuran dan ikut mengeroyok. Dua orang murid Ki Danyang Bagaskoro itu m,asih lelah, bahkan sudah menderita luka ketika mereka berkelahi melawan Joko Handoko sore tadi, terutama sekali Gajah Putih sudah kehilangan banyak darah dan tenaga. Maka, kini dikeroyok oleh Ki Bragolo, Wulandari, dan murid-murid Sabuk Tembogo yang sudah berkumpul semua dan jumlahnya empat puluh orang itu, tentu saja mereka terdesak hebat. Mereka tadi mengandalkan guru mereka untuk turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kini pemuda itu pula yang sanggup menahan amukan Ki Danyang. Karena mereka berdua terancam maut di antara sabuk-sabuk tembaga yang berterbangan itu akhirnya mereka tidak kuat menahan lagi dan keduanya lalu meloncat ke dalam kegelapan malam dan melarikan diri.

   

   Kini Ki Bragolo, Wulandari dan para murid Sabuk Tembogo mengurung tempat itu dan mereka melihat betapa Joko Handoko terobek bajunya dan kakek itu terkekeh mengejek.

   

   Ki Bragolo dan puterinya sudah mengayun sabuk tembaga mereka untuk maju membantu Joko Handoko, akan tetapi pemuda itu cepat mencegah mereka.

   "Paman dan diajeng, harap jangan ikut-ikut. Dia adalah lawanku, dan aku belum kalah!"

   Pemuda itu mencegah karena dia tahu betapa hebatnya kakek itu dan kalau Ki Bragolo dan Wulandari maju, sangat boleh jadi ayah dan anak itu akan tewas menjadi korban.

   Dicegah oleh Joko Handoko, ayah dan anak itu mundur kembali dan hanya menonton dengan hati gelisah. Mereka dapat menduga akan kesaktian kakek bungkuk itu, akan tetapi karena Joko Handoko melarang, mereka tidak berani maju. Memaksakan pengeroyokan berarti akan merendahkan derajat Joko Handoko dan seorang yang gagah perkasa seperti Joko Handoko tentu lebih mempertahankan kehormatan daripada nyawa.

   

   Ki Danyang Bagaskoro sudah melangkah maju lagi. Langkahnya pendek-pendek dan kakinya sebetulnya tidak terangkat, bukan melangkah melainkan menggeser ke depan, tongkat hitamnya yang ampuh itu diputar-putar di depan tubuhnya, siap untuk melakukan serangan dahsyat lagi.

   

   Joko Handoko maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan Ilmu Silat Nogokredo saja, agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Maka, perlahan-lahan dia lalu menggerakkan tubuhnya, kaki kiri ke depan dengan lutut ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kaki kanan di belakang, terjulur lurus dengan ujung ibu jari kaki kanan saja yang menyentuh tanah, tangan kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang menempel pinggang dengan membentuk cakar naga pula. Muka menghadap lurus ke depan, mata mencorong dan mulut agak terbuka. Tiga kali dia menghirup hawa dari lubang hidung dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit melalui mulutnya.

   Dadanya terasa mengembung dan penuh dengan hawa sakti, tanda bahwa kuda-kuda jurus Nogopasung yang dilakukannya itu sudah sempurna dan dia sudah siap memainkan jurus Nogopasung itu. Ki Danyang Bagaskoro sudah tahu bahwa pemuda itu adalah murid perguruan. Hati Putih dan menguasai Ilmu Silat Nogokredo. Akan tetapi dia tidak mengenal jurus Nogopasung, yang diciptakan baru saja oleh Panembahan Pronosidhi. Khusus untuk Joko Handoko. Maka dia pun memandang rendah dan tidak tahu bahwa tubuh yang agak merendah dari pemuda itu mulai menghimpun tenaga sakti yang amat dahsyat.

   

   "Heiiiiiiiittttt......."

   Kakek itu sudah meloncat lagi ke depan dan memutar tongkatnya untuk menyerang.

   

   "Aaaaaarrrghh.....!"

   Joko Handoko juga menerjang ke depan, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat menyambut terjangan lawan.

   

   "Deessss........!!"

   Hebat bukan main tumbukan yang terjadi antara dua orang itu, terasa oleh semua orang yang nonton seolah-olah kilat menyambar dan guntur menggelegar dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan melayang seperti sehelai daun kering terhempas angin lalu jatuh terbanting dengan keras.

   

   Semua orang memandang dengan hati tegang. Ternyata kakek itu benar-benar sakti atau memiliki tubuh yang amat kebal. Biarpun dia terlempar dan terbanting sedemikian kerasnya, dia masih mampu bangkit kembali. Matanya mencorong, tangannya mengusap bibir yang berdarah dan dia mendengus penuh kemarahan. Mulutnya mengeluarkan desis seperti ular marah.

   

   "Keparat......! Kalau aku tidak mampu membunuhmu jangan sebut aku Ki Danyang Bagaskoro......!"

   Kemarahannya memuncak dan tiba-tiba dia memindahkan tongkat hitam ke tangan kirinya, sedangkan tangan kanan mencabut keluar sebatang keris yang mengeluarkan sinar hitam menyilaukan mata. Keris itu tidak panjang, hanya dua jengkal saja, berlekuk tiga. Itulah Keris Ki Bango Dolog yang ampuh karena selain di "isi"

   Dengan kekuatan ilmu hitam, juga mengandung racun yang sangat ampuh. Tergores sedikit saja, kulit akan melepuh dan nyawanya sukar diselamatkan lagi.

   

   Kini dengan keris pusaka di tangan kanan dan tongkat hitam di tangan kiri, Ki Danyang Bagaskoro berlari dan menerjang kea rah Joko Handoko. Pemuda ini mengelak, akan tetapi hawa dan pengaruh keris pusaka yang mengandung hawa ilmu hitam itu membuat dia terkejut dan bulu tengkuknya meremang. Rasa takut menyelinap di dalam hatinya dan hal ini membuat gerakannya kurang cepat.

   

   "Tukkk.....!"

   Tongkat hitamnya itu berhasil mengenai pundak kirinya dan Joko Handoko cepat melempar tubuh ke belakang dan berguling. Dia meloncat bangun, meraba pundaknya yang terasa nyeri bukan main. Nyaris tulang pundaknya pecah oleh pukulan tongkat hitam yang ampuh itu.

   

   Kakek itu kini terkekeh lagi, merasa mendapat kemenangan atau setidaknya menebus kekalahannya yang tadi. Dia memastikan bahwa dengan keris Ki Bango Dolog dia tentu akan berhasil membunuh Joko Handoko.

   

   Akan tetapi, Joko Handoko yang maklum akan keampuhan keris itu, terpaksa mencabut keluar keris pusaka Nogopasung dari balik bajunya. Pada saat itu, lawannya sudah menerjang lagi dengan keris dan tongkatnya. Dia pun menggerakkan keris Nogopasung dan segera terdengar suara berdencing dan bendentang nyaring, nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua orang itu sudah berkelahi dengan keris dan tongkat. Belum sampai sepuluh jurus, tiba-tiba tubuh kakek itu terpental oleh tendangan Joko Handoko sedangkan keris pusaka Ki Bango Dolog patah menjadi dua potong.

   Hal ini mengejutkan Ki Danyang Bagaskoro. Keris pusakanya patah! Dia mengeluarkan suara mirip tangisan dan tiba-tiba saja, dengan tongkat hitamnya, dia menubruk ke arah tubuh Dewi Pusporini yang baru saja siuman dan masih duduk di bawah pohon nonton perkelahian dengan mata terbelalak. Ternyata dalam keadaan kalah dan putus asa, tiba-tiba kakek itu seperti gila, hendak membunuh sang puteri dengan tongkat hitamnya.

   

   Pada saat itu, Joko Handoko juga masih tergetar dan terguncang hebat karena pertemuan tenaga tadi. Akan tetapi, melihat betapa kakek itu bergerak hendak membunuh Dewi Pusporini, dia terkejut dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat ke arah kakek itu, dengan keris pusaka Nogopasung di tangan.

   

   Pada saat itu Ki Danyang Bagaskoro sudah menggerakkan tongkatnya ke atas ketika dia melihat meluncurnya tubuh Joko Handoko menyerangnya, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan tongkatnya menyambut ke arah dada pemuda itu yang juga menujukan kerisnya kepadanya.

   

   "Dukkk......! Cressss.......!"

   

   Tubuh kakek itu terjengkang dan darah membasahi baju di lambungnya. Akan tetapi, Joko Handoko juga terhuyung ke belakang, tangan kanan memegang keris Nogopasung yang dipandangnya dengan mata terbelalak karena ujung keris itu belepotan darah, sedangkan tangan kirinya menekan dada yang tadi terpukul tongkat hitam.

   

   "Ampunkan saya......., eyang......"

   Bisiknya dan diapun tiba-tiba menjatuhkan diri, duduk bersila sambil memejamkan kedua mata, mengumpulkan hawa murni untuk mengobati luka di sebelah dalan tubuhnya akibat pukulan tongkat hitam. Keris pusaka Nogopasung menggeletak di atas pangkuannya, masih belepotan darah. Sementara itu, setelah berkelejotan sebentar, tubuh Ki Danyang Bagaskoro tidak bergerak lagi, matanya melotot mulutnya terbuka dan tubuhnya tak bernyawa lagi. Lambungnya telah tertusuk keris pusaka Nogopasung yang amat ampuh itu. Joko Handoko prihatin sekali, bukan karena lukanya, melainkan karena terpaksa dia tadi menggunakan keris pusaka itu untuk membunuh orang, terpaksa karena kalau tidak cepat-cepat dia turun tangan, tentu Dewi Pusporini telah tewas di tangan kakek itu. Dia merasa menyesal harus melanggar janjinya kepada mendiang eyangnya, Panembahan Pronosidhi.

   

   Ki Bragolo yang tadi menahan napas dan merasa tegang sekali menyaksikan perkelahian mati-matian yang amat dahsyat itu, merasa kagum dan lega melihat bepata pemuda itu berhasil pula merobohkan musuh yang demikian saktinya. Kalau sampai sang puteri tewas, tentu akan terjadi geger karena Senopati Pamungkas tentu akan menyalahkan padanya. Bukankah sang puteri itu berada di bawah perlindungannya? Kini dia cepat menghampiri Joko Handoko untuk melihat apakah pemuda yang terkena pukulan tongkat itu tidak apa-apa. Juga Wulandari berlari menghampiri pemuda yang dikaguminya dan dicinta itu.

   

   Ketika Ki Bragolo melihat keris pusaka di atas pangkuan pemuda itu, seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak dan kedua kakinya gemetar.

   "Keris pusaka Nogopasung........!"

   Teriaknya seperti melihat ular berbisa hendak menggigit kakinya.

   "Jagat Dewa Bathoro......!"

   Dari mana andika memperoleh keris ini, anakmas?"

   

   Joko Handoko hanya membuka sebentar kedua matanya. Seperti mimpi dia mendengar pertanyaan itu dan dijawabnya dengan sejujurnya.

   "Saya menerimanya dari ibu saya paman,"

   Dan dia pun memejamkan kembali kedua matanya.

   

   Ki Bragolo memandang wajah pemuda itu dengan muka sebentar pucat sebentar merah. Ibunya! Dan gurunya adalah panembahan Pronosidhi yang disebut eyang! Dan wajah pemuda ini! Kini teringatlah dia mengapa dia mempunyai perasaan seolah-olah pernah mengenal pemuda ini, pernah bertemu dengannya. Ah, betapa bodohnya!

   

   "Anakmas Joko Handoko, engkau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raden Ginantoko?"

   Tanyanya dan suaranya terdengar membentak, mengejutkan Wulandari yang berada di sampingnya. Ki Bragolo memang belum pernah bercerita kepada puterinya tentang Ginantoko dan peristiwa yang terjadi sebelum gadis ini terlahir. Joko Handoko yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya, masih seperti dalam mimpi, tanpa membuka kedua mata yang terpejam, menjawab,

   "Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku."

   

   "Keparat"..!"

   Dan tiba-tiba Ki Bragolo mengangkat sabuk tembaga di tangannya, mengayunnya dan menghantamkan sabuk itu ke arah kepala Joko Handoko.

   

   "Tranggg"..!"

   Sabuk tembaga itu bertemu dengan sabuk tembaga di tangan Wulandari yang telah menangkisnya.

   

   "Ayah, apakah engkau telah menjadi gila??"

   Gadis itu berteriak dan melangkah, melindungi pemuda itu dan menghadapi ayahnya dengan mata mengandung api kemarahan siap untuk membela Joko Handoko.

   

   "Memang aku telah gila!"

   Ayahnya membentak, juga marah sekali.

   "Minggirlah aku akan membunuh anak setan ini! Aku telah gila membiarka engkau bergaul dengan dia dan menerimanya sebagai tamu dan sahabat. Dia adalah musuh besar yang harus kita bunuh, atau dia akan mencelakakan kita semua!"

   

   Kembali orang tua itu mengangkat sabuk tembaganya di atas kepala, siap untuk menyerang pemuda yang masih duduk bersila itu. Joko Handoko mendengar semua itu akan tetapi dia dalam keadaan terluka parah. Bergerak sedikit saja akan membahayakan keselamatannya, maka diapun menyerakan diri kepada nasib.

   

   "Tidak ayah. Kau tidak boleh membunuhnya!"

   Wulandari berkeras, dengan sabuk tembaga di tangan, siap melawan ayahnya.

   

   "Bocah tolol, minggir kau!"

   Si ayah membentak marah.

   

   "Tidak, sebelum ayah membunuhnya, ayah bunuhlah dulu aku!"

   Bentak Wulandari. Sejenak ayah dan anak itu saling pandang dengan mata melotot. Akhirnya Ki Bragolo yang mengenal watak anaknya dan tahu bahwa anaknya akan membela mati-matian dan dia baru akan dapat menyerang Joko Handoko setelah membunuh anaknya, menurunkan sabuk tembaganya dan menarik napas panjang.

   

   "Anak bodoh, sialan, anak tolol!"

   Gerutunya.

   

   Tiba-tiba Dewi Pusporini yang juga dating mendekat, berkata halus.

   "Paman Bragolo, sungguh aku merasa heran sekali dan tidak mengerti akan sikap paman ini. Joko Handoko telah membelamu menghadapi musuh-musuh yang tangguh, bahkan telah menyelamatkan nyawaku dari tangan kakek iblis itu. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih kepadanya, bahkan hendak membunuhnya! Sikap macam apakah yang saya lihat ini?"

   

   Ki Bragolo menundukkan mukanya dan berkali-kali dia menrik napas panjang. Tentu saja dia amat berterima kasih kepada Joko Handoko, akan tetapi kenyataan bahwa pemuda ini putera kandung Ginantoko,seorang yang telah berbuat mesum terhadap Galuhsari, isteri yang amat disayangnya, hal itu sampai sekarang masih membuat darahnya mendidih penuh kemarahan dendam.

   "Ayah, kakang Handoko telah berkali-kali menolong kita dan bahkan telah membersihkan nama dan kehormatan Sabuk Tembogo, bahkan malam ini, demi untuk menolong kita dan menyelamatkan mbakayu Dewi, dia telah menderita luka parah dan hampir saja mengorbankan nyawanya. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersyukur dengan kehadirannya. Bagaimana kini ayah begitu membencinya dan hendak membunuhnya? Andaikata ada urusan antara ayah dengan ayah kandung kakang Handoko, kiranya hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kakang Handoko."

   "Wulandari, engkau tahu apa? Ayahnya seorang jahanam keparat yang busuk, mana mungkin anaknya baik? Kacang tidak meninggalkan lanjaran,anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Anak-anak, tangkap dia,belenggu dan masukkan kamar tahanan!"

   

   Biarpun meragukan perintah itu,namun para murid Sabuk Tembogo tidak berani membantah dan mereka lalu dengan sikap halus menarik Joko Handoko bangkit, dan mengajaknya masuk ke bagian belakang di mana terdapat pondok-pondok yang biasa dipergunakan untuk menghukum murid yang bersalah atau dipakai untuk bertapa para murid yang ingin memperdalam ilmu kedigdayaannya.

   

   "Belenggu kaki tangannya dan jaga jangan sampai dia terlepas!"

   Ki Bragolo mereriakkan perintahnya.

   

   "Ayah! Kau sungguh keterlaluan!"

   Teriak Wulandari sambil menangis.

   "Kakang Handoko, jangan khawatir, aku akan membelamu!"

   Ia pun berteriak kepada Joko Handoko yang melangkah dengan tubuh masih lemas, diiringkan beberapa orang murid Sabuk Tembogo.

   Joko Handoko yang maklum bahwa dia menderita luka parah, menurut saja ketika digiring ke dalam, dia pun duduk bersila dan mengatur pernapasan, sama sekali tidak peduli ketika kaki tangannya diikat dengan rantai besi yang kuat. Biarpun dengan hati berat, para murid Sabuk Tembogo melaksanakan perintah guru dan ketua mereka itu, diam-diam mereka masih penasaran. Akan tetapi beberapa orang murid yang lebih tua seperti Sentono dan Sentanu, tidak merasa heran. Mereka berdua ikut pula mengeroyok ketika Ki Bragolo menyerang Ginantoko karena menangkap basah petualang asmara itu memadu asmara dengan mendiang Galuhsari, isteri tercinta Ki Bragolo. Maka, dua orang murid kepala ini maklum bahwa guru mereka masih menaruh dendam kepada Ginantoko walaupun sudah berhasil membunuhnya, sehingga kini mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera musuh besar itu, dia menjadi marah sekali dan menyuruh tangkap pemuda yang telah banyak menolongnya itu.

   

   Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam batin kita bukan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam antara bangsa sehingga dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api dendam.

   

   Dari manakah datangnya dendam? Bagaimana terjadinya? Seseorang melempar sesuatu yang mengenai tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau seseorang melempar kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga kitapun marah dan dendam, ingin membalas. Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti, dirugikan, baik lahir maupun batin. Kita sejak kecil membangun sebuah "aku"

   Dari diri kita, yang kita agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh kuat dan merasa selalu benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya.

   Kalau si-aku ini sampai tersinggung, dibahayakan keagungannya, maka marahlah kita. Kita bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa gambaran si-aku, kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau tidak, si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, tidak diagungkan lagi. Pangagungan si-aku inilah yang menjadi sumber terjadinya dendam. Milik kita diambil orang, kita merasa dirugikan. Iba hati tergadap si-aku membuat kita ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman. Orang yang biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah dibakar api dendam aka tega menyiksa musuhnya dengan sadis sekali.

   
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur? Menerima segala sesuatu sebagai suatu kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita mendengarkan dia sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung? Mungkin saja kita memang patut dicela karena suatu kesalahan. Kalau ada orang menginjak kaki kita, dapatkah kita menghadapi peristiwa ini dengan dengan mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri sehingga kita akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya? Akan nampak oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar sekali kemungkinan salah injak.

   Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan si-aku si bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang sehat. Bukan tindakan terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung keagungannya. Kalau ada orang yang mengambil milik kita. Kembali si-aku yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku, kekayaan,kedudukan,nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang, keluarga,dan sebagainya, merasa kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan menimbukan dendam kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.

   

   Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari dengan seksama, dengan cara mengamati diri setiap detik? Karena, permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati masing-masing. Perang di dunia hanyalah pengluasan parang dalam batin kita sendiri.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Ki Bragolo demikian erat terikat dengan Galuhsari,isterinya yang menurut pendapatnya amat mencintanya. Isterinya itu dianggap tergoda oleh Ginantoko sehingga malakukan perbuatan jina dengan petualang asmara itu sampai kedua orang itu dibunuhnya. Dan kehilangan Galuhsari ini terus menghantuinya, sampai belasan tahun masih saja teringat dan selalu mendatangkan duka, kecewa, dan melahirkan dendam yang tidak ada habisnya. Walaupun dia telah membunuh Ginantoko dalam hal ini. Memang, setelah musuhnya itu tidak ada lagi, nampaknya dia tidak lagi menaruh dendam. Namun api dendam itu tak pernah padam sama sekali dari lubuk hatinya. Bagaikan api yang membara, setiap waktu dapat berkobar lagi. Maka, begitu mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera Ginantoko, api yang membara itu kini berkobar.

   

   "Ayah, aku sungguh tidak setuju dengan tindakan ayah!"

   Tiba-tiba Wulandari mengguncang Ki Bragolo dari lamunan.

   "Sungguh tidak adil perbuatan ayah terhadap kakang Handoko! Aku tidak setuju dan memprotes! Kakang Handoko harus dibebaskan!"

   

   "Paman Bragolo, harap paman ingatlah. Kalau paman tidak membebaskan Joko Handoko, apakah paman ingin dinamakan orang yang tidak mengenal budi?Patutkah air susu dibalas air tuba, pertolongan dan jasa Joko Handoko dibalas dengan kekejaman? Aku menjadi saksi, paman bahwa Joko Handoko tidak bersalah apa-apa terhadap paman, bahkan telah membuat jasa besar."

   

   Makin pening rasa kepala Ki Bragolo mendengar protes yang dilakukan Wulandari dan Dewi Pusporini itu. Dia segera memasuki pendopo rumahnya dan menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Akan tetapi dua orang gadis itu tetap mengikutinya. Ki Bragolo menutup muka dengan kedua tangannya yang besar.

   

   "Kalian tidak tahu......ah, kalian tidak tahu apa yang diperbuat ayahnya kepadaku....."

   Keluhnya sebagai pembelaan diri karena serangan-serangan dua orang gadis itu."Apa yang telah diperbuatnya? Ceritakanlah ayah, agar hatiku tidak menjadi penasaran dan aku tahu mengapa ayah melakukan kekejian ini terhadap kakang Joko Handoko yang tidak berdosa."

   

   "Benar, ceritakan paman, karena hatiku pun merasa penasaran sekali."

   Dewi Pusporini juga mendesak. Bagaimanapun juga, sang puteri ini merasa berhutang budi dan nyawa kepada Joko Handoko, maka melihat pemuda itu ditawan dan mengalami hal yang tidak adil, ingin ia membelanya.

   

   Tanpa membuka kedua tangan dari depan mukanya, Ki Bragolo menarik napas panjang. Dia sendiri juga menjadi bimbang, hatinya terobek antara dendam, kebencian dan hutang budi. Kemudian dia berkata, suaranya lirih penuh penyesalan.

   "Sudah terjadi lama sekali sebelum engkau lahir, Wulan. Ketika itu aku mempunyai seorang isteri, bernama Galuhsari....... dan aku..... aku amat sayang kepadanya."

   Dia berhenti karena hatinya terharu ketika bayangan wajah isterinya yang cantik itu memenuhi ingatannya.

   

   "Kemudian datanglah dia....... si keparat Ginantoko. Dengan ketampanannya, dia merayu Galuhsari........ dan Galuhsari jatuh...... si keparat itu mengauli isteriku, di depan mataku. Lalu..... kubunuh dia, juga..... juga Galuhsari. Mereka tewas di ujung keris pusaka Nogopasung yang kepinjam dari Empu Gandring guru Ginantoko. Noda darah mereka tak dapat hilang dari ujung keris, yaitu Nogopasung yang kini dibawa oleh Joko Handoko."

   Kakek itu berhenti bercerita, lalu menurunkan kedua tangannya. Matanya merah dan wajahnya menjadi keruh sehingga dia nampak semakin tua.

   

   "Akan tetapi ayah, bukankah ayah telah membunuhnya? Kesalahannya itu telah mendapat hukuman dan dosanya terhadap ayah telah dibayar lunas, bukan?"

   

   "Biarpun begitu, dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Aku amat sayang kepada Galuhsari dan aku telah kehilangan kebahagiaanku........."

   

   Wulandari mengerutkan alisnya. Hatinya tersinggung karena ucapan ayahnya itu dapat berarti bahwa ayahnya tidak menemukan kebahagiaan di samping ibunya, atau setidaknya, ayahnya tidak mencinta ibunya, seperti dia mencintai Galuhsari.

   "Akan tetapi, ayah sendiri yang membunuh Galuhsari!"

   

   "Dan bagaimanapun juga, hal itu terjadi ketika Joko Handoko belum terlahir. Yang bersalah adalah ayahnya, kenapa dia diikut-ikutkan? Dia sama sekali tidak tahu menahu tentang perbuatan ayahnya itu, paman."

   

   "Sekarang aku tahu mengapa kakang Handoko menyembunyikan keadaannya. Tentu dia sudah tahu pula akan peristiwa antara ayahnya dan kau, ayah. Sungguh dia berwatak budiman. Dia tahu bahwa ayah telah membunuh ayah kandungnya, namun dia telah menyelamatkan kami, sama sekali dia tidak menaruh dendam atas kematian ayahnya!"

   Wulandari berkata penuh semangat.

   "Ayah harus membebaskannya sekarang juga!"

   

   "Sudahlah. Kau pergilah tidur Wulan. Dan andika juga, diajeng. Aku akan memikirkan urusan itu sampai besok. Besok aku akan mengambil keputusan......."

   

   "Tapi, ayah. Dia terluka dan......."

   

   "Cukup! Besok kita bicarakan lagi!"

   Bentak ayahnya yang kembali menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

   

   Wulandari dapat mengerti bahwa ayahnya juga dicekam kebimbangan dan kedukaan, maka ia, menggandeng tangan Dewi Pusporini, sambil menahan isaknya ia lalu pergi meninggalkan ayahnya, masuk ke dalam kamarnya bersama Dewi Pusporini yang mencoba untuk menghiburnya.

   

   "Tenanglah, diajeng Wulan. Besok kita dapat membujuk lagi ayahmu untuk membebaskan Joko Handoko."

   Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu.

   "Diajeng Wulandari, cinta benarkah engkau kepadanya?"

   

   Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula, yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri? Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia merangkul Wulandari.

   

   "Sabarlah, diajeng Wulan......."

   Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan

   menyuruh isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan mengecewakannya kalau menjadi mantunya.

   Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur. Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh. Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasa-jasa pemuda itu, dia ingin menariknya sebagai mantu.

   

   Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit, terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.

   

   "Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!"

   

   Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan.

   

   "Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!"

   Tedengar suara lantang tadi.

   "Suruh dia keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!"

   

   Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok, terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang, menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi tegap kembali berkata kepada para muridnya. Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu.

   "Diajeng Wulandari, cinta benarkah engkau kepadanya?"

   

   Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Keris Pusaka Nogopasung Handoko. Akan tetapi yang membuat ia kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula, yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri? Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia merangkul Wulandari.

   

   "Sabarlah, diajeng Wulan......."

   Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan menyuruh isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya. Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan mengecewakannya kalau menjadi mantunya.

   Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur. Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh. Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasa-jasa pemuda itu, dia ingin menariknya sebagai mantu.

   

   Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit, terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.

   

   "Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!"

   

   Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan.

   

   "Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!"

   Tedengar suara lantang tadi.

   "Suruh dia keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!"

   

   Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok, terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang, menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi tegap kembali berkata kepada para muridnya.

   "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Cepat panggil Ki Bragolo keluar atau aku akan kehabisan kesabaran dan terpaksa menyerbu ke dalam!"

   

   Sebelum Ki Bragolo menghampiri tempat itu, tiba-tiba dia melihat puterinya berlari keluar dan membentak.

   "Siapakah orang kurang ajar yang datang mengacau?"

   

   Dua orang pemuda itu memandang dan mereka kelihatan terkejut melihat munculnya seorang gadis yang manis dan gagah itu. Pemuda tinggi tegap itu lalu bertanya.

   "Heii, bocah perempuan, aku memanggil Ki Bragolo keluar menemui aku, kenapa engkau yang muncul? Siapakah engkau? Aku tidak berurusan dengan murid-murid Sabuk Tembogo!"

   

   "Aku adalah puteri Ki Bragolo! Ayah sedang istirahat dan kalau engkau ada keperluan, cukup dengan aku. Hayo cepat katakana apa keperluanmu datang mengacau seperti ini, dan siapa engkau?"

   Wulandari berseru dengan marah karena ia tadi mendengar teriakan pemuda itu yang menantang ayahnya.

   

   "Huh, kau anak kecil tahu apa!"

   Pemuda itu membentak.

   "Katakan kepada ayahmu bahwa aku datang menagih hutang nyawa. Katakan saja bahwa aku diutus oleh mendiang ayahku, Raden Ginantoko, untuk mencabut nyawa Ki Bragolo!"

   

   Bukan main kagetnya hati Wulandari mendengar itu. Baru saja terjadi keributan karena ayahnya mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera kandung Ginantoko dan kini muncul seorang pemuda yang ingin membunuh ayahnya dan mengaku sebagai putera Raden Ginantoko. Akan tetapi mendengar ancaman pemuda itu terhadap ayahnya, dan sikap pemuda itu yang memandang rebdah kepadanya, padahal usia pemuda itu tidak akan berselisih banyak dengan usianya sendiri, Wulandari sudah menjadi marah sekali dan mukanya berubah merah, matanya berapi.

   

   Laki-laki tinggi tegap itu bukan lain adalah Ken Arok. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ken Arok telah menemui ibu kandungnya, Ken Endok dan dari ibunya dia mendengar tentang ayahnya, Raden Ginantoko yang tewas di tangan Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo di lereng Gunung Kawi. Mendengar itu, Ken Arok menjadi marah dan memperdalam ilmunya dengan belajar lebih tekun di bawah pimpinan Begawan Jumantoko. Setelah tamat belajar, dia lalu berhasil mengajak Panji Tito untuk mencari Ki Bragolo dan membalas dendam kematian ayahnya.

   

   Demikianlah, kini Ken Arok berhadapan dengan Wulandari, sedangkan Panji Tito hanya nonton karena dia berjanji, akan membantu kalau temannya itu kewalahan menghadapi lawan.

   

   "Bocah sombong! Orang macam engkau ini tidak ada harganya untuk menemui ayahku! Kau hendak mencabut nyawa ayahku? Sombong amat, sebelum itu, lebih dulu akulah yang akan mencabut nyawa tikusmu!"

   Sambil berkata demikian, Wulandari sudah mencabut sabut tembaganya dan memutar senjata itu dengan sikap mengancam.

   

   "Babo-babo, keparat!"

   Ken Arok berseru marah dan matanya melotot memandang gadis yang menantangnya itu. Belum pernah selama hidupnya dia ditantang gadis remaja seperti ini.

   "Engkau ini anak Ki Bragolo agaknya sudah bosan hidup. Kalau engkau ingin mati, biarlah kubunuh engkau lebih dulu, baru akan kucari dan kucabut nyawa Ki Bwagolo!"

   

   Wulandari menjadi semakin marah.

   "Majulah!"

   Tantangnya dan ia pun sudah memutar sabuk tembaganya. Ketika beberapa orang murid Sabuk Tembogo hendak maju pula mengeroyok, Wulandari membentaknya.

   "Jangan ada yang maju mengeroyok! Ini adalah urusan keluargaku sendiri."

   Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dan dengan gagah gadis ini menghadapi Ken Arok yang melangkah maju dengan tangan kosong dan senyum mengejek, mata memandang rendah.

   

   "Tahan dulu!Mundurlah, Wulan, dan biarlah aku sendiri menghadapinya!"

   Tiba-tiba terdengar suara parau dan Ki Bragolo sudah melangkah maju. Mukanya agak pucat dan masih merasa nyeri di dalam dadanya, akan tetapi perasaan itu ditahannya dan langkahnya dibikin tegap walaupun kepalanya terasa agak pening.

   

   Ken Arok memandang kepadanya.

   "Apakah engkau yang bernama Ki Bragolo?"

   Tanyanya memandang tajam.

   

   Ki Bragolo mengangguk.

   "Benar, orang muda. Akulah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo. Siapakah engkau dan apa artinya engkau tadi menyebut nama Raden Ginantoko sebagai ayah?"

   Pandang mata Ken Arok ditujukan kepada kakek itu dengan penuh kebencian. Inilah orang yang dulu membunuh ayah kandungnya.

   "Bagus, engkau kah orangnya yang telah membunuh ayah kandungku belsan tahun yang lalu?"

   Dia melangkah maju mendekati kakek itu, dan pandang matanya menjelajahi dari kepala sampai ke kaki, seperti orang yang menaksir-naksir.

   "Raden Ginantoko adalah ayah kandungnya, namaku Ken Arok dan aku datang untuk menagih hutang. Engkau telah membunuh ayah kandungku, dan sekarang aku yang akan membalaskan kematian ayah dan akan membunuhmu.

   Keluarkan senjatamu Ki Bragolo dan mari kita tentukan, siapa yang akan menggeletak di sini dengan tubuh tak bernyawa!"

   Ken Arok menantang dan dia pun sudah mencabut kerisnya. Tadi ketika menghadapi Wulandari, dia merasa malu kalau harus memegang senjata, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan kakek yang pernah membunuh ayah kandungnya, tentu saja dia tidak berani memandang rendah dan dia sudah mencabut kerisnya.

   

   Ki Bragolo menarik napas panjang. Diam-diam membandingkan antara Ken Arok ini dan Joko Handoko. Keduanya mengaku putera kandung Ginantoko, tetapi alangkah jauh bedanya antara mereka berdua. Joko Handoko yang sudah pasti tahu akan keadaan dirinya, sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, melainkan justru malah menyembunyaikan diri dan tidak memperkenalkan ayahnya, selain itu juga malah melakukan pembelaan dan menyelamatkan nama dan kehormatan Sabuk Tembogo! Sedangkan orang muda ini datang-datang menantangnya dan terus terang mengatakan hendak membalas dendam atas kematian Ginantoko.

   

   Kini terbukalah mata Ki Bragolo. Dia dan pemuda ini sama, keduanya menjadi hamba nafsu dendam. Dan betapa jauh bedanya dengan Joko Handoko. Dia baru melihat sekarang betapa sikapnya kepada Joko Handoko memang keterlaluan. Dia malah menyuruh anak buahnya menawan Joko Handoko yang terluka dalam usahanya menolong sang putri dan menyelamatkan pula Sabuk Tembogo.

   

   "Baik orang muda. Aku membunuh ayahmu Ginantoko karena merusak pagar ayu, kini engkau hendak membunuhku untuk membalas dendam. Dendam mendendam, tidak akan ada habisnya di antara orang-orang yang bermusuhan. Yang kalah akan selalu menyimpan dendam, yang menang akan selalu mempertahankan kemenangannya. Silakan!"

   Dia pun terpaksa mencabut sabuk tembaganya dan terasa olehnya betapa berat sabuk yang beratnya hanya belasan kati itu. Jelaslah bahwa kesehatannya terganggu dan dadanya semakin nyeri saja.

   

   "Ki Bragolo, bersiaplah engkau untuk menebus kematian Raden Ginantoko!"

   Ken Arok berseru dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan, sedangkan tangan kirinya siap untuk menampar kalau kerisnya ditangkis atau dilelakkan. Menghadapi lawan yang dia tahu tentu memiliki kepandaian tinggi, Ken Arok segera memainkan ilmunya Warak Sakti.

   "Hemm.......!"

   Ki Bragolo menggereng dan sabuk tembaganya menyambar ke depan, untuk menangkis keris.

   

   "Tranggg.....!!"

   Keris itu bertemu dengan ujung sabuk tembaga, akan tetapi sabuk itu sudah mencelat ke samping dan terus menyambar ke arah pundak Ken Arok. Demikian hebatnya kakek ini, walaupun kesehatannya terganggu, namun gerakan sabuknya memang amat kuat dan aneh.

   

   "Ehhhhh.....!"

   Ken Arok tidak sempat menggunakan tangan kirinya untuk melanjutkan serangan, bahkan tidak sempat pula menangkis. Kalau dia mau, dengan melempar tubuh ke belakang, tentu dia dapat mengelak dari sambaran sabuk tembaga. Akan tetapi orang muda itu tidak mengelak, bahkan menerima hantaman sabuk tembaga itu dengan pangkal lengannya menggantikan pundaknya.

   

   "Bukkk.....!"

   Sabuk tembaga itu terpental dan kakek itupun terhuyung.

   Wulandari terkejut melihat ayahnya terhuyung. Tahulah bahwa tubuh pemuda itu memiliki kekebalan yang amat kuat. Ia mengkhawatirkan ayahnya maka ia pun melompat ke tengah gelanggang perkelahian.

   

   Wulandari tidak berani membantah karena ia melihat betapa ayahnya marah sekali. Dan ayahnya kini sudah saling terjang lagi dengan orang muda putera Raden Ginantoko itu. Ia melihat betapa pemuda itu, seperti Joko Handoko, memiliki gerakan yang amat gesit dan kuat dan walaupun bertangan kosong, pemuda itu mampu menandingi Ki Bragolo, bahkan berani menangkis sabuk tembaga di tangan kakek itu dengan lengannya yang mengandung aji kekebalan. Memang satu di antara ilmu yang dikuasai Ken Arok dari Begawan Jumantoko adalah Aji Jojokawoco. Sebetulnya ilmu itu hanya merupakan kekebalan bagian dada, akan tetapi Ken Arok telah melatihnya sedemikian rupa sehingga dia sangup membuat kedua lengannya juga kebal.

   

   Hati Wulandari merasa khawatir sekali. Apalagi melihat betapa wajah ayahnya amat pucat, gerakannya juga tidak sesigap biasanya, bahkan kedua kakinya agak terhuyung. Ingin membantu, ayahnya tentu menolaknya dan menjadi marah. Ia lalu teringat pada Joko Handoko dan cepat ia berlari menuju ke pondok di mana Joko Handoko ditawan.

   

   Beberapa orang murid Sabuk Tembogo yang berjaga di situ, cepat menyambutnya.

   "Ada terjadi apakah?"

   Tanta mereka melihat Wulandari tergesa-gesa berlari masuk.

   

   "Minggir......!"

   Wulandari menerobos di antara mereka dan memasuki pondok itu. Ketika ia tiba di ambang pintu yang terbuka, tiba-tiba ia terhenti dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak dan muka berubah menjadi merah. Kiranya di situ telah terjadi pertemuan antara Joko Handoko dan Dewi Pusporini! Pamuda itu masih duduk bersila dan menundukkan mukany, sedangkan Dewi Pusporini bersimpuh di depannya di atas lantai yang bertikar. Ia masih sempat mendengar kata-kata Dewi Pusporini yang terdengar halus.

   "........jangan khawatir, aku mempunyai cara untuk memaksa paman Bragolo untuk membebaskanmu......"

   

   Sampai di sini, sang puteri mendengar kedatangan Wulandari dan ia pun menengok dan mukanya berubah merah sekali ketika ia melihat Wulandari berdiri terbelalak memandang kepada mereka berdua.

   

   "Diajeng Wulan....!"

   Katanya lembut namun jelas puteri itu merasa canggung dan malu-malu.

   "Kau kelihatan tegang, ada terjadi apakah?"

   

   Akan tetapi Wulandari tidak memperdulikan Dewi Pusporini, melainkan cepat ia bersimpuh di dekat Joko Handoko dan berkata.

   "Kakang Handoko, cepat bangun dan tolonglah ayah. Dia sedang berkelahi melawan seorang pemuda yang mengaku putera Raden Ginantoko dan datang untuk membalas dendam atas kematian ayahnya."

   "Hemmm............?"

   Joko Handoko yang tadinya menundukkan mukanya seketika terbangun dan mengangkat muka. Sepasang matanya mencorong sehingga dua orang gadis itu terkejut dan takut. Memang pada saat itu, di tubuh Joko Handoko penuh hawa sakti yang dikumpulkan selama semalam itu untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kini kekuatannya puluh kembali, bahkan tubuhnya penuh dengan hawa murni sehingga kedua matanya nampak mencorong. Dia terkejut bukan main mendengar ucapan Wulandari, terkejut dan juga penasaran.

   

   "Criiiingggg......!"

   Belenggu kaki tangannya yang terbuat dari besi itu patah-patah ketika tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya dan sebelum dua orang gadis itu hilang kagetnya tubuh Joko Handoko sudah melesat keluar dari tempat itu bagaikan seekor burung yan baru saja terlepas dari kurungan.

   

   Ketika dia tiba di luar pintu gebang, perkelahian antara Ken Arok dan Ki Bragolo masih berlangsung dengan dengan serunya, akan tetapi Joko Handoko dapat melihat betapa kakek itu mulai terdesak hebat. Dia merasa heran melihat betapa gerakan kakek itu jauh lebih lemah daripada biasanya, bahkan kedua kakinya seperti selalu terhuyung. Ketika dia menatap ke arah wajah kakek itu, Joko Handoko terkejut sekali karena dari jauh saja dia dapat melihat bahwa wajah itu pucat seperti orang sakit, dan mulut itu menyeringai seperti menahan rasa nyeri yang sangat. Tidak pernah dikenalnya pemuda yang perkasa yang menyerang Ki Bragolo mati-matian itu, aka tetapi terdengar ucapan Wulandari bahwa pemuda itu mengaku sebagai putera Ginantoko yang datang membalas dendam, hal ini amat menarik hatinya.

   

   "Tahan...........!"

   Katanya dan tubuhnya sudah meloncat ke tengah lapangan perkelahian itu.

   

   "Hemm, jangan mengeroyok!"

   Tiba-tiba Panji Tito yang sejak tadi nonton perkelahian itu dan melihat betapa Ken Arok mulai mendapat kemenangan meloncat dan menyambut kemunculan Joko Handoko dengan serangan dahsyat. Dia tidak ingin Ken Arok dikeroyok, dan memang kehadirannya di situ untuk membantu sahabatnya itu. Melihat kesigapan orang yang baru datang, dia khawatir kalau-kalau sahabatnya dikeroyok maka dia mendahului dengan serangan kilatnya.

   

   "Dessss..............!"

   Joko Handoko menangkis dan akibatnya, Panji Tito terlempar dan terbanting keras. Terkejutlah Panji Tito karena tak tak disangkanya lawan memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Juga Ken Arok terkejut melihat betapa sahabatnya itu, sekali bentrok, telah terbanting roboh oleh pemuda yang baru muncul. Maka ketika Joko Handoko tanpa memperdulikan Panji Tito meloncat ke depannya, menghadang agar dia tidak dapat menyerang Ki Bragolo lagi, Ken Arok menjadi ragu-ragu untuk menyerang pemuda itu.

   

   "Siapakah engkau yang mencampuri urusan pribadi antara aku dan Ki Bragolo? Sungguh tidak tahu malu untuk melakukan pengeroyokan!"

   Bentak Ken Arok dengan keris masih di tangan.

   

   "Namaku Joko Handoko. Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku. Siapakah engkau yang mengaku sebagai putera Raden Ginantoko?"

   

   Ken Arok terkejut dan memandang tajam.

   "Raden Ginantoko memang ayah kandungku, dan ibuku adalah Ken Endok, sekarang masih hidup untuk menjadi saksinya! Engkau yang mengaku-ngaku ayah kandungku!"

   

   "Hemm, ibuku Dyah Kanti. Dahulu adalah isteri syah dari Raden Ginantoko. Aku adalah puteranya yang sah. Buktinya, kini keris pusaka Nogopasung yang dahulu membunuh ayahku kini diwariskan kepadaku."

   Joko Handoko menepuk ganggang keris yang terselip di pinggangnya.

   Ken Arok mengerutkan alisnya. Dari ibunya dia mendengar bahwa ibunya bukan isterinya Raden Ginantoko, melainkan isteri orang lain yang dipilih oleh Raden Ginantoko sebagai titisan sang Hyang Brahma untuk menjadi kekasihnya. Jadi dia bukan putera yang sah! Hal ini menjengkelkan hatinya dan dia menatap wajah pemuda di depannya dengan marah.

   

   "Joko Handoko! Kalau benar engkau ini putera Ramanda Ginantoko, putera macam apakah engkau ini? Apakah engkau tidak tahu begaimana matinya ayah kandung kita itu?"

   

   "Aku tahu. Yah kita tewas karena ulahnya sendiri."

   

   "Keparat!"

   Ken Arok membentak.

   "Ayah tewas di tangan Ki Bragolo......"

   "Benar akan tetapi karena dia merayu dan menggauli isteri Ki Bragolo."

   

   "Tidak peduli! Ayah mati karena Ki Bragolo dan aku Ken Arok sebagi anaknya harus membalas dengan atas kematian itu!"

   Dan dia menatap wajah Joko Handoko dengan tajam, mulutnya tersenyum dan dia menambahkan.

   "Apakah engkau yang mengaku anak Ginantoko malah terbalik hendak melindunginya? Tidak malukah engkau kepada Ramanda Ginantoko? Joko Handoko, apakah engkau akan menjadi seorang anak murtad, hanya karena..... mungkin sekali menaksir anak perempuan musuh besar kita?"

   

   "Ken Arok harap jangan menyangka yang bukan-bukan, ketahuilah, Eyang Penembahan Pronosidhi sendiri, ayah dari ibuku, melarangku untuk membalas dendam. Ayah kita tewas karena ulah sendiri, merupakan pelaksanaan hukum karma yang langsung diterimanya pada waktu itu juga. Kalau kita membalas, berarti kita memperpanjang rangkaian hukum karma itu, karena tentu kelak keturunan Ki Bragolo atu murid-muridnya akan mengusahakan balas dendam pula kepada kita, atau kepada keturunan kita. Apakah engkau menghendaki demikian? Kita bisa mematahkan hukum karma itu sekarang juga, dengan menghentikan permusuhan, menghentikan dendam mendendam ini.

   

   Ken Arok tetegun mendengar ucapan yang dikeluarkan penuh wibawa itu. Dia tidak pernah melihat ayahnya, juga tidak suka keda ibunya yang telah memberikan dia kepada orang lain sejak dia masih bayi. Kalau dia ingin membalas dendam, buka sekali-kali karena cintanya kepada ayahnya yang tak pernah dilihatnya, melainkan menurutkan dorongan nafsu dan darah muda. Merasa malu kalau tidak membalas kamatian ayah. Dia tidak pernah menyelidiki atau peduli mengapa ayahnya dibunuh orang kini, mendengar ucapan Joko Handoko yang begitu penuh wibawa dan juga lembut tanpa kemarahan, dia termenung. Akan tetapi dia masih penasaran.

   

   "Aku ingin melihat bukti bahwa engkau tidak membunuh Ki Bragolo karena kesadaran seperti yang kau katakan tadi, bukan karena takut. Nah sambutlah ini!"

   Ken Arok kini menerjang dengan keris di tangannya, memainkan silat Warak Sakti dengan hebatnya. Dia ingin menguji kepandaian orang yang menjadi saudara tirinya ini. Kalau memang benar Joko Handoko memiliki ilmu yang tinggi, berarti Joko Hamdoko akan mampu membunuh Ki Bragolo kalau dikehendakinya, jadi sama sekali tidak mungkin merasa takut kepada musuh. Aka tetapi kalau Joko Handoko tidak memiliki kepandaian tinggi, biarlah dia akan membunuhnya lebih dulu, baru membunuh Ki Bragolo.

   

   Joko Handoko maklum akan isi hati adik tirinya ini. Maka dia pun tidak membuang waktu lagi. Seketika dia menggerakkan tenaga dan membuka kuda-kuda Nogopasung, ketika tubuh Ken Arok menerjang dengan kerisnya, dia pun menyambut dengan gempuran jurus Nogopasung, dengan tangan kosong.

   "Desss.....! Keris itu terpental dari tangan Ken Arok dan tubuh Ken Arok terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh. Tentu saja Ken Arok terkejut bukan main. Tahulah dia bahwa Joko Handoko ini memang hebat bukan main. Kecerdikannya membuat dia tersenyum setelah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, memungut kerisnya dan menyimpan keris itu.

   

   "Joko Handoko, engkau pantas menjadi saudaraku dan memang alasanmu tadi berisi. Aku tidak begitu bodoh membiarkan dirimu terseret dalam lingkaran karma hanya untuk urusan kecil saja."

   

   Joko Handoko girang bukan main, kiranya adiknya inipun seorang pemuda yang gagah perkasa dan cerdik, tidak hanya menurutkan hawa amarah belaka. Dia menghampiri dan merangkulnya.

   "Adikku yang baik, terima kasih atas pengertianmu. Percayalah bahwa kelak dalam urusan lain, aku tidak akan menentangmu, bahkan akan membantumu."

   "Ayah.......!"

   Tiba-tiba terdengar jerit Wulandari dan semua orang menengok. Joko Handoko terkejut sekali ketika melihat Ki Bragolo rebah terguling ditubruk oleh Wulandari yang menangisi ayahnya. Juga Dewi Pusporini telah berada di situ, memandang bingung. Tadi, ketika bersama Wulandari ia keluar, ia melihat perdebatan antara Joko Handoko dan Ken Arok. Dengan kagum sekali terhadap Joko Handoko ia melihat betapa Ken Arok dapat ditundukan oleh pemuda itu. Dan selama itu, Ki Bragolo juga berdiri menjadi penonton, tidak jauh dari tempat ia dan Wulandari berdiri. Kakek itu terluka, hanya agak pucat dan napasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara keluhan panjang dan roboh terkulai.

   

   Joko Handoko cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh kakek itu. Dia memeriksa dan mendapat kenyataan yang mengejutkan sekali. Kakek itu sudah amat lemah, jantungnya berdetak lemah sekali dan napasnya terengah-engah. Tahulah ia bahwa kakek yang usianya sudah lanjut ini telah mendekati ajal. Mungkin karena ketegangan-ketegangan yang dihadapinya mengguncang jantungnya dan dia tidak kuat menahan lagi. Melihat Joko Handoko, kakek yang sudah terengah-engah itu mencoba untuk menoleh ke arahnya dan mengeluarkan kata-kata lirih terputus-putus.

   

   "Anakmas............ Joko............Handoko,......... maafkan aku............ dan.......... dan Wulandari......."

   Dia tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang. Agaknya dia ingin bicara tentang Wulandari yang ingin dia jodohkan dengan Joko Handoko akan tetapi merasa malu karena sikapnya terhadap pemuda itu, maka dia tidak melanjutkan dan keburu napasnya terhenti.

   

   Jerit tangis terdengar karena pada saat itu, ibu Wulandari yang diberitahu sudah berlari keluar. Kini ibu dan anak itu menjerit dan menangis, menimbulkan suasana menyedihkan yang membuat Dewi Pusporini terpaksa harus mengusap air mata yang membanjir keluar.

   
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   
Melihat ini, Ken Arok diam-diam merasa girang dan lega. Bagaimana pun juga, musuh besar itu telah tewas. Memang bukan tewas di tangannya, akan tetapi setidaknya tewas karena setelah berkelahi melawan dia. Biarpun tidak langsung, serangan-serangannya tadi telah membantu tewasnya orang tua itu. Mudah-mudahan arwah ayah kandungnya akan puas, pikirnya. Dia lalu berpamit pada Joko Handoko. Kedua saudara se-ayah kandung ini hanya saling pandang dan berpisah setelah sekali lagi Joko Handoko mengatakan bahwa dia girang akan kesadaran adik tirinya bahwa kelak, kalau dibutuhkan, dia tentu akan membantu adiknya itu, bukan menentang seperti ketika menghadapi Ki Bragolo.

   

   Maka pergilah Ken Arok dan Panji Tito meninggalkan lereng Gunung Kawi. Setelah membantu Wulandari dan ibunya mengurus jenazah Ki Bragolo, Joko Handoko bersama Wulandari lalu mengantar Dewi Pusporini pulang ke Tumapel. Mereka mempergunakan tiga ekor kuda dan kedatangan mereka di Tumapel disambut oleh Senopati Raden Pamungkas dengan ramah. Senopati ini sudah mendengar pelaporan perwira Ranunilo, apalagi di sudah mendengar akan kematian Ki Bragolo.

   

   "Kanjeng Romo, menurut pendapat saya, tidak mungkin kalau orang-orang Sabuk Tembogo yang melakukan penghadangan dan peramokan terhadap kita. Saya telah mengenal Ki Bragolo, diajeng Wulandari dan para anggota Sabuk Tembogo. Mereka adalah orang-orang yang gagah yang selalu setia terhadap Tumapel. Karena itu saya yakin bahwa dalam hal ini tentu saja ada rahasianya, dan bukan tidak boleh jadi kalau Sabuk Tembogo hanya terkena fitnah."

   Senopati itu mengangguk-angguk. Memang terjadi keanehan-keanehan. Para perajurit kita dibunuh oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Sabuk Tembogo, sehingga tentu saja aku suruh tangkap dan tahan tiga orang murid Sabuk Tembogo itu. Kemudian, terjadi pula pembunuhan terhadap perajurit-perajurit Tumapel oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Ilmu Pukulan Hastorudiro (Tangan Berdarah). Tentu saja aku pun mengirim pasukan untuk menghajar perkumpulan Hastorudiro. Akan tetapi, Ki Kebosoro, juga menyangkal walaupun tetap saja pasukanku menyerbu dan membuat mereka lari cerai berai. Sungguh aneh sekali semua peristiwa ini. Baik aliran Sabuk Tembogo maupun aliran Hastorudiro selamanya setia terhadap Tumapel, kenapa sekarang berbalik memusuhi kita?"

   

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini