Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 7


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Malam itu amatlah indahnya. Langit bersih dan karena malam itu bulan berada dibalik belahan bumi sana, maka langit dipenuhi bintang gemerlapan bagaikan beledu hitam ditaburi intan berlian. Ada yang kemerahan, kebiruan dan ada yang putih. Ada yang berkedip kedip seperti mata puteri jelita, ada pula yang mencorong seperti mata naga. Keindahan langit itu agaknya mendatangkan kedaimaian di permukaan bumi. Angin malam hanya bersilir sejuk dan suasana terasa demikian nyaman, membuat orang segan memasuki kamarnya, lebih senang menikmati kenyamanan di udara terbuka, mengaku bintang-bintang. Aji sudah menganggur sejak sore tadi. Semua kuda di kandang sudah tenang, dan dia duduk di atas bangku di pelataran depan kandang bersama Diran, seorang di antara para abdi yang bertugas di kandang merawat kuda dan membantu Aji.

   "Waduh, indah sekali bintang-bintang di langit itu, ya mas Aji?"

   Kata Diran sambil melihat ke atas. Sinar bintang-bintang yang kehijauan membuat wajahnya nampak aneh. Aji tersenyum dan menghela napas panjang.

   "Kita ini berbahagia sekali masih dapat melihat dan mengagumi keindahan angkasa yang membuktikan akan kekuasaan Tuhan, Diran."

   "Ehh?"

   Diran menoleh kepada kawannya.

   "Apakah engkau hendak menyatakan bahwa ada orang yang tidak dapat melihat dan mengagumi keindahan bintang-bintang di langit?"

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Banyak sekali, Diran. Banyak sekali? Mereka sudah dipenuhi kepusingan dan kesibukan sehingga kehidupan ini hanya merupakan serangkaian kesengsaraan belaka, membuat mereka murung dan tidak lagi ingat betapa indahnya alam di sekitar mereka, betapa besarnya kekuasaan Allah Sang Maha Pencipta."

   Diran mengerutkan alisnya. Bagi pikirannya yang sederhana dan polos, ucapan itu terlalu tinggai dan sulit ditembus pengertiannya. Dia sudah memandang ke atas lagi.

   "Mas Aji, adakah manusia yang dapat menghitung berapa banyaknya bintang di langit?"

   Aji tertawa. Percuma saja bicara tentang hal-hal yang mendalam dengan kawannya ini, yang biarpun usianya sudah delapan belas tahun namun jalan pikirannya masih amat sederhana.

   "Diran, dibandingkan dengan kepandaian Yang Maha Kuasa, maka kepandaian manusia itu tidak ada artinya. Jangankan menghitung bintang di langit, baru menghitung bulu rambut yang berada di badan sendiri saja kita tidak mampu. Mungkin saja ada para cerdik pandai yang dapat menghitung bintang, namun sudah pasti jumlahnya tidak akan tepat karena banyak di antara bintang yang tidak nampak oleh mata. Pengetahuan manusia berpusat di dalam pikiran, dan kepala dengan semua isinya ini hanya alat, karenanya dapat rusak, dan dapat menjadi tumpul, dan amat terbatas. Yang menciptakannya, yang mengisi dan memeliharanya, Dia Yang Maha Tak Terbatas, yaitu Allah Yang Maha Agung dan Maha Kuasa."

   Sepasang mata Diran memandang bodoh.

   "Mas Aji, sejak kecil kita mengenal sebutan Allah karena mendengar dari orang-orang tua. Kita percaya dan menerima begitu saja. Akan tetapi sesungguhnya, siapa dan di manakah Allah? Benar adakah Allah Yang Maha Kuasa itu? Aku seringkali heran dan bingung sendiri, Mas Aji."

   Kembali Aji tersenyum. Pertanyaan yang kedengarannya bodoh, namun justru dalam kebodohan itulah terdapat kejujuran dan keluguannya, tidak dibuat-buat, tidak mengaku pintar. Pertanyaan yang wajar saja, karena dulu pernah dia bertanya-tanya seperti yang ditanyakan Diran ini.

   "Pertanyaanmu bagus sekali, Diran. Mari kita berdua menyelidiki bersama untuk memberi jawaban kepada pertanyaanmu itu, yaitu siapakah dan di manakah Allah? Mari kita lihat dan curahkan perhatian kita kepada segala yang nampak oleh mata dan terdengar oleh telinga, yang tercium oleh hidung. Nah, kita lihat ke angkasa. Apa yang kau lihat?"

   "Bintang-bintang bertaburan indah sekali, langit menghitam luas tanpa batas, ada gumpalan-gumpalan awan nampak di barat sana,"

   Kata Diran menuding ke atas.

   "Sekarang lihat ke sekeliling. Engkau melihat apa?"

   "Hemm, pohon-pohon, keremangan cuaca, bangunan-bangunan, rumput, tanah, kadang kuda"", juga kulihat engkau"""

   Diran tertawa, menganggap pertanyaan itu dan jawabannya lucu.

   "Benar sekali. Sekarang, apa yang kau dengar? Perhatikan."

   Diran terdiam, memperhatikan. Malam itu indah, sejuk dan sunyi. Namun, begitu diperhatikan, ternyata tidaklah sesunyi seperti yang disangka orang. Di dalam kesunyian itu terdapat suara yang bermacam-macam, suara kutu-kutu dan belalang malam, kerik jangkrik, koak kodok, merupakan gamelan yang berpadu indah.

   "Aku mendengar suara jengkerik dan kodok, orong-orong dan belalang!"

   Kata Diran dengan suara heran seolah sekarang dia mendengar semua suara itu. Tentu saja suara itu setiap malam ada, hanya dia yang tidak pernah memperhatikan sehingga lewat begitu saja di telinganya.

   "Nah, sekarang curahkan perhatianmu pada hidungmu. Apakah engkau tidak mencium ganda sesuatu?"

   Kembali Aji berkata, suaranya lembut dan ramah. Diran mencurahkan perhatiannya dan begitu seluruh perhatian dia curahkan kepada alat penciumannya, maka dia seolah telah lupa lagi segala apa yang dilihatnya tadi dan segala yang didengarnya tadi. Dan kini cuping hidungnya berkembang kempis, menyedot-nyodot.

   "Wah, aku mencium bau kembang melati, harumnya mawar, bau tanah dan rumput basah, dan basah, dan bau"". bau".. tahi kuda di kandang!"

   Diran tertawa dan Aji juga tertawa.

   "Mas Aji, kenapa biasanya aku seperti tidak melihat, mendengar dan mencium semua itu?"

   "Tentu saja, bukan hanya engkau, bahkan hampir seluruh manusia sudah lupa akan segala yang berada di sekelilingnya, karena hati akal pikiran kita disibukkan oleh kebutuhan, kepentingan dan pengejaran kesenangan belaka. Engkau sudah menyaksikan semua itu dan engkau yakin benar bahwa yang kaulihat kau dengar dan kau cium itu benar-benar ada?"

   "Tentu saja ada!"

   Nah kalau suatu itu ada, sudah pasti ada pula yang mengadakan, ada yang menciptakan, bukan? Semua itu ada, jutaan macamnya di permukaan bumi dan di langit, kita ini juga ada, dan tentu ada yang menciptakan. Nah, yang menciptakan semua itu adalah Allah Maha Pencipta!"

   "Tapi".. tapi".. bangunan-bangunan itu, kandang kuda ini, pakaian kita ini, bukankah yang menciptakan adalah manusia? Malah bangku yang kita duduki ini akulah yang membuatnya, tanganku ini yang membuatnya, bukan Allah!"

   Bantah Diran.

   Aji menggeleng kepala sambil tersenyum sabar. Dia tidak dapat menyalahkan Diran dengan pertanyaan itu karena dia tahu bahwa Diran belum mengerti. Orang yang belum mengerti, bagaimana mungkin dapat disalahkan? Yang belum mengerti mengaku dan merasa mengerti, itulah yang salah.

   "Diran, memang banyak sekali manusia yang mengaku bahwa dia telah menciptakan sesuatu, seperti engkau. Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti, seperti engkau ini, atau ada juga orang-orang yang sombong. Semua adalah ciptaan Sang Maha Pencipta, yaitu Allah! Manusia ini hanya menggunakan akal budi untuk mengolah sesuatu, mengebangkan sesuatu. Contohnya engkau membuat bangku. Memang bangku ini buatanmu, akan tetapi dari apakah kau buat? Dari kayu, berarti dari pohon. Siapa yang menciptakan pohon? Mungkin manusia hanya dapat menanam benih pohon saja, akan tetapi dia tidak mampu menciptakan benih, tanah, air, hawa udara dan panas matahari untuk menghidupkan benih itu menjadi pohon besar yang kemudian dapat kau ambil kayunya untuk dijadikan bangku."

   Diran menjadi bengong. Semua itu terlalu dalam dan sukar dimengerti olehnya, akan tetapi karena keterangan Aji itu sederhana dan jelas mulailah dia melihat kenyataan.

   "Benda mati atau hidup, bergerak atau tidak bergerak, semua ada karena diciptakan Allah. Manusia hanya mampu membuat sesuatu dengan akal yang menggerakkan tubuhnya. Membuat dari sesuatu yang sudah ada, bukan mencipta. Mencipta hanya kuasa Tuhan! Manusia hanya mengaku-aku, mengaku pandai dan mengaku kuasa. Coba lihat kuku jari tanganmu. Kau tentu mengatakan bahwa kuku itu milikmu, bukan? Nah, kalau milikmu tentu engkau dapat menguasainya. Kenapa kau biarkan kukumu tumbuh panjang sehingga engkau sibuk memotongnya setiap beberapa hari sekali. Kalau memang kuku itu milikmu dan engkau menguasainya, kenapa tidak engkau hentikan saja pertumbuhannya dan agar tidak usah repot memotongnya? Itu merupakan bukti kecil bahwa kuku itu bukan milikmu, dan engkau sama sekali tidak menguasainya! Kuku itu hidup, bertumbuh dan tentu ada yang menumbuhkanya, ada yang menguasainya, yaitu Allah! Kekuasaan Allah yang mengerjakan itu semua, bukan engkau. Demikian pula dengan rambutmu, jantungmu, seluruh bagian tubuhmu. Tidak usah mencari bukti terlalu jauh lihat saja dirimu senidri. Di situ kekuasaan Tuhan bekerja. Mutlak! Kenapa ada kekuasaan Tuhan dalam dirimu, engkau tidak akan hidup, jantungmu tidak akan berdetak."

   "Wah, kalau begitu aku ini bukan apa-apa dan tidak bisa apa-apa tanpa kekuasaan Allah!"

   "Memang! Jadi, sudah dapatkah engkau merasakan sendiri, penuh keyakinan, bukan sekedar percaya keterangan orang, bahwa Allah itu ada?"

   Diran mengangguk.

   "Sekarang aku dapat menjawab pertanyaan siapakah Allah, yaitu bahwa Allah adalah Yang Maha Pencipta, Yang Maha Kuasa, yang menghidupkan segala sesuatu ini, yang menggerakkan dan yang menguasai. Sayang aku tidak dapat melihatnya!"

   "Manusia terlalu kecil untuk melihat Dia yang tak terbatas! Akan tetapi kita dapat membuktikan sendiri adanya kekuasaanNya. Dapat melihat, mendengar, mencium dan merasakan dengan panca indera kita, dengan hati akal pikiran kita. Kekuasaannya, hasil kerjaNya berada di mana-mana!"

   "Lalu apa jawaban pertanyaan: di mana adanya Allah?"

   "Di mana saja! Allah melingkupi semua yang nampak dan tidak nampak! Kekuasaan Allah hidup di mana saja, juga di dalam diri kita sendiri. Kekuasaan Allah berada di dalam yang terbesar sampai yang terkecil, yang terkasar sampai yang terlembut, di luar dan di dalam, pendeknya, tak terukur dan tak terbatas!"

   "Waduhh"". betapa hebatnya. Sukar aku membayangkannya""."

   Kata Diran.

   "Memang tidak dapat dibayangkan! Dan tidak perlu membayangkan. Yang penting, kita manusia sebagai mahkluk termulia, yang disertai hati akal pikiran, disertai cipta rasa dan karsa yang membedakan kita dari mahkluk hidup lainnya, kita yakin sepenuhnya, bukan sekedar percaya membuta saja, kita yakin bahwa Allah itu ada, bahwa hidup kita ini berlandaskan kekuasaan Allah. Dengan iman ini kita menyerah, pasrah, tunduk dan taat akan bimbinganNya."

   Percakapan itu terhenti karena keduanya tenggelam ke dalam renungan masing-masing. Kalau sudah begitu, maka tidak ada lagi yang perlu dipercakapan. Semua sudah terbentang luas di depan kita. Hanya tinggal membuka mata saja, membuka mata lahir dan mata batin, yaitu waspada akan segala kenyataan yang ada. Dan renungan merekapun membuyar ketika muncul Sumiyo, seorang abdi lain yang bekerja di kandang bersama mereka.

   "Kang Samiyo, dari mana saja engkau? Malam-malam begini keluyuran!"

   Tegur Diran. Di sini saja sudah nampak perbedaan. Diran menyebut kakang saja kepada Samiyo, akan tetapi dia dan Samiyo menyebut mas kepada Aji. Hal ini karena penampilan Aji yang lebih pantas disebut priyayi dari pada pemuda dusun biasa. Cara bicaranya, wajahnya, pembawaannya. Biarpun pakaiannya tetap bersahaja.

   "Malam begini indah, sayang kalau sore-sore tidur. Aku berjalan-jalan dan mengelilingi istana kadipaten, bahkan tanpa kusadari akan sampai di rumah tahanan""."

   "Hemm, Samiyo, engkau sungguh sembrono. Mau apa engkau berkeliaran sampai ke sana? Kalau penjaga tahu, tentu engkau dicurigai dan ditangkap atau dipukuli seketika!"

   Aji menegur rekannya.

   "Aku seperti dalam mimpi, tahu-tahu aku baru terkejut setelah melihat para penjaga, Mas Aji. Aku cepat bersembunyi dan aku melihat peristiwa yang amat aneh!" "Kau melihat setan?"

   Tanya Diran.

   "Ya, sekarang aku melihatnya. Engkaulah setannya!"

   Kelakar Samiyo.

   "Jangan bergurau, Samiyo. Peristiwa aneh apa yang kau lihat?"

   Tanya Aji.

   "Ketika aku bersembunyi di balik semak yang terlindung bayangan pohon yang gelap, aku melihat seorang laki-laki mendatangi tempat itu. Kiranya dia adalah Raden Brantoko. Pakaiannya mewah sekali dan bulu tengkukku meremeng ketika melihat senopati yang gagah perkasa itu lewat. Matanya begitu tajam melotot menakutkan. Dan dia menghampiri para penjaga. Entah apa yang mereka bicarakan, akan tetapi aku melihat delapan orang penjaga itu tersenyum-senyum menyeringai ketika Raden Brantoko memberi hadiah uang yang banyak kepada mereka. Kemudian, Raden Brantoko masuk ke dalam tempat tahanan yang sudah dibuka oleh para penjaga. Setelah Raden Brantoko masuk, pintu ditutup dan digembok kembali."

   "Sudah, tidak perlu kita bicara soal itu. Kalau terdengar orang kita celaka!"

   Kata Aji sambil bangkit berdiri.

   "Aku sudah mengantuk, mari kita tidur saja. Besok pagi-pagi harus mencari rumput karena rumput untuk kuda sudah tinggal sedikit."

   Tanpa menanti jawaban Aji sudah memasuki bangunan dekat kandang kuda di mana terdapat kamar-kamar untuk para abdi. Sementara itu, di dalam kamar tahanannya, Joko Lawu nampak termenung. Dia memang diprelakukan dengan baik, akan tetapi dia mengkhawatir ayahnya. Dia tidak dibelenggu, akan tetapi kamar tahanan itu kokoh kuat, dan di luar masih ada pintu besi lagi yang dijaga oleh banyak perajurit. Kalau ada petugas mengantarkan makanan dan minuman, maka benda itu hanya disodorkan lewat lubang-lubang di antara besi jeruji kamar tahanan. Di kamar tahanan itupun terdapat sebuah kamar mandi lengkap yang terpisah dengan tembok dinding.

   Semua sudah tersedia dan tidak ada alasan baginya untuk keluar dari kamar tahanan itu. Akan tetapi, tentu saja Joko Lawu tidak pernah lengah dan selalu waspada untuk mencari kesempatan terbuka meloloskan diri dari tempat itu. Dan sebagian waktunya dia lewatkan dengan bersamadhi, menghimpun kekuatan agar setiap saat dia dapat bersiap siaga. Tiba-tiba dia mendengar langkah kaki orang menghampiri pintu jeruji kamar tahanan itu. Joko Lawu masih tetap duduk bersila walaupun setia urat syaraf di tubuhnya telah menegang dan siaga.

   Biarpun dia menduga bahwa orang itu tentulah seorang di antara penjaga yang meronda seperti biasanya, namun tetap saja setiap dia waspada dan mencari kesempatan yang mungkin terbuka. Akan tetapi ketika melihat orang itu muncul membuka pintu dari luar, melepaskan besi kaitan pintu yang hanya dapat dibuka dari luar, jantungnya berdebar keras dan mukanya menjadi merah,matanya mencorong penuh kebencian. Orang itu bukanlain adalah Brantoko yang dibencinya! Dia segera meloncat turun, siap menerjang kalau pemuda tinggi besar itu memasuki kamar tahanan.

   Brantoko membuka pintu beruji dari luar, akan tetapi berhenti di ambang pintu, memberi isarat dengan jari tangan ke depan mulut agar Joko Lawu tidak membuka mulut bersuara. Lalu dia berkata dengan bisikan.

   "Nimas Mawarsih, aku datang untuk membebaskanmu""."

   "Bohong! Siapa percaya padamu!"

   Bentak Mawarsih, akan tetapi suaranya pun direndahkan hampir berbisik.

   "Mawarsih, bagaimanapun juga, kita masih saudara seperguruan. Mana mungkin aku dapat tinggal diam saja dan tega melihat engkau ditawan? Ketika menawanmu, aku hanya melaksanakan tugas. Akan tetapi, sekarang, aku mendapat kesempatan untuk menolongmu tanpa menimbulkan kecurigaan. Ssstttt, jangan bicara keras!"

   Tentu saja Mawarsih tertarik, namun ia masih curiga.

   "Hemm, apa yang dapat kau lakukan untuk membebaskan aku?"

   Brantoko melangkah maju.

   "Tentu tidak dengan kekerasan. Penjagaan terlampau kuat. Aku dipercaya mereka. Alasanku untuk mengajak tawanan menghadap Senopati Surodigdo untuk diperiksa dan ditanyai, malam ini juga. Maka, andika pura-pura menyerah dan biar kedua tanganmu kubelenggu dan andika kubawa keluar dari sini sebagai tangkapan. Dengan demikian, para penjaga tidak akan menaruh curiga sama sekali."

   Mawarsih mengerutkan alisnya dan mempertimbangkan. Kalau pemuda itu tidak berbohong, ada kemungkinan ia akan dapat meloloskan diri. Kalau bohong, lalu apa maksudnya? Bukankah dia sudah tidak berdaya dikeram dalam tempat tahanan itu? Dibelenggu ataupun tidak, ia tidak akan dapat melarikan diri dari situ tanpa bantuan orang lain. Mengingat betapa Brantoko pernah meminangnya, mungkin saja pemuda itu hendak menolongnya karena dorongan cinta? Agaknya, tidak ada alasan lain, iapun mengangguk menyetujui. Brantoko mengeluarkan tali yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, kemudian menghampiri Mawarsih dan menelikung kedua tangan gadis itu, dibelanggu kedua pergelangan tangannya di belakang dengan ikatan yang amat kuat, membuat Mawarsih tidak mungkin dapat menggunakan kedua tanganya sama sekali.

   Akan tetapi, begitu tangannya terikat ke belakang tubuhnya, Mawarsih terkejut setangah mati karena tiba-tiba Brantoko merangkul dan menciumnya! Tentu saja ia meronta, memaki, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, tenaganya berkurang dan iapun tidak dapat menyerang dengan tendangan karena Brantoko memeluknya dengan ketat. Ia meronta-ronta dan terjadi pergulatan. Mawarsih tidak berteriak lagi karena akan sia-sia saja berteriak. Ia tahu bahwa ia telah ditipu, bahwa Brantoko bukan bermaksud menolong dan membebaskannya, melainkan menipunya sehingga kedua tangannya terbelenggu dan pemuda jahanam itu bermaksud keji dan mesum terhadap dirinya.

   Sedangkan kalau kedua tangannya bebaspun, ia hanya akan dapat melakukan perlawanan berimbang melawan Brantoko, apa lagi kini kedua tangannya terbelenggu. Tentu saja ia tidak berdaya dan biarpun ia meronta sekuat tenaga, ketika Brantoko mencengkeram, terdengar kain robek dan baju Mawarsih terbuka bagian dada sehingga nampak payudaranya telanjang. Brantoko menjadi semakin ganas. Nafsu berahinya telah membuatnya buta dan lupa segala, yang teringat hanya untuk memuaskan berahinya, dengan cara apapun juga. Dia berhasil membanting tubuh Mawarsih di atas pembaringan kayu di kamar tahanan itu. Mawarsih menendang-nendang akan tetap Brantoko dapat menekan kedua kakinya. Pada saat yang amat gawat bagi kehormatan Mawarsih itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan lantang,

   "Kebakaran! Kebakaran"""!!"

   Brantoko yang sedang diamuk berahi tentu tidak akan memperdulikan teriakan-teriakan itu kalau saja dia tidak melihat api telah membakar atap kamar itu! Sudah terasa hawa panasnya, dan di luar pintupun nampak api berkobar! Tentu saja dia terkejut bukan main dan dengan panik diapun melompat ke luar dari kamar itu untuk melihat apa yang telah terjadi. Ketika dia melompat keluar dan tiba di dekat pintu rumah, tiba-tiba saja benda keras menghantam kepalanya dari samping.

   Brantoko terpelanting dan tak sadarkan diri. Ternyata yang menghantamnya itu adalah sebuah kayu yang agaknya terjatuh dari atap. Ujung kayu itu masih membara, akan tetapi tidak bernyala. Sementara itu, melihat Brantoko meloncat keluar dan pintu jeruji kamar tahanan terbuka, juga melihat atap kamar itu terbakar, Mawarsih cepat meloncat turun dari pembaringan. Dengan baju masih terobek ia berlari keluar. Kedua tangannya terbelenggu ke belakang badan sehingga ia tidak dapat membereskan baju yang terbuka itu. Pada saat ia kebingungan karena mengira bahwa kalau ia berlari keluar dan dikepung penjaga, tentu ia tidak akan mampu melawan dengan kedua tangan terbelenggu, ia melihat seseorang meloncat keluar dari dalam, diikuti seorang lain.

   "Mawar""!"

   "Bapa"".!"

   Kiranya yang meloncat itu adalah Ki Sinduwening dan yang berada di belakangnya adalah Aji! Kini mengertilah Mawarsih. Kiranya Aji yang telah menolong dan menimbulkan kebakaran itu! Melihat baju puterinya robek sehingga nampak payudaranya, Ki Sinduwening cepat menanggalkan bajunya sendiri dan menutupi tubuh puterinya. Ketika Ki Sinduwening melepas belenggu pada kedua tangannya dan Mawarsih memandang kepada Aji, ia melihat pemuda itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menunduk.

   "Sudah selesai atau belum? Hayo cepat, kita harus cepat pergi dari sini""!"

   Katanya.

   Mawarsih tak dapat menahan senyumnya. Ia merasa lucu sekali, juga girang bukan main melihat bahwa Aji telah menolong ia dan ayahnya. Ki Sinduwening juga maklum bahwa mereka masih berada di rumah tahanan dan masih amat sukar untuk dapat meloloskan diri dengan selamat, maka diapun menoleh.

   "Anak mas, ke mana kita harus bersembunyi?"

   "Mari ikuti aku, kita pergi ke gudang di kandang kuda!"

   Katanya sambil berlari, bukan ke depan, melainkan ke lorong belakang di mana terdapat sebuah pintu kecil yang tergembok. Pintu ini pun terbuat dari pada besi yang kokoh.

   "Aduh, celaka. Pintu di sini tergembok. Tidak ada jalan keluar lain kecuali ini. Melalui pintu depan tidak mungkin, apa lagi terhalang api."

   Kata Aji yang nampak gugup.

   "Minggirlah!"

   Kata Ki Sinduwening yang kemudian berkata kepada puterinya.

   "Mari kita terjang bersama!"

   Mawarsih yang kini tidak perpura-pura menjadi pria lagi karena tadi sudh nampak oleh Aji bahwa ia seorang wanita, mengangguk. Ayah dan anak ini mengerahkan aji kesaktian mereka,

   menahan napas lalu atas isarat Ki Sinduwening, mereka berdua menerjang pintu dengan tendangan dan dorongan kedua tangan mereka.

   "Brakkk!"

   Daun pintu jebol pada engselnya dan rebah. Aji bertepuk tangan gembira dan terbelalak kagum.

   "Hebat! Bukan main! Andika seperti dewa saja"..!"

   "Ssttt, sudahlah, mari kita lari!"

   Kata Ki Sinduwening. Ayah dan anak itu terbelalak melihat betapa yang terbakar bukan hanya rumah tahanan, melainkan di banyak bagian dari istana kadipaten itu!

   "Andika yang hebat!"

   Kata Ki Sinduwening.

   "Dapat melakukan pembakaran begini banyak dan keadaan menjadi kacau balau!"

   "Mari, ikuti aku! Kata Aji yang segera mengambil jalan menyusup-nyusup. Dia mengenal betul keadaan di situ dan tiga orang itu kadang berhenti bersembunyi dan melihat betapa keadaan amat kacau. Para perajurit penjaga lari ke sana sini, mencoba untuk memadamkan kebakaran yang terjadi di banyak tempat. Setidaknya ada lima tempat yang terbakar, di bangunan setiap sudut sehingga para perajurit itupun berpencaran.

   "Mari cepat!"

   Kata Aji yang berlari lagi. Akan tetapi ketika ayah dan anak itu mengerahkan tenaga, dia tertinggal jauh dan diapun berteriak-teriak.

   "Heii, eh-eh, jangan terlalu capat""!"

   Dia mengejar dan terengah-engah.

   "Mari cepat, aku sudah tahu jalannya!"

   Kata Mawarsih dan dengan cepat iapun menyambar tangan kiri Aji dan ditariknya agar berlari cepat.

   "Wah, aduhh"..ah, jangan seret-seret begini, aku bisa jatuh!"

   Teriak, tersaruk-saruk.

   Ki Sinduwening yang merasa khawatir kalau mereka ketahuan para penjaga, menyambar tangan kanan Aji dan kini ayah dan anak itu memegang kedua tangan Aji dan membawanya lari cepat sehingga tubuh Aji terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah! Dia berteriakteriak ketakutan, akan tetapi suaranya lirih karena diapun takut kalau ketahuan orang lain. Karena Ki Siduwening dan Mawarsih mempergunakan Ilmu Tunggal Maruta (Manunggal Angin) yang membuat gerakan mereka ketika berlari cepat sekali, sebentar saja mereka tiba di bagian kandang kuda. Benar saja, semua abdi sudah lari meninggalkan tempat yang tidak terbakar itu, untuk membantu memadamkan api atau setidaknya menonton kebakaran.

   "Ke sini, ke dalam lumbung penyimpanan jerami!"

   Kata Aji yang sudah diturunkan. Pemuda itu lari ke gudang di bagian paling belakang dan kedua orang pelarian itu mengikutinya.

   "Nah, andika berdua bersembunyi dulu di sini. Tempat ini aman, tidak pernah ada orang masuk. Kalau ada orang yang masuk, andika berdua cepat menyusup ke dalam tumpukan jerami itu, tentu tidak akan nampak dan siapa menyangka ada orang bersembunyi di dalam tumpukan jerami?"

   Aji tersenyum.

   "Ha-ha, engkau pandai sekali orang muda. Memang hanya tikus saja yang bersembunyi di situ,"

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Ki Sinduwening sambil menunjuk ke arah tumpukan jerami yang seperti bukit kecil.

   "Kami berdua berhutang budi kepadamu. Andika telah menempuh bahaya, membakari semua itu untuk membebaskan kami""."

   "Ssstttt, cepat andika berdua bersembunyi dan tutup pintunya. Kalau ada suara orang di luar dan akan masuk, andika tinggal menyusup ke dalam tumpukan jerami. Saya harus cepat membantu usaha memadamkan kebakaran!"

   Setelah berkata demikian, Aji berlari keluar. Setelah menutupkan pintu gudang itu Mawarsih merangkul ayahnya.

   "Bapa, sukur kita dapat bertemu dalam keadaan selamat."

   "Alhamdulillah, semoga Allah akan melindungi kita sampai dapat lolos keluar dari tempat ini, Mawar. Akan tetapi, bagaimanakah engkau sampai dapat berada di sini pula dan menjadi tawanan? Bukankah engkau sudah berhasil lolos dan kabarnya engkau sudah dibantu oleh seorang yang berkedok hitam? Siapakah dia?"

   "Panjang ceritanya, bapa."

   Mawarsih lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa dengan bantuan Aji perawat kuda, ia berhasil masuk dan sebelum dapat membebaskan ayahnya, telah ketahuan dan nyaris tertawan kalau saja, tidak diselamatkan si kedok hitam.

   "Akan tetapi siapakah Aji perawat kuda itu?"

   Tanya Ki Sinduwening, merasa heran mendengar bahwa puterinya mendapat pertolongan banyak orang. Mawarsih tersenyum.

   "Bapa ingin mengetahui siapa Aji perawat kuda? Dia adalah pemuda tadi."

   Ki Sinduwening terbelalak.

   "Dia? Dia perawat kuda bernama Aji? Pantas dia tidak digdaya, akan tetapi keberaniannya luar biasa dan dia cerdik sekali. Dia melakukan pembakaran-pembakaran untuk mengacaukan keadaan dan berhasil pula membuka pintu jeruji kamar tahanan di mana aku dikeram. Dia yang memberi tahu bahwa engkau dikeram di kamar tahanan lain itu. Akan tetapi, kenapa dia perawat kuda kadipaten Ponorogo membantuku, membantu kita?"

   "Dia memang abdi di sini, akan tetapi dia seorang yang baik, bapa. Dan sebetulnya aku sudah mengenal dia jauh sebelum ini, ketika kita masih tinggal di Sintren, di lereng Gunung Lawu."

   "Ehhh?"

   Tentu saja ayahnya terkejut dan heran.

   "Bapa masih ingat Bayu, anak laki-laki penggembala kerbau milik lurah Pancot itu?"

   Ki Sinduwening mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu mengangguk.

   "Ah, bocah yang tampan dan pandai meniup suling itu?"

   "Benar, ternyata bapa masih mengingatnya!"

   Mawarsih gembira mendengar ini.

   "Nah, Bayu yang memperkenalkan aku kepada""

   Kakang Banuaji. Dia masih keponakan lurah Pancot."

   "Dan dia menjadi abdi di sini, tukang merawat kuda?"

   "Benar, bapa. Malah ketika aku meninggalkan Mataram untuk menyusul dan mencarimu di dusun Muncang aku bertemu lagi dengan dia. Akan tetapi karena aku menyamar sebagai Joko Lawu, aku tidak memperkenalkan diri. Dan ternyata diapun masih keponakan isteri lurah Muncang. Dan yang terakhir kalinya aku bertemu dengan dia di sini, ketika dia menggiring kuda di luar kota kadipaten Ponorogo."

   "Hemm, agak aneh. Keponakan dua orang lurah menjadi abdi perawat kuda di kadipaten Ponorogo. Yang lebih aneh lagi, perawat kuda berani mempertaruhkan nyawanya membebaskan kita berdua. Akan tetapi, siapakah si kedok hitam yang telah menolongmu itu?"

   "Aku tidak tahu, akan tetapi dia memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bapa. Sudah dua kali dia menyelamatkan aku, akan tetapi tidak pernah mau memperkenalkan diri."

   Setelah keduanya termangu sebentar, kecewa karena si kedok itu tidak mereka ketahui siapa orangnya, bahkan mendugapun tidak dapat, Mawarsih bertanya,

   "Akan tetapi mengapa bapa menghadap Sang Adipati Ponorogo sehingga akhirnya bujukan bapa tidak dituruti sebaliknya bapa ditangkap dan ditahan?"

   Mendengar pertanyaan ini Ki Sinduwening menghela napas. Dia sudah menanti-nanti pertanyaan itu, bukan saja dari anaknya sendiri, bahkan tentu Sang Prabu Hanyokrowati akan menanyakan hal yang sama. Dan untuk itu, dia sudah mempersiapkan jawaban seadanya.

   "Anakku, nini Mawarsih. Engkau tentu tahu bahwa bapamu ini adalah kawula Mataram yang setia, apa lagi pernah membantu mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati yang arif bijaksana. Aku yakin bahwa kalau sekarang beliau masih hidup, beliau akan prihatin sekali menyaksikan kedua orang putera beliau, yaitu Sang Prabu Hanyokrowati dan Pangeran Jayaraga yang menjadi adipati Ponorogo, berhadapan sebagai musuh. Kerena itulah, demi mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati, apa lagi karena aku mengenal baik Pangeran Jayaraga, aku mencoba untuk mendamaikan, untuk membujuk agar Adipati Ponorogo tidak melanjutkan pemberontakannya. Akan tetapi aku ditangkap, dan itu sudah resikonya. Aku bertanggungjawab dan siap menerima hukuman andaikata nanti Sang Prabu Hanyokrowati akan menyalahkan aku."

   "Akan tetapi bapa tidak berkhianat, bapa berniat baik untuk mendamaikan keturunan Sang Prabu Panembahan Senopati! Bapa dibujuk untuk membantu Ponorogo juga selalu menolak. Hal ini diketahui oleh semua anak buah bapa, dan tentu Sang Prabu di Mataram sudah mendengar laporannya pula. Aku yakin beliau tidak akan menyalahkan bapa."

   "Mudah-mudahan begitu"".. ssttt, ada orang datang. Mari"".!"

   Ki Sinduwening menarik tangan puterinya dan merekapun menyusup ka dalam tumpukan jerami.

   Ternyata di situ sudah dipersiapkan oleh Aji sehingga di dalam bukit jerami itu terdapat ruangan kosong. Mereka masuk dan menutupi tubuh mereka dengan jerami. Dari celah-celah jerami mereka dapat mengintai ke dalam gudang itu dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang. Tadinya mereka mengira Aji yang datang, akan tetapi mereka menjadi khawatir sekali ketika mereka mendengar Aji berteriak ketakutan,

   "Saya tidak tahu""". sungguh saya tidak tahu dan tidak melihatnya"".."

   Lalu terdengar Aji mengaduh mengiringi suara pukulan berdebuk.

   "Hayo masuk! Awas kalau tidak mengaku, engkau akan kubakar hidup-hidup!"

   Terdengar suara orang menghardik dan dua orang dalam tumpukan jerami itu mengenal suara Bantoko.

   Pintu gudang terbuka dan nampak cahaya obor yang dibawa seorang perajurit. Kemudian nampak Aji didorong masuk. Pemuda itu jatuh tersungkur di atas lantai gudang, di mana terdapat jerami berserakan. Kemudian nampak Brantoko masuk, wajahnya yang tertimpa sinar obor nampak beringas, matanya jelalatan penuh kemarahan. Dahinya benjol dan masih terdapat tanda bekas darah. Agaknya dia terluka. Enam orang perajurit ikut masuk pula, masing-masing dengan golok di tangan. Semua berikut Brantoko dan si pemegang obor, ada delapan orang yang menyeret dan mendorong Aji.

   "Sungguh, Raden. Saya tidak tahu apa-apa tentang kebakaran itu, dan saya tidak melihat siapapun"""

   Aji meratap, bajunya robek-robek dan mukanya biru bengkak-bengkak. Agaknya di luar tadi dia sudah dipukuli.

   "Tidak usah bohong! Ada abdi yang melihatmu menyelinap keluar. Engkau tidak berada di kamarmu ketika kebakaran terjadi. Tentu engkau mata-mata, engkau tentu tahu apa yang terjadi dan di mana kedua orang pelarian itu! Hayo katakan atau kau akan kubakar hidup-hidup!"

   Tangan kanan Brantoko menyambar.

   "Bukkk!"

   Dan tubuh Aji terjengkang. Dia mengaduh-aduh.

   "Akan kupatahkan kaki tanganmu, kucolok keluar biji matamu kalau engkau tidak mengaku!"

   Bentak Brantoko semakin geram.

   "Ti""

   Tidak tahu"". biar dibunuh sekalipun""

   Saya". saya tidak tahu apa-apa".."

   Aji mengeluh dan diam-diam, Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa terharu bukan main.

   Pemuda yang lemah itu rela mati dari pada membuka rahasia mereka! Biarpun lemah, ternyata Aji memiliki semangat baja dan keberanian melebihi seorang ksatria! Melihat betapa Brantoko sudah siap untuk menghajar lagi, Mawarsih tidak dapat menahan diri. Sejak semula ia memang sudah tertarik dan suka sekali, kagum kepada Aji, pemuda dusun yang sederhana dan lemah, akan tetapi berjiwa seniman itu.

   "Brantoko, jahanam busuk!"

   Bentaknya dan iapun menerjang keluar dari tumpukan jerami. Serangan yang dilakukan Mawarsih begitu tiba-tiba datangnya sehingga Brantoko terkejut dan dadanya kena diterjang kaki Mawarsih.

   "Desss"..!!"

   Tubuh Brantoko terjengkang, akan tetapi dia tidak terluka karena sudah melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan. Dia melompat dengan marah dan berteriak kepada para anak buahnya.

   "Tangkap dia!"

   Para perajurit itu juga mengenal Mawarsih sebagai Joko Lawu bekas tawanan mereka, maka mereka segera mengepung gadis itu dengan golok di tangan. Melihat ini, Ki Sinduwening jug melompat keluar dari tumpukan jerami.

   "Brantoko, bedebah keparat! Berani engkau kurang ajar di depanku?"

   Bentak Ki Sinduwening dengan suara menggelegar.

   Melihat munculnya orang tua ini, wajah Brantoko menjadi pucat dan dia meneriaki orang-orangnya untuk mengeroyok Ki Sinduwening kerena dia tentu saja gentar menghadapi uwa gurunya itu. Mengandalkan banyak orang dan mentaati perintah Brantoko, tujuh orang itu menyerang Ki Sinduwening dengan golok mereka setelah si pemegang obor menancapkan obornya di sudut ruangan. Ki Sinduwening mengamuk dengan tamparan dan tendangan kakinya. Brantoko sendiri menyerang Mawarsih yang disambut gadis itu dengan marah dan terjadilah perkelahian yang hebat di antara mereka.

   Akan tetapi, karena melihat anak buahnya jatuh bangun dihajar Ki Sinduwening, Brantoko menjadi gentar dan gugup sehingga dua kali diapun terjengkang oleh sambaran tangan dan kaki Mawarsih. Dia lalu melompat dan melarikan diri diikuti anak buahnya, bermaksud mencari balabantuan dari para perajurit yang masih sibuk memadamkan kebakaran. Karena mengkhawatirkan Aji yang tadi dihajar Brantoko, Mawarsih menghampiri pemuda itu yang masih terduduk dan belum bangun berdiri dan dari tepi mulut pemuda itu mengalir darah!

   "Kau""

   Kau terluka parah"".?"

   Mawarsih bertanya, lupa mengubah suaranya sehingga suara wanitanya keluar. Ia teringat akan tetapi tidak peduli karena bukankah Aji sudah melihat bahwa ia seorang wanita? Dan karena khawatir, kasihan dan terharu melihat pemuda yang rela mengorbankan diri untuk ia dan ayahnya, dipegangnya pundak pemuda itu dengan sentuhan mesra. Aji memandang, dan dengan menahan rasa nyeri dia bangkit.

   "Jangan perdulikan aku".. cepat".. cepat andika berdua pergi dari sini. Cepat, selagi ada kesempatan. Mari kutunjukakan jalannya"."

   Dan dengan terhuyung dia keluar dari gedung itu.

   Biarpun hatinya merasa khawatir dan kasihan sekali, Mawarsih tidak dapat berbuat lain kecuali menurut. Bersama ayahnya ia lalu lari mengikuti Aji yang sudah menyelinap keluar dan mengambil jalan memutar melalui belakang gudang yang menembus ke kebun yang gelap. Kebakaran masih belum dapat dipadamkan seluruhnya walau tidak sebesar tadi. Suasana masih panik dan sebelum dapat dikejar musuh, mereka sudah tiba di pagar tembok di mana tumbuh pohon yang pernah dijadikan jalan keluar oleh Mawarsih.

   "Cepat andika berdua keluar dari sini. Cepat sebelum mereka tiba!"

   Kata Aji.

   "Engkau keluar bersama kami, anakmas Banuaji!"

   Kata Ki Sinduwening yang sudah mengenal nama pemuda itu dari puterinya.

   "Tidak, aku tidak mungkin dapat melompati pagar tembok ini. Kalian pergilah, aku akan mencari jalan sendiri".."

   "Tidak aku tidak mau keluar dari sini kalau andika tidak ikut keluar bersama kami, kakang Aji! Aku tidak ingin melihat engkau mati mengorbankan nyawamu untukku!"

   Kata Mawarsih, suaranya mengandung keharuan.

   "Celaka, mereka datang! Ah, kenapa kalian tidak cepat pergi?"

   Kata Aji dan benar saja, Brantoko dan sedikitnya tiga puluh orang perajurit sudah tiba di situ dan langsung mengepung dan mengeroyok. Kembali Mawarsih dan Ki Sinduwening mengamuk, sedangkan Aji menyusup ke balik batang pohon seperti orang yang ketakutan. Ayah dan anak itu memang hebat. Biarpun dikeroyok puluhan orang, mereka tidak menjadi gentar, seperti dua ekor harimau yang dikeroyok puluhan ekor srigala.

   Para pengeroyok berpelantingan, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, apa lagi di situ ada Brantoko yang juga digdaya, dan dibantu oleh lima orang perwira yang memiliki ketangguhan yang lumayan, maka ayah dan anak itu mulai terdesak.

   Pada saat itu, terdengar seruan nyaring.

   "Paman dan diajeng, jangan takut, aku datang membantu kalian!"

   Tadinya Mawarsih mengharapkan si kedok hitam yang datang, akan tetapi ternyata yang melompat turun dari atas pohon dekat pagar tembok itu adalah Nurseta! Bagaimanapun juga, hatinya girang karena pemuda inipun digdaya dan dapat menjadi penolong yang baik. Dan Nurseta mengamuk dengan sebatang tombak. Sungguh hebat, begitu Nurseta datang menyerbu, para pengeroyok menjadi kacau balau dan akhirnya mereka itu, termasuk pula Brantoko, melarikan diri mundur seperti ketakutan!

   "Mari paman, diajeng, jangan membuang waktu, cepat kita lari melalui pohon ini sebelum mereka datang lebih banyak lagi."

   Kata Nurseta.

   Ayah dan anak itu meloncat ke atas pagar tembok melalui pohon, diikuti oleh Nurseta dan kerena memang sudah diatur sebelumnya, di luar tembok sudah tersedia tiga ekor kuda dan merekapun melarikan diri menunggang kuda dengan cepat. Karena tidak mendengar ada pengejaran, belum jauh mereka melarikan diri, Mawarsih menahan larinya kuda. Melihat ini, Ki Sinduwening dan Nurseta terpaksa menahan pula kuda mereka.

   "Kenapa berhenti, paman?"

   Tanya Nurseta heran.

   "Mawar yang menghentika kudanya."

   Kata Ki Sinduwening.

   "Mawar, ada apakah? Kenapa engkau menghentika kudamu?"

   "Bapa, bagaimana dengan kakang Aji? Dia masih tertinggal di sana"..!"

   Kata Mawarsih sambil menoleh ke belakang.

   "Tentu dia akan celaka""., bagaimana kita dapat pergi meninggalkan dia seorang diri terancam bahaya begitu saja? Bapa, aku harus kembali dan menolongnya!"

   Dalam saat itu juga menyelinap suatu pengertian dalam hati Ki Sinduwening.

   Perkiraannya keliru. Sebelum ini, dia selalu mengira bahwa puterinya itu telah menerima Nurseta di dalam hatinya, dan diapun setuju kalau puterinya berjodoh dengan Nurseta. Apa lagi sekarang terbukti bahwa Nurseta yang berhasil menyelamatkan mereka. Akan tetapi saat itu dia mengerti bahwa pilihan hati Mawarsih bukan Nurseta, melainkan Aji! Dan teringatlah akan keterangan anaknya bahwa Mawarsih sudah sejak lama mengenal Aji, ketika masih belum meninggalkan dusun Sintren.

   "Siapakah Aji?"

   Nurseta bertanya sambil mengerutkan alisnya. Dari namanya dia dapat menduga bahwa Aji tentu seorang pria dan dalam keadaan seperti itu, Mawarsih masih teringat kepada pria itu bahkan hendak kembali untuk menolongnya. Tentu saja hatinya terasa mangkel dan cemburu. Ki Sinduwening dapat menyelami penasaran yang terkandung dalam pertanyaan Nurseta itu, maka cepat dia menerangkan,

   "Raden Nurseta, yang bernama Aji adalah tukang merawat kuda di kadipaten dan dialah yang melepaskan kami dari tempat tahanan dengan membakar rumah tahanan."

   "Hemm, hanya seorang abdi tukang kuda, kenapa engkau ingin menempuh bahaya dan menolongnya, diajeng Mawarsih?"

   Nurseta bertanya dengan suara mengandung teguran.

   Seorang tukang kuda yang kotor sama sekali tidak berharga untuk mendapatkan perhatian seorang gadis seperti Mawarsih, apa lagi mendapatkan pembelaan dan perlindungannya. Mendengar ucapan yang nadanya mengejek itu, sepasang mata Mawarsih berkilat ketika dara itu memandang kepada Nurseta.

   "Kakangmas Nurseta, aku menilai seseorang bukan dari kedudukan atau kekayaannya, melainkan dari watak dan perbuatannya! Biarpun dia hanya seorang tukang pemelihara kuda, akan tetapi kakang Aji telah mengorbankan diri demi menyelamatkan aku dan bapa. Bagaimana mungkin sekarang aku harus membiar saja dia

   tertangkap dan disiksa sampai mati?"

   Biarpun cuaca lewat tengah malam itu remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit yang tak terhitung banyaknya, sehingga Nurseta tidak dapat melihat wajah yang merah dari Mawarsih dengan jelas, namun dia dapat menangkap kemarahan itu dalam suara gadis itu yang membuatnya tergila-gila ini, maka dia tidak dapat berkata-kata lagi. Ki Sinduwening merasakan suasana yang tidak enak itu dan diapun cepat menghibur anaknya.

   "Mawar sungguh tidak bijaksana kalau engkau harus kembali ke sana setelah dengan susah payah kita berhasil meloloskan diri."

   "Maaf, bapa. Lebih bijaksanakah kalau kita membiarkan penolong kita diancam bahaya, sedangkan kita melarikan diri mencari selamat, sama sekali tidak memperdulikan penolong kita?"

   "Bukan demikian maksudku, cahayu. Dlam segala hal, kita harus mempergunakan akal dan pertimbangan. Kalau kita nekat kembali ke sana untuk menolong Aji, hampir dapat dipastikan kita akan tertawan kembali. Berarti semua jerih payah kita sia-sia belaka. Aji tidak akan dapat kita tolong, bahkan kita sendiri kembali tertawan. Sebaliknya, kalau kita masih bebas, setiap saat kita dapat berusaha menolonnya, bukan nekat tanpa perhitungan mencelakakan diri sendiri. Selain itu, aku percaya bahwa seseorang yang cedik seperti Aji, tidak akan mudah tertangkap. Tadi ketika kita berdua dikeroyok, aku melihat Aji sudah lenyap entah ke mana. Tentu dia sudah dapat meloloskan diri pula."

   Setelah dibujuk-bujuk ayahnya, akhirnya Mawarsih terpaksa mau juga melanjutkan pelarian mereka. Memang iapun mengerti bahwa ia dan ayahnya berdua saja tidak akan mungkin dapat melawan pasukan di kadipaten Ponorogo. Kalau ia nekat, Aji tidak akan tertolong, bahkan ia dan ayahnya akan tertangkap kembali. Membayangkan perlakuan Brantoko kepadanya, ia merasa ngeri juga. Akan tetapi, teringat kepada Aji, tak terasa lagi air matanya berlinang. Aji bukan saja telah membebaskan ia dan ayahnya, akan tetapi lebih dari pada itu, Aji telah menyelamatkannya dari bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut, yaitu ketika ia nyaris diperkosa oleh Brantoko.

   "Kakang Aji".."

   Ia mengeluh ketika terkenang kepada pemuda itu, mengenangkan pemuda itu disiksa dan dipukuli Brantoko yang memaksanya mengaku di mana adanya kedua orang pelarian. Namun, Aji tetap membungkam. Pemuda yang lemah dan lembut itu agaknya rela disiksa sampai mati dari pada harus mengaku tempat persembunyian Mawarsih dan ayahnya. Menjelang pagi, mereka tiba di luar dusun Beledug, di kaki Gunung Lawu sebelah timur. Karena kuda yang mereka tunggangi sudah kelelahan, juga mereka sendiri merasa lelah, mereka menghentikan kuda, dan beristirahat di luar dusun.

   Tempat itu masih termasuk wilayah Ponorogo, maka Sinduwening menasihatkan agar mereka mengaso di luar dusun saja. Tempat itu sunyi, merupakan daerah persawahan dan kebetulan di dekat jalan terdapat sebuah gubuk di mana petani berjaga di siang hari sambil mengusir burung dari sawah mereka. Mereka bertiga duduk bersila dan beristirahat di tempat itu, menanti datangnya fajar. Dalam kesempatan ini, mereka baru bercakap-cakap.

   "Raden Nurseta, terima kasih atas pertolonganmu. Entah bagaimana nasib kami tadi kalau andika tidak datang menolong."

   Kata Ki Sinduwening.

   "Kami ayah dan anak sungguh berhutang budi kepada andika, budi yang bertumpuk-tumpuk. Pertama kali kita saling bertemu, andika sudah menolong kami dari pengeroyokan Ki Danusengoro dan anak buahnya, kemudian andika yang menolong kami sehingga memperoleh kedudukan di Mataram. Setelah itu tadi, kembali andika menyelamatkan kami dari pengeroyokan orang-orang Ponorogo. Entah bagaimana kami akan dapat membalas budi andika, Raden Nurseta"

   Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar ucapan Ki Sinduwening itu. Untung baginya bahwa cuaca masih remang-remang sehingga ayah dan anak itu tidak melihat betapa wajahnya berseri dan matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum penuh kebanggaan. Akan tetapi, dia segera merendahkan diri.

   "Ah, Paman Sinduwening, kenapa paman bersikap sungkan? Sudah menjadi kewajibanku untuk membela paman dan diajeng Mawarsih."

   "Kakangmas Nurseta, bagaimana kakangmas dapat tiba-tiba muncul dan menolong kami?"

   Tiba-tiba Mawarsih bertanya dan di dalam hatinya, walaupun ia bersyukur bahwa ia dan ayahtertolong, tetap saja merasa kecewa mengapa bukan Si Kedok hitam yang menolong ia dan ayahnya. Mendengar pertanyaan Mawarsih ini, Nurseta agak tertegun. Memang peristiwa yang terjadi itu agak membingungkan dia karena tidak sesuai dengan rencana yang telah diaturnya bersama Mayaresmi. Menurut rencana itu, dia yang akan menolong ayah dan anak itu keluar dari tempat tahanan, dan para penjaga sudah diberitahu agar membiarkan dia membebaskan mereka. Akan tetapi, baru saja dia tiba di dalam pagar tembok, dia melihat betapa ayah dan anak itu sudah keluar dari tempat tahanan dan dikeroyok oleh Brantoko dan anak buahnya.

   Tentu saja dia merasa bingung, akan tetapi karena tugasnya memang meloloskan ayah dan anak itu, dia lalu menyerbu. Dan agaknya Brantoko dan anak buahnya mengalah dan mengundurkan diri bahkan ketika dia mengajak ayah dan anak itu melarikan diri, tidak terjadi pengejaran. Kemudian menurut yang dia dengar dari Mawarsih tadi, ayah dan anak itu dibebaskan oleh tukang kuda bernama Aji yang membakar tempat tahanan. Tentu saja dia tidak tahu bahwa perubahan itu terjadi gara-gara ulah Brantoko yang mempunyai niat yang mesum terdapat Mawarsih, hendak memperkosa gadis itu sebelum dibebaskan oleh Nurseta seperti direncanakan.

   "Akupun ingin sekali mengetahui bagaimana andika dapat muncul dan menyelamatkan kami dalam saat yang gawat tadi, Raden Nurseta?"

   Tanya Ki Sinduwening yang melihat pemuda itu seperti termenung dan belum menjawab pertanyaan puterinya. Nurseta menghela napas untuk menenangkan hatinya dan dia telah siap dengan jawabannya.

   "Begini, paman dan diajeng Mawarsih. Berita tentang ditawannya Paman Sinduwening telah terdengar sampai ke Mataram. Oleh karena itu, Sang Prabu lalu mengutus aku untuk membawa pasukan dengan tugas menyusul ke Ponorogo dan membebaskan paman dari tahanan. Dan beruntunglah aku dapat tiba tepat pada saatnya sehingga dapat membantu paman berdua dari pengeroyokan orang Ponorogo."

   "Akan tetapi kenapa engkau muncul seorang diri saja, kakangmas? Mana pasukanmu?"

   "Pasukanku menanti di perbatasan, tak jauh dari sini, diajeng. Aku sengaja memasuki Ponorogo seorang diri saja agar lebih leluasa bergerak. Tentu saja aku sudah berhubungan dengan Pak Jiyo di warungnya dan dari dialah aku mendengar bahwa engkaupun tertawan pula. Nah, malam tadi aku berhasil menyusup di kadipaten, akan tetapi sebelum aku pergi ke tempat tahanan, telah lebih dahulu melihat andika berdua dikeroyok. Bagaimana andika berdua dapat keluar dari tempat tahanan, paman? Bagaimana pula tukang kuda bernama Aji itu dapat membebaskan paman dan diajeng Mawarsih?"

   Melihat puterinya hanya menunduk dan tidak menjawab pertanyaan Nurseta, Ki Sinduwening lalu mewakili anaknya menjawab.

   "Dia seorang pemuda dusun yang baik sekali, Raden. Walaupun dia lemah dan hanya menjadi seorang tukang kuda di Ponorogo, namun dia telah berani mempertaruhkan nyawanya untuk membebaskan dan menyembunyikan kami berdua."

   Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Akan tetapi, paman. Kalau pemuda lemah, bagaimana mungkin dia mampu membebaskan andika berdua?"

   Nurseta sudah merasa tidak senang mendengar bahwa tukang kuda bernama Aji yang telah menolong mereka itu ternyata seorang pemuda!

   "Apa lagi dia seorang hamba atau abdi Ponorogo, bagaimana dia berani membebaskan paman?"

   "Agaknya dia mengabdi di Ponorogo hanya untuk mencari makan, Raden. Dan mungkin saja dia merasa kasihan kepada kami berdua, maka dia membebaskan kami."

   "Tapi bagaimana caranya, kalau dia seorang lemah?"

   "Dengan kecerdikannya. Ketika itu, kami sudah merasa tidak berdaya. Tiba-tiba terjadi kebakaran di rumah tahanan itu dan selagi para penjaga sibuk memadamkan api, dia menyusup masuk, membuka pintu kamar tahananku, dan membebaskan aku. Kemudian kami membebaskan Mawarsih"""

   Ki Sinduwening menahan diri untuk tidak menceritakan keadaan puterinya ketika ditolongnya, yaitu betapa puterinya itu dalam keadaan hampir telanjang dan nyaris diperkosa Brantoko.

   "Kemudian, Aji membawa kami berdua melarikan diri. Dia mengenal keadaan di sana sehingga kami berhasil sampai dekat tembok pagar yang ada pohonnya itu. Akan tetapi, muncul Brantoko dan anak buahnya, dan kami dikeroyok sampai andika muncul menolong kami, Raden."

   "Dan di mana tukang kuda itu?"

   "Entah, dia sudah melarikan diri entah ke mana, mudah-mudahan dia tidak akan tertangkap oleh pasukan Ponorogo."

   Kata Ki Sinduwening.

   Diam-diam Mawarsih merasa gelisah sekali membayangkan keselamatan Aji. Bagaimana mungkin Aji dapat meloloskan diri? Meloloskan diri? Melompati pagar tembok saja tidak mampu. Fajar telah menyingsing. Mataharinya sendiri belum menampakkan diri, akan tetapi cahayanya telah membakar ufuk timur dan keremangan malam mulai tersapu bersih sedikit demi sedikit. Burung-burung mulai berkicau dan dari sana sini terdengar keruyuk ayam saling sahutan.

   "Kukira sebaiknya kalau kita melanjutkan perjalanan. Anak buahku berada di sebelah barat dusun Beledug, di perbatasan."

   Kata Nurseta. Mereka bertiga bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi sebelum mereka menunggang kuda, nampak serombongan orang keluar dari pintu dusun, menghampiri mereka. Jumlah mereka ada belasan orang dan dari pakaian dan sikap mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan warok, jagoanjagoan di Ponorogo. Kalau Nurseta dan Ki Sinduwening memandang dengan penuh perhatian, bertanya-tanya siapa mereka itu dan apa maunya, tidak demikian dengan Mawarsih yang masih berpakaian pria sebagai Joko Lawu. Ia mengenal orang yang berjalan di depan rombongan itu.

   Ganjur, warok muda bertubuh raksasa berkulit hitam yang pernah ribut dan berkelahi dengannya ketika ia menghadiri pesta tayuban yang diadakan di rumah lurah dusun Muncang. Persekutuan antara Nurseta dan Mayaresmi, yang membuat dia berkhianat terhadap Mataram dan diam-diam membantu Ponorogo, merupakan suatu hal yang tentu saja dirahasiakan, karena Nurseta hendak membantu Ponorogo secara diam-diam, dan menjadi mata-mata yang dapat mengetahui segala langkah yang akan diambil Mataram untuk disampaikan ke kadipaten Ponorogo. Oleh karena itu, maka kecuali para pejabat penting di Ponorogo, tidak ada orang lain yang mengetahuinya.

   Demikian pula rombongan yang agaknya dipimpin oleh Ganjur itu tidak mengetahui bahwa satu di antara tiga orang itu adalah seorang mata-mata kadipaten Ponorogo. Dari seorang di dusun Beledug yang kebetulan malam tadi lewat di situ, Ganjur mendengar bahwa di luar dusun terdapat tiga orang yang tidur di gubuk sawah dan mereka mempunyai tiga ekor kuda yang baik. Hal ini tentu saja menimbulkan kecurigaan. Dusun Beledug merupakan dusun dekat perbatasan, dan setiap orang yang mencurigakan patut diselidiki, kalau-kalau orang itu merupakan pihak musuh yang membahayakan.

   Maka, pagi-pagi sekali Ganjur membawa belasan orang kawannya, semua merupakan jagoan-jagoan dari perguruannya, untuk melakukan pemeriksaan. Kebetulan sekali pada saat itu, Warok Wirobandot, guru mereka yang tinggal di Pacitan, sedang berkunjung di Beledug, maka guru inipun ikut pula dalam rombongan itu untuk melihat siapa adanya tiga orang yang mencurigakan itu, yang tidak mau melewatkan malam di dalam dusun, melainkan di dalam gubuk sawah. Setelah tiga belas orang itu tiba dekat, Ganjur segera mengenal Joko Lawu.

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Wajahnya berubah merah dan matanya terbelalak, mulutnya menyeringai. Terkenanglah pengalamannya di tempat tayuban, ketika dia dihajar dan dihina oleh pemuda tampan itu.

   "Ha-ha-ha, kiranya engkau, Joko Lawu! Bagus, sekaranglah saatnya aku membalas dendam atas penghinaanmu tempo hari!"

   Dia menoleh kepada seorang pria setengah tua yang berada di sebelah kanannya.

   "Bapa guru, inilah pemuda yang pernah menghina kami di tempat tayuban, di dusun Muncang."

   Cuaca sudah mulai terang dan melihat orang yang disebut bapak guru oleh raksasa hitam itu, Ki Sinduwening memandang penuh perhatian. Orang itu berusia lima puluhan tahun, gendut pendek berkepala botak, dengan ikat pinggang lawe berwarna hitam.

   

Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bunga Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini