Ceritasilat Novel Online

Ratna Wulan 3


Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Serbu!"

   Tangannya menuding kearah Ratna Wulan. Anak buahnya lalu mencabut golok masing-masing karena untuk menghadapi dara perkasa itu dengan tangan kosong, mereka takut kalau mereka pun akan mengalami nasib seperti pemimpin mereka. Kemudian, sambil bersorak-sorak mereka menyerbu dan menyerang Ratna Wulan dari segala jurusan. Golok mereka yang tiap hari diasah itu berkilap-kilap terkena cahaya matahari dan diacungkan dengan sikap mengancam. Akan tetapi Ratna Wulan tetap tenang dan sepasang matanya mengerling ke kanan kiri, sikapnya waspada sekali. Sebelum lawan-lawannya bergerakia telah mendahului mereka sambil berseru nyaring.

   "Awas! Terimalah pembagian hadiah dari Ratna Wulan!"

   Seruan yang nyaring dan keras itu membuat para perampok itu untuk sedetik menahan gerakan mereka dan memandang dengan penuh perhatian.Akan tetapi, tiba-tiba tubuh gadis ditengah-tengah itu lenyap, berubah menjadi sinar yang menyambar-nyambar mereka. Demikian cepatnya gerakan kaki tangan Ratna Wulan dan luar biasa pula terjangannya sehingga sukarlah mengikuti gerakan tubuhnya dengan mata. Segera terdengar jerit kesakitan susul-menyusul dan robohlah para perampok itu malang-melintang dan tumpang tindih. Inilah Ilmu Pukulan Liman Bramantya (GajahMengamuk Marah) yang dimainkan oleh Ratna Wulan dengan baik sekali. Tentu saja para perampok yang hanya terdiri mengandalkan tenaga otot itu tak dapat bertahan menghadapi ilmu pukulan yang hebat ini.

   Mereka itu biasanya berkelahi mempergunakan tenaga, tanpa disertai kecerdikan otak. Sebentar saja dua belas orang itut telah rebah mengaduh-aduh, ada yang benjol-benjol kepalanya, bocor hidung dan mulutnya, biru hitam matanya, bahkan ada pula yang patah-patah tulangnya. Singa Pragalba sendiri untuk kedua kalinya terbanting sehingga kini pada jidatnya, tepat di tengah atas alisnya, nampak kulitnya benjol sebesar telur bebek yang berwarna biru. Semua perampok merangkak dan menjauhkan diri dari dara perkasa itu yang mereka anggap telah mempergunakan ilmu sihir sehingga mereka menjadi ketakutan tidak berani maju lagi. Akan tetapi Singa Pragalba tidak mau menyerah begitu saja. Ia melompat bangun lagidan sambil menuding kepada Ratna Wulan yang masih berdiri tersenyum-senyum sambil bertolak pinggang, ia berkata keras.

   "Perawan keparat! Kau telah mengandalkan ilmu sihir untuk melawan kami. Kalau kau memang keturunan pendekar dan bukan seorang pengecut, pergunakan cara perkelahian yang jujur. Atau, kau tentu takut melawan aku tanpa mempergunakan ilmu sihirmu?"

   Ratna Wulan tersenyum mengejek.

   "Pembalasanku tadi sebenarnya masih terlampau lunak, mengingat bahwa kalian hanyalah orang-orang kasar yang tak berotak, maka aku masih memberi ampun. Akan tetapi, tidak tahunya kau benar-benar seorang yang bermartabat rendah. Kau ingin berkelahi? Baik, baik! Memang dosamu telah terlalu banyak maka kau perlu mendapat hajaran yang lebih berat. Nah, bagaimana kau mau berkelahi? Menggunakan senjata atau bagaimana? Aku siap sedia menghadapimu dan jangan takut, aku takkan menggunakan ilmu sihir."

   Para anak buah Singa Pragalba maju mendekat lagi untuk menyaksikan perkelahian ini. Mereka mengharapkan agar pemimpin mereka akan dapat membekuk perawan yang telah membuat mereka merasa sakit-sakit seluruh tubuh itu, agar mereka dapat pula membalas dendam.

   "Tak perlu aku mempergunakan senjata-senjata."

   Jawab Singa Pragalba.

   "cukup dengan kedua tangan ini. Rasakan pukulan!"

   Sambil berkata demikian, kepala rampok itu menyerbu sambil mengirim pukulan sebesar buah kelapa itu ke arah dada Ratna Wulan!

   "Hm, tak tahu malu!"

   Seru Ratna Wulan yang merasa marah sekali sambil menggeser kakinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga pukulan itu mengenai angin.

   "Lihat aku tidak mempergunaan kecepatan dan ilmu berkelahi yang baik!"

   Singa Pragalba menjadi penasaran sekali dan kembali ia menyerang. Tingkahnya seperti seekor babi hutan yang menyeruduk saja, mengandalkan tenaga yang besar. Pukulan tangannya ini dengan mudah menghancukan sebutir kepala, maka kalau seandainya pukulannya itu mengenai tubuh Ratna Wulan, akan celakalah dara itu. Akan tetapi serangan Singa Pragalba bukan merupakan apa-apa bagi Ratna Wulan dan sampai lima kali ia dapat mengelak dengan amat mudahnya.

   "Tangkislah pukulanku! "Teriak Singa Pragalba dengan amat marah dan penasaran.

   "Tangkislah kalau kau berani!"

   Bibir Ratna Wulan yang tersenyum itu mengeras. Orang ini benar-benar tak tahu diri. Memang, siapakah yang takkan merasa penasaran? Menghadapi seorang remaja puteri yang mulai dewasa, seorang gadis yang berpinggang ramping dan bertubuh kecil lemah itu, masa seorang kepala perampok yang terkenal sampai kalah dan dipermainkan? Hampir gila karena marahnya Singa Pragalba memikirkan hal ini. Sementara itu a menyerang terus dengan pukulan bertubi-tubi sungguhpun pukulannya selalu mengenai angin, jangan kata dapat menyeramkan kulit tubuh lawannya, menyentuh ujung kembennyapun tak pernah!

   "Kau ingin merasakan tangkisanku? Nah, rasakanlah!"

   Sambil berkata demikian, Ratna Wulan miringkan tubuhnya dan dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan,ia membabat kearah pergelangan tangan Singa Pragalba.

   "Dukk!"

   Terdengar suara ketika pergelangan lengan yang besar itu ditumbuk oleh tangan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus.

   Kalau tidak melihat sendiri, para perampok itu tentu takkan melihat pemimpin mereka berlutut sambil memegangi tangannya, lalu menjerit-jerit kesakitan. Pergelangan tangan kirinya yang dipakai memukul tadi telah lumpuh karena tulangnya retak! Namun, kepala rampok ini benar-benar bendel dan tidak mau menyerah dengan mudah. Tiba-tiba ia melompat dan tangan kanannya yang tidak terluka itu diulur merupakan cangkeraman yang menyerang pundak Ratna Wulan, agaknya ia hendak mencekik leher gadis itu. Ratna Wulan terkejut dan menangkis kilat tangan kanan Singa Pragalba menangkap tangan gadis itu dan dengan geraman liar ia membetot tangan Ratna Wulan hendak memeluk tubuh dara perkasa itu. Akan tetapi, secepat kilat tangan kanan Singa Pragalba menangkap tangan gadis itu dan dengan geraman liar ia membentot tangan Ratna Wulan hendak memeluk tubuh dara perkasa itu.

   Akan tetapi, selagi para anak buah perampok merasa girang, tiba-tiba terjadilah hal yang aneh sekali. Entah bagaimana dara perkasa itu bergerak karena tahu-tahu tubuh Singa Pragalba yang tinggi besar itu mencelat dan terlempar jauh, jatuh di bawah sebatang pohon. Kebetulan sekali di bawah pohon itu terdapat teletong (tai lembu) yang hitam dan masih empuk, bergunduk seperti bukit kecil. Tubuh Singa Pragalba jatuh dengan muka lebih dulu, tempat diatas teletong itu sehingga mukanya masukke dalam tai lembu itu. Kini menggigilah tubuh para perampok itu dan mereka tidak merasa lucu ketika melihat betapa Singa Pragalba merangkak-rangkak bangun sambil membersihkan mukanya dari tai lembu dan terdengar ia merintih-rintih kesakitan.

   "Nah, biarlah hukuman ini merupakan pelajaran bagi kalian!"

   Kata Ratna Wulan.

   "Dan lain kali janganlah kalian memandang rendah kaum wanita! Kalau aku mendengar lagi tentang kekurangajaranmu terhadap wanita, awaslah! Ratna Wulan akan datang dan menghabiskan nyawa kalian!"

   Setelah berkata demikian, sekali ia berkelebat dengan mengeluarkan Aji Kesaktian Marga Kenaka (Kijang Emas), tubuhnya melompat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon, sehingga para perampok itu saling pandang dengan mata terbelalak dan mulut melongo, akhirnya mereka berlutut dan menyembah oleh karena mereka menduga bahwa gadis itu tentulah sebangsa peri dari kahyangan.

   Menjelang senjakala, sampailah Ratna Wulan di hutan randu dikaki Mahameru sebelah timur itu. Hutan ini besar dan memang di situ tumbuh banyak sekali pohon-pohon randu alas di samping pohon-pohon raksasa lain. Dari luar, hutan itu nampak angker sekali,sehingga tidak sembarang orang berani memasukinya. Kadang-kadang terdengar auman harimau dan salak anjing serigala yang melolong-lolong mendirikan bulu tengkuk. Tanpa ragu sedikitpun juga, Ratna Wulan memasuki hutan itu dan menuju ke tengah. Karena hutan itu amat rangkut (penuh tetumbuhan), maka kalau di luar hutan masih senja, di dalam hutan itu telah gelap sekali. Cahaya matahari siang sudah lemah itu hanya sedikit saja dapat menembus celah-celah daun pohon.

   Tiba-tiba Ratna Wulan menahan langkahnya. Telinganya yang terlatih dan mempunyai tenaga yang lebih kuat daripada telinga orang biasa itu dapat mendengar suara orang-orang dari jauh yang hanya terdengar sebagai bisik-bisik saja diseling suara ketawa. Bagi orang lain, tentu suara itu akan d isangka suara jin dan setan penghuninya hutan liar akan tetapi Ratna Wulan maklum bahwa itu adalah suara orang-orang bercakap-cakap yang menggema di dalam hutan. Ia lalu mengarahkan langkahnya ke jurusan suara-suara itu mendatang. Tak lama kemudian tampaklah olehnya sinar terang dan ternyata bahwa di tempat terbuka karena pohon-pohonan agaknya telah di tebang, terdapat tiga unggun api besar bernyala-nyala dan di sekitar api itu terdapat banyak orang laki-laki. Ada yang bercakap-cakap, ada yang bersendau gurau, bahkan ada yang sedang memanggang daging binatang hutan.

   "Hm, inilah mereka!"

   Kata Ratna Wulan dalam hatinya dan tanpa takut sedikitpun ia melangkah maju dengan cepat sehingga sebentar saja ia telah berdiri di dekat kelompok orang-orang yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang itu. Seorang di antara mereka, masih muda berusia dua puluhan, adalah orang pertama yang melihat kehadiran dara perkasa itu. Pemuda ini tiba-tiba menggigil seluruh tubuhnya dan dengan jari tangan menuding kearah Ratna Wulan yang disangkanya peri atau jin perempuan, ia berdiri dengan kedua kaki wel-welan (menggigil) dan mulutnya yang hendak berseru,

   "Setan. Setan!"

   Itu hanya dapat mengeluarkan suara.

   "Uuh.uuuuh.!"

   Kawan-kawannya memandangnya dengan heran dan ketika mereka menengok mereka heran dan juga terkejut sekali. Pada penglihatan pertama, semua orang juga timbul persangkaan bahwa yang berdiri dengan kedua kaki terpentang dan tangan bertolak pinggang itu tentulah sebangsa peri atau jin. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan agaknya berani dari kawannya, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi tidak sampai terlampau dekat Ratna Wulan, lalu menegurnya.

   "Siapakah di depan? Kalau manusia, datang darimana, siapa nama, dan apa maksud kedatangan? Kalau makhluk halus, harap pergi dan jangan mengganggu kami yang tidak mempunyai niat jahat!"

   Ratna Wulan menjadi geli hatinya dan terasa lagi ia tersenyum. Mereka menahan napas ketika melihat senyum ini. Silau mata mereka melihat kecantikan wajah dengan senyumnya yang amat manis itu. Melihat pendangan mata mereka, timbul sifat kenakalan Ratna Wulan yang hendak mempermainkan mereka.

   "Hai para pemberontak! Kalian menyatakan tidak berniat jahat, akan tetapi mengapa kalian mengganggu penduduk Mahameru danm merampok mereka?"

   Benar saja, ucapan ini membuat tiga puluh lebih orang laki-laki itu menjadi gemetar dan ketakutan. Mereka tak syak lagi, wanita ini tentulah seorang peri dari Mahameru yang datang hendak menghukum mereka! Orang tua yang tadi menegur Ratna Wulan lalu berkata lagi setelah menjilat-jilat bibirnya yang terasa kering.

   "Sang Mahadewi, kami terpaksa merampok karena kami harus makan. Mengandalkan hasil Buruan saja tidak cukup untuk memberi ransum kepada kawan-kawan kami yang puluhan jumlahnya. Kalau kami tidak merampok hasil tani para penduduk, tentu kami akan mati kelaparan!"

   Suara Ratna Wulan terdengar keras dan berpengaruh ketika ia berat dengan marah.

   "Pandir, lemah dan pengecut! Kalian menganggap diri sendiri ksatria-ksatria yang gagah, yang telah berani memberontak untuk menumbangkan kekuasaan jahat! Apakah tujuan dari pemberontak kalian itu? Bukanlah kalian bertujuan untuk membasmi kekuasaan jahat guna membela rakyat daripada penindasan? Dan sekarang apakah yang kalian perbuat? Merampoki rakyat jelata malah! Tahukah kalian bahwa dengan alasan mencegah diri sendiri dari kelaparan kalian telah membuat penduduk Mahameru terancam bahaya kelaparan kalau padi dan hasil sawahnya kalian rampok? Inikah pahlawan-pahlawan perkasa? Memalukan sekali!"

   Pada saat itu, semua orang memandang kepada Ratna Wulan dengan melongo, bahkan orang-orang yang tadi memanggang daging juga meninggalkan pekerjaannya sehingga daging yang terpanggang dan dibiarkan menjadi hangus dan asap bergulung-gulung. Semenjak berangkat dari puncak gunung, Ratna Wulan belum makan apa-apa, maka kini mencium daging panggang, ia merasa lapar sekali. Kemarahan dan ucapan yang keras membuat perutnya terasa makin lapar saja, maka tanpa memperdulikan orang-orang yang berada disitu, ia lalu melangkah maju ketempat pemanggangan daging, dan membalik-balikkan daging yang dipanggang itu sampai matang benar. Kemudian ia mulai makan daging tanpa melirik atau menawarkan kepada orang-orang yang masih berdiri dan mengawasi seluruh gerak-geriknya bagaikan patung. Melihat betapa "peri"

   Itu makan daging panggang dengan enaknya, mereka mulai bisik-bisik.

   "Ia suka daging panggang!"

   Kata seorang.

   "Ia bukan peri! Mana ada peri makan daging panggang!"

   Terdengar suara lain.

   "Mahkluk halus tak pernah makan."

   Kata suara ketiga.

   "Dia orang biasa! Dia penipu!"

   Kata orang lain dengan suara marah. Maka mulai beginilah orang-orang itu dan dengan hati geram mereka mulai bergerak mendekati Ratna Wulan. Akan tetapi orang tua yang agaknya menjadi pemimpin itu berkata.

   "Jangan ganggu Dia, biarkan dia makan lebih dahulu. Kasihan kelihatannya amat lapar!"

   Sambil makan daging panggang, diam-diam Ratna Wulan mendengarkan semua percakapan ini dan ia merasa amat geli. Ia agak merasa amat puas melihat sikap mereka, karena tidak sekasar para perampok yang dihajarnya siang tadi. Bahkan didalam hati ia memaafkan perbuatan mereka yang telah merampok setelah mendengar alasan orangtua tadi. Mereka memang bodoh, akan tetapi kadaaan mereka patut dikasihani. Setelah selesai makan, Ratna Wulan memetik daun pisang bagian pupusnya (daun muda) untuk membersihkan bibir, kemudiania berdiri untuk menghadapi mereka.

   "Setidaknya aku berterima kasih untuk daging yang baru saja kumakan tadi."

   Katanya. Kini mereka menghadapinya dengan marah. Orangtua itu berkata sambil tersenyum, karena ternyata ia adalah seorang penyabar.

   "Nini, jangan kau mencoba untuk menipu kami. Kau bukanlah seorang peri, akan tetapi seorang gadis biasa. Sebetulnya siapakah kau dan mengapa kau seorang remaja puteri seorang diri datang dihutan berlukar pada malam hari?"

   Ratna Wulan tersenyum manis.

   "Siapakah yang menipu kalian dan siapa pula yang mengaku menjadi peri siluman? Kalian sendirilah yang bodoh dan tahyul, menganggap aku sebagai peri! Aku adalah seorang biasa dan kedatanganku ini untuk menghentikan kesesatan kalian yang telah berani menganggu penduduk Gunung Mahameru!"

   Mendengar pengakuan bahwa dara ini bukanlah seorang peri, kembalilah keberanian semua orang Dan kini mereka terheran-heran mendengar pernyataan Ratna Wulan yang hendak melarang mereka! Timbul geli dalam hati mereka, bahkan seorang di antara mereka yang tinggi besar lalu melangkah maju dan bertanya dengan suara mengejek.

   "Nona manis, ucapanmu sombong sekali! Dengan jalan apakah engkau hendak menghentikan Perbuatan kami?"

   "Mungkin dengan senyumnya yang manis!"

   Terdengar seorang mengejek.

   "Lirikan mata yang tajam memikat memang dapat melumpuhkan semangat kita!"

   Seru seorang lain.

   "Kalau dia menjadi punyaku, disuruh apapun juga saya akan rela!"

   Kata pula seorang lain yang agak Kurang ajar. Akan tetapi jawaban dara itu benar-benar membuat semua orang tertegun, karena dengan sikap tenang dan suara keren. Ratna Wulan berkata.

   "Aku akan menghentikan kesesatan kalian dengan jalan melarang kalian melakukan perampokan kepada orang-orang dusun!"

   Untuk beberapa lama semua orang terdiam karena suara ini biarpun halus dan merdu, namun amat berpengaruh dan mengejutkan. Akan tetapi, hal itu hanya berlangsung sebentar, karena segera meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan orang tua yang sabar itupun tersenyum geli melihat kecongkakan gadis ini.

   "Nini,"

   Katanya sambil menahan senyum.

   "kau benar-benar gagah berani. Akan tetapi, kau adalah seorang gadis lemah lembut dan cantik jelita, tak kalah oleh puteri-puteri Majapahit. Sedangkan kami adalah orang-orang kasar, perajurit-perajurit yang tangkas dan kuat. Dengan cara bagaimanakah kau dapat melarang kami?"

   Semua orang terdiam sambil tersenyum dan memperhatikan dara itu karena ingin sekali mereka mendengar jawabannya.

   "Aku melarang kalian mengganggu penduduk di sini, dan dengan cara apa saja yang akan kalian kehendaki. Dengan cara halus, aku hanya memberi nasihat dan peringatan saja, akan tetapi andaikata kalian menghendaki cara kasar, suruhlah maju orang yang terkuat di antara kalian untuk melawanku mengadu ketangkasan dan kegagahan!"

   Orang yang tinggi besar tadi lalu melangkah maju dan mengangkat dadanya yang membusung ke depan. Ia memang nampak kuat sekali dan seluruh tubuhnya

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Ratna Wulan (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   dilingkari otot-otot yang menonjol keluar dibawah kulitnya. Ia terkenal sebagai jagoan di antara rombongan orang itu dan namanya adalah Bejo.

   Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan dahulu adalah anak buah tentara yang dipimpin oleh Rangga Lawe di Tuban. Ia dahulu bekerja menjadi jagal (Pemotong hewan) dan selain tangannya besar, juga ia amat pandai berkelahi, mengenal banyak macam ilmu pukulan dan gulat. Orangnya besar, akan tetapi hatinya jujur. Ketika Bupati Rangga Lawe memberontak terhadap Majapahit, ia measuk menjadi anggota barisan dan sepak terjangnya dalam peperangan amat mengejutkan musuh-musuhnya. Akan tetapi akhirnya, barisan Rangga Lawe hancur sehingga Bejo terpaksa melarikan diri dengan beberapa orang kawannya. Kini melihat seorang dara yang demikian gagah dan sombongnya, ia menjadi tidak sabar lagi karena merasa bahwa kehormatan rombongannya di singgung dan di hina.

   "Akulah orang terkuat diantara kawan-kawanku. Namaku Bejo asal dari Tuban. Kau ini anak perempuan ringkih (lemah) ternyata bermulut lancang. Apakah kegagahanmu menyamai Srikandi? Nah, aku telah maju,hayo, kau boleh bertindak apa saja untuk mencoba kepandaian!"

   Sambil berkata demikian ia melembungkan dadanya dan berdiri di depan Ratna Wulan sambil bertolak pinggang, seakan-akania menawarkan dadanya untuk dipukul. Karena Bejo melangkah maju sampai dekat sekali dengan Ratna Wulan, gadis itu melangkah mundur setindak sambil berkata menyindir.

   "Namamu Bejo (mujur), akan tetapi dengan sikapmu yang kasar dan sombong ini kau mendatangkan kemalangan bagi dirimu. Dalam dua hal kau mungkin melebihi kerbau, akan tetapi dalam satu hal kau kalah oleh kerbau itu!"

   Bejo memandang bodoh.

   "Eh, apa maksudmu?"

   "Kau masih melebihi kerbau dalam hal tenaga dan bau tak enak, akan etapi otakmu lebih bodoh dari pada kerbau. Binatang itu masih dapat mengenal orang yang lebih kuat daripadanya, akan tetapi kau menyeruduk saja seperti kerbau gila."

   Semua orang tertawa mendengar ini dan Bejo menjadi marah sekali.

   "Bocah kurang ajar! Jagalah lidahmu baik-baik. Kalau aku sudah marah, mungkin aku lupa bahwa kau adalah seorang gadis muda yang ringkih dan cantik!"

   "Ringkih? Boleh kucoba! Nah, makanlah pukulanku ini!"

   Sambil berkata demikian, Ratna Wulan mengirim pukulan kearah dada Bejo yang tersenyum mengejek sambil memasang dadanya! Ratna Wulan membuka jari tangannya dan menebak (memukul dengan telapak tangan) kearah dada itu sambil berseru.

   "Robohlah kau kerbau!"

   Ketika telapak tangan yang berkulit halus itu menumbuk dada ejo, terdengar suara,

   "Buk!"

   Bagaikan bedug ditabuh dan alangkah herannya semua orang ketika melihat betapa tubuh Bejo yang tinggi besar itu mencelat dan terlempar kebelakang dua tombak lebih seakan-akan terbawa oleh angin puyuh! Inilah dorongan yang dilakukan dengan Aji Lesus (Angin Putar) yang dahsyat sekali. Bejo merasa demikian terheran-heran dan terkejut sehingga ketika pantatnya berdebuk menimpa tanah, ia terkejut dan sehingga ketika pantantnya berdebuk menimpa tanah, ia terkejut dan memandang dengan bengong. Ia tidak merasa sakit pada dadanya yang dipukul tadi, akan tetapi tenaga mendorong itu benar-benar luar biasa hebatnya, lebih kuat dari pada serudukan seekor kerbau jantan.

   Akan tetapi ia adalah seorang laki-laki yang kuat dan berani,maka setelah melihat bahwa dara itu bukanlah seorang biasa dan benar-benar memiliki ilmu kepandaiannya, ia lalu melompat dan sambil mengeluarkan suara keras seperti lembu menguak, ia menerkam ke depan mengirim pukulan dengan kepalan tangannya yang besardan mengerikan itu. Namun Ratna Wulan memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Mudah saja ia mengelak dan biarpun Bejo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan memukul dengan bertubi-tubi. Namun selalu pukulannya mengenai angin belaka. Beberapakali kepalannya telah hampir mengenai sasaran, akan tetapi dengan terampil sekali, jari-jari tangan Ratna Wulan yang mengebut dengan perlahan telah cukup untuk membuat pukulannya menjadi mencong arahnya dan tidak mengenai sasaran.

   "Hai, kerbau gila! Coba kau kejar aku!"

   Tiba-tiba Ratna Wulan mentertawakannya dan tubuh dara perkasa itu berkelebat ke sana ke mari mengelilingi tubuh Bejo yang menjadi pening karena ia harus berputar-putar mengejar bayangan lawannya yang gesit itu. Belum pernah ia mengalami hal luar biasa seperti ini, maka sebentar saja kepalannya menjadi pening dan pandangan matanya berkunang-kunang. Terpaksa ia menghentikan serangannya dan biarpun ia berdiri tegak, namun tubuhnya bergoyang-goyang seakan-akan bumi yang dipijaknya terputar atau seakan-akan ia merasa ada lindu besar saat itu.

   Ketika Ratna Wulan juga menghentikan gerakannya dan berdiri sambil tersenyum-senyum di depannya, Bejo yang telah dapat memenangkan pikirannya itu tiba-tiba menyerang dengan seluruh tenaga yang ada padanya. Ia maju menubruk dengan kedua tangan di pentang bagaikan seekor alap-alap menyambar anak ayam. Ia maklum bahwa ia kalah gesit dan kalau ia main pukul saja,ia takkan berhasil, maka kini hendak menggunakan ilmu gulat, hendak menangkap dan memiting tubuh lawannya sampai gadis itu menjerit-jerit minta ampun. Akan tetapi kembali ia salah hitung. Mana Ratna Wulan mau membiarkan tubuhnya di tangkap dan di dekap oleh orang yang bau keringatnya saja telah membuat kepalanya pusing itu. Dengan amat cekatan ia melompat ke samping dan ketika tubuh Bejo menubruk lewat, ia menggerakkan kakinya dan menjegal kedua kaki Bejo yang tak dapat di tahannya lagi jatuh tersungkur dengan tubuh tertelungkup.

   Sehingga ketika ia merangkak bangun dengan terheran-heran, jidat dan dadanya menjadi merah karena kulitnya lecet dan darah mengalir keluar. Bejo merangkak bangun dengan perasaan malu dan terheran-heran, sedangkan para penonton kini tak dapat ditahan lagi bersorak gemuruh karena kagum sekali melihat kehebatan Ratna Wulan. Sebelum Bejo jatuh tersungkur, semua orang menahan napas dan tak dapatmengeluarkan suara saking herannya, akan tetapi kini baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu ternyata adalah seorang pendekar wanita yang benar-benar mengingatkan mereka dan pahlawan wanita yang gagah perkasa itu. Sementara itu, Bejo yang merasa amat marah dan malu, cepat bangun lagi dan kini ia menarik keluar kelewangnya, yaitugolok pemotong kerbau yang lebar dan tajam!

   "Keparat perempuan! Berani kau menghina Bejo, awas, tubuhmu akan kucacah-cacah sampai hancur lebur!"

   Ia hendak menyerang dengan kelewangnya, akan tetapi tiba-tiba orang tua tadi berseru.

   "Bejo, tahan!"

   Ternyata Bejo kalah pengaruh dan ia lalu mengurungkan niatnya serta melangkah mundur dengan kepala tunduk, kembali ketempat kawan-kawannya.

   "Wanita digdaya ini bukanlah lawanmu!"

   Kata pula orangtua itu, lalu ia menghadapi Ratna Wulan sambil berkata dengan mata memandang kagum.

   "Sungguh hebat ilmu kepandaianmu. Kulihat kau membawa anak panah dan busur, maukah kau memperlihatkan kepandaianmu dalam ilmu memanah?"

   Sebelum Ratna Wulan menjawab, ia telah memandang ke arah kelompok anak buahnya dan memanggil.

   "Parta, coba kau uji ilmu memanahmu dengan wanita digdaya ini."

   Melompatlah keluar seorang anak muda yang usianya kira-kira dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan berkulit langsat. Ia membawa sebuah gendewa dan pada punggungnya terdapat tempat anak panah yang penuh dengan anak panah berbulu putih. Tanpa banyak bicara ia menurunkan anak panah tiga batang, dan kakek tadi lalu berkata kepada Ratna Wulan.

   "Lihatlah kepandaian memanah anak buahku ini dan kalau kau memang dapat menyamai kepandaiannya, benar-benar kau seorang gadis pendekar!"

   Ratna Wulan tersenyum dan iapun mengambil tiga batang anak panah dan mempersiapkan gendewanya, memandang kepada Parta dengan mulut tersenyum dan sikap tenang sekali.

   "Aku siap sedia!"

   Katanya singkat.

   Parta lalu memasang anak panah pertama pada gendewanya dan ketika ia menarik gendewanya lalu melepaskannya, terdengar bunyi angin anak panah yang meluncur keatas itu, lenyap ditelan malam gelap. Akan tetapi karena bulunya putih dan langit diterangi oleh bulan, orang masih dapat melihat anak panah kedua yang cepat sekali meluncur ke atas menyusul anak panah pertama dan tepat sekali anak panah itu bersambung dan terus mental ke atas dengan lurus! Kembali terdengar angin anak panah ke tiga melesat lebih cepat lagi, menyusul kedua anak panah itu dan kini anak panah kedua sehingga di udara terdapat tiga batang anak panah yang sambung-menyambung! Pecahlah tampik sorak memuji dari para anak buah rombongan itu sambil memandang ke arah tiga batang anak panah yang telah habis tenaga luncurannya dan melayang turun kembali. Akan tetapi tiba-tiba terdengar dara perkasa itu berseru.

   "Lihatlah anak panahku!"

   Sekaligus Ratna Wulan memasang tiga batang anak panah pada tali gendewanya dan setelah membidik dan mulutnya bergerak membaca mantra (doa), ia menarik gendewanya dan melesatlah tiga batang anak panah itu bagaikan kilat menyambar.

   Terdengar lengking yang nyaring ketika tiga batang anak panah itu menembus udara dan menyambar ke arah tiga batang anak panah Parta yang sambung-menyambung dan sedang meluncur turun itu. Para penonton memandang dengan mata terbelalak dan mereka melihat betapa tiga batang anak panah dara pendekar itu menyambar anak panah Parta sehingga anak-anak panah yang pertama itu terputus menjadi tiga lagi dan jatuh melayang ke bawah bersama-sama anak-anak panah Ratna Wulan. Parta menjadi amat penasaran dan marah, akan tetapi ketika ia dan kawan-kawannya menghampiri anak-anak panahnya dan melihat, ia menjadi pucat, sedangkan kawan-kawannya melenggong dengan penuh keheranan. Ternyata bahwa ketiga batang anak panah Parta itu semua telah kehilangan kepalanya, terputus oleh anak-anak panah gadis itu.

   "Bukan main!"

   Parta berbisik takjub.

   "guruku sendiri belum tentu dapat melakukan hal ini!"

   Pernyataan Parta yang sekaligus menyatakan kekalahannya ini merupakan pujian terbesar, karena semua orang disitu telah tahu akan kepandaiannya dan kini pemuda itu menyatakan bahwa ilmu memanah gadis itu bahkan lebih unggul dari pada gurunya sendiri. Tentu saja semua orang menjadi kagum dan bersorak gembira. Kakek yang memimpin rombongan itu lalu melangkah maju menghadapi Ratna Wulan sambil mengembalikan tiga batang anak panahnya.

   "Nona, kau benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan. Belum pernah aku melihat seorang wanita seperti kau, demikian gagah perkasa sunguhpun masih amat muda sekali. Nona yang gagah, jangan membuat kami menjadi pensaran. Ketahuilah bahwa diantara pasukan kami ini, yang paling kuat tenaganya adalah Bejo, dan yang paling pandai mempergunakan anak panah adalah Parta. Sedangkan orang ketiga yang paling pandai berkelahi mempergunakan senjata adalah aku sendiri, maka sekarang kuharap kau suka memperlihatkan kepada kami bahwa selain kepandaianmu luar biasa tadi, engkaupun pandai mainkan senjata sebagai seorang santika (ahli main senjata) yang sakti mandraguna."

   
Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sambil berkata demikian, kakek itu lalu mencabut kerisnya dan mengambil sebuah perisai yang bundar bentuknya.

   "Paman, kau mengajak main-main dengan pusaka, apakah itu tidak berbahaya?"

   Kata Ratna Wulan.

   "kata-kataku ini bukan berarti bahwa aku takut bermain keris, akan tetapi kulihat pusakamu itu baik juga, maka sayang sekali kalau sampai rusak."

   Kakek itu memandang heran.

   "Rusak? Bocah ayu (anak cantik), ketahuilah, pusakaku ini adalah pusaka dari Lumajang yang amat ampuhnya, bagaimana bisa rusak?"

   Katanya sambil mengacung-acungkan kerisnya yang berluk tiga. Berdebarlah dada Ratna Wulan mendengar disebutnya Lumajang ini.

   "Bolehkah saya mengetahui, paman ini siapakah?"

   Orang tua itu tersenyum lalu menjawab setelah menarik napas panjang,

   "Dahulu aku adalah seorang di antara pemimpin pasukan Lumajang, akan tetapi sekarang hanyalah seorang kepala rombongan pelarian ini. Namaku Waluyo, maka berhati-hatilah kau menghadapi permainan kerisku, karena kau berhadapan dengan seorang bekas panglima perang di Lumajang."

   Makin gembiralah hati Ratna Wulan mendengar ini, akan tetapi sebelum bicara terlebih lanjut, ia hendak menguji dahulu sampai di mana kepandaian orang tua ini. Maka ia lalu mencabut kerisnya Kyai Banaspati dan berkata.

   "Marilah kita main-main sebentar Paman Waluyo. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan kau terlalu berani mengadu kesaktian pusakamu dengan kerisku ini. Banyak kemungkinan pusakamu akan rusak karenanya!"

   Pak Waluyo memandang pusakanya dan menjawab.

   "Pusaka ini adalah senjataku semenjak pertama-tama menjadi perajurit. Kalau sekarang pusaka ini sampai rusak, itu berarti bahwa aku tak cakap pula memimpin pasukan. Hayo, majulah, dan kau boleh meminjam sebuah tameng (Perisai) kepada seorang kawanku.

   "

   "Tak usah paman, bukanlah kita hanya main-main saja?"

   Sikap yang agaknya memandang remeh ini membuat Waluyo merasa penasaran juga, maka ia lalu berseru dan menyerang dengan kerisnya. Ratna Wulan cepat menggeser kakinya dan mengelak dengan cepat, lalu dari samping ia membalas dengan serangannya.

   Waluyo tidak mau berlaku lambat dan sambil majukan perisai untuk menangkis serangan lawan ini, ia membarengi dengan sodokan keris pada lambung lawannya! Gerakan ini cepat sekali dan otomatis datangnya sehingga merupakan serangan balasan yang amat berbahaya. Kalau sekiranya Ratna Wulan memegang perisai, tentu ia dapat mempergunakan perisainya untuk menangkis. Akan tetapi gadis ini tidak mengkhawatirkan serangan lawan, bahkan ia khawatir ketika melihat lawannya menangkis dengan perisai, oleh karena ia maklum bahwa tidak ada perisai yang akan sanggup menangkis Kyai Banaspati! Oleh karena itu, secepat kilat ia memutar tubuhnya dan memapaki perisai itu dengan pukulan telapak tangannya, sedangkan keris dari Waluyo itu terpaksa ia tangkis dengan kerisnya sendiri.

   "Brak! Trang!"

   Dua suara ini berbunyi hampir berbareng ketika perisai itu menjadi pecah terkena pukulan telapak tangan Ratna Wulan, sedangkan ketika kedua pusaka itu beradu, memancarkan bunga api dan terdengar serua kaget dari Waluyo karena keris pusakanya telah patah ujungnya! Bekas penglima ini berdiri dengan muka pucat sekali dan memandang kepada perisainya yang telah pecah dan kerisnya yang telah patah. Melihat kesedihan dan muka yang menunjukkan rasa malu besar itu, Ratna Wulan lalu berkata menghibur.

   "Paman Waluyo, jangan kau merasa penasaran, karena kau bukan dikalahkan oleh orang lain. Aku adalah Ratna Wulan juga seorang Lumajang! kenalkah kau kepada Senapati Nagawisena?"

   "Tentu saja aku mengenal mendiang Nagawisena dengan baik, karena dahulu aku berada di dalam pasukan yang dipimpinnya."

   Kata Waluyo dengan heran

   "Kau siapakah?"

   "Aku adalah puteri tunggalnya!"

   Bukan main girangnya hati Waluyo dan lain-lain kawannya mendengar ini dan semua orang lalu mengerumuni dara perkasa itu sambil memandang dengan penuh kekaguman. Lebih-lebih Waluyo, seakan-akan ia bertemu kembali dengan peminpinnya yang telah meinggal dunia, sehingga Ia segera berlutut hendak menyembah Ratna Wulan! Akan tetapi gadis itu cepat memegang tangan kakek itu dan menariknya bangun kembali.

   "Jangan begitu, paman. Aku hanya orang biasa saja yang bodoh dan sama sekali tak patut mendapat penghormatan besar. Kedatanganku ini sebenarnya karena tertarik hatiku mendengar bahwa disini terdapat sisa-sisa pemberontak yang dipukul mundur oleh tentara majapahit, dan terutama sekali karena mendengar betapa kalian telah melakukan perampokan terhadap penduduk gunung ini. Ibuku menganggap kalian sebagai kawan-kawan seperjuangan, dan tentu saja aku merasa malu kalau mempunyai kawan-kawan yang menjadi perampok dan mengganggu rakyat di sini."

   "Ibumu masih hidup?"

   Kata Waluyo dengan muka girang, kemudian ia menghela napas ketika mendengar celaan Ratna Wulan tentang perampok itu.

   "Memang kami telah melakukan perampokan beberapa kali, akan tetapi percayalah, hal itu kami lakukan dalam keadaaan terpaksa karena kami telah kehabisan ransum. Kami sedang mengumpulkan tenaga untuk mengabungkan diri dengan pemberontak-pemberontak lain yang akan dipimpin oleh panglima-panglima Kuti dan Sumi!"

   Kemudian Waluyo menceritakan bahwa sebagian besar daripada kawan-kawannya itu adalah bekas Anak buah Rangga Lawe dan Raden Sora, dua orang panglima yang telah gagal dan tewas dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Prabu Jayanagara yang dipengaruhi oleh Begawan Mahapati.

   "Bertahun-tahun kami menjadi orang buruan dan menjadi pelarian yang hidup di hutan-hutan, mencari kesempatan untuk membalas dendam kepada Bagawan Mahapati yang merupakan musuh besar sekalian pemberontak, oleh karena pendeta itulah sesungguhnya yang mendatangan kebencian dalam hati kami."

   "Dan tahukah kau akan seorang yang bernama Kartika, paman?"

   "Siapa yang tidak tahu akan bedebah itu!"

   Sepasang mata Waluyo memancarkan api kemarahan.

   "Dia lebih jahat daripada gurunya dan aku telah bersumpah bahwa sekali waktu akan kubelek perutnya dan akan kukeluarkan jantungnya!"

   Melihat kebencian orang tua itu terhadap Kartika, Ratna Wulan merasa heran, menceritakan bahwa anak gadisnya telah ditawan oleh Kartika dan dipaksa menjadi selirnya!

   "Manusia busuk itu dengan kejamnya menghancurkan seluruh keluarga pemimpin-pemimpin pemberontak. Celakalah orang-orang yang diketahui menjadi anggota keluarga orang yang telah memberontak, karena mereka takkan diberi ampun. Kalau mereka bukan perempuan-perempuan muda dan cantik, pasti mereka dibunuh, sedangkan perempuan-perempuan muda mereka tawan untuk menjadi bahan penghinaan!"

   Setelah berkata demikian, Waluyo berdiri mengepal tinju dan mengertakkan giginya.

   "Paman Waluyo, kau tentu tahu tentang tewasnya mendiang ayahku."

   Waluyo mengangguk.

   "Ayahmu binasa dalam tangan Kartika pula, memang manusia itu amat curang Dan jahat."

   "Karena itulah, paman, maka aku mempelajari semua kepandaian ini. Aku akan mencari mereka dan membalas dendam kepada keparat itu berikut gurunya."

   "Bagus, kami akan membantumu, jeng Ratna. Kau memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan luar biasa, maka sudah sepatutnya kalau kau menjadi pemimpin kami! Bagaimana, kawan-kawan, setujukah kalau kita mengangkat dara perkasa ini menjadi pemimpin kita?"

   "Akur! Akur!"

   "Setuju sekali!"

   Ratna Wulan mengangkat kedua tangannya ke atas, dan menggelengkan kepalanya.

   "Sabar, saudara-saudara! Sungguhpun aku menaruh hati dendam kepada Kartika dan Mahapati, akan tetapi aku tidak tahu-menahu tentang pemberontakan terhadap Kerajaan Majapahit. Hal itu bukan urusanku. Aku hanya ingin mencari dan membalas dendam terhadap kedua orang itu, dan sama sekali tidak ingin menyerang Kerajaan Majapahit."

   Semua orang yang tadinya merasa gembira sekali karena mereka telah menaruh pengharapan besar kepada dara perkasa ini, menjadi diam dan bungkam. Akan tetapi Waluyo mencelanya.

   "Jeng Ratna! Mengapa kau berkata demikian? Bukankah mendiang ayahmu juga seorang pemberontak terhadap Kerajaan Majapahit?"

   Ratna Wulan menggelengkan kepala lagi.

   "Bukan, paman. Dalam pandanganku, juga menurut seorang senapati Lumajang, seorang perajurit yang memenuhi tugasnya sebagai ksatria sejati. Tentang pemberontakan-pemberontakan itu, biarlah hal itu diserahkan dan dipimpin oleh mereka yang memang mempunyai kepentingan dengan pemberontakan itu. Bagiku, asal saja aku sudah dapat membalas dendam kepada kedua orang itu, cukuplah. Lagi pula, agaknya akan lebih mudah dan leluasa bagiku untuk bekerja seorang diri saja melakukan pembalasan dendam itu, daripada harus bersama dengan kalian!"

   Kecewalah semua orang mendengar ini, karena mereka ingin sekali berperang lagi melawan tentara Majapahit, dan mereka akan berbesar hati apabila mereka berperang di bawah pimpinan seorang yang gagah perkasa seperti dara ini.

   "Aku mengerti maksudmu, Jeng Ratna. Akan tetapi, demi pertalian batin yang ada di antara kita, Kuharap kau suka menurunkan sedikit kepandaian kepada kami, agar pasukan kami mejadi lebih teratur juga ke Majapahit, oleh karena ketahuilah bahwa Majapahit memiliki panglima-panglima yang amat sakti, di samping Mahapati dan Kartika. Menurut pendapatku, akan lebih baiklah kalau kau menanti sampai meletusnya pemberontakan baru yang jauh lebih besar dan kuat daripada yang sudah-sudah, dan dalam keadaaan kacau-balau itu, akan lebih mudah bagimu mencari Kartika dan Mahapati, karena mereka tentu akan maju di medan yuda. Kalau sekarang kau pergi ke ibukota Majapahit sengaja mencari mereka, maka kau bukan hanya akan menghadapi Kartika dan gurunya, akan tetapi kau akan berhadapan dengan seluruh panglima Majapahit."

   Diam-diam Ratna Wulan membenarkan pendapat yang bijaksana ini, dan melihat betapa semua mata memandangnya dengan penuh harapan, ia tidak tega untuk menolak permintaan ini.

   "Baiklah, aku akan melatih kalian dengan sedikit ilmu kepandaian yang telah kupelajari, akan tetapi mulai saat ini, kalian tidak boleh lagi merampok penduduk di gunung ini. Untuk ransum kita harus membantu rakyat terdekat dengan pekerjaan mereka di sawah agar hasil lading bertambah dan dengan demikian, maka kita akan dapat mengambil bagian kita dengan adil dan bersih. Pejuang-pejuang yang baik dan benar hanya mereka yang mendapat dukungan dan simpati dari rakyat kecil. Tanpa dukungan rakyat, usahamu akan gagal. Apalagi kalau sampai memusuhi dan mengganggu rakyat, maka kalian bukanlah pejuang-pejuang lagi namanya bahkan patut disebut penjahat dan pengkhianat bangsa."

   Diam-diam Waluyo merasa tunduk dan kagum sekali. Bagaimana seorang gadis muda remaja ini Dapat mengucapkan kata-kata yang demikian bijaksana? Sementara itu, melihat Ratna Wulan bersedia melatih dan memimpin mereka, bersoraklah semua orang yang berada di situ dan suasana menjadi gembira sekali. Ketika Ratna Wulan, atas pertanyaan Waluyo, menjawab bahwa ia adalah murid dari Panembahan Mahendraguna atau Eyang Semeru, makin runduklah mereka karena Eyang Semeru terkenal sebagai manusia setengah dewa yang suci dan sakti.

   Demikianlah, orang-orang itu lalu memberikan pondok yang terbaik sebagai tempat tinggal Ratna Wulan, sedangkan pada keesokan harinya Waluyo dan beberapaorang yang tadinya menjadi anak buah Nagawisena, naik ke puncak Mahameru untuk menjumpai Dara Lasmi, menghadap ibu pemimpin mereka itu untuk memberi hormat dan menyampaikan warta tentang keadaan Ratna Wulan yang kini telah mereka angkat sebagai pemimpin untuk melatih ilmu kepandaian dan aji kesaktian kepada tiga puluh dua orang yang berada di hutan randu, di kaki Gunung Mahameru sebelah timur. Pada suatu hari, Ratna Wulan seorang diri membawa anak panahnya hendak mencari binatang buruan. Di dalam hutan randu itu sunyi oleh karena semua orang dibawah pimpinan Waluyo telah berangkat ke dusun-dusun terdekat untuk membantu mencangkul tanah ladang.

   Semenjak Ratna Wulan berada disitu, keadaan mereka amat berubah. Tidak lagi mereka bermalas-malasan di waktu siang hari, akan tetapi semenjak matahari terbit, mereka bekerja di sawah dan pada sore harinya barulah mereka menerima latihan-latihan dari Ratna Wulan, bermain lembing, bermain keris, memanah dan pencak silat, sesuai dengan bakat masing-masing. Bahkan Ratna Wulan lalu menyuruh semua orang membuat pedang yang sama bentuk dan ukurannya, bermata dua(tajam kedua bagian), lalu ia melatih mereka bermain pedang. Maka terbentuklah pasukan pedang yang mereka beri nama Pasukan Candrasa Bayu (Pedang Angin) karena menurut pendapat mereka, permainan pedang yang Diajarkan memiliki kecepatan bagaikan angin puyuh!

   Tentu saja permainan mereka tidak sehebat permainan dara perkasa itu, walaupun mereka memang mendapatkan kemajuan yang cepat sekali. Ratna Wulan merasa suka melihat kemajuan mereka, dan ia kini mendapat kenyataan bahwa anak buanya memang bukanlah sebangsa perampok yang jahat. Mereka itu kesemunya bekas perajurit-perajurit yang patuh akan perintah pemimpin dan rata-rata memiliki sifat ksatria yang mengagumkan. Oleh karenaitu bercita-cita untuk kelak maju menyerbu ke Majapahit lagi, maka ia bersungguh hati untuk melatih mereka sehingga Pasukan Candrasa Bayu menjadi sebuah pasukan pedang yang benar-benar kuat sekali. Perjalanannya memburu binatang hutan, Ratna Wulan menuju ke hutan sebelah utara yang belum Pernah di datanginya.

   Hutan ini amat luas dan liar,penuh dengan pohon-pohon tinggi besar yang telah berabad usianya. Juga di situ terdapat banya kpohon waringin yang luar biasa besarnya sehingga untuk dapat memeluk batangnya, agaknya dibutuhkan belasan orang yang berdiri dengan tangan saling bergandengan. Pohon-pohon raksasa ini entah sudah berapa ratus tahun umurnya. Akar-akarnya yang panjang dan besar sebagian timbul di atas tanah merupakan raksasa. Akar-akar gantung berjuntai ke bawah seperti tambang-tambang yang sengaja di ikatkan orang pada cabang-cabang pohon itu, kuat dan ulet sekali. Daun-daunnya lebat, memenuhi puluhan cabang-cabang dan ranting-ranting yang rata tumbuhnya mengelilingi batang pohon membuat pohon raksasa itu nampak seperti sebuah payung yang amat besar.

   Auman harimau dan suara binatang-binatang lain menggembirakan hati Ratna Wulan benar karena ternyata bahwa hutan liar ini amat banyak penghuninya. Memang, sebagaimana biasanya, makin liar hutannya, makin banyaklah binatangnya dan makin senanglah hati para pemburu yang memasuki hutan itu. Tiba-tiba mata Ratna Wulan yang awas itu melihat seekor kelinci putih yang gemuk lari ke bawah pohon. Cepat ia mengambil anak panah dan memasangnya pada busur yang telah dipegang semenjak tadi, akan tetapi sebelum ia melepaskan anak panahnya, ia mendengar suara lain yang lebih menarik perhatianya. Suara Kijang! Ratna Wulan membatalkan niatnya memanah kelinci dan segera jalan dengan hati-hati ke arah suara kijang itu. Benar saja, seekor kijang betina yang bagus dan gemuk sedang berjalan perlahan di bawah pohon waringin yang amat besar.

   Kijang itu makan rumput di bawah waringin itu, makan dengan asyiknya, tidak tahu bahwa bahaya maut telah mengintainya dari sebelah kiri. Oleh karena angin yang bersilir perlahan itu datang dari jurusan depan, maka kijangitu tidak tahu bahwa Ratna Wulan telah berdiri dibalik tetumbuhan dan telah membidikkan anak panah kepadanya. Terdengar suara gendewa menjepret dan sebatang anak panah meluncur bagaikan burung srikatan ke arah kijang itu. Ratna Wulan memandang dengan mata gembira. Akan tetapi tak terasa lagi ia mengangkat tangan kirinya menutupi mulutnya yang hampir saja mengeluarkan seruan karena terkejut dan heranya ketika melihat sinar putih berkelebat dari atas pohon beringin itu! Ia melihat betapa tubuh kijang itu terlempar kedepan sehingga anak panahnya yang tadi dibidikkan ke arah leher, kini menancap pada perut binatang itu.

   Ratna Wulan cepat melompat mendekati tubuh kijang yang telah rebah tak bernyawa lagi dan mukanya menjadi merah karena marah ketika melihat betapa pada leher kijangitu menancap sebatang anak panah lain yang mendahului anak panahnya dan yang ternyata lebih tepat kenanya dan yang mendatangkan kematian pada binatang itu. Ternyata ada orang lain yang telah mendahuluinya! Siapakah gerangan orang yang berani berbuat ini? Siapakah dia yang begitu kurang ajar berani mendahului Ratna Wulan yanghendak merobohkan buruannya? Akan tetapi, sebelum iamelihat orang yang berani berlancang tangan ini, tiba-tiba ia mendengar auman hebat dari belakangnya dan ketika ia cepat membalikkan tubuhnya, ternyata bahwa seekor macan gembong yang besar sekali,

   Sebesar lembu muda, telah berdiri dibelakangnya dan tiba-tiba harimau itu menubruk sambil menggereng dengan suara yang dahsyat sekali! Ratna Wulan cepat melompat kesamping untuk megelak, akan tetapi oleh karena harimau itu gerakannya cepat sekali, hampir saja pundaknya kena dicakar. Bukan main marahnya Ratna Wulan, karena sebelum diserang oleh harimau gembong itu, ia memang telah marah sekali kepada orang yang mendahului memanah kijang. Kini dengan hati geram ia mencabut keris pusaka Banaspati dan menghadapi harimau itu dengan mata berapi-api! Tidak biasa Ratna Wulan menghadapi seekor harimau saja dengan kemarahan demikian besar. Pada saat itu terdengar jepretan jemparing (busur) dan tiba-tiba dari atas pohon beringin Itu menyambar turun tiga batang anak panah dengan kecepatan bagaikan kilat menyambar,

   Dan dengan tepat sekali tiga batang anak panah itu menancap di tubuh harimau yang telah siap hendak menerkam Ratna Wulan lagi, menancap di leher punggung, dan lambung! Sambil mengeluarkan gerengan keras Dan panjang robohlah macan itu berguling-guling, mengeliat dan akhirnya ke empat kakinya berkelojotan lalu diam! Kalau tadi kemarahan Ratna Wulan laksana api berkobar panas, kini makin kejatuhan hujan, mendidih bak Kawah Candradikuma kejatuhan hujan, mendidih dan menggelora sehingga dadanya naik turun amat hebatnya. Kalau tadi si pelepas panah yang mendahuluinya membunuh kijang di anggap hanya lancang tangan, kini melihat anak panah pembunuh harimau yang sama bentuknya itu, ia menganggap Bahwa orang ini telah menghinanya! Dengan keris Banaspati di tangan, ia memandang ke atas pohon dan membentak kertas.

   "Keparat rendah dari manakah berani menghina Ratna Wulan?"

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa di atas pohon dan disusul oleh suara seorang laki-laki yang tenang,

   "Alangkah indah nama itu. Sesuai benar dengan orangnya!"

   Ucapan ini disusul pula oleh melayangnya bayangan seorang pemuda dari atas cabang pohon itu. Ketika kedua kakinya menginjak tanah, tak terdengar suara sedikitpun sehingga diam-diam Ratna Wulan terkejut melihat ilmu lompat orang itu dan memandang penuh perhatian. Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh satu atau dua puluh dua tahun usianya, berkulit hitam manis dan wajahnya amat gagah dan tampan. Alis matanya sehitam rambutnya, tebal dan mengingatkan orang akan alis Raden Gatotkaca. Sepasang matanya bercahaya-cahaya bagaikan bintang pagi, lebar dan bersinar tajam. Bola mata yang tak mau diam itu menandakan bahwa dia adalah seorang periang.

   Hidungnya mancung dan bagus bentuknya, sedangkan mulutnya yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya, terutama dagunya yang kuat dengan lekuk di tengah-tengahnya. Tubuhnya sedang saja, yakni potongan bambang. Pakaiannya sederhana, seperti yang biasa di pakai oleh petani-petani muda. Ikat kepalanya sempit dan hanya di ikatkan secara sembarangan di atas keningnya. Gagang keris terselip pada pinggangnya. Sedangkan dipunggungnya nampak tempat anak panah dikalungi busur yang besar berwarna putih. Mendengar pemuda itu memuji namanya, Ratna Wulan menjadi marah dan juga heran. Bagaimana Ada orang seberani ini? Belum pernah dara perkasa ini melihat orang berani bermain-main padanya, dan melihat pemuda ini tersenyum-senyum memandangnya rendah, ia menjadi gemas sekali.

   "Benar-benar nama yang indah,dan orangnya lebih ayu lagi!"

   Katapemuda itu pula sambil memandang

   dengan mata jujur, sama sekali tidak menyembunyikan kekagumannya.

   "Tutup mulutmu yang kotor!"

   Ratna Wulan membentak dengan bibir merengut dan mata memancarkan

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Raja Pedang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini