Keris Pusaka Nagapasung 9
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Dalam keadaan yang amat genting itu, Joko Handoko memperlihatan kegesitannya. Tangan kirinya menyambar dan dia berhasil menangkap ujung cambuk, lalu dengan gerakan kuat sekali, dengan sentakan tiba-tiba, dia menarik dan dengan cambuk itu dia berhasil melibat ruyung yang menyambar! Dengan demikian, sekaligus dia membuat cambuk dan ruyung yang saling libat dan itu tidak dapat menyerangnya dirinya. Kakinya menendang dengan cepat sekali pada saat Ki Banyakluwo yang agak lambat gerakannya itu termangu melihat betapa senjata kedua orang temannya saling libat.
"Desss.......!"
Tubuh yang bundar gendut itu terguling-guling dan inilah kesempatan baik yang ditunggu-tunggu oleh Joko Handoko. Selagi Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo belum dapat menyerangnya karena ujung cambuk masih melibat ruyung, dan selagi Ki Banyakluwo terguling, dia lalu cepat mengerahkan aji Nogopasung dan sambil mengeluarkan pekik dahsyat diapun menggerakkan keris pusaka Nogopasung ke depan, menyerang Ki Banyakluwo dengan dahsyat. Kalau seorang di antara tiga pengeroyoknya roboh dan tewas lebih dulu, tentu akan mudah baginya mengatasi dua orang pengeroyok lainnya.
Hebat bukan main serangan Joko Handoko yang ditujukan kepada Ki Banyakluwo yang masih belum sempat bangun setelah tadi terguling itu. Sinar keris pusaka itu menyambar dengan ganasnya, dibarengi hawa pukulan sakti yang amat dahsyat, menyerbu ke arah tubuh Ki Banyakluwo yang karena gendutnya tiodak dapat cepat bangkit kembali itu.
Pada saat itu nampak sinar hitam menyambar dari samping, menangkis sinar keris pusaka Nogopasung.
"Tranggg......!!"
Terjadi pertemuan antara dua senjata dan dua tenaga yang amat kuat, yang membuat Joko Handoko terkejut sekali karena serangannya terhenti di tengah jalan, seolah-olah bertemu dengan benteng baja yang menghadang di depan. Akan tetapi, penangkisnya juga mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan antara dua senjata itu membuatnya tergetar hebat. Ketika Joko Handoko memandang, kiranya yang menangkis keris itu adalah sebatang tongkat hitam yang berbentuk ular, yang dipegang oleh Begawan Buyut Wewenang sendiri! Kakek kurus bongkok ini tadi melihat betapa seorang di antara para pembantunya terancam bahaya maut, maka dia turun tangan menangkis serangan maut yang dilakukan Joko Handoko. Dan dari pertemuan tongkat ular hitam dengan pusaka Nogopasung, pemuda perkasa itupun maklum bahwa kakek kurus bongkok itu ternyata memang sakti dan tangguh sekali, lebih tangguh dibandingkan tiga orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tangkisan itu pun membuat dia menjadi marah.
"Kakek licik, engkau boleh mengeroyokku! Jangankan hanya engkau, keluarkan seluruh pembantumu untuk mengeroyokku, aku tidak akan mundur selangkah!"
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara keras membentak.
"Joko Handoko, lihat siapa yang sudah kami tangkap ini! Hentikan perlawananmu atau ia akan kucekik mampus di depan matamu!"
Joko Handoko memutar tubuh di kanan dan wajahnya seketika berubah ketika dia melihat munculnya Gajah Putih yang mendorong tubuh Wulandari yang sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang pinggilnya. Gadis itu telah tertawan!
"Jangan pedulikan aku, kakang! Bunuh tikus-tikus ini!"
Wulandari berteriak dan beusaha
meronta.
Akan tetapi belenggu itu terlampau kuat dan Gajah Putih juga sudah memegang pergelangan tangannya dengan kuat. Ia tadi juga terperangkap ketika mengejar bayangan Gajah Ireng yang memancingnya memasuki sebuah ruangan di samping bangunan besar itu dan ketika ia tiba di dalam ruangan, Gajah Ireng muncul bersama belasan orang perajurit yang mengepungnya. Tentu saja ia melawan mati-matian. Akan tetapi sabuk tembogo di tangannya tidak dapat menandingi pengeroyokan mereka. Baru menghadapi Gajah Ireng saja ia pernah kalah, apa lagi kini Gajah Ireng dibantu oleh belasan orang perajurit. Setelah melawan mati-matian, akhirnya ia pun tertawan dan dibelenggu, lalu di bawa ke tempat di mana Joko Handoko masih mengamuk. Melihat kehebatan pemuda itu, Gajah Putih menggunakan akal, membawa Wulandari yang sudah terbelenggu ke dala m dan mengancam akan membunuh gadis itu kalau Joko Handoko tidak mau menyerah.
Tentu saja Joko Handoko menjadi bingung dan biar pun gadis itu minta agar dia tidak memperdulikannya dan terus mengamuk, dia tidak berani melakukan hal ini. Orang-orang macam Gajah Putih itu kejam sekali dan mungkin saja akan melaksanakan ancamannya lebih dahulu membunuh Wulandari, baru kemudian mengeroyoknya. Diapun maklum bahwa kalau pengeroyokan itu ditambah majunya Begawan Buyut Wewenang yang ternyata amat sakti itu, diapun akhirnya akan kalah juga.
Melihat keraguan pada wajah Joko Handoko, Begawan Buyut Wewenang terkekeh.
"Ha-ha-ha, bocah bagus, menyerahlah kalau ingin selamat bersama gadis itu."
Mengingat akan keselamatan Wulandari, Joko Handoko manarik napas panjang lalu menyarangkan keris pusaka Nogopasung.
"Baiklah, aku menyerah, akan tetapi bebaskan gadis itu, ia tidak bersalah."
"Tidak, kami maju berdua. Aku tidak mau dibebaskan kalau dia ditawan!"
Wulandari berseru.
"Heh-heh-heli!"
Begawan Buyut Wewenang terkekeh dan berkata kapada Gajah Putih dan Gajah Ireng.
"Belenggu juga pemuda itu!"
Dua orang bekas lawan Joko Handoko itu bergerak ke depan dan Joko Handoko tidak melawan ketika kedua lengannya ditelikung ke belakang seperti halnya Wulandari dan dibelenggu dengan kulit kerbau yang amat kuat. Akan tetapi ketika Begawan Buyut Wewenang merampas keris pusaka Nogopasung dia memandang dengan mata menyala.
"Kembalikan kerisku!"
Akan tetapi kakek itu hanya menyeringai dan mencabut keris pusaka Nogopasung, diamatinya dengan kagum lalu mengangguk-angguk.
"Orang-orang Tumapel memang pandai membuat keris yang baik. Keris ini baik sekali, heh-heh-heh!"
Dan kakek itupun menyelinapkan keris dengan sarungnya ke ikat penggang sendiri.
Joko Handoko tidak berdaya, terpaksa menahan kemarahannya.
"Siapakah kalian dan mengapa kalian menawan kami berdua?"
Tanyanya.
"Hemm, pemuda tinggi hati! Engkaulah yang menjadi tawanan dan engkaulah yang memperkenalkan diri dan maksudmu membayangi Gajah Putih dan Gajah Ireng,"
Kata Begawan Buyut Wewenang yang kini berdiri di dekat Wulandari, keduanya terbelenggu kedua tangan mereka.
"Tentu engkau sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng siapa kami,"
Jawab Joko Handoko.
"Gadis ini adalah Wulandari, puteri ketua Sabuk Tembogo mendiang Ki Bragolo dari lereng Kawi. Adapun aku, aku bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro."
"Ada hubungan apa antara engkau dan Sabuk Tembogo maka engkau membela, perkumpulan itu?"
Tanya, pula Begawan Buyut Wewenang yang tentu saja telah mendengar penuturan Gajah Putih dan Gajah Ireng tadi tentang pemuda perkasa ini, yang bahkan telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, seorang di antara para pembantunya yang boleh diandalkan.
"Aku hanya, sahabat dari Sabuk Tembogo, kebetulan aku berada di sana ketika Gajah utih dan Gajah Ireng datang mengacau, kemudian melihat Ki Danyang Bagaskoro, guru mereka, hendak membunuh puteri kanjeng Senopati Pamungkas, aku mencegahnya sehingga dia tewas. Karena itu, ketika kami melihat dua orang ini, kami menjadi curiga dan kami lalu membayangi mereka,"
Joko Handoko sengaja membuat pengakuan itu karena di dapat menduga bahwa tanpa dia menceritakan, tentu kakek ini sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng yang jelas merupakan anak buahnya.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menatap wajah Joko Handoko dan wajah Wulandari dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali kepada pemuda perkasa ini. Seorang pemuda yang benar-benar tangguh dan kalau saja dia dapat menarik pemuda itu menjadi pembantunya, tentu kedudukannya menjadi semakin kuat dan dia dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi. Bukankah dengan memiliki seorang pembantu orang Tumapel, berilmu tinggi lagi, maka akan lebih mudah baginya untuk mengadu domba dan melemahkan Tumapel?
"Joko Handoko, engkau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Apalagi engkau tidak ingin memperoleh kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan? Engkau bantulah kami, dan engkau bersama gadis ini akan diampuni, bahkan akan meperoleh kedudukan yang mulia."
Tentu saja Joko Handoko merasa terkejut dan heran mendengar ini, tetapi semua itu tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia seorang cerdik tidak mudah terbujuk kata-kata manis. Dia memandang tajam dan penuh selidik kepada kakek bongkok bermuka hitam buruk itu, lalu bertanya dengan suara tenang.
"Siapakah paman yang bepakaian seperti seorang pendeta ini, dan bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada paman sekalian?"
Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa itu adalah Ki Banyakluwo yang bertubuh gendut bundar.
"Ha-ha-ha, orang-orang Tumapel memang bodoh dan tidak tahu apa-apa sampai tidak mengenal orang! Joko Handoko, engkau berhadapan dengan seorang di antara mereka yang berkuasa, di Kerajaan Daha dan engkau masih belum mengenal beliau. Beliau ini adalah Sang Begawan Buyut Wewenang, penasihat Sang Prabu Dandang Gendis!"
Terkejut juga hati Joko Handoko mendengar ini. Memang dia belum pernah mengenal tokoh-tokoh Daha, bahkan pergi kemanapun belum, akan tetapi, dia pernah mendengar dari kakeknya bahwa di Daha terdapat banyak orang pandai dan seorang di antaranya adalah Begawan Buyut Wewenang dan menjadi pensihat raja di samping kakaknya yang paling berkuasa di bawah raja, yaitu Begawan Sarutomo, puruhito/pendeta istana, Daha. Joko Handoko kini menatap tajam wajah kakek yang buruk rupa itu, lalu menolah memandang ke kanan kiri, menatap wajah tiga orang kakek yang tadi mengeroyoknya, lalu berkata.
"Ah kiranya andika bertiga tentu bukan orang-orang sembarangan pula."
Pemuda ini memang ingin mengenal mereka agar dia tahu dengan siapa mereka berhadapan.
Ki Banyakluwo geli.
"Ha-ha kami bertiga adalah saudara seperguruan dengan Ki Danyang Bagaskoro. Kami dari Blambangan dan kini menjadi pembantu-pembantu Sang Begawan Buyut Wewenang. Namaku Ki Banyakluwo, dan kedua saudaraku ini adalah Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo."
Joko Handoko diam-diam mencatat nama-nama itu,kemudian bertanya kepada Begawan Buyut Wewenang.
"Sang Begawan, andika sekalian adalah tokoh-tokoh Daha yang berkedudukan tinggi. Sedangkan kami berdua hanyalah rakyat dari Tumapel. Bantuan apa yang andika harapkan dari kami?"
"Hemm, Tumapel hanya sebuah daerah yang kecil saja, akan tetapi sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung amat tinggi hati. Sang Prabu Kertajaya di Daha masih bersikap sabar, akan tetapi kalau singa itu dibiarkan meliar dan tumbuh tanduk dan sayap, tentu akan menjadi semakin ganas. Karena itu, tugas kami adalah mematahkan tanduk dan sayap itu, agar Tumapel tidak menjadi semakin sombong saja."
"Maksud andika......., Daha hendak menggempur Tumapel?"
"Ahh, tidak sama sekali"
Kami melihat Tumapel menjadi lemah dengan sendirinya tanpa kami menggempurnya. Kami ingin membiarkan kekuatan-kekuatan dfi Tumapel saling gempur sendiri, bermusuhan sendiri sehingga ahirnya Tumapel akan menjadi lemah dengan sendirinya. Kalau engkau mau membantu kami, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk mengadu dombakan antara mereka, menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di daerah Tumapel."
"Ahhh......"
Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak kepada kakek bermukahitam buruk itu. Kini mengertilah dia akan segala fitnah yang dijatuhkan pada pihak Sabuk Tembogo.
"Aku mengerti sekarang!"
Wulandari berseru marah.
"Keparat-keparat inilah yang telah mengadu domba antara Sabuk Tembogo dengan kadipaten dan..........dua orang bertopeng yang membunuh perajurit-perajurit dengan pukulan Hastorudiro itu...., ah tentu untuk mengadu dombakan pihak perkumpulan Hastorudiro dengan pemerintah Tumapel, seperti juga orang-orang yang mempergunakan ilmu dan sabuk tembaga untuk menjatuhkan fitnah pada perkumpulan kami!"
Joko Handoko yang memandang gadis itu mengangguk-angguk.
"Dan Eyang Panembahan Pronosidhi juga terbunuh ketika orang-orang Hastorudiro datang menyerbu."
Dia lalu mamandang lagi kepada Buyut Wewenang.
"Jadi semua peristiwa itu adalah buatan andika untuk mengadu-domba antara kekautan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan Tumapel?"
Begawan Buyut Wewenang tertawa.
"Kalian adalah orang-orang muda yang cerdik. Benar sekali dugaan kalian, memang kami bertugas untuk melemahkan Tumapel dan kami mempegunakan siasat mengadu domba antara kekuatan-kekuatan yang ada di Tumapel. Joko Handoko dan Wulandari, jangan merasa heran mendengar betap aku menceritakan semua ini terang-terangan kepada kalian, kau kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersedia membantu kami dengan tugas kami, atau kalian akan kami bunuh karena kalian telah mengetahui rahasia kami."
"Kami kira kami pengkhianat-pengkhianat hina? Tidak sudi! Lebih baik dibunuh daripada hidup menjadi kaki tangan kalian, menjadi pengkhianat-pengkhianat keji!"
Wulandari membentak marah dan Joko Handoko mengangguk-angguk kagum. Gadis ini memang hebat, pikirnya."Sang Begawan, andika sudah mendengar sendiri pendirian kami,"
Sambungnya.
Begawan Buyut Wewenang menjadi kecewa dan marah sekali kepada Wulandari yang dianggapnya mempengaruhi Joko Handoko. Dia tidak begitu mengharapkan bantuan gadis itu yang tingkat kepandaiannya tidak begitu hebat, melainkan mengharapkan Joko Handoko. Akan tetapi gadis itu mendahului dengan teriakannya tadi yang tentu saja mempengaruhi batin pemuda itu. Padahal, tanpa teriakan Wulandari sekalipun, agaknya kakek itu tidak memiliki harapan untuk berhasil membujuk Joko Handoko menjadi seorang pengkhianat.
"Joko Handoko, selagi kami minta agar engkau suka membantu kami, untuk itu, selain pengampunan
(Lanjut ke Jilid 10)
Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
bagi kalian, kami juga menjanjikan kemuliaan dan kedudukan yang baik untukmu. Kalau engkau menolak, berarti kematian bagi kalian! Mana yang kau pilih?"
"Heiiii, kunyuk tua, lutung hitam busuk! Kenapa masih cerewet lagi? Kami adalah kesatria-kesatria sejati yang tidak sudi menjadi pengkhianat. Mau bunuh? Lekas bunuh, kami bukanlah orang-orang yang takut mati seperti kamu!"
Wulandari berteriak marah karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan terbujuk, kekhawatiran yang tidak berdasar.
"Begawan Buyut Wewenang, percuma saja andika membujuk kami. Kami tidak sudi menjadi pengkhianat."
Joko Handoko berkata.
Sang Begawan meloncat turun dari kursinya, kakinya mencak-mencak karena marah mendengar makian Wulandari dan penolakan Joko Handoko.
"Baik, kalian akan mampus sekarang juga. Eh, tidak..... tidak begitu enak! Kalian akan disiksa, dan engkau perempuan lancang mulut, engkau akan menderita siksaan yang paling berat yang mungkin diderita seorang perempuan. Dia lalu menoleh dan menggapai Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, Gajah Putih dan Gajah Ireng, lalu berkata kepada mereka berlima.
"Siksaan apakah yang patut dijatuhkan kepada perempuan lancang ini sebelum ia dibunuh?"
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Begawan, serahkan saja ia kepada saya!"
Kata Gajah Putih dan sepasang matanya seperti hendak menelan bulat-bulat Wulandari yang cantik jelita itu.
"Ho-ho, nanti dulu, Gajah Putih. Aku juga ingin mempermainkannya sebelum ia dibunuh, dan karena Aku paman gurumu, engkau harus mengalah kepadaku!"
Kata Ki Banyakluwo yang biarpun tubuhnya gendut seperti bola, terkenal mata keranjang dan suka mempermainkan wanita cantik itu.
Akan tetapi yang lain-lain nampaknya tidak setuju karena siapakah yang tidak tertarik melihat Wulandari gadis berusia enam belas tahun yang hitam manis, tubuhnya sedang mekar seperti setangkai bunga, tegaop berisi, sikapnya yang kenes dan galak akan tetapi memanbah daya tariknya itu? Melihat betapa lima orang itu seolah berebutan, Begawan Buyut Wewenang tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian ini seperti lima ekor anjing diberi tulang! Akan tetapi yang kuberikan itu bukan tulang, melainkan daging lunak. Nah, sekarang begini saja. Kalian berlima boleh mengeroyoknya di sini, di depan mata Joko Handoko, kecuali......", kecuali kalau dia mau membantu kita. Bagaimana, Joko Handoko, apakah engkau masih berkeras dan membiarkan gadis ini diperkosa beramai-ramai di depan matamu, dipermainkan sampai mati? Setelah ia mati, barulah tiba giliranmu. Bagaimana? Masihkah engkau hendak berkeras?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan melengking yang keluar dari mulut Wulandari dan Joko Handoko. Gadis itu, biarpun kedua tangannya dibelenggu ke belakang, sudah meloncat ke depan dan mengirim tendangan kepada orang terdekat. Dan pada saat yang sama. Joko Handoko juga sudah meloncat ke depan Begawan Buyut Wewenang dan juga menyerang dengan tendangan kakinya yang masih bebas.
"Desss.......!"
Gajah Ireng yang berdiri paling dekat dengan Wulandari, tidak sempat menyingkir karena tidak menduga akan serangan itu sehingga ketika dia menangkis, tetap saja tendangan itu menerobos tangkisannya dan mengenai pahanya, membuat dia terpelanting. Akan tetapi, Begawan Buyut Wewenang dapat meloncat dan mengelak dari tendangan Joko Handoko, kemudian dari samping tangannya menyambar.
"Deesss.............!"
Pundak Joko Handoko kena ditampar dan tubuh pemuda itu terpelanting dan terbanting keras. Sementara itu, Gajah Putih juga berada dekat Wulandari, menjadi marah melihat saudaranya tertendang, diapun menampar dan tamparan yang keras mengenai leher Wulandari, membuat gadis itupun terpelanting keras dan bergulingan!
Tubuh Joko Handoko yang terpelanting itu disambut tendangan-tendangan oleh Ki Bajulbiru dan Ki Banyakluwo, sehingga tubuh pemuda itu terlempar ke sana sini. Gajah Ireng yang tadi menerima tendangan, menjadi marah dan diapun menubruk ke arah Wulandari yang masih rebah di atas lantai. Akan tetapi, Wulandari dapat bergulingan sehingga tubrukan itu luput dan gadis itu pun meloncat bangun. Akan tetapi, kainnya dapat dicengkeram oleh Ki Bajulbiru dan sekali dorong, tubuh Wulandari kembali terpelanting. Sebelum Ia dapat bangkit, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya telah dijambak oleh Ki Banyakluwo yang menariknya bangun. Sambil tersenyum menyeringai, Ki Banyakluwo yang berperut gendut itu lalu menarik rambut itu sehingga muka gadis itu dekat dengan mukanya, dan diapun siap untuk menciumnya. Akan tetapi Wulandari yang sudah nekat itu lalu meludah.
"Cuhh.........!""Keparat.....!"
Ki Banyakluwo mendorong kepala gadis itu dan melepaskan jambakannya karena kedua matanya terpaksa, dipejamkan ketika kena semburan air ludah. Dia marah sekali, akan tetapi ketika itu, tubuh Wulandari yang didorong sudah dirangkul dan didekap oleh Ki Suroyudo.
Sementara itu, Joko Handoko berusaha untuk melawan walaupun hanya dengan kedua kakinya. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, terpaksa roboh lagi dan dipukul sana sini, ditendang sana sini.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berwibawa sekali.
"Hemmm, Jagat Dewa Bathara! Apa yang sedang terjadi di sini?"
Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya terkejut bukan main melihat munculnya dua orang itu. Seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti pendeta buddha, hanya kain kuning dilibatkan di badan, kepalanya tidak gundul seperti biasanya pendeta buddha melainkan berambut dan digelung ke atas seperti pendeta Siwa. Kakek ini bertubuh tinggi besar, kulitnya bersih dan mukanya juga bersih dari cambang, jenggot atau kumis, sepasang matanya lebar terbelalak dan bersinar tajam, walaupun mengandung sifat yang lembut. Adapun orang ke dua jelas merupakan seorang priayayi dengan pakaian seorang pangeran. Dan orang ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah, dengan sinar mata yang tajam melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kakek pendeta itu bukan lain adalah Ki Danyang Maruto, seorang pendeta Siwa Buddha di Kerajaan Daha, seorang tokoh putih yang disegani karena dia terkenal seorang yang sakti dan suci. Adapun pemuda itu adalah Pangeran Maheso Walungan, adik dari Sang Prabu Dandang Gendis, seorang pangeran yang terkenal sebagai seorang ahli perang dan senopati yang berani dan gagah perkasa!
Ki Suroyudo masih mendekap tubuh Wulandari di dadanya. Melihat munculnya sang pangeran, Ki Suroyudo menjadi salah tingkah, masih mendekap tubuh muda itu akan tetapi dia memandang kepada dua orang yang baru datang itu dengan muka bodoh dan melongo.
"Ki Suroyudo, apa yang kau lakukan ini? Menghina seorang wanita muda?"
Bentak Pangeran Maheso Walungan sambil melangkah maju.
"Ti..... tidak, gusti pangeran......."
Kata Ki Suroyudo, akan tetapi lengan kirinya masih merangkul pinggang dan lengan kanannya merangkul leher gadis itu yang sudah tidak berdaya.
"Tidak? Keparat, memalukan saja engkau sebagai abdi Kerajaan Daha!"
Bentak Sang Pangeran dan kakinya bergerak menendang.
"Dess......! Aduhhhhh......!"
Tubuh Ki Suroyudo terlempar dan terbanting keras. Dia merasa kesakitan, akan tetapi tidak tidak berani melawan dan merangkak bangun sambil mengusap darah dari bibirnya yang pecah ketika terbanting tadi.
"Dan kalian sedang menyiksa orangnya? Beginikah sikap ksatria-ksatria Daha? Sungguh memalukan sekali!"
Sang Pangeran lalu memegang lengan Joko Handoko dan membantunya bangkit sendiri. Tubuh pemuda itu bengkak-bengkak dan lecet-lecet, akan tetapi tidak terluka berat karena tubuhnya dilindungi kekebalan.
"Paman Begawan Buyut Wewenang!"
Kini Sang Pangeran menghadap pendeta itu dengan alis berkerut. Dia selama ini memang tidak suka kepada begawan ini, juga Begawan Sarutomo karena maklum bahwa kedua orang pendeta ini adalah pembujuk dan perayu yang amat dipercaya oleh kakaknya, Sang Prabu Dandang Gendis.
"Coba ceritakan, apa yang telah Andika lakukan di sini? Menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis?"
"Harap Paduka suka memaafkan mereka. Raden Maheso Walungan,"
Kata Begawan Buyut Wewenang dengan tenang. Biarpun dia menghadap adik raja, namun dia sendiri memiliki kekuasaan dan dipercaya oleh Sang Prabu, bahkan apa yang dilakukannya sekarang ini ada hubungannya dengan tugas yang diterimanya dari Sang Prabu sendiri, maka dia dengan Sang Prabu memang tidak pernah ada keakraban karena pengeran itu condong untuk menentang dia dan kakaknya, yaitu Begawan Sarutomo. Dan sikapnya pun tidak terlalu hormat kepada pangeran itu.
"Mereka tidak bersalah dan kami sama sekiali bukan sedang menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis, melainkan menghajar mata-mata Tumapel. Orang muda itu seorang penjahat besar, Raden, kaerena dia telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro."
"Bohong besar.........!"
Wulandari berseru marah.
"Mereka semua ini adalah pembohong-pembohong dan penjahat-penjahat keji. Mereka tadi bermaksud memperkosaku ramai-ramai di depan Kakang Joko Handoko untuk memaksa Kakang Handoko menjadi kaki tangan mereka! Akan tetapi kami tidak sudi, lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat!"
Pangeran ini memandang kepada gadis ini dengan hati tertarik. Jelas bukan seorang gadis sembarangan, pikirnya. Sikapnya seperti seorang puteri sejati, seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.
"Apakah engkau orang Tumapel?"
Tanyanya sambil menatap tajam wajah yang manis itu.
"Benar, Raden........"
"Hushhh, beliau ini dalah Gusti Pangeran Maheso Walungan dari Daha, jangan bersikap sembarangan!"
Bentak Gajah Putih yang hendak mencari muka kepada Sang Pangeran.
"Diam kau!"
Pangeran Maheso Walungan membentak Gajah Putih, lalu berkata kepada Wulandari.
"Lanjutkan keteranganmu."
Wulandari tadi sudah mendengar betapa Ki Suroyudo menyebut Gusti Pangeran, akan tetapi karena belum mengenal orang muda ini, maka ia hanya menyebut raden seperti sebutan yang dipakai oleh Buyut Wewenang. Kini, mendengar keterangan Gajah Putih, diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang pangeran sungguh-sungguh!
"Hamba bernama Wulandari dari Tumapel, Gusti Pangeran."
"Dan engkau memusuhi Daha?"
"Sama sekali tidak! Akan tetapi, kalau kami berdua dipaksa harus membantu mereka yang hendak mengacau di Tumapel, harus mengadu domba kekuatan-kekuatan di Tumapel, tentu saja kami menolak."
Pangeran itu sudah mendengar akan siasat yang dilakukan kakaknya, yaitu hendak melemahkan Tumapel dengan cara mengadu domba. Dia sama sekali tidak setuju dengan cara yang dianggapnya pengecut itu. Kalau Tumapel memang menentang, sepatutnya diserbu dan dikalahkan, bukan dikacau seperti itu. Karena inilah dia datang ke Memeling bersama Ki Danyang Maruto yang menjdi gurunya. Gurunya, seperti para pendeta Siwa Budha yang lain, juga tidak setuju dengan cara-cara yang dipakai raja, yang menurut saja dibujuk oleh kedua orang pendeta yang menjadi pensehat raja.
"Orang muda, siapakah engkau dan benarkah engkau membunuh Ki Danyang Bagaskoro?"
Pangeranitu bertanya.
"Maaf, Kanjeng Pangeran, sebelum bicara hamba ingin membebaskan diri dulu dari belenggu ini agar lebih leluasa."
Berkata demikian, Joko Handoko mengerahkan tenaganya ke dalam kedua tangannya, lalu sekali renggut terdengar suara keras karena belenggu yang terbuat dari kulit kerbau itu telah putus-putus! Melihat ini, diam-diam Sang Pangeran menjadi kagum. Dia mengenal tali kerbau itu. Akan tetapi pemuda ini dapat merenggutnya satu kali putus seolah-olah tali itu terbuat dari kulit pohon pisang saja!
"Orang muda perkasa, kenapa baru sekarang engkau membikin putus belenggu tanganmu, tidak dari tadi ketika kalian disiksa?"
Sang Pangeran bertanya heran.
"Hal itu tak mungkindapat hamba lakukan karena mereka tadi mengancam hendak membunuh Wulandari kalau hamba melawan,"
Joko Handoko yang segera menghampiri Wulandari dan melepaskan belenggu kedua tangan gadis itu. Wulandari menggosok-gosok kedua tangannya yang lecet dan sakit-sakit karena ia tadi berusaha meloloskan kedua tangan itu tanpa hasil.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua yang telah terjadi, dan jangan takut, aku yang akan mepertimbangkan seadil-adilnya apakah kalian bersalah dan tidak perlu ditawan atau tidak."
"Hamba bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, cucu dari Eyang Panembahan Pronosidhi........"
"Hemmmmm, pantas semuda ini engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi. Aku sudah mendengar akan nama besar Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro,"
Kata Sang Pangeran sambil mengangguk-angguk.
"Dan Diajeng Wulandari ini adalah puteri dari ketua Sabuk Tembogo, dari lereng Gunung Kawi."
Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk.
"Nama Sabuk Tembaga juga pernah kudengar sebagai perkumpulan orang gagah."
"Terjadi beberapa waktu yang lalu ketika di Tumapel terjadi peristiwa-peristiwa aneh, pembunuhan-pembunan dan sifatnya mengadu domba dan melakukan fitnah. Mendiang Eyang Panembahan Pronosidhi sendiri diserbu orang-orang Hastorudiro,dan ketika hamba berkunjung ke Pedusunan Sabuk Tembogo di sana muncul pasukan Kadipaten Tumapel yang hendak mengambil kembali Puteri Senopati Pamungkas yang diculik oleh Wulandari."
Sang Pangeran memandang kepada Wulandari dan mengerutkan alisnya.
"Menculik puteri Senopati Pamungkas? Mengapa?"
Dengan tenang Wulandari menjawab.
"Empat orang saudara seperguruan hamba, murid-murid Sabuk Tembogo, telah ditangkap oleh orang Kadipaten Tumapel dengan tuduhan melakukan kejahatan, hal yang tidak mungkin sekali. Maka hamba menculik dan menangkap puteri itu sebagai sandera agar saudara-saudara hamba dibebaskan. Kiranya nama baik Sabuk Tembogo memang sengaja dirusak orang, mendapat fitnah sehingga kami dimusuhi pemerintah.
"Wah, menarik sekali!"
Kata Pangeran Maheso Walungan sambil melirik ke arah Begawan Buyut Wewenang karena dia pun dapat menduga bahwa semua itu tentulah perbuatan penasihat nomor dua dari kakaknya yang menjadi raja itu.
"Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Pasukan dari Tumapel itu dapat diredakan oleh Dewi Pusporini, Sang Puteri yang diculik dan mendapat perlakuan baik sebagai seorang tamu itu. Akan tetapi di antara pasukan itu terdapat Gajah Putih dan Gajah Ireng yang ternyata di perjalanan menyatakan hendak membantu perwira Ranunilo yang memimpin pasukan. Dan dua orang itu sengaja mengeluarkan kepandaian untuk menghina dan menghancurkan Sabuk Tembogo. Hamba yang kebetulan menjadi tamu Sabuk Tembogo, berhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, mereka berdua muncul lagi bersama guru mereka, Ki Danyang Bagaskoro yang berniat membunuh Dewi Pusporini, puteri Senopati Pamungkas, tentu dengan maksud agar Sang Senopati kembali kemudian akan memusuhi Sabuk Tembogo. Kembali Hambamengahadapinya dan dalam peerkelahian itu, Ki Danyang Bagaskoro tewas."
Raden Maheso Walungan, pangeran itu, menoleh ke arah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bertanya.
"Benarkah terjadi peristiwa seperti diceritakan Joko Handoko?"
Gajah Ireng Hanya menunduk, dan Gajah Putih memberanikan diri menjawab sambil mengerling ke arah Begawan Buyut Wewenang.
"Akan tetapi, gusti pangeran........"
"Tidak ada tapi, jawab saja, benar demikian atau tidak?"
Bentak pangeran itu.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, memang demikian......."
Kata Gajah Putih meragu.
"Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Kemudian hamba dan Wulandari melakukan perjalanan untuk menyelidiki rahasia semua peristiwa aneh yang kami duga tentu ada pihak ketiga yang melakukan fitnah dan diperjalanan hamba melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng. Kami membayangi dan ingin melakukan penyelidikan. Akhirnya kami tiba di Memeling dan ternyata kami terjebak dan setelah diajeng Wulandari tertawan, terpaksa hamba juga menyerah. Mereka hendak menyiksa hamba dan diajeng Wulandari sampai mati, akan tetapi paduka datang menyelamatkan hamba berdua."
Pangeran itu kini memandang ke arah Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya dengan muka berubah merah.
"Paman Begawan, apa artinya perbuatan yang amat memalukan itu? Ataukah paman hendak menyangkal kebenaran cerita Joko Handoko tadi?"
Begawan Buyut Wewenang tenang-tenang saja.
"Raden, memang cerita itu semua benar. Akan tetapi, pangeran harus ingat bahwa kami hanyalah pengemban-pengemban tugas saja yang diberikan kepada kami oleh Sribaginda."
"Hemmm, apakah tugas itu termasuk perbuatan kotor yang hendak menghina wanita dan menyiksa orang yang sudah menyerah karena tekanan licik?"
Sang pangeran mendesak marah.
Akan tetapi sang begawan tetap tenang dan menyeringai.
"Bagi hamba, semua ini hanya siasat untuk menaklukkan Joko Handoko agar di mau membantu tugas hamba. Mereka adalah musuh-musuh, kalau tidak mau menyerah hukumannya hanyalah kematian."
"Tidak!"
Pangeran Maheso Walungan membentak.
"Selama ada aku di sini, kalian tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Joko Handoko dan Wulandari ini tidak bersalah. Mereka harus dibebaskan sekarang juga."
"Akan tetapi, pangeran!"
Begawan buyut Wewenang membantah.
"Mereka sudah tahu akan semua rahasia kita............!"
"Rahasiamu yang busuk, bukan rahasiaku. Kalau Tumapel bersikap memusuhi Daha, jalan satu-satunya yang patut hanya menggempur dan menghajarnya, bukan dengan cara licik mengadu domba untuk melemahkannya. Aku adalah seorang senopati, bahasaku hanyalah tindakan yang gagah dan jujur, bukan dengan car-cara,yang licik dan curang. Joko Handoko dan Wulandari, sekarang kalian pergilah."
"Raden Maheso Walungan! Kalau paduka menentang hamba, berarti paduka menentang perintah Sribaginda!"
Begawan Buyut Wewenang berseru memperingatkan pangeran itu, sengaja mempergunakan nama Sang Prabu Dandang Gendis untuk menggertak pangeran itu.
"Santi-santi-santi.............!"
Tiba-tiba Ki Danyang Maruto melangkah maju dan sepasang matanya mencorong memandang kepada Begawan Buyut Wewenang.
"Buyut Wewenang, biarlah urusan ini menjadi urusan antara engkau dan au saja. Aku yang membebaskan dua orang muda yang tidak bersalah ini. Pangeran dan Sribaginda tidak perlu mencampurinya. Aku yang bertanggung jawab, mengingat bahwa pemuda ini adalah cucu Panembahan Pronosidhi yang menjadi sahabat baikku."
Begawan Buyut Wewenang masih merasa sungkan dan tidak enak hati untuk bertentangan dengan Pangeran Maheso Walungan yang juga merupakan senopati tangguh dari Daha, akan tetapi menghadapi Ki Danyang Maruto, dia berbesar hati. Bagaimanapun juga, pendeta Siwa Buddha ini tidak memiliki kedudukan, bahkan dalam banyak hal seringkali terjadi ketidaksesuaian paham antara para pendeta Siwa Buddha dengan pendirian Sribaginda.
"Babo-babo, Danyang Maruto, bicaramu seperti seekor katak yang merasa dirinya sebesar bukit! Engkau agaknya belum pernah mengenal kesaktianku. Lihat nagaku ini!"
Berkata demikian, Begawan Buyut Wewenang yang sengaja hendak memamerkan kesaktiannya, melontarkan tongkat hitamnya ke udara, sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring. Semua orang terkejut dan memandang ke arah tongkat hitam yang dilontarkan ke atas itu dan semua mata terbelalak karena melihat betapa tongkat hitam itu telah lenyap bentuknya dan nampaklah seekor ular naga yang besar dengan sepasang mata mencorong, moncong lebar terbentang dan lidahnya merah seperti mengeluarkan api dengan suara mendesis-desis! Melihat ini Joko Handoko juga terkejut an diapun cepat mengerahkan tenaga saktinya. Namun, hal ini tidak melenyapkan bayangan naga itu, hanya naga itu kadang-kadang nampak seperti tongkat asalnya, dan kadang-kadang berubah menjadi naga lagi dalam pandang matanya.
"Santi-santi-santi.............! Andika seperti kanak-kanak saja, Buyut Wewenang!"
Ki Danyang Maruto lalu mengambil segemgam tanah damn melemparkan tanah itu ke arah bayangan naga itu sambil berkata.
"Segala sesuatu kembali kepada asalnya."
Dan naga itu pun terjatuh, mengeluarkan suara berkelotakan karena telah berubah menjadi sebatang tongkat hitam berbentuk ular lagi!. Begawan Buyut Wewenang cepat mengambil tongkaytnya dan dia nampak marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Maheso Walungan sudah meloncat ke depan dengan sikap marah.
"Paman Begawan Buyut Wewenang! Engkau sudahi semua permainan ini atau akan menganggapmu sebagai seorang pembangkang!"
Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Akhirnya Begawan Buyut Wewenang menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Dia tahu bahwa kalau dia bertekat menentang, tentu pangeran ini dapat mengerahkan pasukannya dan hal ini tidak akan disukai oleh Sribaginda. Dan mangedu ilmu di situ, belum tentu dia menang karena di situ terdapat Ki Danyang Maruto yang sakti, guru dari Pangeran itu.
"Baiklah, Raden. Hamba menaati perintah paduka dan tidak akan menghalangi kalau paduka membebaskan mereka berdua ini.
Pangeran Maheso Walungan menarik napas lega. Dia tahu bahwa kakek ini memiliki pengaruh di istana, dan dia pun percaya bahwa kakek ini menjalankan tugas yang diperintahkan oleh kakaknya, Sribaginda. Kalau sampai terjadi bentrokan, tentu setidaknya dia akan menerima teguran dari kakaknya.
"Joko Handoko dan Ni Wulandari, kalian boleh pergi sekarang,"
Katanya kepada dua orang muda itu.
"Maaf, kanjeng pangeran,"
Kata Joko Handoko.
"Keris pusaka hamba dirampas oleh sang Begaawan, hamba menuntut agar dikembalikan kepada hamba karena keris pusaka itu ciptaan Eyang Empu Gandring dan merupakan pusaka pemberian ibu hamba."
Sang Pangeran kini memandang kepada Begawan Buyut Wewenang dan suaranya terdengar memerintah dan penuh wibawa.
"Paman begawan, harap andika kembalikan keris pusaka milik Joko Handoko yang paman sita."
Kakek itu mengerutkan alisnya, merasa sayang kalau harus mengembalikan keris pusaka yang dia tahu amat ampuh itu. Akan tetapi karena di situ terdapat sang pangeran dan gurunya, diapun tidak berani membantah. Dengan gerakan marah dia mengambil keris dan sarungnya dari ikat pinggang dan melemparkannya dengan pengerahan tenaga ke arah Joko Handoko. Pemuda ini cepat menyambut dengan kedua tangannya dan biarpun lontaran itu amat kuat, dia dapat menerimanya dengan baik, lalu menyimpan kembali kerisnya di ikat pinggang.
Joko Handoko lalu menghadap sang pangeran.
"Kanjang pangeran, terima kasih atas kebaikan hati paduka yang dilimpahkan kepada hamba berdua. Hamba akan mengingat paduka sebagai seorang Pangeran yang gagah perkasa, adil dan bijaksana."
"Hamba tidak mungkin dapat melupakan budi kebaikan paduka yang telah menyelamatkan hamba dari malapetaka,"
Kata pula Wulandari dengan hati terharu. Ia tahu bahwa kalau tidak ada pangeran itu yang menolongnya, tentu ia akan menderita siksaan yang lebih hebat dari pada segala siksa, walaupun ia masih percaya bahwa pada saat terakhir, tentu Joko Handoko akan meronta, membebaskan dirinya dan membelanya mati-matian.
Pangeran Maheso Walungan tersenyum dan memandang kepada mereka berdua dengan kagum.
"Kalau saja di Daha terdapat orang-orang muda seperti kalian......!"hanya demikianlah dia berkata. Joko Handoko dan Wulandari lalu memberi hormat dan keluar dari dalam gedung itu. Pangeran Maheso Walungan bersama gurunya, Ki Danyang Maruto juga segera kembali ke kota raja.
Peristiwa ini mengakhiri usaha Begawan Buyut Wewenang yang mengadu domba antara kekuatan yang ada di Tumapel untuk melumpuhkan dan melemahkan Kadipaten Tumapel. Bukan saja karena Pangeran Maheso Walungan memprotes, kepada Sribaginda yang segera mencabut kembali perintahnya dan menyuruh Begawan Buyut Wewenang kembali ke kota raja, akan tetapi juga karena para tokoh di Tumapel tidak dapat diadu-domba lagi setelah mereka mendengar tentang siasat licik yang dijalankan oleh orang-orang Daha itu.
Para tokoh Tumapel tahu akan siasat itu dari peristiwa yang terjadi di kaki Gunung Arjuno, yaitu di padukuhan perkumpulan Hastorudiro, seperti telah kita ketahui di bagian depan, empat orang perajurit yang dipimpin oleh perwira Ranunilo, ketika berusaha merampas kembali Dewi Pusporini, telah terbunuh oleh dua orang bertopeng yang menggunakan ilmu dari Hastorudiro, yaitu Pukulan maut yang meninggalkan bekas telapak tangan merah seperti darah. Pukulan ini hanya dimiliki orang-orang Hastorudiro (Tangan Berdarah), maka tentu saja ketika Ranunilo melapor kepada Senopati Raden Pamungkas, senopati itu menjadi marah. Setelah melapor kepada Sang Akuwu tunggal Ametung tentang semua peristiwa yang terjadi, sang akuwu memerintahkan untuk menyerbu perkumpulan Hastorudiro di kaki Pegunungan Arjuno.
Senopati Raden Pamungkas kini berangkat sendiri memimpin pasukan yang duapuluh losin banyaknya menuju ke Gunung Arjuno. Pada waktu itu, ketua perkumpulan Hastorudiro adalah Ki Kebosoro, seorang yang memiliki aji kesaktian tangan berdarah, yang turun-temurun diwarisinya dari keluarganya. Usianya sudah enampuluh lima tahun, tubuh pendek gemuk dan wataknya keras.
Perkumpulan Hastorudiro tak dapat dinamakan perkumpulan bersih. Sebaliknya malah, perkumpulan ini condong ke golongan hitam, tidak segan melakukan kejahatan untuk membela kepentingan sendiri atau memperebutkan harta. Namun, harus diakui bahwa di dalam dada Ki Kebosoro yang keras itu sama sekali tidak terkandung sifat menentang atau memberontak terhadap Kadipaten Tumapel. Bahkan dia selalu menekankan kepada para anak buahnya agar jangan melawan Para perajurit Tumapel, apa lagi melakukan pembunuhan. Sedikitnya ada peragaan dan semangat patriot di dalam dada Ki Kebosoro. Kalaupun ada anak buahnya yang kadang-kadang melakukan perampokan, maka mereka selalu melakukan pekerjaan jahat ini di wilayah Daha dan tidak pernah mengganggu rakyat Tumapel sendiri. Karena inilah, makan nama perkumpulan Hastorudiro tetap baik dan disegani di wilayah Tumapel.
Pada suatu hari, sejak pagi padukuhan Hastorudiro kedatangan banyak sekali tamu. Sejak pagi orang-orang berdatangan memasuki dusun kecil yang menjadi pedukuhan atau sarang dari perkumpulan itu. Tidak kurang dari seratus orang anggota Hastorudiro tinggal berkumpul di dusun itu. Sebuah rumah yang cukup besar berdiri di tengah-tengah dan ini merupakan rumah tinggal dan tempat pertemuan dari ketua Hstorudiro. Sedangkan para anggotanya tinggal di dalam pondok-pondok yang dibangun di sekitar rumah besar itu. Para anggota ini tinggal bersama keluarga mereka sehingga perkampungan Hastorudiro itu memiliki penghuni tidak kurang dari tiga ratus orang.
Pada hari itu, sejak kemarin semua pondok dan terutama sekali rumah besar tempat tinggal Ki Kebosoro telah dihias dengan janur kuning dan kembang-kembang. Kiranya Hastorudiro sedang mengadakan Pesta perayaan, merayakan usia delapan windu dari ketua Hastorudiro itu. Tentu saja undangan disebar, terutama para tokoh-tokoh dan perkumpulan-perkumpulan yang terpandang di wilayah Tumapel. Itulah sebabnya mengapa sejak pagi para tamu berdatangan dan mereka dipersilakan duduk di ruangan besar dari rumah KI Kebosoro yang sudah nampak menyambut para tamu dengan ketawanya yang bergelak dan suaranya yang nyaring.
Ki Kebosoro dalam menyambut Para tamu dibantu oleh dua orang. Laki-laki berusia enam puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi kurus bermuka hitam penuh cacar dan orang ini bernama Gagaksampar ada pun orang ke dua yang tinggi besar berwajah gagah dan tampan bernama Ki Gagakmeto. Kedua orang ini adalah adik-adik seperguruan Ki Kebosoro dan mereka merupakan pembantu-pembantu dan pimpinan dari perkumpulan Hastorudiro. Para murid tertua yang jumlahnya belasan orang bertugas menerima tamu dan mempersilakan mereka duduk, beramah tamah dengan mereka, sedangkan murid-murid rendahan bertugas menjadi pelayan dalam pesta itu.
Ki Kebosoro sendiri dalam menyambut tamu-tamu kehormatan, ditemani oleh seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan gagah, berpakaian mewah. Pemuda ini bernama Pramudento, putera tunggal Ki Kebosoro. Semenjak kecil, Pramudento ditinggal mati ibunya dan setelah istrinya mati, Ki Kebosoro tidak mempunyai anak lagi dari para selirnya, walaupun sudah kerap kali dia berganti selir. Karena itu, tidak mengherankan kalau dia amat sayang kepada Pramudento. Selain mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya, juga Pramudento oleh ayahnya dikirim kepada Ki Ageng Marmoyo, terhitung uwa guru dari Ki Kebosoro sendiri, yang berdiam di lereng Gunung Bromo untuk berguru. Maka, setelah selam tiga tahun digembleng oleh pertapa Bromo itu, kini tingkat kepandaian Pramudento maju dengan pesatnya sampai melampui tingkat ayahnya! Hal ini membuat Ki Kebosoro manjadi semakin bangga dan sayang kepada puteranya itu.
Banyak orang tua yang menyayang puteranya dengan hati penuh kebanggaan, dan kebanggaan ini sendiri sudah menunjukkan, adanya pementingan diri sendiri, menuruti senangnga hati sendiri. Dan cinta kasih yang sudah dilumuri oleh kepentingan diri sendiri itu tiada bedanya dengan kesenangan terhadap benda yang dianggap menyenangkan dan berharga, dan sayang seperti itu condong untuk mudah luntur, yakni apabila yang disayangnya itu tidak lagi mendatangkan kesenangan bagi dirinya! Dan sayang hanya kerena perasaan bangga dan senang ini condong untuk membuat orang tua memanjakan puteranya. Kalau sudah begini, maka orang tua meracuni pertumbuhan watak puteranya karena kemanjaan itu hanya membesarkan si-aku yang selalu harus dituruti kehendaknya. Keinginannya untuk bersenang sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Memanjakan anak, menyanjung dan memuji-mujinya menumbuhkan perasaan tinggi hati kepada jiwa anak, yang akan merasa bahwa dirinya amat baik, amat pandai, seperti yang dipuji-puji selalu oleh orang tuanya, dan si anak akan terbiasa oleh gambaran tentang dirinya sendiri yang terlalu tinggi.
Cinta kasih kepada anak memang membiarkan anak tumbuh wajar dan bebas, seperti penggembala yang mengamati domba-dombanya, dibiarkan doma-domba itu berkeliaran di padang rumput, tanpa batas. Hanya mengamati dari belakang, tutwuri handayani, turun tangan kalau melihat dombanya menyeleweng, bukan demi diri sendiri melainkan demi si domba agar jangan sampai tersesat, jangan sampai merusak tanaman orang, dan jangan sampai makan benda beracun. Perasaan sayang dan mesra terhadap yang dikasihi bukanlah tumbuh dari kenginan untuk senang sendiri. Dan pendidikan terbaik adalah perasaan cinta kasih itu sendiri, karena perasaan ini akan terasa oleh si anak, terasa dalam setiap ucapan orang tua, setiap gerak-gerik orang tua, baik kalau sedang memberi nasihat atau sedang memberi peringatan dan larangan.
Demikian pula halnya dengan Pramudento. Rara sayang ayahnya yang penuh pemanjaan ini membuat dia merasa dirinya tinggi dan hebat, mendatangkan perasaan tinggi hati dan angkuh dalam batin pemuda itu. Apalagi dia hidup di lingkungan orang-orang yang condong melakukan hal-hal yang jahat seperti perampok, mempergunakan kekerasan mencapai semua keinginan sendiri, dan sebagainya.
Setelah matahari naik tinggi, di ruangan itu telah berkumpul tidak kurang dari seratus orang tamu dari berbagai macam golongan. Akan tetapi melihat dandanan dan sikap mereka, sebagian besar adalah jagoan-jagoan dan tokoh-tokoh pendekar di Tumapel. Kepada setiap tamu terhormat Ki Kebosoro memperkenalkan puteranya yang baru beberapa bulan pulang dari Gunung Bromo. Semua tamu memandang dengan kagum Pramudento memang seorang pemuda yang ganteng, gagah perkasa dan menarik perhatian para tamu yang mempunyai anak perempuan. Akan senang hati mereka kalau mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini! Dan memang hal itu merupakan satu di antara keinginan hati Ki Kebosoro. Dia ingin mencarikan jodoh puteranya, dan siapa lagi kalau bukan puteri-puteri para tokoh itu yang pantas mendampingi hidup Pramudento, sebagai isterinya? Puteranya hanya pantas kalau berjodoh dengan puteri-puteri dari tokoh-tokoh kenamaan di saat itu.
Di antara para tamu terdapat pula kurang lebih dua puluh orang wanita, yaitu isteri atau puteri tamu-tamu yang membawa keluarganya. Tentu saja para wanita ini lebih tertarik lagi melihat Pramudento dan terjadi bisik-bisik di antara mereka. Hal ini diketahui oleh Pramudento yang sejak tadi tersenyum-senyum manis menjual lagak menjual mahal sehingga para tamu wanita itu menjadi semakin terpikat.
Selesai pesta berjalan dengan meriahnya dan tidak ada lagi tamu baru yang datang, tiba-tiba muncul seorang pemuda dan seorang gadis yang segera menarik perhatian pihak tuan rumah dan para tamu karena pemuda itu walaupun berpakaian sederhana, nampak halus dan tampan, sedangkan gadis itupun manis sekali mereka ini Joko Handoko dan Wulandari. Ketika keduanya lolos dari Dusun Memeling karena pertolongan Pangeran Maheso Walungan dan Ki Danyang Maruto, mereka lalu cepat-cepat pergi ke Gunung Anjasmoro untuk berkunjung kepada perkumpulan Hastorudiro.
Seperti diketahui, eyang dari Joko Handoko, Panembahan Pronosidhi, telah tewas ketika tempat pertapaannya diserbu oleh orang-orang dari Hastorudiro. Akan tetapi kunjungan Joko Handoko dan Wulandari ke tempat itu sama sekali bukan dengan maksud membalas dendam atas kematian kakeknya. Sama sekali tidak. Sebelum meninggal dunia, Panembahan Pronosidhi sendiri sudah meninggalkan pesan kepada Joko Handoko agar jangan membalas dendam terhadap Hastorudiro, apalagi setelah dia mendengar dari Buyut Wewenang dan anak buahnya bahwa semua peristiwa itu memang diatur oleh orang-orang Daha, merupakan siasat untuk mengadu domba antara orang-orang
Tumapel sendiri.
Kunjungan ini justeru untuk memberi peringatan kepada Hastorudiro akan fitnah yang dilakukan oleh orang-orang Daha itu telah membunuh empat orang perajurit Tumapel dengan pukulan yang meninggalkan bekas tangan merah, dan tentu Kadipaten Tumapel akan marah kepada perkumpulan ini dan bukan tidak mungkin akan mengirim pasukan untuk membasmi Hastorudiro yang tentu dianggap memberontak!
Juga dia ingin memberi penjelasan bahwa urusan antara aliran Hati Putih yang dipimpin kakeknya dan Hastorudiro yang dipimpin Ki Kebosoro, tentu juga disebabkan oleh fitnah keji yang dilakukan oleh orang-orang daha.
Melihat munculnya dua orang tamu baru yang datangnya agak terlambat, Ki Gagaksampar segera menyambut keluar karena pada saat itu ,Ki Kebosoro dan Pramudento sedang menajamu tamu-tamu agungnya yang duduk di tempat kehormatan, sedangkan Ki Gagaksampar bertugas juga sibuk di meja lain melayani para tamu.
Melihat bahwa pemuda dan gadis itu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya, Ki Gagaksampar mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tetap menyambut mereka karena dia mengira bahwa tentu dua orang ini datang mewakili orang tua atau guru mereka. Apalagi gadis itu demikian cantik manis dan Ki Gagaksampar yang bermuka hitam penuh cacar itu bukan seorang pria yang alim.
"Selamat datang di padukuhan kami. Andika berdua siapakah dan dari mana? Saya Ki Gagaksampar mewakili kakang Kebosoro untuk menyambut tamu yang baru datang,"
Katanya sambil menyeringai dan matanya menatap tajam dan menjelajahi wajah Wulandari yang cantik manis. Berkerut gadis itu betapa orang bermuka hitam buruk ini memandanginya tanpa menyembunyikan rasa kagumnya dan sinar kurang ajar bermain di pandang mata itu.
Joko Handoko membungkuk sebagai tanda hormat dan dengan sikap sopan dia pun menjawab.
"Maafkan kami, Paman. Sesungguhnya kami tidak tahu bahwa Hastorudiro sedang mengadakan pesta perayaan dan maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Akan tetapi kami mempunyai urusan penting untuk disampaikan kepada ketua Hastorudiro, yaitu paman Kebosoro."
Ki Gagaksampar memandang tak senang. Siapa pemuda ini yang berani mengganggu pesta mereka? Kalau ada urusan, kenapa tidak datang lain hari saja? Akan tetapi karena di situ ada Wulandari, dia tidak mau memperlihatkan sikap kasar dan menahan kemarahannya.
"Kisanak, kalau engkau mempunyai keperluan dengan ketua kami, sebaiknya lain hari saja datang lagi ke sini."
"Akan tetapi urusan yang akan kami sampaikan ini penting sekali, paman,"
Tiba-tiba Wulandari berkata.
"Kalau tidak disampaikan sekarang, takut kalau-kalau akan terlambat. Harap kau panggilkan ketua Hastorudiro sebentar saja agar kami dapat menyampaikan urusan kami."
Kini Gagaksampar mengamati gadis itu dan mulutnya menyeringai semakin lebar, memperburuk muka yang tak sedap dipandang itu.
"Bocah ayu, ada urusan apa sih engkau demikian ingin bertemu dengan Kakang Kebosoro?Kalau ada urusan, sampaikan saja kepada aku, Gagaksampar, tentu beres. Aku memwakili kakang Kebosoro dan aku adalah adik seperguruannya? Nah, bocah manis, lekas katakan, ada urusan apakah agar jangan mengganggu perayaan kami ini."
"Sekali-lagi maaf, Paman,"
Kata Joko Handoko.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hanya kepada ketua Hastorudiro saja kami dapat menyampaikan urusan yang amat rahasia dan penting ini, tidak kepada orang lain."
Ki Gagaksampar memandang marah. Ucapan-ucapan itu, walaupun sopan, baginya berarti bahwa dua orang muda ini tidak percaya kepadanya! "Hemm, katakan siapa engkau dan dari mana, mungkin aku akan melaporkan tentang kedatanganmu kepada kakang Kebosoro."
"Nama saya Joko Handoko, paman, dan saya datang dari lereng Anjasmoro......."
"Heh, Andika dari aliran Hati Putih?"
Kakek itu membentak dan beberapa orang tamu yang duduknya agak di pinggir menoleh dan karena mereka melihat seorang gadis manis sekali, mereka tertarik dan terus memandang keluar.
Joko Handoko menggangguk.
"Benar, Paman, saya adalah cucu dari mendiang Eyang Panembahan Pronosidhi............."
"Babo-babo keparat! Kiranya mata-mata dari Hati Putih yang sengaja datang untuk mengacau! Mampus kau di tanganku!"
Sambil membentak dengan suara nyaring, Ki Gagaksampar menerjang dan menghantam ke arah kepala Joko Handoko. Tamparan itu hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga Hastorudiro{Tangan Berdarah}! Akan tetapi, Joko Handoko cepat mengelak dan ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tiga kali, dia masih dapat mengelak dengan mudah.
"Heiii, engkau ini sungguh kasar dan tidak tahu aturan!"
Wulandari membentak dan ia pun sudah melolos sabuk tembaga dari pinggangnya, lalu menyerang Ki Gagaksampar untuk membantu Joko Handoko yang didesak oleh kakek itu.
"Wuut-wuuuutt, singg..........!"
Sabuk itu menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar.
Ki Gagaksampar meloncat ke belakang untuk mengelak.
"Babo-babo! Sabuk Tembogo! Kiranya engkau ini bocah manis adalah murid Sabuk Tembogo. Kenapa Sabuk Tembogo ikut-ikutan membantu Hati Putih memusuhi kami?"
Joko Handoko membungkuk lagi.
"Paman, harap dengarkan dulu, sesungguhnya kami datang bukan untuk bermusuhan, melainkan untuk membicarakan hal yang teramat penting dengan ketua Hastorudiro."
"Keparat! Siapa percaya omongan Hati Putih? Namanya saja Hati Putih, akan tetapi hatinya berbulu dan jahat! Siapa dapat melupakan ini?"
Dan dia pun mengangkat sedikit kain penutup kepala yang kiri sehingga nampak betapa kepalanya botak dan daun telinganya yang kiri buntung dan tinggal sedikit saja. Inilah luka yang dideritanya ketika dia ikut menyerbu ke Anjasmoro, ketika dalam pembelaan diri mendiang Panembahan Pronosidhi mempergunakan aji kesaktian Nogopasung.
"Kami sudah mendengar tentang kematian Panembahan Pronosidhi dan kami sudah menganggap habis semua urusan. Eh, tidak tahunya kamu ini tikus cilik berani datang mencari keributan!"
"Kakang Gagaksampar, apakah yang terjadi? Siapa pemuda ini?"
Tiba-tiba Ki Gagakmeto yang berlari keluar mendengar suara ribut-ribut, bertanya, memandang keduanya dengan penuh perhatian. Dibandingkan dengan Gagaksampar Ki Gagakmeto ini lebih mata keranjang lagi.
Melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah, Joko Handoko cepat memberi hormat.
"Maaf, apakah paman ketua perkumpulan Hastorudiro?"
Ki Gagakmeto menoleh kepada Joko Handoko dan menggeleng kepala, lalu dia memandang lagi wajah Wulandari, melihat sabuk tembaga di tangan gadis itu.
"Eh-eh, bukankah itu sabuk tembaga yang berada di tanganmu, bocah ayu? Ki Bragolo memiliki murid semanis ini? Sungguh mengagumkan!"
Tentu saja Wulandari marah sekali mendengar ucapan itu. Ia dan Joko Handoko bersusah payah datang ke tempat ini untuk memperingatkan Hastorudiro akan ancaman bahaya yang menjadi akibat fitnah orang-orang Daha, akan tetapi mereka disambut secara kurang ajar sekali.
Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo