Ceritasilat Novel Online

Ratna Wulan 5


Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Itulah yang memberatkan pikiranku, anakku. Kau telah dewasa dan selain tugasmu membalas Musuh itu sudah cukup berat, kaupun menghadapi penggoda lain yang lebih berbahaya, yaitu dari kaum pria yang tentu takkan membiarkan kau lalu begitu saja tanpa menggoda. Ketahuilah bahwa kau memiliki kecantikan yang membanggakan hatiku, dan hal ini amat berbahaya bagi seorang wanita muda dalam perjalanan, sungguhpun aku cukup maklum bahwa kau cukup kuat untuk menjaga dirimu. Kau berlaku benar telah menolak pinangan pemuda itu, karena memang cita-cita tak boleh terganggu oleh keinginan hendak mempersenang diri dan menurutkan kata nafsu hati. Orang bercita-cita harus mantap dan harus mencurahkan segenap perhatian ke arah pelaksanaan cita-citanya itu, barulah ada kemungkinan cita-cita itu berhasil. Sekalisaja orang berlaku lemah terhadap pengoda, terutama godaan yang bersifat asmara, maka besar sekali kemungkinan cita-citanya takkan terlaksana dengan sempurna bahkan akan berhenti di tengah jalan, oleh karena pikirannya telah bercabang dan tidak di pusatkan. Memang cita-citamu untuk membalas dendam ayahmu, yang menjadi cita-cita ibumu adalah cita-cita yang luhur, anakku. Tidak saja kau akan membalaskan sakit hati orang tua, akan tetapi kalau kau berhasil membinasakan keparat Kartika, berarti bahwa kau telah menolong banyak orang pula, membebaskan mereka dari kekejaman dan kecurangan hati penjahat itu!"

   "Segala petuahmu akan kuperhatikan dan kujunjung tinggi, ibu."

   Jawab Ratna Wulan sambil memeluk ibunya.

   "Akan tetapi, kau harus minta izin dan doa restu lebih dahulu dari eyangmu, Wulan. Tak ada yang Lebih berharga untuk bekal perjalanan melaksanakan cita-cita melainkan doa restu dari orang-orang tua, terutama dari gurumu yang bijaksana."

   Maka pergilah Ratna Wulan dalam guru pertapaan Panembahan Mahendraguna yang kini telah nampak tua sekali. Pertapa itu sedang bersamadhi ketika Ratna Wulan masuk kedalam guanya. Ratna Wulan tidak berani mengganggu, bahkan lalu duduk bersila tidak jauh dari gurunya dan ikut bersamadhi mengheningkan cipta. Belum lama ia tenggelam dalam alam hening, terdengar gurunya memanggil dan melihat gurunya telah duduk memandangnya dengan matanya yang berpengaruh dan penuh kesabaran.

   

   "Ratna Wulan, bilakah kau kembali dari hutan randu?"

   Ratna Wulan telah maklum bahwa gurunya ini waspada akan segala hal, akan tetapi selalu tidak menampakkannya sungguhpun kadang-kadang kewaspadaannya itu tanpa sengaja dan tanpa disadarinya bahwa di dalam kalimat itu terlihat bahwa kakek sakti ini telah tahu akan keadaannya, tahu bahwa ia selama ini berada di hutan randu, sungguhpun tak seorangpun memberitahu kepada kakek itu.

   "Baru saja kemarin sore hamba datang, eyang Panembahan. Sekarang datang menghadap untuk mohon izin dan doa restu dari eyang karena hamba hendak pergi ke Kota Raja Majapahit untuk mencari musuh besar ayah hamba dan membalas dendam."

   Kakek itu menghela napas dan bibirnya bergerak-gerak.

   "Muridku ya cucuku yang ayu. Dengan dasar apakah kau hendak membalas dendam kepada Kartika?"

   "Berdasarkan kebaktian hamba kepada ayah yang telah dicurangi oleh Kartika sehingga ibu menderita sengsara karenanya dan mengingat pula bahwa seorang jahat seperti Kartika harus dibasmi untuk mencegahnya mendatangkan malapetaka kepada orang lain, selain dengan watak pendekar utama telah eyang ajarkan kepada hamba."

   Eyang Semeru tersenyum dan menghela napas lagi.

   "Kehendak Hyang Agung takkan berubah. Kau masih terbawa oleh pergerakan Triloka dan terpengaruh oleh Janaloka atau Arcapada, oleh karena itu kau masih terikat oleh Karma, masih terikat oleh segala sesuatu yang berputar dijagat raya ini. Aku tidak berhak mencegah atau mendorongmu. Ratna Wulan, hanya kesadaran dan batinmu sendirilah yang harus memegang kendali dan memutuskan ke mana kau hendak menuju. Sebagai orang tua, aku hanya memberi doa restu, semoga kau selalu akan dapat memilih mana yang benar mana yang salah, dan dapat melalui jalan kebenaran jangan sampai kesasar. Hanya satu pesanku, Ratna Wulan, semoga Hyang agung mengampuniaku karena pesan ini yang timbul dari kasih sayangku kepadamu sebagai cucu dan murid, yaitu, berhati-hatilah kau apabila berhadapan dengan Mahapati! Dewa kebenaran akan melindungimu dan akan memperkuat kau sehingga kau tak perlu kalah menghadapi kesaktiannya, akan tetapi. kau waspadalah terhadap lembing bagawan itu! Lembingnya itu ampuh sekali dan kebetulan sekali lembing pusakanya itu bernama Nyi Ratna Wulan! Sekali lagi, kau tak usah takut berhadapan dengan Mahapati, akan tetapi apabila ia mengeluarkan lembingnya yang ampuh itu, akan lebih baik apabila kau menjauhkan dirimu, muridku!"

   Sambil menyembah Ratna Wulan menjawab.

   "Segala wejangan dan nasihat eyang akan hamba perhatikan dan junjung tinggi sebagai jimat hamba."

   "Berangkatlah, Ratna Wulan, kuberi bekal pengestu kepadamu."

   Setelah menyambah lagi, keluarlah dara perkasa itu dari gua pertapaan Panembahan Mahendraguna. Kakek yang sakti itu lalu menghela napas dan berbisik perlahan.

   "Duh gusti, ampunilah kiranya Si Ratna Wulan itu."

   Kemudiania melanjutkan samadhinya yang tadi terganggu oleh kedatangan muridnya. Pada keesokan harinya, dari puncak Mahameru turunlah seorang pemuda yang amat elok dan rupawan. Sungguhpun tubuhnya tidak besar dan kaki-tangannya nampak lemah dan berkulit kuning halus, namun gerak-geriknya cekatan dan larinya bagakan kijang dikejar harimau.

   Pemuda ini demikian halus dan tampannya sehingga orang yang melihatnya tentu akan bertanya apakah Sang Arjuna yang terkenal sebagai pria paling menandingi ketampanan pemuda yang sedang turun dari Mahameru itu. Memang luar biasa sekali pemuda itu. Wajah dan gerak-geriknya yang halus tak Sesuai dengan ketangkasannya ketika ia menuruni gunung, melompati batu karang dan jurang. Melihat matanya yang bening dan bibirnya yang merah, ia kelihatan seperti Batara Kamajaya Dewa Asmara, akan tetapi melihat ketangkasannya, ia menyamai Raden Gatotkaca yang dapat ngambah jumantara (terbang)! Siapakah dia ini? Lihatlah baik-baik dan anda akan mengenalnya! Ya, dia bukan lain adalah dara perkasa Ratna Wulan! Gadis ini telah menyamar sebagai seorang pemuda atas nasehat ibunda.

   "Wulan". Kata ibunya sebagai nasehat terakhir ketika anaknya hendak berangkat ke Kota Raja.

   "Seorang dara seperti kau melakukan perjalanan seorang diri keluar masuk hutan masih tidak terlalu menarik perhatian para penduduk gunung dan dusun. Akan tetapi, apabila kau memasuki Kota Raja, kau akan menimbulkan kegemparan di kalangan penduduk. Amat langka terdapat dan amat ganjilah apabila mereka melihat seorang dara muda berjalan seorang diri tanpa pengiring di Kota Raja. Apa akan kata orang? Hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagimu, nak, dan aku bahkan khawatir kalau-kalau engkau akan menemui bahaya sebelum cita-citamu tercapai. Oleh karena itu, janganlah kau masuk ke Kota Raja sebagai wanita, akan tetapi sebagai seorang pria, sebagai seorang jaka lelana. Dengan demikian, takkan ada orang yang menaruh perhatian kepadamu dan kau takkan menimbulkan kecurigaan."

   Demikianlah, dengan pertolongan ibunya, Ratna Wulan lalu menyamar sebagai seorang pemuda. Ibunya berlinang air mata ketika memandang puterinya dalam penyamaran itu.

   "Anaku, Wulan,"

   Bisiknya sambil memeluk pundak anaknya.

   "kau mengingatkan ibumu kepada mendiang ayahmu pada waktu kamu mula-mula bersuara."

   Amat terharulah Ratna Wulan mendengar keluhan ibunya ini, dan ia dapat memaklumi kesedihan hati ibunya. Dipeluknya ibunya dengan kasih sayang yang amat besar dan untuk beberapa lamanya keduanya terbenam dalam laut keharuan.

   "Sekali lagi, Wulan. Berhati-hatilah kau menjaga dirimu sendiri, tertama sekali teguhkanlah imanmu menghadapi godaan asmara di dalam hatimu sendiri, oleh karena tiada musuh yang lebih berbahaya daripada musuh didalam dada sendiri!"

   Maka berangkatlah Ratna Wulan meninggalkan ibunya, berangkatlah menuju ke Kota Raja Majapahit, menuju ke arah pelaksanaan cita-citanya, yaitu membalas dendam kepada musuh besarnya, Kartika!

   Benar sebagaimana kata ibunya,dengan menyamar sebagai seorang pria, dengan mudah tanpa menimbulkan kecurigaan orang, Ratna Wulan dapat masuk ke Kota Raja. Memang ia menarik perhatian karena ke elokan wajahnya, akan tetapi ke elokan wajah seorang pria hanya membuat orang menengok dan mengagumi sekilas saja. Begitu ia lewat, orang telah melupakan lagi. Karena hari sudah malam ketika ia tiba di Kota Raja, maka Ratna Wulan menunda niatnya mencari rumah Kartika.Ia tidak mau menimbulkan kecurigaan orang yang akan membuat usahanya menemui rintangan, oleh karena itu ia sengaja berjalan-jalan sekeliling kota, melihat-lihat dan mengagumi bangunan gedung-gedung besar yang amat indah dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya.

   Di dusun-dusun sekitar Gunung Mahameru hanya melihat bangunan-bangunan dari bambu yang beratap daun, paling besar hanyalah rumah-rumah lurah yang terbuat daripada kayu gunung beratap genteng. Di Kota Raja melihat bangunan-bangunan raksasa dengan pilar-pilar terukir dan tercat indah merupakan bangunan yang besarnya seperti anak bukit! Tiba-tiba ia mendengar suara gamelan ramai menggema di gelap malam. Suara kenong dangongnya bertalu-talu seperti memanggil-manggil semua orang untuk datang menonton. Ah, tentu pertunjukan wayang kulit, pikir Ratna Wulan dengan gembira. Lumayan juga untuk melewatkan malam ini. Ia pernah menonton pertunjukan wayang kulit yang sering diadakan didusun-dusun dan ia gemar sekali akan cerita pewayangan, terutama cerita yang mengisahkan perjalanan pahlawan wanita Srikandi.

   Biasanya ia tidak kuat sampai semalam untuk menonton wayang kecuali kalau ceritanya mengisahkan pengalaman pahlawan wanita itu, terutama cerita yang mengisahkan pengalaman wanita itu, terutama sekali ia paling suka menonton cerita Srikandi Belajar memanah! Dengan langkah lebar ia menuju ke arah suara gamelan itu dan dari jauh ia telah melihat penerangan tempat pertunjukan itu. Ternyata bahwa gamelan itu keluar dari sebuah gedung tumenggungan dan pertujukan diadakan di halaman depan gedung itu. Melihat banyak orang menonton berjubel di luar panggung yang dibangun di depan gedung, Ratna Wulan juga mendesak maju dan mencari tempat di depan. Akan tetapi alangkah herannya ketia ia tidak melihat layar wayang di situ, juga tidak ada batang pohon pisang melintang untuk tempat wayang-wayang kulit itu ditancapkan.

   Yang ada hanyalah para yogo penabuh gamelan dan di atas panggung itu kelihatan seorang ledek tengah menari dan menyanyi dengan gerak kaki tangan yang amat lemas dan suaranya amat merdu. Ledek itu tidak muda lagi, akan tetapi jelas bahwa ia memiliki potongan tubuh yang menggairahkan dan wajah yang amat cantiknya. Lirikan matanya tajam menggurat kalbu sedangkan senyumnya mengalahkan bunga yang mengharum. Di sekeliling panggung itu penuh dengan tamu-tamu duduk di kursi. Mereka ini semuanya kaum pria dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang tersenyum dan tertawa-tawa gembira. Diatas meja tersedia kendi-kendi arak yang menyiarkan bau keras, sedangkan beberapa buah cawan menggeletak di sana-sini. Dengan heran Ratna Wulan melihat betapa wajah para tamu itu berbeda dengan orang biasa, dan ketawa mereka juga ketawa tidak sewajarnya.

   Bahkan ada orang yang berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang seakan-akan hendak jatuh. Ia tidak tahu bahwa sebagian besar para tamu itu telah mabok! Pesta malam itu adalah pesta tayuban, yaitu pesta malam gembira dengan tari-tarian dan Nyanyian ledek, dan di dalam pesta tayuban ini para tamu yang "ketiban sampur"

   Diharuskan menari bersama ledek itu. Ketiban sampur berarti kejatuhan selendang, dan ledek itulah yang menetapkan siapa-siapa orangnya yang hendak diajak menari. Sambil menari-nari ia berjalan lenggang-lenggok ke arah para tamu dengan mata tajam mengerling ke kanan kiri, mencari-cari "korbannya"

   Yang hendak di jatuhi selendangnya. Biasanya ledek ini memilih seorang tamu yang kantongnya padat, oleh karena sehabis menari, sudah menjadi kelaziman bahwa tamu itu memberi hadiah uang beberapa real kepada si ledek.

   Akan tetapi ada pula ledek yang tidak begitu mementingkan uang dan sengaja memilih tamu-tamu yang muda dan tampan, terutama yang pandai untuk memenuhi kesenangan sendiri. Ledek inipun agaknya hendak mencari seorang lawan yang baik, karena ia tidak menghampiri tamu-tamu tua yang berpakaian mewah, akan tetapi menghampiri seorang tamu muda yang amat menarik perhatian. Pemuda ini usianya dua puluh tahun lebih, tubuhnya tubuh ksatria, kuat tegap tidak dempel atau tinggi besar, rambutnya keriting dan sepasang matanya bercahaya tajam. Wajahnya amat tampan dan menunjukkan kegagahan, terutama sepasang alisnya yang tebal dan bulu matanya yang lentik melengkung ke atas yaitu bulu mata yang biasanya hanya terdapat pada kaum bangsawan atau darah keraton. Pakaiannya juga indah dan mahal, tanda bahwa ia seorang dari keluarga kaya.

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   Ada bagian yang hilang".

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   ia meronta-ronta dan memekik-mekik ketakutan, sedangkan para tamu bermacam-macam sikapnya melihat peristiwa ini. Ada yang melindungi sambil tertawa terkekeh-kekeh ada yang berdiri dan membujuk sigemuk itu untuk turun kembali dan jangan merusak suasana, akan tetapi tidak ada orang yang berani naik ke panggung untuk menghalanginya. Sementara itu, para yogo masih tetap menabuh gamelannya dengan riuh. Raden Indrajaya yang melihat perbuatan si gemuk ini, segera mengeluarkan tangan dan sekali renggut saja, terlepaslah pelukan tangan si gemuk itu dari tubuh Puspamirah. Sambil menangkis Puspamirah lalu berlari ke tempat yogo dan duduk sambil menutupi mukanya dengan selendang yang berwarna merah jingga.

   "Mas Bei Bajrabumi, jangan melanggar kesusilaan di tempat ini! Mundurlah dan jangan membikin kacau!"

   Pemuda itu membentak dengan halus, mukanya merah tanda bahwa ia marah,

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   Ada bagian yang hilang".

   ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

   akan tetapi iakan Arjuna itu.

   Gerak tarian pemuda itu benar-benar hebat dan indah, tidak saja lemas dan sesuai betul dengan Irama lagu, akan tetapi juga hidup dan seakan-akan setiap gerakannya menyatakan sesuatu yang berarti. Sepasang matanya memancarkan cahaya gemilang, bibirnya tersenyum dan wajahnya berseri-seri. Sungguh seorang pemuda yang akan meruntuhkan iman setiap orang dara, dan benar-benar tariannya itu tarian yang indah dan bermutu. Orang-orang yang berada disitu tidak merasa heran oleh karena pemuda ini memang seorang ahli tari yang kenamaan di Majapahit dan seringkali ia memperlihatkan keahliannya di depan sang prabu sendiri dengan seluruh keluarga keraton.

   Akan tetapi bagi Ratna Wulan yang tidak tahu siapa adanya pemuda ini, memandangnya bagaikan memandang kepada seorang dewata yang baru melayang turun dari Swargaloka! Benar-benar hatinya terpikat dan jari-jari tangan muda yang bergerak-gerak dalam tariannya itu seakan-akan menjentik-jentik kalbunya, membuat mukanya terasa panas dan matanya memandang sayu. Akan tetapi, dara perkasa ini segera teringat akan petuah ibundanya, maka ia lalu menahan napas, memusatkan panca inderanya dan berhasil mengusir godaan itu. Pada saat ia berdiri di antara sekian banyak orang sambil mengheningkan cipta untuk menekan perasaannya yang menggelora, tiba-tiba ia menangkap bisikan tiga orang yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

   "Saat yang baik untuk mulai gerakan kita!"

   Terdengar bisikan itu.

   "Sudah seharusnya mas bei melihat kesempatan ini dan mulai beraksi. Banyak tamu telah mabok, maka kalau ia berpura-pura mabok dan menyerang Raden Indrayana membuat keributan, takkan ada yang mengira bahwa ia melakukan dengan sengaja. Dan kita akan lebih mudah lagi bergerak."

   "Dengan alasan seperti yang sudah diatur semula?"

   Terdengar orang kedua berbisik.

   "Bodoh! Masih kurang jelaskah perintah mas bei? Kita berpura-pura merasa cemburu kepada Raden Indrayana dan kita mengaku menjadi kekasih-kekasih Puspamirah! Sst, diam, itu kulihat mas bei sudah berdiri dari kursinya! Benar. Ia berdiri terhuyung-huyung seperti orang mabok. Awas, siap!"

   Ratna Wulan berdebar hatinya mendengar bisikan-bisikan yang terdengar oleh orang lain itu. Ia Maklum bahwa yang handak diserang adalah pemuda yang menawan hatinya itu, karena tadipun orang menyebut nama pemuda itu Raden Indra. Tiga orang ini menyebut nama Raden Indrayana, tentu pemuda yang sedang menari dengan asyiknya itu. Dan ia mengerling ke arah tiga orang yang berbisik tadi. Ternyata bahwa mereka adalah orang tinggi besar yang brengosnya sekepal melintang dan sikap mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang berlagak seperti seorang cabang atas!

   Ketika Ratna Wulan mengerling ke atas panggung, ke arah ke tiga orang itu menujukan pandang mara mereka, ia melihat seorang setengah tua yang bertubuh gemuk pendek, berpakaian mewah, berdiri dari kursinya dan dengan tubuh terhuyung-huyung menghampiri kedua orang yang asyik menari di tengah panggung itu. Dengan pandang matanya yang amat tajam Ratna Wulan dapat melihat bahwa biarpun orang gemuk ini kelihatan mabok, akan tetapi sepasang matanya masih bersinar cerdik dan beberapa kali si gemuk itu mengerling ke arah tiga orang yang berdiri di sebelah kiri Ratna Wulan. Ratna Wulan memandang dengan penuh perhatian dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk mebantu Raden Indrajayaitu apabila benar-benar menghadapi bahaya. Entah apa yang menggerakkan hatinya untuk mencampuri urusan lain orang ini, hanya ia menghibur hatinya sendiri dengan bisikan,

   "Ada orang dalam bahaya, tak perduli siapa adanya orang itu, baik kakek tua buruk maupun teruna yang elok rupanya, harus kubantu dia."

   Orang gemuk itu setelah berada di dekat puspamirah, tiba-tiba tertawa dan menangkap lengan tangan ledek itu, menarik dan memeluknya lalu berusaha hendak menciumnya. Ledek itu meronta benar putera bangsawan yang kaya raya. Ketika ledek itu telah melangkah sampai di hadapan pemuda ini, ia lalu mengalungkan selendangnya kepada pemuda itu yang menolak dengan kedua tangannya sambil berkata halus.

   "Puspamirah, pilihlah orang lain, sekali saja sudah cukup bagiku!"

   Akan tetapi banyak tamu ikut membujuknya dan berkata.

   "Raden Indra, menarilah sekali lagi. Tidak saja Puspa akan merasa girang, kamipun amat Gembira melihat tarianmu yang indah!"

   Terpaksa pemuda itu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke tengah panggung bersama ledek itu. Gamelan dipukul dengan irama merdu dan menarilah pemuda itu bersama pasangannya. Kalau semua tamu dan semua penonton di bawah panggung merasa gembira dan kagum, adalah Ratna Wulan merasa takjub dan memandang dengan mata terbelalak. Dadanya berdebar aneh, dan sepasang matanya tidak bosannya memandang kepada pemuda yang tampan bagai menahan kemarahannya karena melihat bahwa Bajrabumi dalam keadaan mabok.

   "Ha, ha, ha! Raden Indrayana, aku Raden Mas Ngabei Bajrabumi, tidak tunduk kepada siapa juga kecuali sang prabu! Kalau aku tidak mau mundur, kau mau apa? Ha, ha, ha! Kau hendak memborong Puspamirah? Tidak boleh. tidak boleh. Hai menari dengan aku sampai pagi!"

   "Mas bei, kalau tidak mau kelur terpaksa akan kulontarkan kau keluar dari sini!"

   Raden Indrayana berkata marah.

   "Ha, ha, ha! Dengar ocehan anak kemarin sore! Indrayana! Kau anak kecil masih bau pupuk ubun-ubunmu, hendak melontarkan aku? Ha, ha, ha! Boleh kau coba!"

   Si gemuk itu lalu mencabut kerisnya yang dihias ronce kembang melati.

   "Raden Indra! Mundurlah dan jangan melayani dia yang mabok!"

   Terdengar orang berseru dari rombongan tamu. Akan tetapi Raden Indrajaya sama sekali tidak merasa gentar menghadapi keris ditangan Bajrabumi itu. Ratna Wulan memandang dengan kagum dan gembira ketika melihat betapa pemuda tampan itu ternyata tidak saja pandai menari, akan tetapi pandai pula ilmu pencak silat.

   Biarpun ia bertangan kosong dan menghadapi seorang lawan yang bersenjata keris, ia tidak gugup dan tidak pula mencabut kerisnya sendiri. Ternyata bahwa Bajrabumi juga bukan seorang lemah. Ilmu kerisnya cukup tinggi dan dari gerakan tangannya ternyata bahwa ia telah mempelajari ilmu pencak dari pesisir utara, ilmu kerisnya adalah ilmu keris dari daerah Tuban. Tusukannya bertenaga dan cepat sekali dan pekembangannya serangannya selain bagus juga amat cekatan. Bertubi-tubi ia menusukkan kerisnya kepada pemuda lawannya itu, sehingga marahlah Indrayana karena dari pergerakan lawannya yang tangkas dan cepat ini sama sekali ia tidak melihat sifat-sifat orang mabok. Orang mabok takkan dapat bermain keris sebaik ini!

   "Bajrabumi, kau benar gila!"

   Bentaknya dan dengan cepat ia mengelak sambil mengirim serangan balasan. Dengan tangan kiri ia menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya memukul dengan telapak tangan, menebak dada.

   Bajrabumi tak kurang gesitnya, dengan cepat ia dapat merenggut tangannya yang tepegang dan tangan kirinya menangkis pukulan tangan lawan dari samping. Ternyata dalam hal ini kecepatan gerakan, Bajrabumi yang gemuk pendek itu masih kalah oleh Indrayana yang gesit seperti burung srikatan. Begitu serangan balasannya gagal, kaki kirinya menyapu kaki lawan lalu di sini pergelangan tangan yang memegang keris. Bajrabumi melompat untuk menghindarkan diri dari sapuan kaki lawan, akan tetapi ia tidak menyangka akan datangnya tendangan lawan yang cepat itu sehingga pergelangannya kena tendangan keras. Ia memekik kesakitan dan kerisnya terlepas dari pegangan. Pada saat itu, tiga bayangan tubuh yang tinggi besar melompat naik ke atas punggung. Seorang yang terdepan berseru.

   "Indrayana, kau berani merebut Puspamirah dari tangan kami? Kau benar-benar sudah rindu kepada kuburan!"

   Tiga orang yang berkumis tebal itu lalu maju menyerang dengan kelewang mereka yang berkilauan saking tajamnya. Bukan main ributnya suasana di situ.

   "Celaka. Perampok-perampok datang!"

   Terdengar teriakan orang, sedangkan Bajrabumi yang masih berpura-pura mabok melanjutkan serangannya pula dengan tangan kosong. Akan tetapi ketika melihat Indrayana mencabut kerisnya, ngabei yang bertubuh gemuk itu lalu mengundurkan diri dari pertempuran,

   Oleh karena tadi ia pun hanya hendak memperlihatkan bahwa ia benar-benar "mabok"

   Saja dan memang hendak menyerahkan pemuda itu ke pada tiga orang "perampok"

   Yang sebenarnya adalah tiga orang cabang atas dari Madura yang telah disewanya untuk maksud ini. Setelah berhadapan dengan tiga orang cabang atas dari Madura ini, baru kelihatanlah kepandaian Indrajaya, seakan-akan sebatang keris yang baru kelihatan pamornya. Tiga orang itu bersenjata kelewang yang panjang dan tajam dan gerakan mereka menunjukkan bahwa mereka benar-benar memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang tak boleh dipandang ringan. Dengan lincahnya kaki mereka bergerak secara teratur sekali, juga kelewang-kelewang di tangan mereka melakukan serangan menurut gerakan seorang ahli, bukan secara sembarangan atau akan hal ini, maka iapun mengerahkan seluruh kepandaiannya.

   Dengan amat terampil dan cekatan bagaikan seekor burung Srikatan dikeroyok tiga oleh burung Alap-alap, tubuhnya bergerak menyelinap di antara sinar tiga batang kelewang, berlompatan kesana ke mari mengelak golok sambil melakukan serangan balasan. Kadang-kadang kerisnya beradu dengan golok sehingga terdengar bunyi nyaring dan berpancarlah bunga api. Sementara itu, masih saja gamelan dipukul bertalu-talu dengan amat ramainya sehingga bagi pendatang baru, mungkin pertempuran itu disangkanya sebuah permainan atau sebuah adegan dari cerita Bhatarayuda! Ratna Wulan masih berdiri dan belum turun tangan oleh karena ia asyik memperhatikan gerakan empat orang itu. Ia mendapat kenyataan bahwa Raden Indrayana memiliki ilmu pencak silat yang cukup tinggi dan andaikata ia tidak memegang sebatang keris yang kecil saja, akan tetapi juga memegang senjata yang panjang,

   Tentu pemuda itu takkan memiliki ilmu kepandaian "halus"

   Sehingga gerakannya demikian indah bagaikan sedang menari saja, hanya mengandalkan keawasan mata dan kelincahan tubuh. Tidak seperti ke tiga orang pengeroyoknya yang biarpun memiliki golok yang hebat, akan tetapi kehebatannya itu hanya nampak pada luarnya saja karena ketiga orang cabang atas ini memiliki ilmu pencak kasar dan yang hanya mengandalkan besarnya tenaga dan tajamnya kelewang. Namun harus diakui bahwa kepandaian mereka sudah cukup tinggi dan merupakan lawan yang amat berbahaya bagi pemuda itu. Indrayana agaknya maklum akan hal ini, maka ia lalu menyerang dengan amat cepatnya dengan maksud merobohkan seorang pengeroyok lebih dahulu untuk mengurangi jumlah lawan. Ketika dua batang golok menyambar dari kanan kiri, ia tidak mengelak ke belakang,

   Bahkan lalu menerjang ke depan dengan kecepatan melebihi datangnya golok lawan ke tiga yang menusuknya dari depan yang dapat di elakkannya dengan tubuh di miringkan, secepat kilat kerisnya menusuk dada orang itu! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika kerisnya bertemu dengan dada yang bidang dari orang itu, kerisnya terpental kembali dan orang itu hanya tertawa mengejek! Ternyata bahwa orang itu kebal dan memiliki Aji Kesaktian Lulang Warak (Kulit Badak) yang membuat kulitnya kebal tak terluka oleh senjata tajam! Hal ini menggoncangkan semangatnya dan kini perlawanannya menjadi lemah dan kacau. Ratnawlan dapat melihat akan hal ini, maka kini dara perkasa ini setelah melihat keadaan pemuda itu amat terdesak dan berada dalam dalam bahaya, cepat menjejakkan kakinya ke atas tanah dan tubuhnya mencelat keatas panggung!

   "Mengasolah, Raden, biarkan aku menggantikanmu dan membereskan tiga ekor babi hutan ini!"

   Kata Ratna Wulan yang telah melompat di hadapan Indrajaya. Tidak saja semua penonton menjadi kagum dan heran, juga Indrajaya sendiri tertegun melihat betapa seorang pemuda bersikap lemah-lembut dan elok sekali tahu-tahu muncul dari bawah, bagaikan Raden Antasena muncul keluar dari permukaan bumi! Ia memang telah lelah sekali dan melihat munculnya pemuda yang aneh ini, ia menaruh kepercayaan dan segera melangkah mundur. Akan tetapi ia masih memgang kerisnya, siap membantu apabila pemuda yang hendak membantunya ini ternyata tak dapat mengalahkan tiga orang pengeroyok itu.

   Sementara itu, ketiga orang pengeroyok tadi telah merasa amat gelisah ketika mendapat kenyataan betapa Raden Indrajaya amat sukar dikalahkan. Mereka telah merasa gelisah kalau-kalau tugas mereka akan gagal. Kini melihat munculnya seorang pemuda tampan dengan tiba-tiba, mereka menjadi marah dan hendak menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, maka tanpa banyak bicara lagi mereka lalu menyerbu dan menyerang Ratna Wulan yang masih berdiri dengan tenang! Akan tetapi, alangkah terkejut hati mereka ketika tiba-tiba tubuh pemuda elok itu sekali berkelebat saja lenyap dari depan mereka dan tahu-tahu pemuda merdu di belakang mereka! Mereka tercengang sejenak, akan tetapi segera menyerang lagi dan seorang diantara mereka membentak.

   "Keparat! Jangan kau kira kami takut kepada aji silumanmu!"

   Ratna Wulan tersenyum dan sekali tangannya bergerak kearah pinggang, keris pusaka Banaspasti telah tercabut dan ia menyambut serangan tiga buah kelewang itu dengan memutar kerisnya.

   "Trang! Trang!Trang!"

   Terdengar bunyi nyaring ketika kerisnya sekaligus menyambar-nyambar ke arah senjata lawan dan suasana di situ menjadi sunyi senyap karena kini gamelan tiba-tiba menjadi bidu. Semua yogo duduk dengan melongo dan lupa untuk menabuh gamelan mereka ketika menyaksikan betapa tiga batang golok besar itu tela putus semua sampai tinggal gagangnya saja yang masih berada di tangan ketiga orang pengacau itu! Kemudian pecahlah suara sorak-sorai menyatakan kagum kepada pemuda tampan yang aneh itu.

   "Siapakah dia?"

   Terdengar suara di mana-mana akan tetapi siapakah yang dapat menjawab? Semua orang hanya menduga-duga sambil memandang ke arah pemuda itu. Tiga orang lawan Ratna Wulan juga terkejut sekali sehingga wajah mereka menjadi pucat. Akan tetapi ketakutan mereka akan ampuhnya keris lawan itu lenyap ketika mereka melihat betapa Ratna Wulan dengan amat tenangnya menyimpan kembali kerisnya dan menghadapi mereka dengan tangan kosong.

   "Bagaimana sekarang? Apakah akan kita lanjutkan dengan kedua tangan saja?"

   Tantangnya. Kemudian ia berkata kepada orang yang mempunyai kekebalan tadi dan berkata.

   "Kau kebal dan kuat menahan tusukan curiga (keris), hendak kulihat apakah kuat menerima pukulan tanganku!"

   Biarpun merasa takjub melihat ampuhnya keris di tangan pemuda yang nampak lemah ini, akan tetapi ketiga orang itu memiliki aji kekebalan, maka mereka maju lagi dengan berani, bahkan orang yang tadi memperlihatkan kekebalannya lalu berkata.

   "Keparat! Kalau kau tidak mengandalkan keampuhan curigamu, dalam dua jurus saja kami akan menhancurkan kepalamu!"

   "Aduh mudah amat!"

   Ratna Wulan mengejek.

   "Jangan hanya memperbesar sumbarmu, kawan! Kalian coba sajalah!"

   Tiga orang itu lalu maju menyerbu dan memukul dengan buah kelapa besarnya. Akan tetapi, tanpa bergerak atau berpindah dari tempatnya, Ratna Wulan mengangkat kedua lengannya dan menangkis semua pukulan itu dengan gerakan yang cepat sekali.Ketika lengan tangan mereka beradu dengan lengan Ratna Wulan yang kecil dan berkulit halus itu, ketiga orang tadi menahan seruan, karena mereka betapa kulit lengan mereka amat pedih dan sakit. Mereka menduga bahwa pemuda aneh ini tentu mempergunakan aji Kesaktian Srigunting, maka mereka menjadi jerih dan merasa ragu-ragu untuk memukul lagi. Ratna Wulan tersenyum lagi.

   "Apakah kedua tanganku masih terlampau ampuh bagimu? Nah, kalau begitu, aku takkan menangkis, kalian pukulah sesukamu, asal saja jangan memukul kepala!"

   Setelah berkata demikian, Ratna Wulan lalu bersedekap, melindungi dadanya dengan kedua lengan, dan berdiri tak bergerak bagaikan patung, mengerahkan aji kesaktiannya. Hal ini memang di luar kebiasaannya, akan tetapi entah mengapa, di hadapan Indrayana, ia ingin sekali memamerkan kepandaian dan kesaktiannya, terutama ketika ia

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Ratna Wulan (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   mengerling dan melihat betapa Indrayana memandangnya dengan mata penuh takjub dan kagum.

   Tiga orang cabang atas dari Maduraitu saling pandang dengan heran, kemudian mereka lalu melangkah maju dan memukul tubuh Ratna Wulan. Aneh sekali! Semua pukulan mereka itu seakan-akan mengenai segumpal karet mentah yang membuat pukulan-pukulan mereka mental kembali. Ke mana saja mereka memukul, tak sebuahpun pukulan mereka dapat menggoyangkan tenaga yang disertai ilmu dalam, akan tetapi tak ada kesaktian yang dapat mengalahkan kekebalan pemuda ini. Seorang diantara mereka lalu melakukan kecurangan dan mengirim pukulan ke arah kepala pemuda itu. Sebetulnya Ratna Wulan tidak takut akan pukulan ini dan kepalanya takkan terluka oleh pukulan orang, akan tetapi, ia tidak sudi kepalanya tersentuh tangan lawannya, maka sambil berseru keras ia mengerahkan tangannya ke arah sambungan siku lawan.

   "Krek!"

   Ketika pukulan orang itu melayang ke arah kepalanya, lengan tangan yang besar itu telah didahului dan disambar oleh jari-jari tangan Ratna Wulan yang dibuka dan dipukulkan miring ke arah tulang siku sehingga tulang siku itu patah! Orangitu menjerit kesakitan dan membungkuk-bungkuk sambil memgangi sikunya yang telah lumpuh dan patah. Ratna Wulan takmau memberi hati lagi.

   "Coba pergunakan kekebalanmu!"

   Serunya sambil menggerakkan tubuh menyerang dua orang yang lainnya.

   Mereka masih mencoba menangkis dan mempertahankan diri, akan tetapi percuma saja Ratna Wulan terlalu gesit dan cepat bagi mereka sehingga ketika dada mereka kena ditebak oleh telapak tangan gadis itu mereka mencelat dan roboh tunggang-langgang di atas panggung. Ratna Wulan menyepak tiga kali tubuh yang tinggi besar itu melayang turun ke bawah panggung, di mana mereka merangkak-rangkak bangun lalu berlari sipat kuping bagaikan sedang adu balap lari! Bukan main riuhnya orang-orang yang menyaksikan kehebatan ini. Tadi mereka tak bersuara sedikitpun menyaksikan sepak terjang yang luar biasa gagahnya itu, dan pecahlah tampik sorak dan tepuk tangan memuji. Raden Indrajaya sendiri lalu menghampiri Ratna Wulandan dengan mesra ia memegang lengan tangan dara perkasa itu, yang disangkanya seorang pria.

   "Kesatria yang gagah perkasa tanpa tanding!"

   Katanya memuji sambil memandang dengan penuh kasih sayang.

   "Jangankan melihat dengan mata sendiri, mendengarpun belum pernah bahwa di dunia ini ada seorang muda teruna sehebat engkau! Sungguh mentakjubkan! Tubuhmu begini kecil, tanganmu begini halus dan lunak, akan tetapi tenagamu dapat menggugurkan Mahameru!"

   Sambil berkata demikian, dengan kagum dipandangnya lengan tangan Ratnwulan yang berkulit putih kuning dan amat halus itu. Indrajaya benar-benar tertegun karena lengan itu begitu halus dan sentuhannya membuat dadanya berdebar aneh. Ia melihat sebuah tahi lalat hitam bulat di dekat pergelangan tangan Ratna Wulan, jelas kelihatan di atas kulit yang putih kuning dan bersih itu.

   "Adikku yang gagah, adiku yang elok. Siapakah gerangan adik yang gagah perkasa ini? Marilah kita duduk bercakap-cakap di sana!"

   Akan tetapi, digandeng dan dipegang lengannya sedemikian rupa dan melihat sikap Indrajaya yang amat mesra itu, tiba-tiba muka Ratna Wulan menjadi merah sekali merenggutkan tangannya, maka terlepaslah tangannya dari pegangan Indrajaya.

   "Aku. Aku harus pergi sekarang juga!"

   Katanya seperti pada diri sendiri dan tubuhnya melompat, hanya merupakan bayangan berkelebat dan lenyaplah ia dari hadapan Indrajaya dan lain-lain tamu yang memandang dengan bengong. Indrajaya menghela napas.

   "Sayang sekali ia pergi tanpa mau memperkenalkan diri. dia gagah perkasa!"

   
Ratna Wulan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sementara itu, Mas Ngabei! Bajrabumi dengan langkah sempoyongan menghampiri Raden Indrajaya dan dengan muka merah ia berkata.

   "Raden Indra, harap kau sudi memaafkan padaku. aku tadi entah mengapa kepalaku pening dan tidak ingat sesuatu. Setelah perampok-perampok tadi datang dan melihat kau dikeroyok. barulah aku sadar dan menyesal.!"

   Raden Indrajaya mencibirkan bibirnya dan kemudian tersenyum menghina.

   "Pergilah dari depanku!"

   Atanya dan Mas Bei yang gemuk itu lalu pergi seperti seekor anjing kena gebuk. Akan tetapi peristiwa yang menggegerkan itu disambung oleh peristiwa lain yang cukup menimbulkan keributan besar. Tiba-tiba terdengar para yogo berteriak-teriak.

   "Tangkap, tangkap! Tahan penculik itu.!"

   Indrajaya dan lain-lain orang cepat memandang dan alangkah heran dan kaget mereka ketika melihat Puspamirah ledek yang cantik itu, meronta-ronta dalam pondongan seorang pemuda tampan. Indrajaya marah sekali dan selagi ia hendak mengejar, pemuda yang menculik ledek itu sekali melompat telah berada ditempat jauh dan kemudian menghilang ke dalam gelap dengan kecepatan yang membuat semua orang tertinggal jauh dan hanya dapat saling pandang dengan terheran-heran.

   "Bukan main!"

   Indrajaya berkata perlahan.

   "Hebat sekali pemuda itu, hampir sama cepatnya dengan pemuda yang tadi menolong aku! Akan terjadi apakah di Kota Raja ini? Tiba-tiba saja muncul orang-orang muda sakti mendraguna yang bersikap aneh. Mengapa pula Puspamirah diculik?"

   Setelah mengalahkan tiga orang cabang atas yang mengeroyok Indrajaya, kemudian melarikan diri karena hatinya merasa tidak karuan ketika ia dipeluk dan digandeng oleh pemuda yang tampan itu, Ratna Wulan tidak pergi jauh dari tempat pesta dan bersembunyi di bawah sebatang pohon. Hatinya masih berdebar-debar kalau ia mengingat betapa lengannya dipegang dengan erat dan mesra oleh Indrajaya. Ia tahu bahwa pemuda itu tidak sengaja melakukan hal itu karena menganggap bahwa ia seorang pria. Ah, kalau saja Indrajaya tahu bahwa ia seorang dara.

   Wajahnya makin merah kalau membayangkan hal itu dan ia makin bingung merasa betapa hatinya amat tertarik oleh Indrajaya. Ia teringat akan pesan ibunya agar supaya berhati-hati menghadapi godaan asmara dan ia merasa ragu-ragu. Ia teringat pula keadaan Adiprana, pemuda lain yang juga amat menarik hatinya, bahkan yang telah menyatakan cinta kasih kepadanya. Ia diam-diam membuat perbandingan antara Adiprana dan Indrajaya. Biarpun ia maklum dan sadar bahwa tak baik seorang dara seperti dia untuk memikirkan dua orang pemuda itu, akan tetapi hati dan perasaannya kedewasaannya tak dapat ditahan lagi dan sambil duduk termenung ia membayangkan wajah kedua orang muda itu. Adiprana lebih sakti dari pada Indrajaya, pikirnya. Akan tetapi Indrajaya juga memiliki sifat kesatria utama, seorang pemuda gagah berani dan harus ia akui bahwa tentang keelokan wajah, Indrajaya lebih menarik hatinya.

   Adiprana sudah terang mencintainya, dan Indrajaya. ah, dari pandang mata pemuda inipun akan jatuh cinta kepadanya kalau saja ia tahu bahwa penolongnya adalah seorang dara. Hal ini ia telah merasa yakin. Ratna Wulan mengeluh didalam hatinya. Mengapa ia selalu menghadapi godaan ini? Baru saja turun gunung ia telah bertemu dengan Adiprana anak Bromo itu. Dan kini, baru saja tiba di Kota Raja, ia bertemu pula dengan seorang teruna yang menarik hatinya. Padahal ia masih belum menunaikan tugas cita-citanya, bahkan bertemu dengan musuh besarnyapun belum. Ia harus mengusir bayangan dua orang pemuda yang menggoda pikirannya itu. Ratna Wulan menghela napas berulang-ulang. Ia akan menanti sampai datangnya hari baru untuk segera mencari musuh besarnya dan membalas dendam.

   Setelah itu, ia akan segera kembali ke Mahameru karena ia baru akan merasa aman dan tenteram hatinya apabila ia berada di dekat ibunya, di dekat gurunya. Ia tidak ingin merusak hati dan mengganggu pikirannya dengan segala lamunan yang muluk-muluk dan sambil mengertak gigi dan ia berkeras mengusir bayangan wajah Indrajaya dan Adiprana. Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari tempat keramaian itu dan ketika ia bangun berdiri, ia melihat bayangan orang berlari cepat sambil mengendong tubuh seorang wanita. Melihat pakaian wanita itu, ia tahu bahwa ia adalah Puspamirah, ledek yang tadi yang telah menimbulkan keributan di atas panggung. Ratna Wulan cepat bersiap menolong ledek itu, karena maklum bahwa wanita itu tentu diculikdan dibawa lari orang. Akan tetapi, ketika ia melihat orang yang memondong Puspamirah dan yang berlari berdiri bagaikan patung.

   Ia merasa seakan-akan telapak kedua kakinya melekat pada tanah dan tak dapat diangkat lagi. Hatinya berdebar keras dan matanya terbelalak. Bukan main kagetnya karena ia melihat bahwa penculik ledek itu bukan lain ialah. Adiprana. Tiba-tiba ia menjadi marah dan sebal. Beginikah akhlak pemuda dari Gunung bromo yang gagah itu? Hanya sebagai seorang rendah penculik ledek? Dan pemuda ini pernah menyatakan cinta kasih kepadanya. Tanpa disadarinya, Ratna Wulan menggerakkan kedua kakinya dan mengikuti bayangan pemuda yang memondong ledek dan berlari cepat itu. Ia terus mengikuti di belakang, karena tidak ada niatnya untuk mengejar. Ia hanya ingin tahu apakah yang hendak diperbuat oleh Adiprana terhadap ledek itu dan kalau memang pemuda itu berniat buruk, ia harus menolong perempuan itu!

   Kalau perlu ia akan membunuh Adiprana, karena, sudah menjadi orang-orang jahat, tak perduli siapapun juga orang itu. Siapakah pemuda yang menculik Puspamirah itu? Apakah benar-benar dia itu Adiprana, murid Bromo yang gagah perkasa? Memang benar! Pemuda itu adalah Adiprana, akan tetapi jangan mengira bahwa ia adalah sebangsa pemogoran yang suka bermain gila dengan wanita, terutama yang suka menculik seorang penari umum. Sebagaimana pernah ia ceritakan kepada Ratna Wulan, Adiprana mempunyai seorang ibu yang telah janda dan yang amat cantik rupanya. Ketika ia turun dari perguruannya, ia bermaksud kembali ke Kota Raja mencari ibunya, akan tetapi ia tertahan di hutan randu setelah pertemuannya dengan Ratanwulan.

   Ia telah berjanji kepada Ratna Wulan, gadis yang dicintainya itu, untuk tinggal di dalam hutan mewakili Ratna Wulan dan melatih kepada Pasukan CandraBayu. Akan tetapi, seperginya Ratna Wulan dari situ, ia merasa sunyi sekali dan rindunya kepada ibu datang lagi menggangu hatinya. Oleh karena itu, ia lalu berpamit kepada kawan-kawannya untuk pergi ke Kota Raja dan menjemput ibunya yang hendak dibawah pindah ke hutan randu. Pak Waluyo sebagai ketua dari Pasukan Candrasa Bayu, maklum akan perasaan pemuda ini, maka iapun menyatakan persetujuannya. Demikianlah, oleh karena Ratna Wulan sebelum berangkat ke Kota Raja singgah dulu di puncak Mahameru, maka keberangkatan Adiprana ini hampir berbareng dengan Ratna Wulan. Kalau Ratna Wulan tiba di kota pada malam hari, adalah Adiprana datang pada senja tinggal ibunya.

   Alangkah terkejut, heran dan kecewanya ketika iamendengar bahwa ibunya kini menjadi ledek dan pada malam hari itu sedang menari di gedung seorang tumenggung yang mengadakan pesta tayuban. Hatinya merasa sedih dan perih sekali mendengar betapa nama ibunya sekarang adalah Puspamirah. Adiprana tak dapat menahan sabar lagi, terutama ketika ia mendengar keterangan penduduk di situ bahwa sekarang ibunya telah menjadi selir dari seorang pembesar keraton. Panaslah hatinya dan ia segera menyusul ke tempat pesta dengan hati penuh amarah. Bagaimana ibunya sampai merendahkan diri semacam itu? Ketika Adiprana tiba ditempat pesta, pertempuran antara tiga cabang atas dari madura melawan Ratna Wulan telah pergi dari situ. Melihat keributan yang masih terlihat pada muka para penonton, Adiprana lalu bertanya kepada seorang penonton apakah gerangan yang telah terjadi?

   "Aah, kau datang terlambat, kawan."

   Kata orang itu.

   "Baru saja terjadi perang tanding yang amat hebat dan ramainya. Raden Mas Indrajaya yang gagah bertanding melawan Mas Bei Bajrabumi! Ah,mana mas bei bisa menang? Raden Mas Indrajaya adalah seorang ahli pencak yang pandai. Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang cabang atas yang mengeroyok Raden Mas Indrajaya. Bukan main hebat dan serunya pertempuran itu. Dan tahukah kau? Cabang atas itu kebal. Coba bayangkan! Keris Raden Indrajaya diterima dengan dada terbuka begitu saja dan kerisnya sampai bengkok ketika bertemu dengan dada cabang atas itu! Hebat tidak? Akan tetapi, itu masih belum seberapa tiba-tiba muncul diatas panggung seorang yang luar biasa, menghadapi tiga cabang atas itu dengan tangan kosong! Ya, dengan tangan kosong, kawan, sedangkan tiga cabang atas itu mempergunakan golok! Kemudian pemuda ajaib itu mencabut kerisnya dan sekali gerak. trang! Tiga batang golok itu sapat! Kemudian yang terhebat terjadilah. Tiga orang cabang atas itu menghujani pukulan kepada tubuh orang sakti itu, akan tetapi pemuda itu tanpa mengelak menerima semua pukulan sambil tersenyum, seakan-akan pukulan-pukulan itu di anggapnya seperti tangan puteri-puteri yang memijat tubunya yang kelelahan!"

   Adiprana tidak sabar lagi mendengar dongeng orang ini, maka ia menyela,

   "Mengapa terjadi perkelahian-perkelahian?"

   Orang itu kecewa karena ceritanya diganggu.

   "Dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan kau terlambat dan hal ini amat sayang karena kalau kau menyaksikan pertempuran antara pemuda itu dengan tiga cabang atas tadi, benar-benar kau akan melongo terheran-heran dan kagum. Dengan amat tangkasnya pemuda yang seperti Arjuna itu, bukan, bukan seperti Arjuna, akan tetapi pantas disebut Raden Angkawijaya putera Sang arjuna, menghadapi tiga orang lawannya yang merupakan tiga orang raksasa jahat. Kemudian dengan amat tenang dan mudahnya sama mudahnya seperti aku sendiri menghadapi tiga orang juadah manis, ia melalap tiga orang lawannya yang ketiganya dilontarkan ke bawah panggung! Bukan main!"

   "Apa sebabnya terjadi perkelahian? "Tanya Adiprana sambil memandang ke atas panggung, mencari-cari ledeknya.

   "Apalagi sebabnya? Tentu memperebutkan di cantik jelita Puspamirah, ledek yang menggairahkan hati tiap laki-laki itu!"

   "Di mana ledek itu. Puspamirah itu.?"

   Tanya pula Adiprana dengan hati kecut dan telinga panas.

   "Eh, eh, agaknya kau bukan orang sini, kawan. Itu dia yang duduk didekat tukang kendang. Coba saja Kau lihat, alangkah molek bantuk tubuhnya, alangkah cantik jelita wajahnya. Ia sudah agak tua, kawan, akan tetapi, mau aku menukarnya dengan tiga belas orang perawan! Siapa yang takkan tergila-gila melihat betapa lemas dan luwes ia menari? Siapa yang takan merasa bimbang rindu mendengar suaranya yang seperti madu manisnya? Aah, mau usiaku dikurangi lima tahun asalkan aku dapat memetik Puspamirah."

   "Plak!"

   Tangan kanan Adiprana menyambar dan menampar muka orangitu yang tiba-tiba merasa seakan-akan ribuan binatang di langit jatuh berhamburan dari atas. Kedua manik matanya mendekati hidungdan kepalanya bergoyang-goyang bagaikan terhuyung-huyung karena kedua kakinya lemas dan akhirnya ia jatuh pingsan bagaikan kena sambar petir.

   Adiprana lalu melompat ke atas panggung, langsung menyerbu ketempat duduk para yogo dan menubruk Puspamirah yang terus dipondongnya. Ledek itu terkejut sekali dan meronta-ronta, akan tetapi di dalam pondongan lengan tangan Adiprana, ia tak berdaya sama sekali. Tukang kendang melihat hal ini lalu bangun berdiri hendak menghalangi, akan tetapi sebuah tendangan kaki Adiprana yang menyambut dadanya membuat ia terlempar dan menubruk kawan-kawan di belakangnya. Keadaan geger dan terdengar teriakan orang-orang. Akan tetapi Adiprana telah melompat jauh Dan berlari cepat pergi dari tempat itu. Ia sebelumnya telah mencari keterangan di mana adanya rumah Puspamirah, maka kini ia langsung menuju ke rumah ledek itu. Kemarahannya memuncak dan ia merasa terhina sekali setelah mendengar penuturan orang tadi.

   Ibunya menjadi ledek umum sudah merupakan hal yang amat memalukannya, apalagi kini mendengar betapa ibunya menjadi rebutan orang-orang kasar dan bahkan orang orang yang menceritakan peristiwa tadipun mengeluarkan kata-kata yang amat menghina! Ia dapat membayangkan perasaan orang-orang terhadap ibunya. Dalam kemarahannya, Adiprana tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan lain yangmengikuti larinya, dan lebih-lebih tidak menyangka bahwa yang mengikuti adalah Ratna Wulan! Dara pendekar ini dengan hati marah dan juga amat sebelnya, mengikuti terus dan ketika ia melihat Adiprana membawa ledek itu ke dalam sebuah rumah sederhana, Ratna Wulan lalu melompat ke belakang rumah itu dan mengintai! Ia melihat Adiprana membawa Puspamirah ke dalam sebuah kamar dan menurunkan wanita itu lalu berdiri memandang dengan mata merah. Puspamirah berdiri dengan marah dan membentak.

   "Bangsat kurang ajar! Siapakah kau berani mati melakukan perbuatan terkutuk ini, menculik aku dan membawaku ke rumah kusendiri dengan paksa? Apakah kau sudah bosan hidup barangkali? Kalau kakangmas adipati menengar akan hal ini, tentu kepalamu akan dihancurkan! Kau masih muda, lagi tampan, mengapa kau melakukan ini? Melarikan seorang ledek, cih! Tak tahu malu!"

   Mendengar ucapan ini, diam-diam Ratna Wulan merasa girang dan memuji ledek itu. Kalau memang ledek itu berbatin rendah. Tentu ia akan jatuh hati kepada penculiknya yang masih muda dan rupawan pula. Sebaliknya, Adiprana lalu menjawab dengan kata-kata yang amat pedas dan di luar dugaan Puspamirah maupun Ratna Wulan yang mendengar diluar bilik.

   "Puspamirah, kau menyeret dirimu sendiri ke dalam berpura-pura menasehati orang lain? Apakah kau lupa bahwa kepada anakmu yang semenjak kecil kau kirimkan kepada Eyang Bromosakti? Aku adalah Adiprana, atau. sudah lupa lagikah kau kepada nama itu?"

   Puspamirah tiba-tiba menjadi pucat bagaikan mayat. Sepasang matanya memandang wajah Adiprana dengan terbuka lebar, seakan-akan tak percaya kepada pandang matanya sendiri. Sampai lama ia berdiri bagaikan patung, tak kuasa mengeluarkan suara bahkan hampir tak dapat bernapas, kemudian keluarlah keluhan dari mulutnya.

   

Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini